Binar Dapat Pendanaan Baru dari Bintang NBA Jeremy Lin dan Sejumlah Investor

Startup edutech Binar Academy mengatakan baru menutup putaran pendanaan terbarunya. Seperti dikutip dari e27, investor yang terlibat dalam putaran ini adalah Blue7, JN Capital & Growth Advisory, Scala Group, DGS, MD Capital, dan superstar NBA Jeremy Lin.

Pebasket Jeremy Lin berinvestasi melalui JLIN Capital Studio, unit investasi miliknya yang fokus pada startup berdampak di Asia dan Amerika. Area investasinya di sektor pendidikan, keuangan, properti, dan pertanian.

Putaran ini melanjutkan perolehan pendanaan pra-seri A pada Mei 2022 lalu dengan keterlibatan iGlobe Partners, Teja Ventures, YCAB Ventures, dan beberapa investor lainnya. Kala itu Binar berhasil menutup pendanaan $3,5 juta. Adapun pendanaan awal mereka didukung Teja Ventures dengan partisipasi Indonesia Women Empowerment Fund.

Dana segar dinilai dapat mendorong jaringan, keahlian, teknologi, dan kecakapan bisnis Binar seiring dengan upaya ekspansi ke seluruh wilayah Indonesia.

Dalam wawancaranya dengan e27, Co-Founder & CEO Binar Alamanda Shantika mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan reorganisasi perusahaan guna mencapai profitabilitas melalui inovasi layanan dan produk baru.

Sejak didirikan tahun 2017 oleh Alamanda, Dita Aisyah, dan Seto Lareno, Binar fokus memberikan pelatihan keterampilan digital melalui serangkaian program. Dimulai dari bootcamp, lalu akselerator talenta digital, hingga penyaluran bakat ke perusahaan teknologi. Mengutip situsnya, saat ini Binar telah mencetak lebih dari 180 ribu talenta digital dan menyalurkan ke lebih dari 1100 mitra bisnis.

Dalam Impact Report yang baru-baru ini diterbitkan Binar, dari capaian tersebut ditarik kesimpulan kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menyumbang 5% kebutuhan talenta digital untuk Indonesia dari total kebutuhan sebanyak 600.000 orang. Jika value dari angka di atas dikalkulasikan, Binar mengklaim telah menghasilkan sekitar $12,7 juta.

Adapun pelatihan yang disediakan meliputi Business Intelligence, Product Management, Mobile Development, UI/UX Development, dan lain-lain. Selain itu Binar juga menyediakan sejumlah layanan B2B untuk klien perusahaan, salah satunya Binar Pro, solusi training terpadu untuk materi digitalisasi.

Jalan bisnis Binar sempat mengalami tekanan akibat kondisi ekonomi makro pada tahun 2022. Hal tersebut memaksa perusahaan untuk memangkas 20% dari total karyawan — dengan tetap bertanggungjawab penuh atas hak karyawan terdampak.

Di lanskap yang sama, Binar bersaing langsung dengan sejumlah startup seperti Hacktiv8, Myskill, Algobash, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Binar Academy with Its Mission to Advance Indonesian Digital Talents

One of the sectors that was rapidly growing during the pandemic was edtech. More Indonesian from various backgrounds are adapting to online learning.

As a platform that focuses on developing digital abilities and talents, Binar Academy claims to have successfully educated more than 8 thousand students in 2020 and generated an 80% increase in income.

Was founded in 2017, this startup was developed by Alamanda Shantika who was Gojek’s former VP of Technology and Products along with two other Gojek alumni, Dita Aisyah and Seto Lareno.

“The Covid-19 pandemic has encouraged educational institutions, teachers, students, and also parents in Indonesia to adapt to online learning. It is time for us to innovate in presenting education and create learning experiences that are both interesting and enjoyable. I believe that a combination of experiences contemporary learning, technology, and community will produce it all, “said Founder & CEO of Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy offers two main educational programs. Among these are Binar Bootcamp and Binar Insight. The Binar Bootcamp Program, an intensive course for beginners, has four classes of 4 to 6 months, including Product Management, UI / UX Design and Research, Android Engineering, and Fullstack Web Development.

Aslo, Binar Insight, a series of interactive webinars of 1.5 to 2 hours, with more diverse classes such as Product Management, Digital Marketing, and Data Science. The most popular classes are Product Management for Bootcamp Binars and Binar Insights.

In terms of demography, most Binar Academy users are high school graduates, students, and career shifter. This year, the company plans to increase collaboration with educational institutions including the government, universities and vocational schools. In addition, Binar Academy will also collaborate with companies affected by digitalization to upskilling employees to remain relevant.

In Indonesia, the bootcamp program becomes an alternative to non-formal education, especially for those who want to pursue a career in technology and programming. Apart from Binar, there are several other startups that offer similar services, including Hacktiv8, Impact Byte, and Skilvul. One of the unique options they offer is the “Income Share Agreement”, which allows students to gain knowledge first and pay accommodation fees later as they started to earn income.

Seed funding

Binar Academy’s Bootcamp class

In mid-April 2020, Binar Academy received seed funding led by Teja Ventures with the participation of several investors such as the Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF – a fund that aims to create social impact, managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, as well as several angel investors from ANGIN.

The fresh funds will be used to increase tech-education growth, as well as recruit experts in the fields of education and technology to provide digitalization of content and curricula to continuously train digital talents.

Binar Academy also targetimg to increase the growth of technology education products, as well as to recruit more experts in the fields of education and technology so that they can digitize content and curriculum for 45 thousand students in Indonesia.

“In the last three years, we have continued to develop our main product, namely Binar Bootcamp to meet the learning experience of our students and the market demand for digital talents. Inspiring Indonesian youth and helping them to discover their true potential will always be my mission,” said Alamanda.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Binar Academy dan Misinya Tingkatkan Kemampuan Talenta Digital Indonesia

Salah satu sektor yang terdongkrak pertumbuhannya saat pandemi adalah edtech. Semakin banyak masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk kemudian beradaptasi untuk belajar secara online.

Sebagai platform yang fokus pada pengembangan kemampuan dan talenta digital, Binar Academy mengklaim telah berhasil mengedukasi lebih dari 8 ribu siswa di tahun 2020 dan menghasilkan peningkatan pendapatan sebesar 80%.

Didirikan pada tahun 2017, startup ini dirintis oleh Alamanda Shantika yang merupakan mantan VP Technology and Product pertama Gojek bersama dengan dua alumni Gojek lainnya, yaitu Dita Aisyah dan Seto Lareno.

“Pandemi Covid-19 telah mendorong institusi pendidikan, guru, murid, dan juga para orang tua di Indonesia untuk beradaptasi belajar online. Sudah saatnya bagi kita untuk berinovasi dalam menyajikan pendidikan dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik sekaligus menyenangkan. Saya yakin bahwa kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan hal itu semua,” kata Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy menawarkan dua program pendidikan utama. Di antaranya adalah Binar Bootcamp dan Binar Insight. Program Binar Bootcamp, kursus intensif bagi pemula, mempunyai empat kelas berdurasi 4 sampai 6 bulan yaitu: Product Management, UI/UX Design and Research, Android Engineering, dan Fullstack Web Development.

Kemudian Binar Insight, berbagai seri webinar interaktif berdurasi 1,5 sampai 2 jam, mempunyai kelas yang lebih beragam seperti Product Management, Digital Marketing, dan Data Science. Kelas yang paling banyak dipilih pengguna adalah Product Management untuk Binar Bootcamp dan Binar Insight.

Secara demografi kebanyakan pengguna Binar Academy adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter). Tahun ini perusahaan berencana untuk meningkatkan kolaborasi dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Di Indonesia sendiri program bootcamp memang menjadi alternatif pendidikan nonformal, khususnya bagi mereka yang ingin menekuni bidang teknologi dan pemrograman. Selain Binar, ada beberapa startup lain yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul. Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement”, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Kantongi pendanaan tahap awal

Kelas Academy Bootcamp Binar Academy

Pertengahan April 2020 lalu Binar Academy telah menerima pendanaan tahap awal dipimpin oleh Teja Ventures dengan partisipasi dari beberapa investor seperti Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan pendidikan teknologi, serta merekrut pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk melatih kemampuan talenta digital secara terus-menerus.

Binar Academy tahun ini juga memiliki target untuk meningkatkan pertumbuhan produk pendidikan teknologi, serta merekrut lebih banyak pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk 45 ribu siswa di Indonesia.

“Dalam tiga tahun terakhir, kami terus mengembangkan produk utama kami yaitu Binar Bootcamp untuk memenuhi pengalaman belajar siswa kami dan permintaan pasar akan talenta digital. Menginspirasi pemuda Indonesia dan membantu mereka untuk menemukan potensi mereka yang sesungguhnya akan selalu menjadi misi saya,” kata Alamanda.

Mempelajari Lika-liku Pencarian Masalah dan Solusi Bersama Alamanda

Menghidupi kewirausahaan digital di masa ini mungkin jadi pilihan karier yang menarik. Sistem kerja yang menuntut serbacepat dan penuh inovasi menjadikan pilihan bekerja di sektor ini cukup menantang.

Sumber inovasi bisa datang dari mana saja, namun asal datangnya masalah bisa lebih banyak lagi. Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika berbagi cerita mengenai seluk-beluk pemecahan masalah yang terjadi di startup. Alamanda berbagi ilmunya tersebut dalam #SelasaStartup kali ini.

Kreatif mengidentifikasi masalah

Pepatah bilang, ilham datangnya bisa dari mana pun. Ini diamini betul oleh Alamanda. Suatu hari Alamanda datang ke kantor bank mengurus keperluannya. Dalam kunjungannya itu dia juga disodori banyak sekali produk perbankan yang menurutnya jelas tidak relevan untuk seseorang sepertinya.

“Melihat itu saya sebagai pelanggan jadi kesal karena saya tahu bankir itu lagi mikirin targetnya. Akhirnya yang dia lakukan tebar jaring ke semua orang. Ok target kita penting, tapi jangan jadikan itu sebagai patokan yang didewakan. Yang kita dewakan itu customer. Dengan kita mengerti pelanggan day to day, inovasi akan muncul,” ujar Alamanda.

Namun telaah masalah itu tak bisa otomatis datang. Perlu asupan pengetahuan yang kuat untuk mengasah daya kritis dan kreativitas dalam mencari masalah. Alamanda menganjurkan mereka yang bekerja di bisnis digital untuk memperkaya diri dengan tren dan fenomena di luar negeri. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan dan teknologi dalam negeri masih cukup jauh tertinggal dengan negara-negara maju lain.

“Simpel aja, kalau kita mau desain kamar pasti kita cari referensi di Pinterest. Itu cara kita bekerja dalam mencari kreativitas, mencari asupan,” imbuhnya.

Sebisa mungkin menyayangi pelanggan

Inovasi adalah jualan wajib dari sebuah perusahaan digital. Apakah inovasi mereka bisa bergerak cepat atau tidak bergantung dari bagaimana mereka memperoleh dan mengolah data dari transaksi pelanggan mereka.

Alamanda percaya berusaha mengenal pengguna layanan sebaik mungkin adalah langkah menuju kesuksesan. Dari data tersebut perusahaan bisa mencari kebutuhan-kebutuhan baru atau yang tak terlihat dari konsumen.

Ia mencontohkan sewaktu masih bekerja di Gojek dan membuat layanan GoFood. Alamanda bercerita membuat produk itu dengan berangkat dari data perilaku konsumen Gojek. Perilaku konsumen ini menjadi kunci karena dari sana mereka menemukan masalah yang mungkin bahkan konsumen Gojek sendiri juga belum menyadarinya.

Contoh lainnya adalah pengalaman Alamanda menghadapi masalah di Binar Academy. Di tempat terakhir ini Alamanda mendapati sistem akademi gratis yang mereka besut ternyata hanya mampu menahan sekitar 50% dari total pendaftar. Setelah menelusuri lebih jauh barulah mereka tahu bahwa mereka yang memilih tidak mengikut kelas sampai akhir punya motivasi yang berbeda. Berangkat dari temuan itu, Alamanda dan tim mengubah sistem.

“Kita udah buang duit untuk customer acquisition, begitu konsumen udah masuk jangan disia-siakan, harus disayang. Jadi fokusnya dua, bagaimana kita jangkau market baru yang enggak tahu Binar tapi yang sudah masuk juga harus dijaga dan dimengerti lebih dalam lagi.”

Prinsip sederhana dalam memvalidasi

Kreativitas tentu perlu dalam mencari masalah dan solusinya. Seperti sudah disebut tadi, data dari perilaku konsumen memegang kunci untuk mendasari munculnya kreativitas tersebut. Lalu bagaimana caranya memvalidasi perilaku konsumen?

Jawaban Alamanda adalah kembali ke prinsip yang paling sederhana yakni pemakaian produk, pertumbuhan, stabilitas, dan margin profit. Adakah yang memakai produk mereka, apakah ada pertumbuhan tiap bulan, apakah pertumbuhan itu stabil, dan yang tak kalah penting bagaimana dengan keuntungannya.

Alamanda menggarisbawahi poin terakhir, karena menurutnya ada beberapa startup yang salah kaprah dalam menjalankan roda keuangannya, yang jor-joran bakar duit tapi tak diikuti dengan profit margin yang jelas.

“Aku sesederhana itu aja karena itu yang ingin aku ubah mindset tentang orang-orang bikin startup. Sekarang kan aku di Mandiri Capital juga. Duit investor itu bukan berarti kita bakar-bakar kemudian tidak punya COGS (cost of goods sold) dan pendapatan yang jelas. Duit investor ini harusnya lebih untuk mengembangkan tools yang kita perlukan,” pungkas Alamanda.

Lebih Dekat dengan Penyelenggara “Bootcamp” Pemrograman di Indonesia

Jurang talenta digital di Indonesia sudah menjadi isu sejak beberapa tahun ke belakang. Kelangkaan terjadi salah satunya karena kurang cocoknya kurikulum di universitas dengan kebutuhan industri. Menjawab tantangan ini muncul banyak lembaga pendidikan non formal yang mengusung program pelatihan yang dikemas dengan model bootcamp atau belajar intensif. Tak hanya materi, lembaga pendidikan ini juga membantu lulusannya terhubung dengan perusahaan yang sesuai dengan industri mereka.

Kami mencoba menggali informasi dari salah satu penyedia bootcamp pemrograman di Indonesia, Hacktiv8. Kepada DailySocial, Ronald Ishak, CEO Hacktiv8, menceritakan mengenai Hacktiv8 dan seperti apa program bootcamp yang ia jalankan. Hacktiv8 membuka program FullStack JavaScript yang dibagi dalam empat tahap.

Tahap 0 mempelajari dasar pemrograman, sedangkan di tahap keempat, siswa sudah bisa mengimplementasikan React dan React Native dalam membangun sebuah aplikasi web. Di akhir pembelajaran bootcamp akan ada graduation ceremony di mana setiap siswa mempresentasikan hasil project mereka dalam bentuk Minimum Viable Product (MVP) di depan hiring partners dan tamu-tamu Hacktiv8.

Ronald melanjutkan, sama seperti keterampilan lainnya, belajar pemrograman atau coding itu harus berani “ngulik” dan terus latihan hingga bisa menguasainya.

“Kami terapkan mindset yang agile kepada students: berani berkembang, giat mencari solusi dan fleksibel terhadap perubahan. Secara tidak langsung di Bootcamp Hacktiv8 kami mendorong student untuk berpikir secara independen, lalu mengimplementasikannya dengan adanya monitor dari instruktur – tapi berpikirnya harus independen. Karena saat dia bekerja nanti kan, tidak ada Hacktiv8 instructor di sebelahnya,” imbuh Ronald.

Kami juga berbincang soal hal ini dengan Alamanda Shantika, CEO Binar Academy. Binar Academy memiliki program Binar Bootcamp, sebuah program pelatihan intensif yang bertujuan untuk mengembangkan talenta digital dengan kurikulum teknologi terkini yang diharapkan mencetak lulusan yang siap kerja. Tak hanya itu, materi belajarnya pun diklaim tidak hanya mencakup hal teknis, tetapi juga non-teknis, seperti leadership, agility, dan work ethic untuk mempersiapkan siswa agar siap di industri digital.

Bootcamp dilakukan selama 4 sampai dengan 6 bulan dengan jadwal belajar 3 kali dalam seminggu. Siswa akan dibimbing instruktur dengan sistem menyerupai gim, semacam challenge-based learning dan project-based learning. Konsep tersebut dipilih untuk menciptakan pengalaman yang menantang dan menyenangkan.

Student wajib menghadiri kelas diskusi untuk konsultasi langsung dengan instruktur Binar Academy yang merupakan praktisi untuk menggali wawasan atau sudut pandang terhadap sebuah permasalahan. Dalam kelas diskusi, kegiatan belajar-mengajar dititikberatkan pada kemampuan abstraksi dan penalaran tentang kasus nyata pemrograman. Ada komunikasi 3 arah yang terjadi di kelas diskusi, yaitu student ke fasilitator; fasilitator ke student; dan student ke student lain,” papar Alamanda.

Binar Bootcamp dibuka Januari 2020 dengan kelas Android Engineering. Mulai 4 Juni ini, Binar Academy membuka dua kelas baru, yakni Full Stack Web Development dan UI/UX Design. Menyesuaikan dengan kondisi pandemi, bootcamp kini hanya tersedia untuk kelas online.

CEO Binar Academu Alamanda Shantika / Binar Academy

Upaya memenuhi jurang talenta digital

Perkembangan industri digital yang pesat mendorong perusahaan berlomba-lomba mencari talenta terbaik untuk posisi-posisi yang mungkin belum lazim sebelumnya, seperti UI/UX designer, full stack developer, dan semacamnya.

Akhir tahun 2019, pemerintah melalui Kemkominfo disebut telah mengalokasi dana ratusan miliar Rupiah untuk mengisi 20 ribu talenta digital. Salah satu program yang sudah berjalan yakni Digitalent Scholarship dengan materi-materi teknis yang banyak dibutuhkan industri digital saat ini.

Dengan semangat yang sama, para penyelenggara penyedia bootcamp ini mengusung mimpi serupa untuk membantu menyediakan talenta yang siap kerja. Tak hanya soal materi pengajaran, tetapi juga kanal mendistribusikan lulusan.

Binar Academy misalnya, selain mengadopsi kurikulum terkini dan selalu menyelaraskan kebutuhan industri dengan apa yang mereka lakukan dalam bootcamp, juga menjalin hubungan baik dengan perusahaan dan industri. Tujuannya untuk memudahkan para lulusan bootcamp dan perusahaan untuk saling bertemu.

“Sejak berdirinya Binar Academy di tahun 2017, kami sudah menyalurkan lulusan bootcamp ke berbagai macam perusahaan termasuk startup, korporat, dan BUMN. Mitra-mitra Binar Academy mempunyai dua pilihan untuk merekrut lulusan kami, yaitu dengan skema full-time hire dan skema outsourcing. Binar Academy mempunyai tim khusus yang berpengalaman di industri digital untuk mencari kecocokan antara preferensi talent maupun perusahaan agar dapat memenuhi kebutuhan kedua pihak,” terang Alamanda.

Hacktiv8 memiliki semangat yang senada. Menurut Ronald, mereka sudah memiliki lebih dari 350 hiring partners. Ronald juga sepakat bahwa talenta sekarang harus seimbang antara coding skill dan soft skill.

“Tidak cukup hanya dengan coding skill yang kuat, namun juga bagaimana sebagai orang technical bisa berkomunikasi dengan non-IT. Hacktiv8 pun sebagai startup mengerti dan menerapkan kualitas tersebut dalam proses hiring. Untuk students kami pun kita berikan pembekalan yang cukup seperti bagaimana melakukan technical presentation kepada general public, membaca dokumentasi, menyiapkan CV, hingga mempersiapkan elevator pitch,” papar Ronald.

Kiri ke kanan: Riza Fahmi and Ronald Ishak, Co-founders Hacktiv8 / Hacktiv8-Founders

Membantu talenta dan perusahaan saling menemukan

Baik Hacktiv8 maupun Binar Academy membagikan data mengenai lulusan bootcamp mereka. Hacktiv8, berdasarkan data yang dirilis Maret silam menyebutkan bahwa dari 57 siswa yang mengikuti bootcamp pada tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan 30 Juni 2019, 89,5% di antaranya memutuskan untuk mencari pekerjaan. Sisanya, 10,5%, melanjutkan pekerjaan sebelumnya, melanjutkan pendidikan, atau mengikuti bootcamp hanya untuk pengembangan diri.

Masih di laporan yang sama, 180 hari selepas lulus bootcamp, 94,7% lulusan memiliki pekerjaan sesuai dengan bidangnya, 1,8% memutuskan untuk tidak mencari kerja karena alasan personal, sisanya (3,5%) tidak bisa dihubungi.

Untuk yang berhasil bekerja di bidang teknis yang sesuai dengan materi bootcamp, 78,9% menjadi karyawan full time (30+ jam/minggu, lebih dari 6 bulan); 7% menjadi karyawan kontrak, magang, dan sejenisnya; 1,8% menjadi freelance, karyawan kontrak durasi pendek, part time, dan semacamnya; dan 7% mendirikan perusahaan atau bisnis baru.

Ronald menjelaskan, tantangan utama menyalurkan lulusan adalah fluktuasi dalam kebutuhan rekrutmen mitra. Hal yang semakin terlihat di masa pandemi seperti sekarang adalah beberapa perusahaan mengurangi atau bahkan menunda aktivitas rekrutmen karena dampak perkambatan ekonomi.

“Untuk itu Hacktiv8 memiliki sebuah unit yang berfungsi mengoptimalkan proses penyaluran lulusan dengan memberikan one stop service kepada hiring partner, mulai dari pendataan kebutuhan perusahaan, mencocokkan profil lulusan dengan kriteria rekrutmen, sampai memfasilitasi interview lulusan dengan partner Hacktiv8,” jelas Ronald.

Sementara itu, Alamanda menceritakan bahwa saat ini Binar Academy sudah memiliki lebih dari 1000 lulusan. Menurutnya, waktu tunggu lulusan cukup variatif, kendati demikian tim Binar Academy sudah berupaya terlibat dalam proses pencarian kerja lulusan sejak siswa masih dalam bootcamp yang memungkinkan lulusan bisa mendapat pekerjaan 2 minggu setelah lulus.

“Berdasarkan hasil riset tim yang melibatkan engineer berpengalaman dan psikolog, yang dibutuhkan oleh semua industri saat ini bukan hanya hard skill dan soft skill tetapi juga talenta yang merupakan lifelong learner, team player, dan enthusiastic professional. Binar Academy percaya bahwa gabungan antara kurikulum yang disusun sesuai teknologi terbaru dan metodologi belajar yang interaktif akan menghasilkan talenta dengan kemampuan tersebut,” tutup Alamanda.

Suka Duka Pelaku Startup di Daerah

Startup (terlebih digital) dikenal sebagai bisnis pemula dengan eksekusi cepat. Untuk memastikan performa cepat dan tepat itu, seringkali dihubungkan dengan bagaimana bisnis dapat menjangkau entitas-entitasnya. Mulai dari rekanan, pangsa pasar, pendanaan hingga basis bisnis. Tak heran jika kota dengan pusat bisnis umumnya menjadi pilihan. Lokasi di pusat bisnis seperti ibukota memang memberikan akses yang menjanjikan untuk perkembangan bisnis. Namun apakah itu artinya di daerah sulit untuk melakukan pengembangan bisnis seperti layaknya di kota besar?

Pada dasarnya internet telah memberikan peluang baru. Internet memangkas jarak dan waktu menjadi sesuatu yang lebih sederhana. DailySocial mencoba mewawancarai beberapa penggiat startup dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan startup di Indonesia. Kami berbincang tentang bagaimana bisnis digital dapat dijalankan di daerah, kendala apa saja yang dihadapi dan alasan yang membuat mereka bertahan untuk tetap tinggal di sana.

Memulai startup di luar ibukota

Pada kenyataannya masih banyak pengembang startup di daerah yang mengalami kesulitan mengakselerasi bisnisnya. Banyak alasannya. Salah satunya karena mereka terkesan jauh dari jangkauan investor.

Soekma A Sulistyo, salah seorang penggiat startup yang tergabung dalam komunitas SoloconValley, menceritakan bahwa di Solo sendiri banyak penggiat startup yang mencoba bersama-sama mengembangkan bisnisnya. Mereka masih terkendala beberapa hal, di antaranya masalah mentor, ekosistem pasar lokal, dan masalah modal (dalam hal ini akses ke investor).

Untuk masalah mentor, Soekma menjelaskan dirinya dan teman-teman di SoloconValley ingin terus berusaha menambah pengetahuan mereka dengan menghadirkan mentor-mentor untuk membimbing bisnis. Hanya saja mereka yang tergabung dalam SoloconValley masih belum mampu untuk menghadirkan mentor yang berpengalama. Di sinilah mereka berharap adanya bantuan.

Masalah ekosistem dan modal menjadi permasalahan selanjutnya. Perkara ekosistem ini, menurut Soekma, meskipun ide bisnis yang dijalankan didesain untuk skala internasional namun penerimaan masyarakat di sekitar masih tergolong rendah jadi kesempatan mereka untuk dikenal menjadi semakin sedikit.

Pengalaman yang sedikit berbeda diungkapkan Istofany Api Diany, founder Fitinline. Internet, menurutnya, mampu memfasilitasi kebutuhannya dengan baik untuk mengembangkan startupnya di Yogyakarta. Masalah klasik yang diceritakan justru biaya pengiriman produk fisik dari Yogyakarta yang umumnya lebih mahal jika dibandingkan dari Jakarta. Namun, untuk menjangkau konsumen, Istofany mengatakan hal itu bukan isu besar.

Fajar Assad, sebagai salah satu inisiator Komunitas Startup Makassar dan founder Lean Skill, juga berkisah tentang kondisi startup Makassar dan masalah yang sering kali ditemui penggiat startup di sana. Sejauh ini, menurut Fajar, startup yang muncul di Makassar sudah bisa dibilang cukup banyak. Hanya saja startup hanya muncul berbarengan dengan beberapa event startup yang sempat hadir di Makassar, sementara kelanjutannya masih belum jelas.

Fajar mengisahkan banyak startup di Makassar yang butuh pendampingan. Provokasi untuk menjalankan startup diharapkan tidak hanya sebatas pada mendirikan startup, tetapi juga sampai dengan menjalankan dan mengelola startup secara profesional.

“Sayangnya program-program tersebut hanya sekedar memicu/provokasi utk lebih banyak orang membuat startup digital hanya untuk mengikuti program tersebut. Hal ini bagus akan tetapi jika tidak diimbangi dengan pendampingan/pembinaan yang berkelanjutan akan membuat startup tadi akan drop pada titik waktu tertentu. Produk yang mereka develop sekarang harus go-to market dan harus terus growth. Sayangnya cara atau pengalaman untuk hal demikian belum banyak bisa dipelajari di sini, [di] kota Makassar,” ujar Fajar.

Menurut Fajar, di Makassar sebenarnya keberadaan startup mulai dilirik masyarakat dan media lokal. Hal ini diduga karena popularitas startup kenamaan, seperti Tokopedia, Go-Jek, Traveloka, dan Lazada yang sudah terdengar hingga Makassar. Pemerintah kota Makassar sendiri dianggap belum melihat potensi startup digital sebab masih belum banyak wadah komunitas startup untuk berinteraksi dengan pemerintah kota.

Fajar berkesimpulan rekan-rekan sesama founder masih belum aktif mengembangkan pengetahuan mereka sehingga pengembangan startup berjalan di tempat. Salah satu yang diharapkan adalah ajang berbagi pengalaman dari startup-startup yang memiliki ekosistem yang sama namun berjalan untuk pasar atau masyarakat lain. Di sini validasi ide menjadi penting.

Alamanda Shantika, salah satu nama di balik kesuksesan Go-Jek yang sekarang menjadi bagian Kibar demi misinya “memprovokasi” startup-startup di Indonesia, menjelaskan bahwa validasi ide adalah hal terpenting.

Perempuan yang akrab disapa Ala ini menjelaskan potensi startup di daerah cukup besar. Ragam masalah lokal bisa diselesaikan oleh startup yang beroperasi di tempat tersebut. Di Bali misalnya, banyak yang coba menghadirkan solusi digital yang mengangkat permasalahan sektor pariwisata. Atau di Yogyakarta yang mencoba menyelesaikan permasalahan pertanian.

“Saya udah keliling beberapa kota waktu Next Dev dan 1000 Startup. Banyak bedanya, Indonesia kaya banget dan budaya kita beragam. Justru yang di luar kota masalahnya lebih banyak yang mereka angkat. Misalnya Bali lebih ke pariwisata, di Jogja masalah pertanian, berbagai macam problem yang ada. Dari segi potensi mereka gak kalah, mereka sudah melek banget tentang startup,” papar Ala.

Masalah pengetahuan bisnis startup, menurut Ala, sebenarnya saat ini bisa diakses dengan mudah berkat adanya internet. Intinya ada pada kemauan dan upaya masing-masing untuk terus belajar.

“Kalau mau ngerjain produk kita harus challenge diri kita sendiri. Terus jangan pikir produk kita sudah keren, karena yang paling penting adalah mendengarkan orang lain, market validation. Saya udah mentoring banyak startup. Kadang mereka terlalu pede, kadang idenya tidak dibutuhkan market, kadang sampai juga problem-nya sebenarnya tidak ada, problem-nya tidak sebesar itu [yang disebutkan]. Jadi market validation dan mau mendengarkan kata market itu penting,” saran Ala.

Solusi Bekraf sebagai komponen pendorong industri kreatif nasional

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan penggiat startup di daerah ini. Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menjelaskan bahwa saat ini pemerintah melalui Bekraf aktif untuk mengajak pemuda daerah untuk membangun melalui dua program. Yang pertama adalah Bekraf Developer Day (BDD) dan BEKUP (Bekraf for Pre-Startup). Dua program Bekraf ini diharapkan mampu memacu tumbuhnya startup-startup di daerah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dengan teknologi digital.

Ketika ditanya mengenai apa yang perlu dikembangkan untuk membantu startup-startup daerah ini tumbuh, Hari menjelaskan, “Yang paling penting adalah membangun ekosistem yang membuat startup dapat tumbuh subur. Dari hulu, harus tersedia pool of talent yang siap dan telah disiapkan menjadi pengusaha. Tidak kalah penting adalah tersedianya jaringan mentor yang akan melakukan coaching di inkubator-inkubator bisnis secara rutin.”

“Kemudahan dalam membentuk Badan Usaha, sehingga para startup tidak dipusingkan dengan kegiatan awal. Insentif pajak baik kepada pelaku startup dan juga pemodalnya. Tidak terlepas harus adanya ekosistem untuk para Venture Capital untuk exit baik itu lewat IPO atau lewat Merger atau Akuisisi. Tidak kalah penting adalah pendaftaran Kekayaan Intelektual (KI) dan monetisasinya,” lanjutnya.

Beberapa hal yang menjadi keuntungan startup di daerah

Yogyakarta adalah kota yang “adem”. Demikian disampaikan Istofany saat ditanya mengapa tetap bertahan di kota pelajar tersebut. Tak semua bisnis harus dijalankan di pusat bisnis besar, nyatanya banyak hal yang menginspirasi di daerah. Salah satu alasan mengapa akhirnya ia memilih berbasis di Yogyakarta justru karena ia terinspirasi dengan kebiasaan “kerja” masyarakat di Yogyakarta.

Dengan berbagai keterbatasan dibumbui kreativitas, orang-orang di sini mampu mengimbangi berbagai kebutuhan bisnis dan persaingan pasar. Hal tersebut yang turut mendorong semangat juang rekan-rekan di daerah.

Yogyakarta saat ini juga sedang hype dengan kultur startup. Istofany mengatakan umumnya pemain baru ini banyak fokus di produk (pengembangan), sangat mirip dengan karakteristik sebagai kota pelajar. Sisi bisnis masih kurang dipahami baik. Untungnya Yogyakarta masih “asri” dalam bisnis, pressure-nya tak seketat di Jakarta. Semua bisa berjalan santai sehingga memberi kesempatan untuk menyiasati kekurangan tadi.

Sama halnya dengan Solo, Makassar, dan daerah-daerah lain. Peluang untuk mengembangkan bisnis digital atau startup terbuka lebar. Hanya memang perjuangan dan tingkat kesulitan prosesnya berbeda-beda. Butuh ide dan eksekusi yang disesuaikan dengan permasalahan masing-masing.

Di zaman digital ini, roda bisnis dapat digerakkan dari mana saja. Terlebih saat produk yang ditawarkan berbentuk layanan digital. Tantangannya justru bagaimana kita mampu menghadirkan strategi terbaik yang memanfaatkan potensi yang ada dari lingkungan kita. Menjadikan alasan tinggal di luar ibukota sebagai hambatan berkembang adalah kurang tepat, karena masalah ibukota berbeda dengan yang ada di daerah.


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam penulisan artikel ini

FemaleDev Adakan Program Inkubasi Serupa Gerakan Nasional 1000 Startup Digital

FemaleDev, platform edukasi informal khusus perempuan yang juga terafiliasi dengan tech-startup ecosystem builder PT Kibar Kreasi Indonesia (Kibar) kini mengadakan program inkubasi yang bertujuan untuk mendorong dan memberdayakan lebih banyak generasi pemimpin perempuan dengan memanfaatkan teknologi.

Alamanda Shantika, Chief Activist FemaleDev, menjelaskan program inkubasi ini sama halnya seperti Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Di dalamnya akan ada diskusi, workshop, hacksprint, bootcamp, dan inkubasi yang akan diadakan di enam kota, yaitu Jakarta, Denpasar, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.

“Jadi dalam setahun mendatang, FemaleDev akan menggelar program intensif. Arahnya ingin menciptakan female leader dari dunia IT. Tapi perbedaannya dengan Gerakan Nasional adalah adanya pelatihan soft skill untuk leadership,” ujarnya seusai acara FemaleDev Breakthrough Summit di Bali, pekan lalu.

[Baca juga: FemaleDev dan Harapannya Mencetak Lebih Banyak Pengembang Perempuan Indonesia]

Sampai akhir tahun ini, Roadmap FemaleDev bekerja sama dengan Google Developers menyelenggarakan Women Techmakers Study Groups untuk Indonesia Android Kejar Batch 2. Kemudian, tahun depan FemaleDev akan meresmikan program inkubasi.

Program ini dimulai dengan Talks sampai Februari 2017, kemudian Workshop sampai April 2017. Soft skill camp diselenggarakan dari Maret hingga April. Hacksprint dimulai Maret hingga April, kemudian menyusul Bootcamp dari April sampai Mei. Terakhir, Incubation diselenggarakan dari April hingga Agustus.

“Target peserta inkubasi baru akan ditentukan setelah acara Women Techmakers Study Groups selesai. Kami perlu lihat dahulu bagaimana antusiasmenya.”

FemaleDev pertama kali diinisiasikan oleh Kibar pada Februari 2013. Hingga kini, FemaleDev telah menjaring sekitar 3.000 perempuan muda yang mempunyai misi untuk berkarya dengan memanfaatkan teknologi. Kampanye ini elah lebih dari 60 kali menyelenggarakan workshop di 10 kota besar.

Update Gerakan Nasional 1000 Startup Digital

Alamanda fokus ingin meningkatkan kepemimpinan perempuan di dunia TI / DailySocial
Alamanda fokus ingin meningkatkan kepemimpinan perempuan di dunia TI / DailySocial

Kini sudah berjalan tiga bulan semenjak Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital diresmikan beberapa waktu lalu. Tiga kota pertama yang sudah disinggahi adalah Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Dari ketiga kota tersebut, menurut Alamanda, yang paling menarik adalah inovasi yang diajukan oleh peserta dari luar Jakarta.

Menurutnya, pemecahan masalah yang mereka tawarkan terbilang lebih mengakar ke sumber permasalahan. Jadinya ide mereka tidak itu-itu saja.

“Saat mentoring session sangat terasa sekali ide yang ditawarkan oleh peserta dari Jakarta masih itu-itu saja. Problem yang mereka tawarkan belum mendalam, beda halnya dengan peserta dari luar Jakarta sangat menarik sekali.”

Dia mencontohkan, ide yang menarik itu akan menarik bila dilakukan lewat kolaborasi. Ambil contoh, untuk mengatasi masalah di logistik, tidak perlu membuat Go-Send seperti apa yang sudah dilakukan Go-Jek. Lebih baik fokus ke akar permasalahannya, misalnya dari sistem tracking dari perusahaan logistik yang belum berskala besar masih jelek.

“Berangkat dari masalah itu, bisa menjadi ide startup yang menarik. Soalnya mereka harus memperhatikan bagaimana caranya perusahaan yang dibangun jadi support perusahaan lainnya, tidak bersaing satu sama lain. Hal-hal kecil bisa jadi besar saat kolaborasi dilakukan.”

Dari total ketiga kota tersebut, total partisipan mencapai 14.318 ide. Lalu, disaring dalam tahapan Ignition tersisa 1.515. Di tahap selanjutnya, Workshop total peserta tersaring jadi 759. Kemudian, dalam tahap Hacksprint menipis jadi 367.

Secara garis besar, berdasarkan jenis kelamin partisipan laki-laki sekitar 83% dan 17% adalah perempuan. Dari segi umur, 86% diikuti oleh orang-orang dengan range umur 18-30 tahun, sisanya berasal dari kalangan umur 30-40 tahun. Adapun untuk fokus masalah yang ingin dipecahkan kebanyakan untuk mengatasi pertanian di Indonesia.

Belajar dari Mundurnya Para Petinggi Startup di Indonesia

Kabar keluarnya Ken Dean Lawadinata mungkin masih menyisakan pertanyaan besar di benak kita, mengapa petinggi startup yang merasakan berdarah-darahnya membangun sebuah startup dari nol justru mundur ketika perusahaan yang dirintisnya mulai tumbuh besar? Pertanyaan yang sama barangkali juga menggelayuti pikiran kita ketika Alamanda Shantika memutuskan meninggalkan Go-Jek yang ikut dirintisnya sejak awal hingga memiliki jutaan user seperti sekarang ini. Terakhir, kita dikejutkan dengan kabar mundurnya Michaelangelo Moran yang juga co-founder dari Go-Jek.

Meskipun belum diketahui alasan mengapa Mikey, begitu ia disapa, memutuskan mundur dari Go-Jek, tetapi beberapa pihak menyebut Mikey yang juga berprofesi sebagai DJ akan memulai bisnis propertinya di Bali. Sama seperti Mikey, Ken Dean mundur dari Kaskus karena melirik bisnis lain. Sementara, Alamanda memiliki alasan yang sedikit berbeda. Sebab setelah mundur dari Go-Jek, Ala masih berkecimpung di dunia IT lewat Kibar dan Gerakan 1000 Startup yang dipeloporinya.

Sepintas, mundurnya beberapa nama beken dari perusahaan yang dipandang “wow” di kalangan pelaku bisnis startup membuat kita berpikir, apakah memang pilihan mundur sesuai untuk kondisi sekarang ini?

Seperti yang kita tahu, saat ini startup Indonesia mengalami dualisme yang cukup membuat galau. Di satu sisi, pertumbuhan bisnis startup sedang gencar-gencarnya diikuti semangat ratusan bahkan ribuan orang yang memiliki cita-cita untuk membangun startup. Namun, di sisi lain kita tidak menutup mata bahwa geliat startup yang telah berjalan justru mengalami musim “paceklik”. Terlihat beberapa waktu lalu ketika startup fashion e-commerce besar di Indonesia seperti SaleStock dan BerryBenka ramai-ramai melakukan layoff terhadap ratusan karyawannya. Meski tidak semata-mata karena keuangan, tetapi layoff yang dilakukan oleh suatu perusahaan pastilah menandai adanya permasalahan di dalamnya.

Startup dan mimpi-mimpi kabur anak muda Indonesia

Masih terekam jelas di ingatan saya ketika kali pertama mengenal startup, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya adalah soal masa depan yang berubah. Startup mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Dan istimewanya, hal-hal yang berubah adalah salah satu dari sekian banyak hal yang kita tidak senangi; jam kerja yang kaku, otoritas atasan, tempat kerja bersekat, dan lain-lain.

Ekosistem di startup bagaimanapun mengubah hal tersebut. Dan itu adalah salah satu yang membuat banyak orang, terutama di kalangan anak muda, yang menaruh banyak sekali mimpi. Entah menjadi founder atau bekerja di startup, paling tidak mereka memiliki harapan dan cita-cita bahwa melalui startup, banyak hal yang bisa berubah dan bisa diubah. Maka tidak salah ketika startup mulai populer, antusiasme anak muda yang ingin terjun di sana juga semakin tinggi.

Hanya saja satu hal yang luput dari pemahaman kita adalah tidak segala hal diciptakan dengan instan. Tidak ada yang serba mudah, termasuk ketika memutuskan untuk bergabung di startup.

Sembilan puluh persen startup di dunia ini mengalami kegagalan. Seharusnya hal itu yang pertama wajib kita ketahui. Dengan demikian, setidaknya kita sadar bahwa mengambil langkah untuk terjun di startup berarti siap dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk gagal, dipecat, dan segala macam. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri, kemungkinan besar sukses ataupun gagal, ada banyak hal yang bisa dipelajari selama proses tersebut.

Mundurnya mereka bukan karena menyerah

Banyak orang berpikir bahwa bekerja di startup yang serba tidak pasti adalah salah satu alasan mengapa banyak orang memilih angkat kaki. Kita pun boleh curiga barangkali baik Ala, Mikey, maupun Ken Dean sudah cukup “lelah” dengan startupnya. Namun, saya pribadi memiliki pandangan yang lain.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran adalah seberapapun hasilnya, pada akhirnya, lakukan yang terbaik. Jika kita sebagai anak muda mundur dari startup dengan alasan lelah dengan ketidakpastian, saya rasa jangan pernah menyamakan kita dengan mereka bertiga. Ketiga pentolan startup tersebut mundur setelah mereka melakukan banyak hal dan membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan sudah cukup berguna. Ken Dean mundur dari Kaskus setelah startup tersebut melejit dengan kepopuleran yang tinggi. Tak jauh beda, Mikey dan Ala mundur ketika Go-Jek sudah menjadi “unicorn” dengan valuasi yang fantastis. Ala sendiri justru menganggap mundurnya dia dari Go-Jek justru akan membawa banyak manfaat, sebab ilmu yang dulunya hanya diketahui Go-Jek, kini bisa ia ajarkan kepada seluruh orang di Indonesia.

Jadi, jika kamu anak muda yang masih menaruh mimpi pada masa depan startup yang lebih baik, saya rasa tidak perlu khawatir. Fokus kita saat ini adalah melakukan yang terbaik, pada apapun yang kita bisa. Fokus untuk berkarya, berimprovisasi, dan membangun sesuatu yang berguna. Sebab jika orang-orang muda seperti kita sudah “lelah” sebelum jadi apa-apa, mau bagaimana masa depan bangsa? Pikir sekali lagi. *ehm, berat ya.

Logo LabanaID

Alamanda Shantika: Kibar Bantu Saya Mewujudkan Mimpi Terbesar Untuk Bangun Indonesia

Setelah dua tahun menjabat sebagai Vice President of Technology Product Go-Jek, per 1 Oktober 2016 kemarin Alamanda Shantika resmi bergabung dengan PT Kibar Kreasi Indonesia (Kibar), tech startup ecosystem builder di Tanah Air untuk mewujudkan mimpinya membantu anak-anak muda Indonesia lewat FemaleDev dan Program Nasional 1.000 Startup Digital. Keduanya adalah program dari Kibar.

Perlu diketahui, Alamanda bergabung di Go-Jek sejak 2014. Dia adalah orang di balik lahirnya aplikasi Go-Jek yang kini beredar di 10 kota besar Indonesia. Kini Go-Jek dikenal sebagai role model startup di Tanah Air yang banyak dicontoh oleh banyak founder mengenai peranannya membantu perekonomian masyarakat Indonesia.

Selama perjalanannya di Go-Jek, sudah beberapa kali dirinya menjadi pembicara untuk acara workshop, mentoring, atau lainnya. Akhirnya hal ini membuat Ala, panggilan Alamanda, kembali mengingat mimpinya sejak awal. Ia ingin membantu orang Indonesia lebih banyak lagi.

Lewat wawancara eksklusif bersama dengan DailySocial di kantor Kibar, dia menceritakan sejak awal sebelum dia bergabung di Go-Jek ingin menjadi seorang dosen dengan mengambil program PhD sebagai langkah awal untuk menuju Menteri Pendidikan. Namun akhirnya pupus, karena bujukan dari Nadiem Makarim (Founder Go-Jek) untuk membantu dirinya mengembangkan Go-Jek demi mengangkat perekonomian supir ojek lebih baik lagi.

“Meninggalkan Go-Jek itu adalah hal yang berat. Tapi ini adalah masalah waktu karena saya ninggalin Go-Jek demi capai cita-cita saya lebih tinggi lagi, kan saya mau jadi Menteri Pendidikan jadi gak bisa selama-lamanya di Go-Jek. Anak-anak di Go-Jek sudah dapat bekal yang cukup dari saya, sekarang saatnya saya beri bekal lagi untuk anak-anak lainnya,” ujarnya, Rabu (5/10).

Pipeline kerja bersama Kibar

Kini, Ala fokus menjadi mentor untuk dua program yang dibuat oleh Kibar yakni FemaleDev sebagai Chief Activist dan Program Nasional 1.000 Startup Digital sebagai mentor. Di FemaleDev, ia ingin membantu perempuan Indonesia yang berkecimpung sebagai developer dan programmer, mengarahkan mereka untuk menjadi founder dan leader untuk startup.

Menurut Ala, jumlah founder perempuan di startup Indonesia masih sedikit. Padahal, mereka sama-sama memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Banyak mindset yang terus memojoki kemampuan perempuan yang terbatas, terkesan pekerjaan programmer itu sangat “high tech” dan tidak semua orang bisa menguasainya. Padahal, dalam kenyataannya tidak demikian. Itu semua hanya sebatas mindset saja yang perlu dirubah.

Untuk itu, dalam waktu dekat akan ada inisiasi baru dari FemaleDev yang akan diresmikan pada 29 Oktober 2016 mendatang di Bali, bekerja sama dengan Google Developer. Arahnya, dari inisiasi tersebut dapat membawa isu female developer ke ranah global karena permasalahan ini dinilai merata terjadi di seluruh dunia. Inisiasi ini akan dihadirkan kegiatan workshop, mentoring khusus untuk perempuan.

Female leader di startup masih sangat sedikit. Saya mau menggerakkan wanita juga mampu di teknologi dan menjadi leader. Dari FemaleDev akan melahirkan bibit-bibit female programmer dan developer dari dunia teknologi untuk menjadi leader startup.”

Kemudian untuk Program Nasional 1.000 Startup Digital, Ala akan menempatkan dirinya sebagai mentor. Dari kacamata sebagai orang yang pernah mendirikan startup, Ala akan membawa seluruh ilmunya dari Go-Jek untuk disampaikan ke anak-anak muda Indonesia.

“Program ini sekarang ada ditahap networking dan hackaton, dari perspektif saya yang sudah pernah mendirikan startup. Masukan dari saya beberapa diantaranya, kebutuhan ideal engineer untuk satu produk itu perlu tiga orang. Masih banyak bantuan yang siap saya berikan untuk menciptakan ekosistem teknologi yang baik di Indonesia.”

Banyak pihak ingin membajak

Sebagai salah satu orang penting di Go-Jek, tentunya aura Ala kian deras dimata para berbagai pihak, tak terkecuali konglomerat besar di Indonesia. Ala mengaku sebelum dirinya memutuskan untuk bergabung ke Kibar, banyak perusahaan besar yang berusaha membujuk dirinya beralih ke tempat mereka hingga pendekatan yang paling ekstrem.

Namun, hal itu tidak membuat Ala gentar sebab mereka tidak memiliki kesamaan visi. Justru dengan Kibar dia merasa ada kesamaan visi, sama-sama ingin membangun ekosistem teknologi yang baik dan ramah untuk Indonesia.

Ala mulai mengenal Yansen Kamto (CEO Kibar) saat mereka ditunjuk menjadi juri untuk ajang kompetisi NextDev diadakan oleh Telkomsel pada tahun lalu. Sejak itu, Ala mulai banyak berbincang mengenai Kibar dan visi misinya.

“Saat ini potensi anak Indonesia sudah luas, mimpinya sudah terbentuk. Hanya akan sekedar jadi potensi saja bila tidak ada orang yang membantu mengembangkan mereka. Dengan menjadi pembimbing, saya yakin Kibar akan bantu mencapai mimpi terbesar saya. Tujuan akhir saya di Kibar ingin bersama-sama menciptakan startup yang punya hati untuk membantu banyak orang.”

Yansen Kamto, CEO Kibar, menambahkan bergabungnya Ala menunjukkan adanya salah satu kemenangan untuk menyukseskan Program Nasional 1.000 Startup Digital menjadi realita. Yansen memastikan, hubungan Kibar dengan Go-Jek justru tidak jadi keruh karena perpindahan Ala.

“Kami jadi yakin bergabungnya Ala akan membuat program nasional bisa sukses karena di belakang layarnya ada orang yang berpengalaman dan peduli. Nadiem pun sangat dorong orang-orang dari Go-Jek berkontribusi untuk negara. No hard feeling.”

Mengutip kata-kata dari Nadiem untuknya, Ala mengatakan. “I let you fly.”

Google HackFair Dukung Pemanfaatan Data untuk Kepentingan Bisnis

Dalam perhelatan Google HackFair Indonesia yang pertama kali diadakan pada tanggal 5 hingga 6 Desember kemarin, para partisipan selaku penggiat teknologi diharapkan mampu berkontribusi pada pemanfaatan data untuk mempercepat terealisasinya Jakarta yang lebih pintar melalui konsep smartcity.

Staf Gubernur DKI Jakarta Fahmi Islami mengatakan bahwa pada dasarnya optimasi pekerjaan pemerintah dapat terdorong dengan keberadaan teknologi.

“Smartcity harus menjadi kolaborasi berbagai pihak yang sebenarnya tak hanya dari pemerintah. Karena cakupan solusinya akan mendorong sektor anggaran, transportasi, dan pendidikan. Kesempatannya sangat terbuka luas untuk para startup dan pengembang untuk berperan serta, berkolaborasi yang positif membuka banyak data untuk publik,” kata Fahmi.

Dari sudut pandang startup, VP Product Go-Jek Alamanda Shantika menyatakan hal senada. Menurutnya data terbuka bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama termasuk bisnis. Alamanda memberikan beberapa contoh layanannya. Salah satunya Go-Busway yang terintegrasi dengan sistem transportasi di Jakarta berkat utilisasi API Jakarta Smartcity.

Google HackFair Indonesia itu sendiri merupakan ajang untuk menampilkan dan berbagi berbagai proyek berbasiskan teknologi. Acara ingin mengumpulkan pengembang, engineer, dan penggiat teknologi untuk menunjukkan apa yang telah mereka kreasikan.

Di kesempatan ini, Pemprov DKI disinyalir akan membentuk sebuah fasilitas (dalam bentuk inkubator atau co-working space) untuk para penggiat teknologi.

“Pemprov Jakarta sudah menjadi pemerintah terbuka dan bisa dengan mudah untuk diajak komunikasi guna mendapatkan informasi [open data]. Dalam hal ini pemerintah juga punya peran penting untuk membantu developer dalam mengembangkan inisiatif mereka. Tahun depan akan ada co-working space/inkubator yang disediakan untuk PNS yang bertemu dan berkolaborasi dengan para developer guna saling bertukar ide,” jelasnya Fahmi.

Fasilitas tersebut harapannya mampu membantu masalah Jakarta yang sejauh ini kerap menjadi perhatian yakni perihal BPJS, perizinan, dan lainya yang hampir ada di setiap sektor. Skema ini seharusnya bisa diredam dengan bantuan teknologi.

“[Saat ini] birokrasi memang masih menjadi kendala [merealisasikannya] untuk ketersediaan dana karena ada aturannya. Tetapi penyelesaiannya yaitu mengajak pihak ketiga, misalnya sponsor dan lain-lain sebagainya,” tutupnya.