Terkendala Perizinan, Kitabisa Hentikan Platform Crowdinsurance Saling Jaga

Setelah sebelumnya memutuskan untuk tetap menjalankan donatur terdaftar, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh Kitabisa saat ini resmi ditutup. Sebelumnya Satgas Waspada Investasi (SWI) meminta Kitabisa untuk menghentikan operasi platform tersebut karena belum mengantongi izin dari OJK.

DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi terkait penutupan ini, namun pihak mereka mengarahkan ke situs resmi yang berisikan informasi penutupan dan proses selanjutnya untuk para donatur yang terlibat.

Tertulis dalam pernyataan tersebut, “Saling Jaga merupakan bentuk produk inovasi gotong royong yang diinisiasi oleh Yayasan KitaBIsa. Yayasan Kita Bisa dan program-programnya, termasuk Saling Jaga, diniatkan sebagai program sosial berbasis donasi yang bernaung di bawah UU Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial. Namun demikian, Sebagai produk inovasi, kami paham dan menghormati arahan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengevaluasi kembali bentuk perizinan Saling Jaga. Untuk itu setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta menghormati arahan OJK pada bulan Mei 2021, dengan berat hati Saling Jaga kami putuskan untuk selesai beroperasi. Sampai jumpa di program inovasi kebaikan selanjutnya.”

Disampaikan juga dalam situs tersebut proses yang bisa dilakukan oleh donatur untuk mengembalikan dana ke saldo rekening masing-masing. Proses pengajuan ini akan dibuka mulai tanggal 16 Juli s/d 31 Juli 2021 dan akan disalurkan pada 16 s/d 30 Agustus 2021. Saldo yang disalurkan adalah saldo yang tersisa per tanggal 16 Agustus 2021 (jika ada).

Terkendala perizinan

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas. Layanan ini sendiri telah diperkenalkan kepada publik sejak bulan April 2021.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Persoalan perizinan menjadi kendala yang kemudian memicu penutupan layanan Saling Jaga ini. Meskipun telah mendaftarkan diri ke regulatory sandbox OJK, namun konsepnya yang menyerupai crowdinsurace dan melibatkan orang banyak dalam bentuk donasi gotong royong, menjadi perhatian dari regulator.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Bugatti Bikin Smartwatch, Tonjolkan Aspek Kemewahan, Personalisasi, dan Eksklusivitas

Seseorang yang mengemudikan sebuah Bugatti pastinya sudah sangat familier dengan jam tangan bikinan Rolex, Patek Philippe, Audemars Piguet, dan brandbrand mewah lainnya. Namun seandainya mereka tertarik dengan smartwatch, mereka bisa melirik penawaran dari sang produsen supercar asal Perancis itu sendiri.

Ya, Bugatti sekarang juga menjual smartwatch. Namanya Bugatti Ceramique Edition One, dan ia merupakan hasil kolaborasi Bugatti bersama sebuah produsen smartwatch asal Austria bernama VIITA. Seperti mobilnya, jam tangan pintar ini juga dibuat dengan sangat presisi menggunakan material-material yang sangat premium.

Ada tiga varian desain yang ditawarkan: Pur Sport, Le Noire, dan Divo, dengan perbedaan hanya pada wujud bezel-nya saja. Bezel-nya sendiri terbuat dari bahan keramik zirkonium anti-gores, dengan proses finishing yang dikerjakan menggunakan tangan selama sekitar 20 hari. Di tengahnya, ada layar sentuh AMOLED beresolusi 390 x 390 pixel yang diproteksi dengan kaca safir.

Seperti mobilnya, personalisasi merupakan aspek penting yang ingin Bugatti tekankan di sini. Itulah mengapa paket penjualannya turut mencakup satu bezel ekstra dari varian desain yang berbeda, plus sebuah obeng khusus untuk melepas bezel-nya secara cepat. Juga termasuk adalah dua pilihan strap; satu berbahan karet silikon, satu lagi berbahan titanium. Secara keseluruhan, fisik smartwatch ini tahan air hingga kedalaman 100 meter.

Smartwatch Bugatti ini juga punya sensor-sensor yang lengkap, mulai dari altimeter sampai GPS, bahkan sensor laju jantungnya pun ada dua supaya lebih bisa diandalkan. Total ada 72 aktivitas fisik yang mampu dimonitor, akan tetapi yang sangat unik adalah bagaimana perangkat mampu merekam lap time dan akselerasi secara otomatis ketika pengguna menggeber mobilnya di sirkuit.

Sistem operasi yang digunakan bukanlah Google Wear, melainkan hasil rancangan VIITA sendiri dengan tampilan antarmuka yang serba minimalis, yang kompatibel dengan perangkat Android maupun iOS. Dalam sekali pengisian, baterai perangkat bisa bertahan sampai 14 hari — angkanya pasti bakal lebih rendah kalau GPS-nya sering aktif.

Kesaaman terakhir smartwatch ini dengan mobil Bugatti adalah perihal ketersediaan yang terbatas. Total hanya akan ada 600 unit Bugatti Ceramique Edition One yang diproduksi, masing-masing dengan kemasan yang mewah dan garansi selama lima tahun. Harganya dipatok mulai 899 euro (± 15,6 jutaan rupiah), dan sudah bisa dipesan sekarang melalui situs crowdfunding Kickstarter.

Sumber: SlashGear dan Bugatti.

Motion Sonic Adalah Pengatur Efek Suara Berbasis Gestur Bagi Para Musisi

Tidak setiap hari kita melihat Sony memperkenalkan produk baru menggunakan metode crowdfunding. Namun ketika mereka melakukannya, bisa dipastikan produk tersebut sangatlah unik. Salah satu contohnya adalah perangkat bernama Motion Sonic berikut ini.

Wujudnya sepintas kelihatan seperti gelang pintar pada umumnya, namun perangkat ini sebenarnya ditujukan untuk para musisi dan DJ ketimbang untuk memonitor aktivitas penggunanya. Idenya adalah, dengan menggunakan Motion Sonic, musisi dapat menambahkan beragam efek suara hanya dengan menggerak-gerakkan tangan dan jari-jarinya.

Sony sendiri mendeskripsikannya sebagai musical effect generator berbasis gestur. Pengguna dapat mengangkat tangan untuk menambahkan efek delay, membalik tangan untuk mengubah pitch, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Secara teknis, kemampuannya membaca pergerakan tangan dan jari datang dari motion sensor 6-axis yang tertanam.

Untuk bisa bekerja, Motion Sonic butuh bantuan sebuah iPhone atau iPad yang terhubung ke audio interface (entah kenapa sejauh ini belum ada dukungan untuk platform Android). Informasi gerakannya diteruskan dari Motion Sonic ke iPhone/iPad via Bluetooth, lalu aplikasi pendampingnya bertugas menerjemahkan informasi tersebut menjadi efek suara yang diinginkan secara real-time.

Potensi pengaplikasian Motion Sonic sangatlah luas. Sony bahkan telah menyiapkan channel YouTube khusus untuk mendemonstrasikan fungsi-fungsi Motion Sonic di tangan seorang gitaris, keyboardist, sekaligus DJ. Bagi para gitaris misalnya, mereka dapat mengatur supaya efek suara tertentu bisa otomatis ditambahkan mengikuti gerakan tangannya yang sedang menggenjreng (strumming).

Buat para keyboardist, Motion Sonic dapat dipakai untuk menambahkan efek-efek suara mengikuti ‘tarian’ jari jemarinya. Lalu untuk para DJ, momen selagi mereka berinteraksi dengan audiens via lambaian tangan dapat diterjemahkan menjadi beragam efek suara. Semuanya tergantung kreativitas masing-masing musisi.

Agar lebih ekspresif, Motion Sonic juga dilengkapi sebuah LED yang dapat menyala dalam berbagai warna. Dalam sekali pengisian, baterai Motion Sonic bisa bertahan selama 6 jam pemakaian, atau 2,5 jam kalau LED-nya dibiarkan menyala terus. Selain dipakai di pergelangan tangan, Motion Sonic juga dapat dikenakan di bagian punggung tangan dengan memanfaatkan strap lain yang terdapat di paket penjualannya.

Sayang sekali untuk sekarang Motion Sonic hanya akan dipasarkan di Jepang dan Amerika Serikat saja. Di Indiegogo, harganya dipatok 23.900 yen (± Rp3,1 jutaan) untuk 400 pembeli pertama. Setelahnya, para backer harus menyiapkan dana sebesar 27.200 yen (± Rp3,5 jutaan).

Sumber: Engadget.

Surplus dan Misinya Tumbuhkan Gerakan “Zero Food Waste”

Salah satu persoalan yang masih kerap dialami oleh industri F&B adalah  besarnya food waste atau terbuangnya makanan berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat pada umumnya. Dari statistik yang kami dapat, sekitar 13 juta ton makanan di Indonesia terbuang tiap tahunnya.

Berangkat dari isu tersebut, platform Surplus resmi meluncur. Layanan tersebut memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk dapat menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko, dengan diskon setengah harga (closing-hour discounts/clearance sale).

“Berbeda dengan platform lainnya, secara khusus Surplus bukan hanya sebagai food marketplace yang menjual produk makanan seperti beberapa pemain lainnya, namun konsepnya hanya menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce kepada pelanggan, untuk mengatasi permasalahan food waste,” kata Managing Director PT Ekonomi Sirkular Indonesia Muhammad Agung Saputra.

Ditambahkan olehnya, di sisi lain mitra bisa mendapatkan pelanggan baru serta pendapatan tambahan dari produk berlebihnya. Diperkirakan margin 50% dari setiap produk yang terjual akan lebih menguntungkan untuk meng-cover HPP (Harga Pokok Penjualan) daripada terbuang sia-sia. Untuk strategi monetisasi yang diterapkan adalah revenue-sharing dengan mitra sekitar 10% dari setiap transaksi melalui aplikasi.

“Jumlah mitra Surplus saat ini berkisar 400 lebih yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Sementara itu untuk kategori mitra yang bisa bergabung dengan Surplus adalah yang umumnya berpotensi menghasilkan banyak produk makanan berlebih seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering & pertanian,” kata Agung.

Bagi mitra yang ingin memanfaatkan aplikasi Surplus, bisa mengunggah foto makanan berlebih atau imperfect produce yang akan dijual cepat melalui aplikasi Surplus Partner di jam tertentu sebelum jam tutup toko makanan/restoran tersebut.

Kemudian bagi pelanggan bisa menentukan pilihan makanan yang diinginkan melalui menu khusus. Selanjutnya makanan yang dipilih bisa diambil sendiri di restoran atau toko terkait, atau dapat memilih menggunakan pengiriman GoSend yang sudah terintegrasi eksklusif di aplikasi Surplus. Untuk pilihan pembayaran Surplus menyediakan opsi seperti Ovo, Gopay, dan Dana.

“Setiap transaksi di aplikasi Surplus, maka pihak pelanggan dan mitra telah berkontribusi untuk mendukung gerakan zero food waste karena telah menyelamatkan lingkungan dari ancaman food waste,” kata Agung.

Pandemi dan dan target Surplus

Meluncur saat pandemi bulan Maret 2020 lalu, ternyata cukup menyulitkan bagi Surpus untuk menjalankan bisnis. Pandemi membuat mitra yang sudah bergabung di awal menjadi tidak aktif dan kesulitan untuk mengakuisisi mitra untuk bergabung selama masa pandemi. Dampak lainnya adalah target pelanggan Surplus yaitu mahasiswa, pekerja kantoran hingga anak indekos menjadi sangat susah untuk diakuisisi, karena adanya kebijakan PSBB dan WFH serta belajar dari rumah.

“Namun setelah satu tahun Surplus bertahan di tengah pandemi, kami bisa membuat tren pertumbuhan positif dari segi transaksi dengan YoY sekitar 1500% (periode April 2020-April 2021). Diharapkan tren pertumbuhan positif ini tetap terjaga hingga berakhirnya pandemi,” kata Agung.

Tahun ini ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh Surplus, di antaranya adalah dapat menjangkau 10.000 pengguna aktif dan menjangkau 1000 lebih mitra dan bergabung kepada zero food waste movement. Sehingga dapat mengurangi laju food waste sekitar 10-15% di area Jabodetabek, Bandung dan Yogyakarta di akhir tahun 2021.

“Kami juga sedang mempersiapkan penggalangan dana dalam bentuk crowdfunding melalui platform Kickstarter yang rencananya akan di-launching pada 1-2 bulan ke depan. Kami juga sangat terbuka kepada investor yang mempunyai visi-misi yang sama atau sedang mencari investasi kepada green startup atau perusahaan yang menghasilkan dampak sosial dan lingkungan,” kata Agung.

Menurut laporan ANGIN bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak atau startup dengan pendekatan “hijau” atau ramah lingkungan, masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Application Information Will Show Up Here

Belum Kantongi Izin OJK, KitaBisa Hentikan Penerimaan Donatur Baru di Saling Jaga

Setelah sebelumnya diperkenalkan kepada publik awal bulan April 2020 lalu, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh KitaBisa diminta oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) untuk dihentikan operasinya karena belum mengantongi izin dari OJK.

Seperti yang dilansir dari Detik, program ini diduga merupakan kegiatan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2014, sehingga harus mendapatkan izin usaha perasuransian dari OJK.

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun KitaBisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

Menghentikan penerimaan donatur baru

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Untuk saat ini sesuai dengan permintaan dari regulator, perwakilan KitaBisa menyebutkan bahwa mereka memutuskan untuk menghentikan penerimaan donatur baru dan menghormati himbauan OJK.

Tapi lainnya untuk donatur terdaftar tetap berjalan, karena menurut mereka pengaplikasian program Saling Jaga sudah mendapatkan izin dari Kemensos. Saat ini pihak KitaBisa masih melakukan koordinasi dengan pihak terkait dan akan memberikan informasi lebih lengkap terkait layanan Saling Jaga selanjutnya minggu depan.

Application Information Will Show Up Here

Cardlax Earbuds Washer Adalah Mesin Cuci Mini Khusus TWS

Seberapa sering Anda membersihkan TWS milik Anda? Kalau jawabannya jarang atau malah tidak pernah, ada baiknya Anda coba amati betapa kotornya perangkat audio berukuran mungil tersebut. Dalam kasus tertentu, TWS yang kotor bahkan bisa menghasilkan kualitas suara yang lebih buruk — sering kali karena akumulasi kotoran yang menumpuk dan menutupi bagian earpiece.

Tentunya tidak butuh upaya ekstra berat untuk membersihkan TWS. Namun kalau Anda ingin lebih dimudahkan lagi, produk bernama Cardlax EarBuds Washer ini mungkin bisa jadi pertimbangan. Sesuai namanya, fungsinya benar-benar cuma untuk membersihkan TWS secara otomatis, baik sisi dalam maupun luarnya.

Wujud mesin cuci khusus TWS ini tergolong ringkas. Saat dibuka, tampak satu lubang berukuran cukup besar yang dapat menampung dua earpiece sekaligus. Yang bisa dibersihkan bukan cuma TWS bertangkai seperti AirPods saja, melainkan juga berbagai macam TWS lain. Bagian dalamnya ini terbuat dari bahan yang mirip seperti spons untuk makeup sehingga tidak akan merusak atau malah membuat TWS jadi baret.

Di depannya, ada sikat kecil yang juga akan berputar ketika satu-satunya tombol pada perangkat ini ditekan. Sesuai tebakan, sikat dengan bulu-bulu halus ini berfungsi untuk membersihkan bagian dalam earpiece. Lalu di sisi sebaliknya, ada lubang untuk menampung botol penyemprot berukuran mini. Botol ini bisa pengguna isi dengan alkohol 70%, jenis cairan pembersih yang disarankan oleh pengembangnya.

Proses membersihkan TWS menggunakan perangkat ini hanya memakan waktu sekitar 2 menit. Semua dalamannya, mulai dari spons sampai sikat kecilnya, dapat dilepas untuk dicuci dari waktu ke waktu — penting mengingat kotoran dari TWS yang dibersihkan pada dasarnya jadi akan berpindah ke dalaman perangkat ini. Paket penjualannya pun juga menyertakan satu set spons cadangan.

Buat yang tertarik, Cardlax EarBuds Washer saat ini sedang dipasarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter dengan harga paling murah $33 (± Rp480 ribuan). Pengirimannya dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juni 2021.

Sumber: SlashGear.

Kitabisa Luncurkan “Saling Jaga”, Layanan Perlindungan Kesehatan Berbasis Sedekah

Bertujuan untuk menghadirkan layanan yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna saat dihadapkan kepada kondisi yang mendesak, Kitabisa luncurkan “Saling Jaga”. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, sejak tujuh tahun berdiri sudah ada jutaan pengguna Kitabisa menolong ribuan penggalangan dana, khususnya untuk kategori kesehatan.

“Namun kalau sebelumnya tolong-menolong menunggu ada yang butuh bantuan baru kita berdonasi/menolong, sekarang sebelum ada yang butuh kita sudah berdonasi untuk saling menjaga satu sama lain agar saat butuh bantuan bisa langsung tertolong. Itulah kenapa kami membuat Saling Jaga,” ujar Alfatih.

Konsep ini juga bukan hal baru untuk masyarakat Indonesia. Berbagai praktik serupa sudah berjalan lama sebagai budaya masyarakat, seperti budaya Marsialapari di Sumatera Utara, Sambatan di Gunungkidul Yogyakarta, dan Liliuran di Jawa Barat.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Kitabisa Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

“Setiap anggota donasi minimal Rp10.000 untuk menjadi saldo Saling Jaga, lalu saldo tersebut dikumpulkan dengan saldo anggota lainnya sehingga menjadi uang kas bersama. Saat ada anggota yang butuh, bisa mengajukan bantuan, dan saldo seluruh Anggota akan terpotong merata,” kata Alfatih.

Dicontohkan olehnya, jika ada yang mendapatkan bantuan Rp50.000 dan anggota berjumlah 500.000 orang, maka masing-masing anggota saldonya akan terpotong Rp100. Dalam hal ini jika awalnya Rp10.000 menjadi Rp9.900. Proses ini ditampilkan secara digital dan transparan di Saling Jaga.

Berada di bawah naungan Kementerian Sosial

Konsep yang serupa dengan crowd insurance ini, bisa juga dikategorikan layanan fintech untuk umum. Menanggapi hal tersebut Alfatih menegaskan produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK, dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

“Target kami melalui Saling Jaga adalah, menyediakan solusi perlindungan dengan konsep gotong royong atau patungan berbasis digital, yang secara konvensional sudah marak dilaksanakan oleh masyarakat luas di Indonesia. Dengan demikian upaya edukasi pada masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya memiliki perlindungan bagi diri dan keluarga dari Risiko  kesehatan yang tak diduga,” tutup Alfatih.

Application Information Will Show Up Here

Aya Neo Usung Prosesor Ryzen 5 dalam Bodi ala Nintendo Switch

Perangkat handheld yang bisa digenggam senyaman Nintendo Switch tapi memiliki performa ala laptop gaming mungkin kedengarannya terlalu muluk. Namun menjelang akhir tahun lalu, sebuah perangkat bernama GPD Win 3 membuktikan bahwa itu bukan lagi sebatas angan-angan.

Tren handheld console dengan jeroan PC tulen ini sepertinya bakal terus berlanjut ke depannya. Baru-baru ini, platform crowdfunding Indiegogo sempat dibuat geger oleh perangkat bernama Aya Neo, yang sampai artikel ini ditulis, telah mengumpulkan pendanaan lebih dari 10 juta dolar Hong Kong (HKD) meski baru dua hari diperkenalkan.

Konsep yang ditawarkan Aya Neo pada dasarnya sangat mirip seperti GPD Win 3; layar di tengah, diapit oleh controller di kiri dan kanan, lalu disokong oleh spesifikasi yang umum dijumpai pada sebuah laptop. Untuk Aya Neo, pengembangnya mempercayakan kinerjanya pada AMD, spesifiknya prosesor 6-core Ryzen 4500U yang ditandemkan dengan RAM 16 GB dan SSD NVMe berkapasitas 500 GB atau 1 TB.

Dengan bekal seperti ini, Aya Neo diklaim sanggup menjalankan berbagai game AAA secara lancar di 30 fps, atau 60 fps untuk beberapa judul yang lebih lama. Semua itu disajikan di atas layar sentuh IPS 7 inci beresolusi 1280 x 800 pixel, ukuran yang bisa dibilang ideal mengingat Nintendo dirumorkan sedang menyiapkan Switch anyar dengan layar 7 inci.

Penggunaan layar sentuh sangatlah krusial mengingat Aya Neo sama sekali tidak dilengkapi dengan keyboard fisik. Aya Neo juga dilengkapi beberapa tombol penting di sisi bawah, seperti misalnya tombol Esc, tombol Windows, maupun tombol shortcut untuk membuka Task Manager. Tombol-tombol ekstra ini sengaja dibuat berukuran kecil dan agak rata dengan bodi supaya tidak mudah tertekan tanpa disengaja.

Berhubung tidak punya keyboard fisik, otomatis rangka Aya Neo bisa dibuat lebih tipis, persisnya di angka 20 mm. Kapasitas baterainya tergolong cukup besar di 47 W, dan diklaim mampu bertahan hingga sekitar 5 – 6 jam pemakaian, atau sampai 140 menit ketika menjalankan gamegame yang super-berat. Terkait pengecasan, Aya Neo hanya memerlukan waktu sekitar 90 menit untuk mengisi ulang baterainya hingga penuh.

Urusan konektivitas, Aya Neo hadir mengusung Wi-Fi 6, Bluetooth 5.0, tiga port USB-C, serta jack headphone 3,5 mm. Bobotnya secara keseluruhan berada di kisaran 650 gram. Sebagai referensi, Nintendo Switch tercatat memiliki bobot sekitar 400 gram saat kedua controller-nya terpasang.

Di Indiegogo, Aya Neo saat ini bisa dipesan dengan harga paling murah 6.750 HKD, atau kurang lebih sekitar 12,5 jutaan rupiah. Para pemesan diperkirakan baru akan menerima barangnya mulai Mei 2021, dua bulan lebih cepat daripada estimasi GPD Win 3 yang juga sama-sama ditawarkan melalui Indiegogo.

Alice Camera Adalah Kamera Mirrorless dengan Kemampuan Computational Photography ala Smartphone

Pesatnya perkembangan teknologi kamera smartphone membuat kita jadi semakin sering membandingkannya dengan kamera mirrorless. Padahal, kedua perangkat tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Untuk kamera smartphone, kelebihannya jelas terletak pada sederet teknik computational photography yang diterapkan, fitur Night Mode contohnya. Kendati demikian, kamera smartphone masih belum bisa menyaingi fleksibilitas yang ditawarkan mirrorless, terutama terkait kemudahan menggonta-ganti lensa sesuai kebutuhan.

Di luar sana, rupanya ada sebuah startup bernama Photogram yang sedang mencoba untuk menggabungkan kelebihan kedua perangkat tersebut. Buah pemikiran mereka adalah Alice Camera, sebuah kamera unik yang menawarkan keunggulan dari sisi software ala smartphone, sekaligus keunggulan dari sisi hardware ala kamera mirrorless.

Secara teknis, Alice merupakan sebuah kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) beresolusi 10,7 megapixel. Penggunaan sensor MFT berarti ia kompatibel dengan lensa-lensa bikinan Panasonic, Olympus, Sigma, Voigtlander, maupun dari pabrikan-pabrikan lain yang memang menggunakan jenis dudukan MFT. Lensa dengan jenis dudukan lain pun juga bisa digunakan dengan bantuan adaptor.

Dimensi sensor MFT memang tidak sebesar sensor full-frame, tapi masih jauh lebih besar daripada sensor kamera smartphone pada umumnya. Sederhananya, dari segi hardware saja Alice sudah cukup unggul, tapi ternyata kamera ini turut mengandalkan algoritma-algoritma berbasis AI untuk mengoptimalkan hasil jepretannya lebih jauh lagi layaknya kamera smartphone.

Untuk mewujudkan teknik-teknik pemrosesan yang advanced itu, Alice mengandalkan Edge TPU, chip machine learning yang dirancang oleh Google. Mulai dari autofocus, white balance, dynamic range, sampai noise reduction, semuanya akan dioptimalkan menggunakan algoritma-algoritma berbasis AI tersebut.

Namun sebagai sebuah kamera mirrorless, Alice tentu masih menyediakan mode pemotretan manual bagi pengguna yang sudah berpengalaman. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah, Alice tidak mempunyai layar sama sekali. Sebagai gantinya, pengguna dapat menjepitkan smartphone ke bagian belakangnya, dan itu juga berarti semua opsi pengaturannya harus diakses melalui aplikasi smartphone.

Berhubung Alice terhubung langsung dengan smartphone, kegiatan seperti live streaming pun bisa dilangsungkan semudah menggunakan smartphone itu sendiri. Menariknya, Photogram merancang software Alice dengan prinsip open-source, yang berarti siapapun bebas memodifikasi atau menambahkan fitur baru.

Secara fisik, Alice terlihat sangat minimalis dengan gaya desain industrialnya. Bodinya terbuat dari aluminium utuh, dengan hand grip yang menyatu secara seamless. Kendati demikian, bobotnya tergolong ringan di kisaran 350 – 375 gram, dan berhubung ia tidak punya LCD, tebal bodinya pun tidak lebih dari 35 mm.

Alice sejauh ini masih berstatus prototipe, akan tetapi pengembangnya sudah menerima pre-order melalui platform crowdfunding Indiegogo. Di sana, harga paling murahnya (early bird) dipatok £600 (± 11,6 jutaan rupiah). Kalau sesuai jadwal, konsumen bakal menerima pesanannya mulai Oktober 2021.

Sumber: DP Review.

Canon PowerShot PICK Adalah Kamera Pintar yang Mengandalkan AI untuk Beroperasi Secara Otomatis

Canon punya kamera baru yang cukup menarik. Bukan yang ditujukan untuk bersaing dengan Sony A1 maupun Fujifilm GFX 100S, melainkan yang berwujud imut-imut dan mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk beroperasi secara otomatis.

Namanya Canon PowerShot PICK, dan kelebihan utamanya terletak pada kemampuannya mengenali individu demi individu, melacak wajahnya, sebelum akhirnya menentukan momen yang paling pas untuk mengambil foto atau video. Semuanya berlangsung secara otomatis berkat keterlibatan AI.

Tentu Canon bukan yang pertama mengimplementasikan ide seperti ini. Nyatanya, cara kerja PICK ini langsung mengingatkan saya pada Google Clip, kamera pintar yang Google perkenalkan di tahun 2017, dan yang sudah di-discontinue sejak 2019 kemarin.

Agar dapat mengikuti pergerakan subjek, tentu saja PICK bisa berputar (170° searah atau berlawanan jarum jam) maupun miring ke atas atau bawah (110°). Lensanya pun memiliki focal length 19-57mm dengan bukaan maksimum sebesar f/2.8, dan perangkat turut dibekali sistem image stabilization terintegrasi.

Sensor yang digunakan merupakan sensor CMOS 1/2,3 inci dengan resolusi 12 megapixel. Resolusi video tertinggi yang dapat direkam adalah 1080p 60 fps. PICK mengandalkan kartu microSD untuk menyimpan seluruh hasil foto dan videonya.

Dalam kondisi yang ideal, PICK memang dirancang untuk bekerja dengan sendirinya, mengabadikan momen-momen berharga yang terjadi di sekitarnya. Kendati demikian, pengguna tetap bisa mengoperasikannya secara manual, baik dengan menggunakan perintah suara, maupun dengan memakai aplikasi pendampingnya di smartphone. Lewat aplikasi yang sama itu pula pengguna bisa langsung melihat semua hasil tangkapan PICK.

Satu catatan penting terkait PICK adalah, ia harus selalu terhubung ke smartphone agar dapat beroperasi. Jadi ketika proses pairing-nya sudah berhasil, pengguna tinggal menyalakan PICK dan menempatkannya di titik yang diinginkan. Selain di atas meja, ia juga bisa diletakkan di atas tripod.

Secara fisik, PICK dirancang agar tidak terlalu mencuri perhatian. Wujudnya tergolong low-profile, ditambah lagi dimensinya memang cukup mungil, dengan tinggi 90 mm dan berat 170 gram. Satu informasi yang masih misterius adalah seberapa lama baterai rechargeable-nya bisa bertahan dalam sekali pengisian.

PICK bukan untuk semua orang. Pada kenyataannya, Canon memang belum menjual kamera ini secara luas, dan sejauh ini baru menawarkannya ke konsumen di Jepang melalui situs crowdfunding Makuake. Harganya dipatok 40.900 yen, atau kurang lebih setara 5,5 jutaan rupiah.

Sumber: DPReview.