CarbonEthics Raih Pendanaan Awal Rp32,2 Miliar Dipimpin Intudo Ventures

CarbonEthics mengumumkan keberhasilan meraih pendanaan sebesar $2,1 juta atau setara Rp32,2 miliar dalam putaran pendanaan awal (seed) yang dipimpin oleh Intudo Ventures. Beberapa angel investor strategis lainnya turut serta dalam pendanaan ini.

Didirikan pada Mei 2019, CarbonEthics awalnya fokus pada pengembangan ekosistem blue carbon, sebelum memperluas cakupannya ke ekosistem gambut dan hijau. Dengan solusi iklim berbasis alam, perusahaan ini memadukan dampak lingkungan dan komersial, mengembalikan ekosistem alami yang rusak untuk mendukung bisnis dalam perjalanan dekarbonisasi mereka serta menciptakan sumber pendapatan baru.

CarbonEthics menawarkan tiga layanan inti, yaitu:

  1. Proyek Karbon Berbasis Alam: Melindungi ekosistem untuk menyerap karbon, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga keanekaragaman hayati.
  2. Penanaman Pohon: Mendukung rehabilitasi ekosistem, khususnya ekosistem blue carbon.
  3. Konsultasi Karbon: Menyediakan layanan konsultasi ESG (Environmental, Social, and Governance) untuk membantu klien mencapai target pengurangan karbon dan mematuhi regulasi terkait.

Co-Founder & CEO CarbonEthics Bimo Soewadji, menyatakan bahwa pencapaian emisi nol bersih (net-zero) tidak hanya penting untuk melindungi bumi dari risiko perubahan iklim, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan yang menguntungkan. “Kami mengundang lebih banyak mitra untuk bergabung dalam mengembangkan inisiatif iklim yang berdampak besar dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang menguntungkan manusia dan planet,” ujar Bimo.

CarbonEthics juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perusahaan swasta, BUMN, lembaga pemerintah, dan organisasi non-pemerintah. Beberapa klien ternama mereka antara lain Allianz, Ernst & Young, dan Danone. Hingga saat ini, CarbonEthics telah menyelesaikan studi kelayakan untuk proyek karbon di lahan seluas lebih dari 4,2 juta hektare dengan potensi proyek karbon lebih dari 1 juta ton CO2e per tahun, serta menanam sekitar 288.000 biota, termasuk mangrove, lamun, rumput laut, dan terumbu karang.

Melalui pendanaan ini, CarbonEthics akan memperkuat portofolionya dengan mengamankan proyek karbon tambahan dan merekrut ahli teknis terbaik untuk melayani kebutuhan klien. Pada tahun 2030, CarbonEthics menargetkan untuk melindungi dan memulihkan 8 juta hektare lahan serta menciptakan dampak CO2e lebih dari 160 juta ton, sembari membangun ekonomi berkelanjutan bagi lebih dari 50.000 masyarakat lokal.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Pengembang Tenaga Surya SUN Energy Peroleh Pinjaman Senilai Rp326 Miliar

Pengembang proyek tenaga surya PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy) memperoleh pendanaan dalam bentuk pinjaman jangka panjang senilai $21 juta (sekitar Rp325,7 miliar) dari DEG, lembaga keuangan asal Jerman.

Ini adalah pinjaman kedua dari DEG yang diteken pada Oktober 2023. Sebelumnya, pada 2021, SUN Energy memperoleh pendanaan seri A sebesar Rp360 miliar, salah satunya dari TBS Energi Utama, yang juga mendirikan perusahaan patungan motor listrik Electrum.

Menurut keterangan di situs resminya, dana tersebut akan dipakai untuk membiayai tambahan kapasitas sebesar 50 MW di lebih dari 50 lokasi proyek baru untuk pembangkit listrik tenaga surya atap komersial dan industri di Indonesia.

Didirikan pada 2016, SUN Energy mengembangkan dan menyewakan instalasi photovoltaic (PV) solar ke perusahaan dan industri, seperti pusat perbelanjaan, dengan perjanjian sewa jangka panjang. Hingga saat ini, perusahaan telah mengamankan kontrak proyek dengan total kapasitas sebesar 280MW, di mana 89 proyek sudah selesai, 3 proyek berlokasi di luar negeri, dan sisanya tersebar di 25 kota di Indonesia.

Lebih lanjut disampaikan DEG, Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi terbarukan dan dampak pembangunan yang didorong oleh upaya elektrifikasi di daerah pedesaan dan luar Pulau Jawa. Hal ini sejalan dengan upaya SUN Energy dalam mengembangkan solar panel.

Selain itu, investasi ini juga berkontribusi terhadap strategi DEG dalam mendukung transformasi energi ramah lingkungan di Asia. Selain mendukung pelaku usaha muda dan inovatif di negara-negara berkembang, ini menjadi langkah penting dalam upaya Indonesia mendorong bauran energi terbarukan pada 2030.

“Transaksi ini terutama berkontribusi pada goal ke-7 SDG terkait penyediaan energi yang terjangkau dan bersih, dan goal ke-13 terkait aksi iklim,” demikian pernyataan DEG.

PV surya atap komersial dan industri masih merupakan segmen muda dan berkembang yang memiliki peran penting dalam rencana Indonesia untuk meningkatkan pangsa Energi Terbarukan hingga 20% hingga tahun 2030.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi bauran energi baru terbarukan baru mencapai 12,5% pada paruh pertama 2023, meleset dari target yang ditetapkan tahun lalu di level 17,9%. Target ini disebut tidak tercapai karena sebagian besar commercial operation date (OCD) pembangkit EBT diperkirakan baru bisa dieksekusi setahun setelahnya.

Selain SUN Energy, beberapa startup pengembang solar panel di Indonesia antara lain Xurya, Suryanesia, dan SolarKita.

Startup Cleantech Neutura Umumkan Pendanaan Pra-Awal

Bersama dengan pagelaran COP 28 di Dubai, Neutura selaku startup di bidang carbon removal lokal, mengumumkan pendanaan angel round atau pra-awal dengan investor dan nilai yang tidak disebutkan. Investasi tersebut difokuskan untuk pengembangan proyek penyerapan karbon berbasis biochar, yang dinilai dapat menghadirkan loncatan besar dalam menghambat laju perubahan iklim.

Cara kerjanya dengan mengubah limbah pertanian menjadi biochar yang memiliki nilai tambah dan diklaim mampu mengunci karbon dalam tanah selama lebih dari 500 tahun.

Dalam waktu dekat Neutura bersiap meluncurkan dua proyek mercusuar pada tahun 2024 ini. Proyek yang akan diluncurkan berfokus pada pemanfaatan limbah tanaman dari industri pertanian untuk menyerap karbon dari atmosfer, dengan mengubah hasil limbah menjadi biochar dan cuka kayu.

Targetnya proyek ini akan dijalankan di Indonesia dan Eropa Selatan. Proyek di dua wilayah ini tidak hanya sekadar bertujuan untuk mengurangi emisi secara holistik, melainkan juga mengubah paradigma masyarakat terkait carbon removal dan manajemen limbah agrikultur yang bertanggung jawab.

Lokasi uji coba yang akan dikerjakan di Indonesia berkapasitas 30 ribu ton untuk limbah per tahunnya, dengan perkiraan karbon yang dihilangkan melalui Biochar Carbon Removal (BCR) sekitar 18 ribu ton per tahun.

Untuk lokasi uji coba kedua di Eropa Selatan, kapasitas potensial maksimumnya sekitar 12 ribu ton limbah yang akan diproses setiap tahunnya, perkiraan karbon yang dihilangkan melalui BCR akan sekitar 6 ribu ton per tahun.

“Kami melihat limbah pertanian bukan sebagai masalah tetapi sebagai solusi. Dengan mengubah limbah ini menjadi biochar, kami mengatasi beberapa tantangan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan kesehatan tanah, dan menciptakan praktik pertanian yang berkelanjutan,” ujar Co-Founder Neutura Laksamana Sakti atau yang akrab dipanggil Alif.

Mengenal Biochar

Biochar merupakan hasil produk berbentuk arang yang dihasilkan oleh Neutura melalui proses pirolisis. Salah satu kemampuan utamanya untuk meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, biochar ini bisa dimanfaatkan sebagai material industri metalurgi dan semen rendah emisi.

“Material ini dapat meningkatkan retensi air dan struktur tanah, menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih sehat, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Produksi biochar dapat menjadi katalis perubahan yang cukup signifikan untuk memulai praktik pertanian berkelanjutan,” jelas Alif.

Secara bersamaan, cuka kayu produk sampingan dari proses ini, dapat berfungsi sebagai pestisida dan pupuk alami. Menurut Alif, cuka kayu adalah solusi organik untuk perawatan tanaman. Cara ini dinilai efektif, ramah lingkungan, dan sejalan sepenuhnya dengan visi masa depan pertanian yang berkelanjutan.

Proyek pilot yang dikerjakan Neutura menggunakan peralatan pirolisis khusus yang dirancang menggunakan energi yang efisien dan terintegrasi dengan pabrik. “Kami berinvestasi dalam teknologi yang tidak hanya mendukung berjalannya kegiatan operasional, tetapi juga menetapkan standar rendah emisi yang berkelas dunia,” ujar Alif.

Dengan menjual biochar dan kredit penyerapan karbon, Neutura ingin memastikan kelangsungan profitabilitas perusahaan sedari awal. “Model bisnis kami mencerminkan komitmen kami terhadap keberlanjutan dan profitabilitas,” kata Alif.

Selain Alif, startup ini turut didirikan oleh Glory Sihombing. Sebelumnya Alif dikenal sebagai Co-Founder Siklus, salah satu startup berdampak yang fokus pada layanan isi ulang aneka kebutuhan harian. Ia juga terlibat sebagai dewan direksi di proyek berdampak REDD+ dan ARR yang fokus ke solusi penanganan iklim. Alif juga menjadi salah satu delegasi Indonesia pada KTT Pemuda G20 2023 lalu.

Sementara Glori juga merupakan anggota Global Green Capital dan Carbon Offset AsiaCarbon. Dengan enam proyek penghapusan karbon yang sedang berjalan di seluruh Indonesia, pengalamannya dinilai akan signifikan dalam mengakselerasi Neutura.

Buangdisini Atasi Isu Fundamental di Industri Daur Ulang Plastik

Bisnis daur ulang sampah plastik belakangan semakin banyak dilirik. Selain karena terbukti menguntungkan, daur ulang sampah plastik juga dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan.

Pendekatan ini banyak dikenal dengan istilah ekonomi sirkular. Februari lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bahwa Indonesia saat ini memiliki sekitar 241 pelaku usaha daur ulang plastik, dengan nilai investasi mencapai 20 triliun rupiah dan kemampuan produksi sebesar 2,54 juta ton per tahun.

Dari sini sebenarnya sudah bisa kita simpulkan bahwa sampah, khususnya sampah plastik, dapat diperlakukan sebagai komoditas yang bernilai.

Sayangnya, hal ini cuma berlaku untuk beberapa pihak saja. Pasalnya, seperti yang kita tahu, masih banyak kalangan pemulung yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sentimen seperti itulah yang saya dapatkan setelah berbicara singkat dengan Rheza Varianto Yudhistira, co-founder sekaligus CEO dari startup manajemen sampah Buangdisini.

Dalam penjelasannya, Rheza mendeskripsikan Buangdisini sebagai startup yang menawarkan layanan daur ulang plastik secara end-to-end, dengan fokus pada digitalisasi tata niaga di sektor informal.

Salah satu pemain di sektor informal yang dimaksud adalah kalangan pemulung itu tadi. Menurut Rheza, status quo industri yang ada saat ini membuat para pemulung sangat sulit untuk memperoleh pendapatan yang layak, dan di situlah Buangdisini berharap dapat membantu melalui upaya digitalisasinya.

Secara garis besar, produk Buangdisini dapat dibedakan menjadi dua, yakni fasilitas daur ulang canggih yang bertempat di kota Malang, dan aplikasi ponsel yang dapat digunakan oleh para pengumpul sampah plastik untuk memudahkan pekerjaan mereka.

Lewat aplikasi tersebut, siapa pun dapat mengakses data yang terintegrasi secara transparan. Dalam konteks para pemulung misalnya, mereka bisa menjual sampah plastik yang dikumpulkannya dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang jika melalui pihak perantara.

Sejak diluncurkan pada bulan Oktober 2022, aplikasi Buangdisini telah berhasil menggaet sekitar 1.000 pengguna aktif.

Untuk ulasan selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Startup Cleantech Bioniqa Peroleh Pendanaan Awal dari Bali Investment Club

Startup cleantech Bioniqa mengumumkan perolehan pendanaan awal dengan nominal yang tidak disebutkan dari Bali Investment Club (BIC). Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk kebutuhan riset dan pengembangan produk.

Bioniqa mengembangkan fotobioreaktor yang dapat mengonversi jejak karbon menjadi kredit karbon dan oksigen. Mereka mengadopsi pendekatan lokal yang diklaim belum pernah ada sebelumnya di Indonesia dalam memerangi isu polusi udara di pusat perkotaan.

“Fotobioreaktif unik yang kami miliki dapat menampung alga dalam lingkungan terkendali, yang dapat menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen. Ini bukan hanya sebuah mesin, tetapi ekosistem yang dapat membersihkan udara yang kita hirup sehingga membuat kota menjadi lebih layak huni,” ujarnya Co-Founder dan President Bioniqa Andre Hutagalung lewat siaran resmi.

Bioniqa didirikan pada 2023 oleh RaMa Raditya dan Andre Hutagalung. Keduanya dikenal sebagai pendiri startup pengembang smart city Qlue. Saat ini, Bioniqa telah mengoperasikan instalasinya di tempat penitipan anak di wilayah Jakarta, dan targetnya akan dipasang secara agresif di sekolah-sekolah besar di sejumlah kota.

Bioniqa menyasar sektor B2C di segmen menengah ke atas, mencakup residensial mewah dan apartemen vertikal; sektor B2B, mencakup gedung perkantoran, ruang ritel; serta sektor B2G lewat kemitraan dengan fasilitas pemerintahan, dan ruang publik berlalu lintas tinggi.

Klaimnya, satu fotobioreaktor Bioniqa telah meningkatkan kualitas udara luar ruang sebesar 60%-80% pada area seluas 150 meter persegi dalam waktu 24 jam. Lalu, mesin ini dapat mengimbangi 165 hingga 240 kg emisi karbon setiap tahunnya, serta menghasilkan 6.800 liter oksigen setiap tahunnya.

Melalui pendanaan ini, Bioniqa akan mengembangkan laboratorium dan perkebunan alga, hingga meningkatkan kemampuan fotobioreaktor melalui teknologi IoT.

Nicolo Castiglione, Managing Partner Bali Investment Club mengatakan ini menjadi momentum tepat berinvestasi untuk merespons krisis polusi udara yang dihadapi Jakarta selama beberapa bulan terakhir.

“Per satu mesin saat ini setara dengan 80 pohon dalam produksi O2 dan 20 pohon untuk mengurangi CO2. Di kota padat seperti Jakarta, kita tidak bisa menanam pohon di sembarang tempat dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum pohon itu tumbuh. Bioniqa hadir untuk memecahkan masalah ini dengan menggabungkan alam dan teknologi.”

Beberapa waktu lalu, pemerintah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon), merespons target
Indonesia untuk mencapai pengurangan emisi karbon menjadi 31,89% pada 2030. Payung hukumnya juga telah diterbitkan melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 yang akan menjadi pedoman dan acuan perdagangan karbon.

Peluncuran Bursa Karbon Indonesia juga merespons berkembangnya kebutuhan terhadap solusi di bidang teknologi hijau (cleantech), khususnya dekarbonisasi, yang diikuti oleh kemunculan pengembang inovasi di bidang karbon.

Beberapa di antaranya Fairatmos yang mengembangkan platform untuk mengakselerasi penyerapan karbon, juga Jejak.in yang memanfaatkan teknologi IoT dan satelit dalam menganalisis jejak karbon.

Apa Itu Cleantech? Apa Bedanya dengan Climate Tech?

Meningkatnya kesadaran dunia akan perlunya perubahan demi mengantisipasi krisis iklim berujung pada pesatnya perkembangan di sektor cleantech dan climate tech.

Kedua istilah ini sering kali digunakan secara bergantian, termasuk salah satunya di Wikipedia, mengindikasikan kalau keduanya sebenarnya sama secara konsep dasar.

Meski anggapan tersebut ada benarnya, cleantech dan climate tech sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Artikel ini akan mencoba menjelaskan apa itu cleantech dan climate tech, dan bagaimana keduanya dapat dibedakan.

Apa itu cleantech?

Sebelum membahas perbedaannya, kita tentu harus mengenali masing-masing terlebih dahulu.

Menurut Investopediacleantech adalah istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan berbagai perusahaan atau teknologi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kelestarian lingkungan.

Istilah cleantech mulai populer digunakan pada tahun 2002. Kala itu, cleantech didefinisikan sebagai beraneka ragam produk, layanan, dan proses yang dirancang untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi, selagi di saat yang sama mengurangi atau menghilangkan dampak lingkungan yang dihasilkan.

Beberapa contoh cleantech mencakup teknologi energi bersih, udara bersih, air bersih, transportasi, manajemen limbah, penyempurnaan rantai suplai, manufaktur, dan lain sebagainya.

Apa itu climate tech?

PwC mendeskripsikan climate tech sebagai teknologi yang secara khusus dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), atau untuk membantu mengatasi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

Contoh-contoh climate tech meliputi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture & storage – CCS), maupun teknologi yang didesain untuk meningkatkan efisiensi energi bangunan.

Dari sini sebenarnya sudah bisa dilihat kalau climate tech memiliki tujuan yang lebih spesifik ketimbang cleantech. Namun di saat yang sama, kita juga sudah bisa mendapatkan gambaran bagaimana keduanya bakal beririsan.

Untuk ulasan selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Daftar Startup Cleantech Indonesia di Sektor Industri & Pembangunan

Ekosistem startup cleantech di Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh subur terlepas dari sejumlah tantangan yang masih harus ditangani, utamanya seputar pendanaan dan kerangka regulasi.

Secara umum, ekosistem startup cleantech di Indonesia dapat dipetakan menjadi tiga sektor: sektor energi, sektor transportasi, dan sektor industri & pembangunan.

Sebelumnya, tim Solum.id sudah lebih dulu membuat daftar startup cleantech Indonesia yang bergerak di sektor energi dan di sektor transportasi.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan menyoroti startup cleantech yang bergerak di sektor industri & pembangunan.

Berikut daftar lengkapnya.

1. Berkela

Berkela menghadirkan platform efisiensi dan konservasi energi (energy efficiency & conservation – EEC) bagi organisasi dan perusahaan di berbagai sektor.

Tak hanya menyediakan informasi dan alat yang relevan untuk keperluan EEC, platform yang Berkela bangun juga dirancang untuk menghubungkan pelaku usaha dengan para pemangku kepentingan terkait.

Website: berkela.id

2. Faraday

Bermula dari proyek penelitian akademis di Universitas Prasetiya Mulya, Faraday lanjut mengembangkan sistem manajemen energi buat industri.

Saat ini, Faraday tengah mengembangkan prototipe sistem manajemen energi matahari, lengkap dengan fitur-fitur seperti real-time monitoringforecasting, dan optimasi kinerja pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Website: faraday.id

3. Leastric

Leastric adalah startup yang mengembangkan sistem pemantauan listrik terintegrasi, dengan tujuan utama untuk menekan angka konsumsi energi listrik, baik dalam skenario industri ataupun residensial.

Dengan perpaduan perangkat fisik dan pengolahan data berbasis cloud, Leastric mengeklaim teknologi yang dikembangkannya dapat membantu mengurangi konsumsi listrik hingga 15%.

Website: leastric.com

4. Powerbrain

Didirikan pada tahun 2019 dengan nama Homemate, Powerbrain kini fokus mengembangkan sejumlah layanan berbasis teknologi untuk meningkatkan efisiensi energi.

Di samping menawarkan sistem manajemen energi yang terintegrasi, Powerbrain juga menyediakan layanan komprehensif terkait pemanfaatan sumber energi terbarukan bagi industri, mulai dari studi kelayakan, desain, instalasi, hingga operasional dan perawatannya.

Untuk daftar selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Daftar Startup Cleantech Indonesia di Sektor Transportasi

Meski dihadapkan dengan sejumlah tantangan, utamanya dari segi pendanaan dan kerangka regulasi, ekosistem startup cleantech di Indonesia tetap memiliki peluang untuk tumbuh subur.

Secara umum, ekosistem startup cleantech di Indonesia dapat dipetakan menjadi tiga sektor: sektor energi, sektor transportasi, dan sektor industri & pembangungan.

Sebelumnya, tim Solum.id sudah lebih dulu membuat daftar startup cleantech Indonesia yang bergerak di sektor energi.

Di artikel kali ini, giliran startup cleantech yang bergerak di sektor transportasi yang mendapat sorotan.

Berikut daftar lengkapnya.

1. ALVA

ALVA merupakan brand solusi mobilitas ramah lingkungan dari Ilectra Motor Group (IMG). Tak hanya membangun brand sepeda motor listrik, IMG juga aktif dalam pengembangan ekosistem pendukungnya melalui kerja sama dengan sejumlah pihak.

Produk ALVA sejauh ini sudah ada dua, yakni ALVA Cervo dan ALVA One. ALVA Cervo dijual dengan harga mulai Rp37.750.000, sementara ALVA One mulai Rp36.490.000 — harga on-the-road (OTR) Jabodetabek.

Website: alvaauto.com

2. Automa

Mengawali kiprahnya sebagai penyedia solusi IoT, Automa kini menyediakan sistem manajemen transportasi yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi di sisi rantai suplai.

Automa mengembangkan platform bagi pelaku usaha untuk memonitor kondisi armadanya beserta sejumlah statistik lain yang relevan secara real-time.

Website: x.automa.id

3. Batex

Berdiri sejak 2012, Batex mengeklaim dirinya sebagai produsen baterai litium pertama di Indonesia. Selain baterai litium, Batex juga mengembangkan sejumlah produk turunannya, termasuk halnya sepeda listrik.

Website: @batex.indonesia – Instagram

4. Charged

Charged adalah startup yang berkecimpung dalam bidang produksi dan distribusi sepeda motor listrik. Dalam pengembangan sejumlah produknya, Charged berkolaborasi dengan produsen sepeda motor listrik asal Australia, Vmoto..

Charged sejauh ini telah memasarkan tiga model sepeda motor listrik yang berbeda, yakni Anoa (harga mulai Rp32 juta), Rimau (Rp33,5 juta), dan Maleo (Rp24 juta).

Website: charged.co.id

5. Nuxcle

Nuxcle adalah startup yang berfokus pada pengembangan kendaraan listrik. Produk yang dikembangkan sejauh ini mencakup skateboard listrik di bawah brand @zuboard, serta prototipe sepeda dan skuter listrik.

Selain menjual produk secara langsung ke konsumen, Nuxcle juga menawarkan layanan konversi kendaraan listrik untuk kendaraan roda dua konvensional.

Untuk daftar selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Daftar Startup Cleantech Indonesia di Sektor Energi

Terlepas dari kendala seputar pendanaan dan regulasi, ekosistem startup cleantech di Indonesia punya potensi untuk tumbuh subur.

Secara umum, ekosistem startup cleantech di Indonesia dapat dipetakan menjadi tiga sektor: sektor energi, sektor transportasi, dan sektor industri & pembangunan.

Di artikel ini, tim Solum.id telah mengumpulkan deretan startup cleantech Indonesia yang bergerak di sektor energi.

Berikut daftar lengkapnya.

1. Xurya

Didirikan pada tahun 2018, Xurya merupakan startup yang menyediakan solusi lengkap terkait kebutuhan listrik bersih bersumber energi matahari.

Platform yang Xurya bangun ditargetkan untuk membantu transisi energi para pemilik bangunan komersial dan industri, mulai dari tahap studi kelayakan investasi, manajemen instalasi, hingga operasional dan pemeliharaan berkala.

Website: xurya.com

2. SolarKita

SolarKita menyediakan solusi terintegrasi bagi konsumen residensial yang tertarik untuk menambahkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada atap rumahnya.

Pelayanan yang diberikan mencakup dari tahap konsultasi hingga perawatan dan pemantauan performa PLTS. SolarKita juga menawarkan program pendanaan yang cukup fleksibel.

Website: solarkita.com

3. Warung Energi

Berdiri pada tahun 2017, Warung Energi adalah salah satu unit bisnis milik PT Bina Lintas Usaha Ekonomi (BLUE) yang mengusung konsep one-stop shopping terkait solusi teknologi energi terbarukan.

Warung Energi menjual komponen PLTS secara terpisah sekaligus melayani instalasi PLTS rumahan dalam berbagai paket yang dapat disesuaikan dengan bujet dan kebutuhan konsumen.

Website: warungenergi.com

4. BTI Energy

Didirikan pada Maret 2020 di Denpasar, Bali, BTI Energy merupakan penyedia layanan EPC (engineering, procurement, and construction) yang fokus pada energi terbarukan, khususnya energi matahari.

Fokus utama BTI Energy adalah mengatasi tantangan biaya tinggi dalam pemasangan panel surya, yakni melalui biaya yang terjangkau beserta skema pembayaran yang fleksibel.

Website: btienergy.id

5. Gree Energy

Sejak 2013, Gree Energy telah menawarkan solusi dekarbonisasi bagi industri pengolahan makanan dengan mengubah air limbah yang dihasilkan menjadi biogas — yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan energi, panas, air bersih, pupuk organik, ataupun dijual sebagai kredit karbon.

Website: gree-energy.com

Untuk daftar selengkapnya, kunjungi Solum.id. Solum.id adalah media online yang fokus menyajikan berbagai artikel tentang sektor keberlanjutan dan teknologi masa depan.

Disclosure: Solum.id adalah bagian dari grup DailySocial.id

Siapa Mau Masuk Cleantech?

Berbicara tentang ekosistem startup cleantech, bisa dibilang ini bukan ekosistem yang baru. Jika merujuk beberapa artikel yang menjelaskan pertama kali istilah ini dimunculkan, setidaknya sudah 2002 tahun (Neal Dikeman). Tetapi, dengam waktu yang selama ini, apakah ekosistemnya se-vibrant segmen startup lain?

Istilah cleantech dan climate tech atau secara sederhana bisa dibedakan dalam cakupan startup yang membuat produk atau menyediakan solusi hijau dan bersih (green and clean) termasuk di dalamnya meningkatkan performa, produktivitas dan atau efisiensi dari produksi sambil mengurangi implikasi negatif atas lingkungan. Sedangkan climate tech adalah solusi berbasis teknologi yang tujuan utamanya adalah perubahan iklim yang adalah mengurangi dampak dan pendorong gas rumah kaca secara global.

Kondisi ekosistem cleantech Indonesia

Data yang diungkapkan oleh New Energy Nexus Indonesia dari laporannya, seperti yang dituliskan oleh DailySocial. Menyebutkan beberapa kondisi di ekosistem cleantech.

Saat dirilis, laporan tersebut menyebutkan hanya ada 300 startup cleantech. Hanya 50 yang disurvei dan 2 diantaranya tutup. Yang menarik. dalam laporan tersebut, 90% lebih memiliki runway (dana) yang tidak ideal untuk startup, yaitu sebagian besar di bawah 1 tahun. Temuan menarik lainnya adalah sebagian besar masih dalam tahap ideation/prototyping atau testing ke pengguna.

Dari laporan tersebut juga bisa dilihat, dari para VC yang sangat aktif memberikan pendaan untuk startup (misalnya adalah EV), hanya berinvestasi pada 1 startup saja saat laporan tesebut diliris.

Salah dua kendala yang diungkapkan pada laporan tersebut menyebutkan bahwa kendala pendanaan jadi faktor utama. Ada pula kendala jumlah yang kurang banyak dari founder yang cakap dalam segmen ini, serta kerangka regulasi jadi faktor juga di ekosistem cleantech.

Tren sustainability

Di sisi lain, saya juga ingin menyoroti tentang tren yang ada akhir-akhir ini terutama di Indonesia. Jargon sustainability makin santer terdengar dalam beberapa tahun ke belakang di ekosistem startup. Salah dua faktornya bisa jadi karena beberapa startup yanng mulai merilis sustainability report, serta VC yang aktif di Indonesia juga merilis topik report yang sama yaitu sustainability report. Atau ada juga yang merilis ‘saudaranya’ yaitu impact report.

Tentang topik sustainability dan topik hijau juga makin santer jadi bahan topik beberapa media di Indonesia – termasuk media nasional – yang mulai punya kanal atau vertikal khusus sendiri. Tidak terkecuali juga DailySocial yang kini punya Solum.id.

Semakin munculnya topik ini juga bisa karena target yang dipasang oleh pemerintah Indonesia: Net Zero Emission pada 2060 sedangkan transisi EBT atau energi terbarukan seacra nasional 23% di 2025 baru tercapai 12.3%.

Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga sudah mulai cukup ketat untuk menerapkan beragam persyaratan ‘hijau” pada para mitra. Ada pula yang sudah tidak malu-malu lagi mengungkapkan target hijau mereka. Sebut saja Apple, perusahaan paling bernilaui di dunia (Juli 2023 data dari Katadata), yang memberikan porsi cukup besar untuk program hijau mereka.

Mengapa startup cleantech tidak menjamur?

Meski segmen yang berhubungan dengan iklim lebih erat dengan climate tech, tetapi secara garis besar tren penggunaan teknologi untuk solusi ramah lingkungan semakin dibutuhkan, karena bukan hanya tren ekosistem pendanan startup saja, bumi kita memang sedang membutuhkan solusi-solusi berbasis teknologi untuk menjaga agak tetap layak huni.

Lagi pula, ada irisan tipe startup dari cleantech dan climate tech. Masih berdasarkan ulasan Clean Energy Ventures, setidaknya ada Clean Energy, Suuply Chain. Built Environment dan Trasportasion, yang bisa berupa solusi hijau dan bersih tetapi di sisi lain juga bisa berdampak pada iklim atau pengurangan emisi GRK.

Jadi, seharusnya cleantech juga bisa berperan, dus, jumlahnya bisa semakin bertunbuh dan berkembang karena ada permasalahan yang butuh solusi, dan minat VC di sini pun (seharusnya) meningkat.

Apakah minat VC belum bisa beralih dari fintech, SAAS, F&B , transportsasi, agriteh atau bahkan entertainment menuju ke startup di segmen cleantech karena memang tidak ada startup-nya atau adakah alasan lain?

Apakah karena berinvestasi di startup cleantech itu ‘terlalu berat’ dan butuh waktu dan daya tahan (baca: modal) yang tidak sedikit, sehingga ketertarikan VC yang masih malu-malu kucing.

Atau pengaruh lain, seperti misalnya bayang-bayang resesi ekonomi dan behaviour consumer era post covid yang masih membingungkan, yang memberikan pengaruh atas masih rendahnya minat investasi masuk ke startup cleantech?

Atau dibutuhkan perubahan paradigma (tesis) dari para VC agar ekosistem dari iklim pendanaan yang memungkinkan tumbuh suburnya startup cleantech. Karena tesis ‘masuk di round awal keluar di round berikutny’a, menurut saya bukanlah tesis investasi yang cocok di segmen atau ekosistem cleantech.  Karena sebagian besar butuh dana tidak sedikit untuk tumbuh atau untuk pengembangan R&D.

Di sisi lain, solusi low tech di bidang hijau – dibeberapa kondisi – malah jadi lebih menarik dan mudah mendapatkan dana, misal program dari NGO atau dana CSR. Atau bahkan dana berupa program dari perusahaan yang membutuhkan target untuk dimasukkan di laporan sustainability mereka.

Saya jadi ingat tulisan saya yang sedikit banyak bisa jadi penutup tulisan ini. Sekaligus jadi saran sederhana untuk membuka diskusi tentang perkembangan ekosistem cleantech ke depannya.

Saran yang bisa saya utarakan adalah serupa dengan saran saya ke ekosistem startup tahun 2011, yang entah kenapa, meski sudah lebih dari 10 tahun, bagi saya masih selalu dan terus relevan: investor (perorangan, VC atau CVC) – akselerator – inkubator – dan juga pemerintah, termasuk juga bank lewat Taksnonomi hijau, harus bantu inovasi yang dikembangkan oleh para startup cleantech agar ekosistemnya bisa tumbuh dan berkembang.