Pendapatan Iklan Instagram Dikabarkan Lebih Besar daripada YouTube

Kita tahu bahwa YouTube dan Instagram sama-sama mengandalkan iklan sebagai sumber pemasukan utamanya. Namun yang mungkin membuat penasaran adalah, mana yang pendapatan dari iklannya lebih besar?

Normalnya, banyak yang akan menjawab YouTube, dengan alasan YouTube sudah lebih lama menjalani bisnis ini. Pada kenyataannya, dalam laporan finansial terbaru yang dirilis Alphabet, YouTube tercatat menghasilkan $15,15 miliar dari iklan di sepanjang tahun 2019.

Facebook di sisi lain tidak menguraikan secara merinci berapa pendapatan Instagram dalam laporan keuangannya. Namun kalau berdasarkan laporan yang diberitakan Bloomberg baru-baru ini, pemasukan iklan Instagram tahun lalu mencapai sekitar $20 miliar. Sayang Facebook enggan berkomentar soal ini.

Kalau melihat betapa agresifnya Instagram menampilkan iklan belakangan ini – di Feed, Stories, maupun di Explore – angka pendapatan ini terdengar cukup masuk akal. Hebatnya lagi, narasumber Bloomberg juga bilang bahwa lebih dari seperempat penghasilan total Facebook selama tahun lalu berasal dari Instagram sendiri.

Yang dibahas ini adalah pendapatan kotor, namun kalau membahas pendapatan bersih pun, sepertinya Instagram tetap lebih unggul ketimbang YouTube. Pasalnya, YouTube menerapkan sistem bagi hasil dengan para kreator, dan mereka bilang jumlah yang mereka bagikan melebihi separuh dari total pendapatan iklannya. Instagram tidak demikian.

Tidak berlebihan jika kita menganggap Instagram sebagai salah satu investasi terbaik Facebook. Saat diakuisisi di tahun 2012, Instagram belum punya satu pun cara untuk menghasilkan uang. Kendati demikian, Facebook tetap rela mengucurkan dana sebesar $715 juta, dan sekarang Instagram justru menjadi salah satu ‘mesin uang’ Facebook.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Pixabay.

Lumi by Pampers Adalah Smart Diapers untuk Para Bayi Generasi Data Science

Dewasa ini semakin banyak produk yang dilabeli “smart” oleh pembuatnya, entah itu karena kemampuannya terhubung ke internet, atau berkat kemampuannya memonitor beragam data. Sejatinya hampir semua objek bisa dibuat pintar sekarang, tidak terkecuali popok sekali pakai alias diapers.

Tren smart diapers sebenarnya sudah dimulai sejak akhir tahun lalu di Korea dan Jepang. Tahun ini, tren itu bakal berlanjut ke Negeri Paman Sam berkat kreasi terbaru dari brand yang namanya begitu melekat di kategori ini: Pampers. Mereka baru saja mengumumkan Lumi by Pampers, yang mereka definisikan sebagai “all-in-one connected care system“.

Lumi by Pampers

Agar lebih mudah dicerna, anggap saja Lumi sebagai perpaduan dari smart diapers, security camera, baby monitor, dan aplikasi smartphone. Lumi merupakan hasil kerja sama Pampers dengan Logitech dan anak perusahaan Alphabet Inc. yang bergerak di bidang data science, Verily.

Lumi pada dasarnya dirancang dengan tujuan untuk memudahkan tugas para orang tua selama setahun pertama merawat buah hatinya. Caranya adalah dengan menyodorkan selengkap mungkin data yang relevan untuk dievaluasi. Sumber data yang pertama tidak lain dari smart diapers itu sendiri.

Lumi by Pampers

Diapers yang termasuk dalam paket penjualan Lumi merupakan varian khusus yang memiliki tempat untuk ditempeli sensor. Sensor tersebut tak hanya bertugas mengecek apakah sudah tiba saatnya untuk mengganti diapers dengan yang baru (berdasarkan garis kuning yang umumnya berubah warna menjadi biru setelah terkena cairan), melainkan juga memonitor pola tidur sang bayi.

Sumber data berikutnya adalah kamera pengawas Logitech Circle 2 yang telah dimodifikasi agar dapat mengukur suhu dan kelembapan di samping sekadar merekam. Kamera ini juga bertugas meneruskan data dari sensor yang melekat di diapers menuju ke akun Pampers milik masing-masing orang tua, yang kemudian bisa diakses data-datanya lewat aplikasi pendamping Lumi di smartphone.

Paket penjualan Lumi meliputi dua bungkus diapers, dua sensor dan kamera Logitech Circle 2 itu tadi. Diapers tambahannya bakal ditawarkan ke konsumen lewat mekanisme subscription, atau dijual terpisah di sejumlah toko. Pampers belum merincikan harga jual Lumi, namun pemasarannya di Amerika Serikat sudah dijadwalkan bakal berlangsung mulai musim semi nanti.

Sumber: Engadget.

Google Glass Enterprise Edition 2 Diumumkan, Dipersenjatai Qualcomm Snapdragon XR1

Google Glass disingkap di tengah tingginya imajinasi dan harapan terhadap teknologi cross reality. Mulai tersedia secara terbatas di 2013, Glass adalah head-mounted display AR yang dikemas dalam wujud kaca mata, disiapkan sebagai perangkat komputasi wearable. Pengoperasiannya didukung oleh internet, mempersilakan kita untuk mengakses segala fungsinya lewat perintah suara.

Sayangnya hanya butuh sedikit waktu bagi Glass untuk menuai kritik. Kehadirannya membuat khalayak cemas terhadap privasi serta bisa membuka celah keamanan. Perangkat ini dapat melakukan perekaman, dan orang khawatir gerak-geriknya dipantau tanpa sepengetahuan mereka. Beberapa negara juga melarang pemakaian Glass saat berkendara karena berdampak buruk pada konsentrasi dan meningkatkan resiko keselamatan – baik bagi diri pengguna maupun orang lain.

Produksi model purwarupa Glass akhirnya dihentikan di bulan Januari 2015 dan kembali berkiprah sebagai perangkat segmen enterprise di tahun 2017. Dan kira-kira dua tahun selepasnya, sang raksasa internet mengumumkan versi anyar bertajuk Google Glass Enterprise Edition 2 yang mengusung sejumlah pembaruan. Seperti sebelumnya, perangkat ini diarahkan ke segmen bisnis dan tidak dijual langsung ke konsumen.

Satu hal menarik dari Glass Enterprise Edition 2 ialah, ia disuguhkan sebagai anggota keluarga produk Google, bukan lagi bagian dari Alphabet X. Secara dasar, tak ada banyak hal yang berubah dari perangkat wearable ini. Wujudnya tetap mirip kacamata baca, dengan modul menonjol ke depan di dekat lensa kanan serta satu modul lagi di bagian tangkai.

Modifikasi lebih banyak bisa ditemukan di dalam. Platform Qualcomm Snapdragon XR1 dipilih sebagai basis dari Glass Enterprise Edition 2. Di sana tersimpan CPU multi-core yang lebih cepat serta engine kecerdasan buatan. Kombinasi dari semua itu memastikan perangkat mengonsumsi daya lebih hemat, bekerja dengan performa lebih tinggi, serta menyimpan kemampuan machine learning yang lebih pintar.

Google Glass Enterprise Edition 2 1

Produsen juga memperbarui mutu dan kinerja kamera yang tetap dititikberatkan pada kapabilitas streaming video lewat perspektif orang pertama dan fitur kolaborasi. Selain itu, Google menambahkan port USB type-C yang mendukung fungsi fast charging serta tak lupa meningkatkan daya tahan baterainya. Spesifikasi lengkapnya bisa Anda lihat di sini.

Glass Enterprise Edition 2 dijajakan seharga US$ 1.000. Google menjelaskan secara singkat bagaimana perangkat wearable ini bisa membantu para profesional di beragam bidang industri, dari mulai logistik, manufaktur hingga tim di lapangan. Dengannya, pekerja dapat melihat instruksi, mengirimkan video atau foto inspeksi hingga mengakses checklist suatu tugas – semuanya secara hands-free.

Via The Verge.

Tune Adalah Extension Chrome untuk Menyembunyikan Komentar Negatif di Media Sosial

Banyak faedah yang bisa kita ambil dari diskusi online di media sosial, akan tetapi tidak jarang juga percakapan yang tadinya sehat jadi buyar seketika akibat satu komentar negatif dari seseorang. Di titik itu, semuanya sudah malas melanjutkan pembahasan.

Setahun yang lalu, Jigsaw, anak perusahaan Alphabet, memperkenalkan Perspective, semacam sistem berbasis machine learning yang dirancang untuk membantu platform seperti Facebook dan Twitter dalam ‘memerangi’ komentar-komentar negatif. Masalahnya, itu masih membutuhkan moderasi dari pihak Facebook dan Twitter, sehingga terkadang masih ada saja komentar toxic yang luput dari radar mereka.

Dari situ Jigsaw mencoba memikirkan solusi yang lebih praktis sekaligus efektif. Sampai akhirnya lahir Tune, sebuah extension Chrome dengan teknologi yang sama seperti yang digunakan pada Perspective. Bedanya, Tune dapat dikendalikan langsung oleh pengguna.

Tune

Sederhananya, Tune memungkinkan kita untuk menentukan komentar-komentar seperti apa yang akan muncul ketika kita mengunjungi situs-situs seperti Facebook, Twitter, YouTube, Reddit maupun Disqus. Pengguna bisa memilih untuk mengeliminasi komentar negatif secara menyeluruh, atau menentukan batas negatifnya (contoh: komentar yang bersifat menyerang masih akan ditampilkan, tapi tidak sama sekali kalau sudah melibatkan sumpah serapah).

Harapannya, dengan Tune kita bisa lebih aktif berpartisipasi dalam diskusi online, tanpa memusingkan komentar-komentar negatif yang ada. Daripada membasmi komentar toxic (yang sejatinya nyaris mustahil), lebih baik kita menghindarinya saja, dan caranya adalah dengan tidak menjumpainya sama sekali.

Perlu dicatat, Tune masih berstatus eksperimental, dan sejauh ini baru berlaku untuk komentar dalam bahasa Inggris saja. Kita juga harus maklum apabila ternyata Tune salah mengeliminasi komentar yang sebenarnya sama sekali tidak bermaksud negatif. Itulah mengapa Jigsaw sengaja menjadikannya open-source sehingga semua bisa ikut terlibat menyempurnakannya.

Sumber: Jigsaw via Engadget.

Google Berpotensi Mengembangkan Smartwatch dengan Fitur ECG ala Apple Watch

Google membuat kejutan belum lama ini dengan mengakuisisi divisi smartwatch Fossil senilai $40 juta. Kabar ini pun langsung dikaitkan dengan rumor bahwa Google sedang menyiapkan smartwatch bikinannya sendiri untuk menjadi model flagship di platform WearOS, sekaligus bersaing langsung dengan Apple Watch.

Untuk bisa menyaingi Apple Watch dengan baik, Google tentu perlu menyematkan fitur-fitur kesehatan yang tak kalah komprehensif, apalagi mengingat Apple Watch generasi terbaru datang membawa fitur ECG alias electrocardiogram. Kabar baiknya, masih ada harapan bagi Google untuk menyematkan fitur serupa seandainya mereka benar-benar merilis smartwatch bikinannya sendiri nanti.

Baru-baru ini, anak perusahaan Alphabet yang berfokus di bidang sains, Verily, berhasil mengantongi persetujuan FDA (Food and Drug Administration) di AS atas fitur ECG pada smartwatch buatannya, Study Watch. Sesuai namanya, Study Watch dirancang untuk menjadi alat bantu riset di ranah medis, dan salah satu fitur unggulannya adalah ECG.

Persetujuan dari FDA ini secara langsung menetapkan status Study Watch sebagai perangkat medis Class II, dan status yang sama rupanya juga dimiliki oleh Apple Watch Series 4 terkait fitur ECG-nya. Sejauh ini memang tidak ada tanda-tanda Study Watch bakal direalisasikan menjadi produk untuk konsumen secara luas, tapi setidaknya ada harapan bagi Google untuk menerapkannya di smartwacth bikinannya.

Akuisisi divisi smartwatch Fossil dikawinkan dengan pencapaian Verily, semestinya rival Apple Watch dari Google ini sudah semakin dekat dengan kenyataan.

Sumber: Wareable.

Waymo Umumkan Layanan Taksi Online Tanpa Sopir, Waymo One

Sudah bukan rahasia apabila banyak sopir taksi dan ojek di tanah air yang merasa terancam dengan adanya layanan seperti GO-JEK atau Grab. Namun seandainya mereka memutuskan untuk ikut menjadi mitra pengemudi kedua perusahaan tersebut, apakah profesi mereka otomatis jadi terbebas dari ancaman?

Untuk sekarang mungkin jawabannya iya, tapi kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana ada banyak pihak yang mati-matian mewujudkan armada taksi tanpa sopir. Salah satunya Waymo, anak perusahaan Alphabet yang sejak April tahun lalu sudah mengerahkan ratusan mobil tanpa sopir di jalanan kota Phoenix, Arizona.

Tidak lama lagi, program tersebut akan ‘lulus’ dan berevolusi menjadi layanan taksi online bernama Waymo One. Layanan ini sebenarnya masih bersifat uji coba, sebab masih ada satu karyawan Waymo yang mengawasi di balik setir setiap mobil. Yang bakal menjadi konsumen pun juga orang-orang yang sebelumnya sempat berpartisipasi dalam program Waymo.

Waymo One

Yang berbeda, mereka sekarang bebas membagikan kesan-kesannya menggunakan layanan ini kepada publik. Mereka juga dipersilakan mengajak rekan atau anggota keluarganya yang sebelumnya tidak termasuk sebagai partisipan program Waymo. Lalu kalau sebelumnya mereka cuma diminta umpan balik, sekarang mereka diharuskan membayar tarif yang tertera pada aplikasi.

Aplikasi? Ya, cara memesannya tidak berbeda dari layanan taksi online yang kita kenal selama ini. Yang menarik, selagi dalam perjalanan, konsumen bisa melihat visualisasi pergerakan mobil beserta kondisi di sekitarnya pada aplikasi maupun layar tablet yang terpasang di kabin mobil.

Waymo One

Seperti yang saya bilang, untuk sekarang kesannya terlalu prematur menganggap layanan seperti Waymo One ini sebagai ancaman terhadap layanan taksi online konvensional. Regulasi setempat akan selalu menjadi penghalang terbesar, dan ini bukan tantangan yang mudah dilalui meskipun teknologi kemudi otomatis sudah bisa dibilang benar-benar matang.

Terlepas dari itu, Waymo One sejatinya bisa menjadi indikasi bahwa di masa yang akan datang, angkutan umum bakal sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja robot (AI). Sekarang saja saya sudah berani menyebut Uber dan Grab sebagai layanan taksi online “konvensional” dengan hadirnya Waymo One.

Sumber: 1, 2, 3.

Project Loon dan Wing Kini Merupakan Perusahaan yang Berdiri Sendiri di Bawah Alphabet

Masih ingat dengan Project Loon? ‘Balon Wi-Fi’ garapan Google yang pertama diumumkan ke publik di tahun 2013 dan sempat beberapa kali melintasi tanah air? Belakangan memang tidak banyak kabar mengenainya, akan tetapi baru-baru ini, X, anak perusahaan Alphabet (induk Google) yang bertanggung jawab atas Loon, telah mengumumkan ‘kelulusan’ proyek ambisius tersebut.

Lulus di sini maksudnya adalah Loon telah resmi berganti status dari yang tadinya sebatas proyek eksperimental menjadi perusahaan yang berdiri sendiri di bawah Alphabet. Misi yang diemban tidak berubah, yakni untuk menyebarkan jaringan internet ke seluruh pelosok dunia.

Selain Loon, ada satu lagi proyek eksperimental X yang juga dinyatakan lulus, yaitu Project Wing. Tim Wing pada dasarnya mengembangkan layanan pengiriman barang berbasis drone, dan mereka juga sudah rutin melakukan pengujian sejak lama, tepatnya sejak tahun 2014.

Project Wing

Baik Loon dan Wing kini sama hierarkinya dengan Waymo, yang juga berawal dari salah satu proyek X dan kini sudah beroperasi sendiri mengembangkan teknologi kemudi otomatis. Pengumuman kelulusan ini sejatinya menegaskan bahwa fondasi teknologi yang dibutuhkan kedua proyek ambisius tersebut sudah benar-benar matang dan siap dieksekusi ke tingkat yang lebih lanjut.

Yang cukup menarik, pengumuman ini datang tidak lama setelah Facebook diberitakan batal meneruskan pengembangan proyek serupa yang bernama Aquila. Apakah Alphabet melihat mundurnya Facebook sebagai peluang bagi Loon untuk berkembang lebih jauh lagi? Bisa jadi, tapi yang pasti pengumuman kelulusan ini boleh dilihat sebagai bukti agar kita tak lagi meremehkan proyek-proyek yang pada awalnya terkesan terlalu ambisius.

Sumber: VentureBeat dan X.

Google Akuisisi Sebagian Divisi Smartphone HTC Senilai $1,1 Miliar

Google bakal mengungkap generasi kedua lini smartphone Pixel-nya pada tanggal 4 Oktober nanti. Namun sebelum itu terjadi, Google rupanya ingin mencuri perhatian terlebih dulu dengan mengakuisisi sebagian divisi smartphone HTC senilai $1,1 miliar, atau kurang lebih setara Rp 14,7 triliun.

Kata “sebagian” adalah yang terpenting dari kabar ini. Seperti yang kita tahu, Pixel dan Pixel XL yang dirilis tahun lalu merupakan hasil kolaborasi Google dan HTC, dan akuisisi ini hanya dimaksudkan untuk merekrut secara spesifik tim dari HTC yang mengembangkan kedua ponsel tersebut.

Menurut HTC sendiri, tim tersebut terdiri dari sekitar 2.000 orang, dan semuanya bakal bergabung dengan Google dalam beberapa bulan mendatang. Sebagai bonus, akuisisi ini rupanya juga mencakup lisensi non-eksklusif atas sebagian properti intelektual milik HTC.

Ini bukan pertama kalinya Google mengakuisisi suatu pabrikan smartphone. Kita semua tahu kalau di tahun 2011 mereka sempat meminang Motorola dengan mahar sebesar $12,5 miliar, sebelum akhirnya menjualnya ke Lenovo seharga $2,9 miliar saja di tahun 2014.

HTC Dream adalah smartphone pertama yang menjalankan OS Android / Wikipedia
HTC Dream adalah smartphone pertama yang menjalankan OS Android / Wikipedia

Google tampaknya ingin lebih berhati-hati di sini. Nilai akuisisi yang jauh lebih kecil memungkinkan mereka untuk mengambil alih tim bertalenta yang sudah mereka percayai – setidaknya selama setahun terakhir – tanpa harus membeli aset yang lebih mahal pula, seperti misalnya fasilitas manufaktur.

HTC sendiri sudah sejak lama mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Google. Pada kenyataannya, smartphone pertama yang meluncur ke pasaran dengan sistem operasi Android adalah HTC Dream di tahun 2008. Dua tahun kemudian, Google pun juga mengawali debutnya di segmen smartphone dengan memercayakan HTC sebagai pengembang Nexus One.

Akuisisi ini bukan berarti HTC sudah menyerah di industri smartphone. Ke depannya mereka masih akan tetap bermain di segmen premium dan mengembangkan smartphone-nya sendiri, meski mungkin tidak seagresif sebelum-sebelumnya. Di saat yang sama, akuisisi ini juga berarti HTC bisa lebih berfokus pada divisi VR-nya yang memiliki masa depan lebih cerah.

Sumber: Google dan New York Times.

Hati-Hati, Teknik Phishing Baru Ini Eksploitasi Celah Keamanan Google Docs

Keamanan berinternet adalah hal kompleks. Penyedia layanan serta pengembang sistem operasi tidak pernah lelah untuk menyempurnakan sistem mereka. Tapi celahnya selalu saja ada, dan dengan memanfaatkan ketidaktahuan atau kelalaian pengguna, pihak-pihak tak bertanggung jawab terus mencoba mencuri data-data pribadi kita.

Ada insiden baru terjadi di hari Rabu kemarin. Sebuah usaha phishing sempat dilakukan dengan menggunakan sistem pengesahan OAuth punya Google buat menginstal aplikasi-aplikasi web jahat. Tidak seperti upaya phishing (‘memancing’ informasi dengan menyamar jadi entitas terpercaya) biasa yang memanfaatkan alamat internet palsu, serangan ini muncul sebagai permintaan otorisasi app.

Usaha peretasan tersebut memakai teknik yang berbeda. Ia memperdaya user untuk memberikan informasi sensitif tanpa meminta password. Caranya adalah mengelabui melalui Google Docs.

Prosesnya sangat simpel, dan hal inilah yang membuatnya berbahaya. Pertama, calon korban menerima email yang menawarkan akses sharing file Google Docs. Dengan mengklik ‘Open in Docs’, akan muncul layar seleksi akun Google asli, dan diikuti oleh permintaan otorisasi buat mengakses informasi kontak Gmail dan Google. Anda telah jatuh dalam perangkap jika menekan link yang ada di sana.

Kecanggihan dari teknik ini adalah ada banyak orang mudah mempercayai permintaan share file Google Docs. Dan jika kebetulan Anda sudah jadi korbannya, Anda perlu memutus akses app tersebut. Caranya adalah dengan pergi ke security page Google, pilih Manage App, lalu buang Google Docs dari daftar itu. Ada baiknya ada mengecek hal ini sekarang juga.

Menurut penjelasan CTO PhishMe Inc. via Reuters, metode ini merupakan ‘masa depan’ dari kegiatan phishing. Sang peretas bisa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa perlu repot-repot membubuhkan malware pada device.

Alphabet merespons serangan tersebut dengan segera memberikan peringatan dan panduan buat menanggulanginya. Google juga meyakinkan para pengguna bahwa mereka telah mengambil langkah serius – mematikan akun, menghapus laman palsu, memberikan update, dan tim bekerja keras supaya hal ini tidak terjadi lagi. Mereka juga menyarankan Anda untuk melaporkan alamat-alamat email phishing.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian ini adalah, jika Anda tidak menantikan pemberian akses ke dokumen di Google Docs, maka jangan dibuka. Lalu seandainya tidak yakin siapa pengirimnya, langsung cek identitasnya dan pastikan email dikirm oleh orang-orang yang Anda kenal.

Sumber: Reuters & Ars Technica.

Waymo Kerahkan 600 Armada Mobil Tanpa Sopir untuk Melayani Warga di Kota Phoenix

Anak perusahaan Google yang bergerak di bidang pengembangan teknologi kemudi otomatis, Waymo, kembali membuat gebrakan setelah mengungkap mobil tanpa sopir hasil kolaborasinya dengan Chrysler. Baru-baru ini, Waymo meluncurkan program early rider untuk warga di kota Phoenix, Arizona di Amerika Serikat.

Program ini sejatinya akan menempatkan ratusan armada minivan Chrysler Pacifica Hybrid di jalanan kota tersebut, menjemput dan mengantarkan penumpang sepanjang hari tanpa batas waktu. Jumlah armadanya bukan lagi 100, melainkan akan bertambah menjadi 600 dalam beberapa bulan ke depan.

Waymo membuka pendaftaran untuk ratusan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka beserta anggota keluarganya bebas menikmati perjalanan bersama mobil tanpa sopir Waymo secara cuma-cuma dan sesering yang mereka mau. ‘Ongkos’ yang diminta hanyalah sekadar umpan balik terkait pengalaman mereka.

Lewat program ini, Waymo sejatinya ingin mencari tahu ke mana saja orang-orang ingin pergi saat mengendarai mobil tanpa sopir, bagaimana mereka berkomunikasi dengan sistem milik mobil, dan fitur-fitur apa saja yang mereka inginkan ke depannya.

Cukup satu orang yang mendaftar, maka semua anggota keluarganya juga bisa menikmati layanan antar-jemput gratis dari Waymo / Waymo
Cukup satu orang yang mendaftar, maka semua anggota keluarganya juga bisa menikmati layanan antar-jemput gratis dari Waymo / Waymo

Lalu mengapa cuma di Phoenix? Karena negara bagian Arizona memang tidak memiliki regulasi seketat di tempat lain terkait pengujian mobil tanpa sopir. Pun begitu, semua armada Waymo ini masih akan tetap dibarengi oleh seorang sopir di balik lingkar kemudi, meski campur tangannya sebisa mungkin akan diminimalkan.

Program Waymo ini sejatinya bisa menjadi momok baru buat Uber yang juga sedang menguji armada mobil kemudi otomatisnya di kawasan Arizona. Lebih gawat lagi, salah satu mobilnya mengalami kecelakaan sekitar sebulan lalu.

Di mata Waymo, momentum ini bisa mereka manfaatkan untuk menunjukkan bahwa teknologi yang mereka ciptakan memang lebih superior ketimbang milik Uber, apalagi mengingat Waymo sempat menuntut Uber dengan tudingan bahwa Uber mencuri teknologi LIDAR rancangan mereka.

Sumber: 1, 2, 3.