10 Game dengan Penghasilan dan Angka Penjualan Terbesar Sepanjang Sejarah

Popularitas game datang dan pergi. Biasanya, popularitas sebuah game akan memudar seiring dengan berjalannya waktu. Namun, ada beberapa game yang tetap dapat relevan bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun sejak ia diluncurkan. Kali ini, saya akan membahas game-game yang berhasil mencetak rekor di dunia. Dua tolok ukur yang saya gunakan adalah total pendapatan dan total penjualan.

10 Game dengan Pemasukan Terbesar Sepanjang Masa

Daftar ini dibuat menggunakan data dari Video Games Sales Wiki. Angka penjualan dari game disesuaikan dengan tingkat inflasi menggunakan kalkulator inflasi.

1. Space Invaders (1978) – per 2021 – US$34 miliar

Percaya atau tidak, Space Invaders — game yang diluncurkan pada 1978 — memegang gelar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Game shooting buatan developer Jepang ini bisa dimainkan di arcade dan juga konsol Atari. Dari penjualan mesin arcade, total pemasukan Space Invaders mencapai US$7,5 miliar pada 1982 atau sekitar US$21,26 miliar pada 2021.

Selain dari penjualan arcade, Space Invaders juga mendapatkan pemasukan dari coin drop. Pada 1983, pemasukan Space Invaders dari coin drop mencapai US$4,4 miliar. Jika Anda menghitung inflasi, angka itu setara dengan US$12,47 miliar pada 2021. Sementara itu, dari konsol Atari, Space Invaders mendapatkan pemasukan sebesar US$151 juta pada 1990, sekitar US$316 juta pada 2021. Jadi, secara total, pemasukan yang didapat oleh Space Invaders adalah US$34 miliar.

2. Pac-Man (1980) – per 2021 – US$27,50 miliar

Peringkat kedua masih diisi oleh game klasik, yaitu Pac-Man, yang diluncurkan pada 1980. Game ini tersedia di arcade dan konsol. Dari penjualan mesin arcade, Pac-Man mendapatkan US$9,34 miliar pada 1982, yang setara dengan US$24,68 miliar. Masih di tahun 1982, Pac-Man mendapatkan US$319,2 juta (sekitar US$905 juta pada 2021) dari penjualan game untuk konsol.

Sementara itu, per 1987, penjualan Pac-Man di PC menyumbangkan US$2 juta (setara dengan US$4,82 juta pada 2021). Nantinya, Pac-Man juga diluncurkan untuk mobile. Dari mobile, Pac-Man mendapatkan US$84 juta per 2012, sekitar US$100 juta jika Anda menghitung inflasi. Jadi, secara total, pemasukan Pac-Man mencapai US$27,5 miliar.

3. Street Fighter II (1991) – per 2017 – US$21,3 miliar

Street Fighter II diluncurkan pertama kali pada 1991 sebagai game arcade. Satu tahun berikutnya, Capcom meluncurkan beberapa versi baru dari Street Fighter II, seperti Street Fighter II: Champion Edition, Street Fighter II Turbo, Super Street Fighter II, dan Super Street Fighter II Turbo. Keempat game itu masih merupakan game arcade. Masih di 1982, Capcom merilis Street Fighter II: The World Warrior untuk Super Nintendo Entertainment System (SNES). Game itu terjual sebanyak 6,3 juta unit.

Pada 1993, Capcom meluncurkan Street Fighter II Turbo untuk SNES dan Street Fighter Special Champion Edition untuk Mega Drive. Setahun kemudian, Super Street Fighter II diluncurkan untuk SNES. Setelah itu, Capcom berhenti untuk meluncurkan Street Fighter II untuk platform apa pun selama 12 tahun. Baru pada 2006, Capcom merilis Street Fighter II untuk PlayStation Portable (PSP) sebagai bagian dari Classics Collection Reloaded. Dua tahun kemudian, pada 2008, Capcom merilis Super Street Fighter II Turbo HD Remix untuk PlayStation 3 dan Xbox 360.

 

Super Street Fighter II Turbo HD Remix. | Sumber: GameSpot

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Di tahun yang sama, Capcom merilis Ultra Street Fighter II: The Final Challengers untuk konsol Nintendo tersebut. Di tahun yang sama, Capcom juga sempat meluncurkan Super NES Classic Edition untuk SNES. Secara total, pemasukan yang Capcom dapat dari Street Fighter II adalah US$10,61 miliar pada 1991. Dengan inflasi, angka itu naik menjadi US$21,3 miliar.

4. Dungeon Fighter Online (2005) – per 2020 – US$15 miliar

Sejak diluncurkan pada 2005, Dungeon Fighter Online berhasil mendapatkan total pemasukan sebesar US$15 miliar, berdasarkan laporan keuangan Nexon untuk Q1 2020. Game beat-em up 2D action ini sangat populer di Tiongkok. Meskipun begitu, ia tidak terlalu populer di tingkat global. Buktinya, walau game itu tersedia di Steam, jumlah rata-rata dari concurrent players Dungeon Fighter Online di Steam hanya mencapai 450 pemain. Padahal, menurut laporan MMOS, pada puncaknya, jumlah concurrent players di Tiongkok bisa mencapai 3 juta orang.

Meskipun begitu, spending dari para gamers di Tiongkok sudah cukup untuk membuat Dungeon Fighter Online masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Setiap bulan, game ini juga sering masuk dalam daftar game PC dengan pemasukan terbesar, menurut data dari Superdata Research.

Dungeon Fighter Online sering masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbanyak. | Sumber: Superdata Research

5. CrossFire (2007) – per 2019 – US$14,2 miliar

CrossFire merupakan game FPS buatan Smile Gate yang dirilis pada 2008. Pada 2008-2009, pemasukan game itu hanya mencapai US$213 juta atau setara dengan US$250 juta pada 2021. Namun, pada 2010, pemasukan CrossFire meningkat pesat, mencapai US$1,2 miliar. Sejak saat itu, setiap tahun, pendapatan dari CrossFire tidak pernah kurang dari US$1 miliar. Per 2019, total pemasukan yang didapat oleh CrossFire mencapai US$14,2 miliar.

6. World of Warcraft (2004) – per 2017 – US$12,05

Menurut data dari Video Games Sales Wiki, pemasukan World of Warcraft pada 2005 mencapai US$250 juta. Angka ini naik menjadi US$597 juta pada 2006 dan menjadi US$843 juta pada 2007. Pemasukan World of Warcraft menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya pada 2008. Sampai 2011, pemasukan World of Warcraft terus ada di atas US$1 miliar.

Namun, pada 2012, pendapatan dari game MMORPG ini mulai turun, menjadi US$901 juta. Angka ini kembali turun pada 2013 — menjadi US$805 juta — dan pada 2014, menjadi US$728 juta. Pada 2015, pemasukan World of Warcraft memang sempat naik, menjadi US$814 juta. Namun, pada 2017, total pemasukan World of Warcraft kembali turun, menjadi US$472 juta. Secara total, jika Anda menghitung inflasi, pemasukan World of Warcraft dalam periode 2005-2017 mencapai US$12, 02 miliar.

7. League of Legends (2009) – per 2020 – US$11,866 miliar

Diluncurkan pada 2009, League of Legends adalah game pertama buatan Riot Games. Selama 10 tahun ke depan, League of Legends menjadi satu-satunya game besutan studio asal Los Angeles tersebut. Fokus Riot untuk mengembangkan game MOBA itu tidak sia-sia. Per 2020, total pemasukan yang Riot Games dapatkan dari League of Legends hampir mencapai US$12 miliar. Jika Anda penasaran bagaimana Riot bisa fokus pada League of Legends selama bertahun-tahun, Anda bisa membacanya di sini.

Pemasukan League of Legends pada 2015-2020. | Sumber: Statista

Pada 2012, pemasukan dari League of Legends mencapai US$200 juta. Perlahan tapi pasti, angka ini terus naik. Dalam satu tahun, pada 2013, pemasukan League of Legends melonjak menjadi US$624 juta. Pada tahun berikutnya, pemasukan game itu kembali naik, menjadi US$964 juta. Dan sejak 2015 sampai 2020, pemasukan League of Legends tidak pernah kurang dari US$1 miliar, menurut data Statista. Pada 2017, pemasukan dari League of Legends bahkan menembus US$2,1 miliar.

8. Honor of Kings (2015) – per 2021 – US$10 miliar

Minggu lalu, pemasukan Honor of Kings mencapai US$10 miliar. Dengan begitu, game MOBA tersebut menjadi mobile game pertama yang mendapatkan pencapaian tersebut. Ironisnya, Honor of Kings hanya membutuhkan waktu 6 tahun untuk bisa mendapatkan US$10 miliar. Padahal, League of Legends — yang menjadi inspirasi dari Honor of Kings — membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan US$10 miliar.

9. Lineage (1998) – per 2019 – US$9,635 miliar

Lineaga dirilis pada September 1998. Per 2019, total pemasukan yang didapat game MMORPG asal Korea Selatan ini mencapai US$9,7 miliar, menjadikannya sebagai salah satu game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Faktanya, Lineage merupakan salah satu franchise game paling populer di Korea Selatan.

Berkat kesuksesan Lineage, franchise itu menelurkan banyak game lain. Misalnya, pada 2003, Lineage II dirilis. Game itu merupakan prekuel dari Lineage, dengan setting waktu 150 tahun sebelum Lineage. Pada 2017, tiga game Lineage diluncurkan sekaligus, yaitu Lineage 2 Revolution, Lineage 2 M, dan Lineage Red Knights. Ketiganya merupakan mobile game. Lineage 2 M — yang merupakan versi mobile dari Lineage II — diluncurkan pada 2019.

10. Monster Strike (2013) – per 2021 – US$9,3 miliar

Monster Strike menjadi mobile game kedua yang masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Diluncurkan pada 2013, Monster Strike dengan cepat menjadi populer di Jepang. Per Oktober 2018, total pemasukan dari game itu mencapai US$7,2 miliar. Ketika itu, Monster Strike berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar, menggeser Puzzle & Dragons yang sebelumnya memegang gelar tersebut.

Monster Strike. | Sumber: VentureBeat

Dari daftar di atas, saya mencoba untuk menarik beberapa kesimpulan. Pertama, di era sebelum konsol, penjualan mesin arcade menjadi sumber pemasukan terbesar untuk game. Dan walau tiga peringkat teratas diisi oleh game klasik, hal itu bukan berarti industri game menyusut. Data dari berbagai perusahaan riset menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, industri game terus berkembang.

Lalu, kenapa tidak ada game modern yang pemasukannya mengalahkan game klasik? Kemungkinan, hal ini terjadi karena banyaknya game yang tersedia di pasar. Jadi, total belanja yang dihabiskan oleh pemain juga terbagi ke jauh lebih banyak game. Sehingga, tidak ada satu game yang berhasil mendapatkan pemasukan yang sangat besar.

Kesimpulan kedua, pemasukan mobile game tidak kalah besar dari pemasukan game-game PC atau konsol. Buktinya, Honor of Kings dan Monster Strike berhasil masuk dalam daftar 10 game dengan penghasilan terbesar sepanjang masa, walau kedua game itu baru diluncurkan pada era 2010-an.

Kesimpulan lain yang bisa ditarik dari kesuksesan Honor of Kings dan Monster Strike adalah jika sebuah game berhasil sukses di pasar game yang besar, maka developer bisa fokus pada satu pasar itu saja. Honor of Kings sangat populer di Tiongkok dan Monster Strike di Jepang. Namun, keduanya tidak terlalu populer di dunia internasional. Meksipun begitu, keduanya tetap dapat meraup penghasilan miliaran dollar. Hal ini bisa terjadi karena Tiongkok merupakan pasar game terbesar, dan Jepang pasar game terbesar ketiga.

Kesimpulan terakhir, 6 dari 10 game dalam daftar di atas merupakan game free-to-play. Hal ini menunjukkan besarnya potensi dari model bisnis ini. Jadi, tidak heran jika sejumlah perusahaan game merombak model bisnis dari franchise lama mereka, seperti Konami yang meluncurkan eFootball sebagai game free-to-play.

Bagi developer game, salah satu daya tarik model bisnis free-to-play game adalah game tetap bisa memberikan pemasukan bertahun-tahun sejak game itu diluncurkan. Sementara jika developer menggunakan model bisnis game premium — jadi Anda cukup membeli game itu sekali dan Anda bisa memainkannya selamanya — mereka hanya punya dua kesempatan untuk mendapatkan pemasukan. Pertama, ketika mereka pertama kali meluncurkan game mereka. Kedua, saat mereka meluncurkan DLC.

10 Game dengan Angka Penjualan Terbesar

Selain total pemasukan, metrik lain untuk mengukur kesuksesan sebuah game adalah menghitung angka penjualan game tersebut. Berikut 10 game dengan angka penjualan tertinggi.

1. Tetris – 500+ juta unit

Menghitung angka penjualan Tetris tidak mudah, mengingat game ini pertama kali diluncurkan pada 1984. Menurut Digital Trends, penjualan fisik dari Tetris mencapai 70 juta unit. Sekitar 35 juta unit berasal dari paket bundling Tetris dengan Nintendo Game Boy. Setelah itu, Tetris diluncurkan di mobile, yang mendorong angka penjualan. Pada 2014, VentureBeat melaporkan bahwa game Tetris yang berbayar telah diunduh sebanyak 425 juta kali. Angka ini tidak mencakup versi gratis dari Tetris. Jadi, kemungkinan,  total penjualan Tetris bahkan lebih tinggi dari 500 juta unit.

2. Minecraft – 238+ juta unit

Ketika pertama kali diluncurkan pada 2009, Minecraft bisa dimainkan dengan gratis. Beberapa bulan kemudian, Minecraft dijual dengan sistem pre-order. Sekarang, Anda bisa memainkannya dengan gratis. Namun, jika Anda ingin memainkannya di PC atau konsol, Anda harus membelinya. Total penjualan dari Minecraft dari PC, konsol, dan mobile diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta unit.

Total penjualan Minecraft. | Sumber: Statista

3. Grand Theft Auto V – 150+ juta unit

Berdasarkan laporan keuangan Take-Two pada Q1 2020, sejak diluncurkan pada 2013, Grand Theft Auto V telah terjual sebanyak 135 juta unit. Sebanyak 15 juta unit terjual pada 2020. Per Agustus 2021, total penjualan GTA V menembus 150 juta unit. Angka ini mencakup penjualan GTA V di semua platform.

4. Wii Sports – 82,9 juta unit

Total penjualan Wii Sports mencapai 82,9 juta unit, menjadikannya sebagai salah satu game paling laris sepanjang masa. Namun, angka penjualan itu tidak menggambarkan kesuksesan game tersebut. Pasalnya, game itu memang dijual bersamaan dengan konsol Wii. Jadi, setiap orang yang membeli Wii akan mendapatkan game Wii Sports, tidak peduli apakah dia ingin membeli game tersebut atau tidak.

5. PUBG – 70+ juta unit

PlayerUnknwon’s Battlegrounds (PUBG) pertama kali diluncurkan pada 2017.  Hanya dalam waktu 4 tahun, game tersebut berhasil terjual sebanyak 70 juta unit. Dan angka penjualan PUBG masih menunjukkan angka naik. Tak hanya itu, PUBG juga cukup populer di mobile. Versi mobile dari PUBG telah diunduh sebanyak lebih dari 1 miliar kali. Hal ini menjadikan PUBG Mobile sebagai salah satu mobile game terpopuler sepanjang masa.

6. Super Mario Bros. – 48,24 juta unit

Super Mario Bros. diluncurkan pertama kali untuk Nintendo Entertainment System (NES). Ketika itu, game tersebut berhasil terjual sebanyak 40 juta unit. Setelah itu, game ini juga dirilis untuk beberapa konsol buatan Nintendo lainnya, seperti Game Boy Color, Game Boy Advance, dan Wii Virtual Console. Di ketiga platform tersebut, Super Mario Bros. terjual sebanyak 8 juta unit.

Super Mario Bros. untuk NES. | Sumber: Digital Trends

7. Pokemon Gen. 1 – 47,52 juta unit

Game Pokemon generasi pertama hadir dalam empat versi: Red, Blue, Yellow, dan Green. Di Jepang, ada dua game Pokemon generasi pertama, yaitu Red dan Green. Namun, untuk peluncuran global, Nintendo merilis tiga varian, yaitu Red, Blue, dan Yellow. Secara total, keempat game Pokemon generasi pertama terjual sebanyak 47,52 juta unit. Menurut Digital Trends, sekitar 46 juta unit dari game Pokemon generasi pertama terjual di Game Boy. Sementara sekitar 1,5 juta lainnya terjual melalui Nintendo 3DS Virtual Console.

8. Mario Kart 8/Deluxe – 45,53 juta unit

Mario Kart 8 adalah game Wii U dengan angka penjualan tertinggi. Meskipun begitu, total penjualan Mario Kart 8 di Wii U hanyalah 8,45 juta unit. Hal ini tidak aneh, mengingat Wii U hanya terjual sebanyak 13,56 juta unit per Desember 2019. Angka penjualan Mario Kart 8/Deluxe naik ketika Nintendo meluncurkan game itu di Switch. Di konsol itu, Mario Kart 8 Deluxe terjual sebanyak 37,08 juta unit, menurut Nintendo.

9. Wii Fit dan Wii Fit Plus 43,8 juta unit

Wii Fit dijual bersama aksesori Balance Board. Sesuai namanya, Wii Fit mengintegrasikan kegiatan olahraga ke dalam game, mendorong para pemilik Wii untuk menggerakkan badan mereka. Dan ternyata, “gameplay” ini terbukti populer. Wii Fit terjual sebanyak 22 juta unit. Sementara Wii Fit Plus — yang memiliki lebih banyak olahraga — terjual sebanyak 21 juta unit. Dengan begitu, Wii Fit menjadi game terpopuler ke-2 di Wii, hanya kalah dari Wii Sports.

10. Red Dead Redemption 2 – 38 juta unit

Red Dead Redemption 2 adalah salah satu game paling ambisius buatan Rockstar. Dan Rockstar berhasil membuat game open world dengan karakter yang realistis dan detail visual yang fantastis. Menurut ScreenRant, per Agustus 2021, game itu telah terjual sebanyak 38 juta unit.

Red Dead Redemption 2. | Sumber: Polygon

Dari daftar kali ini, salah satu hal yang bisa saya simpulkan adalah game klasik sekali pun tetap bisa populer jika ia diluncurkan di platform yang sesuai. Selain itu, angka penjualan sebuah game bisa didorong jika game tersebut diluncurkan di banyak platform, seperti yang dibuktikan oleh Minecraft dan Grand Theft Auto.

Selain menjadi salah satu game dengan angka penjualan terbanyak, GTA V juga merupakan salah satu game yang paling laris dalam waktu paling singkat. Ketika diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360, game itu terjual sebanyak 11,21 juta hanya dalam waktu 24 jam. Menariknya, Monster Hunter Rise menjadi salah satu game yang terjual dengan cepat. Dalam waktu 3 hari, game itu terjual sebanyak 4 juta unit. Padahal, game tersebut hanya tersedia untuk Switch, setidaknya untuk saat ini.

10 Mobile Game dengan Pemasukan Paling Besar

Jika dibandingkan dengan jumlah gamers PC dan konsol, jumlah mobile gamers jauh lebih banyak. Namun, spending yang dikeluarkan oleh para mobile gamers belum tentu sebesar total belanja dari gamers konsol dan PC. Karena itu, di segmen ini, saya ingin fokus pada mobile game untuk melihat berapa banyak pemasukan yang bisa didapat oleh mobile game.

1. Honor of Kings (2015) – US$10 miliar

Seperti yang sudah saya sebutkan, Honor of Kings merupakan mobile game pertama yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$10 miliar. Saat ini, game itu merupakan game paling sukses dari Tencent. Dan ke depan, Honor of Kings akan tetap berkontribusi pada pemasukan Tencent. Pasalnya, sampai saat ini, game tersebut masih punya 100 juta pemain aktif harian.

Honor of Kings sangat sukses di Tiongkok. Pada 2018, 98% pemasukan dari game ini berasal dari gamers di Tiongkok. Begitu suksesnya Honor of Kings sehingga ia disebut sebagai sebagai “candu”. Dan hal ini mendorong pemerintah Tiongkok untuk memperketat regulasi terkait waktu bermain anak dan remaja di bawah umur.

2. Monster Strike (2013) – US$9,3 miliar

Monster Strike diluncurkan pada Agustus 2013 oleh developer Jepang Mixi. Game ini merupakan game RPG dengan elemen puzzle serta fitur multiplayer. Monster Strike sangat populer di Jepang. Selain di Jepang, game ini juga diluncurkan di Amerika Utara, Taiwan, dan Korea Selatan. Hanya saja, Monster Strike tidak begitu populer di negara-negara itu.

Namun, spending dari para gamers di Jepang sudah cukup untuk membuat Monster Strike menjadi salah satu mobile game dengan pemasukan terbesar speanjang masa. Faktanya, pada 2014, game itu menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar. Mixi — yang dulunya dikenal dengan nama XFLAG —  bahkan mengaku bahwa Monster Strike menyelamatkan mereka dari kebangkrutan.

3. Clash of Clans (2012) – US$7,7 miliar

Clash of Clans pertama kali diluncurkan untuk iOS pada Agustus 2012. Satu tahun kemudian, Supercell meluncurkan game ini di Android. Clash of Clans adalah game buatan Supercell yang paling sukses. Faktanya, kesuksesan Clash of Clans yang membuat nama Supercell menjadi sangat dikenal seperti sekarang. Setelah sukses dengan Clash of Clans, Supercell meluncurkan empat game spin-off dari game tersebut, yaitu Clash Royale, Clash Mini, Clash Quest, dan Clash Heroes.

4. Candy Crush Saga (2012) – US$6,4 miliar

Pada awalnya, Candy Crush Saga diluncurkan sebagai broswer game. Kemudian, game ini diluncurkan di iOS pada November 2012 dan di Android pada Desember 2012. Candy Crush dianggap sebagai salah satu mobile game dengan model freemium yang paling sukses. Memang, Anda bisa memainkan game match-three puzzle ini tanpa harus mengeluarkan uang. Namun, para pemain tetap terdorong untuk membeli item dalam game karena item membantu membantu mereka untuk melalui level yang sulit.

5. PUBG Mobile (2018) – US$6,2 miliar

PUBG adalah salah satu pelopor genre battle royale. Versi PC dari PUBG dirilis pada 2017. Satu tahun kemudian, pada Maret 2018, PUBG Mobile diluncurkan. Pada awalnya, PUBG menghadapi persaingan ketat dengan Fortnite, yang juga mengadopsi genre battle royale. Namun, PUBG berhasil bertahan dan menjadi salah satu game battle royale paling sukses di mobile.

Di Tiongkok, Tencent menjadi publisher dari PUBG. Pada awalnya, mereka juga menghadapi masalah. Pasalnya, regulator Tiongkok tengah memperketat peraturan terkait peluncuran dan monetisasi game baru. Tencent dilarang untuk memonetisasi PUBG Mobile karena game itu dianggap melanggar peraturan terkait kekerasan dalam game. Pada akhirnya, PUBG Mobile ditarik dari Tiongkok dan diluncurkan kembali dengan nama Peacekeeper Elite atau Game for Peace.

Battleground India Mobile adalah versi India dari PUBG Mobile.

Tak hanya di Tiongkok, PUBG Mobile juga mengalami masalah di beberapa negara lain, termasuk India, yang merupakan salah satu pasar terbesar untuk PUBG Mobile. Alasan pemerintah India menarik PUBG Mobile dari App Store dan Play Store adalah karena mereka khawatir akan keamanan siber dari game itu. Selain itu, mereka juga khawatir Tiongkok akan menyadap data pemain PUBG Mobile, mengingat game itu dinaungi oleh Tencent sebagai publisher. Hal ini mendorong Krafton untuk menjadi publisher dari PUBG Mobile di India. Setelah PUBG Mobile dilarang, Krafton meluncurkan kembali game itu dengan nama Battlegrounds India Mobile.

6. Puzzle & Dragons (2012) – US$5,6 miliar

Sejak diluncurkan pada Februari 2012, Puzzle & Dragons itu telah diunduh sebanyak 80 juta kali. Tidak hanya itu, game ini juga merupakan mobile game pertama yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar. Jepang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan dari Puzzle & Dragons. Saat ini, pemasukan game ini memang menunjukkan tren turun. Namun, setiap bulan, pemasukan Puzzle & Dragons tetap mencapai puluhan juta dollar.

7. Fate/Grand Order (2015) – US$5,4 miliar

Fate/Grand Order adalah game RPG buatan Aniplex yang didasarkan pada franchise Fate/stay night dari Type-Moon. Game ini pertama kali diluncurkan untuk Android di Jepang pada Juli 2015. Dua minggu kemudian, game tersebut dirilis untuk iOS. Versi bahasa Inggris dari game ini diluncurkan pada Juni 2017.

Game Fate/Grand Order sangat populer di Jepang. Faktanya, gamers Jepang memberikan kontribusi 82% dari total pemasukan game itu. Pemasukan Fate/Grand Order mencapai lebih dari US$5 miliar, menjadikannya sebagai salah satu mobile game Sony yang paling populer. Pasalnya, Aniplex merupakan bagian dari Sony Music Entertainment di Jepang.

8. Pokemon Go (2016) – US$5,2 miliar

Diluncurkan pada Juli 2016, Pokemon Go dengan cepat menjadi fenomena di seluruh dunia. Salah satu daya tarik dari game ini adalah elemen Augmented Reality yang developer Niantic integrasikan pada game ini. Gameplay Pokemon Go juga mendorong para pemainnya untuk berjalan-jalan dan menjelajah di dunia nyata. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan mobile game, yang  biasanya membuat para pemainnya duduk diam.

9. Fantasy Westward Journey (2015) – US$4,7 miliar

Fantasy Westward Journey merupakan mobile game yang diadaptasi dari game MMORPG untuk PC dengan judul yang sama. Versi PC dari game itu diluncurkan pada Desember 2001. Sementara versi mobile dari Fantasy Westward Journey dirilis untuk iOS dan Android pada Maret 2015.

Fantasy Westward Journey 3D bakal diluncurkan dalam waktu dekat. | Sumber: Twitter

Pada 2016, Fantasy Westward Journey berhasil menjadikan developer NetEase sebagai perusahaan mobile game dengan pemasukan terbesar. Sampai sekarang, game itu tetap memberikan kontribusi besar pada pemasukan NetEase. Faktanya, di Tiongkok Fantasy Westward Journey sering masuk ke dalam daftar game dengan players spending setiap bulan. Biasanya, game ini ada di peringkat 2, kalah dari Honor of Kings.

10. Lineage M (2017) – US$3,5 miliar

Lineage M diriliis pada 2017. Game ini merupakan versi mobile dari MMORPG Lineage yang diluncurkan pada 1998. Di Korea Selatan, Lineage adalah salah satu franchise paling populer. Jadi, tidak heran jika hanya dalam waktu tujuh jam sejak ia diluncurkan, Lineage M berhasil menjadi game paling populer di App Store Korea Selatan.

Dalam waktu sebulan sejak peluncuran, Lineage M berhasil mendapatkan US$233 juta. Pemasukan game itu menembus US$1 miliar pada Juni 2018. Seperti yang disebutkan oleh Pocket Gamer, sampai sekarang, Lineage M adalah salah satu game paling menguntungkan untuk developer NCSoft.

Dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa, umur mobile game yang masuk dalam daftar tersebut relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan game-game dalam daftar game dengan pemasukan terbesar. Tidak heran, mengingat mobile adalah platform yang relatif baru dari konsol atau PC. Meskipun begitu, semua mobile game itu memiliki pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Hal menarik lainnya yang dapat disimpulkan dari daftar mobile game dengan pemasukan terbesar adalah beragamnya genre dari game yang masuk daftar tersebut. Di satu sisi, game-game seperti Honor of Kings, PUBG Mobile, dan Lineage M merupakan game dengan gameplay yang ditujukan untuk hardcore gamers. Di sisi lain, game-game kasual — seperti Monster Strike, Candy Crush Saga, dan Puzzle & Dragons — juga berhasil masuk dalam daftar. Hal ini menjadi bukti bahwa game kasual pun punya pasar yang tidak kalah besar.

Sumber header: PC Mag

Bagaimana Hiburan dan Teknologi Diharapkan Membentuk Budaya yang Ideal?

Bagi sebagian orang tua, game adalah momok nomor satu, sumber dari segala masalah pada anak mereka. Anak malas belajar? Pasti karena game. Anak tidak mau mendengarkan orang tua? Pasti karena game. Anak senang bertengkar? Pokoknya, pasti karena game. Dan karena game adalah sumber dari semua masalah pada anak — terlepas dari fakta bahwa sekarang, game juga menjadi alat komunikasi — maka pemerintah seharusnya melarang anak bermain game.

Pemerintah Tiongkok mengabulkan harapan orang tua tersebut. Pada 1 September 2021, National Press and Publication Administration (NPPA) mengeluarkan regulasi baru terkait lama waktu main gamers di bawah umur. Dalam regulasi itu, anak dan remaja di bawah umur hanya bisa bermain game selama 3 jam seminggu dari 13,5 jam per minggu. Kami pernah membahas tentang efektivitas serta dampak dari regulasi itu pada industri game dan esports di sini.

Sekarang, saya akan membahas tentang bagaimana pembatasan waktu main game anak dan remaja hanyalah salah satu bagian dari usaha pemerintah Tiongkok untuk mengubah budaya masyarakat. Pasalnya, dalam beberapa bulan belakangan, pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait game, tapi juga sektor lain, termasuk hiburan dan teknologi.

Apa Saja Perubahan yang Pemerintah Tiongkok Lakukan?

Pembatasan waktu main untuk gamers di bawah umur bukan satu-satunya regulasi di industri game yang pemerintah Tiongkok ubah. Mereka juga memperketat proses peninjauan untuk game yang hendak diluncurkan di Tiongkok. Selama ini, game yang hendak diluncurkan di Tiongkok memang harus ditinjau lebih dulu oleh pemerintah. Untuk mendapatkan persetujuan pemerintah, sebuah game harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari bahasa yang digunakan — game harus menggunakan bahasa Mandarin — sampai isi konten dalam game. Dan sekarang, peraturan itu diperketat.

Hal ini dikabarkan oleh South Morning China Post, berhasil mendapatkan memo internal dari asosiasi gaming di bawah pemerintah Tiongkok. Dalam memo itu, disebutkan bahwa game bukanlah “hiburan murni”. Karena itu, konten dalam game harus menunjukkan nilai yang “benar”, sesuai dengan sejarah dan budaya Tiongkok. Dalam memo itu juga disebutkan bahwa game yang menampilkan pria kemayu atau cerita romantis antara sesama jenis akan dilarang untuk diluncurkan.

“Jika gender dari sebuah karakter ambigu dan tidak bisa langsung diketahui dari penampilan karakter, maka desain karakter itu akan dianggap bermasalah dan game tersebut akan ditandai,” tulis memo itu, seperti dikutip dari Games Industry. Selain tentang penampilan karakter, pemerintah Tiongkok juga melarang game berbau kekerasan yang memberikan pilihan pada pemain untuk menjadi “orang baik” atau “orang jahat.”

“Beberapa game punya konsep moral yang ambigu. Pemain bisa memilih apakah mereka ingin menjadi orang baik atau orang jahat… Tapi, kami merasa, pilihan itu tidak seharusnya diberikan pada para pemain. Jadi, hal ini harus diubah,” tulis memo tersebut.

Ke depan, pemerintah TIongkok akan melarang munculnya karakter laki-laki yang tidak maskulin.

Meskipun pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait industri game, hal itu bukan berarti industri game dianaktirikan. Faktanya, pemerintah Tiongkok memang tengah sibuk untuk memperkencang regulasi di berbagai bidang. Salah satunya adalah sektor hiburan.

Pada 2 September 2021, National Radio and Television Administration (NRTA) memberitahu perusahaan TV dan plaatform internet bahwa mereka harus menyeleksi artis dan bintang tamu yang hadir dalam acara mereka dengan ketat. Aktor atau musisi yang hadir dalam sebuah program tidak hanya harus punya reputasi dan perilaku yang baik, mereka juga harus punya pandangan politik yang benar, sejalan dengan pemerintah Tiongkok.

Selain itu, NRTA juga merilis rencana untuk mengubah regulasi di dunia hiburan. Rencana itu terdiri dari delapan poin, yaitu:

1. Radio, TV, dan platform internet tidak boleh mempekerjakan atau mengundang orang yang punya pandangan politik yang salah, pernah melanggar hukum, atau membahas topik yang bertentangan dengan moral dan regulasi.

2. Mereka tidak boleh menampilkan program yang dibintangi oleh selebriti cilik. Program hiburan harus punya sistem voting yang ketat. Program itu tidak boleh meminta fans untuk menghabiskan uang atau menjadi anggota dari grup tertentu agar mereka bisa memberikan suara para idola mereka.

3. Mereka harus mempromosikan budaya tradisional serta menciptakan standar kecantikan yang benar. Mereka juga tidak boleh membahas gosip, menampilkan pria kemayu serta selebriti vulgar atau selebriti yang terlalu memamerkan kekayaannya.

4. Mereka tidak boleh memberikan gaji yang terlalu tinggi pada para pelaku dunia hiburan. Mereka harus membuat peraturan terkait berapa besar bayaran yang sebuah acara hiburan bisa berikan pada tamunya. Mereka harus mendorong selebriti untuk ikut serta dalam acara amal dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kontrak ilegal atau orang-orang yang menghindari pajak.

5. Mereka harus membuat peraturan untuk orang-orang yang bekerja di dunia hiburan. Mereka juga harus memberikan pelatihan profesional serta pengajaran tentang moral. Pembawa acara TV harus punya lisensi dan kegiatan mereka di media sosial diawasi.

6. Mereka harus mendorong munculnya komentar profesional akan dunia hiburan. Nilai yang harus mereka tekankan adalah pandangan politik yang benar dan menghindari rumor atau komentar jahat. Sebaliknya, mereka harus membangun budaya yang ramah dan positif.

7. Asosiasi hiburan harus mengkritik artis, penyanyi, dan seniman yang memberikan contoh buruk memberikan pelatihan yang lebih banyak, dan memastikan semua orang mematuhi peraturan yang telah dibuat.

8. Regulator harus bisa bertanggung jawab dengan mendengarkan keluhan dari masyarakat dan memberikan jawaban dari keluhan tersebut.

Salah satu karakteristik pria kemayu menurut Beijing adalah penggunaan make-up. | Sumber: Koreaboo

Regulasi yang pemerintah Tiongkok tetapkan untuk industri game dan hiburan punya satu poin yang sama, yaitu larangan untuk menampilkan pria kemayu alias sissy men. Salah satu kriteria dari “pria kemayu” yang dimaksud oleh pemerintah Tiongkok adalah laki-laki yang menggunakan make-up atau memiliki gaya yang tidak maskulin, berbeda dengan budaya tradisional Tiongkok.

Memang, tidak semua artis laki-laki Tiongkok punya gaya yang maskulin. Sebagian dari mereka memiliki fashion yang terinspirasi dari aktor dan penyanyi Jepang serta Korea Selatan. Titah pemerintah Tiongkok untuk melarang konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka tidak ingin artis atau karakter dalam game untuk memberikan contoh image laki-laki yang tidak maskulin, menurut laporan South China Morning Post.

Pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait pelaku industri hiburan dan game, tapi juga para fans, khususnya penggemar yang terlalu memuja idolanya. Salah satu bentuk nyata yang pemerintah Tiongkok terapkan adalah melarang remaja ikut serta dalam fan club. Memang, nilai perputaran uang karena kegiatan fans cukup besar. Menurut laporan iResearch Consulting Group pada 2020, besar uang yang terlibat dalam kegiatan fans mencapai CNY4 triliun atau sekitar Rp8.873 triliun pada 2019. Dan angka itu diperkirakan akan naik menjadi CNY6 triliun (sekitar Rp13.300t riliun) pada 2023.

Selain melarang remaja untuk ikut serta dalam fan clubs, pemerintah juga melarang mereka untuk ikut serta dalam voting atau menghabiskan uang untuk mendukung idola mereka. Misalnya, seorang artis menjadi juru bicara dari merek perusahaan tertentu. Fans remaja dilarang untuk membeli produk yang dipromosikan oleh artis itu. Alasan pemerintah melakukan hal ini adalah karena mereka tidak ingin kehidupan para remaja menjadi rusak karena mereka aktif dalam fandom.

Bagi para agensi selebriti, pemerintah Tiongkok mengharuskan mereka untuk aktif dalam mengawasi gerak-gerik fans club. Tak hanya itu, badan agensi selebriti juga diminta untuk mencegah para fans bertengkar dengan satu sama lain. Pemerintah Tiongkok juga menghapuskan ranking selebriti, yang sangat populer di Tiongkok. Pemerintah hanya mengizinkan keberadaan daftar musik atau film terpopuler jika daftar itu tidak menyebutkan nama musisi atau aktor dan aktris yang terlibat secara langsung.

Fan culture akan dibatasi. | Sumber: China Daily

Pemerintah Tiongkok memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan lain sebagainya bukan tanpa alasan. Mereka melakukan hal itu karena mereka ingin mengubah tatanan masyarakat. Peixin Cao, profesor di Communication University of China, institusi yang telah mengedukasi banyak talenta dunia hiburan di Tiongkok mengatakan bahwa di dunia hiburan Tiongkok, memang ada selebriti yang melakukan tindakan ilegal atau amoral di bidang politik, ekonomi, atau di ranah pribadi. Jadi, tidak heran jika pemerintah memperketat regulasi terkait dunia hiburan.

Cao mengungkap, selama ini, memang ada grup orang tua dan peneliti ilmu sosial yang ingin agar pemerintah melakukan intervensi di dunia hiburan. Mereka tidak ingin generasi muda terkena dampak buruk dari dunia hiburan. Sayangnya, selama ini, para pelaku dunia hiburan bisa memanfaatkan kekuatan ekonomi dan pengaruh media mereka untuk membungkam suara grup tersebut.

“Saya percaya, masyarakat umum juga merasa tidak suka dengan etos kerja yang buruk di dunia hiburan,” ujar Cao, seperti dikutip dari The Guardian. “Orang tua dari remaja mungkin akan lebih merasakan ketidakpuasan tersebut.”

Apakah Konten Memang Bisa Mempengaruhi Pola Pikir Masyarakat?

Konten jadi salah satu fokus dari regulasi baru pemerintah Tiongkok di dunia hiburan dan industri game. Contohnya, larangan untuk menampilkan pria kemayu. Pemerintah Tiongkok menetapkan hal itu karena mereka ingin agar opini dan pandangan masyarakat tetap sesuai dengan budaya tradisional Tiongkok, yaitu laki-laki harus tampil maskulin. Pertanyaannya, apakah konten yang dikonsumsi oleh masyarakat — seperti film dan game — bisa mempengaruhi pemikiran mereka?

Dalam Critical Media Literacy and Transformative Learning: Drawing on Pop Culture and Entertainment Media in Teaching for Diversity in Adult Higher Education, disebutkan bahwa media hiburan dan pop culture memang bisa dijadikan alat untuk membuat orang dewasa berpikir kritis. Tak hanya itu, media hiburan juga bisa digunakan untuk mengajarkan pesan tertentu pada orang dewasa.

Jurnal itu juga menyebutkan, media bisa digunakan sebagai alat edukasi jika konsumen — penonton atau pemain — mau mencerna konten dengan pikiran kritis dan memikirkan pesan yang disampaikan dalam konten. Sebaliknya, media justru bisa memberikan pesan yang salah jika konsumen mencerna konten begitu saja, tanpa berusaha untuk mengerti pesan dalam media yang dia konsumsi. Jadi, media bisa digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu ke penonton atau pemain. Apakah pesan itu baik atau buruk tergantung pada kreator dari konten itu sendiri.

Aktor berkulit hitam dan perempuan masih mendapat diskriminasi di Hollywood. | Sumber: Variety

Contohnya, dalam film, orang-orang berkulit warna sering digambarkan sebagai kriminal atau pecandu narkoba. Hal ini bisa memperkuat stereotipe bahwa orang-orang berkulit hitam atau cokelat memang orang berbahaya. Kabar baiknya, media juga bisa digunakan untuk membuat konsumen sadar akan isu tertentu. Seperti film An Incovenient Truth yang membahas topik tentang pemanasan global. Media memang selalu punya pesan tertentu; baik atau buruk. Yang paling penting, konsumen bisa mengonsumsi media dengan kritis.

Tak hanya film, game juga dianggap bisa mempengaruhi para pemainnya. Karena itu, sebagian kreator game berusaha untuk menyisipkan idealisme mereka dalam game yang mereka buat. Salah satu topik yang menarik para peneliti di bidang psikologis adalah pengaruh game dengan tema kekerasan pada tingkat agresivitas remaja.

Ada banyak studi yang mempelajari hubungan antara agresi remaja dengan game dengan kekerasan. Salah satu model riset yang digunakan adalah General Aggression Model (GAM) oleh Anderson et al. Berdasaarkan studi itu, bermain game dengan kekerasan memang bisa membuat pemainnya menjadi lebih agresif. Beberapa studi lain juga menyebutkan, memainkan game dengan kekerasan bisa memicu sifat agresif pada remaja.

Namun, tidak semua peneliti setuju dengan temuan tersebut. Sejumlah peneliti bahkan mencoba untuk menawarkan sudut pandang baru. Berdasarkan studi Sherry (2001), dampak game dengan kekerasan pada tingkat agresi di remaja tidak besar. Sementara Ferguson (2007) justru menganggap, ada publication bias pada penelitian-penelitian tentang hubungan bermain game dengan kekerasan dan agresi remaja. Publication bias muncul ketika artikel dengan hasil negatif punya kesempatan lebih besar untuk dirilis daripada artikel dengan hasil positif.

Setelah mengajukan ide itu, Ferguson lalu melakukan penyesuaikan publication bias pada studi-studi yang telah dirilis. Hasilnya, studi-studi itu tidak bisa membuktikan hipotesa mereka bahwa game dengan kekerasan memang meningkatkan tingkat agresivitas seseorang. Kemudian, dia mencoba untuk membuat model studi baru yang berbeda dari GAM, yaitu Catalyst Model (CM).

Berdasarkan model CM, faktor genetika seseorang punya pengaruh pada tingkat agresivitas mereka. Orang-orang yang memang memiliki sifat agresif punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan dalam situasi yang menyebabkan stres. Sementara faktor eksternal, seperti game dengan kekerasan, bukan penyebab seseorang menjadi agresif, tapi merupakan katalis yang bisa memicu sifat agresif dalam diri seseorang. Sejumlah studi juga menunjukkan, tingkat agresivitas pada remaja tidak disebabkan oleh eksposur pada game dengan tema kekerasan, tapi oleh kepribadian anti-sosial, tekanan dari teman, atau kekerasan dalam keluarga.

Banyak psikologis yang tertarik mempelajari hubungan antara game dengan kekerasan dan tingkat agresivitas pada pemain. | Sumber: Financial Times

Studi dengan GAM dan CM menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dalam The Relation of Violent Video Games to Adolescent Aggression: An Examination of Moderated Mediation Effect, peneliti Rong Shao dan Yunqiang Wang mencoba untuk menggabungkan hasil penelitian menggunakan model GAM dan CM. Dalam jurnal itu tertulis, eksposur pada game dengan kekerasan memang punya pengaruh pada sifat agresif pada remaja. Namun, pengaruh tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu pemahaman remaja akan kekerasan itu sendiri dan faktor keluarga.

Remaja dengan lingkungan keluarga yang positif biasanya punya sifat ringan tangan dan tidak mudah marah, apalagi sampai menyerang orang lain. Mereka juga lebih memperhatikan moral. Aspek-aspek positif ini membantu mereka untuk memahami kekerasan dalam game dengan sudut pandang yang benar. Karena itu, ketika mereka bermain game dengan kekerasan sekalipun, dampak yang mereka alami minimal.

Sebaliknya, remaja yang hidup di lingkungan keluarga negatif biasanya punya kecenderungan untuk mudah marah dan menyerang orang lain. Karena itu, dampak yang mereka rasakan dari bermain game dengan kekerasan pun menjadi lebih besar. Dari penelitian ini, bisa disimpulkan, sikap agresif pada remaja disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya oleh faktor internal — seperti genetika — tapi juga faktor eksternal, seperti keadaan keluarga dan eksposur pada game dengan kekerasan.

Dampak Regulasi Tiongkok yang Ketat

Perubahan regulasi oleh pemerintah Tiongkok menuai tanggapan yang beragam di masyarakat. Di satu sisi, sebagian orang tua merasa senang dengan keputusan pemerintah karena mereka memang menganggap, waktu bermain anak harus dibatasi. Di sisi lain, sebagian orang skeptis akan efektivitas dari regulasi baru dari pemerintah. Pasalnya, masih ada celah dalam peraturan baru dari pemerintah. Anak dan remaja yang ingin bermain game online di luar waktu yang telah ditentukan bisa menggunakan akun dari orang dewasa. Selain itu, pemerintah hanya mengatur waktu main game online, tapi tidak dengan game offline.

“Regulasi ini tidak akan efektif dalam jangka panjang,” ujar Xiaoning Lu, Reader in Modern Chinese Culture and Language, SOAS. “Anak-anak mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar cara mengekspresikan diri atau mendisiplinkan diri.” Menurutnya, keputusan pemerintah Tiongkok juga menunjukkan kemalasan pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih sesuai.

Ketika ditanya apakah perubahan regulasi yang pemerintah lakukan di segala sektor merupakan usaha mereka untuk melakukan revolusi budaya, Xiaoning menjawab tidak. Dia menyebutkan, apa yang ingin pemerintah Tiongkok lakukan adalah menghidupkan kembali budaya sosialis. “Tiongkok punya sejarah panjang tentang bagaimana budaya digunakan oleh pemerintah untuk membentuk opini masyarakat dan demi menciptakan ‘warga ideal’,” ujarnya pada Aljazeera.

Sementara itu, William Yang, East Asia Correspondent, DW News dan President, Taiwan Foreign Correspondents’ Club merasa, keputusan pemerintah untuk memperketat regulasi di banyak sektor adalah usaha mereka untuk mencegah pihak non-pemerintah — seperti pop culture icon atau taipan — untuk menggerakkan massa dalam jumlah banyak. “Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pemerintah mencoba untuk menghapus fans club online. Alasannya, sebagian dari grup-grup itu terbukti bisa melakukan mobilisasi dan melakukan sesuatu yang dianggap ‘di luar kendali’ oleh pemerintah,” kata Yang.

Salah satu alasan mengapa pemerintah fokus untuk menghapus konten pria kemayu, pria yang tidak tampil maskulin layaknya laki-laki di budaya tradisional Tiongkok, adalah karena mereka khawatir akan pengaruh dari budaya Korea Selatan,” ungkap Yang. “Para bintang K-Pop menciptakan fenomena dan budaya fandom yang berpotensi menimbulkan disrupsi. Dalam waktu singkat, para fans K-Pop bisa mengumpulkan banyak uang untuk melakukan sesuatu yang ‘tidak bisa dikendalikan’, menurut pemerintah. Karena itulah, pemerintah menerapkan peraturan yang ketat.”

Salah satu contoh mobilisasi fans K-Pop adalah ketika fans Lisa dari BlackPink mengumpulkan dana sebesar CNY3 juta (sekitar Rp6,6 miliar) pada Desember 2020. Dana itu dikumpulkan untuk merayakan ulang tahun Lisa pada Maret 2021. Dan hal ini tidak hanya terjadi satu kali. Untuk merayakan ulang tahun Lisa di 2020, fans di Tiongkok mengumpulkan uang sebesar CNY1 juta (sekitar Rp2,2 miliar) untuk disumbangkan ke badan amal, lapor All Kpop.

Fans K-Pop bisa mengumpulkan dana dalam waktu cepat. | Sumber: Tirto

Lebih lanjut, Xiaoning menjelaskan, ada perbedaan fundamental tentang ekspektasi pemerintah akan selebriti di Tiongkok, yang memiliki budaya sosialis, dan di negara-negara Barat, yang mengadopsi budaya kapitalis. Di Tiongkok, selebriti tidak hanya dikagumi berkat film, musik, dan konten yang mereka hasilkan. Para selebriti juga dituntut untuk bisa menjaga integritas moral mereka dan menjadi contoh yang baik untuk masyarakat. Karena itulah, pemerintah menganggap selebriti yang punya skandal seksual atau pernah menghindari pajak sebagai sosok yang bermasalah.

Pemerintah Tiongkok punya alasan internal dan eksternal untuk memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan sektor lain, menurut Hongwei Bao dari University of Nottingham. Krisis demografi menjadi faktor internal. Saat ini, Tiongkok tengah menghadapi krisis demografi, berupa umur demografi yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah.

Pada 2020, tingkat pertumbuhan populasi di TIongkok hanya mencapai 5,38%, yang merupakan rekor terendah sejak mereka melakukan sensus modern pada 1953, menurut laporan Reuters. Tak hanya itu, angka kelahiran di Tiongkok juga sangat rendah, hanya 1,3 anak per perempuan. Angka ini sama seperti angka kelahiran di Jepang dan Italia, yang juga mengalami masalah penuaan demografi. Krisis demografi ini disebabkan oleh peraturan yang pemerintah tetapkan pada 1970-an. Berdasarkan peraturan itu, satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Dampak dari peraturan tersebut kini mulai dirasakan.

Senada dengan Bao, China Tech Investor Podcast, Elliott Zaagman juga mengungkap hal yang sama. Alasan mengapa pemerintah Tiongkok ingin menghapuskan konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka ingin mendorong masyarakat untuk menikah dan memiliki anak. “Regulator di Beijing mungkin agak panik karena krisis demografi yang lebih parah dari yang mereka kira. Jadi, mereka mau melakukan apa saja untuk mendorong masyarakat agar mereka mau memiliki anak,” ujar Zaagman. “Nilai maskulinitas tradisional adalah menikah dan memiliki anak.”

Sementara itu, faktor eksternal yang menyebabkan Tiongkok merasa harus memperketat regulasi di berbagai sektor adalah hubungan antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang memburuk. Hal ini justru membuat rasa nasionalisme masyarakat Tiongkok naik.

“Kita semakin sering melihat naratif ‘Tiongkok vs negara Barat’, baik di dalam maupun di luar Tiongkok. Jika tren ini bertahan, kemungkinan besar, Beijing akan mencoba untuk menonjolkan karakteristik unik mereka sebagai negara jika dibandingkan dengan negara-negara di Barat atau negara Asia lainnya,” ujar Bao.

Penutup

Beberapa dekade belakangan, Tiongkok telah melalui transformasi ekonomi dan sosial. Karena itu, nilai budaya mereka mulai berubah. Namun, sekarang, pemerintah Tiongkok ingin menghidupkan kembali budaya sosialis. Untuk itu, mereka memperketat regulasi di berbagai sektor, termasuk game dan dunia hiburan. Pemerintah Tiongkok tampaknya ingin menggunakan budaya sebagai alat untuk membentuk opini masyarakat.

Keputusan ekstrem pemerintah Tiongkok ini didasarkan pada berbagai alasan, seperti krisis demografi dan antagonisme antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang semakin memburuk. Selama ini, peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok bersifat absolut. Hanya saja, sekarang, tetap ada pihak yang mempertanyakan efektivitas dari regulasi itu.

Sumber header: The Wire

Teknologi di Esports dan Olahraga: Cheat dan Regulasi

Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.

Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.

Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?

Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.

Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.

PUBG Mobile punya rulebook tersendiri.

Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.

Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.

Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.

“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.

Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.

Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.

Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.

“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”

Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.

Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.

Contoh Aksesori di Dunia Esports

Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaming gloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.

Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compression sleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.

POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.

Celana POINT3 yang bisa menyerap keringat. | Sumber: Inven Global

Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.

Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”

Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.

Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.

“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.

Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.

Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.

Garmin Instinct Esports Edition.

Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.

Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.

Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.

Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.

Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.

Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.

Compression sleeves dari ASUS ROG. | Sumber: ASUS

“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”

Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.

Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”

Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.

Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?

Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.

Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.

Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan  beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.

Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.

Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.

Baju renang polyutherane. | Sumber: Deutsche Welle

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.

Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.

“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”

Kesimpulan

Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.

Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.

Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.

Sumber header: Trend Hunter

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

The History of Dota 2 and The International: From a Fan-Made Mod to One of the Largest Esports in the Entire World

The local Dota 2 esports scene in Indonesia has been dying for the past few years. Simply put, mobile games are far more popular and successful in the country, which is why a majority of esports organizations left the PC gaming genre. Despite this, Dota 2 is still considered in many other countries to be the most superior game in the world. The International, for instance, consistently breaks the largest prize pool record in esports every single year. Furthermore, hundreds of thousands of players still actively play Dota 2, despite the game already being more than 8 years old.

Here’s the history of Dota 2 and how The International became the greatest global tournament in esports.

The History of Dota 2

It all started with Aeon of Strife, which is considered the first MOBA game. Aeon of Strife is a fan-made mod for StarCraft: Brood War. The mod became so popular that Blizzard included it in Warcraft 3. The gameplay and experience of playing Aeon of Strife are largely different from today’s MOBA game standards. However, Aeon of Strife follows the basic principles of most MOBAs. For example, the primary objective in Aeon of Strife is still to destroy the enemy base. In addition, the map also follows the three-lane layout of the MOBA map design. However, unlike most MOBAs out there, Aeon of Strife only has 4 players in each team instead of 5. There is also no PvP feature, as RedBull mentioned, so players can only fight against AIs.

Aeon of Strife is considered to be the first MOBA game. | Source: Hive Workship

If Aeon of Strife was the forerunner of the MOBA genre, Defense of the Ancients (DotA) is the game that pioneered Dota 2. Just like Aeon of Strife, DotA also originates as a mod. DotA was created as a mod for Warcraft 3 by a modder named Kyle “Eul” Sommer. The DotA mod is not very different from today’s version of Dota 2. In DotA, 10 players battle it out in 2 teams of 5 to destroy the enemy’s base. Despite the massive popularity of the DotA mod in the Warcraft community, Eul decided to leave the project behind. He also once tried to create a sequel to DotA, but this never came to fruition either. Ultimately, Eul handed the ownership of DotA to Valve.

The success of the DotA mod inspired many people to make their own version of the game. DotA: Allstars, for instance, is one of the twists that became very popular. DotA: Allstars was also created by a Warcraft modder, and his name is Steve “Guinsoo” Feak. This version of DotA is, by far, the closest resemblance to the Dota 2 game we all know today. In fact, many people even considered Allstars to be the original DotA mod since it is the version that is used in professional matches at that time.

After the success of Allstars, Guinsoo and Steve “Pendragon” Mescon — who created the DotA community center — soon joined Riot Games to assist them in developing League of Legends, and left DotA: Allstars in IceFrog’s hands. IceFrog undoubtedly has played a significant role in the entire history of DotA. Granted, he didn’t originally create Allstars or overhaul the mod, but he did create many new contents for Allstars after Guinsoo and Mescon left. Furthermore, IceFrog also ensures that the gameplay of Allstars remains balanced and that no characters are too overpowered.

At that time, DotA’s success can only happen because of the fans. The game was made by fans, for the fans, and was made big by the fans. However, things changed when League of Legends was launched in 2009 and Heroes of Newerth in 2010. The launch of these two games showed that the MOBA genre has great potential. If DotA wants to exist and compete with these two giants, it most certainly needs assistance from big gaming companies. 

Fortunately, Valve came to the rescue.

Valve partnered with IceFrog to create Dota 2.

In 2009, Valve announced that they will be teaming up with IceFrog. At that time, there were rumors that Valve wanted to develop a MOBA game through the partnership. However, it was only in 2010 that Valve revealed the Dota 2 project. A year later, in 2011, the beta version of Dota 2 was released and provided access to several media outlets. The beta development was a tremendous success, receiving an overall positive response from the beta testers.

Unfortunately, problems arose when Valve registered the word “DOTA” as a trademark in 2012. This decision marked the beginning of Valve’s extensive legal battle with Blizzard in the next few months. Although Blizzard did not trademark “DOTA”, they argued that the word (and its many spinoffs like DotA or Defense of the Ancients) has always been part of Blizzard and is synonymous with Warcraft. They also claimed that many of the DOTA mechanics are based on Blizzard’s Warcraft, since it is a mod of the game. Furthermore, many of the character designs in DOTA originates from Warcraft 3, according to a PC GAMER report.

Although it took several months, the legal battle between Valve and Blizzard was finally resolved. The two decided that they both have the right to use the “Defense of the Ancients” title according to their own needs. Valve will use the Dota name for its commercial products and franchises, including the Dota 2 game. On the other hand, according to Gamasutra, Blizzard will use the Dota name as a reference for its player-created content. After the fiasco, the Dota 2 development process continued smoothly. 

The Birth of The International

Valve held the first The International in 2011 in conjunction with Gamescom. Interestingly, at the time, Dota 2 was technically still in beta and was not officially launched yet. So, why did Valve hold The International? Marketing. Valve provided a total prize pool of US$1.6 million, making TI the biggest prize esports tournament of its time. No other esports tournament in history was able to put up a prize pool of this caliber, and thus many people was incredibly hyped for TI. Through this buzz, Valve hopes to introduce Dota 2 to a much wider community.

Eight teams around the world and from different regions were directly invited to take part in the first-ever TI. The tournament could be spectated live in Gamescom, held in Cologne, Germany. Valve also broadcasts TI matches online so that all fans in the world can watch. Fortunately for Valve, TI was a massive hit. They were able to market the game effectively, and soon thousands of gamers flock in to try out the Dota 2.

NaVi became the first The International champion. | Source: Navi.gg

In the next few months after TI 1, Valve also continues to distribute the beta version of Dota 2. And as the player count of the game increases, the esports scene also begins to take shape. Just like the original DotA, the Dota 2 esports were initially grown by the enthusiasm and loyalty of the fans. Therefore, most Dota 2 tournaments in the olden days (excluding TI) were relatively small-scale, having prize pools of only around $25,000 USD. Even so, this was the grassroots that became the foundation of the enormous Dota 2 esports ecosystem that we know today.

In 2012, Valve held The International for the second time. The prize pool of TI2 was the exact same as TI1, which was $1.6 million USD. However, TI was now held independently by Valve in Seattle, United States. The beta version of Dota 2 was also already open to the public during this time, which means that there are far more Dota 2 followers and enthusiasts expecting TI. Furthermore, the game has also undergone several updates, significantly increasing the hero pool. 

In July 2013, Valve officially launched Dota 2 on Steam, and the player count immediately skyrocketed. In June 2013, the average number of Dota 2 players only reached 210 thousand people. This figure rose to 237,000 in July and to 330.7 thousand in August. TI3 was also the start of the implementation of Valve’s crowdfunding system using the Battle Pass, and it was a major success. The International 3 prize pool was able to reach a record high of $2.8 million USD, $1.2 million more than the previous two TIs.

Since the colossal success of TI3, Valve continued to use take advantage of Battle Passes in increasing the TI prize pool. As a result, the TI prize pool has never declined even once. Last year, an Arab prince outstandingly spent over IDR 588 million in the TI10 Battle Pass. Thanks to him and hundreds of thousands of Dota 2 players, The International 10 prize pool was, yet again, able to break records and reach the $40 million USD milestone.

The growth of TI prize pools from year to year is quite massive, to say the least. For instance, The International 4 has a prize pool of around $10 million USD. 2 years later, TI6 doubled this figure and crossed the $20 million USD mark. The International 9 became the first TI with a total prize pool of more than $30 million USD.

The International Prize from year to year. | Data source: Esports Earnings

As you can see in the table above, there has been a huge spike in The International’s prize pool several times. The biggest jump occurred at The International 9, with an increase of $8.8 million USD. The difference between the TI4 and TI5 prize pool is also fairly significant. The consistent rise of The International prize goes to show how the Dota 2 community still wants to support the professional esports scene of the game. However, The International’s huge prize pool also poses its own problems.

Let’s now move to discuss the top teams that have won this prestigious tournament. Out of the 9 TIs that have been held, only one team was able to win it twice. That team is OG, which managed to win TI8 and TI9. Remarkably, they also won both consecutive TIs with the exact same composition of players. 

Here’s the OG roster that won TI8 and TI9:

Anathan “ana” Pham

Topias “Topson” Taavitsainen

Sebastien “Ceb” Debs

Jesse “JerAx” Vainikka

Johan “N0tail” Sundstein – captain

And here is a list of teams that have won The International:

2011 – Natus Vincere

2012 – Invictus Gaming

2013 – Alliance

2014 – Newbee

2015 – Evil Geniuses

2016 – Wings Gaming

2017 – Team Liquid

2018 – OG

2019 – OG

Prize pools are not the only way to measure the success of a particular tournament. Two other important factors, namely viewership numbers and watch time, can also be considered. According to data from Esports Charts, both the average number of viewers and watch hours of The International experiences an upward trend in the last four years. At TI7, the average viewer count only reached 418 thousand. This figure rose to 537.7 thousand in TI8 and to 738.9 thousand in TI9. In terms of watch time, TI7 only manages to obtain 44.3 million watch hours. In TI8, the total hours watched reached 63.9 million hours, and in TI9, that number rose to 88.4 million hours.

The watch hours of TI from TI7 to TI9. | Source: Esports Charts

 

Peak viewership numbers from TI7 to TI9. | Data source: Esports Charts

Unfortunately, these upward trends cannot be applied to the number of active Dota 2 players. Let’s try to observe the graph from Steam Charts of Dota 2’s player count since its launch in 2013.

Average and peak number of Dota 2 players.| Data source: Steam Charts

From July 2012 to July 2014, there is a general rise in the monthly player count of Dota 2. In September 2014, the player count plummeted before increasing again to 629 thousand in February 2015. Throughout its history, Dota 2’s record for the highest average number of active players was 709 thousand, which occurred in February 2016. Around the same time, Dota 2 also recorded its peak number of players, which was 1.29 million.

Since then, the average player count of the game experience a general decline, eventually reaching its lowest point in April 2018, where only 430 thousand people are playing Dota 2. However, in 2019, Dota 2 seems to have had a minor resurgence in its player base. In January of that year, the average player count was 476,000. Around 6 months later, this figure continued to rise, reaching a high of 500 thousand players. Unfortunately, the upward trend did not last, and another drought occurred in Dota 2’s player count.

At this point, many people thought that Dota 2 was officially dying and that the game’s player base will never be able to grow again. Then, the COVID-19 pandemic hit and became one of the reasons why Dota 2 experienced yet another surge in its player count. An in April of 2020, the average player number of Dota 2 hit its peak of 500 thousand players.

The Dota 2 esports scene in Indonesia

“The Dota 2 community in Indonesia today is vastly different when compared to 2014-2017,” said Yudi Anggi, a Dota 2 shoutcaster known as “Justincase”. However, this doesn’t mean that the state today’s community is worse than before. “The difference is, in the past, there were many local Dota 2 tournaments. Today, however, almost no local tournaments exist in Indonesia.,” he said when contacted by Hybrid.co.id via text message.

“But unlike the olden days, content creation in the local Dota 2 community has never been this thriving. Therefore, you can’t really say that the current state of Dota 2 in Indonesia is dead; it is simply in a different era,” said Yudi. Indeed, there are many professional players today who are actively broadcasting, such as Rusman, inYourDream. “Many fans in Indonesia today are spoiled for choice when it comes viewing live Dota 2 content,” he said. “Through these streams, we can only hope that the local Dota 2 community will continue to grow and perhaps one day experience a renaissance.”

Yudi “Justincase” Anggi. | Source: Facebook

Yudi explained that Saweria is one of the reasons why many people became interested and dived into the world of content creation. Saweria provides a simple and trusted system that allows viewers to donate to their favorite streamers. “Fans who watch the stream can be very generous in providing support to their favorite streamers,” said Yudi. “As a result, streamers become motivated to create content and entertain their viewers. In the end, this is an overall win for the entire Dota 2 community.

In a Hybrid.co.id interview with the Co-founder of Saweria, Natalia, she said that the 10 biggest receivers of support funds in Saweria are all gaming content creators. Through Saweria, some people can even generate up to IDR 44 million every month through donations alone.

On the flip side, Gary Ongko Putera, founder and CEO of BOOM Esports, has a different perspective from Yudi regarding the Dota 2 community in the country. Gary believes that the Dota 2 community in Indonesia can be quite toxic or misbehaved, which is why he is often reluctant to pay attention to them. For instance, people in the local spectrum love to support the enemy team, despite having a national team competing in the same esports tournament. “People here can be often lazy when it comes to supporting teams or players from our own country,” Gary said.

Even so, Gary still has some hope in the survival of the local Dota 2 esports ecosystem. “Luckily, Indonesia still has AG (Army Geniuses-red). As long as some organizations continue to invest in Dota 2, the local esports system will not die out,” said Gary. “I really do believe that many Indonesian Dota 2 players are incredibly talented. However, they still need proper coaching and facilities to unlock their potential and be able to fully live off of Dota 2.” Dota 2 can really be a legitimate and viable pro career option if these standards are met.

Regarding the future of the esports ecosystem, Yudi’s opinions are inlined with Gary’s. He also feels that there is still hope in the local Dota 2 esports ecosystem. However, if someone wants to become a pro Dota 2 player, he/she must be ready to face all the challenges that exist. “Because there are no local tournaments, players who want to become professionals must take their talents directly to the international arena,” said Yudi. “If they manage to find some success in SEA regional tournaments, many opportunities will eventually open up. There are still countless organizations abroad that are scouting for talents across the world. And if you skilled and lucky enough, they might just pick you up.”

Consequently, Yudi highly suggests that having decent English communication skills is imperative when it comes to getting hired by international esports organizations. “There are simply far more jobs in Dota 2 abroad, and being able to speak English can be the dealbreaker that determines if you will get or lose the job.”

The Dota 2 BOOM team won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

According to Gary, many esports organizations have a hard time scouting new talents due to the lack of local tournaments. “Scouting new players is incredibly difficult today,” said Gary. “But fortunately, we did well for ourselves. We can often attract talents outside of Indonesia. The reputation of our esports ecosystem is actually not that bad globally, thanks to the achievements of our Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive teams.”

Garry also added that Indonesian esports organization provides one of the largest basic salaries when compared to other countries in the SEA region. This might be the selling point for gamers who are looking to get a career in professional Dota 2. “You can definitely earn a lot if you can become a top player. To be honest, all the best players in all games have large incomes. Unfortunately, in Dota 2, the skill ceiling is incredibly high when compared to other MOBA games. Reaching the pinnacle of the Dota 2 skill level will undoubtedly take a significant amount of work, time, and experience.

Previously, the Editor-in-Chief of Hybrid.co.id, Yabes Elia, once discussed how passion is no longer enough when pursuing a career in the world of esports. However, it is undeniable that passion maintains the longevity of the people who invest in esports. Gary and Yudi are some examples of these kinds of people. Both of them decided to stay in the Dota 2 esports ecosystem because they love and are truly passionate about the game. From a business standpoint, they could have easily migrated into the much more thriving mobile esports ecosystem. However, as Gary put it, running an esports organization would be difficult if we only focus on the business aspect.

“For me, the principle is not that complicated. Without Dota 2/CS:GO, BOOM wouldn’t have existed in the first place,” said Gary, explaining the reason why he kept the Dota 2 team. “I am truly passionate about Dota 2 and CS:GO. And it would be difficult to run a purely business-focused BOOM without my passion in mind.” He admitted that he really likes complex games. And according to him, Dota 2 is one of the most difficult games in the entire world. “No offense to other video games, but Dota 2 is far more superior in terms of complexity and depth. There are stacking mechanics, pulling creeps, proper itemizations, and tons of other minute details to learn. For the old guys like me who are more accustomed to watching complex games, I was never excited to play the simpler games of the modern era.”

Although Gary is passionate about Dota 2, he also takes into account the business side when considering his decisions. When asked whether the Dota 2 team was profitable for BOOM, Gary answered, “From a business perspective, of course, it is profitable because we frequently get to play on the international stage. However, admittedly, our profit is not that crazy large.”

On the other hand, Yudi revealed that his reason for staying loyal to shoutcasting Dota 2 was due to a matter of preference. “Honestly, I don’t really like mobile games. And I wouldn’t be able to give it my all if I was shoutcasting a game I didn’t like,” he said. “I really have to understand and be passionate about the game to give my best performance during a broadcast. If I like the game, I will be enthusiastic to study and dig up information about the game and its esports scene, which are the primary subject of discussion when I do my shoutcasting.”

In the end, as Yudi concluded, it shouldn’t really matter if someone decides to stay in Dota 2 or shift to the more popular mobile esports scene. “It goes back to each person. If someone wants to find a larger income, then go ahead and migrate to mobile esports. It is their right to choose, after all,” he said. “For me, personally, my Dota 2 career is enough to support myself financially. Although my life is not glamorous by any standards, I feel incredibly fortunate to work in the field I truly love.”

Conclusion

Eight years since its launch, Dota 2 is still played by hundreds of thousands of people around the world, which proves Valve’s effort in popularizing the game. Developing the esports ecosystem is one of Valve’s go-to methods when it comes to marketing Dota 2. Even though The International’s audience is still much lower than that of the League of Legends World Championship, TI’s huge prize pool never fails to attract public and media attention. 

In Indonesia, the current state of the Dota 2 esports ecosystem has drastically changed from the old era. The bad news with the change is that local tournaments are almost non-existent. Fortunately, the good news is that there are still quite a few local esports organizations that invest in Dota 2. For this reason, Indonesians who aspire to become pros still have a chance to realize their dreams. However, they must be fully ready to compete, at the very least, in the regional stage.

Featured Image: Imgur. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Game Gacha: Antara Judi, Psikologi, dan Pekerti

Harga rata-rata game AAA adalah US$60 atau sekitar Rp850 ribu. Namun, ada game yang bisa membuat para pemainnya rela menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah walau game itu bisa dimainkan secara gratis. Ialah game gacha atau loot box. Sistem randomisasi dalam game gacha bisa membuat para pemainnya menghabiskan banyak uang demi mendapatkan karakter atau sebuah item yang mereka inginkan.

Pertanyannya, apa yang membuat game gacha begitu menarik sehingga ia bisa mendorong para pemainnya menghabiskan banyak uang, terkadang bahkan sampai mengacaukan keuangan mereka?

Game Gacha dan Trik Psikologi yang Digunakan

Sebelum membahas tentang daya tarik game gacha, saya akan membahas tentang pengertian game gacha terlebih dulu. Pada dasarnya, game gacha adalah game yang menggunakan sistem random untuk mendapatkan karakter/item tertentu. Memang, sistem randomisasi adalah bagian penting dari sebuah game. Ada banyak elemen dalam game yang menggunakan sistem acak, mulai dari kemungkinan mendapatkan critical hit, bertemu musuh, sampai world/level generation dalam sejumlah game. Satu hal yang membedakan game gacha/loot box dengan game non-gacha adalah game gacha mengharuskan pemainnya untuk mengeluarkan uang demi mendapatkan kesempatan memiliki karakter/item yang mereka inginkan.

Ketika Anda bermain game MMORPG, kemungkinan karakter Anda melakukan critical hit memang random. Namun, Anda tidak harus mengeluarkan uang untuk memastikan karakter Anda terus melakukan critical hit. Dalam game gacha, jika Anda ingin mendapatkan karakter/item tertentu, Anda harus membeli in-game currency — bisa berupa gems, orbs, bucks, atau mata uang lainnya — hanya untuk meraih kesempatan mendapatkan karakter yang Anda mau. Jadi, yang Anda beli bukanlah karakter/item itu, tapi kesempatan untuk mendapatkan karakter/item tersebut.

Biasanya, semakin langka karakter/item, semakin rendah pula kesempatan untuk mendapatkannya. Kesempatan pemain mendapatkan karakter SSR di game gacha biasanya tidak sampai 1%. Jadi, jangan heran jika ada gamers yang menghabiskan uang hingga puluhan juta rupiah untuk mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan dalam game gacha.

Kebanyakan game gacha bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, sebenarnya, Anda bisa memainkan game itu tanpa harus mengeluarkan uang sama sekali. Namun, pihak developer tentu saja mendesain game mereka sedemikian rupa sehingga pemain akan terdorong untuk menghabiskan uang dalam game untuk melakukan gacha. Salah satu trik psikologi yang developer gunakan untuk mendorong pemain melakukan in-game purchase adalah menggunakan in-game currency, seperti UC Cash di PUBG Mobile atau diamonds di Mobile Legends. Trik ini biasanya tidak hanya digunakan oleh developer game gacha, tapi juga developer dari game-game free-to-play.

Tujuan developer menggunakan in-game currency adalah agar pemain tidak menyadari berapa banyak uang yang dihabiskan untuk mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan. Saya akan memberikan contoh memberikan gambaran menggunakan Genshin Impact. Bukan karena game gacha itu lebih baik/lebih buruk dari game gacha lain, tapi hanya karena Genshin Impact adalah satu-satunya game gacha yang saya mainkan saat ini.

Dalam Genshin Impact, jika Anda ingin melakukan gacha, Anda memerlukan Wish. Anda bisa mendapatkan 1 Wish dengan menukar 160 Primogems. Primogems ini bisa Anda dapatkan dengan melakukan quest dalam game atau membelinya dengan uang. Primogems dijual dalam paket dengan harga yang beragam. Paket paling murah dihargai Rp16 ribu, yang menawarkan 60 Genesis Crystals (yang bisa ditukar dengan Primogems). Paket paling mahal menawarkan 6480 Genesis Crystals (dengan bonus 1600 Crystals) dan dihargai Rp1,6 juta.

Dalam Genshin Impact, setiap 10 Wish, Anda akan mendapatkan setidaknya 1 karakter/senjata bintang 4. Dan setiap 80 Wish, Anda dijamin akan mendapatkan 1 karakter/senjata bintang 5. Jadi, untuk mendapatkan setidaknya 1 karakter bintang 4, Anda harus menghabiskan 1600 Primogems. Jika Anda tidak familier dengan game Genshin Impact, Anda tidak akan tahu berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan untuk mendapatkan Primogems tersebut. FYI, jika Anda ingin mendapatkan setidaknya 1600 Primogems, Anda bisa membeli paket 1980+260 Primogems, yang dihargai Rp479 ribu.

Harga primogems di Genshin Impact.

Anda mungkin rela untuk menghabiskan 1600 Primogems untuk mendapatkan setidaknya 1 karakter/senjata bintang 4. Namun, apakah Anda bersedia untuk mengeluarkan hampir setengah juta hanya untuk mendapatkan 1 karakter/senjata dalam game? To be fair, Anda bisa mendapatkan lebih dari 1 karakter/senjata dalam 10 kali pulls. Tapi, biasanya, Anda hanya akan mendapatkan 2 karakter/senjata.

Menariknya, trik psikologi ini — menggunakan mata uang pengganti — juga digunakan oleh pihak manajemen kasino. Di kasino, Anda tidak bertaruh uang tunai, tapi menggunakan chip. Alasan kasino menggunakan chip sama dengan alasan developer menggunakan in-game currency, yaitu membuat pemain tidak sadar berapa banyak uang yang sudah dihabiskan di meja judi. Hal ini didukung oleh riset yang menyebutkan, konsumen cenderung menghabiskan uang lebih banyak ketika mereka menggunakan kartu debit daripada saat mereka membayar tunai.

Seiring dengan meningkatnya popularitas game online, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Asumsi bahwa gamers adalah orang-orang anti-sosial kini tidak lebih dari sekadar mitos. Dan hal ini juga dimanfaatkan oleh developer game gacha. Saat sedang bermain game gacha, Anda pasti pernah mendapatkan notifikasi ketika teman Anda mendapatkan karakter/item langka. Dan walau tidak semua game gacha mengimplementasikan fitur ini, ada media sosial yang memudahkan gamers untuk memamerkan karakter/item yang mereka punya.

Developer memberikan notifikasi ketika teman Anda mendapatkan karakter/item langka bukan tanpa tujuan. Notifikasi itu bertujuan untuk mengacaukan persepsi Anda tentang kemungkinan untuk mendapatkan karakter/item langka. Melihat pemain lain mendapatkan karakter/item langka bisa membuat Anda berpikir: “Ah, kalau dia bisa dapat, saya juga bisa dapat.” Padahal, kemungkinan Anda mendapatkan satu karakter/item tidak dipengaruhi oleh apakah pemain lain mendapatkan karakter/item tersebut. Jika kesempatan untuk mendapatkan karakter SSR adalah kurang dari 1%, kesempatan itu tidak akan berubah, tidak peduli berapa banyak teman Anda yang memamerkan bahwa mereka telah mendapatkan karakter SSR.

Lagi, trik psikologi ini juga diterapkan di kasino. Kesempatan Anda memenangkan slot machine sebenarnya sangat kecil. Namun, jika ada pelanggan yang berhasil mendapatkan jackpot, mesin akan mengeluarkan suara keras dan cahaya terang, menarik perhatian pengunjung lain. Tujuan dari “perayaan” kemenangan seorang pelanggan ini adalah untuk menunjukkan pada pelanggan lain bahwa mereka juga bisa menang. Dengan begitu, para pelanggan diharapkan akan terus menghabiskan uang walau mereka kalah.

Mesin slot. | Sumber: Wikipedia

Selain dua trik psikologi di atas, pihak manajemen kasino juga menerapkan  beberapa trik psikologi lain. Misalnya, mereka menempatkan ATM di dalam kasino dan menawarkan kamar hotel/makanan gratis bagi orang yang telah menghabiskan uang dalam jumlah tertentu. Dua hal ini dilakukan oleh pihak manajemen dengan tujuan agar para pelanggan tidak keluar dari kasino untuk makan/tidur/mengambil uang. Pihak manajemen kasino juga biasanya tidak memasang jam di dalam kasino serta melapisi kaca jendela dengan kaca film. Tujuannya adalah agar para pelanggan lupa waktu.

Trik-trik psikologi yang digunakan oleh kasino di atas memang tidak digunakan oleh developer game gacha. Sebaliknya, game gacha biasanya punya mekanisme yang membatasi seberapa lama pemain bisa bermain, seperti keterbatasan energi yang bisa pemain gunakan. Namun, pembatasan ini sebenarnya juga trik untuk membuat pemain menghabiskan uang dalam game. Karena, energi di game biasanya bisa dibeli dengan uang.

Ego Depletion merupakan salah satu konsep psikologi yang menjadi basis bagi developer game untuk membuat game gratis yang memiliki in-game purchase. Berdasarkan konsep Ego Depletion, kendali diri merupakan sumber daya mental yang bisa tergerus habis, sama seperti kesabaran. Jadi, saat pertama kali bermain game, Anda mungkin tidak tergoda untuk membeli item sama sekali. Namun, seiring dengan waktu, Anda akan semakin tergoda untuk menghabiskan uang dalam game.

Developer game juga bisa mendorong pemainnya menjadi spender dengan memberikan “fun pain“. Istilah “fun pain” pertama kali digunakan oleh Roger Dickey dari Zynga. Dia menjelaskan, fun pain adalah keadaan ketika pemain menghadapi masalah yang bisa diselesaikan jika dia melakukan in-game purchase, seperti yang disebutkan oleh Huffington Post.

Daya Tarik dan Bahaya Game Gacha 

Ketika Anda mendapatkan karakter/item langka dalam game gacha, otak Anda akan mengeluarkan hormon dopamin, yang juga dikenal dengan hormon kebahagiaan. Satu hal yang harus diingat, otak manusia tidak hanya terpicu untuk mengeluarkan hormon dopamin ketika Anda mendapatkan karakter/item yang Anda inginkan, tapi juga ketika Anda mengantisipasi karakter/item yang akan Anda dapatkan, yaitu ketika Anda melakukan gacha/membuka loot box.

Dalam psikologi, ada konsep yang disebut dengan intermittent rewards. Berdasarkan konsep tersebut, Anda bisa membentuk kebiasaan seseorang dengan memberikan hadiah ketika dia melakukan hal yang Anda inginkan. Hanya saja, Anda memberikan hadiah dalam interval acak. Misalnya, developer game gacha ingin mendorong pemainnya menghabiskan uang di game. Mereka bisa memberikan “hadiah” — berupa karakter/item langka — secara random pada pemain. Masalahnya, sistem pemberian hadiah yang random ini justru bisa membuat otak kita menjadi lebih merasa senang.

Sistem random adalah bagian dari game. | Sumber: Nerdist

“Model judi yang paling menggoda adalah model judi yang menawarkan hadiah secara acak,” kata Frank Lantz, game designer dan juga dosen, pada Polygon. Dia menjelaskan, berdasarkan konsep intermittent rewards,  semakin random hadiah yang bisa seseorang dapatkan, maka hal ini justru akan membuatnya semakin tergoda untuk mendapatkan hadiah tersebut. Alasannya, otak tetap merilis dopamin bahkan ketika kita belum tahu apakah kita akan mendapatkan hadiah atau tidak.

“Setiap game gacha didasarkan pada konsep intermittent reward. Prinsip ini tidak akan berjalan jika Anda bisa menebak kapan Anda akan mendapatkan hadiah,” ujar Lantz. “Jika hadiah yang diberikan sudah bisa diprediksi, perasaan excitement yang kita rasakan justru berkurang.”

Dengan kata lain, ketidakpastian akan karakter/item apa yang akan Anda dapatkan dalam game gacha justru membuat Anda merasa lebih senang. Apalagi karena dalam game gacha, karakter/item langka yang Anda dapat pun random. Jadi, Anda mungkin saja mendapatkan karakter/item langka, tapi belum tentu karakter/item langkah itu sesuai harapan Anda.

“Dopamin dirilis ketika kita mendapatkan sesuatu atau saat kita berharap untuk mendapatkan sesuatu, misalnya saat kita membuka loot box,” kata Luke Clark, Head of Gaming Research Arm, University of British Columbia, seperti dikutip dari IGN. Tak hanya itu, tingkat rarity dari karakter/item juga bisa meningkatkan jumlah dopamin yang dikeluarkan oleh otak.

Ketidaktahuan akan karakter/item yang akan didapat dari game gacha justru memicu dopamin.

“Tampaknya, banyak gamers yang membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika mereka mendapatkan item atau karakter tertentu. Kecenderungan ini sama seperti orang yang membeli lotre. Mereka juga membayangkan apa yang akan mereka beli jika mereka menang,” kata Clark.

Ketidakpastian akan karakter/item yang akan kita dapatkan memang bisa membuat otak merilis dopamin. Namun, hal itu tidak menghentikan rasa kecewa ketika kita tidak mendapatkan karakter/item yang kita inginkan. Dan  menurut Clark, rasa kecewa itu bisa mendorong para pemain game gacha untuk menghabiskan uang lebih banyak, demi bisa mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan.

Kebanyakan — jika tidak semua — game premium punya akhir yang jelas. Game akan tamat setelah Anda melakukan semua tugas yang harus Anda lakukan. Lain halnya dengan game gacha. Biasanya, game gacha tidak punya akhir yang jelas. Developer game gacha biasanya akan merilis update secara berkala, menambah konten yang tersedia, berupa karakter/item baru. Jadi, para pemain game gacha akan selalu terancam akan perasaan Fear of Missing Out (FOMO). Hal ini diperparah dengan keberadaan media sosial.

Mengingat bermain game sudah menjadi kegiatan sosial, semakin banyak gamers yang memamerkan pencapaian mereka di media sosial. Saat bermain game gacha, “pencapaian” itu biasanya berupa keberuntungan untuk mendapatkan karakter/item terbaru. Jika tidak kuat iman, pemain game gacha yang iri dan cemburu bisa menghabiskan uang mereka hanya demi bisa pansos di media sosial.

Game gacha bisa membuat para pemainnya menghabiskan uang tanpa sadar. YouTuber Michael “Mtashed” Tash pernah menghabiskan US$2 ribu untuk mendapatkan Klee di Genshin Impact. Dia mengaku menyesal karena menghabiskan uang sebanyak itu demi karakter yang menurutnya tidak sekuat harapannya.

YouTuber lain, Tectone, juga merupakan salah satu “whale” alias sultan di game gacha. Dia mengaku, dia pernah menghabiskan semua uangnya di game gacha. Dikabarkan, kebiasaan buruknya itu pernah membuatnya kehilangan tempat tinggal. Sekarang, dia mengaku sudah berubah. Tectone mengungkap, sekarang, dia membuat konten akan berapa banyak uang yang dia habiskan dalam game gacha sebagai “pembelajaran”. Tujuannya adalah agar penontonnya bisa menjadi lebih bijak dalam menghabiskan uang di gacha game.

“Saya rasa, akan lebih mudah bagi orang-orang untuk tidak melakukan gacha ketika mereka tahu betapa tidak berguna dan berbahayanya melakukan hal itu,” kata Tectone pada Polygon. “Saya rasa, kalau penonton saya melihat saya menghabiskan sekitar US$600 sampai US$700 untuk mendapatkan Klee, mereka tidak akan berpikir, ‘Oh, hanya US$600-700? Saya siap untuk menghabiskan uang sebanyak itu.’ Saya pikir, mereka akan berpikir, ‘Kenapa orang ini begitu bodoh untuk menghabiskan uangnya hanya demi cewek anime?’ Benar, kan? Menurut saya, hal itulah yang akan terjadi.”

Regulasi Game Gacha

Mekanisme randomisasi di game gacha serupa dengan judi. Selain itu, game gacha juga berpotensi membuat pemainnya menghabiskan uang tanpa kendali. Pemerintah dari beberapa negara menyadari bahaya dari game gacha dan memutuskan untuk membuat regulasi terkait game gacha/loot box.

Salah satu negara yang memiliki regulasi terkait game gacha adalah Belgia. Pemerintah negara Eropa itu melarang game yang menggunakan mekanisme gacha atau loot box sepenuhnya. Jadi, jika perusahaan game ingin meluncurkan game mereka di Belgia, mereka harus memastikan bahwa game itu bebas dari mekanisme loot box/gacha. Dan jika perusahaan game gagal memenuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah, mereka bisa dikenakan denda hingga EUR600 ribu (sekitar Rp10 miliar). Tak hanya itu, pihak publisher juga bisa terkena hukuman penjara hingga 5 tahun, menurut laporan BBC.

Negara lain yang pemerintahnya menunjukkan perhatian akan game gacha adalah Belanda. Pada April 2018, Netherlands Gaming Authority mengadakan studi akan 10 game. Dari studi itu, mereka menemukan, 4 game melanggar hukum judi di Belanda. Jika sebuah perusahaan ingin menggunakan mekanisme gacha/loot box dalam game mereka, mereka harus mendapatkan lisensi dari pemerintah. Sayangnya, lisensi itu tidak bisa diberikan pada perusahaan game. Jadi, secara tidak langsung, game gacha/loot box dilarang di Belanda.

Game dengan sistem loot box telah dilarang di beberapa negara. | Sumber: BBC

Tiongkok adalah negara lain yang punya regulasi terkait loot box dan gacha. Pada 2016, pemerintah Tiongkok mengeluarkan regulasi yang mengharuskan perusahaan game untuk menyebutkan persentase kemungkinan untuk mendapatkan karakter/item dalam game. Sebelum itu, perusahaan game telah diminta untuk memberitahu karakter/item apa yang bisa pemain dapatkan dari sebuah loot box/gacha.

Seiring dengan berjalannya waktu, Beijing juga terus memperketat regulasi terkait loot box. Sekarang, perusahaan harus memberikan gambaran berapa banyak loot box/pull yang harus pemain beli untuk bisa mendapatkan karakter/item yang mereka inginkan. Menurut ScreenRant, pemerintah Tiongkok juga membatasi berapa banyak loot boxes yang bisa pemain beli dalam sehari.

Gacha dari Sudut Pandang Perusahaan Game

Bagi pemain, game gacha memang berisiko. Namun, bagi perusahaan game, model bisnis gacha justru merupakan peluang. Buktinya, walau model monetisasi gacha pada awalnya hanya populer di kalangan developer dari Asia, beberapa tahun belakangan, developer dari Amerika dan Eropa pun mulai menggunakan sistem gacha/loot box. Bukti lainnya, ketika pemasukan divisi mobile Nintendo akhirnya menembus US$1 miliar, kontribusi terbesar datang dari Fire Emblem: Heroes, yang merupakan game gacha.

Kita juga bisa membandingkan pemasukan yang didapat miHoYo dari Genshin Impact dengan pemasukan Nintendo dari Legend of Zelda: Breath of the Wild. Ketika pertama kali diluncurkan, Genshin Impact menuai kontroversi, karena dianggap sebagai imitasi dari Breath of the Wild. Namun, dari Genshin Impact, miHoYo berhasil mendapatkan pemasukan yang jauh lebih besar. Menurut laporan Sensor Tower, hanya dalam waktu 5 bulan, Genshin Impact berhasil mendapatkan US$874 juta dari App Store dan Google Play. Dan angka itu tidak termasuk pemasukan miHoYo dari pemain Genshin Impact di konsol dan PC.

Keuntungan yang didapat miHoYo dari masing-masing banner. | Sumber: Sensor Tower

Sebagai perbandingan, per Oktober 2020, jumlah unit Breath of the Wild yang terjual adalah sekitar 20 juta unit. Mengingat harga dari game itu dipatok pada US$60, maka total pemasukan dari Breath of the Wild adalah US$1,2 miliar. Untuk mendapatkan pemasukan tersebut, Breath of the Wild — yang diluncurkan pada Maret 2017 — membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun. To be fair, game Zelda itu hanya diluncurkan di dua konsol, yaitu Wii U dan Nintendo Switch.

Salah satu contoh game gacha paling sukses adalah Fate/Grand Order. Game itu bahkan masuk dalam daftar 10 game dengan pemasukan terbesar. Sejak diluncurkan pada 2015, FGO berhasil mendapatkan total pemasukan sebesar US$4 miliar pada Januari 2020. Memang, game-game yang masuk dalam daftar 10 game dengan pemasukan terbanyak tidak berisi game gacha/loot box. Namun, biasanya, game-game di daftar itu menyertakan elemen gacha. Misalnya, PUBG Mobile. Di PUBG Mobile, Anda memang tidak harus membuka loot box demi mendapatkan karakter/senjata yang unggul. Hanya saja, game itu tetap menerapkan elemen gacha untuk mendapatkan kostum/skin.

Kesimpulan

Pada 1981, perusahaan gas dan minyak asal Amerika Serikat, Exxon membayar peneliti kelas dunia untuk mempelajari efek dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bumi, seperti yang disebutkan oleh BBC. Dari studi itu, diketahui bahwa jika kita terus menggunakan BBM tanpa henti, suhu Bumi akan meningkat dengan signifikan, yang akan menyebabkan perubahan iklim dan membuat kehidupan kita menjadi semakin sulit.

Namun, Exxon tidak mengungkap temuan mereka ke masyarakat umum. Sebaliknya, CEO perusahaan ketika itu justru mengatakan bahwa belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kegiatan manusia mempengaruhi iklim Bumi. Tak berhenti sampai di situ, Exxon bahkan sengaja membuat orang-orang meragukan temuan ilmuwan akan dampak penggunaan BBM pada iklim Bumi.

Apa yang Exxon lakukan memang tindakan tidak bermoral. Tapi, mereka melakukan hal itu untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan. Dan tujuan perusahaan memang mendapatkan untung. Saya tidak membenarkan tindakan Exxon, tapi dari keputusan mereka, kita bisa tahu bahwa perusahaan akan mementingkan keuntungan di atas segalanya.

Jadi, selama model monetisasi gacha menguntungkan, perusahaan game akan tetap menggunakan sistem itu. Tergantung pada di negara mana Anda tinggal, Anda mungkin bisa mengharapkan pemerintah untuk membuat regulasi tentang game gacha, memaksa perusahaan game untuk tidak mengeksploitasi pemain mereka habis-habisan. Tapi, tidak ada salahnya jika kita juga belajar untuk lebih waspada akan bahaya game gacha. Bukan berarti saya melarang Anda memainkan game gacha. Hanya saja, sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam menghabiskan uang di game gacha.

Sumber header: Sensor Tower

Comparing the Olympics With Esports Tournaments: Which One Is More Profitable?

In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.

The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.

Preparation of the Olympics

Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics

In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.

As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.

As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.

This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.

As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.

Preparation of Esports Events

Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.

Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.

Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.

“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”

“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.

When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.

“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”

According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament: 

  1. Venues and mandatories
  2. Hard production and soft production
  3. Property
  4. Production equipment
  5. Hospitality
  6. Talents
  7. Internet and communication
  8. Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks

Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.

LAN Events. | Source: ESL Gaming

Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.

“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”

In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.

“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.

“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.

LOL Worlds 2020 will be held in Shanghai. | Source: LOL Esports

How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.

Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.

“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”

However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.

“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”

Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.

On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.

“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.

Olympic Viewership Trends and Esports Competitions

Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media. 

Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.

In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.

Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:

Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%

Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%

Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%

Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%

Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%

As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.

NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.

Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds. 

I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.

Watch hours, peak viewers, and average viewership numbers of TI and LOL Worlds. | Source: Esports Charts]

As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.

You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.

Viewership statistics of LOL Worlds 2020. | Source: Esports Charts
Viewership statistics of The International 2019. | Source: Esports Charts

Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.

Profitability

Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.

The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.

Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.

During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.

The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.

Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.

Olympic’s revenue from licensing. | Source: Statista

Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.

 

Olympic’s revenue from marketing. | Source: Statista

Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD. 

Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.

More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.

Athletes village in Turin. | Source: Olympics

Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words

In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.

“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”

The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.

So, are esports tournaments profitable?

In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports. 

When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”

In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”

BOOM Esports when they won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.

“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”

Conclusion

Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.

In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Regulasi Pembatasan Waktu Bermain Game: Efektivitas dan Dampak ke Industri Game dan Esports

Dengan jumlah warga negara sebanyak 1,4 miliar orang, Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar dunia. Hal ini membuat negara itu menjadi pasar yang menarik banyak perusahaan dari berbagai sektor. Menyadari hal ini, pemerintah Tiongkok membuat peraturan yang cukup ketat terkait perusahaan asing yang ingin menjajakan produk mereka ke warga Tiongkok.

Sektor game pun tak lepas dari campur tangan pemerintah. Faktanya, penjualan konsol sempat dilarang oleh pemerintah Tiongkok. Konsol baru mulai dijual secara resmi di Tiongkok pada 2015. Karena itu, jangan heran jika segmen game konsol di Tiongkok jauh lebih kecil daripada industri mobile game dan game PC. Namun, hal itu bukan berarti segmen game PC dan mobile bebas dari campur tangan pemerintah. Sebaliknya, Beijing punya peraturan yang ketat terkait game PC dan mobile yang bisa diluncurkan di Tiongkok. Peraturan itu mencakup banyak hal, mulai dari bahasa yang digunakan dalam game sampai animasi ketika seorang karakter mati, seperti yang pernah dibahas oleh Niko Partners.

Tak hanya developer dan publisher game, pemerintah Tiongkok juga punya peraturan untuk para gamers. Salah satunya adalah pembatasan waktu bermain bagi anak dan remaja di bawah umur. Pada 2019, pemerintah Tiongkok mengeluarkan peraturan yang membatasi waktu bermain gamers di bawah umur menjadi 1,5 jam pada hari kerja dan 3 jam pada akhir pekan serta hari libur. Belum lama ini, mereka memperketat peraturan tersebut. Per 30 Agustus 2021, gamers di bawah umur 18 tahun hanya boleh bermain game selama 3 jam dalam seminggu.

Apa Tujuan Pemerintah Tiongkok Memperketat Regulasi Waktu Main Remaja?

Ada beberapa alasan mengapa pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait durasi waktu bermain gamers di bawah remaja. Salah satunya adalah karena banyaknya anak dan remaja di bawah umur yang mengalami rabun jauh. Menurut laporan pemerintah, lebih dari setengah anak di Tiongkok mengidap rabun jauh.

Namun, menurut Senior Analyst, Niko Partners, Daniel Ahmad, jumlah anak yang memiliki rabun jauh justru lebih banyak dari itu. Pada 2010, persentase anak di Tiongkok yang mengalami rabuh jauh hanya mencapai 50%. Angka ini naik menjadi 72% pada 2018. Diduga, alasan mengapa jumlah anak yang mengidap rabun jauh meningkat pesat adalah karena sekarang, anak-anak semakin jarang menghabiskan waktunya untuk bermain di luar ruanga. Sebagai gantinya, mereka lebih sering menghabiskan waktunya di hadapan layar, baik di depan layar TV, PC, ataupun smartphone.

Salah satu alasan pemerintah Tiongkok membatasi waktu main anak adalah karena banyak anak yang menderita rabun jauh. | Sumber: Panda Security

Pemerintah Tiongkok sebenarnya telah mulai memperketat regulasi terkait gaming sejak beberapa tahun lalu. Pada Maret 2018, pemerintah Tiongkok sempat melarang peluncuran game-game baru. Ketika itu, tujuan mereka melarang publisher game meluncurkan game-game baru adalah karena mereka ingin mencegah peluncuran game-game ilegal yang mengandung konten pornografi, kekerasan, judi, atau konten lain yang dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya negara Tiongkok. Pemerintah Tiongkok baru mulai kembali meninjau game-game yang hendak diluncurkan pada Desember 2018.

Alasan lain mengapa pemerintah Tiongkok membatasi waktu bermain anak adalah untuk mencegah anak dan remaja menjadi kecanduan bermain game. Dalam dokumen resmi, pemerintah Tiongkok menyebutkan bahwa kecanduan game merupakan salah satu hal yang dikhawatirkan oleh banyak orang. Selain itu, mereka juga mengklaim, banyak orang tua yang setuju dengan keputusan mereka untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur.

Tak hanya game, pemerintah Tiongkok juga memperketat peraturan terkait segmen lain dari dunia hiburan, seperti online fan clubs dan fan culture dari para artis. Mereka juga memperketat regulasi di bidang teknologi. Para analis bahkan memperkirakan, di masa depan, pemerintah Tiongkok akan membuat peraturan tentang aplikasi video dan streaming yang lebih ketat. Memang, pada Agustus 2021, pemerintah Tiongkok juga telah melarang Tencent untuk melakukan merger dari Huya dan Douyu, dua perusahaan streaming game terbesar di Tiongkok. Pada akhirnya, tujuan pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait dunia hiburan adalah karena mereka tidak ingin generasi muda menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mengonsumsi konten hiburan,  lapor WIRED.

Dampak ke Industri Game dan Esports

Jumlah gamers di Tiongkok mencapai 743,5 juta orang. Sekitar 110 juta orang merupakan anak dan remaja di bawah umur 18 tahun. Para gamers di bawah umur itu akan menjadi pihak yang merasakan dampak paling besar dari regulasi baru yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok. Namun, regulasi itu juga akan mempengaruhi industri game secara keseluruhan. Pasalnya, pemerintah membebankan tanggung jawab untuk memastikan gamers di bawah umur tidak bermain di luar waktu yang telah ditentukan pada perusahaan game.

Memang, sejak awal, gamers Tiongkok perlu menggunakan identitas diri di dunia nyata untuk bisa bermain game. Dengan begitu, perusahaan game bisa mengetahui umur dari para gamers yang memainkan game mereka. Ketika seorang gamer yang sedang bermain merupakan anak di bawah umur, maka game akan secara otomatis mencatat lama waktu bermain. Saat anak sudah melewati batas waktu yang ditetapkan, game akan menampilkan popup, memaksa sang anak untuk berhenti bermain game.

Bermain game sudah menjadi kegiatan sosial di Tiongkok.

“Regulasi dari pemerintah sudah cukup ketat,” kata Zhu Jingtong, manager di sebuah publisher game asal Shanghai, pada WIRED. Regulasi yang Zhu maksud adalah peraturan yang pemerintah tetapkan pada 2019. Peraturan tersebut membatasi durasi bermain anak di bawah umur menjadi 1,5 jam per hari kerja dan 3 jam setiap akhir pekan atau hari libur. “Keputusan pemerintah untuk memperketat peraturan ini tidak terduga. Dan hal ini akan punya dampak besar pada industri game,” ujar Zhu. Regulasi baru terkait jam main anak di bawah umur diberlakukan beberapa hari setelah ia diumumkan. Hal ini membuat perusahaan game terburu-buru untuk mengubah sistem game mereka, memastikan game mereka mengakomodasi regulasi baru tersebut.

Kabar baiknya, saham perusahaan game tidak mendadak turun drastis setelah pemerintah Tiongkok mengumumkan regulasi baru terkait lama waktu main anak di bawah umur. Hal ini tidak aneh, mengingat daya beli anak di bawah umur memang belum besar. Jadi, pemain di bawah umur memang tidak memberikan kontribusi besar pada total pemasukan perusahaan game. Namun, para analis khawatir, peraturan baru dari pemerintah Tiongkok ini akan punya dampak jangka panjang ke industri game.

Chenyu Cui, Senior Games Analyst, Omdia, perusahaan riset pasar yang fokus pada teknologi menjelaskan bahwa dampak dari keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol masih dirasakan sampai saat ini. Padahal, larangan untuk menjual konsol di Tiongkok telah dihapus sejak 2015. Meskipun begitu, sampai sekarang, segmen game konsol masih menjadi pasar niche jika dibandingkan dengan pasar game PC dan mobile.

“Anak-anak di zaman ini yang waktu mainnya dibatasi ini akan tumbuh dewasa. Dan ketika mereka sudah dewasa, kemungkinan, waktu yang mereka habiskan untuk bermain game akan berkurang. Hal itu berarti, industri hiburan — khususnya mobile game — bisa menyusut dalam waktu 10 sampai 15 tahun ke depan,” ujar Chenyu.

Industri esports bisa terkena dampak dari regulasi baru dari pemerintah Tiongkok. | Sumber: Sports Pro Media

Industri game bukan satu-satunya industri yang akan terkena dampak dari keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu main anak di bawah umur. Industri esports juga akan merasakan dampaknya. Kemungkinan, dampak dari regulasi ini akan menghantam industri esports dengan lebih cepat.

Pasalnya, kebanyakan pemain esports memulai karirnya ketika mereka masih berumur belasan tahun. Tidak sedikit pemain profesional yang berhenti berkarir saat mereka masih berumur 20-an. Contohnya adalah Jason “f0rsakeN” Susanto, yang memulai karirnya sebagai pemain profesional ketika dia masih berumur 13 tahun. Menjadi pemain esports profesional pun tidak mudah. Para atlet esports bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berlatih setiap harinya. Zhang Kaifeng, pemain Arena of Valor dari TIongkok mengungkap, dia menghabiskan waktu setidaknya 15 jam untuk berlatih.

“Dengan adanya regulasi baru dari pemerintah, kesempatan anak muda untuk menjadi pemain profesional kini hampir nol,” kata Chen Jiang, Associate Professor di Peking University’s School of Electronics Engineering and Computer Science, seperti dikutip dari Reuters. Senada dengan Chen, seorang eksekutif dari klub esports asal Tiongkok mengungkap, regulasi baru dari pemerintah bisa membuat talenta muda kehilangan kesempatan untuk ditemukan oleh tim profesional.

“Pemain top biasanya memang punya bakat dan tidak selalu harus berlatih terus-terusan sebelum mereka diajak bergabung oleh tim profesional,” kata sang eksekutif yang enggan untuk disebutkan namanya. “Namun, sebagian pemain berbakat perlu latihan keras sebelum mereka bisa menjadi pemain profesional.”

Pembatasan Waktu Main di Korea Selatan

Tiongkok bukan satu-satunya negara yang pernah membatasi waktu bermain anak di bawah umur. Pada 2011, Korea Selatan mengeluarkan Shutdown Law, yang melarang anak di bawah umur 16 tahun untuk bermain game pada pukul 12 malam hingga 6 pagi. Regulasi itu mulai diberlakukan pada November 2011.

Pemerintah Korea Selatan membuat regulasi itu dengan tujuan agar anak di bawah umur bisa mendapatkan tidur yang cukup dan tidak menggunakan waktu tidurnya untuk bermain game. Saat itu, segmen gaming yang menjadi target regulasi tersebut adalah game PC. Namun, cabang Sony di Korea Selatan memutuskan untuk mematuhi peraturan tersebut. Pemerintah Korea Selatan juga cukup tegas soal pembatasan waktu bermain anak di bawah umur. Perusahaan yang melanggar peraturan itu akan dikenakan denda sebesar hingga KRW10 juta (sekitar Rp121,8 juta). Sementara individu yang melanggar bisa dikenakan hukuman penjara, hingga 2 tahun.

Bulan lalu, Korea Selatan memutuskan untuk menghapus Shutdown Law. Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata serta Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga menyebutkan, mereka menghapus regulasi itu karena mereka ingin menghargai hak dari anak-anak muda.

Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk menghapus Shutdown Law. | Sumber: Kotaku

“Bagi anak muda, game adalah hobi dan alat komunikasi yang penting,” kata Menteri Budaya Korea Selatan, Hwang Hee, menurut laporan Kotaku. “Saya harap, dengan perubahan ini, pemerintah dapat menjunjung hak generasi muda dan menciptakan lingkungan keluarga yang sehat.” Sebagai ganti dari Shutdown Law, pemerintah Korea Selatan menetapkan “Choice System”. Melalui sistem ini, gamers di bawah umur bisa meminta izin pada orang tua atau wali mereka untuk bermain di jam-jam tertentu.

Keputusan pemerintah Korea Selatan untuk menghapus Shutdown Law didukung oleh Korea Association of Game Industry. Dalam pernyataan resmi, dikutip dari PC Gamer, asosiasi itu berkata, “Shutdown Law telah menghambat pertumbuhan industri game nasional sejak lama. Padahal, regulasi itu mendapat banyak kritik. Regulasi tersebut tidak hanya tidak efektif, tapi juga melanggar hak anak serta melemahkan kemampuan kita untuk bersaing di industri game. Kami akan berusaha untuk memberikan edukasi pada orang tua akan sistem perlindungan untuk anak yang sudah ada di setiap game.”

Seperti yang disebutkan oleh Korea Association of Game Industry, regulasi dari pemerintah Korea Selatan untuk membatasi waktu main anak di bawah umur tidak efektif. Dan tampaknya, peraturan dari pemerintah Tiongkok juga masih punya celah. Salah satu celah itu adalah pengunaan booster, yang juga dikenal dengan nama accelerator. Aplikasi booster berfungsi layaknya VPN, memungkinkan gamers untuk mengakses server di luar Tiongkok. Hal ini memungkinkan gamers untuk memainkan game-game yang tidak diluncurkan secara resmi di Tiongkok. Banyak gamers muda yang menggunakan aplikasi boosters tersebut dan sampai saat ini, pemerintah Tiongkok menutup mata akan penggunaan aplikasi tersebut.

Steven Jiang, gamer berumur 16 tahun yang tinggal di Beijing, merupakan salah satu gamer yang menggunakan aplikasi booster. Dia mengaku, dia dan teman-temannya memang menggunakan aplikasi tersebut. Terkait regulasi baru dari pemerintah Tiongkok, dia menganggap, peraturan itu terlalu ketat. Menurutnya, tidak semua gamer di bawah umur tidak bisa mengatur waktu saat bermain game. Dia merasa, pemerintah seharusnya memberikan kebebasan pada anak dan remaja untuk mengatur waktu mereka sendiri.

“Bermain game membuat saya lebih santai,” kata Jiang. “Dan gaming adalah cara yang efektif untuk bersosialisasi, bermain dengan teman. Tahun depan, kami harus menghadapi tes masuk kuliah dan kami semua berusaha untuk berhenti bermain game. Kami tetaplah manusia. Kebanyakan teman saya senang bermain game. Tapi, bagi kami, belajar tetaplah prioritas pertama kami.”

Daniel Ahmad dari Niko Partners juga percaya, gamers di bawah umur di Tiongkok tidak akan serta-merta mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. “Anak-anak akan selalu mencari celah dalam regulasi,” ujarnya. “Regulasi baru ini tidak akan menjadi akhir dari industri gaming. Ke depan, pemerintah masih akan membuat regulasi baru. Namun, industri masih akan tetap tumbuh.”

Sebenarnya, pemerintah memang punya hak untuk membatasi pergerakan warganya. Pemerintah bisa membuat Curfew Laws untuk yang membatasi pergerakan warga di tempat umum. Misalnya, dengan melarang warga untuk melakukan kegiatan tertentu atau menentukan jam malam. Menurut Find Law, Curfew Laws bisa ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Secara garis besar, ada tiga jenis Curfew Laws: Emergency Curfew Law, Business Curfew Laws, dan Juvenile Curfew Laws.

PSBB yang pemerintah Indonesia tetapkan di awal pandemi. | Sumber: Kompas

Emergency Curfew Laws biasanya diberlakukan ketika negara tengah mengalami krisis, mulai dari bencana alam, krisis kesehatan, sampai krisis yang disebabkan oleh manusia, seperti tawuran atau ancaman teroris. Biasanya, Emergency Curfew Laws bersifat sementara. Peraturan itu hanya berlaku ketika krisis terjadi. Pemerintah Indonesia juga menggunakan Emergency Curfew Laws, yaitu ketika mereka memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi.

Jenis kedua dari Curfew Laws adalah Business Curfew Laws. Peraturan ini menargetkan para pelaku usaha. Sama seperti Emergency Curfew Laws, tujuan Business Curfew laws adalah untuk menjami keamanan dan kesehatan warga saat krisis terjadi. Melalui Business Curfew Laws, pemerintah bisa menetapkan waktu operasional dari pelaku bisnis. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) adalah contoh dari Business Curfew Laws. Dalam PPKM Level 3, salah satu aturan yang ditetapkan adalah supermarket, pasar tradisional, pasar swalayan, dan toko kelontongan hanya boleh beroperasi sampai dengan pukul 9 malam, seperti yang disebutkan oleh Kompas.

Kategori terakhir dari Curfew Laws adalah Juvenile Curfew Laws. Sesuai namanya, peraturan ini menargetkan anak dan remaja. Biasanya, Juvenile Curfew Laws melarang anak dan remaja di bawah umur 18 tahun untuk mengakses tempat umum pada jam-jam tertentu. Misalnya, dari pukul 11 malam sampai 6 pagi. Tujuan dari Juvenile Curfew Laws adalah untuk mencegah kegiatan kriminal oleh anak dan remaja di bawah umur. Namun, peraturan ini menyebabkan kontroversi. Alasannya, karena Juvenile Curfew Laws dianggap sebagai diskriminasi berdasarkan umur.

Bias Terhadap Game dan Teknologi

Gaming disorder ditetapkan sebagai gangguan kejiwaan oleh World Health Organizatin (WHO) pada 2018. Meskipun begitu, hal ini bukan berarti gamers yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game serta-merta bisa dicap mengidap kecanduan game. Salah satu gejala yang dialami oleh seseorang pengidap gaming disorder adalah dia mementingkan bermain game di atas segalanya, termasuk kewajibannya, seperti sekolah atau bekerja. Selain itu,  orang yang mengidap gaming disorder juga terus bermain game walau hal itu mengganggu kehidupan mereka, termasuk merusak hubungan mereka dengan kolega, teman, dan keluarga. Sebelum seseorang bisa didiagnosa mengidap gaming disorder, dia harus mengalami semua gejala dari gangguan tersebut selama setidaknya 12 bulan.

Selain game, sebenarnya ada banyak hal lain yang menyebabkan kecanduan. Dan biasanya, substansi yang bisa menyebabkan kecanduan sebenarnya punya fungsi lain. Misalnya, zat psikotropika — yang masuk dalam kategori narkoba — sebenarnya bisa digunakan untuk membius pasien saat hendak operasi. Substansi tersebut baru menyebabkan masalah ketika ia digunakan tidak sesuai dosis dan kegunaan aslinya. Contoh lainnya adalah media sosial. Sejatinya, media sosial berfungsi untuk memudahkan penggunanya berkomunikasi dengan teman dan keluarga mereka atau untuk mencari komunitas baru. Namun, jika salah digunakan, media sosial justru menjadi sumber berbagai masalah, seperti cyber-bullying, harassment, dan juga pembajakan konten.

Pertanyaannya, kenapa game jadi salah satu hal yang diperhatikan oleh pemerintah Tiongkok? Menurut Chungdi Zhang, analis dari Ampere Analysis, keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur membuktikan bahwa banyak masyarakat Tiongkok yang masih percaya akan stigma buruk akan game.

“Saya rasa, regulasi baru dari pemerintah Tiongkok menunjukkan bahwa masih ada banyak warga Tiongkok yang punya persepsi buruk akan game. Selain itu, orang tua cenderung menyalahkan game untuk masalah yang muncul dalam masa tumbuh kembang anak mereka. Hal ini yang mendorong pemerintah untuk memperketat peraturan terkait industri game,” ujar Chungdi. Padahal, seharusnya, orang tua punya peran besar dalam membentuk kebiasaan bermain game dari anak-anaknya.

Tak hanya game, pemerintah Tiongkok juga mulai memperketat regulasi di industri teknologi. Pada November 2020, pemerintah Tiongkok bahkan menghentikan rencana Ant Group — perusahaan induk dari Alipay dan perusahaan afiliasi dari Alibaba — untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Dalam wawancara dengan CNBC, Charles Mok mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok telah memperketat regulasi terkait anti-trust serta keamanan data dan keamanan siber sejak beberapa tahun lalu. Mok adalah pemilik usaha internet asal Hong Kong dan pendiri Tech for Good Asia, grup advokat yang mempromosikan penggunaan teknologi yang baik dan adil.

Mok juga menyebutkan, pemerintah Tiongkok sebenarnya tidak menargetkan industri teknologi secara khusus. Mereka memang memperketat regulasi terkait sektor yang dikuasai oleh sedikit perusahaan saja. Karena, semakin sedikit perusahaan yang menguasai sebuah industri, semakin besar pula kuasa — dan kekayaan — yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

“Pemerintah Tiongkok khawatir karena sektor swasta menjadi semakin berkuasa,” ujar Mok. Karena itu, mereka berusaha untuk memperketat regulasi agar kuasa kembali ke tangan pemerintah. Bagi perusahaan-perusahaan teknologi, selain masalah kuasa dan uang, pemerintah juga khawatir akan banyaknya data yang diketahui oleh para perusahaan. Memang, perusahaan teknologi yang membuat game dan aplikasi online biasanya akan mengumpulkan data dari para penggunanya. Sebagai ilustrasi, Alipay punya 900 juta pengguna di Tiongkok.

Pemerintah Tiongkok khawatir, data warga akan disalahgunakan oleh perusahaan. Dalam kasus Ant Group — yang hendak melakukan IPO di Shanghai dan Hong Kong — pemerintah Tiongkok khawatir, perusahaan akan didesak oleh pemerintah negara asing untuk menyerahkan data yang mereka punya.

Penutup

Pada 2018, Indonesia pernah memblokir Tumblr. Padahal, saat itu, saya sedang getol-getolnya main Tumblr. Setelah mendengar berita itu, hal pertama yang saya lakukan adalah memasang aplikasi VPN di smartphone saya. Kemudian, saya mulai menggunakan browser Opera, yang sudah dilengkapi dengan fitur VPN. Pemerintah Indonesia juga terus-menerus menggaungkan program Internet Sehat mereka. Meskipun begitu, keberadaan program itu tidak menghentikan orang-orang yang memang ingin mencari konten yang memang dilarang.

Contoh di atas membuktikan kebenaran dari pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk membatasi waktu bermain anak di bawah umur memang sah-sah saja. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa para gamers muda akan mencari celah untuk mengakali regulasi tersebut. Apalagi karena saat ini, bermain game sudah tidak hanya menjadi hobi, tapi juga alat komunikasi dengan teman dan keluarga.

Sumber header: Lifehacker Australia

Studi Kasus Asosiasi Esports di Berbagai Negara di Dunia

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi perhatian banyak pihak, mulai dari perusahaan non-endemik, perusahaan venture capital, sampai pemerintah. Mengingat industri esports memang terus tumbuh, baik dari segi jumlah penonton maupun valuasi, hal ini tidak aneh. Seiring dengan semakin populernya competitive gaming, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk membuat asosiasi atau lembaga untuk menaungi esports. Di Indonesia, setidaknya ada dua lembaga yang bertanggung jawab atas esports, yaitu Indonesia Esports Association (IeSPA) dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI).

Dalam bahasa Inggris, ada pepatah: There is strength in numbers. Biasanya, semakin besar sebuah kelompok, semakin kuat pula kelompok tersebut. Masalahnya, menyatukan misi dan visi banyak orang bukan perkara mudah. Dan dalam kasus asosiasi esports, keberadaan banyak asosiasi justru bisa membuat para pelaku bingung. Apalagi, jika tugas dari masing-masing asosiasi tidak dipisahkan dengan jelas, membuat tanggung jawab setiap asosiasi menjadi saling tumpang tindih.

Kabar baiknya — atau justru kabar buruknya — Indonesia bukan satu-satunya negara yang punya lebih dari satu lembaga esports. Di beberapa negara lain — seperti Singapura dan Malaysia — asosiasi yang menaungi esports juga tidak hanya satu. Berikut pembahasan tentang lembaga apa saja yang ada di sejumlah negara dan apa saja tugas mereka.

Malaysia – MeSF & ESI

Sama seperti Indonesia, di Malaysia, setidaknya ada dua lembaga yang menaungi esports, yaitu Malaysia Esports Federation (MeSF) dan Esports Integrated (ESI). Menariknya, kedua asosiasi itu sama-sama ada di bawah naungan Kementerian Belia dan Sukan (KBS) alias Kementerian Pemuda dan Olahraga. MeSF didirikan pada Desember 2014. Saat didirikan, MeSF masih menggunakan nama Esports Malaysia (ESM). Pada 2020, status ESM naik menjadi federasi dan nama mereka pun menjadi MeSF. Mereka juga merupakan anggota dari International Esports Federation (IeSF).

Salah satu peran MeSF dalam mengembangkan industri esports di Malaysia adalah membuat Malaysia Esports Blueprint. Sesuai namanya, blueprint tersebut berisi rencana esports dalam lima tahun ke depan, sejak 2020 sampai 2025. Keberadaan Malaysia Esports Blueprint diumumkan pada November 2019 oleh Syed Saddiq, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dengan program ini, pemerintah Malaysia ingin menjadikan Malaysia sebagai pusat esports di Asia Tenggara. Pada 2018 dan 2019, memang ada beberapa kompetisi esports internasional yang digelar di Malaysia. Dua diantaranya adalah Dota 2 Major Kuala Lumpur dan Mobile Legends World Championship.

Ada lima strategi yang menjadi prioritas bagi pemerintah Malaysia. Salah satunya adalah menyelenggarakan Malaysia Esports League. Selain itu, pemerintah Malaysia juga ingin menggelar konferensi esports, membuat pusat latihan esports berlisensi, mendorong agar ada lebih banyak perempuan yang ikut aktif di dunia esports, dan menjamin kesejahteraan para atlet esports. Pemerintah Malaysia juga ingin membahas tentang masalah kecanduan game.

MEL21 akan mengadu beberapa game. | Sumber: Upstation.Asia

Sementara itu, ESI diluncurkan oleh KBS pada Oktober 2020. Ketika itu, KBS menyebutkan bahwa tujuan mereka membuat ESI adalah untuk membangun struktur esports yang terintegrasi. Demi merealisasikan hal tersebut, mereka akan melakukan empat hal pada fase pertama. Keempat hal itu adalah:

1. Membuat platform untuk mengatur ekosistem esports secara terpusat
2. Mengadakan Malaysia Esports Circuit
3. Memperkenalkan seri Esports Conference and Summit
4. Menjadi advokat agar pemerintah bisa membuat regulasi yang lebih baik

Selain itu, ESI Juga akan mengadakan program Capacity Building, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari para pelatih, manajer tim, serta Event Organizers (EO). Di bawah naungan KBS, ESI juga akan membuat fasilitas esports resmi yang terletak di Spacerubix, Puchong. Selain sebagai tempat latihan untuk pemain profesional dan amatir, tempat tersebut juga akan memiliki fungsi lain, seperti sebagai tempat untuk esports event serta tempat berkumpul para pelaku esports untuk bersosialisasi dan membangun jaringan.

Singapura – SCOGA & SGEA

Di Singapura, juga ada setidaknya dua lembaga esports. Pertama, Singapore Cybersports & Online Gaming Association (SCOGA). Kedua, Singapore Esports Association (SGEA). Baik SCOGA maupun SGEA bukan anggota dari IeSF. Namun, SGEA merupakan anggota dari Global Esports Federation (GEF) dan juga Singapore National Olympic Council (SNOC).

SCOGA didirikan pada 2008. Berdasarkan situs resmi mereka, SCOGA punya tiga fokus, yaitu Esports Academy, Campus Game Fest, dan Campus Legends. Melalui Esports Academy, SCOGA ingin memberikan edukasi tentang esports dan membantu generasi muda agar bisa berprestasi di bidang competitive gaming. Selain itu, SCOGA juga berniat untuk membantu generasi muda yang ingin berkarir di dunia esports, baik sebagai atlet, pelatih, manajer, atau bahkan pemilik tim.

Sementara untuk menggelar Campus Game Fest (CGF), SCOGA bekerja sama dengan Institute Technical Education (ITE) dan People’s Association Youth Movement (PAYM). Melalui CGF, SCOGA ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya gaya hidup yang seimbang, khususnya di kalangan anak muda. Terakhir, melalui Campus Legends, SCOGA berusaha untuk mendekatkan diri, mengedukasi, serta mengkaryakan generasi muda melalui esports.

Salah satu hal konkret yang SCOGA lakukan untuk membangun ekosistem esports Singapura adalah bekerja sama dengan Moonton untuk menggelar M2 World Championship. Dikutip dari Esports Insider, Nicholas Khoo, Co-founder dari SCOGA mengatakan, dengan diadakannya M2 World Championship di Singapura, dia berharap, hal ini bisa memberikan harapan pada fans esports di Singapura yang telah lelah menghadapi pandemi. Selain itu, dia juga ingin agar kompetisi itu bisa mendorong generasi muda untuk mengejar aspirasi mereka, khususnya di bidang esports.

SCOGA jadi salah satu rekan Moonton dalam mengadakan M2 World Championship.

Jika dibandingkan dengan SCOGA, umur Singapore Esports Association (SGEA) jauh lebih pendek. Asosiasi itu baru didirikan pada 2018. Di situs resmi mereka, SGEA menyebutkan bahwa misi mereka adalah mendorong partisipasi Singapura di kancah esports, baik di tingkat regional maupun internasional. Selain itu, mereka juga bertugas untuk mempromosikan esports. Memang, di Singapura, esports tidak terlalu populer. Alasannya, karena sistem edukasi di sana sangat ketat. Alhasil, para siswa di Singapura lebih memilih untuk fokus pada sekolah daripada menjadi atlet esports.

Salah satu kontribusi SGEA ke industri esports Singapura adalah memilih atlet esports yang bakal maju ke SEA Games 2021. Untuk memilih tim esports nasional, SGEA mengadakan National Selections untuk tiga game esports, yaitu League of Legends: Wild Rift, League of Legends, dan Arena of Valor.

Korea Selatan – KeSPA

Lembaga yang menaungi esports di Korea Selatan adalah Korea e-Sports Association (KeSPA). Ketika didirikan pada 2000, KeSPA ada di bawah naungan Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata Korea. Selain itu, mereka juga merupakan anggota dari IeSF dan Korean Olympic Committee (KOC). Pada awalnya, KeSPA didirikan dengan tujuan untuk menjadikan turnamen esports sebagai kompetisi olahraga resmi. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk memperkuat bisnis esports.

Dari sisi operasional, KeSPA melakukan banyak hal, mulai dari mengadakan esports events, menyiarkan konten esports, sampai mengedukasi masyarakat agar lebih berpikiran terbuka pada gaming. Mereka juga punya wewenang untuk menetapkan taraf hidup para pemain profesional. Langkah kongkret yang mereka lakukan adalah membuat regulasi baru yang mereka buat bersama dengan Riot Games dan Ongamenet. Regulasi tersebut diumumkan pada Oktober 2014.

KeSPA Cup 2020 dimenangkan oleh DAMWON Gaming. | Sumber; Sportskeeda

Salah satu hal yang dibahas dalam regulasi dari KeSPA itu adalah gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. KeSPA juga menetapkan bahwa kontrak antara organisasi esports dan pemain profesional harus memiliki durasi paling singkat selama satu tahun. Peraturan terkait lama kontrak ini mulai diberlakukan pada 2016.

KeSPA juga bisa menjatuhkan hukuman pada pemain esports yang berbuat curang. Contohnya, pada April 2010, Sanction Subcommittee dari KeSPA melarang 11 pemain StarCraft ikut serta dalam kompetisi esports di masa depan. Alasannya, 11 pemain tersebut terlibat dalam kasus match-fixing di musim pertandingan 2009. Ironisnya, dua pemain KeSPA — Lee “Life” Seung dan Jung “Bbyong” Woo Yong — juga pernah terlibat dalam kasus match-fixing.

Jepang – JeSU

Pada awalnya, Jepang punya tiga asosiasi esports, yaitu Japan e-Sports Association, eSports Promotion Organization, dan Japan eSports Federation. Pada Februari 2018, ketiga asosiasi esports itu memutuskan untuk melakukan konsolidasi, lapor The Esports Observer. Alhasil, berdirilah Japan Esports Union (JeSU). Saat ini, JeSU punya 42 anggota, termasuk developer dan publisher game ternama, seperti Bandai Namco, Capcom, Konami, Microsoft Japan, Sony, Square Enix, dan Tencent Japan. Mereka juga merupakan anggota dari IeSF.

Tak bisa dipungkiri, industri game Jepang adalah salah satu yang paling besar di dunia. Menurut data Newzoo, walau hanya memiliki populasi sebanyak 126,5 juta orang, industri game Jepang bernilai US$20,6 juta. Sayangnya, industri esports Jepang justru sempat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan esports di Jepang adalah keberadaan Act against Unjustifiable Premiums and Misleading Representation. Regulasi itu sebenarnya dibuat untuk mencegah yakuza mendapatkan uang dari mesin poker atau judi. Namun, peraturan itu juga membatasi jumlah hadiah yang bisa ditawarkan dalam kompetisi esports. Maksimal, kompetisi esports hanya bisa memberikan hadiah sebesar JPY100 ribu (sekitar Rp13 juta).

JAPAN eSPORTS GRAND PRIX. | Sumber: IeSF

JeSU berhasil mengakali regulasi tersebut. Dan hal itu menjadi salah satu pencapaian JeSU. Agar total hadiah kompetisi esports tidak dibatasi, JeSU mengeluarkan lisensi “Pro Gaming”. Ada tiga jenis lisensi yang dikeluarkan oleh JeSU, yaitu Japan eSports Pro License, Japan eSports Junior License, dan Japan eSports Team License, seperti yang disebutkan oleh GammaLaw.

Selain membuat lisensi Pro Gaming, JeSU juga aktif untuk mengedukasi masyarakat. Harapannya, hal ini akan mengubah pandangan masyarakat akan dunia esports dan pemain profesional bisa diterima oleh masyarakat. Untuk itu,  JeSU terus mendukung acara esports atau mengadakan kompetisi esports sendiri. Hampir setiap bulan, JeSU selalu mengadakan atau mendukung acara esports di Jepang.

Usaha JeSU berbuah manis. Menurut data dari Gzbrain, industri esports di Jepang tumbuh pesat setelah JeSU meluncurkan lisensi Pro Gaming. Pada 2017, industri esports di Jepang hanya bernilai US$3,4 juta. Angka itu naik 1244% menjadi US$42,3 juta pada 2018. Dan industri esports di Jepang diduga masih akan terus naik. Pada 2022, diperkirakan, esports di Jepang akan tumbuh menjadi industri bernilai US$90,8 juta.

Inggris – BEA

United Kingdom eSports Associatoin (UKeSA) didirikan pada Oktober 2008 untuk menaungi esports di Inggris. Namun, satu tahun kemudian, lebih tepatnya pada Desember 2019, asosiasi itu dibubarkan. Pada 2016, British Esports Association (BEA) berdiri. Salah satu tujuan asosiasi itu adalah untuk memperkenalkan esports pada warga Inggris. Pada saat yang sama, mereka juga bertugas untuk meningkatkan standar ekosistem esports di Inggris. Di situs resmi mereka, BEA mengunkap bahwa mereka bukanlah regulator. Fokus mereka adalah pada pengembangan ekosistem esports amatir di tingkat sekolah dan universitas.

Selama ini, BEA telah menyelenggarakan sejumlah turnamen esports. Salah satunya adalah British Esports Championships, kompetisi esports yang ditujukan untuk para pelajar di Inggris Raya. Belum lama ini, BEA juga mengeluarkan Esports Age Guide. Sesuai namanya, Esports Age Guide berfungsi untuk menginformasikan orang tua, guru, dan bahkan anak dan remaja akan rating dari game-game esports. Keberadaan panduan ini diharapkan akan memudahkan orang tua dan guru untuk menentukan game esports yang sesuai dengan umur anak dan remaja.

Amerika Serikat – USeF

Di Amerika Serikat, asosiasi yang bertanggung jawab atas esports adalah United States eSports Federation (USeF). Asosiasi itu juga merupakan bagian dari IeSF. Sama seperti kebanyakan asosiasi esports di negara lain, tujuan USeF adalah untuk mempromosikan esports dan menumbuhkan industri competitive gaming. Salah satu program USeF adalah Armour On, yang bertujuan untuk melindungi atlet esports dan memitigasi stigma negatif terkait game. Melalui program itu, USeF juga ingin meningkatkan kesadaran para pelaku esports akan pentingnya kesehatan mental, nutrisi, dan juga kesetaraan gender.

USeF dipimpin oleh Vlad Marinescu, yang menjabat sebagai President. Sebelum ini, Marinescu pernah menduduki jabatan sebagai Director General dari SportAccord, Global Association of International Sport Federation (GAISF). Pada Juli 2019, dia ditunjuk sebagai Vice President dari IeSF. Dan pada Mei 2020, dia diangkat menjadi President dari IeSF.

Tiongkok – CSIC & General Administration of Sports

Di Tiongkok, esports sudah diresmikan sebagai olahraga sejak 2003. Badan yang meresmikan hal itu adalah General Administration of Sports, ungkap Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners. Dia menambahkan, pada tahun 2020, pihak yang bertanggung jawab untuk mengubah format kompetisi esports menjadi online selama pandemi adalah General Administration of Sports.

“Walau General Administration of Sports adalah badan yang bertanggung jawab atas esports di tingkat nasional, pemerintah lokal yang punya peran besar untuk mendorong pertumbuhan esports,” ujar Ahmad melalui email. “Pemerintah lokal di berbagai kota di Tiongkok telah membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan esports. Biasanya, pihak pemerintah akan memberikan insentif berupa bantuan keuangan.” Beberapa pemerintah lokal yang telah mengeluarkan regulasi untuk membantu pertumbuhan esports antara lain Shanghai, Beijing, Guangzhou, Nanjing, Shenzhen, Hainan, Xian, dan Chengdu.

Mercedes-Benz Arena di Shanghai. | Sumber: Wikipedia

Peran pemerintah Tiongkok dalam pengembangan esports juga dibahas dalam jurnal berjudul Development of E-sports industry in China: Current situation, Trend and research hotspot. Di jurnal itu, disebutkan bahwa pemerintah Tiongkok — pusat dan daerah — telah mengeluarkan 98 regulasi untuk mendukung industri esports. Tidak heran jika pemerintah Tiongkok sangat peduli akan perkembangan industri esports, mengingat jumlah fans esports di Tiongkok memang banyak. Berdasarkan data dari Penguin Intelligence, jumlah fans esports di Tiongkok pada 2020 mencapai 400 juta orang atau sekitar seperlima dari total penonton esports di dunia. Sementara itu, nilai industri esports di Tiongkok mencapai CNY102,8 miliar. Dengan ini, Tiongkok menjadi pasar esports terbesar.

Selain General Administration of Sport, Tiongkok juga punya China Sports Information Center (CSIC), yang mewakili mereka di IeSF. Namun, ketika Tiongkok berpartisipasi dalam pertandingan eksibisi esports di Asian Games 2018, pihak yang memilih tim nasional esports adalah General Administration of Sports.

Global – IeSF & GEF

Tidak semua asosiasi esports membatasi diri untuk beroperasi di satu negara. Juga ada asosiasi esports yang memiliki skala global. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF). Didirikan pada 2008, IeSF bermarkas di Korea Selatan. Saat didirikan, ada sembilan asosiasi esports yang bernaung di bawah IeSF. Sembilan asosiasi itu berasal dari Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Jerman, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, dan Vietnam. Saat ini, IeSF punya 104 negara anggota, termasuk Indonesia. Di IeSF, Indonesia diwakili oleh IeSPA.

Walau memiliki skala global, IeSF juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah. Salah satunya adalah Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata (MCST) Korea Selatan. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan Busan IT Industry Promotion Agency (BIPA), dan Maccabi World Union.

Salah satu hal yang IeSF lakukan adalah mengelar kompetisi esports tahunan. Ketika pertama kali diselenggarakan pada Desember 2009, turnamen esports dari IeSF dinamai IeSF Challenge. Tahun berikutnya, IeSF kembali mengadakan kompetisi esports. Hanya saja, mereka menggunakan nama yang berbeda, yaitu IeSF Grand Finals. Pada 2011, nama kompetisi itu kembali diubah, menjadi IeSF World Championship. Dan pada 2014, IeSF menggunakan nama Esports World Championship. Nama itulah yang digunakan oleh IeSF hingga sekarang.

IeSF World Championship 2018. | Sumber: Inside the Games

IeSF bukanlah satu-satunya asosiasi esports global yang ada. Pada Desember 2019, Global Esports Federation (GEF). Federasi yang bermarkas di Singapura itu punya tujuan untuk meningkatkan kredibilitas esports. Secara konkret, salah satu hal yang GEF lakukan adalah memastikan para atlet esports tidak menggunakan doping. Selain itu, mereka juga membuat peraturan terkait gaji pemain esports, merumuskan peraturan dan struktur kepemimpinan esports, serta mendorong terciptanya asosiasi esports nasional yang memiliki standar dan regulasi yang jelas.

Salah satu hal yang membedakan GEF dengan IeSF adalah kedekatan GEF dengan Komite Olimpiade. Pasalnya, sejumlah tokoh GEF memang punya kaitan dengan komite Olimpiade nasional. Misalnya, Chris Chan, yang menjadi President GEF, juga menjabat Sektretaris Jenderal dari Singapore National Olympic Council. Sementara itu, dua Vice President GEF — Wei Jizhong dan Charmaine Crooks — juga punya andil dalam Olimpiade.

Wei merupakan mantan Sekretaris Jenderal dari Chinese Olympic Committee dan Crooks merupakan atlet yang pernah ikut dalam Olimpiade sebanyak lima kali. Selain itu, Chris Overholt,yang menduduki posisi sebagai Head of Digital Technology and Innovation Commission di GEF, juga menjabat sebagai CEO dari Canadian Olympic Committee. Tak hanya itu, GEF juga punya hubungan erat dengan publisher, khususnya Tencent. Faktanya, Tencent merupakan salah satu founding partner GEF. Jadi, GEF menunjuk Cheng Wu — Vice President, Tencent Holdings dan CEO dari Tencent Pictures — sebagai salah satu Vice President.

IESF VS GEF

IeSF telah berdiri terlebih dulu. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah GEF didirikan untuk menyaingi IeSF. Ketika ditanya tentang hal itu, Chris Chan, President GEF mengatakan bahwa GEF tidak dibuat dengan tujuan untuk menyaingi IESF. Namun, dia juga sadar bahwa tidak tertutup kemungkinan, IeSF memang akan melihat GEF sebagai saingan. Walau dia sadar, IeSF memang bisa menganggap mereka sebagai saingan.

Menurut Nicolas Besombes, keberadaan GEF sebagai asosiasi esports baru justru bisa menimbulkan kebingungan di industri esports. Besombes sendiri merupakan Associate Professor untuk fakultas olahraga dari University of Paris. Dia juga pernah menjadi penasehat untuk Olympic Esports Summit yang digelar di Lausanne pada 2018.

Saat GEF didirikan.

“Saya rasa, publisher memang harus ikut serta dalam mengkonsolidasi industri, tapi tidak sendiri,” kata Besombes, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Dengan menyatukan semua pemegang kepentingan (tim, pemain, penyelenggara liga, manufaktur, publisher, dan perusahaan siaran), maka cara terbaik untuk menyatukan industri esports akan muncul.”

Di GEF, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah konflik kepentingan. Karena, Tencent, yang merupakan founding partner GEF, juga memiliki saham di beberapa perusahaan game esports. Mereka menguasai seluruh saham Riot Games, yang membuat League of Legends. Selain itu, mereka juga memiliki 81,4% saham dari Supercell, kreator dari Clash Royale. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga punya 40% dari Epic Games, yang membuat Fortnite. Tencent sendiri juga meluncurkan beberapa game esports, seperti PUBG Mobile dan Honor of Kings atau Arena of Valor.

Kabar baiknya, menurut Besombes, GEF memiliki orang-orang yang punya peran penting di komite Olimpiade, yang memberikan keuntungan pada industri esports. Karena, hal itu bisa meningkatkan kredibilitas esports dan meyakinkan para investor akan esports. Keberadaan lebih dari satu asosiasi esports memunculkan pertanyaan: apakah esports memang bisa diregulasi?

Sekarang, esports sering disandingkan dengan olahraga tradisional. Namun, tetap ada beberapa perbedaan antara esports olahraga. Salah satu perbedaan paling fundamental adalah esports menggunakan game sebagai media. Padahal, game adalah produk komersil milik publisher. Artinya, publisher punya kuasa penuh akan apa yang ingin mereka lakukan pada IP yang mereka buat. Dan hal ini menjadi salah satu alasan mengapa esports sulit untuk diregulasi — kecuali oleh publisher.

Perbedaan skema esports dari LOL dan CS:GO. | Sumber: The Esports Observer

Alasan lain mengapa sulit untuk membuat badan regulasi di esports adalah karena esports mencakup banyak game. Dan setiap game punya publisher yang memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Ada publisher yang turun tangan langsung dalam pengembangan ekosistem esports dari game mereka, seperti Riot Games dan Tencent. Namun, juga ada publisher yang menunjukkan sikap acuh tak acuh. Contohnya adalah Valve dengan Counter-Strike: Global Offensive.

Komisi Anti-Curang – ESIC

Esports Integrity Commission (ESIC) menjadi salah satu asosiasi esports lain yang memiliki jangkauan global. Namun, berbeda dengan GEF dan IeSF, ESIC hanya fokus pada satu tujuan, yaitu menjaga integritas esports. Karena, jika penonton tidak lagi percaya akan integritas pertandingan esports, maka mereka akan pergi. Padahal, jumlah penonton yang terus naik — dan umur penonton yang cenderung muda — merupakan salah satu daya tarik esports.

Demi menjaga integritas esports, ESIC berusaha mencegah terjadinya kecurangan, seperti match-fixing, penggunaan doping, atau kecurangan lainnya. Tapi, jika kecurangan sudah terlanjur terjadi, ESIC punya wewenang untuk melakukan investigasi terkait kasus kecurangan tersebut dan bahkan memberikan sanksi pada orang-orang yang terlibat.

Sejauh ini, ESIC telah menjatuhkan hukuman berupa suspension atau bahkan ban pada puluhan pemain dan pelatih Counter-Strike: Global Offensive ketika mereka tertangkap melakukan kecurangan. Misalnya, pada September 2020, ESIC memberikan hukuman pada 37 pelatih tim CS:GO karena menggunakan bug untuk memberitahu posisi musuh pada anak asuh mereka. Sebelum itu, ESIC juga pernah bekerja sama dengan Kepolisian Victoria untuk menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match-fixing di Australia. Tak hanya itu, ESIC juga pernah bekerja berdampingan dengan FBI untuk menyelidiki kasus match-fixing.

Kesimpulan

Mengetahui bahwa Malaysia dan Singapura juga punya lebih dari satu asosiasi esports — sama seperti Indonesia — mungkin terasa melegakan. Namun, kita harus hati-hati agar tidak terjebak dalam logical fallacy bandwagon: mempercayai bahwa jika suatu hal dilakukan oleh banyak orang, berarti tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Dari JeSU di Jepang, kita bisa mengetahui bahwa ketika asosiasi melakukan konsolidasi, hal ini justru membuat mereka menjadi semakin efektif. Buktinya, mereka berhasil menemukan cara untuk mengakali regulasi terkait perjudian yang telah ada selama ratusan tahun. Sementara dari Tiongkok, kita bisa melihat bagaimana dukungan pemerintah tidak hanya bisa mengubah stigma negatif akan game, tapi juga memajukan industri game dan esports.

Seberapa Penting Reputasi Brand di Industri Game dan Esports?

Tahukah Anda, biaya produksi iPhone 11 Pro Max hanyalah US$490,5. Padahal, smartphone itu dijual dengan harga sekitar US$1.099 sampai US$1.449. Memang, Apple juga memberikan berbagai layanan untuk para pengguna iPhone. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, keuntungan yang Apple dapatkan dari iPhone cukup besar.

Pada 2019, Apple hanya menguasai 14,5% pangsa pasar smartphone. Perusahaan asal Amerika Serikat itu masih kalah jika dibandingkan dengan Samsung, yang menguasai 21,8% pangsa pasar dan Huawei, dengan pangsa pasar 17,6%. Meskipun begitu, dari segi laba, Apple menguasai 66% total keuntungan industri smartphone.

Lalu, apa yang membuat iPhone menjadi lebih berharga di mata para pengguna dari smartphone lainnya? Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, salah satu alasan kenapa konsumen mau membeli produk Apple adalah karena barang elektronik dengan logo apel tersebut memang punya reputasi sebagai barang mewah. Hal ini menjadi bukti bahwa reputasi sebuah brand bisa membuat konsumen rela membayar harga lebih mahal.

Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh reputasi merek pada perusahaan. Dan bagaimana reputasi akan memengaruhi perusahaan game atau entitas esports.

Brand Equity: Definisi dan Keuntungan yang Diberikan ke Perusahaan

Secara harfiah, brand equity berarti nilai atau valuasi dari sebuah brand. Cara untuk mengetahui apakah sebuah brand punya nilai atau tidak cukup mudah. Jika sebuah brand menawarkan sebuah produk dengan harga yang lebih mahal dari produk serupa di pasar dan konsumen tetap mau membeli produk dari merek itu, maka merek tersebut punya nilai. Buktinya, konsumen rela mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk dari merek tersebut.

Mari kita ambil Louis Vuitton sebagai contoh. Ketika mereka bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat koleksi pakaian LVxLOL, mereka membanderol kaos dengan gambar Qiyana seharga US$670 atau sekitar Rp9,4 juta. Dari semua koleksi tersebut, jaket kulit menjadi produk yang paling mahal, dengan harga US$5.650 atau sekitar Rp79 juta. Padahal, biaya produksi untuk membuat sebuah kaos bergambar atau jaket kulit jelas tidak semahal itu. Namun, harga yang jauh lebih mahal dari biaya produksi tidak menghentikan orang-orang untuk membeli koleksi LVxLOL — atau produk Louis Vuitton lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa merek Louis Vuitton punya nilai tersendiri di mata konsumen. Dan memang, nilai brand Louis Vuitton mencapai US$14,86 miliar pada 2021, menurut data dari Statista.

Nilai merek Louis Vuitton dari 2016 ke 2021. | Sumber: Statista

Ada beberapa keuntungan yang didapat perusahaan ketika merek mereka punya reputasi yang bagus. Menurut Investopedia, reputasi merek yang baik bisa berdampak langsung pada keuntungan perusahaan. Pasalnya, perusahaan bisa memasang harga yang lebih mahal dari pesaing ketika mereka menjual produk mereka, walau produk itu tidak jauh berbeda dari produk milik pesaing. Hal itu berarti, perusahaan bisa mendapatkan margin untung yang lebih besar. Dalam kasus Louis Vuitton — atau merek luxury fashion lainnya — mereka tentu punya margin untung yang jauh lebih besar daripada penjual kaos di pasar.

Tak hanya margin laba, brand equity juga bisa memengaruhi volume penjualan produk. Semakin baik reputasi perusahaan, semakin banyak pula orang yang mau membeli produk dari perusahaan itu. Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan keuntungan yang didapat perusahaan. Meskipun margin laba yang perusahaan dapatkan dari sebuah produk kecil, tapi jika mereka bisa menjual produk itu dalam jumlah banyak, maka keuntungan yang mereka dapat pun tetap akan menjadi besar.

Terakhir, keuntungan yang perusahaan dapat dari reputasi yang baik adalah kesetiaan pelanggan. Ketika seorang konsumen sudah setia dengan satu brand, biasanya dia akan selalu membeli produk dari merek tersebut. Ketika membeli makanan, saya cenderung memilih restoran yang mereknya sudah saya kenal. Selain menjadi repeat customer, pelanggan yang sudah menjadi fans setia dari sebuah merek juga biasanya akan membeli lebih dari satu produk dari merek tersebut. Sebagai contoh, pengguna iPhone biasanya juga menggunakan iMac. Bagi perusahaan, pelanggan yang setia berarti mereka bisa menghemat ongkos marketing. Karena, biaya untuk retensi konsumen cenderung lebih murah daripada mengakuisisi konsumen baru.

Biaya untuk mempertahankan konsumen biasanya tidak semahal mendapatkan konsumen baru. | Sumber: Deposit Photos

Lalu, bagaimana cara untuk menghitung brand equity?

Secara garis besar, ada tiga mteode yang bisa digunakan untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Pertama, cost-based brand valuation. Sesuai namanya, metode ini menentukan nilai dari sebuah brand dengan menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk membangun merek itu, mulai dari biaya promosi, biaya iklan, sampai biaya untuk mendaftarkan lisensei dan trademarks. Semua biaya tersebut harus dihitung sejak merek didirikan. Jadi, metode ini cocok digunkaan untuk menghitung valuasi brand yang masih baru, seperti yang disebutkan oleh The Balance.

Market-based brand valuation merupakan cara lain untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Metode ini menentukan nilai brand dengan membandingkan merek tersebut dengan merek pesaing, khususnya ketika merek pesaing baru saja dijual. Dalam market-based brand valuation, nilai saham dari perusahaan pesaing juga bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan nilai merek sebuah perusahaan.

Metode terakhir untuk menghitung nilai brand adalah income approach. Di metode ini, Anda menghitung nilai sebuah brand dengan memperkirakan pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan dari brand tersebut. Selain potensi pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan, hal lain yang harus diperhitungkan dalam metode ini adalah besar penghematan biaya yang bisa perusahaan lakukan. Contohnya, penghematan biaya marketing karena konsumen yang sudah loyal.

Pentingnya Reputasi Merek di Dunia Game dan Esports

Menurut data dari World Federation of Advertisers, hampir 40% konsumen tidak percaya dengan iklan tradisional. Namun, sebagian besar konsumen justru akan mempercayai komentar dari teman mereka atau review online. Hal ini menunjukkan, saat ini, reputasi merek semakin penting. Reputasi merek tidak hanya penting bagi perusahaan yang menjual barang, tapi juga entitas yang menyediakan layanan jasa, termasuk perusahaan game dan pelaku esports.

Bagi developer game, membangun reputasi sama artinya dengan membangun komunitas. Dan hal ini akan membantu mereka untuk menjual game mereka di masa depan. Topik akan pentingnya membangun komunitas bagi developer dibahas oleh Shahid Ahmad, mantan Director of Strategic Content, PlayStation, pada Casual Connect Europe pada 2016. Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Cabang Montreal, juga mengungkapkan hal yang sama.

Jason Della Rocca. | Sumber: Wikipedia

Della Rocca mengakui, developer game biasanya lebih memilih untuk fokus pada proses pembuatan game dan menyerahkan tugas membangun komunitas pada publisher. Namun, dia menyebutkan, hal ini justru bisa merugikan developer. Alasannya, developer tidak selalu bekerja sama dengan publisher yang sama ketika meluncurkan game.

“Anda bisa saja bekerja sama dengan Publisher X untuk menerbitkan game pertama Anda dan menggandeng Publisher Y untuk game Anda berikutnya,” kata Della Rocca, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Keberadaan komunitas dan kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan fans secara langsung merupakan aset penting bagi developer. Bagi indie developer, komunitas adalah hal yang sangat krusial.”

Tanpa fanbase, developer akan kesulitan untuk menggunakan berbagai marketing tools yang ada secara maksimal. Della Rocca menjadikan Kickstarter sebagai contoh. Melalui Kickstarter, developer bisa mendapatkan uang yang diperlukan untuk mengembangkan game mereka. Namun, jika developer mengadakan kampanye Kickstarter tanpa membangun fanbase terlebih dulu, kemungkinan besar, kampanye mereka tidak akan berhasil atau tidak maksimal. “Kickstarter adalah alat untuk membangun komunitas. Ia bisa digunakan sebagai bagian dari proses marketing game,” ujar Della Rocca.

Sementara itu, Ahmad menjelaskan, membangun fanbase bisa membantu developer untuk membuat game-nya tampil menonjol dari game-game lain. Dia memperkirakan, setiap harinya, ada lebih dari 100 game yang diluncurkan di iOS. Ditambah dengan game-game yang diluncurkan di platform lain, maka setiap harinya, ada ratusan game baru yang diluncurkan. Membuat game yang bisa tampil menonjol dari ratusan atau bahkan ribuan game lain bukanlah perkara mudah. Sementara sebagai gamer, Ahmad menceritakan pengalaman pribadinya, dia justru sering merasa kesulitan untuk memilih game baru untuk dimainkan karena ada terlalu banyak opsi.

Banyaknya pilihan game terkadang justru membuat seseorang bingung. | Sumber: Deposit Photos

“Kadang saya memeriksa iPhone saya untuk mencari game baru. Saya mengunduh game baru, tapi hanya memainkannya selama sekitar 20 detik. Setelah itu, saya akan membuka Steam, yang menampilkan daftar game yang sudah dikurasi sesuai preferensi saya,” cerita Ahmad. Namun, pada akhirnya, dia justru memainkan Call of Duty. Alasannya karena dia tidak menemukan game dari indie developer yang menarik perhatiannya.

“Jadi, apa yang harus developer lakukan untuk mengatasi masalah itu? Mereka harus membangun reputasi,” ujar Ahmad. “Membangun reputasi menjadi salah satu keharusan bagi developer. Sekarang, punya reputasi yang baik sama pentingnya — atau justru lebih penting — dari membuat game yang berkualitas.” Dia menambahkan, tanpa reputasi dan tanpa komunitas, developer harus bisa membuat game yang benar-benar stand out di mata gamers.

“Padahal, sekarang, semua game terlihat sangat bagus. Karena, semua developer bisa mengakses berbagai tool hebat. Selain itu, ada banyak cara untuk meluncurkan game Anda, ada begitu banyak platform yang bisa Anda pilih,” kata Ahmad. “Jika Anda tidak berusaha untuk membangun reputasi Anda, jika Anda tidak mendekatkan diri dengan komunitas Anda, menunjukkan visi dan misi Anda di hadapan audiens Anda, Anda akan mengalami masalah.”

Blizzard dikenal dengan berbagai game mereka yang populer. | Sumber: Twitter

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Di industri game, perusahaan besar sekalipun bisa terkena skandal. Contohnya, Blizzard. Pada akhir Juli 2021, Blizzard dituntut oleh Departemen Ketenagakerjaan California karena mereka dianggap membiarkan budaya diskriminasi dan pelecehan seksual terjadi di perusahaan. Begitu skandal ini menyebar di media, Blizzard mendapatkan reaksi negatif dari berbagai pihak, mulai dari karyawan, mantan karyawan, pemain, sampai sponsor dari liga esports yang mereka adakan.

Menanggapi kasus ini, karyawan Blizzard mengadakan aksi mogok. Selain itu, mereka juga membentuk koalisi pekerja bernama “Aliansi Pekerja ABK”. Sementara itu, beberapa sponsor dari Overwatch League memutuskan untuk mundur. Salah satu sponsor yang mengundurkan diri adalah T-Mobile, perusahaan telekomunikasi raksasa asal AS. Tak hanya itu, Kellog — perusahaan yang membawah merek Cheez-It dan Pringles — juga tidak lagi menjadi sponsor dari OWL. Sementara Coca-Cola dan State Farm mengungkap bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali status mereka sebagai sponsor OWL.

Jumlah pemain aktif bulanan (MAU) Blizzard dari kuartal ke kuartal. | Sumber: Statista

Skandal Blizzard ini juga memengaruhi jumlah pemain game-game mereka. Pada Q2 2021, jumlah pemain aktif bulanan Blizzard hanya mencapai 26 juta orang, turun dari 46 juta orang pada Q2 2017. Menurut laporan GameRant, tren penurunan jumlah pemain Blizzard memang sebenarnya sudah terjadi sebelum muncul skandal akan diskriminasi dan pelecehan seksual, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas. Alasan para pemain Blizzard berhenti bermain beragam. Sebagian memutuskan untuk berhenti bermain karena mereka kecewa dengan game dari Blizzard. Sementara sebagian yang lain berhenti bermain karena Blizzard dianggap tidak memberikan dukungan yang memadai untuk game yang mereka mainkan, seperti pada Overwatch.

Walau jumlah pemain Blizzard cenderung turun, pemasukan perusahaan tetap menembus US$1 miliar. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pemasukan Blizzard pada 2018 naik menjadi US$2,3 miliar dari US$2,1 miliar pada 2017. Memang, pendapatan mereka sempat turun drastis ke US$1,7 miliar pada 2019. Namun, angka itu kembali naik ke US$1,9 miliar pada 2020.

Pemasukan Blizzard dari 2007 sampai 2020. | Sumber: Statista

Ramainya pemberitaan tentang budaya diskriminasi dan pelecehan seksual di Blizzard juga sempat membuat nilai saham perusahaan itu turun. Nilai saham Blizzard turun menjadi US$84,05 pada 27 Juli 2021 dari US$91,5 pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, pada 11 Agustus 2021, saham Blizzard sudah kembali naik, menjadi US$85 per lembar. Dan sayangnya, dampak skandal ini pada pemasukan Blizzard masih belum bisa dilihat. Jadi, belum diketahui apakah tuntutan yang diajukan pada Blizzard akan mendorong perusahaan itu untuk berubah atau mereka akan membiarkan budaya perusahaan yang tidak sehat terus berlanjut.

Blizzard bukan perusahaan game pertama yang terkena skandal. Sebelum ini, Riot Games dan Ubisoft pun pernah mendapatkan pemberitaan negatif karena budaya perusahaan yang kurang baik. Keduanya memang melakukan sejumlah perubahan. Meskipun begitu, sampai saat ini, dua perusahaan itu masih tetap menjalankan bisnis.

Pentingnya Reputasi Merek di Indonesia

Indofood Group adalah salah satu perusahaan asal Indonesia yang sukses bahkan hingga ke pasar internasional. Sebagai perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Indofood punya beberapa merek, seperti Indomie, Indomilk, Sarimi, Bimoli, dan Indofood. Dari semua merek tersebut, Indomie merupakan merek dengan nilai paling tinggi, mencapai US$440 juta. Sementara merek terpopuler kedua adalah Indomilk, yang bernilai US$335 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat gambar di bawah.

 

Nilai merek di bawah Indofood Group. | Sumber: SWA

Perhitungan nilai merek di atas dilakukan oleh SWA Brand Finance. SWA menjelaskan, ada beberapa faktor yang mereka jadikan tolok ukur untuk menghitung nilai dari masing-masing merek di bawah Indofood Group. Faktor pertama adalah Brand Strength, yang melibatkan kinjera keuangan perusahaan, sustainability, dan hubungan emosional brand dengan konsumen. Faktor-faktor lainnya adalah Royalty Range, Royalty Rate, pemasukan dari brand, proyeksi pendapatan dari merek, biaya royalti, dan proyeksi royalti.

Lalu, seberapa penting reputasi brand untuk organisasi esports? Andrian Pauline, CEO RRQ menyebutkan, reputasi itu sangat penting bagi organisasi esports. Tidak heran, mengingat sebagian besar pemasukan organisasi esports datang dari sponsorship. Dan seperti yang terlihat dari kasus Blizzard, sponsor akan mundur begitu pihak yang mereka sponsori terlibat skandal.

Untuk menentukan baik atau buruknya reputasi RRQ, AP menceritakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur. Salah satunya adalah perbandingan antara jumlah pemberitaan positif dengan pemberitaan negatif. Untuk meminimalisir pemberitaan negatif, AP mengungkap, pihak RRQ biasanya memang tidak mau berbicara tentang topik-topik tertentu. Dan ketika memberikan jawaban, mereka cenderung memberikan jawaban normatif.

“Kita semua di RRQ setuju bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa di-share ke media. Mengumbar hal-hal jelek demi konten, it’s just not us,” ujar AP ketika dihubungi melalui telepon. Selain pemberitaan media, hal lain yang menjadi tolok ukur reputasi RRQ adalah penghargaan yang mereka menangkan. AP menjelaskan, penghargaan yang dia maksud di sini bukanlah kompetisi esports yang RRQ menangkan, tapi penghargaan yang didasarkan pada pemungutan suara penonton atau metode lainnya.

Salah satu “penghargaan” yang RRQ pernah menangkan adalah gelar sebagai tim Mobile Legends paling populer di Asia Tenggara. Hal lain yang juga bisa menunjukkan baik-buruknya reputasi organisasi esports adalah brand yang menjadi rekan mereka. “Kalau kita mengadakan kolaborasi, tidak mungkin dengan brand atau perusahaan yang reputasinya kurang baik,” kata AP.

Tim Mobile Legends terpopuler di Asia Tenggara. | Sumber: Esports Charts

AP mengaku bersyukur karena semua orang di bawah RRQ — baik atlet esports maupun pihak manajemen — sepakat bahwa reputasi organisasi adalah sesuatu yang harus dijaga bersama. Dia menambahkan, bahkan setelah seseorang keluar dari RRQ, dia biasanya tidak akan membocorkan masalah internal organisasi ke pihak lain. “RRQ itu paling menjaga hal-hal yang bersifat internal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nama baik organisasi, kita coba selesaikan secara internal,” ujar AP. “Bukan berarti kita lebih bersih dari organisasi esports lain. Hanya saja, kita coba menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan secara internal.” Harapannya, pemberitaan buruk terkait masalah internal RRQ bisa diminimalisir.

Namun, RRQ bukanlah organisasi esports kecil. Mereka membawahi lebih dari 40 atlet esports. Tentunya, mereka juga mempekerjakan sejumlah orang untuk mengisi posisi manajemen. Sebagai CEO, mengawasi semua orang yang bekerja untuk RRQ memang mustahil. AP menyadari hal itu. Tapi, dia tetap percaya, semua orang di bawah RRQ mau menjaga nama baik organisasi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena budaya perusahaan di RRQ.

“Saya beruntung punya kolega kerja, pemain, manajer, dan pelatih yang memang tahu peraturan di RRQ,” ujar AP. “Yang saya lihat, mereka bukannya takut pada RRQ sebagai organisasi atau fans kami, tapi karena kebiasaan perusahaan, mulai dari hal-hal kecil, yang akhirnya membentuk individu yang bisa mengikuti peraturan. Kami juga memberikan contoh dari atas ke bawah. Mulai dari dulu, waktu kita hanya 4-5 orang saja, akhirnya sampai sebesar sekarang. Sampai saat ini, tidak ada yang menceritakan aib hanya demi buat konten seru-seruan. Sebisa mungkin kita bereskan secara internal.”

Organisasi esports bukan satu-satunya elemen dalam ekosistem esports. Ada berbagai entitas lain yang juga punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports, mulai dari publisher sampai penyelenggara turnamen.  Sayangnya, walau organisasi esports bisa menjaga nama baik mereka, terkadang, pihak lain dari ekosistem esports yang justru terkena skandal. Bisa jadi, yang tersangkut kasus justru sang publisher, seperti yang terjadi pada Blizzard. Ketika ditanya apa yang RRQ lakukan ketika publisher terkena masalah, AP menjawab bahwa RRQ akan mengambil sikap pragmatis.

Mobile Legends adalah salah satu game esports yang tumbuh pesat di Indonesia.

“Contoh, Moonton terkena kasus di Tiongkok, dituntut oleh Tencent. Di Indonesia, apa impact-nya? Apakah orang-orang yang main bakal masuk penjara? Apa EO yang membuat event untuk Moonton bakal dituntut oleh pengacara dari Tiongkok? Jika tidak ada, ya kita tidak usah ikut campur. Masalah itu akan menjadi masalah antara tim legal Moonton dan Tencent di Tiongkok,” jelas AP panjang lebar.

AP menyebutkan, RRQ juga tetap akan berusaha untuk menyuarakan kepentingan komunitas esports. Namun, mereka juga sadar bahwa pada akhirnya, RRQ hanyalah organisasi esports. “Mau sebanyak apapun fans Persija, mereka cuma klub sepak bola. Masih ada otoritas yang lebih tinggi dari mereka,” kata AP, memberikan analogi. Dan di ekosistem esports, publisher merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. “Kita tidak bisa pungkiri, ekosistem esports muncul berkat publisher. Dan tim esports, fans, EO, dan media merupakan bagian penting dari ekosistem esports. Kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya. Satu hal yang pasti, AP menekankan, RRQ akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam sebuah ekosistem esports.

Bagi orang-orang yang ingin menjadi atlet esports, AP memberikan sejumlah saran tentang cara menjaga reputasi dan mengembangkan karir. Salah satunya adalah fokus pada latihan. Menurutnya, saat ini, kebanyakan orang ingin menjadi pemain esports demi popularitas. Memang, biasanya, setelah pensiun, pemain esports akan menjadi streamer. Namun, dia menyebutkan, fokus utama dari pemain esports tetaplah memberikan performa yang baik dan membawa tim ke kemenangan.

“Atlet esports seharusnya bukan ingin bisa populer. Seharusnya, dia memasang target agar bisa jago dan membawa tim menang,” ungkap AP. Dia menyebutkan, ketika seseorang memberikan performa yang baik dan membawa timnya juara, popularitas akan datang dengan sendirinya.

Saran kedua dari AP adalah untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan membuat banyak konten. Alasannya, ketika seorang atlet esports justru fokus untuk membuat konten, maka dia tidak bisa berlatih dengan maksimal. Dan pada akhirnya, hal ini justru bisa menghambat karir sang atlet itu sendiri. “Peluang di esports itu kan sedikit dan tidak lama. Kalau dapat kesempatan, sebaiknya Anda berlatih keras. Dan juga bersosialisasi, perbanyak teman,” ujarnya. “Membangun chemistry dengan teman satu tim itu juga penting, tidak sekadar push rank.”

Bagi atlet esports, kemampuan untuk bisa membawa diri juga menjadi penting karena kebanyakan game esports dimainkan bersama-sama dengan tim dan tidak perseorangan. AP mengatakan, tidak peduli seberapa jago seorang atlet, jika dia tidak bisa rukun dengan teman satu timnya serta pelatihanya, karirnya tidak akan bertahan lama.

Sementara saran yang AP berikan untuk pemilik organisasi esports adalah untuk mencintai esports. “Temukan passion-nya,” ujarnya. “Kalau orientasinya lagi-lagi uang, jangan deh. Dia harus fall in love with esports. Bukan berarti dia harus main 12 jam sehari juga. Tapi, dia harus punya antusiasme akan esports. Kalau dia sendiri nggak enjoy, begitu pemain ada yang ngambek, ya jadi capek sendiri.” Dia juga menyebutkan, membangun tim esports bukan sesuatu yang instan. “Di dua tahun pertama pasti bleeding, entah waktu, tenaga, atau uang.”

Penutup

Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton esports, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Bahkan merek non-endemik sekalipun mulai menjajaki dunia esports dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari mereka bahkan membeli naming rights dari organisasi esports.

Ketika sebuah brand menjadi sponsor dari pelaku esports, maka mau tidak mau, reputasi dan image dari brand juga akan melekat pada pihak yang disponsori. Karena itu, perusahaan biasanya memilih pihak yang mereka sponsori dengan hati-hati. Dan jika pihak yang disponsori tersandung skandal, pihak sponsor biasanya tidak ragu untuk membatalkan kontrak sponsorship mereka. Mengingat sebagian besar pemasukan industri esports masih berasal dari sponsorship, maka semua pelaku industri esports — mulai dari atlet, organisasi esports, penyelenggara turnamen, sampai publisher — harus dapat menjaga reputasi mereka.