Resep Amartha dan Kopi Kenangan Jaga Pertumbuhan Bisnis Selama Pandemi

Dalam sesi diskusi di acara #BUMNStartupDay2022, turut dihadirkan Co-Founder & CMO Kopi Kenangan Cynthia Chaerunnisa dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra. Keduanya sepakat bahwa pandemi telah mengakselerasi pertumbuhan bisnis mereka, di sisi lain juga turut menjaga dan meningkatkan produktivitas pegawai.

Untuk bisa terus tumbuh pasca-pandemi, masing-masing pimpinan tersebut juga mengungkapkan strategi dan keunggulan produk yang dimiliki, dan rencana ke depannya agar bisa menghadirkan produk yang relevan dan bermanfaat untuk target pengguna mereka.

Menerapkan konsep hybrid untuk pegawai

Topik yang dibahas dalam sesi tersebut adalah bagaimana perusahaan bisa mengelola produktivitas kerja pegawai  untuk bisa mendapatkan pertumbuhan bisnis yang positif. Salah satu cara yang kemudian diterapkan oleh Amartha  memberlakukan bekerja WFH kepada pegawai saat pandemi. Menurut Taufan, jika diterapkan dengan benar, konsep bekerja di rumah atau bekerja di kantor, bisa menumbuhkan produktivitas pegawai, jika sejak awal sudah ditentukan goals atau target yang ingin dicapai.

Perusahaan juga tidak membatasi kebebasan pegawai bekerja saat pandemi dan saat ini ketika kondisi sudah mulai pulih. Perusahaan sepakat bahwa konsep hybrid masih menjadi relevan dan ternyata terbukti mampu menumbuhkan produktivitas pegawai. Saat ini Amartha telah memiliki sekitar 5 ribu pegawai.

“Saat pandemi kami memberlakukan WFH semua, namun karena sejak awal goals sudah ditetapkan apa yang ingin dicapai dipastikan semua sejalan dengan misi perusahaan. Fokus kami adalah lebih mendorong kepada akuntabilitas dan kolaborasi dengan tim yang lainnya,” kata Taufan.

Hal senada juga diterapkan oleh manajemen dari Kopi Kenangan. Meskipun pegawai mereka terdiri dari para pegawai di outlet dan di kantor, namun untuk menjaga produktivitas bekerja semua, fleksibilitas dan pengawasan yang sesuai dengan SOP perusahaan terus diterapkan oleh perusahaan. Saat ini Kopi Kenangan telah memiliki sekitar 400an pegawai.

Fokus pada inovasi

Sejak awal berdiri tahun 2010 lalu, Amartha masih konsisten dengan misi awal mereka yaitu memberikan akses pembiayaan kepada kalangan yang masih belum mendapatkan akses tersebut. Kini di tahun 2022, perusahaan ingin mendigitalkan lebih banyak kawasan pedesaan, sekaligus membantu lebih banyak pelaku UMKM di pedesaan mendapatkan akses pembiayaan.

“Misi Amartha saat ini adalah bagaimana kita dapat membantu orang-orang yang masih underserved untuk bisa mendapatkan pembiayaan dan meningkatkan kesejahteraan. Di mulai dari tahun 2010 di Bogor, saat ini sudah 12 tahun Amartha berjalan,” kata Taufan.

Jika awalnya mereka belum fokus untuk mengembangkan teknologi, namun sejak tahun 2015 lalu perusahaan mulai fokus menjadi layanan microfinancing yang menghubungkan investor mulai dari kalangan institusi, perbankan, hingga individu sebagai mitra untuk bisa memberikan akses pembiayaan kepada UMKM.

Saat ini perusahaan mengklaim terus mengalami pertumbuhan di kawasan pedesaan, dan telah menjangkau sekitar 35 ribu desa. Ke depannya perusahaan memiliki target untuk bisa terus memberikan investasi ke lebih banyak lagi kawasan pedesaan di seluruh Indonesia, agar akses keuangan dan permodalan menjadi lebih merata.

“Harapannya nanti mereka yang tinggal di pedesaan juga bisa berpartisipasi di ekonomi digital. Sesuai dengan misi kami adalah selain memberikan akses finansial juga mendigitalkan pedesaan dan ekonomi informal,” kata Taufan.

Serupa dengan Amartha, Kopi Kenangan juga memiliki rencana untuk meningkatkan layanan mereka dengan menghadirkan varian produk yang lebih beragam. Bukan cuma fokus kepada minuman saja, namun perusahaan juga ingin menambah varian produk makanan dan produk lainnya. Selain produk minuman saat ini Kopi Kenangan telah memiliki produk makanan seperti Cerita Roti, Chigo dan Kenangan Manis.

“Waktu awal membuka Kopi Kenangan ibaratnya kita hanya sebagai ritel kopi biasa. Kemudian kita juga memiliki misi bagaimana untuk bisa menjadi tech enable company,” kata Cynthia.

Di tahun 2019 perusahaan telah meluncurkan aplikasi Kopi Kenangan. Melalui aplikasi tersebut pengguna bisa mendapatkan penawaran khusus yang hanya bisa dinikmati jika melakukan pemesanan melalui aplikasi. Meskipun masih memanfaatkan marketplace untuk layanan pemesanan dan delivery, namun saat ini perusahaan memiliki rencana untuk mendorong penggunaan aplikasi kepada target pengguna.

“Selain menawarkan promosi memanfaatkan aplikasi kita juga bisa melihat kebiasaan pengguna. Apakah mereka melakukan pembelian di pagi hari atau sore hari. Dari situ kita bisa melakukan targeting,  apa yang bisa di berikan kepada pengguna,” kata Cynthia.

Setelah menyandang status unicorn tahun 2021 lalu, perusahaan masih memiliki rencana untuk menambah beberapa lokasi baru di Indonesia dan juga melakukan ekspansi di luar negeri. Malaysia kemudian menjadi negara yang rencananya akan disasar oleh Kopi Kenangan.

Tahun ini, Kopi Kenangan juga masuk ke sektor FMCG dengan produk pertamanya Kopi Kenangan Hanya Untukmu. Adapun, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir di sepanjang 2021. Kini, perusahaan memiliki 672 outlet yang tersebar di 45 kota di Indonesia.

Willson Cuaca: Startup di Asia Tenggara Tidak Akan Bisa Menjadi Unicorn Tanpa Indonesia

Pada sesi BUMN Startup Day 2022 Senin (26/9) kemarin, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca membagikan banyak pandangan dengan gaya khasnya, yakni melalui analogi-analogi unik.

Pandangan-pandangan ini masih berkaitan dengan potensi ekonomi digital di Indonesia dan perubahan industri startup Indonesia di era pra dan pasca-pandemi Covid-19.

Tren yang muncul dari pandemi

Willson menilai terjadinya inflection point cukup berdampak terhadap perkembangan industri startup di Indonesia. Jika dulu startup bisa membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mendapat sekitar 30.000 unduhan aplikasi, kini startup bisa mencapai satu juta unduhan hanya dalam satu bulan.

Implikasi lainnya, pandemi Covid-19 mengubah perilaku pengguna dan mempercepat bagaimana proses edukasi pasar. Alhasil, adopsi digital tak hanya terjadi pada early adopter saja, tetapi justru lebih dari itu. Kalangan orang tua yang cenderung bukan digital native, bahkan bisa menggunakan aplikasi Zoom.

Kemudian, ia juga mengidentifikasi dua jenis model bisnis startup selama masa pandemi ini. Pertama, startup yang dapat solving problem pada pra dan pasca-pandemi. Kedua, startup yang seolah-olah model bisnisnya hanya cocok di masa lockdown pandemi saja.

Kendati demikian, ia menekankan ada atau tidaknya pandemi Covid-19, ekonomi digital Indonesia akan tetap bertumbuh. Era pra dan pasca-pandemi justru akan menentukan bagaimana suatu startup dapat bertahan dan tetap relevan. Maka itu, penting untuk melihat apakah problem statement yang dikembangkan oleh dapat bertahan selama pandemi atau pasca-pandemi.

Membangun bisnis teregulasi dan beretika

Di masa awal fenomena investasi startup, Willson menyebut VC memulai dengan blank paper mengingat bisnisnya masih tergolong baru. VC terbilang tidak didukung dengan data, hanya sebatas ide. Lalu, sebagai venture capitalist, bagaimana Willson menuntut pertumbuhan dari portofolio startup yang bisnisnya belum teregulasi? Bagaimana membuat keputusan bahwa mungkin sebuah startup dapat mencapai kesuksesan suatu hari?

Ia menilai, setiap pelaku startup tetap harus mengejar pertumbuhan, tetapi dalam lingkungan yang teregulasi. Bagaimana pun juga VC mengacu pada metrik pertumbuhan tinggi. Maka itu, untuk mencapai hal tersebut, VC perlu membuat semacam playbook sendiri dengan menggunakan sejumlah komponen, seperti Environmental, Social, dan Corporate Governance (ESG).

Komponen tersebut dapat menjadi lensa pengambilan keputusan sehingga investor tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Menurutnya, VC perlu meregulasi diri di internal sehingga dapat mendorong startup yang inklusif, win-win solution, dan mampu men-encourage hal-hal positif.

Di samping itu, pelaku startup juga perlu mengambil risiko, tetapi tetap membangun bisnis beretika. Penting untuk digarisbawahi, bagi Willson startup harus bisa menguasai bisnisnya sendiri sebelum mendisrupsi.

“Mantra startup ‘lebih baik minta maaf, daripada minta izin’ masih berlaku. Analoginya begini, apa perbedaan U-turn di Singapura dan Indonesia? Di Singapura, orang melihat tanda dulu, baru belok. Artinya, mereka berinovasi dalam kerangka tertentu. Di Indonesia, mereka mencari yang tidak ada tanda, lalu belok. Mereka berinovasi dulu dan tidak dalam suatu kerangka karena kerangkanya belum tentu ada–tetapi tetap sesuai etika,” paparnya.

Learn how to learn

Willson mengungkap bahwa Indonesia sedang menuju masa keemasan digital dengan potensi sangat besar. Ia membandingkan PDB per kapita di India hanya sekitar $1.000, padahal populasinya menembus 1,4 miliar jiwa. Namun, PDB per kapita Indonesia justru mencapai $4.000 dengan populasi 250 juta. Artinya, spending di Indonesia lebih banyak sehingga potensi startup untuk menjadi profitable juga lebih besar.

“Kita tidak boleh low self-esteem dari negara lain. Investor di India dan Korea Selatan berbondong-bondong ke Indonesia karena kita ekosistem terbesar di Asia Tenggara. Nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sekitar Rp2 triliun, Indonesia sumbang Rp1 triliun. Startup di Asia Tenggara tidak akan bisa jadi unicorn tanpa Indonesia. Setidaknya harus punya sedikit [kontribusi pasar] dari Indonesia. Kita harus percaya diri,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi digital tersebut bukan terjadi dalam semalam saja. Menurutnya, tanpa sadar Indonesia telah membangun infrastruktur digital selama satu dekade, mulai dari e-commerce, payment gateway, warehouse, hingga last mile delivery.

Dengan perkembangan infrastruktur yang semakin matang, startup justru lebih mudah memonetisasi bisnisnya karena memanfaatkan berbagai API yang sudah ada. Willson juga menekankan agar founder tidak terlena dan tetap terus belajar seiring berkembangnya bisnis mereka.

“Dalam skala 0 sampai 1.000, 1.000 sampai 10.000, hal yang terpenting buat founder adalah kemampuan belajar. Ketika founder membuat produk, mereka harus belajar leadership, governance, atau management. Ketika startup mencapai skala 1.000, founder harus belajar corporate structure sampai people culture. Ketika mencapai skala 10.000, founder tidak lagi terlibat di operasional, mereka harus menjadi visioner,” tuturnya.

Kementerian BUMN Meluncurkan Tiga Dana Kelolaan untuk Investasi di Sektor Biotech, Energi, dan Agrikultur

Kementerian BUMN meresmikan peluncuran tiga dana kelolaan terdiri dari Bio Health Fund, Energy Fund, dan Agri Fund yang akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait. Tidak disebutkan berapa total komitmen investasi awal dari dana kelolaan ini.

Ketiga dana kelolaan tersebut akan disuntik dari PT Bio Farma, PT Pertamina, dan PT Pupuk Indonesia yang masing-masing akan membidik pendanaan di sektor biotech, energi, dan agrikultur di Indonesia. Sebelumnya, Bio Health Fund sudah lebih dulu diluncurkan pada Mei 2022 senilai $20 juta atau Rp292 miliar.

Adapun, peluncuran ini ditandai oleh penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pada pembukaan BUMN Startup Day, Senin (26/9), oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir, dan Direktur Utama Pupuk Indonesia Bakir Pasaman, serta CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Erick Thohir menuturkan ada dua jenis kendaraan investasi yang didirikan BUMN. Pertama, dana kelolaan Merah Putih Fund dengan komitmen investasi sebesar $300 juta untuk startup soonicorn/centaur atau valuasi mendekati $1 miliar. Merah Putih Fund didukung lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Kedua, dana kelolaan yang bersifat vertical-focused dengan inisiasi tahap awal dari Bio Health Fund, Energy Fund, dan Agri Fund.

(Ki-ka) CEO DailySocial.id Rama Mamuaya dan Menteri BUMN Erick Thohir pada pembukaan BUMN Startup Day, Senin (26/9) / DailySocial

Menurut Erick, Merah Putih Fund hadir untuk mengisi kekosongan pendanaan pada startup growth stage. Sementara, tiga dana kelolaan baru ini merupakan upaya transformasi BUMN dalam mencapai ketahanan di bidang pangan, kesehatan, dan energi untuk mendorong kekuatan ekonomi Indonesia.

Di samping itu, perusahaan yang terlibat masing-masing menawarkan kekuatan pada sinergi dan ekosistem, bukan hanya investasi. Bio Farma memiliki go-to market yang kuat, sedangkan Pertamina Power & New Renewable Energy (NRE) fokus terhadap pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Adapun, Pupuk Indonesia dapat mendorong ekspansi bisnis pangan di Indonesia.

“Indonesia merupakan negara penghasil pangan, tapi sinergi agrikultur masih cukup rendah dibandingkan sektor lain. Makanya kami coba bangun masyarakat digital, baru masuk ke pendanaan. Kami melihat pertumbuhan ekonomi harus didasari oleh pertumbuhan ekonomi baru. Sudah seyogyanya kita bersama-sama membangun ekosistem yang dirajut oleh sektor swasta, UMKM, dan BUMN. Ini baru langkah awal,” jelasnya.

Berdasarkan laporan CB Insights, ada lima alasan teratas startup mengalami kegagalan di antaranya salah membaca kebutuhan pasar (42%), kehabisan dana (29%), susunan tim tidak sesuai (23%), kalah berkompetisi (19%), dan harga atau biaya tanggungan (18%).

Membuka akses inovasi

Ditemui usai acara, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku belum dapat mengungkap alokasi dari dana kelolaan tersebut. Untuk saat ini, baik Bio Farma, Pertamina, dan Pupuk Indonesia masih bertindak sebagai Limited Partner (LP) utama. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk membuka akses terhadap LP lain di luar.

“Bagi kami yang penting bukan capital gain, tetapi apakah mereka dapat membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. Contohnya, Bio Health Fund itu untuk pharmaceutical product, sudah terlihat produk apa yang dipasarkan. Ini semua upaya Bio Farma untuk mencari inovasi produk baru,” terangnya.

“Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn. Saat ini belum dapat saya share, tetapi ada satu deal yang ingin ditandatangani dengan Bio Farma,” ungkap Donald.

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.