Gunakan AR, Mainan Hasbro Hero Vision Persilakan Anda Jadi Iron Man

Sebelum konsep augmented dan mixed reality dipahami lebih banyak orang, keajaiban penggunaannya sempat dipopulerkan oleh Tony Stark di film Iron Man satu dekade lalu. Di sana, Stark bisa melakukan beragam hal menggunakan hologram interaktif buatannya, termasuk untuk mempermudahnya melakukan navigasi ketika mengenakan ‘eksoskeleton’ Iron Man.

Meski belum secanggih di film, beberapa perangkat seperti HoloLens mengadopsi teknologi mixed reality sehingga memberikan penggunanya sensasi berinteraksi dengan objek-objek virtual. Buat sekarang, perangkat-perangkat MR masih belum dapat dijangkau oleh semua kalangan (kontennya juga lebih ditujukan buat kebutuhan industri serta pelatihan). Tapi Hasbro punya alternatif menjanjikan buat memenuhi impian orang jadi Iron Man.

HV 2

Sebelum ajang New York Toy Fair dibuka, Hasbro memperkenalkan Marvel Avengers: Infinity War Hero Vision, yaitu mainan berbasis augmented reality yang mempersilakan Anda jadi Iron Man. Mainan ini terdiri dari beberapa bagian: helm, headset/goggle dan gauntlet. Dan mungkin Anda sudah bisa menerka, Hero Vision juga membutuhkan dukungan smartphone agar dapat bekerja.

HV 5

Untuk mengakses permainan, Anda perlu mengunduh aplikasi ke perangkat iOS atau Android. Selanjutnya, tempatkan smartphone di goggle, lalu pasang helm serta gauntlet-nya. Untuk mengaktifkan app, goggle perlu memindai token ‘Infinity Stone’ yang berada di gauntlet, dan kemudian, Anda akan bagian melihat tangan ini sudah dilindungi armor Iron Man.

HV 1

Interaksi dalam permainan dilakukan sepenuhnya dengan gesture: arahkan telapak tangan ke luar untuk menembak lawan, dan ke dalam buat menangkis serangan musuh. Karena berbasis AR, bukan virtual reality, user masih bisa melihat keadaan di sekitarnya – sehingga Anda tak perlu khawatir akan tersandung atau menabrak sesuatu ketika mengenakan Hero Vision.

HV 4

Bundel Hero Vision juga dibekali dengan marker AR, yang memungkinkan kita menciptakan level sendiri cukup dengan menaruhnya di satu area dalam ruangan. Marker tersebut akan menandai arah datangnya Thanos beserta pasukannya. Permainan menyuguhkan 10 level, bisa Anda selesaikan ‘dalam hitungan jam’.

Tentu saja menempatkan marker di area berbeda dapat mengubah pengalaman bermain, membuatnya dapat dinikmati berkali-kali. Lalu setelah mencapai level tiga (kurang lebih 10 menit selepas game dimulai), Anda dipersilakan mengkustomisasi armor Iron Man.

Hasbro berencana untuk melepas Marvel Avengers: Infinity War Hero Vision di ‘musim semi’ tahun ini. Satu bundel lengkap dibanderol seharga US$ 50.

Dari sedikit riset, Hero Set tidak memerlukan perangkat berteknologi ARKit atau Tango. Ia membaca lokasi dengan token serta marker. Pastikan saja smartphone Anda sudah mengusung sistem operasi Android 5, iOS 6, atau versi-versi yang lebih baru.

Sumber: CNET & The Verge.

New York Times Kini Sajikan Berita dalam Augmented Reality

Tepat tanggal 1 Februari kemarin, media publikasi kenamaan asal Amerika Serikat, The New York Times, mengumumkan bahwa mereka akan mengerahkan pengalaman panjang mereka di dunia jurnalistik ke medium baru, yakni augmented reality (AR). Belum ada satu minggu, upaya mereka sudah bisa kita nikmati lewat artikel AR perdananya.

Dalam artikel berjudul “Four of the World’s Best Olympians, as You’ve Never Seen Them Before” tersebut, pembaca diajak mengenal lebih dekat empat atlet yang bakal menunjukkan tajinya masing-masing di Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan. Keempatnya adalah Nathan Chen (figure skater), J.R. Celski (speedskater), Alex Rigsby (kiper hockey), dan Anna Gasser (snowboarder).

Saat artikel dibuka dari aplikasi NYTimes di iPhone atau iPad, konten AR akan disajikan mengikuti alur artikel. Saat membahas si Nathan Chen misalnya, pembaca bisa mengamati pose sang atlet dari beragam sudut dengan mengarahkan kamera ponselnya, lalu informasi akan muncul mengikuti posisi pembaca. Kalau kata NYTimes sendiri, ini ibarat membekukan atlet kelas dunia di tengah-tengah aksinya masing-masing.

Artikel yang sama sebenarnya masih bisa dibuka di browser perangkat desktop, akan tetapi sesi eksplorasinya tidak bisa sebebas di perangkat iOS yang telah mendukung ARKit. Pengguna perangkat Android tak perlu khawatir, sebab NYTimes telah berjanji untuk segera merilis versi Android-nya yang ditenagai ARCore.

NYTimes AR article

AR pada dasarnya diharapkan bisa membuka cara baru bagi konsumen untuk menikmati konten dari media publikasi secara lebih interaktif. Mungkin kita sudah bosan dengan hanya foto dan video saja, dan AR semestinya dapat menjadi alternatif dengan daya tarik yang lebih kuat.

Di saat yang sama, AR juga membuka kesempatan bagi media publikasi untuk menarik perhatian ekstra dari para pengiklan, atau dengan kata lain, membuka sumber pendapatan baru. Contohnya sudah bisa kita lihat di artikel AR perdana ini, di mana di bagian terakhirnya dihuni oleh sebuah iklan (juga dalam format AR) dari Ralph Lauren selaku penyedia pakaian resmi tim AS di event tersebut.

Sumber: Next Reality dan Business Wire.

Motion Stills, Aplikasi GIF Camera Buatan Google, Kini Dilengkapi Mode Augmented Reality

Pertengahan tahun lalu, Google merilis aplikasi Motion Stills untuk Android setelah lebih dulu meluncurkan versi iOS-nya setahun sebelumnya. Kelebihan Motion Stills dibanding aplikasi GIF camera lain adalah kemampuannya menciptakan GIF yang begitu stabil, seakan-akan direkam menggunakan ponsel yang terpasang di atas tripod.

Google baru-baru ini meng-update Motion Stills versi Android untuk menambahkan mode augmented reality (AR). Ini berarti pengguna bisa menambatkan beragam objek virtual, mulai dari ayam sampai dinosaurus, pada GIF maupun video buatannya. Yang istimewa, mode AR ini rupanya memanfaatkan teknologi instant motion tracking.

Mengapa harus ada motion tracking? Supaya objek virtual beserta pergerakannya dapat terlihat alami. Semisal Anda meletakkan seekor ayam virtual di atas telapak tangan, posisinya di situ tidak akan berubah meski tangan Anda gerak-gerakkan. Hal yang sama juga berlaku untuk permukaan horizontal lainnya, seperti meja atau bahkan daun pada tanaman.

Lebih istimewa lagi, mode AR ini tidak bergantung pada ARCore, dan bisa dinikmati oleh perangkat Android apapun yang memiliki gyroscope tanpa harus dikalibrasi lebih dulu. Teknologi motion tracking ini memiliki fondasi yang sama dengan teknologi dipakai YouTube untuk menyensor (blur) objek bergerak, hanya saja di sini Motion Stills memanfaatkan data yang berasal dari accelerometer dan gyroscope milik perangkat.

Usai merekam, tentu saja hasilnya bisa dibagikan ke mana pun Anda mau. Juga menarik adalah bagaimana Google memanfaatkan produk lain mereka untuk mewujudkan fitur baru ini: objek-objek 3D yang tersedia pada mode AR Motion Stills berasal dari Poly, yang pada dasarnya merupakan platform berbagi objek-objek 3D yang dibuat menggunakan Blocks (juga buatan Google).

Sumber: Engadget dan Google.

Application Information Will Show Up Here

Impian Akan Pokemon Go Versi MMO Perlahan Mulai Mendekati Kenyataan

Sejak game Pokemon Go dirilis, kita telah melihat internet dibanjiri dengan foto-foto massa (pemain Pokemon Go) yang menyerbu suatu lokasi demi menangkap spesies Pokemon langka. Begitu masifnya jumlah pemain game ini, wajar apabila ada yang mengimpikan Pokemon Go versi MMO (massively multiplayer online) macam World of Warcraft.

Impian ini bukanlah suatu hal yang mustahil, sebab pengembang Pokemon Go, Niantic Labs, baru-baru ini mengakuisisi sebuah startup AR bernama Escher Reality. Teknologi augmented reality yang dikembangkan Escher bukan sembarangan, melainkan yang mengedepankan pengalaman multi-user dan multi-platform.

Artinya, teknologi buatan Escher memungkinkan lebih dari satu pengguna untuk bertemu dan berinteraksi di dalam dunia AR yang bersifat kontinu (peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya akan terus berlanjut meski Anda sedang tidak online). Teknologi Escher sanggup mengingat posisi tiap-tiap objek AR di dalam suatu ruangan, lalu membagikan informasi tersebut ke beberapa perangkat sehingga pengalaman semua pengguna bisa sinkron.

Ilustrasi teknologi AR multi-platform yang dikembangkan Escher Reality / Escher Reality
Ilustrasi teknologi AR multi-platform yang dikembangkan Escher Reality / Escher Reality

Lebih istimewa lagi, Escher mengandalkan teknologi computer vision dan pemetaan 3D, yang berarti di ruang tempat kita bermain tidak perlu ada penanda-penanda khusus untuk dibaca oleh kamera milik perangkat. Semua informasi ini dikemas dalam jaringan cloud yang kemudian dapat diakses oleh perangkat Android maupun iOS. Multi-user sekaligus multi-platform.

Ketika teknologi semacam ini bisa diimplementasikan di Pokemon Go, maka terwujudlah impian akan Pokemon Go versi MMO tersebut. Pada kenyataannya, ini merupakan visi jangka panjang yang hendak dituju oleh Niantic dan Escher sendiri. Suatu hari nanti, kita dapat berburu Pokemon bersama-sama tanpa harus menyerbu suatu area publik dan membuat pengunjungnya jadi merasa tidak nyaman.

Sumber: Glixel.

Mencoba Kacamata Pintar Vuzix Blade

Vuzix Blade adalah sebuah kacamata pintar yang mendapat perhatian di acara CES 2018. Meskipun booth-nya tidak sebesar brand-brand raksasa, seperti Sony atau Samsung, antusiasme orang-orang teknologi untuk mencoba produk yang mengutilisasi Augmented Reality (AR) ini tidak berkurang. Terbukti dengan lumayannya antrean, termasuk oleh pegawai beberapa perusahaan teknologi ternama, untuk mencoba prototipe produk yang diharapkan tersedia di pasaran akhir tahun ini.

DailySocial berkesempatan mencoba langsung bagaimana rasanya menggunakan kacamata pintar yang dibuat perusahaan yang berbasis di Rochester, New York ini. Menurut Wilfred S. Victoria, Marketing Manager Asia Pasifik dan Amerika Latin, yang kebetulan menjadi pemandu uji coba ini, Vuzix sudah berdiri selama 25 tahun dan awalnya membuat gear untuk militer. Vuzix Blade dan seri kacamata AR lainnya adalah upayanya untuk memasuki pasar yang lebih luas.

Vuzix Blade bukan satu-satunya kacamata AR Vuzix yang didukung Alexa. Versi M300 juga memiliki fitur Alexa enabled, tetapi seri Blade adalah bintang di ajang kali ini. Kebanyakan media memberi label Vuzix Blade sebagai “[produk] seperti Google Glass dengan dukungan Alexa”.

Meskipun kami tidak bisa memvideokan pengalaman menggunakan Vuzix Blade, tetapi tampilan dan cara penggunaannya sangat alami. Untuk menjalankan suatu fungsi, yang kita perlu lakukan adalah melakukan swipe (depan dan belakang) di sebuah area sentuh yang terletak di frame sebelah kanan untuk menggerakkan kursor dan melakukan tap untuk memilih suatu menu.

DailySocial mencoba bagaimana rasanya menggunakan Vuzix Blade
DailySocial mencoba bagaimana rasanya menggunakan Vuzix Blade

Menu AR-nya sendiri, meskipun masih raw, cukup menarik. Tampilannya lumayan jelas dan diklaim tetap baik meskipun dilihat di bawah terik matahari. Sayangnya saya tidak bisa mencoba menu Alexa karena konektivitas internet di dalam ruangan yang disesaki puluhan ribu (atau bahkan ratusan ribu) orang tersebut dianggap tidak memadai.

Belum ada konfirmasi resmi soal harga produk ini, tetapi desain yang menarik dan dukungan asisten Alexa akan menjadi modal mendorong Blade masuk ke pasar yang lebih luas. Menurut brosur yang diberikan, target pasar Blade adalah segmen B2B yang memiliki use case lebih jelas.

Contoh pemanfaatan yang diberikan adalah akses ke data pasien saat dokter sedang mengecek kondisi kesehatan seseorang, merekam video saat sedang berada di lapangan, atau mendapatkan notifikasi dari tempat kerja. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan produk ini juga akan tersedia untuk konsumen ritel.

Setelah Dikembangkan Selama Bertahun-Tahun, Headset AR Magic Leap One Resmi Disingkap

Proyek pengembangan perangkat augmented reality sudah dimulai oleh Magic Leap bertahun-tahun silam. Setelah didirikan di 2010, startup ini akhirnya merilis hasil rekaman device-nya di 2015, sukses meyakinkan Google dan Alibaba untuk jadi investor, serta sempat bermitra dengan Lucasfilm. Dan di penghujung 2017, Magic Leap akhirnya resmi memperkenalkan Magic Leap One.

Magic Leap One ialah headset augmented reality dengan visi untuk menyulam dunia nyata dan alam virtual. Ketika wearable sejenis biasanya belum ditunjang resolusi tinggi serta masih belum sempurna dalam mengintegrasikan kedua tipe objek, One diklaim mampu menciptakan objek digital senyata mungkin. Cara kerjanya sendiri mirip Microsoft HoloLens, namun desain dan teknologi di belakangnya cukup berbeda.

Magic Leap One 1

Ketika HoloLens terlihat seperti visor sci-fi tahun 80-an, headset ‘Lightwear’ Magic Leap One mempunyai penampilan ala kacamata cyberpunk, dengan dua lensa bundar serta rangakaian kamera sebagai bagian dari teknologi pemetaan lingkungan dan pelacakan. HMD tersambung ke unit komputer Lightpack mungil yang menyimpan otak dari perangkat ini, serta controller motion ber-touchpad.

Magic Leap One 2

Fitur bernama Digital Lightfield merupakan jantung dari Magic Leap One. Ia adalah teknologi yang bertanggung jawab mencampur cahaya natural ke objek digital sehingga seolah-olah mereka merupakan bagian dari alam yang sama. Dengan memastikan otak kita memproses objek virtual layaknya benda sungguhan, One jadi lebih nyaman digunakan di waktu lama. Sistem pemetaan di One juga sangat canggih, sanggup menciptakan replika lingkungan serta mampu mendeteksi lokasi dinding pembatas secara tepat.

Magic Leap One 3

Cara kerjanya seperti ini: bayangkan Anda menaruh televisi virtual di ruang keluarga, lalu pergi ke kamar tamu. Saat Anda kembali ke ruang itu, TV tersebut tetap ada di sana – posisinya tidak berubah ataupun bergeser. Kabarnya, chip yang ada di dalam Lightpack sangat bertenaga, setara laptop high-end. Prosesor tersebut siap menunjang pembuatan model 3D hingga menangani permainan shooter.

Magic Leap juga tak lupa membekali One dengan sistem audio mutakhir yang sanggup mensimulasikan suara di dunia nyata, termasuk aspek arah dan jarak dari sumber bunyi.

Magic Leap One yang produsen perkenalkan merupakan versi development buat para kreator. Untuk mendukungnya, Magic Leap juga akan menyediakan platform ‘Creator Portal’ tahun depan – berisi SDK, dokumentasi dan panduan. Untuk sekarang, produsen masih belum menginformasikan kapan tepatnya One akan tersedia dan berapa harganya.

Via The Verge. Sumber: Magic Leap.

Snap Luncurkan Lens Studio, Aplikasi Gratis untuk Membuat Objek AR Interaktif di Snapchat

Sebelum tren augmented reality (AR) kembali dibangkitkan oleh Apple lewat ARKit di iOS 11, Snapchat sebenarnya sudah berkontribusi lebih dulu. April lalu, mereka merilis fitur bernama World Lenses, yang memungkinkan pengguna untuk bermain-main dengan objek 3D interaktif yang bisa ditempatkan di mana saja kamera ponsel kita arahkan, yang belakangan kita kenal dengan istilah AR.

Langkah selanjutnya adalah memperbanyak jumlah World Lenses yang tersedia. Ketimbang merekrut lebih banyak desainer, Snap memutuskan untuk menggandeng komunitas kreatif dengan meluncurkan Lens Studio, aplikasi Mac dan Windows yang bisa digunakan secara cuma-cuma oleh siapapun untuk merancang World Lens-nya sendiri.

Snapchat Lens Studio

Asalkan Anda punya pengalaman merancang animasi 2D atau 3D, Anda bisa menciptakan World Lens versi sendiri menggunakan aplikasi ini. Setelahnya, Anda bisa membagikan QR Snapcode kepada pengguna lain untuk diunduh dan digunakan selama 24 jam ke depan.

Mengapa cuma 24 jam? Karena Snap melihat peluang untuk meraup pendapatan ekstra melalui platform pembuatan World Lens ini. Singkat cerita, kalau Anda mau World Lens bikinan Anda bisa digunakan selama lebih dari 24 jam, Anda diharuskan membayar biaya mengiklan ke Snap.

Bagi yang tidak bersedia membayar, Anda tinggal meminta pengguna memindai QR Snapcode yang sama untuk mengunduh World Lens bikinan Anda kembali dan menggunakannya selama 24 jam lagi. Di sisi lain, batasan ini juga dimaksudkan supaya pengguna tidak terus menerus memakai World Lens yang sama, dan mendorong mereka untuk mencoba kreasi yang lainnya.

Snapchat Lens Studio

Seluruh kreasi komunitas ini bakal melalui proses moderasi terlebih dulu guna memastikan tidak ada World Lens yang bersifat menyinggung maupun berbau dewasa. Pengguna nantinya juga bisa melaporkan World Lens yang dinilai bermasalah, yang lolos dari pantauan tim internal Snap.

Buat yang tertarik, Anda hanya memerlukan akun Snapchat untuk bisa mengunduh Lens Studio sekarang juga. Untuk pengguna secara luas, bersiaplah bermain-main dengan objek AR kreasi komunitas.

Sumber: Snap dan TechCrunch.

Genjot Pengembangan ARCore, Google Pensiunkan Project Tango

Sejauh ini sudah ada dua smartphone Project Tango, yaitu Lenovo Phab 2 Pro dan Asus ZenFone AR. Selanjutnya apa lagi? Tidak ada, sebab Google bakal memberhentikan proyek augmented reality mereka tersebut pada tanggal 1 Maret 2018.

Kabar ini memang terdengar sedikit mengejutkan, apalagi mengingat Google sudah mengerjakan proyek ini sejak lama. Project Tango pada dasarnya dimaksudkan untuk menyuguhkan pengalaman augmented reality yang jauh lebih baik di smartphone dengan bantuan sejumlah hardware ekstra, yang memungkinkan perangkat untuk melihat secara tiga dimensi sekaligus mewujudkan teknologi positional tracking.

Namun Apple membuktikan bahwa positional tracking dan pengalaman AR secara keseluruhan bisa disajikan dengan baik hanya melalui software, lewat API ARKit yang diluncurkan bersamaan dengan iOS 11. Google pun sebenarnya juga sependapat; mereka mengumumkan versinya sendiri yang bernama ARCore pada bulan Agustus lalu.

ARCore / YouTube
ARCore / YouTube

Apa yang bisa disajikan Tango – terkecuali kemampuan melihat secara 3D itu tadi – sebenarnya bisa diatasi oleh ARCore tanpa perlu melibatkan hardware ekstra. Itulah mengapa ARCore dinilai memiliki masa depan yang lebih cerah, dan Google pun memutuskan untuk mengalihkan upaya yang sebelumnya dikerahkan buat Tango menuju ARCore secara penuh.

Sejauh ini ARCore masih belum dirilis secara luas, melainkan dalam bentuk Developer Preview. Satu-satunya smartphone yang bisa menikmati manfaat yang dibawa ARCore barulah lini Google Pixel, dan konsumen bisa merasakannya langsung lewat aplikasi AR Stickers yang dirilis belum lama ini.

Tango pada dasarnya tidak akan hilang tanpa jejak. Teknologi-teknologinya masih akan digunakan dan dikembangkan, hanya saja ‘kulit luarnya’ kini menjadi ARCore, dan konsumen hanya perlu menunggu pabrikan merilis dukungan ARCore untuk perangkat buatannya. Google sendiri menjanjikan ARCore bisa merambah setidaknya 100 juta pengguna saat dirilis dalam beberapa bulan mendatang.

Sumber: Ars Technica dan Google.

Mozilla Luncurkan Aplikasi Augmented Reality untuk iOS

Oktober lalu, Mozilla mengajukan standar baru bernama WebXR. WebXR merupakan evolusi dari standar WebVR yang sudah ada sejak 2014, diramu secara spesifik agar konten AR sekaligus VR dapat disuguhkan secara konsisten di semua perangkat, mulai dari VR dan AR headset, sampai perangkat desktop sekaligus mobile.

Sejauh ini belum banyak developer yang mengadopsi standar WebXR. Maka dari itu, langkah Mozilla selanjutnya adalah merilis aplikasi WebXR Viewer untuk perangkat iOS. Tujuannya adalah supaya developer bisa bereksperimen dengan konten AR dan VR berbasis web, tanpa harus membangun aplikasinya sendiri.

Aplikasi ini turut menyediakan sejumlah contoh konten AR yang dapat dihasilkan menggunakan standar WebXR. Sebagian mungkin terkesan biasa saja, tapi perlu diingat, tujuan Mozilla di sini adalah membuka jalan bagi para developer, hingga akhirnya merekalah yang bisa menghasilkan konten yang berkesan.

Mozilla WebXR Viewer

Apa yang dilakukan Mozilla ini sebenarnya bisa dianggap sebagai ARKit atau ARCore versi web. Kalau ARKit ditujukan untuk platform iOS dan ARCore untuk Android, maka WebXR melibatkan teknologi web yang open-source dan tidak terbatas oleh platform tertentu.

Andai Anda seorang developer, pastinya Anda ingin kreasi Anda bisa dinikmati sebanyak mungkin konsumen, bukan? Di sinilah yang saya kira bisa menjadi nilai jual WebXR. Lebih lanjut, peluang developer baru untuk ikut berpartisipasi juga bisa lebih besar karena mereka tidak perlu terlalu mendalami platform tertentu.

Sumber: The Next Web dan Mozilla.

Airbnb Bereksperimen dengan VR dan AR Demi Tingkatkan Kepuasan Konsumen

Terlepas dari berbagai kontroversi yang diciptakannya, Airbnb berhasil mengubah ide kita akan bisnis pariwisata. Mencari tempat menginap selagi berlibur tidak pernah semudah di zaman Airbnb belum eksis. Namun tentu saja perusahaan yang bermarkas di kota San Francisco itu masih belum mau berhenti berinovasi.

Baru-baru ini, Airbnb mengumumkan bahwa mereka sedang bereksperimen dengan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR). Keduanya bukan lagi tren yang asing di industri pariwisata, dan Airbnb punya visinya sendiri terhadap penerapan VR dan AR dalam platform-nya.

Visi mereka dipecah menjadi dua: VR untuk sebelum kunjungan, dan AR untuk selama kunjungan. VR, dalam kasus ini foto 360 derajat dan hasil scan 3D, bakal menjadi pelengkap foto rumah, apartemen atau kamar yang disewakan, sehingga konsumen pada dasarnya bisa langsung menempatkan dirinya secara virtual pada lokasi yang hendak disewanya.

Foto merupakan elemen penting dalam Airbnb, bahkan terkadang jauh lebih krusial ketimbang deskripsi yang diberikan seorang host. Ketika konsumen bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas akan kediaman yang hendak disewanya selama beberapa hari ke depan, semestinya tingkat kepuasan bisa jadi lebih terjamin.

Airbnb VR & AR experiment

Selanjutnya, selagi berlibur dan menempati kediaman yang disewanya, konsumen bisa mengakses informasi yang lebih lengkap dan jelas berkat penerapan AR. Selagi berada di lokasi, mereka tinggal mengarahkan kamera ponselnya untuk mengenal fasilitas yang disediakan oleh sang pemilik kediaman.

Mulai dari yang sesederhana mengetahui letak cangkir kopi di dalam kabinet dapur, sampai yang lebih kompleks seperti cara mengoperasikan termostat yang semua instruksinya dalam bahasa Jerman (lengkap dengan terjemahan instannya), AR bisa menjadi medium informasi yang sangat efektif bagi konsumen Airbnb.

Sebelum ini, ada seorang developer bernama Isil Uzum yang memamerkan konsep fitur AR dalam aplikasi Airbnb. Entah Airbnb terinspirasi oleh imajinasi seorang developer ini atau tidak, tapi yang pasti arah mereka sudah benar dengan rencananya bereksperimen dengan AR sekaligus VR.

Untuk sekarang belum ada rencana pasti terkait kapan Airbnb bakal mengimplementasikan VR dan AR ke dalam aplikasinya. Mereka masih memerlukan waktu untuk bereksperimen dengan sejumlah prototipe sebelum berani merilisnya secara final kepada konsumen.

Sumber: Quartz dan Airbnb.