Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Storial Paparkan Monetisasi Karya Fiksi Digital dan Upaya Eksplorasi Konten ke “Intellectual Property”

Rendahnya tingkat literasi baca di kalangan masyarakat menjadi salah satu alasan industri buku kurang diminati di Indonesia. Menurut data VOA Indonesia, hanya 3% dari total penerbit di Tanah Air yang produktif mencetak lebih dari 200 judul buku per tahun. Itupun produksinya hanya 3000 eksemplar per judul.

Berbekal pengalaman kerjanya di industri terkait, Brilliant Yotenega berupaya mendisrupsi industri buku yang selama berjalan dengan model konvensional dengan teknologi. Dengan begitu, siapapun memiliki akses terhadap sebuah bacaan dengan harga lebih terjangkau. 

Pria yang karib disapa Ega ini membangun Storial, sebuah platform yang dirancang sebagai marketplace untuk karya fiksi digital.

Bagaimana perjalanan Ega dalam menjadikan Storial sebagai platform bacaan terkurasi dan berkualitas? Simak selengkapnya rangkuman wawancara DailySocial dengan Ega.

Karya fiksi digital

Salah satu isu yang kerap dialami penulis adalah jalan panjang yang harus dilalui untuk menerbitkan satu buku. Ini belum termasuk dengan waktu untuk mencari penerbit yang mau menerima naskah dan menerbitkannya. 

Menurut Ega, butuh waktu sekitar satu tahun, mulai dari pengiriman naskah, penyuntingan, produksi, hingga distribusi. Faktor-faktor ini membuat penulis merasa kurang mendapat apresiasi dan sulit untuk berkarya karena ketidakstabilan pendapatan.

Sebelum Storial, ungkapnya, ia lebih dulu mendirikan Nulisbuku.com, platform yang memungkinkan penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri (self-publishing). Ia mengembangkan Nulisbuku.com secara bootstrapping hingga sekarang. Namun, saat ini Ega tak lagi terlibat dalam proses produksi buku. Adapun, Nulisbuku sudah punya basis komunitas hingga 100 ribu penulis.

Setelah produknya market-fit, Ega mengeksplorasi cara lain mendisrupsi industri buku dengan memanfaatkan basis komunitas yang dimilikinya di Nulisbuku.com. Di sini ia mendirikan Storial, platform marketplace cerita fiksi digital di mana penulis dapat lebih mudah memonetisasi karyanya.

Menariknya, Ega tidak ingin menjadikan Storial sebagai ekstensi Nulisbuku.com pada satu platform yang sama mengingat keduanya punya model bisnis dan target pasar yang berbeda. Demikian juga dengan entitasnya. Jika Nulisbuku.com identik dengan buku cetak on-demand yang prosesnya dilakukan secara hibrida (O2O), Storial merupakan marketplace untuk karya fiksi digital yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku fiisk.

“Kami sudah berbicara dengan banyak investor dan VC terkait [model bisnis buku]. Mereka kurang tertarik karena pasar buku dan literasi baca di Indonesia sangat rendah. Jarang ada jual buku di stasiun atau terminal kan? Dengan posisi Storial, kami pikir cost akan lebih murah karena tidak cetak buku. Harga buku di Indonesia cukup mahal dibandingkan negara lain di Asia. Mungkin karena biaya distribusi besar karena kita negara kepulauan,” jelasnya.

Dengan model bisnis ini, Ega dapat mengakselerasi Storial lebih cepat dibandingkan memproduksi buku fisik. Saat ini, Storial terdapat lebih dari 150 ribu judul buku. Jumlah penggunanya berkisar 500 ribu.

Monetisasi karya

Storial menggunakan skema penjualan sebuah karya secara satuan (ecer) agar harganya bisa lebih terjangkau bagi pembaca. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000.

Ambil contoh satu cerita Storial berisi total 50.000 kata dibagi ke dalam 50 bab. Per bab berisi 1000 kata dan dijual seharga Rp2.000. Harga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis.

Menurut Ega, harga tersebut sudah terbilang pas dengan kantong pembaca jika dibandingkan dengan membeli buku fisik. Pasalnya membeli buku fisik berarti membeli keseluruhan, sementara,ada potensi pembaca tidak membacanya sampai selesai. Berbeda dengan model Storial, ketika pengguna hanya membeli bab cerita yang ingin dibaca saja.

Di samping itu, ia menilai skema ini juga menguntungkan kreator atau penulis. Penulis akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik.

Kantor pusat Storial

“Penulis senang [dengan skema ini]. Selama ini, mereka terbitkan buku di penerbit besar, hanya mendapat 10% [royalti]. Itupun diterima enam bulan sekali dan penulis tidak bisa cek jumlah penjualannya. Di Storial, penulis bisa memonitor penjualan karya secara transparan. Pembayaran bisa ditarik setiap bulan. Ini yang tidak bisa didapat di penerbit konvensional,” ujarnya.

Maka itu, ia menilai peluang buku digital lebih besar karena penulis mudah memonetisasi dan pembaca dapat membeli dengan harga terjangkau. Selain itu, ada dukungan ekosistem lain, seperti pembayaran yang memudahkan transaksi.

Kurasi konten

Salah satu value proposition yang diunggulkan adalah kurasi dan kualitas konten. Menurut Ega, Storial berdiri berkat masukan basis komunitas penulisnya yang ingin dipertemukan dengan pembaca melalui aplikasi.

Dengan merilis karya secara satuan, penulis dapat mengetahui masukan dan kritik dari para pembaca langsung. Selain itu, ia ingin Storial dapat diposisikan sebagai platform yang memiliki konten dari penulis yang kualitasnya bisa sejajar dengan buku yang diterbitkan di toko buku.

“Menurut saya, setelah ledakan creator economy ini, akan ada masa ketika konten terseleksi dengan sendirinya. Mengapa? Orang akan semakin overwhelmed dengan sekian banyak konten. Makanya kami pikir kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, istilahnya law of attraction,” tuturnya.

Ega menilai penting untuk melakukan kurasi karena “seleksi alam” pada konten akan membutuhkan waktu lama. Secara keseluruhan, masyarakat perlu belajar untuk membuat cerita yang bisa engage dengan pembaca ketimbang mengikut tren yang mudah dilupakan.

Saat ini Storial memiliki 150 ribu judul karya dengan 50-100 judul yang masuk per hari. Pihaknya membidik satu juta pengguna di tahun ini.

Strategi mendongkrak pasar

Diakui Ega, salah satu tantangan besar membangun Storial adalah memperkuat basis komunitas penulis dan pengguna. Terlepas dari perkembangan ekosistem digital di Indonesia yang semakin mapan, pasar pembaca buku digital masih sangat niche.

Secara umum, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah yang punya tingkat literasi baca rendah menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) di 2019.

Maka itu, Ega mengaku tertarik untuk mengeksplorasi model bisnis Intellectual Property (IP) untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya. Untuk sekarang, Storial memang masih sepenuhnya fokus pada konten fiksi dan audiobook. Namun, ia melihat rata-rata orang Indonesia lebih menggemari konten berbasis audio visual. 

“Saat ini kekuatan Storial terletak pada konten IP. Nah, ini dapat dieksplorasi ke berbagai macam hal, seperti film pendek, serial, atau film layar lebar. Secara gambaran besar, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru, jadi tidak hanya dari konten baca saja,” ujarnya.

Untuk merealisasikan ide ini, ia menyebutkan butuh lebih dari sekadar dukungan modal investasi. Lagipula, Venture Capital (VC) dinilai kurang tertarik dengan model bisnis di industri buku karena akselerasinya tidak secepat sektor seperti e-commerce atau fintech. Storial pernah mendapatkan pre-seed dari Salim Group (2018) dan program akselerator SKALA (2019).

Kuncinya adalah menggandeng mitra strategis yang dapat leverage aset konten yang dimiliki Storial menjadi konten audio visual. Ega menyebut telah menjual beberapa cerita di Storial untuk film dan serial, tapi Storial tidak ikut dalam proses produksinya. Apabila bisa terlibat, ada peluang untuk mengakselerasi bisnis.

“Di putaran [pendanaan] berikutnya, kami ingin bermitra dengan strategic partner yang bisa memberikan, tak cuma modal, tetapi juga dukungan lain ke OTT, media, dan rumah produksi. Saat ini kami sedang bicara dengan perusahaan [yang punya ekosistem itu], tetapi belum bisa kami disclose,” ungkapnya.

Untuk saat ini, tambahnya, Storial masih akan fokus mengembangkan platform dan fitur-fitur sesuai dengan kebutuhan dari pengguna. Salah satu fitur yang tengah dipertimbangkan adalah interaksi langsung antara penulis dan pembaca. Penambahan fitur dan perbaikan platform diharapkan dapat memperkuat basis komunitas di Storial.

“Sekarang kami fokus improve aplikasi supaya lebih reliable di tahun ini. Lagipula, ini yang menjadi bisnis inti Storial. Kami memang bukan yang pertama mengembangkan platform semacam ini, tapi kami punya komunitas penulis yang besar dan tim editor yang melakukan kurasi. Sampai waktunya tiba untuk bicara strategi besar, kami fokus menghadirkan konten berkualitas,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Storial Berkomitmen Dorong Literasi Membaca, Rilis Layanan Percetakan Buku

Angka literasi membaca di Indonesia masih rendah. Menurut penelitian UNESCO tahun 2016, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam menunjukkan kebiasaan membaca. Salah satu kendalanya adalah akses bacaan yang terbatas.

Menanggapi isu tersebut, platform lokal untuk menulis dan membaca secara digital Storial.co menginisiasikan kehadiran Storial Publishing. Ini adalah layanan percetakan buku yang memenuhi syarat terbit setelah dipublikasi dan mendapat engagement tinggi di platform digital Storial.

Chief Content Officer (CCO) Storial.co Brilliant Yotenega, yang akrab dipanggil Ega, menerangkan, kendati berawal dari platform digital, Storial melihat di luar sana masih banyak pembaca di Indonesia yang ingin memiliki buku cetak karya penulis favorit mereka. Alhasil, timbul inisiatif untuk merilis Storial Publishing.

“Sebagai platform lokal, kami melihat pembaca di Indonesia masih banyak yang ingin punya buku cetak karya favorit mereka. Meskipun mereka telah membaca versi digital, mereka ingin mengoleksi buku cetaknya pula,” terang Ega kepada DailySocial.

Dia melanjutkan tidak sembarang karya penulis dapat diterbitkan oleh Storial. Ada sejumlah kurasi, misalnya jumlah komentar pada tiap bab, jumlah pembeli premium chapter, potensi cerita sebagai konten yang layak untuk dinikmati secara bagaimana cara penulis mampu membangun engagement secara stabil.

Setelah itu, diserahkan ke tim editor yang bertugas untuk menyeleksi karya lebih lanjut dengan melihat dari kualitas tulisannya. Untuk monetisasinya, di luar biaya administrasi, pembagian komisi dari setiap proyek adalah 50:50 untuk Storial dan penulis.

“Kami bergerak dari digital ke offline untuk menghadirkan karya-karya yang dipublikasi secara digital agar dapat dinikmati secara fisik. Sebagai penggiat literasi dalam platform digital, kami menemukan banyak karya berkualitas dalam berbagai bentuk tulisan yang sangat layak dibaca.”

Proyek perdana dari Storial Publishing adalah Just You and Me karya Titi Sanaria yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Novel ini terpilih karena memiliki engagement tertinggi di Storial sepanjang tahun 2019. Ega menargetkan setidaknya dalam sebulan, Storial dapat menerbitkan satu buku.

“Kami akan tetap menerbitkan buku-buku yang high quality dan tinggi engagement-nya di platform digital Storial. Target kami untuk mencetak paling tidak satu buku per bulannya.”

Seluruh karya yang diterbitkan Storial Publishing akan tersedia tersedia di berbagai toko buku seluruh Indonesia dan ditawarkan dengan harga terjangkau.

Sejak diperkenalkan di 2016, Storial telah memiliki lebih dari 100 ribu penulis dan pembaca dengan jumlah cerita sebanyak 31 ribu judul yang terdiri atas 128 ribu bab. 100 ribu di antaranya buku Premium.

“Storial Publishing diharapkan bisa memberikan alternatif bacaan yang kepopulerannya sudah tervalidasi, untuk masyarakat Indonesia,” pungkas Ega.

Application Information Will Show Up Here

NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial

Dalam waktu dekat Nulisbuku akan meluncurkan situs terbaru bernama Storial. Di situs tersebut nantinya penulis bisa menuliskan secara langsung cerita yang kemudian bisa disusun sesuai dengan jumlah bab yang ditentukan. Cerita yang sedang dalam proses penulisan juga bisa dibagikan langsung kepada teman serta komunitas lainnya untuk mendapatkan feedback sebelum menjadi buku yang sempurna.

Continue reading NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial

NulisBuku.com, About a Year Running and Its Future Plan [Interview]

This October, NulisBuku.com celebrates its first anniversary. As explained by Ega from NulisBuku, NulisBuku anniversary is on last 8th October. However, they will celebrate it on 11th November 2011 (11.11.11).

NulisBuku is a self publishing service. By this service, anyone can publish their book. Writers can use NulisBuku service to make their book published and then sell it on NulisBuku site or other places. By the Print on Demand system, writers can order books as they want. You can find the complete information about it here.

DailySocial has contacted Brilliant Yotenega (Ega) from NulisBuku to know NulisBuku.com’s development in a year. He will also explain us what are NulisBuku plans in the future. Here is the short interview about NulisBuku.com:

Continue reading NulisBuku.com, About a Year Running and Its Future Plan [Interview]

NulisBuku.com, Tentang Perjalanan Satu Tahun dan Rencana ke Depan [Interview]

NulisBuku.com bulan Oktober ini memasuki usia mereka yang pertama, seperti yang dijelaskan Ega dari NulisBuku, ulang tahun layanan ini lebih tepatnya tanggal 8 Oktober kemarin, namun mereka akan merayakannya tanggal 11.11.11.

NulisBuku adalah layanan self publishing, siapapun bisa menerbitkan karya tulis mereka, penulis/pengarang bisa menggunakan layanan NulisBuku untuk membuat buku mereka sendiri, menjualnya di situs NulisBuku atau di tempat lain. Dengan sistem Print on Demand, penulis bisa memesan buku sesuai jumlah yang diinginkan. Selengkapnya bisa lihat tautan ini.

DailySocial juga ikut memperhatikan startup yang satu ini, mulai dari sebelum rilis resmi sampai ketika situs mereka sudah aktif dan mulai menawarkan layanan, serta beberapa berita seputar layanan ini.

Kali ini DailySocial mencoba mengontak Brilliant Yotenega (Ega) dari NulisBuku untuk mengetahui perkembangan NulisBuku.com selama setahun ini serta rencana mereka atas pengembangan NulisBuku. Berikut petikan wawancara singkat tentang NulisBuku.com.

Continue reading NulisBuku.com, Tentang Perjalanan Satu Tahun dan Rencana ke Depan [Interview]