Alodokter Dikabarkan Terima Pendanaan dari HL Mando dan Beacon Venture Capital

Startup healthtech Alodokter dikabarkan telah mendapatkan pendanaan dari HL Mando dan Beacon Venture Capital. Menurut data yang disetorkan ke regulator, seperti dikutip dari Alternative.pe, nilai yang digelontorkan mencapai $5,2 juta atau setara Rp81,7 miliar.

Ketika dikonfirmasi oleh DailySocial.id, pihak perusahaan masih enggan memberikan konfirmasi lebih lanjut mengenai pendanaan ini.

Beacon Venture Capital adalah unit ventura di bawah naungan Kasikornbank, Thailand. Dengan dana kelolaan hingga $255 juta, mereka telah berinvestasi ke sejumlah startup Asia Tenggara seperti Carro, Grab, Nium, Zenius, Workmate, dan beberapa lainnya. Sementara HL Mando adalah perusahaan otomotif berbasis di Korea Selatan, yang akihir-akhir ini memang tengah aktif berinvestasi ke startup teknologi.

Berawal dari layanan telemedis dan janji temu dokter, saat ini Alodokter telah menjadi platform digital menyeluruh untuk layanan kesehatan. Selain layanan edukasi kesehatan, kini mereka juga memiliki apotek online Aloshop dan layanan insurtech Aloproteksi — untuk insurtech bekerja sama dengan Sequis dan Cermati.

Dari wawancara sebelumnya bersama Co-Founder & Presiden Direktur Alodokter Suci Arumsari, dikatakan bahwa sejak tahun 2023 perusahaan sudah mulai mendulang profit. Sehingga ia mantap mematok target profitabilitas yang lebih besar di tahun 2024 ini.

Menurut Suci, salah satu pendorong profitabilitas sekaligus proposisi nilai penting Alodokter adalah keterhubungan layanan satu dengan lainnya membentuk sebuah ekosistem kesehatan digital terpadu. Kontribusi pendapatan dari bisnis telemedisin disebutkan mencapai 30%-40% per bulannya. Kemudian sisanya datang dari buat janji konsultasi, Aloshop, Aloproteksi, dan iklan content marketing.

Terakhir, Alodokter mengumumkan investasi dengan nilai yang tidak disebutkan dari Marubeni Corporation. Bersamaan dengan itu perusahaan juga mengakuisisi anak usaha dari investor tersebut, Diary Bunda, sebuah aplikasi pemantauan kehamilan. Investor lain yang turut mendukung Alodokter adalah MDI Ventures, Samsung Ventures, Sequis, Golden Gate Ventures, Heritas, dan Hera Capital.

Di lanskap healthtech, Alodokter bersaing langsung dengan sejumlah pemain, dua yang terbesar adalah Halodoc dan Good Doctor Indonesia.

Pertengahan tahun 2023 lalu, Halodoc baru mendapatkan investasi dari Astra, Openspace, dan Novo Holdings mencapai $100 juta. Kendati demikian, perusahaan juga sempat melakukan efisiensi bisnis dengan memberhentikan sejumlah karyawan menjelang akhir tahun lalu.

Kuartal III 2023 Good Doctor juga mengumumkan pendanaan $10 juta dari MDI Ventures dan Grab. Dalam wawancara bersama CEO Danu Wicaksana, pasca-pendanaan ini perusahaan akan banyak melakukan inovasi dan penetrasi produk di lini B2B, menargetkan kalangan korporasi. Mereka kini memiliki lebih dari 15 juta pengguna dan secara khusus bisnis B2B telah tumbuh pesat bermitra dengan lebih dari 60 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi/startup/berbagai organisasi lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Receives Follow on Funding from MDI Ventures

Zenius edtech startup today (7/3) announced follow on funding from MDI Ventures with an undisclosed amount. In total, Zenius is said to have raised over $40 million (more than 576 billion Rupiah) from its investors. Past investors (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) and new investor (Beacon Venture Capital as a venture capital company owned by Kasikorn Bank Thailand) also joined the round.

It is not clear whether this fresh money will classified into a new round or continue the Pre-Series B round last year.

In an official statement, Zenius’ CEO, Rohan Monga said this funding will support the company’s further development and expansion of the learning ecosystem Zenius will be focused on improving personalized learning experiences by increasing students’ learning motivation.

“Through our latest acquisition network, Primagama, we will expand reach to increase the impact we have in education. We strongly believe that a hybrid learning model, which is a combination of offline and online, will provide the best results for students,” Monga said.

He said, backed by strategic investors such as MDI Ventures, the company is capable to expand its network of partnerships and service distribution to have a bigger and deeper impact on Indonesian education.

“Zenius has a proven track record of making an educational impact in Indonesia. Was founded in 2004, Zenius has now developed a comprehensive learning ecosystem,” MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja said.

Since 2004, Zenius has helped more than 1.5 million alumni to get into their state/dream university. Last year, seven out of 10 Zenius’ premium users passed the Computer-Based Written Examination (UTBK), while Zenius’ income increased fourfold, one of which was due to “Live Class” feature.

Following the Primagama acquisition, Zenius completed its learning ecosystem by collaborating with Disney for the elementary school segment, as well as developing ZenPro, a platform for the professional or lifelong learning segment.

“Zenius is a collaborative player. We are confident to realize our mission in creating a smarter, brighter, and cooler Indonesia’s young generation through collaboration, partnership, and synergy with various stakeholders, such as MDI, with the same vision, advancing education in Indonesia,” Rohan said.

Market competition and value proposition

Indonesia’s edtech sector is rapidly growing, especially since the pandemic. There are two players currently dominating the market, Ruangguru and Zenius, with nearly similar sub-product variants.

Zenius always highlight one thing, it is on the material side. Instead of inviting students to just memorize, Zenius emphasized on understanding fundamental concepts and critical thinking through various case studies.

Apart from Zenius and Ruangguru, several edtech platforms also creating maneuvers. Most recently, CoLearn has just secured 244 billion Series A funding. The app focuses on math and science subjects, helping students solve their homework independently. Also, there are Pahamify, Squline, and others.

Primagama’s presence in Zenius’ line of business has the potential to strengthen its value proposition if it truly succeeds in wrapping up a hybrid learning experience – this could also be the first in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Helpster Berganti Nama Jadi Workmate, Umumkan Pendanaan Seri A Senilai 75 Miliar Rupiah

Workmate (sebelumnya Helpster) hari ini (12/11) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $5,2 juta atau setara 75 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Atlas Ventures dengan partisipasi Gobi Partners, Beacon Venture Capital (Kasikorn Bank), dan investor sebelumnya. Jika ditotal, bisnis yang didirikan oleh Mathew Ward dan John Srivorakul sudah mengumpulkan total modal usaha $10 juta.

Dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan strategi penjualan, memperbesar tim teknologi, dan memperluas bisnis ke kota-kota baru. Sejak didirikan tahun 2016, perusahaan memiliki misi utama untuk memfasilitasi sektor tenaga kerja informal di Asia Tenggara. Workmate berkantor pusat di Singapura, dengan kantor cabang di Bangkok, Jakarta, dan Bali.

Perubahan nama platform

Persisnya sejak 8 November 2019, Mathew Ward (Co-Founder & CEO) mengumumkan secara resmi perubahan nama dari Helpster menjadi Workmate. Menurutnya nama baru ini lebih mewakili visi dan cakupan platform yang ada saat ini – tidak hanya menjembatani pekerja informal, namun membantu bisnis dengan serangkaian alat terintegrasi.

“Sebagai bagian dari pembaruan ini, kami akan meluncurkan portal pelanggan dan aplikasi pekerja baru dalam beberapa bulan mendatang, yang akan membawa peningkatan signifikan pada platform dan cara kami mendukung bisnis […] Dengan nama baru, logo, dan dana segar yang didapat, kami akan terus berinovasi dan bekerja tanpa lelah untuk memberikan pelanggan dan mitra kami solusi terbaik untuk kepegawaian di pasar.”

Potensi bisnis

Disebutkan di Asia Tenggara sektor tenaga kerja informal menyumbang lebih dari 50% dari total tenaga kerja, dengan perputaran upah mencapai $200 miliar per tahun. Pada tahun 2025, pasar rekrutmen tenaga kerja informal diprediksi meningkat dua kali lipat. Namun, dibalik potensi besar ini, metode pencarian tenaga kerja masih berkutat pada cara tradisional, seperti sosialisasi mulut ke mulut.

“Kami telah mengembangkan sistem otomatis, perusahaan bisa langsung menghubungi calon karyawan tanpa harus melalui jasa agen yang biasa menetapkan tarif perantara hingga 30%,” jelas Mathew. “Jika dilihat, model bisnis ini belum berubah banyak selama 40 tahun terakhir. Karena itu, sektor tenaga kerja informal ini punya potensi besar untuk mendapatkan disrupsi. Model bisnis yang kami tawarkan juga sedang berkembang pesat di pasar internasional – bahkan Uber baru meluncurkan Uber Works sebagai solusi perekrutan tenaga kerja di AS.”

Tidak hanya berperan sebagai job marketplace, platform Workmate juga mengelola kontrak kerja, manajemen kehadiran, time sheet, dan proses pembayaran pekerja. Ke depannya akan turut disinergikan dengan layanan asuransi dan dukungan akses keuangan bagi pekerja.

“Kami bukan hanya situs pencari kerja atau situs penghubung. Lebih dari itu, kami menawarkan solusi tenaga kerja end-to-end yang memberdayakan dan melindungi para pekerja. Di saat yang sama, kami juga membantu perusahaan untuk mendapatkan staf yang mereka butuhkan agar dapat beroperasi secara optimal,” kata Mathew.

Di Indonesia, startup yang menghadirkan platform terkait ketenagakerjaan cukup banyak dan berkembang. Masing-masing menawarkan nilai unik, sebut saja Glints, mereka mengaplikasikan teknologi automasi untuk pemilahan kandidat pekerja. Ada juga Kalibrr yang mengedepankan keabsahan kompetensi calon pekerja melalui serangkaian pra-pengujian sebelum lamaran disubmisi ke perusahaan. Ada juga Ekrut, Urbanhire, hingga Karir.com yang mencoba menawarkan solusi serupa.

Application Information Will Show Up Here