Platform “Crowdfunding” Kolase Dukung Pekerja Seni di Indonesia

Platform crowdfunding berbasis reward Kolase bulan ini mengklaim telah mencapai milestone pertama yakni mencapai angka Rp2 miliar untuk keseluruhan total dana yang berhasil dikumpulkan dari 160 kampanye crowdfunding sukses dari tahun 2018.

Kepada DailySocial, VP Business Development Kolase Wisnu Wicaksana mengungkapkan, di bulan Ramadan dan menyambut Idul Fitri, Kolase sedang menjalankan gerakan #SeniBerbagi. Setiap hasil patungan yang dikumpulkan hasilnya ditujukan untuk 3 sasaran, yakni berbagi ke keluarga di kampung halaman, ke tenaga medis, dan ke teman-teman pekerja seni yang terdampak langsung pendapatannya oleh Covid-19.

“Dari #BikinNyatadiRumah yang sudah berjalan sejak akhir Maret ini, selanjutnya tetap akan kami lanjutkan di bulan selanjutnya dengan sejumlah kegiatan based-on reward crowdfunding, seperti penggalangan dana untuk pekerja seni, penggalangan dana untuk APD tenaga medis, kelas patungan dengan pemateri para pelaku seni, dan beberapa kejutan kolaborasi dengan komunitas seni dan media yang sedang kami siapkan,” kata Wisnu.

Hingga saat ini Kolase telah memiliki jumlah pengguna sekitar 27 ribu. Kolase juga memiliki 11 kampanye crowdfunding yang sedang berjalan. Setelah lebaran ada beberapa penggalangan dana yang bakal disiapkan, melanjutkan campaign #BikinNyatadiRumah dengan sasaran tenaga medis dan pekerja seni harian terdampak Covid-19.

Campaign ini berbentuk kelas patungan dan donasi melalui merchandise edisi terbatas dengan beberapa musisi, komunitas fan based, dan media,” kata Wisnu.

Tren platform crowdfunding

Penggalangan dana Bioskop Hujan The Rain
Penggalangan dana Bioskop Hujan The Rain

Sejak resmi meluncur tahun 2018 lalu, Kolase mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Berbeda dengan platform crowdfunding kebanyakan yang hanya menyediakan platform untuk berdonasi, Kolase justru percaya bahwa setiap partisipasi perlu dihargai.

“Kami mencatat ada 83,4% penggalangan dana untuk tujuan kemanusiaan dari seluruh campaign yang dikerjakan di Kolase sejak Maret 2020. Persentase ini naik drastis, di mana biasanya hanya ada sekitar 10 persen saja dari campaign yang berjalan di Kolase memiliki tujuan sosial,” kata Wisnu.

Melihat perkembangan yang ada saat ini, ke depannya Kolase melihat platform crowdfunding akan semakin diminati oleh masyarakat. Salah satu alasannya adalah kebiasaan melakukan donasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dari berdonasi ini banyak ide-ide maupun kepedulian yang bersifat kemanusiaan dan non-kemanusiaan akhirnya tercapai.

Sementara dari segi platform, peralihan dari kegiatan offline ke online yang terjadi sebagai imbas Covid-19 pada dunia seni dan pertunjukan membuat platform crowdfunding online menjadi pilihan banyak orang untuk membantu mewujudkan ide seni dan pertunjukkan tadi.

“Yang menjadi pekerjaan rumah, terutama bagi kami sebagai satu-satunya platform crowdfunding khusus proyek kreatif adalah bagaimana memperkenalkan dan mengedukasi publik bahwa donasi juga bisa dilakukan untuk tujuan mewujudkan proyek seni dan pertunjukan,” kata Wisnu.

Bagirata as Crowdfunding-based Solidarity Platform for Employees

The current pandemic situation has shown new sides of the country’s economy. Business shut down, employees laid off, and informal sector workers struggled to survive. Bagirata, an initiative as a technology platform emerged with a mission to mitigate the impact of Covid-19 on workers in this pandemic season.

On its official website, Bagirata claims to be a peer-to-peer redistribution of wealth. The Bagirata Platform facilitates the collection of funds from workers who are still earning to those who are no longer income due to Covid-19.

However, Bagirata focused its support on workers in specific sectors, such as the service sector, tourism, hospitality, creative industries, arts & culture, and workers in the gig economy. These are the main criteria for those who want to use Bagirata facilities.

“In fact, I myself am a hospitality worker who was forced to take unpaid leave because of this pandemic, while some of our friends can still earn a living while working from home. Then, why don’t we try to bridge this situation to the wider community. We started from this concern and what is happening around us,” Ivy Vania, one of the Bagirata initiators told DailySocial.

Halaman utama situs web platform Bagirata.
Bagirata website’s main page

Bagirata works somehow resembles another crowdfunding platform, such as Kitabisa. The difference is, this initiative is purely acting as a means of mutual support between workers. The way this platform works is simple. Bagirata, which is optimized for mobile web display, provides two options, participating as a fund donor or recipient. When you choose as the first, Bagirata offered ten potential fund recipients. After choosing, users can directly send their donations through Gopay, DANA, and Jenius, therefore, the money will not flow through this platform. Bagirata also does not limit the nominal submitted by the recipient or donor.

“The greater the minimum funds raised, the longer the time needed. Unless there is a certain level of compatibility between the fund donor and the recipient making it possible to send a larger amount of funds,” Ivy added.

On Monday (4/5), there were more than 1500 people applying as fund recipients, 950 of whom passed verification, and 95 people successfully met their needs through this platform. Regarding the eligibility of prospective recipients, Bagirata applied three layers of verification. First, the data and information, synchronized with Bagirata, and eligibility evaluation using a scoring system. These three steps come with a ‘Report’ button for those who want to do the eligibility test for the recipient.

During this pandemic, economic inequality was increasingly rising. Without a steady income, workers who qualify in Bagirata are in a very vulnerable position. The Ministry of Manpower said there were more than 2 million experienced layoffs (PHK) due to Covid-19. The Indonesian Chamber of Commerce (Kadin) even estimates that the number of people laid off during the pandemic has reached 15 million. The number was figured as we include those workers in the MSME sector.

The government as the highest authority is considered not strong enough to overcome this alone. The pre-employment card program for example. Previously, the program was aimed at providing skills to prospective young workers but the plague forced the government to turn it into a semi-social assistance program. The program was deemed improper because the public needed more cash to make a living.

Solidarity is a keyword as Ivy, Lody Andrian, Rheza Boge, and Elham Arrazag used when creating this platform. The principle of helping others, she said, is more common abroad because there are trade unions almost in every industry. “However, in Indonesia, not all workers have a union, and usually the union is more focused on advocacy. Therefore, we want all employees registered in Bagirata can help each other even though it is cross-industry,” she said.

To date, the number of fund donors and recipients in Bagirata continues to grow. In order to reach more employees, Bagirata is now developing an organization-to-organization system. This is exemplified by their collaboration with the Media Workers and Creative Industries Union (Sindikasi). Later, Bagirata is to create sub-domains for registered organizations, therefore, they can replicate the Bagirata system as a temporary safety net for their members.

“However, we’ve also been in contact with several other organizations, such as the Indonesian Art Coalition and M Bloc, which indeed have previously operated and have their own databases,” Ivy said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bagirata, Solidaritas Sesama Pekerja dengan Model “Crowdfunding”

Masa pandemi ini mengekspos banyak hal dalam perekonomian negeri ini. Bisnis berguguran, banyak perusahaan merumahkan buruhnya, dan pekerja sektor informal berjibaku menyambung hidup sehari-hari. Bagirata, sebuah inisiatif berupa platform teknologi muncul dengan misi meringankan dampak yang ditanggung para pekerja di musim wabah ini.

Di situs resminya, Bagirata menyatakan diri sebagai alat redistribusi kekayaan secara peer-to-peer. Platform Bagirata memfasilitasi kegiatan urun dana dari pekerja yang masih berpenghasilan kepada mereka yang sudah tidak berpenghasilan akibat Covid-19.

Meski begitu, Bagirata memfokuskan dukungannya ke pekerja di beberapa sektor saja, seperti sektor jasa, pariwisata, hospitality, industri kreatif, seni & budaya, serta pekerja di gig economy. Sektor-sektor ini adalah kriteria utama bagi mereka yang dapat menggunakan fasilitas Bagirata.

“Kebetulan, saya sendiri pekerja di hospitality yang terpaksa ambil unpaid leave karena pandemi ini, sementara beberapa teman kami masih bisa berpenghasilan tetap selagi work from home. Setelah berdiskusi, kenapa enggak kita coba buat menjembatani situasi ini ke masyarakat yang lebih luas. Kita berangkat dari keresahan ini dan yang terjadi dari sekitar kita,” ucap Ivy Vania, salah satu inisiator Bagirata kepada DailySocial.

Halaman utama situs web platform Bagirata.
Halaman utama situs web platform Bagirata.

Sekilas cara kerja Bagirata menyerupai platform crowdfunding seperti Kitabisa. Bedanya, inisiatif ini murni berlakon sebagai alat saling dukung antarpekerja. Cara kerja platform ini sederhana. Bagirata, yang dioptimasi untuk tampilan mobile web, menyediakan dua pilihan yakni masuk sebagai donor atau penerima dana. Jika masuk sebagai yang pertama, Bagirata menyodorkan sepuluh calon penerima dana. Setelah memilih, pengguna dapat langsung mengirim donasinya melalui Gopay, DANA, dan Jenius sehingga tak ada uang yang mengalir melalui platform ini. Bagirata juga tidak membatasi nominal yang diajukan oleh penerima ataupun yang boleh diberikan donor.

“Semakin besar dana minimum yang diajukan, semakin lama juga waktu yang dibutuhkan. Kecuali ada level relatibilitas tertentu antara pengirim dana dan penerima dana sehingga memungkinkan untuk mengirim jumlah dana yang lebih besar,” imbuh Ivy.

Pada Senin (4/5) lalu, sudah lebih 1500 orang mengajukan sebagai penerima dana, 950 di antaranya lolos verifikasi, dan 95 orang berhasil dipenuhi kebutuhannya lewat platform ini. Perihal menguji kelayakan calon penerima dana, Bagirata memberlakukan tiga lapis verifikasi. Pertama adalah kelengkapan data dan informasi, kesesuaian dengan kriteria Bagirata, dan evaluasi kelayakan dengan scoring system. Ketiga langkah tersebut juga ditambah dengan tombol ‘Laporkan’ yang ditujukan bagi mereka yang hendak menguji kelayakan seorang penerima dana.

Selama masa pandemi ini, ketimpangan ekonomi kian menjadi. Tanpa penghasilan tetap, para pekerja yang masuk dalam kualifikasi Bagirata berada di posisi sangat rentan. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut ada lebih dari 2 juta mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bahkan mengestimasi orang yang dirumahkan selama pandemi ini mencapai 15 juta orang. Angka itu diperoleh Kadin karena turut memperhitungkan pekerja di sektor UMKM.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi pun dinilai tak cukup kuat mengatasi hal ini sendiri. Program kartu prakerja misalnya. Sebelumnya program ini ditujukan untuk pembekalan keahlian calon pekerja usia muda namun wabah memaksa pemerintah mengubahnya menjadi program semi-bansos. Program itu dinilai tidak tepat karena masyarakat lebih membutuhkan uang tunai untuk menyambung hidup.

Solidaritas menjadi kata kunci yang dipakai Ivy, Lody Andrian, Rheza Boge, dan Elham Arrazag saat menciptakan platform ini. Prinsip membantu sesama ini, menurut Ivy, lebih umum di luar negeri karena serikat buruh di tiap industri hampir selalu ada. “Namun, di Indonesia tidak semua pekerja memiliki serikat, dan biasanya perserikatan lebih fokus untuk advokasi. Karena itu, kita ingin di Bagirata semua pekerja bisa saling membantu meskipun lintas industri,” tukasnya.

Saat ini jumlah donor dan penerima dana di Bagirata terus bertambah. Untuk menjangkau lebih banyak pekerja, Bagirata kini mengembangkan sistem organisasi ke organisasi. Hal ini dicontohkan dari kerja sama mereka dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi). Nantinya Bagirata membuat sub-domain untuk organisasi yang bekerja sama dengan mereka agar mereka dapat mereplikasi sistem Bagirata sebagai jaring pengaman sementara bagi para anggotanya.

“Tapi kami juga sudah ada kontak dengan beberapa organisasi lain, seperti Koalisi Seni Indonesia dan M Bloc, yang memang sebelumnya mereka sudah bergerak dan memiliki database sendiri,” pungkas Ivy.

Kekuatan Orang Baik, Kunci Tenarnya Platform “Social Crowdfunding”

Jaga jarak fisik akibat pandemi yang masih berlangsung, di satu sisi menjadi suatu ‘berkah’ buat pemain platform social crowdfunding. Selain lonjakan traffic yang tinggi, brand awareness mereka juga semakin dikenal di khalayak luas.

Pandemi yang merugikan banyak lapisan masyarakat, tak lantas mengurangi rasa solidaritas sosial. Justru kohesi sosial terbangun dengan kuat. Ini tercermin dari berbagai proyek penggalangan dana yang makin kencang diinisiasi oleh berbagai pihak.

Tak terhitung berapa banyak proyek penggalangan dana yang terjadi khusus untuk membantu sesama. Keberadaan platform online, dalam waktu singkat membantu lebih cepatnya dana terkumpul dalam jumlah yang fantastis.

Donasi yang digalang masyarakat adalah bentuk dari kekuatan orang-orang baik (good people’s power). Mereka terfasilitasi dengan kemudahan teknologi, dari internet, media sosial, dan smartphone.

Social crowdfunding

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang Sugeng Winarno menerangkan, sikap kesetiakawanan masyarakat merupakan perwujudan jiwa altruisme. Ia adalah sikap meninggalkan kepentingan diri sendiri demi memenuhi kepentingan orang lain.

Solidaritas sosial terbangun dengan baik melalui maraknya orang yang memberikan donasi lewat beragam cara. Dia melihat wabah corona ini bermakna sebagai musibah kolektif yang mampu membangun rasa kebersamaan.

Spirit good people’s power juga tumbuh melalui donasi yang digalang oleh sejumlah media massa. Beberapa media mengadakan penggalangan dana (filantropi) lewat beragam tajuk seperti Pundi Amal, Jalinan Kasih, Dompet Amal, dan judul lainnya. Kegiatan yang difasilitasi media sangat strategis mengingat media massa punya khalayak yang banyak,” ujarnya.

Fenomena donasi digital yang sedang marak ini sebenarnya adalah penjelasan dari konsep virtual Conspicuous Donation Behaviour (CDB). Ini adalah fenomena yang digalakkan melalui media sosial, terutama di kalangan muda. Konsep ini terserap beriringan dengan tren dan gaya hidup mereka di dunia teknologi informasi.

Salah satu pemain social crowdfunding lokal, Kitabisa, tercatat memiliki berbagai program donasi untuk menanggulangi bersama-sama pandemi. Mereka sedang menggalang dana yang diinisiasi sendiri.

Proyek tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari Rp21 miliar dan proyek tersebut belum ditutup hingga tulisan ini dimuat. Proyek lainnya yang diinisiasi oleh penggalang dari institusi atau perseorangan juga terus berlangsung melalui Kitabisa.

Menurut SimilarWeb, situs Kitabisa mengalami lonjakan traffic yang signifikan pada Maret 2020 sebanyak 3,5 juta kali kunjungan. Dibandingkan satu bulan sebelumnya sebanyak 2,1 juta kali. Menariknya kunjungan tersebut datang langsung (direct) sebanyak 47,28%, mesin pencari (search) 25,24%, dan media sosial 23,64%.

Melalui pencarian langsung, mayoritas datang secara organik 97,29%, anorganik (berbayar) 2,71%. Kalau melihat dari media sosial, Facebook jadi kontributor utama 45,38%, YouTube 22,23%, Twitter 19,3%, dan Instagram 11,91%.

Boleh saja, jika startup ini bisa mengklaim diri sebagai pemain social crowdfunding terbesar di Indonesia. Secara jaringan, Kitabisa memperluas kehadirannya berbagai platform di Gojek (untuk GoGive), Dana, LinkAja, Tokopedia, dan Shopee. Pun dari nominal donasi semakin terjangkau dimulai dari Rp10 ribu saja.

Gojek meresmikan layanan donasi online Go-Give, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa yang sudah dimulai sejak November 2018
Head of Third Party Platform Gojek Sonny Radhityo, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, dan CEO Kitabisa Alfatih Timur dalam peluncuran Go-Give / DailySocial

Di kesempatan sebelumnya, Co-Founder dan CEO Kitabisa Alfatih Timur menyebut partisipasi masyarakat dalam bergotong-royong melakukan donasi digital kian hari semakin menunjukkan tren yang terus meningkat. Terbukti hingga 2019, sudah lebih dari 2,5 juta orang yang menggunakan platform Kitabisa untuk berdonasi secara digital.

Platform sejenis lainnya

Di luar Kitabisa, banyak pemain sejenis yang ikut mewarnai di segmen ini. Mereka sama-sama ingin menularkan kemudahan berdonasi secara online melalui berbagai platform dengan menggaet berbagai pihak sebagai penggalang dana.

Sudah didukung pula dengan berbagai metode pembayaran, dengan menggaet para pemain e-money tersohor dan minimal donasi yang terjangkau. Berikut nama-namanya:

1. BenihBaik: diusung pada akhir tahun lalu oleh jurnalis senior Andy F Noya sebagai salah satu co-founder. Startup ini fokus pada pemberian bantuan untuk kegiatan sosial dan usaha yang berkaitan dengan kewirausahaan.

BenihBaik menyediakan opsi pembayaran dengan aplikasi e-money populer dan hadir di platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee.

BenihBaik
Para pendiri BenihBaik Andy F. Noya, Anggit Hernowo, dan Firdaus Juli

2. WeCare.id: memfokuskan diri khusus penggalanan dana bantuan kesehatan. Startup ini didirikan sejak lima tahun lalu oleh dr. Mesty Ariotedjo sebagai salah satu co-founder-nya.

Selain donasi online, startup ini membuat layanan Sehati yakni donasi rutin setiap bulannya sebagai pasien yang membutuhkan. Tak hanya donasi, donatur dapat merasakan manfaat untuk menjaga kesehatannya seperti kunjungan dokter gratis.

3. Ayopeduli.id, derma.id, YukBantu.com, IndoGiving, PeduliSehat dan masih banyak lagi platform social crowdfunding yang beroperasi di Indonesia.

4. Baznas, Dompet Dhuafa, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Lazismu, Rumah Zakat, NU Care, PKPU Human Initiatives, dan Unicef Indonesia merupakan beberapa yayasan/lembaga yang sengaja dibentuk untuk menyalurkan bantuan berupa zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dan dana sosial lainnya melalui program pemberdayaan masyarakat.

Rata-rata mereka semua sudah hadir dalam platform digital dan bekerja sama dengan pemain digital dari e-money dan e-commerce agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.

5. KoinDonasi: ini adalah situs yang sengaja yang dibuat oleh KoinWorks untuk menggalang dana proyek “Indonesia Pasti Bisa“. Itu adalah proyek East Ventures bersama portofolio startupnya untuk produksi alat tes Corona. Selain KoinWorks, penggalangan juga dilakukan oleh Komunal, StockBit, dan situs Indonesia Pasti Bisa.

Belum ada pertimbangan untuk menjadikan KoinDonasi sebagai produk baru perusahaan. Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyebutkan, “Kalaupun [jadi produk baru], saya rasa hanya case by case kalau ada bencana.”

Landasan hukum

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Berbeda dengan equity crowdfunding, regulasi platform social crowdfunding diatur Kementerian Sosial. Kitabisa mengaku sudah memiliki izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) untuk kategori umum dan bencana alam.

WeCare dan BenihBaik pun senada. WeCare bergerak sebagai yayasan, dengan nama resmi Yayasan Pelita Cakrawala Inspirasi. Begitupun BenihBaik, di bawah Yayasan Benih Baik Indonesia.

Yayasan dengan kegiatan pengumpulan uang berada di bawah aturan UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang juncto PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan junctis Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia.

Arkade Blaster Ialah Controller Game FPS Berwujud Pistol Futuristis

Bagi banyak pemain, gamepad dianggap sebagai sistem kendali paling fleksibel, sementara itu keyboard dan mouse merupakan pilihan bagi mereka yang menginginkan keakuratan serta tingkat respons tinggi. Tapi upaya buat merombak status quo dan mencari metode input yang lebih intuitif lagi terus dilakukan, dan ini sebabnya sejumlah developer terdorong untuk bereksperimen dengan virtual reality. Hasilnya pun sama sekali tidak mengecewakan.

Namun saat ini VR memang bukan buat semua orang. Perangkat pendukungnya tidak murah dan ia juga memerlukan hardware berperforma tinggi. Sementara itu, sebagian besar konsumen mengakses game lewat perangkat bergerak atau PC berspesifikasi menengah. Kondisi ini mendorong satu tim inventor untuk merancang controller unik yang mampu membuat pengalaman bermain game FPS jadi istimewa. Kreasi tersebut mereka namai Arkade Blaster.

Sederhananya, Arkade Blaster adalah unit controller berbasis motion/gerakan yang dirancang untuk menikmati permainan shooter. Wujudnya menyerupai pistol futuristis, dibekali rangkaian tombol di sisi kanan dan kiri beserta stik analog. Terdapat pula mount buat tempat menyematkan smartphone. Perangkat bergerak bisa berperan jadi layar utama atau sekunder, bergantung dari game yang Anda mainkan.

Jantung dari Arkade Blaster adalah ialah gyroscope yang berfungsi untuk mengubah gerakan jadi input. Ia juga menyimpan motor haptic penghasil vibrasi (seperti controller DualShock), akan bergetar saat Anda menembak atau tertembak. Uniknya lagi, garis-garis LED yang ada di sisi kiri Arkade Blaster bukanlah sekadar hiasan. Mereka berguna sebagai indikator, misalnya buat menampilkan status health, armor, amunisi dan lain-lain.

Arkade Blaster mendukung beragam game PC serta mobile, termasuk judul-judul baru dan populer (Fortnite, Modern Combat 5, Apex Legends, Call of Duty: Warzone, hingga Doom Eternal). Untuk menggunakannya, pertama-tama Anda perlu mengunduh aplikasi Arkade di perangkat bergerak. Selanjutnya, cantumkan smartphone di mount dan sambungkan ke Arkade Blaster. Controller juga bisa dipasang langsung ke PC secara plug-and-play tanpa membutuhkan ponsel pintar.

IMG_07042020_121408_(1000_x_650_pixel)

Ada dua mode penggunaan Arkade Blaster: 360-derajat dan 180-derajat. Opsi 360-derajat memungkinkan kita bergerak bebas, cocok untuk menikmati game mobile atau ketika Anda ingin berolahraga sambi bermain. Alternatifnya, mode 180-derajat memperkenankan kita buat tetap duduk di depan komputer atau di atas sofa. Selain menunjang penyajian game secara tradisional, Arkade Blaster juga kompatibel dengan layanan cloud serta streaming seperti GeForce Now dan Steam Link.

Arkade Blaster kabarnya sudah memasuki tahap produksi dan bisa Anda pesan di situs Indie Gogo. Proses perancangannya dilakukan oleh tim Arkade bersama PewDiePie. Selama kampanye crowdfunding masih berlangsung, produk dapat dibeli seharga mulai dari US$ 100 – dengan harga retail US$ 150.

Astro Slide Ialah Perpaduan Smartphone 5G Dengan Komputer Saku

Sebagai cara beradaptasi terhadap meningkatkannya jumlah serta kualitas konten digital, produsen smartphone terus membekali produknya dengan layar beresolusi lebih tinggi serta menyesuaikan rasionya demi menyajikan pengalaman penggunaan yang optimal. Mayoritas brand kini sudah meninggalkan pemakaian papan ketik fisik untuk memaksimalkan penyajian konten tanpa membuat wujudnya jadi terlalu besar ataupun bulky.

Namun buat sebagian orang, keyboard masih jadi metode input paling responsif dan intuitif. Kabar baiknya, sejumlah perusahaan (walaupun bukan brand besar) masih terus menyediakan smartphone ber-keyboard, salah satunya adalah Planet Computers. Beberapa tahun silam, produsen asal London ini meluncurkan pewaris Nokia Communicator bernama Gemini PDA yang kemudian disusul oleh Cosmo Communicator. Dan memasuki kuartal kedua 2020, mereka memperkenalkan produk flagship anyar, Astro Slide.

Secara konsep, Astro Slide ialah perpaduan antara smartphone 5G dan komputer saku. Ia diklaim pula sebagai perangkat genggam berkonektivitas 5G dengan keyboard fisik pertama di dunia. Sekilas, Astro Slide punya penampilan seperti ponsel pintar berlayar sentuh standar. Tapi ketika dibutuhkan, sistem slider Rockup-nya mempersilakan kita untuk menggeser sisi depan Astro demi menampilkan papan ketik. Saat terbuka penuh, layar akan sedikit condong ke depan.

IMG_06042020_120906_(1024_x_576_pixel)

Astro Slide 5G Transformer menyuguhkan layar seluas 6,53-inci beresolusi 2340×1080, dibekali keyboard backlight, kamera utama bersensor 48Mp, sensor pemindai sidik jari untuk menyederhanakan akses serta fitur NFC. Perangkat berjalan di sistem operasi Android 10, dengan opsi multi-boot Linux. Segala kelengkapan ini membuat Astro Slide menjadi salah satu perangkat komputasi berukuran saku paling fleksibel.

IMG_06042020_120424_(1024_x_576_pixel)

Menggali spesifikasinya lebih dalam, Astro Slide mengusung system-on-chip MediaTek Dimensity 1000 MT6889 yang menyimpan CPU octa-core, GPU ARM G77 9-core Manhattan 3.0 dan APU gen-3. Terdapat pula RAM 4-channel LPDD4x (minimal) 6GB, penyimpanan internal 128GB yang bisa diperluas dengan menambahkan kartu microSD, slot nanoSIM 2x, serta dua buah port USB type-C. Smartphone ditenagai oleh baterai 4.000mAh.

IMG_06042020_120652_(1024_x_576_pixel)

Di sisi konektivitas nirkabel, hybrid smartphone dan laptop ini dilengkapi modem 5G ganda, Wi-Fi 6, Bluetooth 5.1 dan BLE Audio. Planet Computers menjanjikan sambungan berkecepatan tinggi, dengan tingkat unduh dan unggah masing-masing mencapai 4,7-Gigabit per detik serta 2,5-Gigabit per detik.

Seperti Gemini dan Cosmo, Planet Computers memilih buat menggunakan platform crowdfunding (Indie Gogo) dalam menggalang modal pengembangan Astro Slide. Prosesnya terbilang sukses, produsen berhasil mengumpulkan uang 400 persen lebih dari target awal mereka. Anda bisa memesannya di sana seharga mulai dari € 491 (sekitar US$ 530, harga retail-nya € 819), dan produk siap dikirim ke seluruh dunia mulai bulan Maret 2021.

EyeRide Tambahkan HUD dan Kemampuan Pintar di Helm Motor Anda

mDidukung lapangnya sisi interior, produsen mobil mungkin tak terlalu kesulitan dalam merancang interface yang memudahkan pengemudi berinteraksi dengan sistem pintar. Tapi sebaliknya: mengintegrasikan solusi pintar di kendaraan roda dua memang sedikit lebih rumit karena bagian-bagian di sana terpisah. Sejauh ini, solusi terbaik ialah menanamkan sistem cerdas di helm.

Sudah banyak helm motor pintar tersedia di pasar, masing-masing menawarkan fitur andalan dan desain unik. Namun mayoritas dari mereka punya satu aspek negatif: harganya sama sekali tidak murah. Beberapa model mungkin juga kurang sesuai dengan gaya Anda ketika berkendara. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan teknologi Perancis bernama Eyelights memperkenalkan EyeRide HUD, yaitu sebuah perangkat yang bisa menyulap helm biasa jadi helm pintar.

EyeRide terdiri dari beberapa komponen. Bagian terpentingnya adalah unit audio, tombol remote Bluetooth, serta ‘optical engine‘ yang menyimpan layar kecil. Pertama-tama, Anda perlu memasang mounting magnet sebagai tempat disematkannya unit audio, kemudian masukkan optical engine ke bagian dalam helm dan sesuaikan dengan sudut pandang mata kanan agar Anda bisa melihat HUD. Selanjutnya, catumkan tombol Bluetooth di setang dekat jangkauan jari. Solusi all-in-one ini dijanjikan kompatibel ke hampir seluruh model helm.

Dalam menampilkan peta dan arah, EyeRide ditopang oleh HUD transparan yang cerah. Konten dipastikan tetap terlihat jelas seperti apapun kondisi cahaya ketika Anda berkendara dan didesain agar tidak mengalihkan perhatian pengemudi. Hal ini tercapai berkat pemanfaatan teknologi Sony OLED Nano HD dengan fitur true black dan tingkat kecerahan hingga 3.000-nit – tiga kali lebih terang dari layar iPhone.

IMG_16032020_095852_(1000_x_650_pixel)

Unit audionya sendiri dilengkapi speaker flat dengan driver 55mm yang mampu menghasilkan suara 99dB beserta directional microphone. Spesifikasi ini efektif dalam menyampaikan notifikasi audio serta mampu menghidangkan lagu (dari Spotify serta YouTube Music) secara memuaskan. Keberadaan mic di sana juga memastikan kata-kata Anda terdengar jelas saat menjawab panggilan serta memberi perintah suara.

EyeLights mulai mengembangkan sistem head-up display di tahun 2016, tak lama setelah perusahaan didirikan. Prosesnya dilakukan oleh para mantan insinyur BMW serta Airbus, dan produk pertama mereka dirilis pada tahun 2017. EyeLights sempat memproduksi HUD untuk mobil, dan versi baru sistem navigasi pintar buat motor mulai digarap di bulan Agustus 2019. Varian inilah yang akhirnya diperkenalkan sebagai EyeRide.

IMG_16032020_095917_(1000_x_650_pixel)

EyeRide rencananya akan didistribusikan di bulan Juli 2020. EyeLights mempromosikan perangkat ini via situs Kickstarter dan kampanye crowdfunding-nya berjalan sangat sukses. Produk dapat Anda pesan sekarang seharga mulai dari € 260 (kisaran US$ 288).

Introducing “Equity Crowdfunding” Platform in Indonesia

The concept of offering stock through crowdfunding or known as equity crowdfunding (ECF) began to emerge in Indonesia. Some new platforms are adopting the concept. There are three startups officially acquired license form OJK per December 2019, namely Santara, Bizhare, and CrowdDana.

Simply put, the ECF platform presents to help business or projects to raise a fund with the crowdfunding mechanism. Then, those who participated (investors) will receive shares with adjusted percentage.

It’s similar to an investment, the ones who “plant” their money into a business or project will eventually receive the outcome. Obviously, with various amounts based on different risks.

The FSA has already issued regulations regarding the ECF as stated in POJK Number 37 of 2018 concerning Crowdfunding Services through Information Technology-Based Stock Offering. It regulates platforms, investors, and the amount of money raised from crowdfunding.

Further details on the ECF platform in Indonesia

Of the three services which officially obtained OJK license (per December 2019), two of them come with the same concept, namely Santara and Bizhare. Both are creating opportunities for SMEs to offer their shares through platforms and raise funds. Looking for a different market, CrowdDana allows offering shares/investments in property assets to be more affordable.

Santara‘s CEO, Avesena Reza claims that they currently have the largest distribution of funds, investor base, and publishers. However, he did not reveal the exact number. In fact, Santara’s optimism is visible through their plans in 2020.

Starting from building portfolio management, strengthening risk management, network distribution, and adding technology into the execution plans to-do-list.

“We’ve made various improvements in terms of technology, such as user experience, easy access, integration with Dukcapil, collaboration with other technology players. We also plan to implement blockchain technology later this year, as a back-office recording mechanism for all digital assets,” Reza explained.

A similar statement comes from Bizhare‘s Founder & CEO, Heinrich Vincent. He said they already had 35 thousand investors from 34 provinces throughout Indonesia by 2020. The distributed fund has reached Rp27 billion, with total dividends to investors reaching Rp1.5 billion per January 2020.

“Our plan in 2020 is to help more SMEs in Indonesia gain more benefits and rapid expansion, by improving our analysis system while conducting education and utilizing digital technology to assist them. In addition, we will also launch a secondary market feature for investors, to be able to sell their shares, as well as other surprises that we will inform soon,” Vincent added.

Meanwhile, CrowdDana announced two boarding projects successfully funded earlier this year. The value reached Rp14.6 billion and it is likely to increase by now. In their latest interview with DailySocial, they mentioned there will be a new vertical, namely the food and service business.

“From the public and franchise business owners’ responses, the demand is huge. On the investor side, investing in a restaurant or service business is also easier to understand, compared to property. From the publisher [franchise owner] side, they are to expand the business but have no access to financial funding,” CrowdDana’s Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer, Stevanus Iskandar Halim said.

The possibility for the ECF industry is getting wide open since some companies have entered the processing stage for a license. One of which is Likuid, an ECF platform that offers stock offering services for creative projects.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Appreciated regulations and education on progress

The regulation issued by FSA is very appreciated by Reza and Vincent. Both agreed on the current beleid is enough to protect the industry, either for investors, platforms, or businesses. However, it still requires coordination to keep the regulation relevant to the current situation in the field.

“To date, the equity crowdfunding regulation in Indonesia is enough to keep all parties fulfilled, from the Providers, Issuers, or Investors. Although there are still some things to improve, especially in terms of adjustment to players on field,” Vincent said.

Meanwhile, Reza said, “In terms of principle, the issuance of POJK 37 is a quite a good step to legitimize that the ECF platform activities are licensed by the regulator or the FSA, not a bulging investment. The regulation that is yet to have its complexity related to the implementation of the ECF is a potential that should be optimized for the organizing platform to innovate / breakthrough in existing business processes.”

Currently, the challenge has been on public education and business owners. In terms of the public, there is an urgency to socialize there are other investment options besides gold, mutual funds, or shares on the stock exchange called equity crowdfunding. Including understanding the existing regulations and risks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Platform “Equity Crowdfunding” di Indonesia

Konsep penawaran saham melalui urun dana atau dikenal equity crowdfunding (selanjutnya disebut ECF) mulai bermunculan di Indonesia. Beberapa platform mulai mengadopsi konsep ini. Per Desember 2019 ada tiga startup  yang resmi mengantongi izin OJK yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

Secara sederhana, platform ECF hadir untuk membantu bisnis atau proyek untuk mendapatkan dana dengan mekanisme patungan. Kemudian mereka yang ikut berpartisipasi (investor) akan mendapat kepemilikan saham dengan persentase yang disesuaikan.

Sama halnya dengan investasi, nantinya mereka yang “menanamkan” dananya ke sebuah bisnis atau proyek juga akan menerima hasilnya. Tentu dengan besaran hasil dan risiko yang berbeda-beda.

OJK sudah mengeluarkan regulasi mengenai ECF yang tertuang dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini mengatur platform, investor, hingga besaran uang yang boleh dikumpulkan dari penawaran saham yang dilakukan.

Lebih jauh soal platform ECF di Indonesia

Dari tiga layanan yang sudah resmi mengantongi izin OJK (per Desember 2019), dua di antaranya memiliki konsep yang sama, yakni Santara dan Bizhare. Keduanya membuka peluang bagi UKM untuk menawarkan sahamnya melalui platform dan menghimpun dana. Mencari pasar yang berbeda, CrowdDana memungkinkan penawaran saham/investasi di aset properti supaya lebih terjangkau.

CEO Santara Avesena Reza mengklaim bahwa mereka saat ini memiliki penyaluran dana, basis investor dan penerbit terbesar. Hanya saja ia tidak menjelaskan berapa jumlah pasti dari ketiganya. Kendati demikian optimisme Santara juga terlihat dari rencana yang ingin mereka lakukan di 2020 ini.

Mulai dari penguatan manajemen portofolio, penguatan manajemen risiko, persebaran jaringan kerja, hingga pengautan teknlogi masuk dalam daftar rencana yang akan dieksekusi.

“Kami melakukan berbagai macam peningkatan dari sisi teknlogi, seperti dari user experience, kemudahan akses, integrasi dengan Dukcapil, jolaborasi dengan pelaku teknologi lain. Penggunaan blockchain juga kami rencanakan diimplementasikan akhir tahun ini, sebagai mekanisme pencatatan back office untuk semua digital aset,” terang Reza.

Hal senada juga disampaikan Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent. Ia menceritakan bahwa sampai 2020 ini mereka sudah memiliki 35 ribu investor yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan pun menyentuh angka Rp27 miliar dengan total dividen yang dibagikan ke investor mencapai Rp1,5 miliar per Januari 2020.

“Rencana untuk tahun 2020 ini tentunya kami ingin membantu lebih banyak UKM di Indonesia untuk bisa merasakan manfaat dan ekpansi lebih pesat, dengan meningkatkan sistem analisis kami, sambil melakukan edukasi serta pendampingan kepada mereka dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, kami juga akan meluncurkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya, serta kejutan lainnya yang akan kami infokan beberapa waktu ke depan,” terang Vincent.

Sementara itu, di awal tahun ini CrowdDana mengumumkan bahwa sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai. Nilainya mencapai Rp14,6 miliar dan kemungkinan saat ini sudah lebih. Di wawancara terakhir dengan DailySocial, mereka menyebutkan bahwa tahun ini akan masuk ke vertikal baru, yakni bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal [masyarakat], berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit [pemilik franchise], mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” terang Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer CrowdDana Stevanus Iskandar Halim.

Kemungkinan industri ECF kian ramai terbuka lebar mengingat saat ini sudah ada beberapa yang masuk dalam tahap pengurusan izin. Salah satu di antaranya adalah Likuid, sebuah platform ECF yang menawarkan layanan penawaran saham untuk proyek kreatif.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Regulasi yang diapresiasi dan edukasi yang masih terus berjalan

Regulasi yang dikeluarkan OJK diapresiasi Reza dan Vincent. Keduanya sepakat bahwa beleid yang ada saat ini sudah cukup untuk melindungi industri, baik untuk investor, platform maupun bisnis. Kendati demikian kordinasi masih tetap dilakukan untuk menjaga relevansi regulasi dengan kondisi di lapangan.

“Saat ini regulasi equity crowdfunding di Indonesia sebenarnya sudah cukup menjaga kebutuhan berbagai pihak, mulai dari sisi Penyelenggara, Penerbit atau Pemodal. Walaupun memang masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, terutama dari sisi kesesuaian dengan kebutuhan para pelakunya di lapangan,” ujar Vincent.

Sedangkan Reza mengatakan, “Pada prinsipnya dengan dikeluarkannya POJK 37 tersebut merupakan langkah yang cukup bagus untuk melegitimasi bahwa aktifitas yang dilakukan platform ECF sudah seizin regulator atau OJK, bukan investasi bodong. Belum kompleksnya aturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan ECF ini merupakan potensi yang bisa dioptimalkan bagi pihak platform penyelenggara untuk melakukan inovasi/terobosan dalam bisnis proses yang ada.”

Sejauh ini yang menjadi tantangan ECF ada pada edukasi masyarakat dan pemilik usaha. Di sisi masyarakat ada urgensi untuk menyosialisasikan ada opsi lain investasi selain emas, reksa dana, atau saham di bursa saham bernama equity crowdfunding. Termasuk pemahaman regulasi dan risiko yang ada.

Perjalanan Model Bisnis Media Digital di Indonesia

Pekan lalu, Asumsi.co, sebuah perusahaan media digital yang membahas isu politik dan budaya untuk kalangan muda, meluncurkan YourMedia. Yakni sebuah platform yang mengizinkan audiensnya berdonasi terhadap sajian konten pilihan mereka – atau akrab disebut crowdfunding. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mendapatkan dana hibah dari Google News Initiative.

“Pada dasarnya, kami membuat YourMedia karena percaya pembaca dan penonton bisa dilibatkan lebih dalam proses pembuatan konten. Banyak audiens kami yang merasa konten yang disajikan informatif dan berguna. YourMedia adalah langkah pertama kami,” tutur Founder & CEO Asumsi.co Pangeran Siahaan.

Prakarsa tersebut merupakan bagian dari visi jangka panjang perusahaan yang menempatkan audiens sebagai salah satu stakeholder utama dalam ekosistem medianya.

Model bisnis berita online

Konsep serupa dengan YourMedia milik Asumsi.co sebenarnya sudah diterapkan media di luar negeri. Salah satunya pemain besar asal Inggris, The Guardian. Mereka membuka kanal yang memungkinkan pembaca mendonasikan nominal tertentu untuk mendukung jurnalisme independen yang mereka kerjakan, kendati mereka juga menawarkan model berlangganan untuk mendapatkan konten premium.

Sebenarnya ada justifikasi yang cukup mendasar kenapa crowdfunding untuk media layak dijalankan, yakni metode pembayaran yang semakin mudah. Seperti yang dilakukan Asumsi.co, mereka menerapkan integrasi dengan GoPay agar penikmat kontennya bisa memberikan donasi mulai dari 10 ribu Rupiah secara mudah.

Asumsi yang sama juga tengah divalidasi platform monetisasi kreator yang akhir-akhir ini mulai bertumbuh di Indonesia – seperti kehadiran KaryaKarsa, Trakteer, dan Socialbuzz Tribe.

Crowdfunding dapat memberikan donasi sesuka pengguna, karena pada dasarnya konten yang disajikan bisa diakses gratis. Di sisi lain, model berlangganan membutuhkan komitmen dalam jangka waktu tertentu.

Model bisnis media digital yang sudah tenar sebelumnya adalah berlangganan untuk konten premium. Di Indonesia beberapa perusahaan sudah mengaplikasikan, seperti The Jakarta Post atau Kompas.id. Ditinjau dari sisi harga, Kompas.id mengenakan biaya Rp50.000 akses penuh ke platform digital atau Rp19.900 untuk tiga rubrik favorit.

Untuk model bisnis berbasis iklan sendiri, arahnya juga sudah mulai dengan personalisasi. Fitur ads targeting yang banyak disajikan startup adtech memberikan keleluasaan kepada pemilik media untuk menghadirkan iklan secara native, dengan konten yang relevan dengan preferensi pembacanya.

Berbagai kanal mainstream masih memanfaatkan model ini untuk tetap menghadirkan publikasi yang dikonsumsi cuma-cuma. Untuk bisa untung, syaratnya memang harus punya trafik yang besar. Implikasinya mereka mengejar dengan model pemberitaan clickbait.

Sementara untuk model berlangganan atau crowdfunding, kualitas jurnalisme menjadi kunci utama. Orang akan membayar demi kepuasan terhadap konten yang dihasilkan. Media tersebut biasanya memiliki ceruk pasar spesifik – jumlahnya kecil namun potensial menghasilkan keuntungan lebih dengan mau membayar.

Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson
Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson

Gambaran data

Menurut data yang dikompilasi Statista, tahun ini pendapatan bisnis media digital (termasuk video games dan video-on-demand) di Indonesia diproyeksikan mencapai lebih dari $1,6 miliar, dengan sepersepuluhnya ada di ranah publikasi online. Trennya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2024.

Pertumbuhan keuntungan bisnis media digital di Indonesia / Statista
Proyeksi pertumbuhan pendapatan bisnis media digital di Indonesia / Statista

Menurut data Dewan Pers, saat ini (24/2) ada 1226 media pemberitaan yang terdaftar di asosiasi, baik yang cakupannya nasional maupun daerah, dengan pemberitaan umum maupun spesifik. Di luar itu masih banyak media yang berdiri secara independen – kebanyakan perusahaan media yang menyasar pangsa pembaca dari kalangan tertentu (niche).

Selama sekitar dua dekade terakhir, bisnis media di Indonesia dikuasai oleh televisi. Kendati beberapa pihak dan lembaga penelitian menilai mulai ada transisi ke media digital, namun ikatan siaran on-air melalu sambungan satelit tersebut masih sangat kuat.

Riset Nielsen Indonesia tahun 2017 menyebutkan jumlah penikmat berita online Indonesia mencapai 50,6 juta orang. Angka ini naik 35,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut terus diproyeksikan meningkat seiring dengan penetrasi broadband dan penggunaan smartphone yang lebih luas.

Peningkatan tersebut diiringi dengan makin kuatnya cengkeraman media digital, baik yang berbentuk kanal teks, video on-demad, hingga yang terbaru podcast. Terlebih ada yang tidak bisa dihadirkan televisi dan kini diakomodasi media digital: personalisasi.

Transisi

Saat ini memang masih masa transisi menuju konsumsi media yang sepenuhnya online. Belum ada pengukuran pasti tentang efektivitas dari model bisnis terkait di Indonesia. Masih perlu banyak validasi dengan beragam skenario.

Beberapa masih mencoba model bisnis tersebut di atas dan masih bertahan sampai sekarang, beberapa lagi mencoba bereksperimen dengan strategi revenue lainnya yang terus bermunculan seperti melalui kemitraan, komunitas, hingga penyelenggaraan acara dengan mengedepankan kredibilitas merek yang dimiliki.

Fragmentasi kanal dapat menjadi hambatan tersendiri untuk pebisnis media digital. Orang mengonsumsi informasi melalui media sosial, memproduksi kabar lewat YouTube, dan lain-lain. Untuk tetap kokoh, fondasi utama jurnalisme harus tetap menjadi pegangan agar menjadi diferensiasi dengan publikasi yang beredar di luar sana, seperti akurasi, objektivitas, dan kualitas.