Gurita Bisnis Ralali di Ranah E-Commerce B2B

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan mengestimasi potensi pasar e-commerce B2B Indonesia mencapai $56,3 miliar pada 2022. Angka tersebut berjumlah dua kali lebih tinggi dari sektor B2C yang diestimasi sebesar $25,8 miliar. Angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan rekan-rekan regionalnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, tetapi lebih besar dibandingkan dengan Vietnam.

Thailand memiliki pasar B2B terbesar pada 2017 senilai $52,0 miliar dan kemungkinan akan tetap demikian selama periode perkiraan.  E-commerce B2G merupakan kontributor utama transaksi di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di beberapa negara ini, lebih dari 90% pengadaan pemerintah dilakukan melalui saluran online.

Logistik yang belum berkembang menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa semua daerah di Indonesia tidak tumbuh dengan kecepatan yang sama seperti Jakarta.

Dalam memainkan peran tersebut, berbondong-bondong pemain e-commerce, yang tadinya hanya di B2C, tancap gas dengan masuk ke B2B demi meramaikan para pemain e-commerce B2B yang sudah beroperasi. Salah satu pemain yang konsisten menyeriusi segmen B2B sejak awal adalah Ralali, yang didirikan Joseph Aditya sejak 2013.

Kepada DailySocial.id, Joseph menuturkan saat ini perusahaan tidak hanya fokus ke marketplace tapi juga membangun ekosistem B2B agar menjadi solusi utama bagi pelaku bisnis. Terhitung saat ini grup telah didukung lima lini bisnis, yakni situs e-commerce (Ralali.com), healthcare (Neoclinic), brand privat (Primero dan Fitmee), social commerce (Ralali Connect), dan on demand business (Ralali Agent).

“Berdasarkan performa, Ralali.com mencatat pertumbuhan secara organik [dan] telah berhasil meningkatkan transaksi hingga 174% di 2021 dari tahun sebelumnya, serta tercatat lebih dari 1,5 juta masyarakat dan pelaku usaha terhubung dan diperbantukan oleh solusi ekosistem digital dari Ralali Group,” kata Joseph.

Dia melanjutkan, masing-masing lini yang dikembangkan perusahaan saling terkoneksi satu sama lain, sehingga membentuk ekosistem B2B yang mampu menjawab kebutuhan di industri. Misalnya, Ralali Connect bertugas untuk bantu UMKM dengan menyediakan layanan digital storefront, pembuka akses jaringan, dan komunitas bisnis.

Dari situ, timbul kebutuhan yang besar akan tersedianya tenaga lapangan untuk penetrasi pasar, baik itu promosi, survei, atau aktivasi usaha. Lahirlah Ralali Agent, on demand business platform, untuk mencari penghasilan tambahan bagi masyarakat, sehingga membantu bisnis tumbuh dengan memberikan kolaborasi antara teknologi digital dan tenaga kerja dalam melakukan proses O2O.

Di tahun ini Ralali Agent ditargetkan dapat memperluas jaringannya hingga mencapai 1,5 juta agen di seluruh Indonesia untuk menyelesaikan 45 juta jenis pekerjaan. “Platform ini telah membantu ratusan ribu masyarakat dan hadir di 25 kota besar di Indonesia untuk mendapatkan penghasilan tambahan di waktu luangnya dengan cara mengerjakan pekerjaan yang tersedia di dalam platform.”

Berikutnya adalah Ralali Solution Center sebagai wadah bagi para pelaku usaha yang masih berjualan secara offline. Mereka dapat bergabung menjadi seller Ralali.com, sehingga dapat memasarkan produknya secara online. Ralali Solution Center menjembatani penjual dengan korporasi atau klien dari Ralali.com. Klien ataupun pembeli dapat membuat permintaan barang melalui RFQ (Request For Quotation), salah satu fitur unggulan Ralali.com.

Inovasi yang baru dirilis berikutnya adalah Ralali Business Collection untuk membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang berencana memulai bisnis dengan tawaran paket usaha dan harga grosir terbaik. Peluang ini terbuka untuk bisnis kopi, sembako, minuman kekinian, dan otomotif.

Masuk brand privat

Salah satu langkah terobosan yang dilakukan Ralali adalah masuk ke brand privat sebagai langkah pengembangan bisnis di luar e-commerce. Ada tiga brand yang sudah dirilis secara resmi oleh perusahaan, yakni Primero (produk masker), Neoclinic (klinik kesehatan berbasis teknologi), dan Fitmee (mi instan sehat).

Joseph tidak menuturkan lebih rinci hipotesis dibalik peluncuran brand privat tersebut. Ia mengatakan, Primero dan Neoclinic (PT Langkah Infinit Fortuna Era) dirintis karena selama pandemi pihaknya melihat peluang besar di sektor kesehatan. Primero terbuat dari bahan hypoallergenic, aman untuk kulit sensitif karena tidak menimbulkan reaksi alergi. Masker ini telah mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan Indonesia dan direkomendasikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

“Primero dapat menjadi solusi masyarakat di tengah kelangkaan masker pada saat itu dan menjadi top 5 sales brand masker yang dapat ditemukan di modern market di seluruh Indonesia.”

Neoclinic memadukan kesehatan dan teknologi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, seperti booking dan appointment, pemberian hasil tes, hingga konsultasi dengan dokter. Klinik ini memiliki layanan kesehatan yang lengkap, mulai dari pemeriksaan kesehatan, tindakan medis ringan, pemeriksaan Swab Test, tes laboratorium, serta vaksinasi Covid-19. Lokasinya tersebar di delapan titik di Jakarta, Tangerang, Surabaya dan akan hadir di lima kota besar lainnya.

“Dengan hadirnya lini bisnis terbaru kami (healthcare) tentunya membuat positioning Ralali semakin kuat di berbagai segmen dan keterkaitan antar platform kami sebagai satu entitas dalam group.”

Berikutnya, Fitmee merupakan hasil akuisisi Ralali dari The Fit Company. Tidak disebutkan nominal dalam transaksi tersebut. Hipotesis perusahaan terhadap prospek bisnis di sektor ini adalah selama pandemi masyarakat mulai peduli terhadap masalah kesehatan. Asupan gizi dan gaya hidup sehat mulai menjadi prioritas utama bagi sebagian besar orang.

Atas dasar tersebut, Ralali melihat babak baru dalam industri porang (shirataki) buatan Indonesia dan memutuskan untuk mengakuisisi Fitmee. Fitmee adalah produk mi instan yang menggunakan umbi porang sebagai bahan dasar yang diolah menjadi mi shirataki. Mi jenis ini bebas kolesterol, rendah gula, dan tinggi akan serat.

Joseph menjelaskan, saat ini pangsa pasar dalam produsen mi instan sehat di Indonesia baru 1%, sehingga banyak peluang yang ditawarkan dalam industri F&B ini. Data lainnya juga menyebutkan pasar makanan organik dunia diperkirakan mencapai $272,18 miliar pada 2027 dengan pertumbuhan 12% per tahun.

“Ralali Group (sebagai ekosistem) tentunya memperluas pasar agar produk ini dapat penuhi kebutuhan bagi para kosumen dalam menjalani gaya hidup sehat. Selain itu, melalui kolaborasi antar dua entitas (Ralali dan The Fit Company) memberikan kontribusi yang signifikan untuk penuhi target laba dalam ekosistem Ralali.”

The Fit Company adalah startup wellness yang didirikan Jeff Budiman dengan beberapa lini bisnis di bawahnya, termasuk Kredoaum, 20Fit, Fitstop, Fit Lokal, Fitmee, Slim Gourmet, Wellnez Indonesia, dan FITCO.

Penggalangan dana berikutnya

Ralali di bulan Februari lalu mengumumkan perolehan pendanaan Seri D batch pertama senilai $10,9 juta (lebih dari 155 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh SBI Group, investor sebelumnya yang memimpin putaran Seri B, dan Bee Accelerate. Putaran ini diikuti jajaran investor lainnya, seperti Beenos Asia, ICMG Partners, dan Arbor Venture.

Dana segar ini akan digunakan memperkuat solusi integrasi e-commerce B2B bagi pelaku usaha, merealisasikan target penerapan open finance system, dan merilis Ralali Big Data yang dapat memberikan acuan maupun rekomendasi dalam bentuk laporan black journal–sebuah sistem informasi keuangan yang dikelola perusahaan untuk membantu pelaku usaha mendapatkan data bisnis yang valid.

Berikutnya Ralali berencana menghadirkan fitur terbaru bernama Ralali Plus, sebuah solusi pengembangan usaha untuk mendapatkan kemudahan pembayaran dalam penuhi kebutuhan berbisnis. “Fasilitas unggulan yang diberikan, mulai dari permodalan usaha, credit scoring, one bill services untuk keperluan utilitas, penggunaan instan untuk transaksi kebutuhan usaha di dalam platform Ralali, dukungan pemasaran hingga edukasi finansial.”

Untuk rangka mewujudkan ambisi tersebut, perusahaan tengah membuka pendanaan Seri D batch kedua. Ralali juga mengundang mitra strategis yang bergerak di industri potensial, seperti perbankan, logistik, API, platform POS untuk dapat berkolaborasi. Jika usaha-usaha ini lancar, target perusahaan yang membidik enam juta pengguna dan ekspansi ke 50 kota dapat segera terealisasi.

“E-commerce B2B memiliki potensi perkembangan yang pesat di Indonesia. Dapat terlihat dari Laporan EigenRe, bahwa market size B2B di Indonesia diprediksi capai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Pandemi Covid-19 membuat para pemain B2B perlu adaptasi kebiasaan baru Covid-19, dan hal ini dapat menjadi menjadi peluang rebound untuk bisnis B2B,” tutupnya.

GudangAda’s Demand to Offer More than B2B E-Commerce

In two and a half years, B2B e-commerce startup GudangAda has closed its $100 million Series B funding round. The announcement comes one year after securing $25.4 million in Series A funding. The total funding raised has crossed the $135 million mark.

This achievement is claimed to be supported by business growth. The net transaction value (NVM) is said to reach $6 billion. NVM is an alternative metric to GMV in e-commerce companies. The way to calculate NVM is GMV minus all costs.

The question that arises is what does GudangAda offer compared to other B2B e-commerce players? You could say GudangAda is not the first player in this vertical.

In an interview with DailySocial, GudangAda CEO Stevensang explained, the first reason the company can grow fast is because it is filled with solid talent with deep experience in the industry that the company is currently focusing on. “When we enter the industry with an understanding of more than 25 years, we already have a very clear roadmap and strategy,” he said.

Stevensang himself has more than 25 years of experience in the retail and FMCG industry in Indonesia and Southeast Asia. Previously, he led a subsidiary of the FMCG conglomerate Orang Tua Group. GudangAda’s core team consists of technology and FMCG professionals with extensive experience.

The ranks of investors also support GudangAda’s business. They are claimed to have validated GudangAda’s business by conducting due diligence and in-depth audits before disbursing funds to potential investees. “There are our investors who have followed our journey since last year, witnessed the number of retailer brands that have partnered with us until now.”

GudangAda’s CEO, Stevensang / GudangAda

Solving middle mile issues

The next factor is the solution that GudangAda offers. Although GudangAda’s main view is as a B2B e-commerce, the backend is designed quite complex because the company wants to solve the middle mile issue that has not been worked out by logistics companies.

According to Stevensang, smart logistics has not yet fully occurred in Indonesia. The process has not occurred end-to-end.

“In Indonesia, there are more last mile and first mile players. So if we look at the last mile, the progress is extraordinary, but there are still challenges when integrating hub-to-hub because it doesn’t exist yet.”

According to Route4me’s explanation, the middle mile involves sending goods from a warehouse or distribution center to a fulfillment center (including retail stores) until the product is finally purchased by consumers. Middle miles connect shippers with drivers by using programmatic algorithms to match deliveries of specific products to the truck driver’s capabilities, schedule, and location.

Middle mile holds an important aspect, as it offers companies cost savings opportunities that last mile delivery does not have. Not only that, companies can be more competitive to maintain prices for healthy margins, even in the brick and mortar retail business.

As a middle mile, GudangAda focuses on being an aggregator to facilitate logistics services from large wholesalers to small wholesalers or to retailers (warung traders). So far, distributors tend to only ship products exclusively for certain principal brands. As a result, the truck capacity has not been fully exploited because there is still capacity that can be utilized.

By applying the asset-light and capital-efficient business concepts, the company cooperates with vehicle and warehouse business owners, including with UMKM members of GudangAda. In addition, the company offers a dynamic transportation and warehouse management service system to make it easier for partners to digitize their business.

GudangAda helps distributors/ wholesalers to utilize their logistics fleet or trucks by transporting products from other brands.

“In principle, the company’s main strength is building a middle mile logistics service infrastructure by collecting and integrating data available at distributors and wholesalers.”

Talking about logistics strategy, GudangAda consolidates transactions into a daily delivery schedule so that shipping costs are much cheaper. The company works closely with wholesaler partners to utilize stock points to reduce end-to-end logistics costs.

Finally, GudangAda empowers local logistics partners to aggregate service providers and facilitates technology that partners can adopt so that the logistics process becomes faster. “If usually one truck only runs once, we can provide them with many shops so that the utility of the truck increases.”

For its e-commerce business process, GudangAda provides a platform for wholesalers and principal brands to sell themselves and sell directly to retailers so that prices are determined directly by them. “So all of these parties can sell and determine the price they want to sell.”

GudangAda monetization scheme is taken from transaction fees charged to sellers and logistics costs.

The GudangAda solution is considered much more “friendly” because it is an enabler that provides added value for distributors to enter the realm of e-commerce, as well as empowering retailers consisting of shop owners to gain access to a variety of product stocks.

“Brand principals take advantage of our platform because the value we offer is transparent, allowing access to more retailers. They can also know the flow. We don’t interrupt, we are more friendly.”

The GudangAda application provides a complete service ecosystem for MSMEs, ranging from product source search features, sales and purchase transaction management, logistics transportation provision, and payment management.

As of now, there are more than 70 principal brands, from local, national, and multinational, who have taken advantage of the GudangAda platform, including Sido Muncul, Sasa, and Reckitt Benckiser. There are additional 100 new brands that are claimed to be waiting in line to join. The brand principal provides more than 30 thousand SKUs.

Currently, GudangAda is not only targeting the FMCG brand, but also expanding to the pharmaceuticals, packaging, household appliances, and stationery segments. This expansion is driven through end-to-end (E2E) partnerships with principals, distributors, wholesalers and retailers in the supply chain.

GudangAda’s app / GudangAda

Building a sustainable business

As an asset-light and capital-efficient company, Stevensang aims for GudangAda to become a healthy and sustainable company. The metrics used by the company include revenue (revenue), number of users, and number of brand principals.

“It’s not just a big turnover, we take care of all these metrics so that GudangAda becomes a sustainable business.”

To support the plan, the company appointed Huan Yang, former chief engineer of Grab, as CTO and JJ Ang as CFO. Ang previously worked at Vietnamese e-commerce company Sendo.

Stevensang has a vision that in the future the company can become a company that empowers more merchants to transform digitally, and develop with a skill set according to market needs. They can understand the inventory system, financial records, and financial support to grow their business even though they are still managing a shop.

“They are not left behind in terms of technology because they can do what they can do through data, they can do digital marketing. So they don’t just invest in physical goods as well as technology.”

Supported by Series B funding, the company will strengthen its ecosystem, such as logistics services, payment systems (POS/SaaS), marketing, data, and financial services. And, plans to strengthen its position by developing artificial intelligence/AI technology in order to offer the best personalization services for MSME traders.

It is said that currently there are more than 500 thousand stall traders in 513 cities throughout Indonesia who have purchased products through GudangAda. It is targeted that this year they can have 750 thousand to 1 million stalls as consumers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Tantangan GudangAda Agar Lebih dari Sekadar Platform E-Commerce B2B

Dalam dua setengah tahun, startup e-commerce B2B GudangAda telah menutup pendanaan Seri B senilai $100 juta. Pengumuman tersebut dilakukan selang setahun setelah memperoleh pendanaan Seri A sejumlah $25,4 juta. Total keseluruhan pendanaan yang diperoleh telah menembus angka $135 juta.

Pencapaian tersebut diklaim disokong dengan pertumbuhan bisnis. Nilai transaksi bersih (net merchandise value/NVM) disebutkan mencapai $6 miliar. NVM adalah alternatif metrik selain GMV di perusahaan e-commerce. Cara menghitung NVM adalah GMV dikurangi semua biaya.

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang ditawarkan GudangAda dibandingkan pemain e-commerce B2B lainnya? Bisa dibilang GudangAda bukanlah pemain pertama di vertikal ini.

Dalam wawancara bersama DailySocial, CEO GudangAda Stevensang menjelaskan, alasan pertama perusahaan dapat tumbuh cepat karena diisi  talenta yang solid dengan pengalaman yang mendalam di industri yang menjadi fokus perusahaan saat ini. “Ketika masuk ke industri dengan pemahaman lebih dari 25 tahun, kita sudah punya roadmap dan strategi yang sangat jelas,” ucapnya.

Stevensang sendiri memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun di industri ritel dan FMCG di Indonesia dan Asia Tenggara. Sebelumnya, ia memimpin anak usaha dari konglomerat FMCG Orang Tua Group. Tim inti GudangAda terdiri dari kalangan profesional di bidang teknologi dan FMCG dengan pengalaman ekstensif.

Jajaran investor juga turut mendukung bisnis GudangAda. Mereka diklaim memvalidasi bisnis GudangAda dengan melakukan due diligence dan audit secara mendalam sebelum mengucurkan dananya ke calon investee. “Ada investor kita yang sudah mengikuti perjalananan kita sejak tahun lalu, menyaksikan sendiri jumlah retailer brand yang bermitra dengan kita hingga sekarang.”

CEO GudangAda Stevensang / GudangAda

Tangani isu middle mile

Faktor berikutnya adalah solusi yang ditawarkan GudangAda. Meski tampilan utama GudangAda adalah sebagai e-commerce B2B, namun backend-nya didesain cukup kompleks karena perusahaan ingin menyelesaikan isu middle mile yang masih belum tergarap perusahaan logistik.

Menurut Stevensang, smart logistics belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Prosesnya belum terjadi secara end-to-end.

“Di Indonesia lebih banyak pemain last mile dan first mile. Jadi kalau kita lihat di last mile itu perkembangannya luar biasa, tapi masih ada challenge saat integrasi hub-to-hub karena belum ada.”

Menurut penjelasan Route4me, middle mile melibatkan pengiriman barang dari gudang atau pusat distribusi ke pusat pemenuhan (termasuk toko ritel) hingga akhirnya produk dibeli konsumen. Middle mile menghubungkan pengirim dengan pengemudi dengan menggunakan algoritma terprogram untuk mencocokkan pengiriman produk tertentu dengan kemampuan, jadwal, dan lokasi pengemudi truk.

Middle mile memegang aspek penting, sebab menawarkan peluang penghematan biaya kepada perusahaan yang tidak dimiliki pengiriman last mile. Tak hanya itu, perusahaan dapat lebih kompetitif untuk mempertahankan harga demi margin yang sehat, bahkan di bisnis ritel brick and mortar.

Sebagai middle mile, GudangAda fokus sebagai agregator untuk memfasilitasi layanan logistik dari grosir besar ke grosir kecil atau ke retailer (pedagang warung). Selama ini, distributor cenderung hanya mengirimkan produk secara eksklusif untuk brand principal tertentu. Akibatnya, kapasitas truk belum tergarap maksimal karena masih ada kapasitas yang bisa dimanfaatkan.

Dengan menerapkan konsep bisnis asset-light dan capital-efficient, perusahaan bekerja sama dengan para pemilik bisnis kendaraan dan gudang, termasuk dengan UMKM anggota GudangAda. Di luar itu, perusahaan menawarkan sistem layanan manajemen transportasi dan gudang yang dinamis untuk memudahkan mitra mendigitalisasi bisnisnya.

GudangAda membantu distributor/grosir besar untuk mengutilisasi armada logistik atau truk dengan mengangkut produk dari brand lain.

“Pada prinsipnya, kekuatan utama perusahaan membangun infrastruktur layanan logistik middle mile dengan cara collect dan integrate data yang tersedia di distributor dan grosir.”

Bicara soal strategi logistik, GudangAda melakukan konsolidasi transaksi ke dalam jadwal pengiriman harian sehingga ongkos kirim jauh lebih murah. Perusahaan bekerja sama dengan para mitra pedagang grosir untuk memanfaatkan stock point untuk menekan biaya end-to-end logistics.

Terakhir, GudangAda memberdayakan mitra logistik lokal untuk mengagregasi penyedia jasa serta memfasilitasi teknologi yang bisa diadopsi mitra sehingga proses logistik menjadi lebih cepat. “Bila biasanya satu truk hanya jalan satu kali, kita bisa sediakan mereka bisa ke banyak toko jadi utilitas truknya meningkat.”

Untuk proses bisnis e-commerce-nya, GudangAda menyediakan platform untuk para pedagang grosir dan brand prinsipal untuk berjualan sendiri dan menjual langsung kepada pengecer sehingga harga ditentukan langsung oleh mereka. “Jadi semua pihak tersebut bisa berjualan dan menentukan harga yang mau dijual.”

Skema monetisasi GudangAda diambil dari biaya transaksi yang dibebankan ke penjual dan biaya logistik.

Solusi GudangAda dianggap jauh lebih “bersahabat” karena bersifat enabler yang memberikan nilai lebih bagi para distributor untuk masuk ke ranah e-commerce, sekaligus memberdayakan retailer yang terdiri dari pemilik warung dalam mendapatkan akses stok produk yang beragam.

Brand principal memanfaatkan platform kami karena value yang kami tawarkan itu transparan, bisa akses ke lebih banyak retailer. Mereka pun bisa tahu flow-nya. Kami tidak men-disrupt, justru lebih friendly.”

Aplikasi GudangAda menyediakan ekosistem layanan yang lengkap untuk UMKM, mulai dari fitur pencarian sumber produk, pengelolaan transaksi penjualan dan pembelian, penyediaan transportasi logistik, serta pengelolaan pembayaran.

Terhitung saat ini ada lebih dari 70 brand principal, dari lokal, nasional, dan multinasional, yang telah memanfaatkan platform GudangAda, termasuk Sido Muncul, Sasa, dan Reckitt Benckiser. Ada tambahan 100 brand baru yang diklaim sedang mengantre untuk bergabung. Brand principal tersebut menyediakan lebih dari 30 ribu SKU.

Saat ini GudangAda tidak hanya menyasar brand FMCG, tetapi juga memperluas ke segmen obat-obatan atau farmasi, kemasan, peralatan rumah tangga, dan alat tulis. Ekspansi ini didorong melalui kemitraan end-to-end (E2E) dengan prinsipal, distributor, pedagang besar, dan eceran di dalam rantai pasokan.

Aplikasi GudangAda / GudangAda

Menjadi bisnis berkelanjutan

Sebagai perusahaan yang asset-light dan capital-efficient, Stevensang membidik GudangAda agar menjadi perusahaan yang sehat dan berkelanjutan. Metrik-metrik yang digunakan perusahaan, di antaranya pendapatan (revenue), jumlah pengguna, dan jumlah brand principal.

“Bukan sekadar cetak omzet yang besar, kami menjaga seluruh metrik tersebut agar GudangAda menjadi bisnis yang berkelanjutan.”

Untuk mendukung rencana tersebut, perusahaan  mengangkat Huan Yang, mantan kepala engineer Grab, sebagai CTO dan JJ Ang sebagai CFO. Ang sebelumnya bekerja di perusahaan e-commerce Vietnam, Sendo.

Stevensang memiliki visi perusahaan ke depannya dapat menjadi perusahaan yang memberdayakan lebih banyak pedagang untuk bertransformasi digital, serta berkembang dengan skill set sesuai kebutuhan pasar. Mereka dapat mengerti sistem inventaris, pencatatan keuangan, dan dukungan finansial untuk mengembangkan bisnisnya meski masih mengelola warung.

“Mereka tidak ketinggalan dari sisi teknologi karena mereka bisa apa yang dapat mereka lakukan lewat data, bisa melakukan pemasaran secara digital. Jadi mereka tidak hanya investasi ke barang fisik juga teknologi.”

Didukung pendanaan Seri B, perusahaan akan memperkuat ekosistem, seperti layanan logistik, sistem pembayaran (POS/SaaS), pemasaran, data, dan layanan keuangan. Serta, berencana memperkuat posisinya dengan mengembangkan teknologi artificial intelligence/AI agar dapat menawarkan layanan personalisasi terbaik bagi para pedagang UMKM.

Disebutkan saat ini ada lebih dari 500 ribu pedagang warung di 513 kota di seluruh Indonesia yang telah membeli produk lewat GudangAda. Ditargetkan tahun ini mereka dapat memiliki 750 ribu hingga 1 juta warung sebagai konsumen.

Application Information Will Show Up Here

 

Menanti Tuah Normal Baru Bagi Layanan E-Commerce B2B

Pandemi membuat segala lini bisnis terdampak. Tidak hanya ritel, bisnis b2b dan bahkan anggaran belanja pemerintah pun ikut terpengaruh. Bisnis e-commerce b2b, pada khususnya, tidak luput dari pelemahan ini. Meski bisnis sempat turun, ada harapan untuk rebound mempersiapkan normal baru.

Sejumlah pemain e-commerce b2b yang DailySocial hubungi kompak menjawab bisnis turun selama dua bulan belakangan. Namun mereka meyakini ini bersifat sementara, karena sejak Juni, tepat normal baru diumumkan pemerintah, bisnis kembali bergeliat.

Di sisi lain, pandemi berhasil mengubah perspektif korporat bahwa proses pengadaan dapat dilakukan secara digital. Tak hanya transparan, mereka bisa mendapat harga lebih ekonomis dengan proses yang lebih cepat.

“Dengan adanya Covid-19, para mitra bisnis semakin terdorong untuk menggunakan layanan b2b untuk memenuhi kebutuhan IT dan operasional mereka. Ini dikarenakan saat krisis, mitra bisnis membutuhkan solusi cepat dan tepat, dengan harga ekonomis,” ucap EVP Corporate B2B Corporate Solutions Blibli Heriyadi Janwar.

Sepakat dengan Heriyadi, Co-Founder dan CEO Mbiz Rizal Paramarta mengatakan, pandemi berhasil memperlihatkan fundamental dari bisnis e-commerce b2b itu sendiri. Bahwa mereka mampu bertahan karena punya bisnis inti di bidang pengadaan barang dan jasa yang terdigitalisasi. Tujuannya untuk mempersingkat proses dan lebih transparan daripada metode manual.

Pengaruh bisnis

Rizal memaparkan, pada kuartal kedua tahun ini, penurunannya mencapai sepertiga hingga separuh dari total target bulanan. Digambarkan dalam setahun, setidaknya volume transaksi di Mbiz mencapai Rp1 triliun.

“Kita melihat ada dampak short term, pas April sebelum Lebaran ada penurunan belanja korporat terutama yang sifatnya non esensial. Overall spending capex korporat turun, tapi ada kenaikan drastis untuk kategori kesehatan sampai 2000%.”

Ia menyebut kondisi ini hanya sementara, karena pada bulan Juni mulai terjadi pemulihan, bersamaan dengan dimulainya kegiatan normal baru. “Kita menyiapkan kategori baru di bidang kesehatan dan kenaikan dari situ adalah kompensasi atas penurunan kemarin.”

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin menambahkan, perusahaan turut berdampak semenjak pemberlakuan PSBB hingga menjelang akhir paruh pertama tahun ini. Namun, diklaim perusahaan mencatat kenaikan hingga 30%.

Ini terjadi karena perusahaan tetap bermanuver perluas produk dan jasa, sehingga ada pergeseran kategori produk yang mengimbangi kategori yang sebelumnya populer sebelum pandemi.

“Bhinneka dengan eksistensi produk yang disediakan via platform, kini selain IT, growth tertinggi disumbang dari MRO/perkakas dan alat kesehatan. Sementara itu, di marketplace kami mencatat lonjakan pada produk makanan dan kebutuhan harian. Jadi kami melihat ada balancing process dari kedua segmentasi.”

Heriyadi tidak merinci penurunan seperti apa yang terjadi di Blibli. Menurutnya, Covid-19 telah memicu adopsi teknologi oleh pelaku bisnis, termasuk mitra b2b yang memerlukan solusi efisien dengan harga terjangkau agar mereka bisa menjaga keberlangsungan bisnis mereka.

Ia hanya menyatakan jumlah transaksi b2b pada bulan ini telah menyamai total transaksi yang tercatat selama keseluruhan 2019. “Ini adalah sinyal positif bagi pertumbuhan b2b untuk tahun ini.”

Sokong kategori baru

Dalam mendorong kinerja bisnis, juga mendukung kegiatan normal baru, peluang produk pendukung kesehatan paling dicari oleh semua konsumen, tidak terkecuali klien korporasi. Pemain e-commerce pun berlomba-lomba perbanyak mitra penjual alat kesehatan untuk melayani konsumen mereka.

Direktur BukaPengadaan Bukalapak Hita Supranjaya menerangkan, mereka menambah jumlah principal atau UMKM untuk menawarkan persiapan normal baru, seperti rapid test, program bundle APD, customize APD (masker dan hazmat), face recognition terminal, dan customized hand wash station.

“Kami telah menyiapkan strategi untuk terus memonitor perkembangan dan beradaptasi dengan permintaan melalui inovasi maupun kerja sama yang membantu user terpenuhi kebutuhannya,” papar Hita.

Saat ini BukaPengadaan telah terhubung dengan hampir enam juta penjual yang memiliki lebih dari 80 juta produk. Beberapa kategori diklaim menunjukkan peningkatan lebih dari dua kali lipat secara month-to-month sejak awal dimulainya pandemi ini.

Sebelum pandemi, BukaPengadaan diklaim mencatat profitabilias sebesar 500% year-on-year seiring dengan pertumbuhan jumlah konsumen b2b dan penjualan. Kategori yang paling diminati saat itu adalah gadget dan barang-barang procurement, seperti spare part mesin dan pabrik.

Semenjak pandemi, Bhinneka makin gencar menambah variasi pada kategori kesehatan dan perawatan. Sejak awal tahun, kategori ini tumbuh lebih dari 100% berdasarkan variasinya.

Dalam merespons kondisi normal baru, perusahaan mengembangkan produk kesehatan lainnya bersama para vendor. Misalnya, memperbanyak mitra layanan kesehatan, seperti test Covid-19 untuk perusahaan, menawarkan produk ThermoNex untuk mendeteksi suhu tubuh secara otomatis, terhubung dengan cloud, dan dilengkapi dengan fitur face recognition sebagai data dan terhubung dengan panel absensi.

Bhinneka bermitra dengan mitra healthtech seperti Triasse dan Prixa untuk menyediakan layanan kesehatan, membuat produk Digital Classroom untuk sekolah yang ingin memaksimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tanpa tim IT sendiri, dan produk Crinoid yakni multichannel management untuk bantu mengatur penjualan di beberapa marketplace sekaligus.

“Kecepatan dan agility menjadi kunci dalam menghadapi masa yang penuh uncertainties ini, kami melakukan berbagai aktivitas dan perubahan dengan menangkap peluang-peluang yang dapat segera dilakukan.”

Sejak perusahaan mendeklarasikan tranformasi sebagai business super ecosystem akhir tahun lalu, kontribusi terbesar datang dari konsumen korporasi dan belanja pemerintah yang mencapai hingga 90%, naik dari tahun sebelumnya sebesar 80%.

Total pelanggan Bhinneka kini mencapai 1,5 juta dari level UMKM, korporasi, dan pemerintah. Ada lebih dari 10 ribu merchant, vendor/principal yang menawarkan lebih dari 1 juta SKU di dalam platformnya.

Blibli sendiri memprediksi permintaan terhadap layanan b2b akan meningkat. Perusahaan sudah menyiapkan berbagai strategi untuk mengoptimalkan layanan pada mitra bisnis. Perusahaan membuat virtual gathering bersama mitra bisnis, asosiasi-asosiasi industri, dan komunitas profesional untuk mengukur dan memahami lebih lanjut mengenai kebutuhan mereka dalam meneruskan usaha di normal baru.

“Kami menggunakan pemahaman tersebut untuk semakin meningkatkan layanan yang kami sediakan, contohnya dengan memberikan promosi khusus.”

Heriyadi mengatakan, perusahaan merancang rencana hingga akhir tahun untuk meningkatkan strategic business value dari b2b, termasuk kolaborasi dengan mitra bisnis pada transaksi offline dan online, seperti membangun microsite, memperluas varian produk, menyediakan produk bersama garansi asli. memperluas cakupan pengiriman nasional, dan menawarkan asuransi logistik.

Blibli melayani 19 mitra bisnis b2b yang bergerak di tujuh sektor, seperti layanan keuangan, perhotelan, distribusi & manufaktur, teknologi, teknologi dan IT.

Produk dan solusi yang disediakan untuk mitra bisnis tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni TI & pemeliharaan, dan reparasi & operasional. Di antaranya produk dan solusi mencakup client tools seperti tablet, notebook, server network seperti UPS, alat perkantoran, dan piranti lunak.

Untuk kategori operasional, Blibli menawarkan material handling, laboratorium & kimia, keamanan, alat pembersih, alat ukur dan pengetasan, dan alat berat.

Sumber : Unsplash
Produk kesehatan juga menjadi primadona belanja konsumen korporasi / Unsplash

Masuk ke pemerintah

Di sisi lain, Mbiz mengambil peluang dari pandemi dengan gencar menggaet konsumen dari kalangan pemerintah karena di sana masih dibutuhkan solusi pengadaan yang transparan. Kehadiran pemain e-procurement menjadi dorongan buat pemerintah untuk go digital.

Dari peraturan pun Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditentukan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan e-marketplace yang menyediakan infrastruktur teknis dan layanan dukungan transaksi berupa katalog elektronik, toko daring, dan pemilihan penyedia.

“Perpres ini menguntungkan pemain e-procurement. Selama ini pengadaan ada problem. Misalnya tidak transparan dan harus pakai cash. Yang kita lakukan adalah digitalisasi, semua transaksi harus digital, jadinya transparan.”

Debut Mbiz untuk melirik prospek di sektor ini sebenarnya dimulai sejak awal tahun ini. Perusahaan terpilih sebagai penyedia pengadaan untuk Pemprov Jawa Barat. Perjalanan dilanjutkan dengan Pemprov Bali baru-baru ini.

“Kita sedang dalam proses lagi untuk dua pemrov lainnya di Jawa. Bila ini berhasil, kita bisa lebih percaya diri untuk masuk ke pemprov lainnya di Indonesia.”

Keuntungan ini sebenarnya tidak hanya dirasakan buat Mbiz, tapi buat merchant, atau vendor skala UMKM memperluas cakupan penjualannya ke mana saja ke seluruh segmen konsumen Mbiz di Indonesia. Sebelum masuk ke platform, umumnya penjualan vendor hanya mencakup sekitar wilayah terdekatnya saja.

Para vendor tersebut juga bisa mengakses fasilitas layanan keuangan untuk membantu bisnis mereka melalui Mbiz. Perusahaan didukung platform pembiayaan Investree setelah mengantongi pendanaan pada akhir tahun lalu.

Marketplace E-Procurement Bisa Jadi Vertikal Bisnis Menjanjikan

Digitalisasi menghampiri berbagai macam aspek bisnis, termasuk sistem pengadaan atau procurement. Kini perkembangan teknologi sudah sangat memungkinkan rantai ekosistem terkait untuk melakukan pengadaan secara online atau digital. Istilah umumnya adalah e-procurement. 

Sejumlah decision maker di perusahaan mungkin berpikir akan sulit bagi organisasinya mempelajari bagaimana e-procurement bekerja. Kendati demikian, tak sedikit juga perusahaan yang beralih ke sistem ini karena sejumlah keunggulannya, seperti efisien waktu hingga transparansi yang tinggi.

Di Indonesia, pemanfaatan e-procurement belum umum mengingat belum banyak perusahaan yang aware terhadap konsep ini. Meskipun demikian, sejumlah perusahaan digital berupaya mengenalkan sistem ini dengan konsep yang mudah diadopsi.

Isu usang korporasi dan penyesuaian B2B

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah startup di Indonesia mulai melirik e-procurement sebagai vertikal bisnis yang menjanjikan. Layanan e-procurement dinilai layak dijajal karena model bisnis B2B mudah terukur.

Untuk memudahkan penetrasinya di pasar, startup ini menggabungkan konsep veteran di industri digital, yakni e-commerce/marketplace dengan layanan B2B. Secara global, layanan semacam ini telah mengantongi kesuksesan dari pemain besar, seperti Amazon Business dan Alibaba Business.

Menurut radar kami, sejumlah startup Indonesia yang masuk ke bisnis marketplace B2B antara lain Mbiz, Bizzy, Bhinneka, Ralali, Bukalapak, dan ProcurA.

Mbiz, Bizzy, dan Ralali sejak awal menjadikan marketplace B2B sebagai bisnis utamanya. Meskipun demikian, sejak pertengahan 2019, Bizzy mulai pivot dari lini bisnis markeplace e-procurement demi memperkuat ekosistem bisnis dari hulu ke hilir dan terpusat pada B2B saja.

Sementara itu, Bhinneka dan Bukalapak sejak awal merupakan marketplace B2C dan C2C yang mulai mengembangkan vertikal baru ke B2B. Berbeda dengan yang lainnya, ProcurA tidak memiliki marketplace dan fokus ke pengembangan solusi e-procurement untuk perusahaan.

Bisnis marketplace B2B dianggap menjadi konsep yang tepat untuk menuntaskan beragam masalah usang yang terjadi pada korporasi, yakni rendahnya efisiensi dan transparansi.

Dalam wawancara dengan DailySocial, CEO Mbiz Rizal Paramarta menyebutkan rendahnya efisiensi dan transparansi dapat menimbulkan permasalahan baru, yakni proses procurement yang bertele-tele dan terlalu administratif. Ia mencontohkan bagaimana instansi pemerintah membutuhkan berbulan-bulan untuk melakukan pengadaan laptop.

Proses yang bertele-tele ini, ungkap Rizal, sebetulnya berasal dari deretan kegiatan yang panjang, mulai dari perbandingan harga, perbandingan terbuka dan tertutup, pembukaan surat penawaran bersama-sama, belum lagi pengumuman harganya.

“Kami melihat problem transparansi dan proses yang panjang ini dapat diselesaikan dengan solusi digital karena seluruh aktivitas terekam. Jadi tidak ada ruang manipulasi data. Memang proses bertele-tele ini sebetulnya berkaitan dengan hal administratif. Nah, ini cocoknya diotomasi dengan digital,” paparnya.

Sementara Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menyebutkan, inovasi e-commerce, pembayaran digital, dan logistik mengubah pola perilaku konsumsi secara signifikan. Nah, perubahan ini akhirnya mendorong untuk melakukan penyesuaian dalam hal meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan.

“Di satu sisi, tantangan perusahaan B2B di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Wajah baru industri pengadaan

Secara umum, e-procurement mencakup berbagai rangkaian kegiatan, seperti e-tendering, e-auctioning, manajemen vendor, hingga manajemen kontrak. Di sejumlah model bisnis yang menggabungkan marketplace dan e-procurement, alur pemesanannya tidak serupa dengan layanan e-commerce pada umumnya.

Sebagai gambaran, layanan Mbiz terdapat sejumlah fitur terkait, seperti modul tendering dan contract management yang terintegrasi ke sistem finance accounting. Artinya, tetap ada proses procurement hingga negosiasi yang berlanjut ke tahapan purchase order.

Marketplace B2B menawarkan banyak hal yang dipermudah dengan dukungan teknologi. Dengan “memindahkan” kegiatan pengadaan ke ruang digital, marketplace B2B memudahkan ekosistem terkait untuk dapat bertemu secara seamless, mulai dari klien perusahaan atau pemerintah, prinsipal, vendor, dan logistik.

Selain itu, marketplace B2B dianggap menjadi solusi tepat untuk melakukan kegiatan pengadaan karena efisien secara proses dan lebih transparan. Solusi e-procurement tidak dapat memberikan ruang manipulasi karena seluruh prosesnya berbasis digital. Hal ini dapat menghindari adanya peluang korupsi.

Tak hanya itu, efisiensi dan transparansi akan mendorong efek positif lainnya, seperti meningkatkan produktivitas dengan mengalihkan SDM kepada pekerjaan lain, mempercepat proses transaksi, hingga mengeleminasi kegiatan paperwork berlapis-lapis.

Ekosistem menjadi kunci

Secara model bisnis, marketplace untuk e-procurement dinilai menjanjikan karena umumnya bisnis B2B dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur. Namun, keberhasilannya tergantung dari bagaimana startup menyiapkan strategi.

Salah satu strategi yang dilakukan Mbiz adalah berkolaborasi dengan Investree sebagai jalan pembuka akses terhadap pembayaran dan pinjaman digital. Masuknya Investree ke dalam lingkaran ekosistem marketplace Mbiz dapat menarik calon pengguna layanan baru tanpa perlu melakukan bakar uang.

Menurut Rizal, startup tidak perlu repot menghabiskan dana untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, namun pada rasionalitas kebutuhan.

Kendati demikian, ia menilai sulit untuk mendorong awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B maupun e-procurement. Ia menganggap sektor korporasi belum sadar terhadap pentingnya digitasi proses bisnis. Ini dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.

Awareness rendah sehingga adopsi juga rendah. Apalagi, kompetitor kami setop beroperasi. Semakin banyak pemain di sini, justru semakin bagus. It’s an obvious business practice. Lagipula, tidak relevan untuk meningkatkan awareness dengan strategi bakar uang. Target pasar kami rasional dan awareness ini harus di-create dengan cara yang sensible dan smart,” ujarnya.

Salah satu kunci keberhasilan bisnis ini adalah penguatan rantai ekosistem. Sama halnya dengan konsep marketplace B2C yang selama ini kita lihat. “Jika hanya menyediakan solusi e-procurement atau modul saja tanpa marketplace, tidak ada ekosistemnya,” tambah Rizal.

Hal yang sama diungkapkan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya, pasar Indonesia masih membutuhkan market education terhadap marketplace B2B. Maka itu, membangun ekosistem sesuai karakter dan target pasar menjadi penting untuk dapat meng-enablee supplier dan demand. Adapun, Bhinneka kini telah melayani lebih dari 20.000 korporasi.

“Bisnis ini punya karateristik yang berbeda dengan marketplace biasa, di mana B2B punya tingkat stickiness yang lebih baik dan basket size belanja yang lebih besar. Katakan platform yang lebih mengerti mereka, ekosistem yang lebih menyeluruh hingga value, seperti fulfilment dan after sales pasti membuat pelanggan semakin sticky,” ujarnya.

Peluang terhadap ekonomi digital

Dalam sebuah kesempatan, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa solusi e-procurement dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital. Caranya adalah membidik sektor pemerintahan dan korporasi di Indonesia yang selama ini masih rendah dalam mengadopsi solusi digital.

Menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara, peluang bisnis ini dapat mendorong realisasi belanja pemerintah lebih cepat terserap tanpa adanya kegiatan administratif yang tidak berujung. Demikian juga, sektor industri yang selama ini belum menganggap pentingnya adopsi digital.

“Dari temuan INDEF dan Google, efek paling besar dapat terasa di sektor manufaktur. Peluang kebutuhan e-procurement besar karena didukung dengan sistem transparan dan efisien. Manfaat ini sebetulnya dapat menstimulus sektor manufaktur untuk mau menggunakan e-procurement,” ujar Bhima beberapa waktu lalu.

Benang merah dari solusi e-procurement adalah biaya yang bisa semakin murah sejalan dengan semakin banyak pemerintahan atau pebisnis yang memakai. Sektor logistik adalah salah satu contoh sektor dengan biaya operasional mahal yang dapat diefisiensikan.

Bukalapak Aims to Dominate E-Procurement Market through BukaPengadaan

Bukalapak shared an ambition to dominate the e-procurement market through his vertical Open ProcurementD because it has a market share that is not inferior to the consumer business (b2c). Seen from the success of overseas b2b players such as Alibaba Business and Amazon Business, both grew bigger from the b2c platform.

BukaPengadaan’s Director, Hita Supranjaya said the optimism backed by the changing of Indonesian consumers’ behavior in terms of digital. Innovations, such as e-commerce, digital payment, and logistics has shifted b2c behavior significantly.

He thought the change encouraged B2B companies to make adjustments by increasing competitiveness and speed in serving customer needs. On the other side, the challenge for B2B companies in facing global market competition is that it takes a long time to develop technology and costs a lot too.

“Bukalapak through BukaPengadaan seeks opportunities to answer the challenge, backed by the proven experience in developing tech-based e-commerce c2c/b2c for ten years,” Supranjaya told DailySocial.

In order to be the leading e-procurement, BukaPengadaan is quite lucky to be integrated with Bukalapak marketplace and Quasi Retail. It connects the platform with five million sellers offering more than 80 million products.

As a result, BukaPengadaan is capable to fulfill all procurement from corporations, both business and government, quickly and at competitive prices. In terms of ecosystem, it’s comprehensive for companies and vendors, including closed ecosystems for registered users, provision of goods and services, online approval systems, monitoring of goods orders, payment and e-invoicing.

“It gives our customers an advantage in procurement, faster and closest to the sellers, resulting in competitive price. We also help managing lists of vendors and SKUs, therefore, customers can focus on things that are more important than just administrative matters.”

Since it was founded in 2016, BukaPengadaan has acquired more than 1500 users, around 80% are companies, and the rest are SMEs and government institutions. On a monthly average, 150 companies actively transact through BukaPengadaan.

Last year, there are 500 users registered, 5 thousand purchase orders, with an average transaction of Rp150 million. Within seven months, BukaPengadaan has recorded a 30% transaction growth. Also, in the last three months, the average income growth has increased by three times per month.

It is said there are new categories and vendors joined every month. Not only retails and supply chain, but also virtual products managed into a one-stop platform. “It allows us to reach almost the whole categories of small, middle to large-scale b2b company essentials,” he added.

Large business-coverage, b2b players are solving specific issues

Based on McKinsey & Co report, Indonesian e-procurement has potential worth of $125 billion by 2025. It was estimated from global corporate services ($18 billion), b2b marketplace (76 billion), and b2b services ($36 billion).

Meanwhile, Indonesia’s leading players still the b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukalapak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), and mobility (Gojek and Grab).

The brand awareness rate in this segment might not as tight as the consumer products. However, according to 2018’s DSResearch, some players are familiar to the respondents, including Bhinneka Bisnis, Bizzy, and Mbiz.

bukalapak b2b

In terms of growth, the players are not limited, there is also Ralali, Ekosis, TaniHub, and Zilingo. Each platform has its own market share. Ralali, for example, entering the agency segment to target b2b consumers.

Ekosis has its way with connecting businessmen to get various agribusiness, livestock, and mining products. As for TaniHub, plays role as a supplier for b2b consumers come from supermarket, horeca, F&B, retailers, and startup players.

Zilingo, on the other hand, provides cloud-based fashion manufacture products from all over the world for all brands and businessmen can take benefit from it.

The various kinds of b2b e-commerce have shown potential market share to be further explored in order to solve the issues within the b2b players. Moreover, Indonesian SMEs digital transformation has only reached 8% or 3.92 million of the total 59.2 million existed players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ambisi Bukalapak Pimpin Pasar E-procurement Lewat BukaPengadaan

Bukalapak mengungkapkan ambisinya untuk menguasai pasar e-procurement melalui vertikalnya BukaPengadaan, sebab punya pangsa pasar yang tidak kalah besar dengan bisnis konsumen (b2c). Terlihat dari kesuksesan pemain b2b luar negeri seperti Alibaba Business dan Amazon Business, keduanya tumbuh lebih tinggi dari platform b2c.

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menjelaskan, optimisme ini didukung oleh perubahan perilaku konsumen Indonesia dalam hal digital. Inovasi seperti layanan e-commerce, pembayaran digital dan logistik mengubah pola perilaku b2c secara signifikan.

Menurutnya, perubahan tersebut mendorong perusahaan b2b melakukan penyesuaian dengan meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan. Namun di satu sisi, tantangan perusahaan b2b di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

“Bukalapak melalui BukaPengadaan melihat peluang untuk dapat menjawab tantangan tersebut, berbekal pengalaman yang sudah terbukti mengembangkan e-commerce c2c/b2c berbasis teknologi selama 10 tahun,” ucap Hita kepada DailySocial.

Demi menjadi pemain e-procurement terdepan, BukaPengadaan cukup beruntung karena terintegrasi dengan platform marketplace Bukalapak dan Quasi Retail. Kondisi ini membuat platform ini terhubung dengan lima juta pelapak menawarkan lebih dari 80 juta produk.

Alhasil, BukaPengadaan mampu memenuhi seluruh pengadaan dari korporasi, baik pelaku bisnis maupun pemerintah dengan cepat dan harga bersaing. Secara ekosistem pun menyeluruh untuk perusahaan dan vendor, meliputi ekosistem tertutup bagi pengguna yang terdaftar, penyediaan barang dan jasa, sistem persetujuan online, pemantauan pesanan barang, pembayaran dan e-invoicing.

“Keuntungannya bagi pelanggan kami adalah pemenuhan kebutuhan yang lebih cepat dan terdekat dengan adanya jaringan pelapak, sehingga harga kompetitif. Kami juga membantu mengelola daftar vendor dan SKU yang berkembang terus menerus, sehingga pelanggan fokus terhadap hal-hal yang lebih penting daripada hanya hal administratif.”

Sejak BukaPengadaan dirilis pada 2016, kini telah merangkul lebih dari 1500 pengguna, sekitar 80% adalah perusahaan dan sisanya adalah UKM dan instansi pemerintah. Dalam sebulan, rata-rata 150 perusahaan aktif bertransaksi melalui BukaPengadaan.

Pada tahun lalu, tercatat ada 500 pembeli, 5 ribu purchase order, dengan rata-rata nilai per transaksi Rp150 juta. Selama tujuh bulan terakhir, BukaPengadaan mencatat pertumbuhan transaksi 30%. Serta, dalam tiga bulan terakhir, pertumbuhan pendapatan rata-rata tiga kali lipat setiap bulannya.

Diklaim setiap bulannya ada kategori produk dan vendor baru yang bergabung. Tidak hanya produk ritel dan bahan baku saja, tapi sudah menyentuh produk virtual yang dikelola menggunakan satu pintu platform. “Ini memungkinkan kami menjangkau hampir seluruh kategori kebutuhan perusahaan b2b Indonesia skala kecil, menengah hingga besar,” sambungnya.

Cakupan bisnis besar, pemain b2b ramai selesaikan isu spesifik

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar), dan b2b services ($36 miliar).

Sementara itu, pemain terdepan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan yang bergerak di segmen b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukapalak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), dan mobilitas (Gojek dan Grab).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Secara perkembangan, pemainnya tidak hanya itu saja, ada Ralali, Ekosis, TaniHub dan Zilingo. Semuanya punya pangsa pasar masing-masing sesuai target pasarnya. Ralali misalnya bermain ke ranah keagenan untuk menyasar konsumen b2b sebagai pembeli.

Ekosis berusaha untuk menghubungkan pebisnis untuk mendapatkan berbagai produk agribisnis, peternakan, hingga pertambangan. Pun juga untuk TaniHub, bertindak sebagai penyuplai untuk konsumen b2b yang datang dari pemain supermarket, horeca, F&B, peritel hingga startup.

Sementara Zilingo, menyediakan pasokan manufaktur fesyen berbasis cloud dari seluruh dunia agar setiap merek, pengusaha, dapat memanfaatkannya.

Beragamnya layanan e-commerce b2b yang disediakan memperlihatkan bahwa ada ceruk bisnis yang bisa gali lebih dalam untuk menyelesaikan masalah di pemain b2b. Terlebih, transformasi digital UKM di Indonesia baru 8% atau 3,92 juta dari total 59,2 juta pelaku yang hadir di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Sempurnakan Integrasi “Digital Supply Chain”, Bizzy Tutup Sementara Layanan Marketplace

Bizzy menutup sementara layanan marketplace b2b tertanda mulai bulan ini. Katalog produk dihapus dari situs dan layanan pembelian untuk konsumen korporat ditiadakan untuk sementara waktu. Ini adalah bisnis pertama yang dirintis Bizzy sejak perusahaan berdiri sejak 2015, sebelum ekspansi ke layanan lainnya.

Kepada DailySocial, CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menjelaskan, penutupan ini hanya bersifat sementara. Pihaknya berencana membuka kembali pada kuartal IV 2020 dengan berbagai penyempurnaan sistem backend.

“Kita nggak tutup. Tapi in terms of priority development bakal hadir lagi di kuartal IV ini. Kita mau fokus ke area yang perkembangannya jauh lebih cepat dan secara potensi jauh lebih besar,” ujarnya, Rabu (15/1).

Dia melanjutkan, keputusan ini diambil karena perusahaan ingin menyempurnakan integrasi sistem back-end marketplace, terutama rantai pasok digital agar semakin seamless saat digunakan konsumen korporat. Tampilan UI/UX juga akan disempurnakan.

Rantai pasok digital ini sebenarnya sudah dibangun oleh Bizzy untuk layanan Tokosmart, hanya saja peruntukkannya buat konsumen toko kelontong. “Kalau dilihat digital supply chain, Tokosmart itu juga sama-sama procurement activity. Bedanya hanya target segmen, ini lebih UMKM sementara Bizzy Marketpalce buat perusahaan menengah ke atas.”

Perubahan bisnis Bizzy Marketplace sebenarnya punya semangat yang kurang lebih sama dengan Tokosmart, yakni memotong rantai sub distributor dan grosir dengan teknologi agar proses pengadaan lebih efisien dan transparan.

Dia mencontohkan, salah satu konsumen korporat Bizzy adalah Alfamart dan Indomaret. Dalam pengadaan barang, dengan penyempurnaan sistem, diharapkan mereka bisa langsung beli pasokan dari perusahaan distributor yang sudah bermitra dengan Bizzy.

“Mereka butuh beli barang-barang dari prinsipal, tapi window pembeliannya nggak pakai UI Tokosmart karena lebih UMKM. Makanya UI/UX Bizzy Commerce akan kita revamp lagi.”

Dalam pengembangan Bizzy Marketplace, ada 14 kategori yang disediakan untuk korporat dari berbagai industri. Tidak hanya menjual perlengkapan kantor saja, ada dekorasi dan elektronik rumah tangga, elektronik industri, furnitur perabotan, MRO, otomotif dan transportasi, peralatan horeca, dan masih banyak lagi.

Rencana penguatan ekosistem Bizzy

Bizzy Group tidak hanya bermain di ranah marketplace b2b, tapi meluas dari hulu ke hilir. Ada Bizzy Consolidation, Bizzy Logistics, dan Bizzy Distribution. Adapun Tokosmart termasuk dalam bagian yang terakhir.

Tokosmart adalah aplikasi pengadaan untuk konsumen toko kelontong agar lebih mudah mengisi stok barang. Semangat yang ditawarkan lewat Tokosmart adalah kemudahan pemilik toko membeli barang yang dijual langsung oleh perusahaan distributor yang ditunjuk resmi oleh brand prinsipal.

“Yang membuat kami berbeda adalah kami bekerja sama dengan prinsipal agar pasokan barang di pasar dari sisi harga tidak rusak. Brand sangat menjaga harga karena berkaitan erat dengan brand equity.”

Layanan ini sudah diresmikan sejak Mei 2019, terhitung hingga akhir tahun lalu telah meraup 46 ribu pemilik toko kelontong yang tersebar di 29 kota di seluruh Indonesia. Andrew menargetkan dapat meningkatkan jumlah konsumen hingga 100 ribu toko sampai akhir tahun ini.

market-stall-4659219_1280

Kategori produk juga diperluas tidak hanya untuk brand prinsipal dari FMCG saja, tapi juga obat over the counter (bebas dijual tanpa resep dokter), personal care, alat tulis, dan sebagainya.

“Karena platform digital supply chain yang kita bangun ini, solusinya tidak hanya applicable buat FMCG saja, tapi buat brand prinsipal lainnya dari kategori yang lain.”

Guna ekosistem lainnya, Bizzy segera merilis Truckway dan Bizzy Field Force (BFF) untuk melengkapi Bizzy Logistics. Semua layanan ini berbasis aplikasi digital namun tujuan penggunannya punya target masing-masing.

Misalnya buat Truckway digunakan oleh pelaku logistik atau distributor yang punya armada bus untuk permudah perencanaan rute pengantaran barang ke toko kelontong agar lebih efisien.

Sedangkan BFF untuk bantu tenaga pemasar dari perusahaan distribusi saat site visit ke toko kelontong mana saja yang harus didatangi dan barang apa yang bisa mereka jual. Kedua aplikasi ini sudah bisa diunduh di Google Play dan App Store, namun belum diresmikan karena masih dalam tahap iterasi dan pengembangan.

“Karena ujung-ujungnya kita mau bantu prinsipal memasok barang secara efisien ke konsumen minus one. Nah itu butuh perusahaan distribusi yang kebanyakan masih tradisional dalam menjalankan bisnisnya, jadi nggak efisien.”

Dari keseluruhan rencana bisnis Bizzy yang akan dilakukan tahun ini, juga akan menyentuh unsur finansial untuk bantu toko kelontong permudah dapat modal usaha. Andrew mengatakan pada kuartal III ini, perusahaan akan bekerja sama dengan perbankan untuk merealisasikannya.

“Kita ingin gaet bank yang benar-benar fokus ke pembiayaan UMKM karena punya bunga yang kompetitif dan bisa dorong pemilik toko berkembang. Nanti ada algoritma transaksi mereka di Bizzy untuk menentukan mana yang layak secara profil risiko untuk diberikan kredit usaha.”

Saat ini transaksi di Tokosmart menggunakan opsi bayar tunai, bank transfer, kredit yang dapat dibayar dua minggu kemudian, dan LinkAja. “Bulan depan (Februari) mau tambah opsi dengan pemain digital wallet yang lain seperti Ovo dan GoPay,” tutup Andrew.

Ralali dan Futuready Sasar Pasar Asuransi B2B untuk UMKM

Ralali resmi mengumumkan kerja samanya dengan Futuready pada Selasa ini. Lewat kerja sama tersebut, Ralali dan Futuready mematok target 1 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebagai nasabah asuransi B2B, hingga akhir tahun depan.

“Itu target akhir. Target awalnya 10.000-20.000 dari jumlah UMKM yang ada sudah bisa merasakan asuransi tersebut, tapi tetap target akhirnya 1 juta,” ujar SVP of Financial Business Ralali, Alvin Aulia Akbar.

Penyediaan produk asuransi untuk UMKM menjadi fokus Ralali dalam kerja sama ini. Pertama-tama hal ini tak lepas dari jumlah pengusaha UMKM yang berkisar 60 juta lebih. Sebagian kecil atau tepatnya 8 persen dari jumlah itu belum memanfaatkan layanan digital.

Alvin melanjutkan dalam produk ini UMKM mana pun bisa bergabung dengan membeli produk asuransi mulai dari harga Rp5.000 per bulan. Namun dari sekian banyak UMKM yang ada, mereka mengaku masih berfokus ke UMKM seperti warung, restoran, kafe, hingga toko elektronik.

“Dua segmen ini yang paling potensial di Indonesia, paling tidak ada 5 juta untuk kedua segmen ini,” imbuhnya.

Selain jenis-jenis usaha tersebut COO Ralali Alexander Lukman mengatakan pihaknya juga mempersilakan bagi para pelaku UMKM yang beroperasi mengandalkan gerobak. Dengan asuransi dari Futuready ini, Alex meyakini UMKM dapat terlindungi dari risiko-risiko tak terduga seperti huru-hara, banjir, hingga pemadaman listrik.

“Mungkin tidak semuanya, tapi setidaknya sekitar 70-80 persen bisa ter-cover,” ungkap Alex.

Ada sejumlah faktor yang membuat Ralali dan Futuready yakin produk asuransi mereka dapat dilirik oleh pelaku UMKM. Selain harga yang terjangkau, mereka mengandalkan Big Agent milik Ralali.

Big Agent yang merupakan agen lepas dengan sistem komisi yang melaksanakan tugas promosi, akuisisi, dan survei pasar. Sebanyak 300.000 agen yang biasanya terdiri dari mahasiswa, karyawan, hingga pengemudi ojek online, di seluruh Indonesia inilah yang nantinya memberi pengertian kepada pemilik UMKM untuk melindungi usahanya yang mayoritas merupakan single-income business.

“Mungkin sudah ada rumah toko yang bisa diasuransi. Tapi ini gerobak dan saya kira ini belum ada sebelumnya padahal kita tahu sendiri banyak sekali gerobak UMKM di Indonesia. Makanya untuk aksesibilitas kita mengandalkan Big Agent,” aku Head of Corporate Business Futuready, Gretel Griselda.

Setidaknya ada tiga jenis asuransi yang ditawarkan oleh Ralali dan Futuready ini. Mereka adalah Asuransi Fire yang ditujukan pemilik properti usaha bergerak seperti gerobak, Asuransi Pendidikan untuk melindungi pendidikan anak pemilik usaha, dan Asuransi Perlindungan Bisnis yang dapat membantu pemilik bisnis tetappunya pemasukan meski usaha sedang tidak beroperasi.

Rencana Tahun Depan

Produk asuransi baru ini memantapkan upaya Ralali membangun ekosistem pengembangan bisnis UMKM di platform mereka yang terdiri dari pembayaran, pinjaman, investasi, dan asuransi.

Alex tak menutup kemungkinan tahun depan akan ada perluasan keempat hal tadi dengan menyediakan infrastruktur logistik B2B di platform mereka. Hal ini memungkinkan bagi mereka dengan kembali menggandeng sejumlah penyedia jasa logistik pihak ketiga maupun pengiriman kargo bisnis.

Di samping itu, Ralali juga membuka kemungkinan membuka layanan gudang di platform mereka. Caranya dengan menggandeng mitra startup yang sudah bermain di sektor tersebut

“Saat ini kami sudah ekspansi di 35 kota, per akhir tahun ini akan di 55 kota. Di sana kami akan bangun fulfilment center. Lagi-lagi ini kan industri 4.0, ngakunya punya gudang tapi bukan punya kita. Kita kerja sama dengan mitra di kota tersebut agar bisa melayani lebih cepat dan lebih murah,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Bangun Ekosistem Khusus Bisnis, Bhinneka Garap Pasar B2B2B

Pionir situs e-commerce Bhinneka mengungkapkan tengah memperdalam fokusnya dengan menggarap segmen baru b2b2b, tujuannya agar terus menjadi pemain e-commerce b2b terdepan di Indonesia. Perubahan fokus ini baru terjadi sejak awal Oktober ini dan ke depannya akan banyak pengembangan situs utama mereka.

GM of Acquisition Bhinneka Shri Prabu Adityawarman menerangkan, tujuan perusahaan mengambil keputusan ini karena ingin membuat ekosistem bisnis yang menyeluruh. Semua orang bisa berbisnis dengan berjualan dan membeli produk dari dan ke Bhinneka.

“Kebanyakan [pemain e-commerce di Indonesia] mainnya di ritel, tapi kita fokusnya di bisnis. Jadi inget mau bisnis, mau penjualan atau pembelian ingatnya Bhinneka,” terangnya kepada DailySocial.

Melalui konsep b2b2b ini, antar merchant bisa saling membeli produk di dalam ekosistem. Misalnya, ada perusahaan yang menjual jasa training di Bhinneka, mereka bisa membeli gadget untuk kebutuhan kantor lewat Bhinneka juga.

Tidak hanya menyediakan produk teknologi informasi, Bhinneka juga merambah kategori baru agar dapat menjangkau seluruh aspek kebutuhan korporat dan UKM, seperti MRO (maintenance, repair, overhaul) dan jasa untuk pelatihan karyawan, konsultasi finansial, riset pasar, interior design, edukasi, dan sebagainya.

“Kita mau semua jenis merchant bisa masuk karena potensi UMKM ini besar kan. Jadi kita coba fokus ke sana juga, enggak main di korporasi besar saja.”

Pada fase berikutnya, setelah banyak merchant dari berbagai kategori masuk, Bhinneka akan membuat produk bundling yang eksklusif tersedia di platform mereka. Nilai tambah lainnya, merchant bisa terhubung dengan rekanan fintech, seperti Home Credit, Kredivo, dan Kredit Plus untuk bantuan modal usaha.

Prabu menyebut saat ini perusahaan memiliki 500 ribu konsumen, sekitar 40 ribu di antaranya adalah konsumen b2b. Mereka datang dari berbagai industri, seperti manufaktur, IT, startup, universitas, farmasi, FMCG, dan masih banyak lagi.

Bhinneka juga memiliki eksistensi yang kuat di B2G, menyediakan pengadaan e-katalog LKPP untuk pemerintahan. Dalam melayani konsumen ini, perusahaan menyediakan dedicated account manager.

Diklaim monthly revenue dari b2b tumbuh signifikan dari Januari 2013 sampai Juni 2018, yang mencapai 369% dengan total SKU yang dimiliki mencapai lebih dari 450 ribu buah.

Saat ini rata-rata pengguna bulanan ke situs Bhinneka mencapai lebih dari 5 juta orang. Sebanyak 3,5 juta orang datang dari aplikasi, sisanya dari desktop. Kompetitor terdekat mereka termasuk Ralali, Bizzy, Mbiz, Indotrading, Monotaro, dan RupaRupa.

Application Information Will Show Up Here