Menyiasati Terbatasnya Investor Lokal di Pendanaan Tahap Lanjut

Meskipun makin banyak memberikan pendanaan di tahap awal (seed), jumlah investor lokal yang berpartisipasi di pendanaan tahap lanjut masih cukup terbatas.

Di Indonesia, mereka yang terlibat di pendanaan Seri B ke atas biasanya adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau yang didukung keluarga konglomerat ternama.

Persoalan keterbatasan “ticket size”

Tentunya banyak alasan mengapa belum banyak investor lokal bermain di tahapan lanjutan. Salah satunya masih belum besarnya ticket size atau jumlah investasi yang bisa mereka gelontorkan untuk setiap startup. Biasanya perusahaan modal ventura lokal telah memiliki nominal yang sudah ditentukan.

“Saya melihat untuk melakukan pendanaan dengan nominal yang besar, misalnya $20 juta ke atas, agak sulit untuk venture capital lokal. Pada akhirnya yang bisa membantu adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau Private Equity,” kata CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Hal senada diungkapkan CEO Akseleran Ivan Tambunan. Menurutnya, untuk tahapan Seri B ke atas, belum banyak venture capital lokal yang bisa memberikan nominal lebih besar.

Untuk ticket size pendanaan tahap awal rata-rata VC memberikan mulai dari $500 ribu hingga $1 juta. Jika startup mulai masuk ke tahapan lanjutan, jumlahnya bisa beragam sesuai kebutuhan dan perjanjian.

To be honest, aku selalu lihat values sih, bukan hanya besaran uang. Contoh jika ada investor asing mau invest $10 juta lalu ada investor lokal mau investasi $3 juta ditambah akses ke pemerintahan, akses ke media, akses ke grupnya dia yang merupakan potential client/partner bisnis kita. Kita akan ambil yang mana?,” kata CEO Telunjuk Hanindia Narendrata (Drata).

Nilai tambah, termasuk dalam bentuk jaringan dan akses, menjadi faktor penting di luar nominal uang yang ditawarkan.

Venture capital lokal maupun asing bisa dipertimbangkan selama relevan dengan strategi dan visi-misi perusahaan. Perusahaan lokal akan dapat memberikan value add yang kuat dalam business development, organization building, dan business network untuk menguasai pangsa nasional. Jika menargetkan go international ataupun regional, perusahaan asing tentunya dapat memberikan value add tersendiri,” kata Principal Investment Alpha JWC Ventures Melina Subastian.

Menentukan pilihan

Pada akhirnya, ketika berbicara soal penggalangan dana, semua kembali lagi ke visi dan misi startup. Pendiri startup dan jajaran manajemen bisa menentukan pilihan sesuai dengan roadmap yang bakal diterapkan selanjutnya.

Jika startup lebih banyak terlibat dengan jaringan perusahaan lokal dan pemerintahan, ada baiknya untuk memilih investor lokal dan meminimalisir keterlibatan investor asing. Sebaliknya, jika berupaya melakukan ekspansi global, mulailah mencari tahu dan membuka jaringan lebih luas dengan investor asing.

“Mungkin yang harus diperhatikan ketika startup memilih investor asing untuk pendanaan adalah apakah pada akhirnya investor akan menempatkan talenta asing, seperti engineer dan posisi lainnya, ke dalam tim startup. Hal tersebut yang perlu diperhatikan jika startup melakukan penggalangan dana memanfaatkan investor asing,” kata CEO Nodeflux Meidy Fitranto.

Meidy menambahkan, ke depannya persaingan secara global tidak hanya terkait segmentasi pasar dan peluang bisnis, namun juga bagamana inovasi masing-masing negara bisa menjadi yang terdepan. Akan lebih ideal jika produk lokal diciptakan talenta lokal pula.

Menurut Drata, secara umum belum banyak investor lokal yang memiliki pengalaman di dunia digital ini. D sisi lain, investor di Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa sudah memiliki pengalaman lebih baik.

“Saya percaya dan tren sudah membuktikan, makin ke sini jumlah investor lokal tahap lanjutan makin banyak. Sejarah membuktikan, dulu investor lokal tahap awal saja jarang sekali jumlahnya, sekarang sudah menjamur. Jadi para investor lokal juga butuh success stories sebelum memutuskan ‘nyemplung’ lebih jauh.”

Startup yang berencana menggalang dana tahapan lanjutan sebaiknya mengenali profil VC/CVC yang dibidik, dalam bentuk tesis, portofolio, tim, dan value added yang bisa diberikan.

Pastikan mereka adalah mitra yang tepat dan dapat bekerja sama dalam membangun bisnis ke depannya.

“Melihat hal ini, kami [Alpha JWC] berusaha untuk menjadi venture capital berbasis Indonesia yang dapat memberikan pendanaan tahap lanjut hingga $10 juta, sekaligus untuk dapat membantu pembangunan startup di Indonesia yang telah mencapai tahap lanjut,” kata Melina.

5 Strategi Memulai Pivot Startup Ala Akseleran, Moselo, dan Kata.ai

Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.

Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.

Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.

Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).

Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Berkomunikasi dengan stakeholder

Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.

Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.

“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.

Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.

Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan

Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.

Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.

“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.

Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.

Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).

Product-market fit menjadi fundamental

Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.

Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.

Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.

Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.

“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.

Fokus pada target pasar, bukan fitur

Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.

Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.

Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.

Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.

Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.

“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.

Mengukur batasan keberhasilan pivot

Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.

Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.

Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).

Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.

”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.

Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.

“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.

Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.

“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.

Akseleran Konfirmasi Keterlibatan Central Capital Ventura dalam Putaran Pendanaan Seri A

Startup p2p lending Akseleran mengonfirmasi CVC dari BCA, Central Capital Ventura (CCV), masuk ke dalam putaran pendanaan Seri A. Pengumuman resmi awalnya dijadwalkan pada bulan lalu, sampai akhirnya mundur jadi Januari 2020.

Kendati demikian, Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Tambunan belum bersedia untuk menyebut lebih detail terkait ini, pun siapa yang menjadi lead investor. Dia hanya mengatakan pendanaan ini sudah ditutup tinggal tunggu waktu pengumuman saja. Tidak hanya CCV dan Access Ventures, ada beberapa investor lainnya yang terlibat.

“CCV adalah salah satu investor, selain mereka ada beberapa investor yang lain. Funding ini sudah di-closed,” kata Ivan kepada DailySocial, Kamis (19/12).

Sebelumnya, Ivan mengonfirmasi bahwa nominal pendanaan yang diterima perusahaan adalah $8,5 juta atau setara 119 miliar Rupiah, sesuai dengan rumor awal yang beredar.

Pada Februari 2019, perusahaan baru mengumumkan pendanaan sebesar $2,5 miliar (sekitar 35 miliar Rupiah) sebagai bagian dari putaran seri A ini.

Hingga pertengahan Desember 2019, Akseleran telah menyalurkan total pinjaman lebih dari Rp900 miliar secara kumulatif. Per bulannya perusahaan menyalurkan sekitar Rp80 miliar pinjaman usaha. Ditargetkan tahun depan angkanya meningkat jadi Rp2 triliun untuk total pinjaman kepada UKM berbasis invoice financing dan pre invoice financing.

Strategi yang akan dilakukan adalah menambah jumlah lender baik ritel maupun institusi, serta jumlah borrower melalui direct sales maupun skema partnership. Terkait partnership, akan dilakukan dengan platform digital dengan skema partnership supply chain financing.

Dalam meningkatkan kepercayaan dari lender, perusahaan memfasilitasi asuransi kredit yang menjamin pengembalian pokok pinjaman hingga 85% jika terjadi keterlambatan pembayaran dari borrower lebih dari 90 hari.

Saat ini perusahaan telah mengantongi izin usaha resmi dari OJK sebagai perusahaan p2p lending.

Application Information Will Show Up Here

Akseleran Dikabarkan Galang Pendanaan Seri A Hampir 120 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Akseleran dikabarkan menggalang pendanaan sebesar $8,5 juta (hampir 120 miliar Rupiah) dari sejumlah investor, salah satunya adalah Access Ventures.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh DealStreetAsia (23/9) dan dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Tambunan saat ditemui di sela-sela Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta di hari yang sama.

Ivan belum mau berkomentar banyak terkait informasi ini, dia malah berencana untuk membuat kabar resmi pada November 2019 mendatang. Dia beralasan pihaknya masih menunggu persetujuan dari OJK. Namun Ivan mengonfirmasi nominalnya memang benar $8,5 juta.

“Kita decline [beri] komentar, November baru bisa kasih komentar. Dari jumlah [investasi] itu benar, tapi kita belum bisa kasih komentar karena harus menunggu persetujuan dari OJK, itu adalah syarat yang harus kita penuhi,” ujar Ivan.

Kabar ini sebelumnya sudah lama digaungkan oleh Akseleran, bahkan sejak tahun lalu. Ivan menyebut perusahaan sedang mencari pendanaan seri A sebesar $7,5 juta (sekitar 105 miliar Rupiah).

Pada Februari 2019, perusahaan baru mengumumkan pendanaan sebesar $2,5 miliar (sekitar 35 miliar Rupiah) sebagai bagian dari putaran seri A ini. Konfirmasi dari Ivan secara langsung menguatkan bahwa terjadi oversubscribed dalam putaran ini.

Kinerja Akseleran

Ivan menerangkan saat ini perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp690 miliar secara akumulatif dari pencapaian di tahun lalu. Secara target, perusahaan bidik total penyaluran tembus di angka Rp1,1 triliun. Per bulannya, Ivan menyebut Akseleran telah menyalurkan sekitar Rp70 miliar.

“Kalau tahun ini saja, kita targetkan penyaluran Rp900 miliar, tahun lalu itu Rp260 miliar. Jadi bila ditotal secara akumulatif, kita ingin tembus Rp1,1 triliun.”

Bila dijabarkan lebih dalam, produk yang paling banyak dimanfaatkan oleh borrower adalah invoice dan pre-invoice. Komposisi keduanya adalah 90% dari nominal penyaluran. Namun yang ingin didorong Akseleran pada akhir tahun ini adalah supply chain financing yang ditargetkan kontribusinya tembus 10%-15%.

Dia menjelaskan produk ini punya sisi positif semua pihak. Akseleran bisa mengamankan jaminan pembayaran jadi jauh lebih terjamin. Dari segi proses penilaian juga jauh lebih cepat, pasalnya perusahaan tidak perlu menilai risiko dari borrower saja, tapi cukup dari pembayar saja. Alhasil, besaran bunga yang dibebankan pun jauh lebih murah.

“Proses jauh lebih cepat karena kita cukup assess payer-nya saja, borrower enggak perlu lagi. Tapi Akseleran harus kerja sama dengan payer-nya dulu. Jadinya lebih efisien buat akuisisi borrower karena kita bisa partner-an sama satu partner tapi bisa dapat banyak borrower dari vendor supplier-nya.”

Para lender yang tergabung di Akseleran saat ini masih didominasi oleh perorangan (90%), mayoritas berlokasi di Jabodetabek, sisanya tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, bahkan Nusa Tenggara Timur.

Ivan berencana untuk menambah porsi peminjam dari institusi, target porsinya 20%-30%. Beberapa nama yang sudah bekerja sama adalah perusahaan multifinance, seperti Mandiri Tunas Finance dan Ciptadana Multifinance.

“Ada beberapa tambahan dari leasing, nanti mau juga ada dari bank besar. Sebenarnya sudah ada MoU dengan BPR, tapi baru MoU. Kita terbuka dengan semua pihak,” pungkas Ivan.

Application Information Will Show Up Here

Cerita dan Pelajaran dari Proses “Pivot” Model Bisnis Akseleran

pivot menjadi salah satu strategi bisnis yang bisa dilakukan founder saat menemui keadaan “buntu”. Khususnya ketika produk yang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Atau model bisnis yang dikembangkan tidak berhasil mendatangkan keuntungan.

Setelah memutuskan untuk pivot pun, ada banyak hal yang harus disiapkan sampai akhirnya produk benar-benar siap untuk dipasarkan. Diskusi menarik ini diangkat oleh #SelasaStartup edisi pekan kedua Juli 2019, mengundang Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan.

Akseleran adalah platform p2p lending yang menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dengan basis pinjaman.

Ivan banyak memberikan cerita di balik keputusannya memilih pivot bersama startupnya. Sekaligus memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan founder sebelum dan sesudah “berpindah haluan” bisnis.

Awal mula pivot Akseleran

Ivan menjelaskan, awal pengembangan Akseleran didasari adanya funding gap penyaluran kredit dan susahnya pemilik modal mengakses pasar modal. Dari situ berangkatlah solusi pemberian pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas.

Sebelum akhirnya Akseleran diluncurkan, tentunya tim melakukan riset untuk validasi bisnis. Apakah konsep seperti ini bisa berjalan di Indonesia dengan mengacu di luar negeri? Waktu itu hipotesis mereka jawabannya “iya”, ada banyak startup di luar sana yang terbukti bisa berjalan dengan model bisnis serupa, bahkan sudah beroperasi sejak 2012, seperti Crowdcube dan Seedrs.

“Potensi dengan skema bisnis ini besar. Andaikan kita bisa hubungkan 15 juta orang dan mau kasi pendanaan rutin Rp100 ribu tiap bulan. Setahun ada Rp18 triliun. Gede potensinya, kita pikir ini bisa jalan,” kata Ivan.

Tim pun memikirkan cara termudah untuk bantu UKM mendapatkan pendanaan. Akhirnya memutuskan untuk bantu mereka dengan membuatkan deck, financial model bulanan selama tiga tahun, dan sebagainya. Dari sisi pemberi modal juga dipermudah, mereka bisa mulai berinvestasi mulai dari Rp100 ribu saja.

Ternyata dalam kurun waktu enam bulan pasca peluncuran di Maret 2017, Akseleran hanya mampu mengumpulkan penyaluran dana kurang dari Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa Akseleran tidak punya product market fit dan saatnya untuk pivot

“Bahkan dari dua bulan berjalan kami sudah berpikir untuk pivot karena ternyata produk kita ini tidak memberikan solusi atas masalah yang ada.”

Pelajari kesalahan

Menjelang keputusan untuk memilih pivot, sebenarnya Ivan menyadari bahwa saat resmi meluncur pertumbuhan Akseleran lambat. Pertama, pasar Indonesia cenderung tidak reseptif dengan model pendanaan berbasis ekuitas. Mereka lebih menyukai investasi jangka pendek dengan pendapatan tetap.

Sementara kalau ekuitas itu berdasarkan pembagian dengan hasil yang tidak tentu, bisa untung atau rugi. Tenornya pun panjang. Intinya, orang Indonesia itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak pasti.

Kedua, masalah skalabilitas. Tim Akseleran membuatkan deck dan financial model untuk UKM. Yang mana, keputusan ini tidak scalable karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruhnya bisa sampai 1-2 minggu. Ini hanya buat satu UKM saja, tentu terlalu banyak waktu yang harus terbuang.

Terakhir, mengenai regulasi. Perlu diketahui, equity crowdfunding waktu itu belum memiliki regulasi di OJK. Padahal, menurut Ivan, dalam membuat bisnis startup itu harus dipikirkan tentang regulasinya, apakah sudah diatur dan banyak aturannya.

“Jadi awal kita masuk itu penuh dengan ketidakpastian karena belum ada aturannya. Tiga alasan ini akhirnya kita putuskan untuk berhenti.”

Dari tiga kesalahan ini, membuat Akseleran untuk kembali berkaca. Masalah yang terjadi di Indonesia itu nyata dan butuh solusi yang nyata pula, juga harus efektif.

Pivot tidak selalu berjalan cepat

Setelah memutuskan untuk pivot pun, tidak selalu mulus. Ivan dan tim harus mulai dari nol. Pivot resmi dilakukan akhir Mei 2017, produk baru dirilis pada awal Oktober 2017. Belajar dari kesalahan, akhirnya Akseleran terjun ke p2p lending.

Produk yang disediakan mulai dari invoice financing, inventory financing, capex loan, dan online merchant. Keempat produk ini bisa menjangkau seluruh UKM dari berbagai lini baik, online, offline, B2B atau B2C.

Dari sisi pemberi pinjaman, tenornya dibuat pendek mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun saja. Kupon dibuat dengan kisaran 18%-21%.

“Hasilnya pasca pivot dalam enam bulan kita sudah menyalurkan Rp36 miliar, dari [produk sebelumnya] Rp2 miliar dalam enam bulan. Padahal, timnya sama, problem-nya sama, tapi solusi dan hasilnya beda.”

Pencapaian ini tentunya tidak didapat dengan cara instan. Timnya melakukan validasi pasar berkali kali untuk memastikan dapat feedback dari pasar, terutama saat enam bulan baru beroperasi. Iterasi berkali-kali sampai dapat product market fit.

“Ketika semua ini sudah dilakukan, maka scale up bisnis bisa lebih mudah. Kita bisa lebih mudah untuk reach out ke investor karena mereka itu selalu melihat traksi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

DScussion #99: Cerita Pivot Model Bisnis Akseleran

Berangkat dari latar belakang pendidikan di Fakultas Hukum dan pekerjaan sebagai pengacara, Ivan Tambunan memahami dunia perbankan, litigasi, peer-to-peer lending, dan equity crowdfunding.

Salah satu hal yang menarik dalam pendirian Akseleran adalah pivotnya fokus perusahaan dari crowdfunding ke p2p lending setelah melihat penerimaan masyarakat (product market fit).

Simak wawancara DailySocial dengan CEO Akseleran Ivan Tambunan tentang bagaimana awal pendirian Akseleran, menciptakan hubungan kerja yang profesional dengan keluarga, dan bagaimana bermitra dengan regulator di segmen fintech.

Memahami Urgensi Penggalangan Dana

Di artikel sebelumnya, DailySocial memberikan tips melakukan penggalangan dana untuk startup pemula. Penggalangan dana adalah hal yang krusial dalam proses pengembangan bisnis startup, meskipun bukan menjadi satu-satunya cara agar bisnis terus berjalan.

Salah satu cara konvensional yang bisa digunakan adalah memanfaatkan profit perusahaan untuk menutup biaya operasional dan biaya lain yang diperlukan. Hal ini tidak mudah, mengingat biasanya fokus startup adalah mengembangkan produk dan bisnis. Namun demikian kebanyakan startup memutuskan untuk melakukan penggalangan dana dengan tujuan yang beragam.

Satu hal yang pasti, fundraising bisa membantu startup bergerak lebih cepat, apapun model bisnis atau segmen yang disasar startup tersebut.

CEO Sribulancer Ryan Gondokusumo berpendapat:

“Akan menjadi sulit bagi startup untuk tidak melakukan penggalangan dana karena adanya kebutuhan capital itu sendiri untuk mempercepat pertumbuhan startup. Untuk itu pastikan fokus awal startup terlebih dahulu sejak awal, apakah mengejar growth atau sustainability.”

Fokus ke tujuan awal

Meskipun saat ini makin sulit menarik perhatian venture capital (VC) untuk berinvestasi di startup baru, hal ini tidak menyurutkan kegiatan penggalangan dana oleh berbagai startup.

Banyak startup yang mendapatkan pendanaan dengan jumlah yang besar. Meskipun demikian, perolehan funding bukan berarti otomatis startup tersebut akan mampu bertahan lama. Padahal aspek ini menjadi kunci utama agar startup bisa terus menjalankan bisnis.

Sangat penting bahwa founder tidak membiarkan proses penggalangan dana mengalihkan perhatian perusahaan menemukan product market fit yang diperlukan untuk menciptakan bisnis yang nyata.

“Menurut saya sebenarnya pada akhirnya orang membangun startup agar bisa menghasilkan uang. Jadi pasti memang harusnya profit dan sustain untuk bisnis yang baik. Pada akhirnya ada dua pilihan: apakah startup ingin bergerak secara organik atau kemudian mulai fokus kepada pertumbuhan bisnis dengan memanfaatkan fundraising,” kata CEO Sirclo Brian Marshal.

Brian menambahkan, agar bisa terus eksis dan relevan ke pengguna, stakeholder, dan investor, proses penggalangan dana memang sebaiknya dilakukan. Meskipun tidak terlalu sering, paling tidak bisa menjadi benchmark untuk startup itu sendiri.

Selain VC, Ryan melihat penggalangan dana dengan melakukan pendekatan kepada perusahaan bisa menjadi alternatif yang ideal. Selain mendapatkan modal, startup juga bisa menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan itu sendiri.

“Pada akhirnya startup dibangun agar bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Jika tidak menguntungkan tentunya akan menjadi percuma. Untuk itu fundraising perlu dilakukan, menyesuaikan dengan prioritas dan target dari startup yang ingin dicapai,” ujar Ryan.

Profit dan skalabilitas

Mulai banyak startup yang kembali fokus memperoleh pendapatan demi menjalankan bisnis, terutama yang menyasar segmen bisnis atau B2B. Sifat B2B yang tergolong lebih rasional dibandingkan B2C atau C2C (yang biasanya lebih emosional), menjadikan segmen B2B makin banyak dilirik startup, seperti misalnya Sirclo, Ralali, Akseleran, atau Telunjuk untuk menjalankan bisnis.

“Kami memilih untuk tidak melakukan fundraising saat ini dan hanya fokus memanfaatkan profit dari perusahaan. Meskipun tidak terlalu besar namun paling tidak kami tidak tergantung dengan investasi dan ekuitas yang kerap diminta oleh venture capital,” kata CEO Telunjuk Hanindia Narendrata.

Penggalangan dana terakhir yang didapatkan Telunjuk adalah pada pertengahan tahun 2015 lalu. Telunjuk memperoleh pendanaan Seri A dari Venturra (sebelumnya Lippo Digital Ventures).

Untuk meraih profit, ada beberapa langkah yang wajib dilalui. Salah satunya adalah mengelola dan menekan biaya pengeluaran perusahaan. Perusahaan juga harus bisa mendapatkan repeat order dan memperoleh klien baru secara rutin.

Hal tersebut yang juga dilakukan Sribulancer, Mereka mencoba menggunakan funding dengan cara yang paling tepat dan menekan pengeluaran yang tidak diperlukan setelah tahu siapa target pasar yang ingin dicapai.

“Untuk startup yang menyasar bisnis B2B seperti Akseleran tentunya lebih menguntungkan karena kita berhubungan dengan pasar yang sudah mature. Namun tidak bisa dipungkiri penggalangan dana tetap kita butuhkan meskipun waktunya tidak harus terlalu sering,” kata Ivan.

Saham dan kontrol pendiri

Banyak alasan mengapa startup memutuskan untuk melakukan penggalangan dana, mulai dari mengakuisisi pengguna, melancarkan kegiatan pemasaran, hingga menambah jumlah tim.

Sabagai “imbalan” terhadap penggalangan dana, investor mendapatkan saham perusahaan. Menurut Hanindia, pembagian saham yang ideal tergantung dari kebutuhan masing-masing startup itu sendiri. Jumlah dan persentase saham bisa dinegosiasikan antara VC dan pendiri startup.

“Tergantung seberapa besar ekspektasi founder terhadap calon investor. Tergantung juga bagaimana ekspektasi investor terhadap founder. Apapun yang diinginkan founder dan investor, pastikan disepakati bersama secara tertulis dalam akta perusahaan.”

Hal senada disampaikan CEO Akseleran Ivan Tambunan. Ivan menambahkan, valuasi startup juga menjadi faktor pertimbangan.

“Kalau menurut saya, biasanya angel investor sampai 15%, kemudian tahapan seed dan Seri A investor masing-masing [mendapat] sekitar 20%-25%. Semakin advance pendanaan, dilusi biasanya juga makin besar.”

Setelah jumlah saham ditentukan antara founder dan VC, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memastikan startup memiliki kontrol usai penggalangan dana dilakukan. Yang Ryan lakukan di Sribulancer adalah membuat cap table dan simulasi. Jika ada investor baru yang ingin masuk dengan memberikan sekitar X%, maka startup bisa mendapatkan sisanya–apakah kurang dari 51%.

“Jika pada akhirnya jumlah tersebut kurang dari 51% yang kemudian sisanya didapatkan oleh startup, bisa jadi startup sudah tidak lagi mendapatkan kontrol pada startup mereka,” kata Ryan.

Sementara menurut Ivan, ada dua cara yang bisa dilakukan agar startup masih bisa memiliki kontrol usai penggalangan dana dilakukan. Cara pertama adalah memastikan founders memegang tidak kurang dari 50,1% saham. Cara lainnya, dalam shareholders agreement diatur bahwa manajemen (direksi) diisi oleh orang-orang yang didominasi oleh founders sekalipun saham founders tidak sampai 50,1%.

Founders perlu berdiskusi dengan lawyer yang biasa memegang transaksi fundraising startup atau Mergers dan Acquisitions (M&A), agar tidak salah langkah dan mendapat perlindungan yang tepat,” kata Ivan.

Cara Tepat Merekrut Pegawai yang Sesuai dengan Kultur Perusahaan

Bagi startup yang sedang bertumbuh, proses perekrutan pegawai baru dalam jumlah tertentu menjadi kegiatan yang wajib dilakukan. Meskipun demikian, di lapangan, ketika perekrutan sudah dilakukan, bakal muncul dinamika antara pegawai baru dan pegawai lama. Seorang pegawai yang tidak cocok dengan dinamika startup akan mudah mengundurkan diri, walaupun baru saja masuk ke dalam perusahaan.

Penting bagi startup memikirkan dengan benar proses perekrutan. Idealnya dari awal, CEO atau jajaran C-Level lain yang terlibat, bisa melakukan kurasi dengan baik saat proses wawancara dilakukan.

“Di Akseleran dulunya saya sebagai CEO masih terlibat untuk semua proses perekrutan pegawai baru. Dari awal sudah bisa terlihat apakah orang ini bisa beradaptasi dengan baik atau tidak dengan perusahaan, jika terlihat kurang bisa beradaptasi biasanya tidak kami lanjutkan proses perekrutan,” ungkap CEO Akseleran Ivan Tambunan menceritakan pengalamannya.

Media sosial sebagai “citra perusahaan”

Saat ini media sosial menjadi salah satu platform ideal untuk mempromosikan perusahaan. Mulai dari suasana kantor, job description hingga perkembangan perusahaan, semua bisa diteliti calon pegawai yang tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan. Citra perusahaan yang dikenalkan di media sosial bisa membantu perusahaan merekrut pegawai yang sesuai

Setelah pegawai yang tepat direkrut, lakukan proses adaptasi dengan baik. Hindari adanya konflik antara pegawai lama dan baru yang menimbulkan pengelompokan antar pegawai. Menurut CEO Telunjuk Hanindia Narendrata, hal tersebut bisa mempengaruhi kecepatan jalannya perusahaan.

“Di Telunjuk sendiri kami sempat mengalami kendala antar pegawai sehingga kolaborasi di perusahaan terganggu. Hal tersebut terjadi karena saya sebagai CEO kurang terlibat dalam proses adaptasi pegawai baru dan lama,” kata Hanindia.

Ia melanjutkan, menjadi penting bagi startup untuk melakukan proses yang benar saat pegawai baru masuk ke perusahaan. Mulai dari menjelaskan dengan benar kultur perusahaan, memperkenalkan ke semua tim hingga membiasakan antar pegawai melakukan kolaborasi. Dengan demikian konflik atau pengelompokan di antara pegawai bisa diminimalisir.

“Dalam hal ini menjadi tugas kita sebagai CEO dan jajaran C-Level lainnya untuk bisa menciptakan lingkungan kerja yang positif, sarat dengan kolaborasi antar pegawai,” katanya.

Penambahan secara bertahap

Salah satu kunci agar proses perekrutan pegawai bisa berjalan dengan baik adalah melakukan secara bertahap. Jangan samakan kemampuan yang dimiliki dengan perusahaan teknologi besar yang melakukan proses perekrutan secara besar-besaran dan berkelanjutan. Dengan demikian proses adaptasi antara pegawai baru dan lama bisa berjalan lebih baik.

“Di Akseleran sendiri kami biasa melakukan perekrutan secara bertahap, misalnya satu bulan lima pegawai, disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing tim. Dengan demikian pegawai baru bisa lebih mudah melakukan adaptasi. Intinya adalah rekrut pegawai yang memang sesuai dengan kriteria perusahaan itu sendiri,” kata Ivan.

Hal lain yang mulai menjadi norma bagi startup adalah menciptakan peraturan yang fleksibel. Mulai dari fleksibilitas bekerja secara remote, jam masuk kerja yang fleksibel, hingga dress code yang informal. Suasana “work hard play hard” bisa tercipta tanpa meninggalkan semangat kerja dan kinerja pegawai.

Ketika jumlah pegawai makin bertambah, tempatkan satu orang supervisor atau manajemen untuk memonitor dan mengawasi kerja masing-masing tim. Dapatkan informasi terkini tentang kinerja pegawai langsung dari masing-masing supervisornya.

“Intinya adalah prioritaskan proses perekrutan pegawai dengan benar. Kalau bisa semua tim hingga jajaran manajemen terlibat saat proses ini. Karena pada akhirnya proses perekrutan di awal, mempengaruhi jalannya perusahaan di masa mendatang,” kata Hanindia.

DStour #63: Memanfaatkan Ruang Terbatas di Kantor Akseleran

Meskipun memiliki ruangan kantor dengan luasan terbatas, kantor pusat Akseleran mampu mengakomodasi kebutuhan kerja yang dilengkapi fasilitas pendukung untuk pegawai. Kuncinya adalah menempatkan tim yang relevan dalam satu area dan memanfaatkan semua ruangan untuk bekerja.

Dipandu CEO Akseleran Ivan Tambunan, berikut liputan #DStour DailySocial selengkapnya.

Akseleran Kantongi Dana Segar Baru 35 Miliar Rupiah, Fokus Kejar Izin Resmi dari OJK

Platform P2P lending Akseleran menyebutkan telah mendapatkan dana segar senilai $2,5 juta atau sekitar Rp 35 miliar dari bank dan sejumlah perusahaan modal ventura asing dan lokal. Dalam acara temu media hari ini (07/02), CEO Akseleran Ivan Tambunan menyebutkan, target awal perusahaan untuk putaran pendanaan Seri A ini adalah $7,5 juta atau sekitar Rp 105 miliar. Jika sesuai dengan rencana, keseluruhan penggalangan dana akan final pada bulan Maret atau April 2019.

Dengan dana tersebut, Akseleran berniat mengembangkan teknologi, terutama mempermudah penggunaan aplikasi (UI/UX), menambah jumlah tim, dan memperluas area layanan di Pulau Bali dan Sulawesi. Perusahaan juga berencana meluncurkan sejumlah produk baru.

Akseleran menyebutkan di awal tahun ini mereka telah bekerja sama dengan Tokopedia dan Bukalapak. Dengan menggandeng dua platform marketplace besar ini, perusahaan berharap bisa menambah jumlah penerima pinjaman tahun ini.

“Targetnya hingga akhir tahun 2019 Akseleran telah memiliki lebih dari 2000 penerima pinjaman. Saat ini kami telah mendapatkan sekitar 450 penerima pinjaman. Kami juga memiliki rencana untuk memperluas kolaborasi dengan [pihak] B2B untuk menambah jumlah penerima pinjaman,” kata Ivan.

Sepanjang tahun 2018 lalu, Akseleran menyalurkan total pinjaman Rp210 miliar. Hingga akhir tahun ini, Akseleran memiliki target menyalurkan dana senilai Rp 1,2 triliun.

“Kami juga telah mengalami peningkatan dari jumlah pemberi pinjaman hingga 56 ribu setelah sebelumnya pada tahun 2018 sebanyak 25 ribu. Kebanyakan berasal dari kalangan individu dan tiga instansi finansial [Indo Surya, Global Indo, dan Andalan],” kata Ivan.

Saat ini perusahaan telah memiliki empat produk pinjaman untuk bisnis, yaitu jaminan invoice (berkontribusi 85% terhadap total pinjaman), inventory financing, capital expenditure (capex), dan online merchant financing.

“Selama ini kita mencatat 75% adalah repeat transaction. Hal ini menunjukkan keseriusan pemberi pinjaman terhadap daftar penerima pinjaman yang bergabung dalam platform Akseleran,” kata Ivan

Finalisasi izin dan penambahan produk

Akseleran juga mulai menambah produk consumer loan yang dirilis ke publik sejak Januari lalu. Khusus di segmen ini, Akseleran ingin menggandeng mitra yang relevan. Di awal Akseleran menggandeng Best Finance.

“Kita juga memiliki rencana untuk meluncurkan employee loan. Meskipun masih dalam tahap persiapan, namun jika sudah siap dirilis layanan ini kami pastikan bisa berguna untuk pegawai berdasarkan rekomendasi langsung dari perusahaan,” kata Ivan.

Sebagai layanan P2P, Akseleran mengklaim mampu menekan nilai NPL menjadi 0,5%. Angka ini berhasil dicapai sesuai dengan komitmen yang hanya fokus kepada bisnis midsize, seperti minyak dan gas, ritel, dan konstruksi. Bisnis tersebut, menurut Ivan, bersifat pasti sesuai dengan kontrak yang telah didapatkan penerima pinjaman. Hal tersebut meyakinkan pemberi pinjaman untuk terus memberikan pinjaman melalui Akseleran.

Untuk memperkuat posisi sebagai platform P2P lending, Akseleran berharap bisa mengantongi izin OJK tahun ini. Proses tersebut membutuhkan waktu dan persiapan, termasuk proses seamless digital signature dan permintaan OJK agar fintech lending menyimpan uang di rekening perantara (escrow account) tidak lebih dari dua hari.

“Sesuai dengan regulatory sandbox dari OJK, kami pun berniat untuk bisa melengkapi semua permintaan dan persyaratan yang ada agar kemudian izin resmi bisa segera kami kantongi dari OJK tahun 2019 ini,” kata Ivan.

Application Information Will Show Up Here