BRI Luncurkan Aplikasi “Pinang”, Mudahkan Nasabah Ajukan Pinjaman Secara Online

Setelah melakukan uji coba, Bank Rakyat Indonesia (BRI) akhirnya merilis secara resmi aplikasi Pinang (Pinjam Tenang) kepada masyarakat umum. Aplikasi yang baru tersedia di platform Android ini menyediakan pilihan pinjaman dengan angsuran ringan untuk nasabah.

Produk BRI Agro ini diklaim bisa digunakan oleh nasabah untuk mengajukan permohonan pinjaman tanpa agunan secara sederhana, tanpa proses rumit. Beberapa pinjaman yang bisa dipilih oleh nasabah adalah biaya pengobatan, sekolah, keperluan rumah tangga dan renovasi rumah.

Selain itu Pinang juga menggunakan teknologi face recognition dan digital signature untuk memudahkan pengguna melakukan pengajuan tanpa harus datang ke bank. Jika disetujui, nasabah bisa meminjam tanpa agunan dengan limit mulai dari Rp500 ribu hingga Rp20 juta. Tenor mulai dari 1 hingga 12 bulan dengan metode pembayaran yang fleksibel. Angsuran dapat dibayar melalui transfer/ATM maupun melalui agen Pinang.

Nasabah yang dapat menggunakan Pinang adalah nasabah yang ber-payroll di Bank BRI atau Bank BRI Agro. Proses repayment kredit nasabah tersebut dapat dilakukan dengan cara autodebit dari rekening payroll setiap bulannya. Belum diketahui lebih lanjut apa alasan BRI meluncurkan layanan yang konsepnya serupa dengan fintech lending yang saat ini makin menjamur jumlahnya di Indonesia.

Menjamin keamanan pinjaman nasabah

Meskipun memiliki cara kerja dan persyaratan yang serupa dengan layanan fintech lending, Pinang dari BRI mengklaim memiliki perbedaan yang signifikan. Salah satunya dikelola oleh institusi keuangan berupa bank dalam negeri (BRI Agroniaga) yang telah terdaftar dan secara ketat diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sehingga dari sisi keamanan data nasabah akan lebih terawasi dan terjaga dengan baik mengingat perbankan merupakan institusi keuangan yang diawasi dan diatur secara ketat oleh OJK.

Selama ini BRI cukup aktif menghadirkan inovasi terkini memanfaat teknologi. Di antaranya adalah merilis chatbot Sabrina.

Application Information Will Show Up Here

BCA Tambah Fitur Keyboard untuk Aplikasi BCA Mobile

BCA menambah fitur widget keyboard untuk nasabah mobile banking guna permudah transaksi perbankan tanpa harus bolak balik buka aplikasi. Pembaruan fitur ini diumumkan tidak berselang jauh dari Jenius yang melakukan inovasi serupa.

Untuk memanfaatkan widget ini, nasabah cukup mengaktifkannya lewat aplikasi BCA Mobile. Kemudian, nasabah diarahkan untuk memilih BCA Keyboard sebagai keyboard utama di smartphone. Ketika sudah aktif, nasabah bisa mulai bertransaksi cukup dengan mengklik logo BCA di bagian kiri bawah keyboard.

Nasabah bisa melakukan transaksi perbankan, mulai dari cek saldo, transfer ke rekening BCA atau virtual account, dan cek mutasi rekening. Bukti transaksi dapat dibagikan dengan mudah, tanpa nasabah harus screenshot atau copy paste teks.

Sayangnya belum tersedia pilihan transfer ke rekening bank lain, kemungkinan bakal tersedia di pembaruan berikutnya. Untuk menjamin keamanan transaksi, nasabah tetap dibutuhkan untuk memasukkan kode akses yang biasa harus diisi setiap kali bertransaksi.

Sebelumnya, BCA menghadirkan fitur QR Code “QRku” untuk permudah transfer dana antar nasabah BCA (p2p payment). Direktur BCA Santoso Liem menjelaskan, QR yang dihasilkan QRku hanya sebagai identitas unik yang menggantikan nomor rekening. Nasabah tidak perlu memasukkan PIN tabungan saat mentransfer dana. Proses pun jadi jadi lebih cepat tanpa harus pencet banyak tombol.

Baru-baru ini, BCA juga meresmikan OneKlik untuk permudah transaksi di situs e-commerce. Ada Blibli, Shopee, dan Bukalapak yang siap menerima pembayaran via OneKlik. Go-Pay juga hadir untuk permudah top up saldo dalam aplikasi Gojek.

Application Information Will Show Up Here

McKinsey: Penetrasi Keuangan Digital Melesat 58%, Sementara Fintech Baru 5%

Survei McKinsey & Company menyebut penetrasi keuangan digital Indonesia mencapai 58% di tahun 2017. Sementara penetrasi fintech baru 5% di tahun yang sama. Artinya orang Indonesia masih lebih menyukai produk bank, namun pada saat yang sama produk fintech memiliki ruang besar untuk tumbuh.

Padahal penetrasi keuangan digital pada 2014 baru mencapai 36%. Sehingga tercatat kenaikan hingga 1,6 kali lipat dalam tiga tahun. Perkembangan ini dinilai terjadi karena masifnya jumlah kepemilikan smartphone.

Alhasil, McKinsey menobatkan Indonesia sebagai negara dengan penetrasi keuangan digital tercepat dari 17 negara yang disurvei. Adapun negara lain yang disurvei di antaranya Tiongkok, India, Korea Selatan, Jepang, Asia Tenggara, sampai Australia. Ada 17 ribu responden yang diambil sebagai sampelnya, termasuk diantaranya 900 responden dari Indonesia.

“Indonesia bergerak paling cepat di antara negara Asia di seluruh kategori, baik internet banking, smartphone, dan digital secara keseluruhan,” terang Partner McKinsey Indonesia Guillaume de Gantes, kemarin (11/2).

Dari paparannya, jumlah pengguna smartphone di Indonesia mencapai 124 juta menempati urutan ketiga di Asia Pasifik, setelah Tiongkok dan India. 74% di antaranya adalah pengguna Android.

Lalu, jumlah pengguna internet mencapai 133 juta atau 51% dari total populasi. Sebanyak 106 juta orang Indonesia atau 40% dari total populasi memiliki akun Facebook dan 41% pengguna smartphone telah melakukan belanja online.

Penetrasi fintech rendah

Kendati demikian, sambung Gantes, skor Indonesia masih cukup rendah yakni 36 dari skala 100. Hal ini karena ekosistem digital yang belum matang seperti Singapura dan Korea Selatan. Tercermin dari salah satu indikasinya penetrasi produk keuangan non bank atau fintech yang baru 5%.

Angka ini jauh di belakang negara tetangga seperti Singapura (48%), Filipina (23%), Australia (17%), Vietnam (16%), Malaysia (15%), Thailand (10%), dan Myanmar (6%). Gantes menilai rendahnya penetrasi ini lantaran orang Indonesia masih menyukai transaksi tunai ketimbang non tunai.

Oleh karena itu, menurutnya Indonesia butuh beberapa tahun lagi untuk mencapai dua digit melampaui negara tetangga. Di Tiongkok, penetrasi fintech yang tinggi karena kehadiran Alipay dan WeChat sebagai pendukung skema pembayarannya.

“Di sana, ritelnya sangat masif mengadopsi fintech. Bank pun pada akhirnya beralih ke digital.”

Dia memprediksi skema penetrasi fintech di Indonesia akan lebih hybrid. Jadi, masyarakat akan tetap menggunakan bank dan layanan fintech. Pun demikian transaksi dengan uang tunai, meski secara signifikan akan beralih seperti India.

Partner McKinsey Indonesia Bruce Delteil menambahkan penetrasi fintech di tiap negara itu berbeda karena dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, melihat dari seberapa dalam penetrasi digitalnya. Berikutnya, seberapa besar ketergantungan masyarakat terhadap uang tunai. Terakhir, proporsi produk digital yang tersedia.

Adapun, saat ini ketersediaan produk fintech masih didominasi oleh berbasis sistem pembayaran dan tabungan. Semakin mendalamnya variasi produk fintech tentunya akan mendorong tingkat penetrasi. Diprediksi produk yang berbasis pinjaman dan asuransi bakal memiliki panggung di Indonesia.

Perilaku mengonsumsi suatu produk dipengaruhi oleh aspek komunitas yang kental di Indonesia. Menurut Gantes, orang Indonesia akan memilih menggunakan produk setelah mendapat validasi dari orang terdekat atau lingkungan sosialnya.

“Kalau di Tiongkok, orang lebih cenderung eksperimen. Sementara di Indonesia ada pengaruh aspek komunitasnya. Itulah mengapa Indonesia tumbuh begitu cepat.”

Dorong kolaborasi

Dari kedua hal di atas, McKinsey menyoroti perlunya kolaborasi antara kedua belah pihak untuk saling memanfaatkan peluang yang besar dalam dunia digital. Teknologi yang dimiliki pemain fintech bisa dimanfaatkan untuk menjangkau nasabah terdalam yang selama ini sulit di jangkau bank.

Bank pun dapat memanfaatkan data yang dikumpulkan pemain fintech untuk membaca tingkat risikonya. Kolaborasi seperti ini pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak. Kondisi ini beda dengan Tiongkok, di mana kehadiran pemain fintech besar yang akhirnya banyak diadopsi oleh peritel membuat bank akhirnya beralih ke digital.

Di satu sisi, laporan ini juga menyoroti dorongan bank untuk lebih masif mengadopsi digital dan mengakuisisi nasabah baru. Berkaitan dengan hal tersebut, McKinsey menemukan bahwa konsumen digital itu dianggap lebih loyal dalam membeli produk perbankan daripada tipe konsumen pada umumnya. Mereka aktif membeli produk perbankan dua kali lebih banyak pada 2017 dibandingkan konsumen non digital sebesar 1,5 kali lipat.

Menariknya, 55% konsumen non digital menyatakan kemungkinan untuk menggunakan perbankan digital dalam enam bulan ke depan. Angka ini tertinggi ke-2, setelah Myanmar untuk negara berkembang manapun di kawasan Asia. Responden juga menyatakan bahwa mereka akan mengalihkan 25% hingga 50% saldo mereka dari rekening bank ke aplikasi digital, meski kantor cabang tetap dianggap penting.

BCA Launches “OneKlik” Online Payment Service

BCA officially launches OneKlik as an online payment solution in merchant app. Previously, this service was established [pilot] in early 2018 partnering with Blibli.

“Public is now in high demand for online shopping, through our latest innovation, OneKlik, we believe to increase public convenience in making online payment,” Armand Hartono, BCA’s Vice President Director said.

He defines OneKlik as an Application Programming Interface (API-based) innovation to complete another BCA API features, such as online transfer, balance inquiry, account mutation, virtual account, and others.

Since its establishment in early 2017, BCA’s API has been claimed by around 400 business client with major users working in fintech and e-commerce industry.

The company will focus the business clients with the highest transaction as OneKlik partners for beginning. Currently, there are only four partners, Shopee, Bukalapak, Blibli, and Go-Pay.

“We want to approach partners with the highest transaction [using BCA] for beginning,” Henry Koenaifi, BCA’s Director explained.

Henry avoid to mention any further detail related to the target revenue the company can gain from its latest service.

OneKlik is a solution that allows customers to pay at merchant in one click away. They only have to register the funding source from BCA debit card, set the daily shopping limit (currently up to Rp1 million), and input the OTP.

Later, OneKlik can directly be used for payment. There’s no need to re-enter OTP while making payment. When the payment screen popped up, select OneKlik, and it’s done.

Although OTP is no longer needed, BCA ensures OneKlik’s layered security. One funding source can only connect to one merchant app, and one account can only connect to one funding source.

In terms of daily transaction, it is limited to avoid overshopping, and keep the account safe from irresponsible parties.

On the same occasion, participated also Chris Feng as Shopee’s CEO. He explained, OneKlik is a company’s commitment to improve platform’s performance by making new innovation for customers. Including to intensify partnership to offer various payment options.

“Shopee is welcome to the collaboration with BCA in the latest payment method launching, OneKlik. We look forward to the next event in providing more options and easy shopping for all Shopee users,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BCA Resmikan Layanan Pembayaran Online “OneKlik”

BCA meresmikan kehadiran OneKlik sebagai solusi pembayaran online di aplikasi merchant. Sebelumnya layanan ini sudah hadir secara pilot sejak awal 2018 dengan menggandeng Blibli.

“Sekarang minat masyarakat sangat tinggi untuk belanja online, melalui inovasi terbaru kami OneKlik, kami yakini dapat menambah kenyamanan masyarakat dalam melakukan pembayaran belanja online,” terang Wakil Presiden Direktur BCA Armand Hartono, Rabu (9/1).

Menurutnya, OneKlik adalah inovasi berbasis Application Programming Interface (API) yang melengkapi fitur API BCA lainnya, seperti online transfer, informasi saldo, mutasi rekening, virtual account, dan lainnya.

Sejak diluncurkan pada awal 2017, API BCA diklaim telah dimanfaatkan sekitar 400 nasabah bisnis dengan mayoritas penggunanya bergerak di bidang fintech dan e-commerce.

Perusahaan akan memfokuskan nasabah bisnis dengan transaksi tinggi sebagai mitra OneKlik untuk tahap awal. Saat ini baru ada empat mitra, yakni Shopee, Bukalapak, Blibli, dan Go-Pay.

“Kami mau sasar mitra dengan transaksi [menggunakan BCA] yang tertinggi untuk tahap awal,” tambah Direktur BCA Henry Koenaifi.

Henry enggan membeberkan lebih detail terkait target pendapatan yang bisa diraup perusahaan lewat kehadiran layanan teranyarnya ini.

OneKlik merupakan solusi yang memungkinkan nasabah membayar di merchant dalam satu kali klik. Nasabah cukup registrasi sumber dana dari kartu debit BCA, menentukan limit belanja harian (saat ini maksimal Rp1 juta), dan memasukkan OTP.

Setelahnya, OneKlik dapat langsung digunakan untuk bayar belanja. Saat hendak membayar, nasabah tidak perlu memasukkan kembali kode OTP. Begitu masuk ke layar pembayaran, pilih OneKlik, dan transaksi selesai.

Kendati sudah tidak butuh OTP, BCA menjamin keamanan OneKlik sudah berlapis. Satu sumber dana hanya dapat terhubung ke satu aplikasi merchant, dan satu akun merchant hanya dapat terhubung ke satu sumber dana.

Pun dari sisi limit harian transaksi juga dibatasi demi mencegah dampak yang terlalu dalam, serta menjaga akun dari penyalahgunaan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir CEO Shopee Chris Feng. Dia menerangkan inovasi OneKlik adalah bentuk komitmen perusahaan untuk meningkatkan platform dengan terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan para pengguna. Termasuk memperkuat kerja sama dengan mitra untuk menawarkan berbagai opsi pembayaran.

“Shopee menyambut baik kolaborasi bersama dengan BCA dalam peluncuran metode pembayaran terbaru melalui OneKlik. Kami menantikan kerja sama berikutnya dalam menyediakan lebih banyak pilihan serta kemudahan berbelanja bagi pengguna Shopee,” ujar Chris.

Mendalami Masalah Utama Inklusi Finansial di Indonesia

Penetrasi layanan keuangan di Indonesia, terutama layanan perbankan, dinilai masih cukup rendah, jika dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia. Merujuk pada hasil riset OJK di tahun 2016 tentang literasi finansial, di Indonesia angkanya mencapai 29,6%. Sementara itu untuk indeks inklusi finansial mencapai 67,8% di tahun 2016. Pemerintah sendiri menargetkan minimal 79% di tahun 2019 mendatang.

Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh. Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, CXGO Consulting melakukan sebuah riset terpadu dan mempublikasikannya dalam laporan “Financial Inclusion: Is it truly about access?”.

Masalah akses

Berdasarkan data yang didapat OJK, mereka menyimpulkan bahwa ada dua hambatan inklusi finansial di Indonesia. Pertama ialah pada akses ke layanan atau produk finansial. Kemudian yang kedua pada produk finansial itu sendiri, belum mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat (yang saat ini unbankable).

Beberapa program terus digencarkan untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat pada layanan finansial. Bank Indonesia dan OJK memprioritaskan pada tiga aspek utama dalam programnya: keagenan, digitalisasi KYC (Know Your Customer — mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan), dan melakukan penyesuaian produk perbankan.

Selain oleh institusi perbankan, menariknya tiga aspek tersebut ditangkap baik oleh para inovator teknologi. Startup fintech yang bermunculan mencoba memberikan layanan yang lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbankable. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, p2p lending, dan non-productive loan.

E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.

P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur. Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM.

Gambaran masyarakat unbankable di Indonesia

Survei CXGO Consulting menanyakan langsung kepada masyarakat dan menemukan beberapa realitas tentang tanggapan penggunaan layanan keuangan perbankan. Seperti salah satunya diungkapkan oleh Daenuri (25) yang bekerja sebagai petugas keamanan. Alasan utama ia membuka rekening bank ialah untuk menampung gaji bulanan. Secara personal, ia tidak pernah dan tidak nyaman menggunakan layanan perbankan. Bahkan jika diperbolehkan ia akan memilih mendapatkan pembayaran gaji secara tunai.

Dua responden lain yang diwawancara secara langsung, Lila (24) dari Ciledug dan Rofiq (28) dari Jakarta Timur, mengungkapkan tidak pernah menggunakan layanan perbankan karena tidak membutuhkan. Keduanya juga lebih memprioritaskan penuntasan kebutuhan secara tunai. Hal menarik yang diungkapkan justru pada kekhawatiran soal biaya layanan perbankan itu sendiri, yang harus memotong saldo yang ada secara bulanan.

Secara umum wawancara langsung terhadap masyarakat yang masuk dalam kategori unbankable menghasilkan pola berikut ini:

Gambar 1

Terhadap layanan perbankan, persepsi dan pemahaman mereka khususnya tentang layanan pinjaman terganjal pada beberapa hal, meliputi isu kepercayaan, biaya operasional, dan proses adopsi. Solusinya mereka membutuhkan beberapa hal:

  • Informasi yang lebih jelas tentang biaya bulanan dan minimal tabungan yang harus ada dalam rekening.
  • Dapat diperiksa kapan saja dan dari mana saja.
  • Dapat menyimpan dan mengambil uang dengan jumlah kecil, di bawah 50 ribu Rupiah.
  • Proses pendaftaran yang mudah dengan biaya bulanan yang kecil.

Kemudian untuk layanan peminjaman persepsi negatif mereka terdapat pada beberapa hal, yakni isu relevansi, tenor dan sistem pembayaran, dan proses penagihan. Mereka merasa tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan peminjaman di bank, selain beranggapan bahwa bunga yang dibebankan terlalu besar. Persepsi lain soal debt-collector, yang dianggap akan selalu menghantui dan melakukan penagihan secara paksa. Beberapa solusi yang dibutuhkan meliputi:

  • Pinjaman dengan jumlah, tenor, dan sistem pembayaran yang bisa disesuaikan.
  • Proses yang mudah dan cepat.
  • Jaminan fleksibel (atau tanpa jaminan). Garansi dan verifikasi berdasarkan pengakuan sosial dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan

Berdasarkan temuan yang ada, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama harus dipahami, kendati mereka tidak akrab dengan layanan perbankan, tidak semata-mata buta dengan kemajuan digital. Penggunaan ponsel pintar sudah sangat erat di masyarakat, sehingga produk finansial sebenarnya bisa mengoptimalkan kultur tersebut untuk menciptakan layanan yang lebih sederhana dan praktis. Dengan transparansi, isu kepercayaan harusnya dapat diselesaikan. Pengguna sebenarnya hanya membutuhkan detail yang sederhana tentang informasi uang yang disimpan.

Dengan rendahnya aspek literasi di kalangan unbankable, menantang para penyedia layanan untuk menghadirkan solusi tepat guna yang mudah “dibaca”. Model keagenan yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengganti unit perbankan akan sangat membantu proses sosialisasi dan adopsi. Institusi non-formal seperti pemain fintech juga akan berpengaruh besar di sini, sehingga dibutuhkan integrasi dan kerja sama untuk antar pemain finansial untuk jangkauan pasar yang lebih menyeluruh.

Unduh laporan CXGO Consulting tentang inklusi finansial masyarakat Indonesia secara gratis melalui tautan ini:


Disclosure: artikel ini adalah hasil kemitraan DailySocial dan CXGO Consulting

Ramai-Ramai Mengembangkan Chatbot

Industri perbankan menjadi sasaran berikutnya yang ‘terganggu’ dengan kehadiran teknologi. Perkembangan teknologi yang tidak terbendung, mau tak mau tidak bisa dilawan, tapi harus jadi kawan.

Inilah yang terjadi ketika bank dihadapi dengan salah satu perkembangan teknologi terkini, chatbot. Sebuah robot yang diprogram untuk membalas pesan dibantu dengan kecerdasan buatan agar percakapan terasal lebih natural. Dari sana, lahirlah Vira (BCA), Cinta (BNI), Mita (Bank Mandiri), dan Sabrina (BRI).

Dalam mengembangkan chatbot, bank tidak harus bekerja keras sendiri, bisa gandeng startup yang spesialis di bidangnya. Ada Kata.ai, Bang Joni, Sprint Asia, Botika, Eva, dan lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh BRI dengan gandeng Kata.ai, Bank Mandiri dengan InMotion, BNI dengan Bang Joni.

Pertimbangannya, tren yang terjadi saat ini melakukan kegiatan perbankan sekarang tidak harus lagi harus datang ke cabang tapi bisa lewat ponsel saja tanpa harus unduh aplikasi tambahan apapun. Cukup pakai aplikasi chat messaging atau sosial media yang dipakai untuk bisa akses layanan bank.

Perlu diketahui, pada dasarnya fungsi chatbot digolongkan ke dalam dua kategori, yakni otomasi percakapan dan kebutuhan fungsional. Untuk otomasi percakapan umumnya sering diimplementasikan oleh pedagang online demi meningkatkan interaksi secara kontinu dengan konsumennya.

Sedangkan kebutuhan fungsional, umumnya dirancang secara spesifk dengan melibatkan fitur lain yang kompleks seperti API khusus, otomatisasi pembayaran dan lainnya.

Untuk tahap awal fungsi chatbot yang dihadirkan keempat perbankan tersebut masih menjalankan fungsi customer service yang ada di lapisan pertama. Bertugas membantu jawab pertanyaan yang sifatnya umum dan repetitif.

Dari fungsinya tersebut, chatbot jadi manuver bank bagaimana menjadikan selayaknya saat nasabah menghubungi CS, yang mana bisa dihubungi kapan saja, tutur bahasa yang ramah, dan dapat diandalkan.

Tidak menutup kemungkinan bank lainnya akan menyusul hal serupa seperti yang dilakukan keempat bank besar ini. Mengapa belakangan bank ramai-ramai lirik peluang dari chatbot?

CEO Sprint Asia Technology Setyo Harsoyo punya jawabannya. Menurutnya, pada dasarnya semua perusahaan termasuk bank ingin meningkatkan engagement dengan para customer-nya. Banyak cara yang sudah dilakukan, seperti lewat situs, call center, email, SMS, dan lainnya.

Kemudian lahirnya teknologi chatbot yang berbeda dari semua channel di atas. Dengan chatbot, nasabah dari suatu bank dapat dengan mudah berhubungan dengan bank karena chatbot bisa melayani secara interaktif ribuan nasabah pada saat bersamaan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan call center.

“Misalnya untuk dapat melayani 1.000 nasabah pada saat bersamaan cukup dengan satu bot, sementara call center memerlukan 1.000 agen,” terang Setyo.

Menambahkan pernyataan Setyo, CEO Kata.ai Irzan Raditya menuturkan chatbot adalah salah satu pilihan strategis karena mereka menyadari tren yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Aplikasi messaging sudah jadi bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, hal tersebut jadi peluang untuk lebih mudah jangkau nasabah melalui akun chatbot di aplikasi messaging favorit mereka.

“Hal inilah yang menurut kami menjadi kelebihan chatbot di bandingkan aplikasi. Friksi dan upaya yang diperlukan dari nasabah untuk mengakses chatbot jauh lebih kecil dibandingkan meng-install aplikasi, buka situs, atau menelepon CS,” terangnya.

“Terlebih lagi, banyak dari bank tersebut telah berinvestasi di kanal media sosial mereka sebagai sarana marketing untuk menggaet ratusan ribu bahkan jutaan audiens. Maka dari itu chatbot hadir sebagai layanan yang memberikan nilai tambah bagi nasabah mereka dengan berbagai macam kegunaan,” sambung Irzan.

Chatbot adalah suatu keniscayaan

DailySocial pun mencoba menghubungi perwakilan keempat bank tersebut untuk mengutarakan pendapatnya. Semuanya sepakat bahwa chatbot adalah suatu keniscayaan yang sudah saatnya untuk diadaptasi lantaran harus mengikuti tren yang terjadi.

“Teknologi yang dipilih dan dikembangkan tentunya didasarkan atas kebutuhan nasabah dari bank. Kami menerapkan pola customer centric dan research yang memadai sebelum launching suatu produk. Kami pilih chatbot untuk jawab kebutuhan masyarakat yang semakin dinamik lewat digital channel,” ujar Direktur BRI Indra Utoyo.

General Manager E-Banking Division BNI Anang Fauzie menambahkan, “Orang spending waktu lebih banyak di aplikasi chat dan mereka lebih menyukai menerima info dan promo lewat media sosial atau aplikasi.”

Pun demikian bagi BCA, Direktur BCA Santoso bilang, “Adopsi terhadap suatu teknologi harus seirama dengan fokus kami yaitu memberikan pengalaman terbaik bagi nasabah.”

Oleh karenanya, BCA melihat chatbot mampu menyampaikan dengan baik tujuan tersebut. Menurutnya informasi yang disampai Vira tidak hanya terbatas untuk nasabah saja, masyarakat umumpun dapat menikmati informasi-informasi yang diberikan Vira.

Bagi Bank Mandiri, chatbot mampu menciptakan komunikasi dua arah seperti selayaknya menghubungi customer service. Sebelumnya perseroan sudah menggunakan social messaging seperti Line untuk promosi dan edukasi, namun sifatnya hanya satu arah, dan masyarakat tidak bisa berinteraksi lebih lanjut.

“Pada perkembangannya, layanan contact center digital Bank Mandiri melalui email dan media sosial telah mencapai 10% dari total interaksi nasabah ke CS,” ujar Senior VP Customer Care Group Bank Mandiri Lila Noya.

Lila melanjutkan, “Pada tahap awal, nasabah dapat berinteraksi melalui chatbot untuk memperoleh informasi tentang produk, layanan, program promosi, dan informasi finansial. Sebab sekitar 70% nasabah yang berinteraksi dengan CS permintaannya terkait hal tersebut.”

Investasi yang worth it

Sekalinya sudah terjun, tentunya bank tidak bisa mundur begitu saja dari chatbot ini. Apalagi implementasinya ini masih tahap awal. Begitupun bagi BNI, Anang bilang keputusan bank untuk terjun ke chatbot ini worth it dengan manfaat chatbot bagi pengembangan bisnis.

Pihaknya mengaku investasi IT akan terus berlanjut menyesuaikan dengan tren industri. Sayangnya Anang tidak menerangkan lebih detil soal nominalnya.

Santoso pun menddukung pernyataan Anang. “Pastinya dengan shifting dunia yang semakin digital, teknologi jadi komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam semua aspek kehidupan maupun dalam organisasi. Tentunya ini akan seiring dengan jumlah investasi IT yang akan dikeluarkan.”

“Kami melihatnya dari sisi efektifitas dan efisiensi layanan. Melalui chatbot, nasabah dapat lebih mudah berinteraksi dengan Bank Mandiri, sehingga bisa memperkuat loyalitas mereka yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan bisnis bank,” tutur Lila Noya.

Dari kacamata para pengembang, menurut Irzan, biaya pengembangan dan operasional chatbot sangat bervariasi, tergantung pada fitur yang ingin dihadirkan seiring ambisi bank ingin seberapa jauh teknologi AI dan machine learning yang ingin diimplementasikan. Termasuk pula pengaruh berapa banyak pengguna yang ingin disasar.

“Kami sendiri menagih biaya operasional chatbot berdasarkan penggunaan (berapa banyak pesan yang masuk, berapa pengguna yang mengajak ngobrol, berpaa lama sesi percakapan antara chatbot dengan pengguna).”

Berdasarkan pengalamannya, meski tidak tidak disebutkan nominalnya, jumlah investasi di chatbot tidak lebih mahal dari jumlah investasi IT yang biasa dihabiskan oleh perusahaan besar.

Sementara bagi CEO Bang Joni Diatche Harahap, biaya untuk pembuatan chatbot sekarang sudah relatif turun tapi tergantung sistem dan kegunaan apa yang akan dilakukan. Bahkan, di dalam platformnya, biaya pembuatannya sangat terjangkau, relatif tanpa harus lewati proses coding, kecuali untuk fitur yang dikostumisasi untuk spesifik perbankan.

Setyo Harsoyo turut berpendapat, “Biaya sangat relatif, tergantung dibandingkan dengan apa? Jika dibandingkan dengan biaya pengadaan dan pengelolaan call center jelas lebih murah.”

Kendati dianggap sebagai investasi yang worth it, masih ada kekurangan yang dirasa oleh para pemain. Lila Noya berpendapat, meski perekaman data melalui Mita sangat mudah dan dapat jadi bahan evaluasi untuk meningkatkan layanan kepada nasabah dan internal kontrol.

Akan tetapi, pengembangan sistem bot untuk dapat merespons permintaan nasabah yang kompleks masih membutuhkan waktu yang relatif lama.

Senada, Anang Fauzie melihat pengkayaan kosa kata sangat menantang karena akan sangat variatif cara orang bertanya dan berbahasa. Namun hal tersebut bisa diakali dengan mengoptimalkan kecerdasan buatan untuk pelajari bahasa, agar ia semakin pintar deteksi bahasa.

 

Teknologi baru, tantangan baru

Irzan Raditya memahami karena masih implementasi tahap awal, kemampuan chatbot yang diterapkan bank di Indonesia tergolong cukup terbatas. Banyak sekali pengembangan yang perlu dilakukan untuk memastikan chatbot memiliki fungsionalitas sekaya aplikasi atau situs.

Saat ini, sambungnya, tantangan utama untuk chatbot yang diimplementasi di kanal media sosial adalah keamanan data. Ketika chatbot merambah fitur transaksi (core banking), opsi terbaik untuk melakukannya adalah lewat aplikasi atau situs milik bank tersebut.

“Maka dari itu mayoritas chatbot yang ada saat ini masih terfokus di fungsi-fungsi komplementer, seperti CS, cari promo kartu kredit/debit, cari ATM terdekat, cari tahu soal produk, daftar kartu kredit, dan gimmick marketing lainnya. Namun kami yakin di masa yang akan datang, chatbot akan bisa mencapai fungsionalitas lebih baik dari sisi teknologinya.”

Ditambah pula, dari sisi teknis mengenai keamanan data, bank tidak diperkenankan untuk menyimpan data nasabah di server eksternal atau cloud. Semua data dan sistem teknologi harus tersimpan di server milik mereka sendiri (on premise).

Dampaknya, terletak pada biaya investasi yang perlu mereka keluarkan saat mencoba mengimplementasikan teknologi baru karena harus bangun infrastruktur teknologi mereka sendiri. Namun di sisi lain, bank hanya akan berinvestasi pada teknologi yang sudah terjamin mengingat kerumitan yang harus mereka hadapi saat implementasi teknologi baru.

“Dengan berlomba-lombanya bank di Indonesia eksplorasi chatbot, ini menunjukkan chatbot bukan lagi sekadar eksperimen teknologi. Tapi sudah jadi sebuah pilihan teknologi yang strategis untuk proses bisnis mereka.”

Di samping itu, tantangan lainnya yang masih harus dihadapi bank saat implementasi teknologi baru adalah soal regulasinya. Menurut Diatche Harahap, regulasi bank terkesan sangat terlambat untuk mengikuti perkembangan teknologi chatbot dengan AI.

Dia mencontohkan, untuk regulasi pembukaan rekening dan transaksi. Saat ini setelah hampir setahun, tak kunjung ada restu dari regulator padahal kebutuhan utama dari chatbot adalah regulasi yang mendukung.

“Regulasi adalah tantangan terbesar, bukan hanya data,” kata Ache, panggilan akrab Diatche.

Selalu membutuhkan sentuhan manusia

Kendati chatbot adalah robot yang menyerupai manusia, namun perbankan memastikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan sentuhan manusia yang nyata dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

“Sampai saat ini, kami belum melihat bahwa robot akan menggantikan manusia 100%. Akan selalu dibutuhkan sentuhan manusia dalam setiap teknologi. Apalagi untuk jenis usaha finansial seperti bank,” kata Santoso.

Bagi bank, berhubungan dengan nasabah secara langsung merupakan sesuatu yang sangat penting. Teknologi atau robot dalam hal ini akan membuat beberapa hal lebih efisiens dan lebih cepat (responsif), baik dari sisi perusahaan maupun nasabah.

Diungkapkan bahwa manusia memiliki unsur relationship yang tidak dapat tergantikan oleh robot. Anang Fauzie menambahkan, chatbot jadi alat untuk bantu dan melengkapi layanan, bukan untuk menggantikan penuh tenaga manusia.

Chatbot, menurutnya, akan membantu tim melayani hal-hal yang simpel namun banyak sekali dibutuhkan atau ditanyakan. Dengan demikian SDM bisa lebih fokus untuk pekerjaan yang lebih kompleks, sehingga tidak menyita waktu mereka.

“Sebagian layanan yang tidak bisa direspon via chatbot misalnya, yang sifatnya konsultatif maka tetap membutuhkan kehadiran layanan manusia,” ucap Indra Utoyo.

Masa depan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina

Tak hanya berguna untuk meringankan beban pekerjaan tim CS, chatbot juga dapat dimaksimalkan untuk keperluan lainnya. Lila Noya mengatakan Mita juga dimanfaatkan perseroan untuk keperluan marketing, menggali kebutuhan nasabah lewat survei dan representasi Bank Mandiri secara korporat.

Selain itu, Anang menambahkan, chatbot dipakai sebagai alat peningkat transaksi dan akuisisi nasabah baru. Serta, data mining untuk mengetahui preferensi nasabah.

“Kelak nasabah bebas memilih sarana atau channel apa yang sesuai dengan keinginan atau preferensi dan pola laku (behavior) yang cocok bagi nasabah,” tandas Santoso.

Sejauh ini bisa dikatakan BCA sebagai bank pelopor yang menghadirkan Vira ke publik pada pertengahan tahun lalu. Santoso menuturkan dampaknya bagi perusahaan adalah peningkatan pengguna dan interaksi dengan nasabah setiap bulannya. Sayangnya, dia tidak disebutkan berapa angka detailnya.

Bagi BCA, hal tersebut menjadi pencapaian yang positif karena semakin sering Vira diajak ngobrol, dia akan semakin “pintar”.

Sedangkan bagi Cinta, dampak bagi BNI adalah perseroan dapat menyebarkan informasi dengan biaya yang rendah karena lewat aplikasi messaging.

“Dengan demikian setiap blast promo yang kami kirimkan dapat dilihat langsung oleh user lewat gadget mereka,” terang Anang.

Perjalanan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina masih sangat panjang. Masih banyak sekali fitur-fitur yang bisa dikembangkan dan akan terus bertambah. Inisiasi empat bank beraset terbesar di Indonesia ini dengan memulainya lebih dahulu bisa menjadi faktor pemicu untuk bank lainnya melakukan hal serupa.

Susul Bank Besar Lain, Bank Mandiri Perkenalkan Chatbot “Mita” [UPDATED]

Bank Mandiri perkenalkan chatbot Mita (Mandiri Artificial Assistant) sebagai upaya meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah. Mita dapat diakses melalui platform Line, Facebook Messenger, dan Telegram.

Dalam menghadirkan layanan ini, Bank Mandiri menggandeng perusahaan AI lokal InMotion sebagai perusahaan teknologinya dengan domain knowledge yang disiapkan langsung tim Bank Mandiri untuk isi kontennya. Di tahap awal, Mita dipersiapkan untuk menjawab informasi seputar info produk dan layanan, promo dan event, cek lokasi cabang dan ATM.

Direktur Operasional Bank Mandiri Ogi Prastomiyono menuturkan Mita adalah salah satu langkah transformasi digital perseroan dalam memberikan layanan yang lebih efektif, efisien, dan consumer oriented. Menurut data internal, interaksi melalui layanan contact center (email dan media sosial) tahun lalu mengalami peningkatan frekuensi sekitar 40% ketimbang tahun sebelumnya.

Dari rasio tersebut, interaksi nasabah untuk permintaan informasi sekitar 51%, permintaan bantuan 28%, dan keluhan 21%. Porsi dari interaksi jalur ini cukup kecil yakni sekitar 10% dari total interaksi antara 600 ribu-700 ribu kali interaksi pada tahun lalu.

“Artinya kanal digital ini semakin diminati nasabah dan non nasabah, seiring dengan perkembangan smartphone. Mudah-mudahan, chatbot yang memanfaatkan Natural Language Processing (NLP) ini, dapat mempercepat dan memudahkan interaksi nasabah dengan bank,” tutur Ogi, Senin (19/3).

Direktur Digital Banking & Technology Rico Usthavia Frans menambahkan, kehadiran Mita dapat mengurangi beban kerja, sekaligus memfilter layanan mana yang bisa difokuskan untuk ditindaklanjuti oleh tim contact center. Pasalnya, mayoritas interaksi yang masuk ke perseroan sekadar meminta bantuan informasi seputar produk perbankan.

“Mita akan bantu pertanyaan umum yang biasa ditanyakan nasabah, sehingga bisa mengurangi beban tim contact center Bank Mandiri yang berlokasi di tiga tempat, Menara Mandiri, Rempoa, dan Yogyakarta,” terangnya.

Rico melanjutkan Mita adalah salah satu dari investasi IT perseroan dengan mengalokasi capex sebesar US$120 juta (sekitar Rp1,6 triliun) pada tahun ini. Dalam anggaran capex tersebut, perseroan mengalokasikannya untuk peningkatan keamanan TI, pengembangan dan perbaikan teknologi baru, membangun data center, dan sebagainya.

Rencananya tahun ini, Bank Mandiri akan menambah satu lokasi data center baru di Surabaya.

Rilis tampilan baru situs

Selain memperkenalkan chatbot Mita, Bank Mandiri juga merilis tampilan baru situs perseroan demi memudahkan masyarakat berinteraksi dan mencari informasi. Di dalam situs, nasabah bisa memblokir kartu, cari informasi produk yang mendukung keterbukaan informasi perusahaan.

Situs Bank Mandiri tercatat memiliki jumlah pengunjung sebanyak 155 ribu per hari. Adapun, jumlah nasabah tabungan Bank Mandiri mencapai 21,9 juta dan 1,8 juta nasabah kredit hingga akhir tahun lalu.

Kehadiran Bank Mandiri lewat layanan chatbot ini semakin memanaskan persaingan perbankan dalam menyambut era digital dengan memanfaatkan chatbot demi meningkatkan interaksi dengan nasabah existing maupun upaya akuisisi nasabah baru. Sebelumnya, bank-bank besar lain, seperti BCA (Vira), BNI (Cinta), dan BRI (Sabrina) telah lebih dahulu meluncurkan layanan serupa.


*Kami menambahkan nama perusahaan AI yang digandeng Bank Mandiri

Laporan Google Indonesia: Lebih​ ​dari​ ​70%​ ​Orang​ ​Indonesia​ ​Mencari​ ​Informasi​ ​Keuangan Online

Sebagai salah satu mesin pencari paling popular, Google telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari orang banyak untuk menemukan informasi hingga rekomendasi secara online. Salah satu informasi yang paling dicari oleh orang adalah informasi keuangan, pinjaman uang hingga tabungan. Makin banyaknya layanan fintech (financial technology) saat ini ternyata sudah menarik perhatian orang banyak untuk menemukan pinjaman yang tepat saat ini.

Melihat besarnya minat dari orang banyak, Google Indonesia meluncurkan laporan “Think Finance” baru dari Google dan Kantar/TNS, seputar gambaran umum tentang proses kompleks yang dilalui nasabah sebelum akhirnya melakukan pembelian. Survei ini dilakukan melalui wawancara dengan 501 orang Indonesia pengguna internet yang mengambil pinjaman pribadi atau mendaftar kartu kredit dalam satu tahun ke belakang.

Gambaran jelas pinjaman yang sesuai

Beberapa data menarik yang dihasilkan dari riset tersebut mengungkapkan, sebanyak 74% orang atau nasabah melakukan riset secara online sebelum menentukan pinjaman yang tepat untuk mereka. Sementara waktu rata-rata dari pertama kali terpikir sampai akhirnya membeli produk adalah 26 hari. Alasan utama nasabah mengambil pinjaman antara lain keadaan darurat (37%) dan peristiwa besar dalam hidup seperti menikah atau memiliki bayi (26%). Orang Indonesia mengajukan rata-rata 11 pertanyaan untuk mendapatkan jawaban yang mereka butuhkan.

Fakta menarik lainnya yang disampaikan dalam laporan tersebut adalah orang biasanya menggunakan referensi baik offline maupun online dalam melakukan riset, dan Google Penelusuran menjadi sumber informasi paling bermanfaat kedua. Setidaknya separuh (54%) dari orang Indonesia mengatakan bahwa mereka mencari informasi untuk membantu menyaring opsi dan menemukan fitur terbaik.

Hal lain yang juga disampaikan dari laporan tersebut adalah, besarnya pengaruh dari testimoni hingga rekomendasi yang beredar secara online terkait bank hingga layanan keuangan yang telah digunakan. Proses penyaringan ini dilakukan setidaknya 7 dari 10 orang (72%) membuat ulasan dan rekomendasi online sedangkan 4 dari 10 orang (42%) melakukan riset lebih lanjut setelah mengambil pinjaman.

Kurangnya informasi keuangan dari instansi terkait

Besarnya jumlah orang Indonesia yang melakukan pencarian secara online memanfaatkan Google Penelusuran, membuktikan bahwa saat ini informasi yang tersedia di situs bank hingga layanan keuangan belum memuaskan orang banyak. Setidaknya 8 dari 10 orang (83%) tidak memiliki atau kekurangan informasi tentang cara mengajukan permohonan kartu kredit atau pinjaman pribadi dan mereka cenderung tidak mencari informasi di situs perusahaan keuangan, tidak sampai satu dari sepuluh orang (6%) melakukannya.

Untuk itu Google menyarankan bagi pihak terkait untuk bisa memberikan informasi yang relevan dan tidak terlalu rumit untuk nasabah atau calon nasabah. Dengan demikian bisa membantu mereka menemukan informasi dengan mudah secara online.

Dampak Implementasi Kantor Digital Bagi Bank Commonwealth

Beberapa waktu lalu, Bank Commonwealth meresmikan kantor digital, sebagai bentuk peningkatan pelayanan perbankan digital yang lebih efisien dan praktis. Hal in dilakukan sesuai dengan misi perusahaan yang ingin menjadi pemimpin pasar dalam menyediakan layanan keuangan digital untuk nasabah ritel dan UKM.

Head of Wealth Management and Customer Segments Bank Commonwealth Ivan Jaya menuturkan, dulunya ada banyak waktu nasabah terbuang karena menunggu antrean. Sekarang lewat kantor digital, para nasabah bisa melakukan kebutuhan finansial mereka sendiri.

Ia pun memastikan kehadiran kantor digital justru tidak membuat perusahaan mengurangi jumlah karyawan yang ditempatkan di kantor cabang operasional. Malah mengalihkan fungsi mereka jadi lebih “advisory”, dari sebelumnya lebih administratif.

“Karyawan kami dapat lebih fokus memberikan layanan terkait saran-saran keuangan maupun edukasi. Sehingga peran petugas bank lebih bergeser dari yang dulunya lebih banyak administratif, kini menjadi lebih banyak bersifat advisory,” katanya kepada DailySocial.

Menurutnya, jumlah karyawan yang ditempatkan dalam suatu cabang sangat bervariatif karena akan perlu melihat berbagai pertimbangan mulai dari jenis cabang itu sendiri, luas kantor, dan jumlah nasabah yang siap dilayani.

Adapun, total karyawan yang dimiliki Bank Commonwealth mencapai lebih dari 1.700 orang. Sementara total kantor cabang yang dimiliki Bank Commonwealth ada 55 unit, tersebar di 25 kota di Indonesia.

Sayangnya, Ivan enggan membeberkan lebih detail untuk investasi yang siap dikucurkan perusahaan terkait kantor digital. Namun pihaknya menekankan bahwa perusahaan sangat serius mengadopsi teknologi berskala dunia ini ke Indonesia, agar tetap relevan dengan kebutuhan nasabah.

“Dari segi jangka panjang, investasi ini akan sangat menguntungkan karena akan membantu baik bagi nasabah untuk memanfaatkan jasa keuangan kami dan juga karyawan kami dalam melayani nasabah.”

Kantor digital, sambungnya, akan lebih menyasar nasabah yang ada di kelas emerging affluent sampai affluent (nasabah kaya) untuk menikmati Premier Banking Lounge di dalamnya.

Sementara ini kantor digital baru hadir di tiga lokasi di Jakarta, yaitu WTC 6 Sudirman, Kensington Kelapa Gading, dan Pantai Indah Kapuk. Lokasi penyebarannya bakal fokus ke kota-kota besar seperti Bandung dan Surabaya. Dua kota tersebut akan disambangi perusahaan tahun depan.

Peluncuran bank digital ini merupakan bentuk komitmen lanjutan dari Bank Commonwealth dalam transformasi ke digital, setelah meluncurkan Tyme Digital Kiosk, mesin kios yang memungkinkan nasabah buka rekening bank dalam waktu 10 menit.

Kini Tyme Digital telah hadir di 30 titik yang tersebar di Jabodetabek, di antaranya Pluit Village Mal, Plaza Indonesia, Kota Kasablanka, Gandaria City, BSD, Summarecon Mal Serpong, Bekasi, dan lainnya.

Beberapa layanan yang dihadirkan kantor digital, di antaranya terdapat mesin Tyme Digital untuk membantu nasabah membuka dan aktivasi kartu ATM, internet banking, dan mobile banking. Ada area self-service digital center, dapat digunakan nasabah untuk mencari informasi produk dan mengakses internet dan mobile banking lewat perangkat tablet.

Petugas pun akan lebih bersifat mobile, tidak hanya di bagian layanan pelanggan atau teller, namun juga di area lainnya. Brosur dan pengisian form-nya juga telah diubah menjadi paperless.