Strategi Bisnis Layanan E-Commerce Jollychic di Indonesia

Meski baru hadir di Indonesia, e-commerce fesyen Jollychic tancap gas meningkatkan penetrasi bisnisnya dengan bantuan dari tim eks-Lyke. Sejumlah strategi dipersiapkan demi mewujudkan ambisi perusahaan menjadi layanan e-commerce fesyen terdepan.

“Sebelum kami bergabung ke Jollychic, perusahaan tersebut belum memiliki tim solid. Padahal saat memulai bisnis di negara baru, masalah tersebut sangat [menjadi] pain point. Jadi saya yakin kolaborasi ini memungkinkan Jollychic jadi lebih cepat dalam memulai dan meningkatkan upaya dalam hal pemasaran dan kurasi kampanye,” ujar Managing Director Jollychic Indonesia Bastian Purrer kepada DailySocial.

Sebelum Lyke melebur ke Jollychic, Purrer memegang posisi sebagai CEO Lyke. Pengalaman yang dibawa Purrer bersama tim eks Lyke, saat membangun perusahaan selama kurang lebih tiga tahun, menjadi nilai tambah bagi Jollychic untuk memangkas waktu. Diharapkan pengalaman tersebut dapat mendongkrak ambisi Jollychic sebagai pemain utama di Indonesia dalam waktu singkat.

“Ada banyak kesalahan yang sudah dilakukan [saat membangun Lyke], tes sudah selesai, banyak hal yang sudah kami lakukan, ini akan berguna bagi Jollychic tidak harus belajar lagi dengan cara yang keras.”

Kendati sudah ramai dengan berbagai pemain e-commerce, Jollychic tidak gentar dan yakin betul dapat bersaing secara sehat. Jollychic sendiri memiliki penetrasi global di sejumlah kawasan, dengan penetrasi yang kuat di kawasan Timur Tengah, bahkan mengklaim sebagai pemain nomor satu di sana.

Dari pencapaiannya tersebut, perusahaan berhasil merengkuh status unicorn setelah lima tahun berdiri. Secara wilayah operasional, Jollychic hadir di Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Jordan, Libanon, Oman, Qatar, Taiwan, dan Indonesia.

Total penggunanya telah mencapai lebih dari 30 juta orang, sekitar 2 juta di antaranya berasal dari Indonesia sejak awal tahun ini meluncur.

“Kami telah membuktikan keberhasilan dengan berhasil mengambil alih kepemimpinan pasar di Timur Tengah dalam waktu singkat. Kami berencana untuk mengulang kesuksesan yang menakjubkan ini di Asia Tenggara.”

Replikasi kesuksesan di Timur Tengah

Purrer melanjutkan sebagai pemain e-commerce yang berpengalaman, keuntungan terbesar bagi Jollychic di Indonesia adalah jaringan supply chain yang kuat, khususnya dalam dunia fesyen. Hal ini menunjukkan bahwa Jollychic mampu menyediakan produk unik yang tidak dapat ditemukan di platform lain ke konsumen Indonesia.

Perusahaan terintegrasi dengan berbagai pemasok dan pabrik mode global. Melakukan kurasi untuk memastikan Jollychic hanya menjual produk yang memiliki kualitas dan desain lebih unggul.

Model bisnis Jollychic adalah B2B2C, membeli produk dari produsen dan menjualnya ke konsumen. Lokasinya tersebar di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Jepang, Turki, dan lainnya. Pengiriman akan dilakukan di salah satu gudang Jollychic terdekat dari lokasi pembeli.

Sejauh ini Jollychic belum memiliki gudang lokal di Indonesia. Pengiriman untuk konsumen Indonesia sementara ini dilakukan dari gudang Jollychic di Hong Kong. Investasi lanjutan akan digencarkan perusahaan untuk pengembangan logistik demi meningkatkan pengalaman konsumen, sekaligus mempercepat pengiriman.

Strategi tersebut serupa dengan apa yang telah dilakukan Jollychic saat menyabet posisi pemain nomor satu di Timur Tengah.

“Di Indonesia, kami akan mengejar pemimpin pasar lokal secepatnya pada tahun 2019 mendatang. Kami akan mengambil posisi kepemimpinan dalam e-commerce regional dan memperluas penawaran kami dalam hal kategori, sumber, tujuan, dan lainnya,” pungkas Purrer.

Memprediksi Tren Bisnis “Fashion Commerce” di Indonesia

Bersama dengan produk elektronik, barang-barang fashion memiliki tempat istimewa bagi mereka penggemar belanja online. Hal tersebut dibuktikan dengan makin banyaknya layanan fashion commerce lokal dan asing yang merambah tanah air. Pembuatan barang-barang merk sendiri, atau yang lebih kenal sebagai private label, dan pendekatan skema O2O (online-to-offline) disebut menjadi kunci mendominasi pasar ini.

Jika awalnya fokus utama layanan fashion commerce adalah menyediakan pilihan produk beragam dari merchant, seiring dengan perubahan pola konsumsi pelanggan dan makin maraknya kehadiran toko online yang memanfaatkan media sosial, secara perlahan layanan fashion commerce mulai beradaptasi dan mulai menghadirkan inovasi baru.

Private label dan pengalaman offline

Didominasi pembeli dari kalangan perempuan, layanan fashion commerce mulai menghadirkan private label dengan desain dan produksi yang dimonitor langsung oleh tim internal.

Mulai dari skema O2O (online-to-offline) dengan mendirikan toko permanen di mall hingga menggelar berbagai kegiatan pop up store, dari sisi pertumbuhan,

Layanan fashion commerce yang mampu menerapkan skema O2O (online-to-offline), misalnya pop up store atau mendirikan toko permanen, disebut memiliki peluang untuk mendapatkan data yang lebih kaya berdasarkan interaksi langsung dengan pelanggan.

“Skema O2O di dunia fashion commerce sudah mulai terlihat menunjukkan peluang yang positif. Saya melihat sekarang dan ke depannya, skema ini bakal banyak diterapkan oleh layanan fashion commerce di Indonesia,” kata Pemerhati e-commerce dan CEO Adsvokat Daniel Tumiwa kepada DailySocial.

Kegiatan offline disebut mampu memberikan efek seimbang untuk pertumbuhan bisnis. Hal tersebut sudah diterapkan Berrybenka dengan kegiatan pop up store dan mendirikan toko permanen. Demikian juga dengan Muslimarket yang memanfaatkan brand Suqma.

Kehadiran toko fisik dianggap mampu memecahkan masalah seperti kepuasan pelanggan untuk menyentuh dan mencoba langsung produk yang ingin mereka beli.

Berbeda dengan Berrybenka, Sale Stock memberikan alternatif baru dengan opsi mencoba langsung melalui fitur “Coba Dulu Baru Bayar”. Pembeli diberikan waktu untuk mencoba, jika puas barang bisa langsung diambil, namun jika tidak puas saat itu juga bisa dititipkan ke kurir untuk ditukar atau dikembalikan.

Seorang pelanggan Sale Stock, sebut saja Ani, mengungkapkan cara ini ampuh memberikan pilihan baru ke pelanggan saat membeli produk fesyen favorit.

Konsolidasi dan akuisisi

Awal bulan ini, layanan agregator fesyen Lyke mengumumkan penutupan layanan dan mengalihkan seluruh karyawannya ke layanan e-commerce  Tiongkok Jollychic. Jollychic pertama kali hadir di Tiongkok pada 2014 dan mulai mengembangkan sayap ke Indonesia tahun lalu.

Kepada DailySocial, CEO Lyke Bastian Purrer mengungkapkan, penjualan Lyke kepada Jollychic dilakukan demi membangun layanan e-commerce yang lebih besar dengan melakukan sinergi antar dua perusahaan. Diklaim layanan ini sempat memiliki 1,6 juta pengguna, bermitra dengan 300 toko, dan memiliki 150 ribu pilihan produk.

“Saya percaya pasar fesyen online di Indonesia masih besar peluangnya. Dengan kolaborasi bersama Jollychic saya yakin kita bisa mengatasi semua tantangan yang ada. Sejauh ini masih banyak orang yang melakukan pembelian fesyen secara offline atau melalui media sosial dengan rendahnya penetrasi layanan e-commerce di Indonesia,” kata Bastian.

Untuk melancarkan ekspansinya, marketplace fesyen Muslim Hijup juga telah mengakuisisi Haute-Elan, platform marketplace modest fashion terbesar di Inggris Raya. Pasca akuisisi ini, mereka meluncurkan Hijup UK Limited yang menjadi langkah pertama Hijup go global.

Konsolidasi, merger, dan akuisisi antar layanan fashion commerce, disebutkan Daniel, bakal banyak terjadi ke depannya, terutama bagi layanan fesyen yang skalanya kecil hingga menengah ke atas. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis, ekspansi, sekaligus menyokong pendanaan dan melancarkan strategi pemasaran yang memiliki peranan penting di sektor ini.

“Contohnya adalah Sale Stock, yang sejak pendanaan terakhir fokus kepada kegiatan pemasaran dengan promosi di televisi secara masif. Hal tersebut membuktikan, branding masih menjadi langkah strategis yang dilakukan oleh layanan fashion commerce,” kata Daniel.

Lyke Shuts Down Services, Diverting Team to China’s E-Commerce Jollychic

Lyke, a curated fashion aggregator app has announced shutdown and diverted its team to China’s e-commerce service Jollychic, along with its strategy to develop business in Indonesia.

In an official statement to DailySocial, Lyke’s CEO Bastian Purrer did not explain the reason behind the shutdown of a company that he’s been handled for 2.5 years. However, the decision was taken to support Jollychic’s ambitions that began to focus on growing business in Indonesia.

On this merger, Lyke‘s team experience in Indonesia can be a powerful resource for Jollychic. Along with this announcement, Lyke app has started to advise the user to download Jollychic app.

“As a team, we are very proud of what we’ve accomplished and very excited to
continue the journey with Jollychic,” Purrer explained, Thu (3/1).

Aaron Li, Jollychic’s Founder & CEO, added, “Lyke team has already managed [and understand] its market and Indonesian consumers, we are looking forward to learning from their local wisdom.”

During its time, Lyke claimed to have 1.6 million users and introduced image search technology. In addition, Lyke has processed more than 500 thousand orders since early 2016.

Jollychic was first established in China in 2014. It was introduced in Indonesia last year. This app offers online shopping experience from hundreds of fashion, electronics, lifestyle products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lyke Tutup Layanan, Tim Dialihkan ke Layanan E-Commerce Tiongkok Jollychic

Lyke, aplikasi agregator produk fesyen terkurasi, mengumumkan penutupan layanan dan mengalihkan seluruh karyawannya ke layanan e-commerce asal Tiongkok Jollychic, seiring strategi layanan tersebut mengembangkan bisnisnya di pasar Indonesia.

Dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, CEO Lyke Bastian Purrer tidak menjelaskan alasan di balik tutupnya perusahaan yang sudah dinaunginya sejak 2,5 tahun tersebut. Akan tetapi, keputusan tersebut diambil untuk mendukung ambisi Jollychic yang mulai fokus pada pertumbuhan bisnisnya di Indonesia.

Dari hasil merger tersebut, bekal pengalaman tim Lyke dalam mengembangkan pasar Indonesia dapat menjadi amunisi yang ampuh buat Jollychic. Seiring pengumuman ini, aplikasi Lyke sudah mulai mengarahkan penggunanya untuk mengunduh aplikasi Jollychic, sebelum tutup total. Begitupun, merek Lyke itu sendiri.

“Sebagai sebuah tim, kami sangat bangga dengan apa yang kami capai bersama, dan sangat antusias untuk melanjutkan perjalanan ini bersama tim Jollychic,” terang Bastian, Kamis (1/3).

Founder & CEO Jollychic Aaron Li menambahkan, “Tim Lyke telah benar-benar berhasil memahami pasar dan konsumen Indonesia, dan kami sangat menantikan belajar dari keahlian lokal mereka.”

Selama Lyke berdiri, diklaim layanan ini telah memiliki 1,6 juta pengguna dan memperkenalkan teknologi pencarian gambar. Selain itu, Lyke telah memproses lebih dari 500 ribu pesanan sejak awal 2016. Adapun total toko terkurasi yang sudah bermitra mencapai 300 toko dengan 150 ribu pilihan produk.

Jollychic pertama kali hadir di Tiongkok pada 2014. Kehadirannya di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun lalu. Aplikasi ini menawarkan penggunanya berbelanja dari ratusan ribu produk dari fesyen, elektronik, dan gaya hidup.

Agnez Mo “Diangkat” Jadi Co-Founder dan Chief Creative Officer Lyke

Sebagai aplikasi agregator produk fesyen terkurasi, Lyke secara agresif ingin menonjolkan jati dirinya sebagai platform terlengkap untuk kalangan perempuan di Indonesia. Startup yang didirikan Bastian Purrer ini hadir sejak tahun 2016 dan sudah memiliki 300 toko dengan 200 ribu pilihan produk yang dapat dibeli langsung dalam aplikasi.

Untuk memasarkan produknya lebih masif lagi, Lyke mengumumkan telah menggandeng selebriti Indonesia Agnez Mo sebagai Co-Founder dan Chief Creative Officer di Lyke. Masuknya Agnez Mo ke dalam jajaran manajemen Lyke ternyata sudah direncanakan sejak tahun 2016 lalu.

Fitur Image Search yang baru-baru ini diluncurkan Lyke, dengan memanfaatkan Deep learning dan AI, diklaim merupakan ide Agnez Mo sebagai Co-founder Lyke yang baru.

“Agnez Mo banyak memberikan inspirasi saat merancang fitur andalan terbaru Lyke Image Search. Fitur ini memastikan pencarian fesyen yang bukan hanya seru dan canggih, namun juga menyenangkan dan bisa menginspirasi semua kalangan yang menggunakannya, kata Bastian.

Mengedepankan teknologi dan inovasi

Selain menjabat sebagai Co-Founder dan Chief Creative Officer Lyke, Agnez Mo yang saat ini juga sudah memiliki label khusus untuk produk fesyen hingga parfum, menjual beberapa produk tersebut di Lyke. Dari pantauan DailySocial, di aplikasi Lyke dijual parfum dengan label Agnez Mo dengan harga yang cukup terjangkau.

“Saya dan Bastian ingin menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih kepada seluruh tim di Lyke atas kerja keras dan profesionalisme tinggi yang telah dicurahkan mereka selama setahun ini. Kami begitu bangga dan bersyukur menjadi pemimpin dalam tim kami ini,” kata Agnez.

Dengan bergabungnya Agnez Mo, Lyke berharap bisa menjadi platform fesyen agregator terlengkap dan paling populer di kalangan pecinta fesyen dan belanja online di tanah air.

“Sebagai inovator teknologi untuk platform fesyen dan kecantikan, Lyke ingin membuktikan komitmen untuk menghadirkan pengalaman belanja online yang menyenangkan. Fitur Lyke Image Search ini sebagai wujud inovasi teknologi terdepan,” tutup Bastian.

Application Information Will Show Up Here

DScussion #83: Lyke Ingin Menjadi “Enabler” Layanan “Fashion Commerce”

Lyke adalah aplikasi fashion commerce yang ingin menjadi jembatan antara merchant, layanan e-commerce, dan konsumen di Indonesia. Masih menjadi bagian keluarga Rocket Internet, Lyke dengan sejumlah teknologinya, seperti deep learning dan artificial intelligence, membantu proses discovery yang lebih menyenangkan di segmen ini.

Ingin tahu lebih banyak soal Lyke dan kesulitan yang dihadapi Founder dan CEO Lyke Bastian Purrer mendirikan usahanya di sini? Berikut adalah wawancara kami di DScussion berikut ini.

Terapkan AI dan Deep Learning, Lyke Hadirkan Fitur Image Search

Setelah mendapatkan pendanaan Seri A beberapa waktu lalu, aplikasi mobile fashion Lyke menghadirkan inovasi baru memanfaatkan Artificial intelligence (AI) dan Deeep Learning bernama Image Search. Fitur yang tampak serupa dengan milik Pinterest ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan produk fesyen, aksesoris dan beauty product hanya dengan mengunggah foto atau screen capture dari smartphone ke aplikasi Lyke.

Sesuai dengan visi dan komitmen dari Lyke yaitu mengedepankan teknologi, inovasi ini bukan hanya mempermudah pengguna mendapatkan barang yang diinginkan secara cepat dan hampir serupa, namun juga membuka kesempatan untuk penjual memperluas layanannya.

“Sebagai satu-satunya aplikasi yang menghadirkan produk fesyen berkualitas, Lyke berharap dengan fitur terbaru ini, bisa membuat kegiatan belanja online lebih menyenangkan dan sesuai dengan harapan pengguna,” kata CEO Lyke Bastian Purrer.

Teknologi yang sepenuhnya memanfaatkan AI dan deep learning tersebut, mampu melakukan automatic object recognition hanya dalam waktu 10 detik, gambar yang diunggah oleh pengguna selanjutnya akan memberikan rekomendasi produk yang hampir serupa dengan yang diinginkan oleh pengguna. Bukan hanya untuk produk lokal, namun pencarian gambar tersebut juga bisa dilakukan untuk produk mancanegara.

“Meskipun rekomendasi gambar tersebut tidak 100% sama, namun Lyke mampu memberikan rekomendasi produk lokal yang hampir mirip secara cepat dengan harga istimewa,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah memiliki 300 toko pilihan yang tersebar di Indonesia mengombinasikan inventori produk berjumlah lebih dari 150 ribu jenis produk yang dapat langsung dibeli melalui aplikasi. Bukan hanya Jabodetabek saja, namun layanan Lyke saat ini juga sudah bisa dinikmati di seluruh Indonesia.

“Saat ini aplikasi Lyke telah diunduh oleh 2 juta orang, sementara untuk pemesanan Lyke sudah menerima 2 ribu order per harinya,” kata Bastian.

Fitur personalisasi Lyke

Inovasi lain yang saat ini sudah bisa dinikmati oleh pengguna Lyke adalah fitur personalisasi tampilan di halaman depan aplikasi Lyke. Tersedia tiga kategori yang bisa dipilih sesuai selera, yaitu Premium, Affordable dan Pretty Cheap. Fitur personalisasi ini bisa dimanfaatkan untuk pengguna yang hanya ingin mendapatkan produk premium dan enggan untuk melihat pilihan produk di luar dari kategori yang diinginkan.

“Dengan demikian pengguna bisa memilih sesuai dengan selera yang relevan. Untuk soal harga bisa dipastikan harga yang ditawarkan oleh Lyke jauh lebih murah dari harga toko sebenarnya,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah menjalin kemitraan dengan berbagai brand fesyen lokal hingga asing juga layanan e-commerce dan marketplace di Indonesia. Disinggung tentang strategi agar bisa tampil lebih unggul dengan layanan serupa, Bastian menyebutkan perbedaan bisnis model yang dimiliki serta fokus Lyke yang mengedepankan teknologi, merupakan keunggulan dari aplikasi Lyke.

“Sebagai platform fesyen dan kecantikan yang memanfaatkan teknologi, ke depannya Lyke berharap bisa tampil seperti GO-JEK dan UBER. Dari sisi teknologi kami akan terus melakukan inovasi menghadirkan fitur terkini dan layanan lebih untuk pengguna.”

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Fashion dan Kecantikan LYKE Bukukan Pendanaan Seri A Rp 53,1 Miliar

Aplikasi fashion dan kecantikan LYKE mengumumkan baru saja mendapat pendanaan Seri A senilai hampir $4 juta (Rp 53,1 miliar). Investasi ini dipimpin oleh sebuah venture capital asal Jerman bernama Holtzbrinck Ventures, dengan dukungan APACIG (Asia Pacific Internet Group) yang berbasis di Singapura. Baik LYKE maupun APACIG didukung oleh Rocket Internet.

Pendanaan ini berikan menyusul pencapaian pengguna LYKE yang baru-baru ini telah mencapai 1 juta unduhan dalam 6 bulan sejak peluncuran. Investasi untuk Lyke ini, bagi Holtzbrinck Ventures, adalah salah satu investasi pertama mereka di Asia Tenggara

Beberapa waktu lalu LYKE juga baru mengumumkan kerja sama strategis dengan beberapa mitra e-commerce di Indonesia, termasuk Sociolla, Berrybenka, HijUp dan MatahariMall. LYKE mengaku bahwa saat ini traksi penggunanya sebagai sebuah the go-to app untuk kalangan muda sudah cukup tinggi. LYKE membukukan bahwa setiap bulan sedikitnya sudah ada 30.000 order.

“Kami telah berkembang secara konsisten dengan mendengarkan pengguna kami dan berinvestasi dalam produk, dan kami berencana untuk terus melakukannya. Pengguna kami menyukai LYKE, yang mengakibatkan angka retention rate dan engagement rate jauh melebihi target. Kami mempunyai nilai conversion rate sebanyak e­commerce, namun dengan user engagement rate sebanyak aplikasi media sosial,” ujar CEO LYKE Bastian Purrer.

Saat ini LYKE tersedia untuk pengguna platform Android dan iOS, dan telah menampung lebih dari 150.000 produk. Dengan investasi pendanaan ini, LYKE akan melanjutkan pengembangan aplikasi mobile yang dimilikinya, sehingga mampu memberikan kenyamanan lebih bagi pengguna.

Application Information Will Show Up Here