VZR Model One Andalkan Manipulasi Akustik untuk Menyajikan Audio 3D Secara Akurat

Tidak setiap hari Anda mendengar istilah “audiophile gaming headset“, apalagi yang berasal dari perusahaan tidak dikenal. Sentimen itulah yang saya dapatkan ketika mendengar soal headset bernama VZR Model One berikut ini.

Sepintas, kelihatannya memang tidak ada yang istimewa dari headset ini. Kelebihan utamanya terletak pada teknologi CrossWave yang pengembangnya patenkan. Dari perspektif sederhana, CrossWave pada dasarnya dirancang untuk mengemulasikan efek audio 3D yang lebih akurat ketimbang yang dihasilkan oleh bermacam teknik lain.

Untuk mewujudkannya, VZR rupanya tidak mau bergantung pada software. Teknologi CrossWave ini melibatkan semacam filter yang VZR sebut dengan istilah “acoustic lens” untuk membentuk ulang gelombang suara yang keluar dari unit driver. Hasil akhirnya, kalau kata VZR, adalah efek yang sangat mendekati cara kerja indera pendengaran yang sebenarnya.

Manipulasi akustik semacam ini tentu akan lebih relevan dalam jangka panjang ketimbang mengandalkan chip DSP (digital signal processing) yang kemungkinan bakal terasa ketinggalan zaman hanya dalam beberapa tahun saja. Fokus pada aspek akustik juga bisa jadi jaminan atas performa headset saat dipakai untuk mendengarkan musik atau menonton film.

Semua itu mungkin terdengar kelewat ambisius, terutama untuk perusahaan yang belum punya nama seperti VZR. Namun kepercayaan diri itu rupanya didasari oleh pengalaman panjang pendirinya di industri audio. Co-founder VZR adalah Vic Tiscareno, sosok yang dulunya sempat menjabat sebagai Senior Acoustics and Audio Engineer di Apple selama 7 tahun.

Kontribusi terbesarnya buat Apple adalah membantu mengembangkan laboratorium pengujian akustik pertama milik Apple. Namun Vic bilang bahwa teknologi CrossWave ini sama inovatifnya seperti banyak teknologi yang pernah ia garap buat Apple selama ini.

Bagi sebagian besar orang, audio 3D mungkin terkesan sebatas gimmick. Namun kalau melihat perkembangannya, sepertinya trennya memang mengarah ke sana. Kalau perlu bukti, coba lihat Sony, yang merilis PlayStation 5 bersama dengan headset baru demi berfokus pada penyajian audio 3D.

Rencananya, VZR Model One bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol $349. Bukan harga yang murah, tapi paling tidak masih lebih terjangkau daripada produk serupa macam Audeze Mobius.

Sumber: TechRadar dan Digital Trends.

FiiO EM5 Adalah Earbud Berbentuk Klasik untuk Kalangan Audiophile

Jauh sebelum TWS meledak popularitasnya seperti sekarang, manusia lebih dulu mengenal dunia portable audio dengan bantuan earbud. Dewasa ini, earbud memang bisa dikatakan sudah hampir punah, digantikan oleh model in-ear yang dinilai lebih nyaman oleh sebagian besar populasi.

Kalaupun ada, besar kemungkinan earbud tersebut adalah produk kelas entry-level yang tidak bisa berbuat banyak, yang biasanya cuma dijadikan aksesori bawaan feature phone. Tidak demikian untuk FiiO EM5, sebab perangkat ini benar-benar dirancang untuk kalangan audiophile yang lebih menyukai earbud ketimbang yang berbentuk in-ear.

Mengemban status audiophile, EM5 sama sekali tidak mau berkompromi perihal kualitas suara, dan prinsip tersebut diwujudkan lewat penggunaan driver berdiameter 14,2 mm yang dilapisi oleh logam berilium. Hasilnya, menurut FiiO, adalah earbud yang tidak malu-malu soal reproduksi bass, dan di saat yang sama mampu menyajikan treble secara mendetail.

Bass yang kurang terasa memang selama ini menjadi salah satu kelemahan utama earbud. Bentuk earbud yang datar dan tidak menyumbat kanal telinga berujung pada banyaknya suara yang bocor, utamanya suara berfrekuensi rendah. FiiO mengatasi problem ini pada EM5 dengan menyematkan semacam selang atau pipa akustik khusus yang terinspirasi oleh struktur sebuah seruling, dan yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan teknik 3D printing.

Lebih lanjut, pengguna dapat menyesuaikan karakter suara EM5 berdasarkan preferensinya masing-masing dengan memanfaatkan tiga macam busa eartip yang termasuk dalam paket penjualannya: balanced, crisp (treble), dan bass.

Agar kinerjanya semakin sempurna, FiiO tak lupa menambatkan kabel dengan bahan utama perak (sterling silver) yang mempunyai konduktivitas tinggi. Bicara soal kabel, EM5 punya keunikan lain, yaitu konektor yang bisa dilepas-pasang. Pada paket penjualannya, FiiO menyertakan jack 2,5 mm, 3,5 mm, dan 4,4 mm, sekali lagi mengindikasikan bahwa perangkat ini ditujukan untuk para audiophile.

FiiO EM5 jelas bukan untuk semua orang, dan saya yakin sebagian besar orang malah mungkin bakal menilainya ketinggalan zaman. Terlepas dari itu, kaum audiophile yang sudah lama mendambakan earbud dengan kualitas suara premium bisa menyediakan budget S$449 (± Rp4,8 jutaan) untuk meminangnya.

Grado Luncurkan TWS Pertamanya, GT220

Di telinga konsumen umum, nama Grado mungkin terdengar agak asing. Namun produsen headphone yang bermarkas di kota New York ini sebenarnya sudah lama populer di kalangan audiophile, terutama bagi para penggemar headphone berdesain open-backed.

Secara perlahan, Grado yang terkenal konservatif ini terus mencoba mendekatkan diri ke publik yang lebih luas. Dua tahun lalu, mereka meluncurkan headphone wireless pertamanya, Grado GW100. Sekarang, mereka malah baru memperkenalkan TWS perdananya, Grado GT220.

Bukan, ini bukan TWS berdesain open-backed, tapi setidaknya Grado mengklaim mereka masih bisa menyuguhkan signature sound-nya dalam kemasan yang lebih kecil dan tanpa kabel. Sebagai referensi, Grado sebenarnya sudah lama punya earphone, tapi jelas ini pertama kalinya mereka menciptakan yang benar-benar tidak dilengkapi kabel.

Grado menggambarkan karakter suara GT220 yang netral di frekuensi midrange, definitif di frekuensi rendah, dan natural di frekuensi tinggi. Tidak ada active noise cancellation (ANC) di sini, tapi paling tidak GT220 masih dibekali panel sentuh kapasitif pada unit kiri sekaligus kanannya untuk memudahkan pengoperasian.

Grado mengaku menghabiskan beberapa tahun untuk menyempurnakan TWS perdananya ini, dan mereka sedikit pun tidak mau terburu-buru. Fakta bahwa Grado begitu terlambat mengikuti tren TWS semestinya bisa menjadi jaminan bahwa GT220 patut diperhitungkan kualitas suaranya.

Meski dikenal konservatif, Grado rupanya tidak segan menyematkan sejumlah teknologi modern pada GT220. Perangkat memanfaatkan Bluetooth 5.0 sebagai konektivitasnya (lengkap dengan dukungan codec aptX, AAC, maupun SBC), dan ini tentu berdampak positif pada efisiensi dayanya.

Dalam sekali pengisian, GT220 diyakini mampu beroperasi hingga 6 jam nonstop. Charging case-nya malah lebih istimewa lagi, sanggup mengisi penuh perangkat sampai lima kali, yang berarti total daya tahan baterainya bisa mencapai angka 36 jam. Masih dengan tema modern, charging case-nya ini dapat diisi ulang menggunakan kabel USB-C atau dengan diletakkan di atas Qi wireless charger.

Sayang sekali harga jual Grado GT220 ini tergolong mahal: $259. Sebagai perbandingan, Sennheiser belum lama ini merilis CX 400BT True Wireless yang sama-sama tidak dibekali ANC, tapi dibanderol $200 saja. Harganya itu juga $10 lebih mahal daripada AirPods Pro yang mengunggulkan ANC.

Sumber: Grado via SlashGear.

Astell & Kern Luncurkan A&futura SE200, Pemutar Musik Portable dengan Dua Jenis DAC yang Berbeda

Dual DAC, Quad DAC, teknologi multi DAC (digital-to-analogue converter) sebenarnya sudah bukan barang baru di industri perangkat audio. Teknologi ini bahkan sempat merambah kategori smartphone berkat LG, meski gaungnya sekarang tergolong mereda karena LG sendiri sudah tidak seagresif dulu.

Yang belum eksis adalah bagaimana dua DAC dari dua pabrikan yang berbeda dapat dijejalkan ke dalam satu perangkat pemutar audio demi memberikan konsumen kontrol penuh atas karakteristik suara perangkat yang digunakannya. Itulah tantangan yang hendak dijegal Astell & Kern selama mengembangkan portable music player (PMP) terbarunya, A&futura SE200.

Pada kenyataannya, audio memang merupakan topik yang sangat subjektif. Apa yang terdengar enak di telinga saya belum tentu enak di telinga Anda, demikian pula sebaliknya. Di saat saya cocok dengan karakteristik suara yang dihasilkan model DAC tertentu, Anda belum tentu cocok dengannya.

Solusinya, kalau menurut A&K, adalah dua model DAC yang berbeda dalam satu perangkat. Satu datang dari AKM (AK4499EQ), satu lagi dari ESS (ES9068AS) dalam konfigurasi ganda. Keduanya tentu dilengkapi unit amplifier-nya masing-masing demi memastikan karakteristik tiap DAC tidak tercampur. Usai memilih DAC yang ingin dipakai, pengguna dapat menambahkan sejumlah filter untuk menerapkan kustomisasi lebih lanjut pada karakteristik suaranya.

Astell & Kern A&futura SE200

A&futura SE200 merupakan penerus langsung dari A&futura SE100 yang dirilis dua tahun silam. Desain fisiknya sepintas mirip, namun kelihatan lebih elegan berkat perpaduan apik antara sudut-sudut yang lancip dengan garis-garis melengkung. Kenop volume khas A&K di sini dibekali lampu LED yang bisa berganti-ganti warna tergantung tipe file audio yang diputar.

Secara teknis, SE200 tidak akan kesulitan memutar file audio Hi-Res 32-bit/384kHz atau DSD256 sekalipun. Ia juga mendukung format MQA, format berkualitas tinggi yang dipakai oleh layanan streaming Tidal pada paket termahalnya (HiFi). File audionya sendiri dapat diputar langsung dari penyimpanan internal perangkat sebesar 256 GB atau lewat kartu microSD (maksimum yang berkapasitas 1 TB).

Pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 5 inci beresolusi 720p. Di samping Wi-Fi, perangkat turut mengemas konektivitas Bluetooth aptX HD, dan baterainya diklaim mampu bertahan sampai 14 jam pemakaian. Satu hal yang cukup menarik, port USB-C miliknya tak hanya berfungsi untuk charging, tapi juga untuk disambungkan ke komputer atau laptop sehingga perangkat bisa difungsikan sebagai DAC eksternal.

Seperti halnya produk Astell & Kern lain maupun perangkat-perangkat di segmen audiophile secara umum, banderol A&futura SE200 tidak murah. Di Amerika Serikat, ia ditawarkan seharga $1.799, atau $100 lebih mahal daripada pendahulunya.

Sumber: The Verge dan Astell & Kern.

Astell & Kern Kembali Luncurkan Portable Music Player Kelas Sultan, Kann Cube

Dengan banderol $999 dan spesifikasi kelas sultan, Astell & Kern Kann yang dirilis dua tahun silam masih merupakan salah satu portable music player terbaik yang dapat dibeli saat ini. Namun kalau ternyata Anda masih mengincar performa yang lebih wah dan tidak keberatan merogoh kocek lebih dalam lagi, A&K rupanya sudah menyiapkan penawaran lain.

Namanya Kann Cube, dan ia diyakini mampu membawa performa Kann orisinal ke level yang lebih tinggi lagi berkat penggunaan dua chip DAC ESS ES9038PRO Sabre sekaligus, tidak ketinggalan juga amplifier dengan output nyaris dua kali lipat lebih tinggi dari yang terdapat pada Kann orisinal.

Pada bagian depannya, Kann Cube mengemas layar sentuh 5 inci beresolusi 720p, sebuah peningkatan yang cukup drastis dibanding Kann orisinal. Bukan cuma itu, pengoperasiannya juga dipastikan bakal lebih mulus perkat penggunaan prosesor quad-core baru.

Yang mungkin sedikit membuat alis mengernyit adalah bentuknya yang sepintas mirip power bank, dan bobotnya pun sudah hampir menyentuh angka 500 gram. Ini dikarenakan baterai yang tertanam punya kapasitas yang lebih besar: 7.400 mAh, dengan estimasi daya tahan hingga 9 jam ketika dipakai untuk memutar file audio FLAC (lossless).

Kabar baiknya, Kann Cube sudah mendukung fast charging via USB-C, yang berarti waktu charging yang diperlukannya tak bisa disetarakan dengan mayoritas power bank. Urusan penyimpanan, A&K menjejalkan storage internal sebesar 128 GB pada Kann Cube, namun tentu saja pengguna dapat mengekspansinya lebih jauh lagi dengan bantuan memory card.

Seperti yang saya bilang, semua ini tentu harus ditebus dengan biaya yang amat tinggi. A&K mematok harga $1.499 untuk Kann Cube, dan berencana untuk memasarkannya mulai akhir bulan Mei mendatang.

Sumber: The Verge.

Astell & Kern Luncurkan Headphone dan Earphone Hasil Kolaborasinya dengan Beyerdynamic dan JH Audio

Astell & Kern dikenal sebagai brand yang memproduksi digital audio player (DAP) dengan harga selangit, akan tetapi mereka sekarang juga ingin menawarkan headphone dan earphone kepada kalangan audiophile kelas sultan. Kendati demikian, mereka tidak sendirian dalam mengerjakan dua perangkat ini.

Perangkat yang pertama adalah headphone over-ear bernama AK T5p 2nd Gen yang dikembangkan bersama Beyerdynamic. Seperti headphone unggulan Beyerdynamic lainnya, perangkat ini juga mengandalkan driver berteknologi Tesla yang diklaim bisa menghasilkan suara yang begitu natural dan seimbang.

AK T5p 2nd Gen

Ketimbang hanya membubuhkan logonya saja, Astell & Kern ingin berperan lebih besar dengan merancang kabel yang didesain secara spesifik untuk headphone ini. Kabel tipe braided ini terbentuk dari empat kabel perak dan empat kabel tembaga murni, diklaim sanggup membantu memaksimalkan karakteristik suara khas dari teknologi driver Tesla besutan Beyerdynamic.

Fisiknya pun dipastikan sangat premium, mengandalkan proses pembuatan secara hand made serta material mewah seperti balutan kulit domba pada bantalan telinga dan headband. Agar semakin terasa eksklusif, AK T5p 2nd Gen hanya akan diproduksi sebanyak 1.000 unit saja, dengan banderol harga $1.199.

AK Diana

Untuk perangkat yang kedua, yakni earphone bernama Diana, Astell & Kern memilih JH Audio sebagai mitranya. JH Audio, bagi yang tidak tahu, dikenal sebagai pelopor custom fit earphone, yang setiap unitnya memiliki bentuk berbeda karena dibuat berdasarkan cetakan telinga milik tiap-tiap konsumen.

Namun Diana bukan masuk kategori tersebut, melainkan universal fit yang lebih umum. Sekali lagi Astell & Kern melengkapi teknologi driver rancangan JH dengan kabel istimewa seperti yang mereka sematkan pada AK T5p. Kombinasinya dipercaya tidak akan menyajikan frekuensi tinggi yang terlalu tajam, atau bass yang kelewatan.

Harganya tidak kalah premium: $799, tapi setidaknya tidak dalam kuantitas terbatas seperti AK T5p tadi.

Sumber: Astell & Kern via Digital Trends.

Grado GW100 Adalah Headphone Bluetooth Pertama yang Berdesain Open-Backed

Sebelum tren menghilangnya headphone jack dari smartphone, headphone wireless sebenarnya sudah banyak, akan tetapi jumlahnya kian banyak lagi sejak Apple memelopori tren kontroversial tersebut. Pabrikan yang tadinya tidak punya headphone wireless jadi tergerak untuk mencicipi peruntungan di ranah tersebut. Tidak terkecuali Grado.

Grado, bagi yang tidak tahu, adalah produsen headphone asal Amerika Serikat yang cukup dikenal di kalangan audiophile. Sejumlah nilai yang kerap diasosiasikan dengan Grado di antaranya adalah desain open-backed, serta proses pembuatan secara handmade. Tidak sedikit pula yang mengecap Grado sebagai produsen yang konservatif.

Jadi ketika perusahaan seperti Grado memutuskan untuk menggarap headphone wireless, Anda bisa menilai sendiri betapa besar pengaruh tren menghilangnya headphone jack itu tadi. Ya, perangkat bernama Grado GW100 ini merupakan headphone wireless perdana mereka.

Grado GW100

Yang membuat GW100 begitu unik dibandingkan headphone wireless lain adalah desainnya yang open-backed (kelihatan dari grille yang ada di sisi luar masing-masing earcup). Sepintas, perpaduan konektivitas wireless dan desain open-backed terdengar kurang ideal, sebab asumsinya headphone wireless bakal sering dibawa bepergian.

Desain open-backed sering kali diyakini mampu menyuguhkan detail yang lebih baik dan staging yang lebih luas, akan tetapi kelemahannya isolasi suara betul-betul absen, baik dari luar maupun dari dalam. Memakai headphone ini di tempat umum yang berisik, seperti di bandara misalnya, jelas bukan pengalaman yang menyenangkan.

Grado GW100

Terlepas dari itu, Grado sebenarnya ingin menyajikan kualitas khas perangkat audiophile dalam kemasan yang lebih praktis dan fleksibel. Desain open-backed berarti skenario penggunaan yang paling ideal adalah di rumah sendiri, tapi karena wireless pengguna jadi bisa memakainya selagi melakukan aktivitas lain, seperti menyapu dan mengepel misalnya.

Terkait isolasi suara, Grado bilang bahwa suara dari dalam yang bocor keluar tidak sekeras di headphone mereka lainnya. Suara dari luar masih akan masuk sepenuhnya, tapi rancangan baru yang diterapkan pada GW100 diklaim mampu mengurangi kebocoran suara dari dalam hingga 60%.

Grado GW100

Secara keseluruhan, wujud GW100 masih mirip seperti headphone Grado lainnya, dengan nuansa retro yang amat kental. GW100 masuk kategori headphone on-ear, dengan bantalan yang cuma menempel pada telinga, bukan membungkus. Di samping tombol power, perangkat turut mengemas sepasang tombol volume, jack 3,5 mm dan port micro USB untuk charging.

Dalam satu kali pengisian, baterainya diyakini bisa tahan sampai 15 jam pemakaian. GW100 menggunakan konektivitas Bluetooth 4.2, lengkap dengan dukungan codec aptX. Unit driver yang ditanamkan diklaim sama persis seperti yang ada pada headphone lain mereka yang sekelas, dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Grado GW100

Penggemar berat Grado saat ini sudah bisa membeli GW100 seharga $249. Grado tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional seperti hard case, storage box dan headphone stand yang dijual terpisah.

Sumber: The Verge dan Grado.

Speaker Devialet Phantom Reactor Kecil tapi Suaranya Sekeras Pertunjukan Orkestra

Mayoritas konsumen mungkin tidak tahu, akan tetapi kalangan audiophile paham betul bahwa Devialet Phantom adalah salah satu speaker wireless paling perkasa yang pernah ada, dengan dimensi keseluruhan yang masih masuk kategori ringkas.

Kendati demikian, Phantom bukanlah speaker yang paling mudah dibawa-bawa, apalagi dengan bobot yang mencapai angka 11,4 kilogram. Banderol yang mencapai $3.000 juga jauh dari kata terjangkau bagi konsumen kelas non-sultan.

Devialet Phantom Reactor

Untuk itu, sang pabrikan asal Perancis telah menyiapkan alternatifnya, yakni Devialet Phantom Reactor. Desainnya sama persis seperti lini Phantom orisinal, masih seperti hasil racikan tangan spesies alien, akan tetapi ukurannya menyusut cukup drastis sampai sekitar separuhnya.

Phantom Reactor memiliki dimensi 219 x 157 x 168 mm, dengan bobot 4,3 kg dan volume total 3 liter. Perpaduan tweeter dan medium driver pada Phantom orisinal telah digantikan oleh satu full-range driver yang terbuat dari bahan aluminium.

Devialet Phantom Reactor

Untuk mereproduksi suara dalam frekuensi rendah alias bass, Phantom Reactor mengandalkan sepasang bass driver, juga dari bahan aluminium. Perpaduan semuanya sanggup memberikan respon frekuensi antara 18 – 21.000 Hz.

Melanjutkan tradisi Phantom orisinal, Phantom Reactor pun tidak malu-malu soal output berkat kombinasi amplifikasi analog (Class A) dan digital (Class D). Ia hadir dalam dua varian; satu dengan tenaga 600 watt dan volume maksimal 95 dB, satu lagi dengan 900 watt dan 98 dB. Kata Devialet, suara yang dihasilkannya tidak kalah keras dibanding sebuah pertunjukan orkestra.

Devialet Phantom Reactor

Semua itu datang dari speaker yang dapat diletakkan di atas satu telapak tangan berukuran besar jika mau. Terkait konektivitas, Phantom Reactor mengusung Wi-Fi, Bluetooth, input analog dan optical, serta dukungan atas Spotify Connect, AirPlay dan UPnP. Ke depannya, konsumen juga dapat menyambungkan dua unit Phantom Reactor via firmware update.

Masalah portabilitas telah teratasi, lalu bagaimana dengan harganya? Phantom Reactor dibanderol $1.000 untuk varian 600 watt, dan $1.300 untuk varian 900 watt. Masih mahal, tapi tetap jauh lebih ekonomis daripada Phantom orisinal. Pemasarannya akan dimulai pada tanggal 24 Oktober mendatang.

Sumber: Digital Trends dan PR Newswire.

Bukan Sembarang Speaker Wireless, Beosound Edge Pantas Diikutkan Pagelaran Seni

Minimalis nan elegan sudah menjadi filosofi desain Bang & Olufsen sejak lama, bahkan di era smart speaker pun ‘iman’ mereka masih tak tergoyahkan. Kendati demikian, saya rasa belum ada speaker lain yang lebih minimalis ketimbang persembahan terbaru B&O yang satu ini.

Namanya Beosound Edge. Wujudnya mirip koin raksasa, dengan dimensi kurang lebih setara ban mobil (diameternya sekitar 50 cm). Sisi kiri dan kanannya dilapis fabric hitam dengan sentuhan matte, sedangkan rangka melingkarnya murni terbuat dari aluminium utuh yang dipoles hingga semengilap cermin.

Ada panel indikator kecil di bagian rangkanya yang akan menyala ketika seseorang mendekat berkat kehadiran proximity sensor. Di panel ini juga pengguna bisa melihat indikator volumenya, namun bersiaplah terkejut mengetahui cara mengatur volume dari speaker ini.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Untuk membesar-kecilkan volumenya, pengguna harus menggelindingkan speaker sedikit (mengayunkan) ke depan atau belakang. Tak perlu khawatir speaker-nya terlepas dari pegangan dan menggelinding liar, sebab ada semacam kaki kecil di bawahnya yang akan membantu speaker kembali ke posisi asalnya.

Metode yang sama juga dapat diterapkan ketika speaker digantungkan ke tembok – dorong ke atas atau bawah untuk mengatur volume – sebab di dalamnya telah tertanam accelerometer dan gyroscope yang membantunya ‘menyadari’ posisinya. Meski simpel secara penampilan, rupanya ia masih menyimpan kejutan yang cukup unik.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Soal performa, B&O telah membekalinya dengan sebuah woofer 10 inci, sepasang midrange driver 4 inci dan sepasang tweeter 0,75 inci, lengkap beserta enam buah amplifier Class-D. Inovasi lain yang diunggulkannya adalah Active Bass Port, yang akan membuka dan menutup tergantung seberapa tinggi volumenya. Alhasil, keseimbangan antara kejernihan suara dan dentuman bass yang mantap bisa tercapai di level volume apapun.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Beosound Edge merupakan speaker wireless. Koneksi langsung via Bluetooth dapat ia atasi, begitu juga via Chromecast ataupun AirPlay 2. Secara keseluruhan, ia bisa diunggulkan perihal performa dan fitur, namun kebetulan saja fisiknya juga pantas diikutkan pada pagelaran seni.

Lalu berapa harganya? Sudah pasti mahal: $3.500 saat mulai dipasarkan di pertengahan bulan November nanti.

Sumber: TechRadar dan The Verge.

Bang & Olufsen Sulap Dua Speaker Mahalnya Jadi Smart Speaker

Popularitas smart speaker berhasil mengubah perspektif konsumen terhadap sebuah pengeras suara. Kalau dulu yang menjadi prioritas utama adalah kualitas suara, sekarang speaker dituntut untuk mengusung integrasi voice assistant, dan secara tak sadar konsumen pun telah menomorduakan performa sehingga muncul anggapan baru bahwa kualitas audio smart speaker biasa-biasa saja.

Produk-produk seperti Apple HomePod atau Google Home Max sebenarnya bisa mematahkan anggapan tersebut, sebab mayoritas reviewer setuju kalau suaranya bagus. Masalahnya, kedua smart speaker itu tidak dibuat oleh pabrikan yang benar-benar berpengalaman di industri audio, jadi wajar apabila masih banyak yang meragukannya.

Lain halnya dengan Bang & Olufsen. Nyaris semua orang tahu kalau perusahaan asal Denmark ini merupakan salah satu pemain lama di dunia, dan produk keluarannya hampir selalu memuaskan untuk urusan kualitas suara. B&O tidak mau reputasi mentereng itu pudar hanya karena mereka ikut meramaikan pasar smart speaker. Maka dari itu, mereka telah menyiapkan produk yang istimewa.

Beosound 1 / Bang & Olufsen
Beosound 1 / Bang & Olufsen

B&O memperkenalkan dua smart speaker sekaligus, yakni Beosound 1 dan Beosound 2. Kalau namanya terdengar familier, itu karena keduanya sudah dipasarkan sejak tahun 2016. Yang dirilis baru-baru ini pada dasarnya cuma upgrade minor terhadap Beosound 1 dan Beosound 2, dengan satu penambahan fitur baru untuk menyulapnya menjadi speaker yang cocok di era voice assistant.

Apalagi kalau bukan integrasi Google Assistant. Fitur ini memungkinkan Beosound 1 dan Beosound 2 untuk dikendalikan via perintah suara, plus menjawab pertanyaan dari penggunanya. Namun berhubung hardware-nya sama persis seperti yang diluncurkan di tahun 2016, kualitas suaranya pun dijamin di atas rata-rata smart speaker yang ada di pasaran.

Beosound 2 / Bang & Olufsen
Beosound 2 / Bang & Olufsen

Di samping itu, masih ada pembaruan lain dalam wujud deretan tombol di ujung atas speaker, di mana sebelumnya bagian tersebut kosong. Konektivitasnya pun cukup oke, mencakup dukungan Chromecast, Spotify Connect, maupun AirPlay 2 yang dirilis belum lama ini.

Soal perbedaan di antara keduanya, Beosound 1 dibekali baterai rechargeable agar sedikit lebih portable, sedangkan Beosound 2 yang lebih besar dan bertenaga cuma bisa dicolokkan ke listrik. Upgrade versi pintarnya kini sudah dipasarkan masing-masing seharga $1.750 dan $2.250.

Sumber: Digital Trends.