Mobile Game Jadi Semakin Kompleks Dalam 10 Tahun Terakhir

Sejak 1997, mobile game telah populer berkat keberadaan game-game kasual, seperti Snake di ponsel Nokia. Perlahan tapi pasti, teknologi yang diusung perangkat mobile menjadi semakin canggih, memungkinkan developer untuk membuat mobile game yang semakin kompleks. Pada 2002, X-Forge 3D dirilis. Dengan game engine tersebut, developer bisa membuat mobile game dengan grafik 3D. Dan sejak saat itu, mobile game terus berkembang, tidak hanya dari segi grafik, tapi juga gameplay.

Kontribusi Mobile Game yang Semakin Besar ke Industri Game Global

Tahun lalu, hampir setengah dari total pemasukan industri game berasal dari mobile game. Tahun ini, mobile game memberikan kontribusi sebesar US$90,7 miliar — atau sekitar 52% — dari total pemasukan industri game, yang diperkirakan bakal mencapai US$175,8 miliar. Hal ini menunjukkan, kontribusi mobile game pada pemasukan industri game terus naik. Selain itu, jika dibandingkan dengan industri game konsol dan PC, industri mobile game juga memiliki tingkat pertumbuhan paling cepat. Dalam periode 2018-2021, tingkat rata-rata pertumbuhan (CAGR) dari industri mobile game mencapai 13,1%. Sementara CAGR dari industri game secara umum hanyalah 8,1%.

Industri game pada 2021. | Sumber: Newzoo

Mobile game tidak hanya unggul dari segi pemasukan, tapi juga dari jumlah pemain. Tahun ini, Newzoo menyebutkan, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 2,8 miliar orang, atau sekitar 94%, bermain game di mobile. Sementara itu, jumlah gamer PC mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang.

Jika melihat pembagian industri game berdasarkan region, Asia Pasifik masih menjadi kontributor utama. Kawasan Asia Pasifik menyumbangkan 50% dari total pemasukan game atau sekitar US$88,2 miliar. Sementara itu, Tiongkok dan Amerika Serikat merupakan dua negara dengan industri game terbesar. Sekitar 48% pemasukan dari industri game berasal dari dua negara tersebut. Industri game di Tiongkok bernilai US$45,6 miliar dan di AS US$39,1 miliar.

Tren Mobile Game

Seiring dengan bertambahnya jumlah mobile gamers, maka semakin banyak pula developer yang tertarik untuk membuat mobile game. Developer-developer besar yang sebelumnya tak pernah melirik mobile game pun mulai tertarik untuk membuat mobile game. Salah satu contohnya adalah Riot Games. Selama 10 tahun, mereka fokus pada League of Legends, game PC mereka. Mereka bahkan sempat berselisih dengan Tencent karena mereka tidak ingin meluncurkan League of Legends di mobile. Namun, pada 2020, mereka akhirnya meluncurkan League of Legends: Wild Rift untuk mobile.

Tak hanya itu, Blizzard Entertainment dan Nintendo pun akhirnya memutuskan untuk membuat mobile game. Electronic Arts juga telah mengakuisisi Glu Mobile, menunjukkan ketertarikan mereka untuk membuat mobile game sendiri. Dikabarkan, EA akan merilis versi mobile dari Apex Legends pada tahun depan. Selain Apex Legends, beberapa franchise game populer, seperti Devil May Cry dan Final Fantasy, juga punya game yang dirilis untuk mobile. Hal ini terjadi karena mobile game kini sudah bisa mengakomodasi genre-genre favorit para core gamers, seperti MOBA, racing, shooter, battle royale, dan strategy.

Favorit genre dari mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India dan Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Berkat entry barrier yang rendah, mobile game juga sangat populer di negara-negara berkembang, termasuk di Tiongkok dan India. Jadi, developer yang ingin menargetkan gamers di negara-negara tersebut bisa mencoba untuk membuat mobile game. Para mobile gamers di negara berkembang, seperti Tiongkok, India, dan Arab Saudi, biasanya menyukai mobile game yang kompleks dan kompetitif. Faktanya, di Tiongkok, genre favorit para mobile gamers adalah MOBA, diikuti oleh puzzle, shooter, dan battle royale. Sementara di India, empat genre favorit bagi para mobile gamers adalah racing, puzzle, sports, dan shooter. Di Arab Saudi, empat genre favorit adalah puzzle, sports, racing, dan adventure.

Sebagai perbandingan, genre favorit para mobile gamers di AS adalah puzzle, match, traditional card games, dan arcade. Mobile gamers di Inggris juga punya selera yang sama dengan mobile gamers di AS. Hanya saja, arcade menjadi genre favorit ketiga, dan traditional card games di posisi keempat. Di AS, genre mobile game kompetitif yang populer adalah strategy. Karena itu, game-game seperti Clash of Clans dan Clash Royale dari Supercell cukup populer di kalangan mobile gamers AS. Selain itu, game 4X strategy dari developer Tiongkok juga cukup sukses. Buktinya, game-game itu berhasil masuk dalam daftar mobile game terpopuler di AS.

Tipe mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India, dan Arab Saudi. | Sumber; Newzoo

Dalam laporannya, Newzoo mengategorikan mobile gamers ke dalam tujuh kelompok: Ultimate Gamer, All-Round Enthusiast, Subscriber, Conventional Player, Hardware Enthusiast, Popcorn Gamer, dan Time Filler. Di dunia, dua kelompok mobile gamers yang mendominasi adalah Time Filler (24%) dan Subscriber (23%). Time Filler adalah mobile gamers yang hanya bermain game untuk mengisi waktu luang atau di sela-sela kegiatan sosial. Sementara Subscriber adalah gamers yang senang untuk bermain game berkualitas tinggi, khususnya game free-to-play. Mereka hanya akan membeli hardware yang lebih mumpuni jika memang diperlukan.

Di Tiongkok, sebagian besar mobile gamers merupakan Ultimate Gamers, yaitu para gamers yang rela untuk menghabiskan waktu dan uang mereka demi bermain game. Di Arab Saudi, AS, dan India, kelompok Subscriber mendominasi. Sementara di Inggris, kebanyakan mobile gamers masuk dalam kategori Time Fillers.

Bagaimana Industri Mobile Game Tiongkok Bisa Berkembang?

Saat ini, Tiongkok menjadi negara dengan jumlah core mobile gamers terbanyak. Salah satu alasannya adalah karena hingga 2010, para gamers di Tiongkok hanya bisa bermain game di PC. Memang, pemerintah Tiongkok melarang penjualan konsol sampai 2015. Alhasil, PC menjadi platform utama para gamers. Di kalangan gamers PC Tiongkok, game-game yang populer adalah game kompetitif seperti Counter-Strike atau MMORPG seperti World of Warcraft dan Fantasy Westward.

Gamers Tiongkok mulai mengenal mobile game pada 2010 berkat Angry Birds dan Fruit Ninja. Sementara itu, sejak 2011, perusahaan smartphone lokal, seperti Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Huawei, mulai menyasar pengguna smartphone kelas bawah dan menengah. Dan perlahan tapi pasti, mereka mulai menguasai pasar smartphone di Tiongkok. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa industri mobile game di Tiongkok bisa tumbuh pesat. Tak berhenti sampai di situ, pada 2012, Shenxiandao Mobile diluncurkan. Peluncuran game tersebut menginspirasi developer game untuk membuat mobile game dari game-game browser yang sudah populer. Sementara pada 2013, Locojoy merilis I AM MT, mobile game yang berhasil mengintegrasi mekanisme game PC ke mobile.

Kontribusi dari mobile game kompleks semakin besar pada industri mobile game Tiongkok. | Sumber: Newzoo

Kemampuan mobile game untuk mengadaptasi mekanisme game PC semakin terlihat pada 2015, dengan diluncurkannya Honor of Kings. Sejak saat itu, semakin banyak game PC yang dirilis untuk mobile, seperti Fantasy Westward Journey dan CrossFire Mobile. Sampai saat ini, kedua mobile game itu masih masuk dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar di Tiongkok. Sejak saat itu, tren di game PC pun mulai diadaptasi ke mobile. Pada 2017, NetEase meluncurkan game battle royale berjudul Knives Out. Memang, ketika itu, genre battle royale tengah populer berkat PUBG. Satu tahun kemudian, pada 2018, Tencent merilis PUBG Mobile. Nantinya, game tersebut dirilis ulang dengan nama Peacekeeper Elite.

Popularitas mobile game di Tiongkok mendorong munculnya mobile esports. Pada 2019, turnamen mobile esports tingkat global pertama digelar di Tiongkok. Saat itu, ada dua game yang diadu, yaitu QQ Speed dan Honor of Kings. Pada 2020, developer Tiongkok mulai meluncurkan game di multiplatform. Salah satunya adalah miHoYo dengan Genshin Impact. Tren ini tampaknya akan masih berlanjut pada 2021 dengan peluncuran Revelation Mobile.

3 Tren Aplikasi Belanja di Amerika Serikat Pada Q1 2021

Pandemi COVID-19 memaksa orang-orang untuk mengubah gaya hidupnya. Misalnya, para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game dan menonton game karena pandemi. Selain itu, pandemi juga mengubah cara orang-orang berbelanja. Lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah di berbagai negara — termasuk Amerika Serikat — membuat banyak orang beralih ke belanja online. Karena itulah, jumlah download dari aplikasi belanja di AS meningkat pesat pada tahun lalu. Dan tren ini tampaknya masih terbawa hingga tahun ini.

Marketplace Kuasai 33% Pangsa Pasar Aplikasi Belanja Online

Pada Q1 2021, jumlah download dari aplikasi belanja online di AS naik 9% dari tahun lalu, menjadi 162 juta downloads, menurut data terbaru dari Sensor Tower. Seiring dengan bertambahnya pengguna, maka persaingan di antara aplikasi belanja online pun menjadi semakin ketat. Dari berbagai jenis aplikasi belanja online, kategori marketplace masih cukup mendominasi. Buktinya, marketplace menguasai sekitar 33% dari total download aplikasi belanja online di AS. Artinya, satu dari tiga aplikasi belanja yang diunduh oleh pengguna smartphone di AS merupakan aplikasi marketplace.

Marketplace kuasai 33% pangsa pasar aplikasi belanja online. | Sumber: Sensor Tower

Sensor Tower mengartikan aplikasi marketplace sebagai aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi jual-beli. Jadi, pengguna tak hanya bisa membeli barang melalui aplikasi, tapi juga menjual barang. Salah satu contoh aplikasi marketplace yang beroperasi di Indonesia adalah Tokopedia. Sensor Tower lalu membagi kategori marketplace ke dalam tiga subkategori: marketplace umum, resale, dan jual-beli mobil.

Dari tiga jenis aplikasi marketplace tersebut, subkategori marketplace umum mendapatkan downloads paling banyak. Sekitar 58% dari keseluruhan downloads aplikasi marketplace merupakan aplikasi marketplace umum, seperti Amazon. Sementara itu, 36% downloads berasal dari aplikasi resale, dan 6% sisanya dari aplikasi jual-beli mobil.

Secara umum, jumlah downloads dari aplikasi marketplace memang mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu. Download untuk aplikasi marketplace umum menuncak pada Mei 2020. Ketika itu, aplikasi-aplikasi marketplace umum diunduh hingga 9,6 juta kali dalam waktu satu bulan. Di bulan yang sama, total download dari aplikasi resale mencapai lebih dari lima juta downloads. Hanya saja, pengunduhan untuk aplikasi marketplace umum dan resale menunjukkan tren menurun pada 2021. Kabar baiknya, pengunduhan untuk aplikasi jual-beli mobil justru naik. Pada Maret 2021, total download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 900 ribu downloads.

Rating rata=rata memengaruhi tingkat pertumbuhan download. | Sumber: Sensor Tower

Amazon masih menjadi aplikasi marketplace umum yang paling populer di kalangan warga AS. Di Desember 2020, aplikasi e-commerce tersebut diunduh sebanyak tiga juta kali. Total downloads untuk aplikasi itu kembali memuncak pada Maret 2021, mencapai 2,6 juta downloads. Meskipun begitu, Amazon bukan aplikasi marketplace umum dengan pertumbuhan jumlah downloads paling tinggi.

Gelar itu jatuh ke tangan Stadium Goods. Jumlah downloads dari aplikasi itu pada tahun ini naik 112% dari tahun lalu. Menurut Sensor Tower, salah satu alasan mengapa jumlah downloads dari Stadium Goods naik pesat adalah karena rating rata-rata aplikasi yang tinggi. Di App Store, sejak 2020, rating rata-rata dari Stadium Goods adalah 4,8 bintang. Hal ini menunjukkan, ada hubungan antara ratng rata-rata aplikasi dengan pengalaman pengguna dalam memakai aplikasi.

Retensi Aplikasi Resale Naik 

Pandemi tidak hanya membuat jumlah download dari aplikasi marketplace di AS naik, tapi juga meningkatkan retensi pengguna aplikasi. Di Q1 2021, retensi hari pertama dari pengguna aplikasi marketplace umum naik 5% menjadi 23%. Sementara itu, jika dibandingkan dengan aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil, aplikasi resale punya retensi paling tinggi. Sampai 2021 pun, retensi dari aplikasi resale tetap tinggi. Tingkat retensi hari pertama dari aplikasi resale mencapai 34%, sementara retensi hari ke-7 mencapai 20%.

Enam aplikasi resale paling populer di AS. | Sumber: Sensor Tower

Selain retensi, aplikasi resale juga mengalami pertumbuhan pengguna aktif bulanan (MAU) yang pesat. Pada November 2020, jumlah MAU dari aplikasi resale naik 35% dari jumlah MAU pada Januari 2019. Sensor Tower menyebutkan, alasan mengapa jumlah pengguna aplikasi resale naik adalah karena aplikasi resale, sesuai namanya, memudahkan para pengguna untuk menjual barang-barang bekas mereka. Hal ini bisa membantu orang-orang yang mengalami masalah finansial karena kehilangan pekerjaan selama masa pandemi. Selain aplikasi resale, aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil juga mengalami pertumbuhan pengguna. Pertumbuhan MAU tertinggi, mencapai 23%, terjadi pada Mei 2020.

Di AS, aplikasi resale paling populer adalah OfferUp. Pada Maret 2021, jumlah unduhan dari aplikasi itu mencapai 1,4 juta downloads. Sementara itu, jumlah installs dari OfferUp meningkat tajam pada September 2020. Ketika itu, jumlah download mereka dalam sebulan mencapai 2,8 juta downloads. Peningkatan itu terjadi setelah OfferUp mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mengakuisisi aplikasi resale lain, yaitu Letgo.

Jumlah Download Aplikasi Jual-Beli Mobil di App Store Konsisten di Q1 2021

Berbeda dengan aplikasi marketplace umum dan resale, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil justru mengalami penurunan sejak April 2020, saat pemerintah AS menetapkan lockdown. Kabar baiknya, pada Maret 2021, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil mulai pulih. Sayangnya, pandemi masih memengaruhi industri otomotif secara umum, yang memberikan dampak pada jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil. Dari enam aplikasi jual-beli mobil di AS, hanya dua aplikasi yang jumlah installs-nya mengalami peningkatan pada Maret 2021, yaitu CARFAX dan Carvana.

Jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil di Play Store dan App Store. | Sumber: Sensor Tower

Penurunan jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil sangat terlihat di Play Store. Pada 2020, jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil justru turun 22% dari tahun 2012. Dan tren ini masih berlanjut hingga awal 2021. Secara total, pada Q1 2021, enam aplikasi jual-beli mobil terpopuler di AS hanya mendapatkan 768 ribu downloads. Sementara itu, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil di App Store tidak mengalami perubahan. Pada Q1 2021, jumlah download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 1,7 juta juta, sedikit lebih rendah dari total downloads pada 2020, yang mencapai 1,8 juta downloads.

Why the Gaming Market in Southeast Asia Will Be Significantly Important In the Future

The gaming industry used to be monopolized by several large firms from the United States, Europe, and Japan in the 20th century. However, since the 2000s, this trend began to change. Today, even small indie developers can target the global market thanks to the development of the internet and mobile devices. The internet has allowed small developers to share their products and creativeness with gamers around the world without any boundaries. Some examples of these games that have, out of nowhere, exploded in popularity are Flappy Bird and Among Us.

However, not much research or studies have been conducted that discuss the development of the gaming industry and gaming culture in Asia. To fill the void, Phan Quang Anh conducted a research titled Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. The study discusses the gaming industry and culture in the Asian region, particularly East Asia and Southeast Asia.

East Asia’s Gaming Industry and Culture

There are several reasons why Asia is becoming increasingly important for the gaming industry. One of these reasons is the size of the gaming market in the region. Both in terms of revenue or player numbers, Asia is a very profitable region for many gaming companies. Furthermore, several Asian countries also house many of the big gaming companies we know today, such as Nintendo and Sony in Japan, Nexon in South Korea, and Tencent in China. A majority of governments in Asian countries also put a substantial amount of investment towards the development of the game industry in their respective countries.

Walkman became one of the primary culprits behind the individualistic culture iin Japan. | Source: SCMP

However,  each country in the Asian region has different gaming cultures. For instance, gamers in Japan tend to be more individualistic. The culture of individualism in Japan itself began to emerge in the 1970s when Sony launched the Walkman. The growth of the game ecosystem in Japan is also heavily correlated with its local culture. As a result, most Japanese gamers prefer to play single-player games.

On the other hand, gamers in South Korea and China actually consider gaming as a social activity. They like to play games with their friends, hence why co-op games or competitive games are more popular. In fact, the social or competitive culture of gaming cultivated in South Korea and China is one of the reasons why the two of them produce so many successful pro esports players.

The online gaming culture in South Korea emerged around 1998 when Blizzard launched StarCraft. Playing online games quickly became a favorite hobby for the younger generation at that time. Through the widespread PC bangs — or internet cafes — across the country, playing games is also a relatively inexpensive activity. South Korea’s competitive culture has also made its esports ecosystem flourish. Local TVs began broadcasting esports, and being a pro player became a legitimate career path. This esports phenomenon in South Korea will later spread to other countries in East Asia and Southeast Asia.

Despite the similar gaming culture between South Korea and China, the two countries still have quite a contrasting gaming market. For example, China’s government is far more involved with its local gaming industry than South Korea’s. They frequently create regulations and promote local game companies to compete with foreign brands. Chinese game companies with innovative ideas will often receive government support for their growth. As a result, in 2020, 19 of the 100 games with the largest revenue generated in the United States were all produced by Chinese companies.

Southeast Asia’s Gaming Industry and Culture

Apart from East Asia, Southeast Asia is also a region to be reckoned with by game companies. According to Newzoo and Niko Partners, the growth rate of mobile games in Southeast Asia in 2014-2017 reached more than 180%. This figure is also predicted to continue to grow for the next five years. Shibuya Data Count also forecasted that the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the gaming industry in Southeast Asia will reach 8.5% in the 2020-2025 period. The six countries in Southeast Asia with the largest gaming markets, with no particular order, are Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, and the Philippines.

One of the factors driving the growth of the game industry in Southeast Asia is the development of internet infrastructure or, more specifically, the emergence of 5G technology in 2020. Another factor that comes to play is the rising popularity of esports. As esports content in YouTube and Twitch continues to amass thousands of viewers, game companies invested in the region will also thrive . Free fire, for example, benefitted a lot from content creation and managed to become the most downloaded mobile game in 2019.

Free Fire is the most downloaded game in 2019.

Furthermore, free-to-play games also play a huge role in the success of the game industry in Southeast Asia. Combine this with the vast implementation of cloud gaming, the possibilities for the gaming industry in SEA will be limitless. Interestingly, more than 55% of mobile gamers in Southeast Asia are over 55 years old, while only 8% are teenagers. These stats can be explained by the fact that mobile games are usually catered to more casual users. 

However, these casual mobile games usually don’t last long, and their popularity can be vulnerable at most times. Thus, most developers of these types of games need to continuously promote their games through advertising. If constant advertising is not conducted, the relevance of casual games can fade in a matter of weeks or even days.

Game Industry in Indonesia

Just like China, the governments of Southeast Asian countries are also involved in the local gaming industry. However, the regulations set by Southeast Asian governments are usually not as strict as those in China. Therefore, foreign gaming companies might have a better chance to expand their market in the SEA countries like Indonesia.

Indonesia is a country with the 4th largest population in the world. Its population is also mostly dominated by the younger generation, who loves building online communities. According to Newzoo, this is a massive advantage that the Indonesian gaming market has over other countries in SEA. The popularity of mobile games in Indonesia is, undoubtedly, a golden opportunity that local developers need to seize

Mobile games have dominated the Indonesian gaming market for the past few years, and fortunately, 49% of mobile gamers do not hesitate to spend money to buy in-game items. Newzoo’s data showed that Indonesian mobile gamers spend an average of $9 USD every year. The strategy game genre is also a favorite among Indonesian gamers and is also populated by gamers with large spendings. 41% of gamers, in fact, are willing to buy in-game items in the strategy genre.

The cost of making mobile games is much cheaper than online PC games.

Mobile games are also generally cheaper to produce than PC games. As a comparison, creating mobile games usually cost around $1 thousand USD, while the expenses of making PC games can cost 10 times more than that. Therefore, it is not surprising that most game developers in Indonesia opt to create and develop mobile games.

The potential of the gaming industry is also recognized by the Indonesian government. The government often supports local gaming companies by holding various gaming-related events, such as Game Prime. Additionally, a lot of ministers, such as the Minister of Communication and Information and the Minister of Tourism and Creative Economy, have expressed their support towards the local gaming and esports industry. Prior to this, Indonesia was also successful in lobbying ASEAN countries to include esports as an exhibition sport at the 2018 Asian Games and declaring esports as a legitimate sport (winners will get medals) at the 2019 SEA Games.

Game Industry in Singapore

According to Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, the spendings of gamers in Southeast Asian countries is directly proportional to the Gross Domestic Product (GDP) per capita in each country. Countries with relatively low GDP per capita, such as Indonesia and the Philippines, have an Average Revenue per User (ARPU) of around $4-6 USD for PC games and $5-8 USD for mobile games. On the other hand, countries with higher GDP per capita, such as Malaysia and Singapore, have higher ARPU, reaching $15-20 USD for PC games and $25-60 USD for mobile games.

Singapore, for many years, has been considered the economic center or powerhouse in Southeast Asia. Although Singapore’s population is far smaller than Indonesia’s, its internet penetration rate is exponentially superior, reaching 80% of the total population. Furthermore, 60% of Singaporean internet users are classified as gamers who spend over $189 USD on games every year. English is also one of the primary languages used in Singapore, which is why Western games also have a relatively high penetration rate in the country.

The Singapore government itself has been interested in developing its gaming industry since 1995. The government has supported startups in the gaming sector while also opening and financing various research labs dedicated to gaming. They also set strict regulations, especially those related to piracy. Heavy penalties and charges were imposed to discourage people from using pirated products. As a result, foreign established gaming companies became highly interested in investing and opening offices there. Ubisoft and Electronic Arts, for instance, have opened branches in Singapore.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured image via: Unsplash.com.

Niko Partners: Jumlah Penonton Esports di Asia Tenggara Capai 100 Juta Orang

Industri game di kawasan Greater Southeast Asia — mencakup Asia Tenggara dan Taiwan — diperkirakan akan bernilai US$8,3 miliar pada 2023. Salah satu faktor pertumbuhan industri game di GSEA adalah esports. Tidak heran, mengingat kebanyakan gamers di Asia memang juga tertarik dengan esports. Menurut data dari Niko Partners, di Asia, sekitar 95% dari gamer PC dan 90% pemain mobile aktif di dunia esports. Hal ini menunjukkan, industri game dan esports punya dampak besar pada satu sama lain. Sebelum ini, kami telah membahas tentang keadaan industri gaming di GSEA pada 2020. Kali ini, kami akan membahas tentang industri esports di Asia, khususnya Asia Tenggara.

Jumlah Penonton dan Pemain Esports di Asia Tenggara

Menurut data dari Niko Partners, jumlah penonton esports di Asia Timur dan Asia Tenggara mencapai 510 juta orang. Dari keseluruhan jumlah penonton, sekitar 350 juta fans esports berasal dari Tiongkok dan 160 juta orang sisanya berada di Asia Tenggara, Jepang, dan Korea Selatan.

“Kurang lebih, terdapat sekitar 100 juta penonton esports di seluruh Asia Tenggara. Dengan jumlah penonton dan pemain terbanyak kurang lebih mengikuti jumlah penduduk dan konektivitas internet di masing-masing negara,” kata Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners. “Indonesia memiliki jumlah penonton dan pemain esports terbanyak, diikuti oleh Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.” Jika Anda ingin mengetahui jumlah penonton esports di masing-masing negara Asia Tenggara, Anda bisa menemukan informasi itu di laporan premium dari Niko Partners.

Data populasi dan kecepatan internet di Asia Tenggara.

Dari segi populasi, lima negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Sementara dari segi kecepatan internet, Singapura merupakan negara jaringan fixed broadband paling cepat, tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di dunia. Menurut data Speedtest, kecepatan jaringan fixed broadband di Singapura mencapai 245,5 Mbps. Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, walau Indonesia memiliki populasi paling besar, kualitas jaringan internet Tanah Air masih kalah cepat jika dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara Asia Tenggara.

Sementara itu, menilik dari segi prestasi, Filipina menjadi negara di Asia Tenggara dengan prestasi esports terbaik. Salah satu buktinya adalah Filipina berhasil membawa pulang medali paling banyak dari cabang olahraga esports di SEA Games 2019. Ketika itu, Filipina berhasil mendapatkan tiga medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu di cabang esports. Sebagai perbandingan, tim Indonesia hanya berhasil menyabet dua medali silver.

Filipina berhasil memenangkan tiga medali emas di tiga game yang berbeda, yaitu Dota 2, StarCraft II, dan Mobile Legends: Bang Bang. Belum lama ini, tim asal Filipina, Bren Esports juga berhasil memenangkan M2 World Championship. Sementara itu, pemain StarCraft II yang berhasil membawa pulang medali emas untuk Filipina adalah Caviar “EnDerr” Acampado. Dia telah menjadi pemain StarCraft II profesional sejak 2011. Sampai saat ini, dia masih aktif di skena esports StarCraft II. Pada 2021, dia sudah memenangkan dua turnamen minor, yaitu PSISTORM StarCraft League – Season 1 dan Season 2. Sementara pada 2020, dia berhasil menjadi juara dari turnamen major, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

Filipina juga punya tim Dota 2 yang mumpuni. Selain berhasil membawa pulang medali emas di SEA Games 2019, Filipina juga punya tim profesional yang tangguh, yaitu TNC Predator. Tim tersebut memenangkan Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. Pada 2020, mereka juga membawa pulang piala BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia dan ESL One Thailand 2020: Asia. Mereka juga memenangkan MDL Chengdu Major dan ESL One Hamburg pada 2019. Tak hanya itu, mereka juga berhasil masuk ke The International selama empat tahun berturut-turut, dari 2016 sampai 2019.

TNC Predator jadi salah satu tim Dota 2 paling tangguh di Asia Tenggara. | Sumber: IGN

Di Tekken, Filipina juga punya Alexandre “AK” Laverez, pemain Tekken profesional yang memenangkan medali perak di SEA Games 2019. AK sendiri telah dikenal di skena esports Tekken global sejak 2013. Ketika itu, dia berhasil menjadi juara tiga di Tekken Tag Tournamen 2 Global Championship walau dia masih berumur 13 tahun. Selain itu, dia juga berhasil meraih posisi runner up di WEGL Super Fight Invitational dan EVO Japan 2019.

Namun, tim-tim esports Indonesia juga punya keunggulan tersendiri. Jika dibandingkan dengan organisasi esports di negara-negara Asia Tenggara lainnya, tim esports Indonesia sangat populer. Faktanya, tiga tim esports paling populer di Asia Tenggara berasal dari Indonesia, yaitu EVOS Esports, Aura Esports, dan RRQ.

Ekosistem Turnamen Esports di Asia Tenggara

Jumlah pemain dan penonton esports di sebuah kawasan hanya bisa tumbuh jika ekosistemnya memang memadai. Kabar baiknya, industri esports di Asia Tenggara memang punya potensi besar. Lisa Cosmas Hanson, Managing Partner, Niko Partners bahkan menyebutkan, Asia Tenggara berpotensi untuk menjadi pusat esports global. Salah satu buktinya adalah banyaknya turnamen esports yang digelar di Asia Tenggara.

“Pada tahun 2020, kami mencatat lebih dari 350 major tournaments digelar di wilayah Asia Tenggara. Angka tersebut tidak termasuk turnamen-turnamen amatir dan kecil,” kata Darang.

Phoenix Force dari Thailand menangkan FFWS 2021. | Sumber: The Strait Times

Total hadiah dari turnamen-turnamen esports yang diadakan di Asia Tenggara juga cukup besar. Free Fire World Series (FFWS) 2021 menjadi turnamen esports dengan total hadiah terbesar, mencapai US$2 juta. Tak hanya itu, kompetisi itu juga memecahkan rekor jumlah peak viewers. Pada puncaknya, jumlah penonton dari FFWS 2021 mencapai 5,4 juta orang. Sebagai perbandingan, League of Legends World Championship 2019 — pemegang gelar turnamen esports dengan peak viewers tertinggi sebelumnya — hanya memiliki peak viewers sebanyak 3,9 juta orang.

Selain FFWS 2021, di tahun ini, turnamen esports lain yang menawarkan hadiah besar adalah ONE Esports Singapore Major. Turnamen Dota 2 itu menawarkan total hadiah US$1 juta. Pada 2018, juga ada Dota 2 Kuala Lumpur Major, yang menawarkan total hadiah yang sama, yaitu US$1 juta.

Saat ini, di Asia Tenggara, juga telah ada liga esports yang menggunakan model franchise, yang dipercaya akan menjadi tren di masa depan. Salah satunya adalah Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). Selain itu, MPL Phillipines juga dikabarkan akan mengadopsi model franchise pada Season 8. Free Fire Master League juga sudah menggunakan sistem liga yang mirip dengan sistem franchise. Setiap tim diharuskan membayar sejumlah uang jika mereka ingin berpartisipasi dalam liga tersebut. Hanya saja, sebuah organisasi esports boleh menyertakan lebih dari tim untuk ikut serta di FFML. Dan durasi kontrak antara tim dengan penyelenggara hanya berlangsung selama satu season.

MSC 2021 Surpassed The International 2019’s Peak Viewers

As Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup (MSC) 2021 drew to a close this week, Execration emerged victorious — defeating its Filipino counterpart Blacklist International in the grand final. While the tournament has created a new rivalry at the top level, MSC 2021 has also set a new peak viewership record of 2,2 million.

While it is a new record, it did not come from the grand final match, but rather from the losers match between EVOS Legends and Execration. According to Esports Charts, it drew 2,284,012 views globally. The result is greater than The International 2019’s peak viewership of 1,968,497, which was a 16 percent increase.

Image via: Esports Charts

Mobile Legends: Bang Bang has seen rapid growth. Its esports sector even drew 3,083,245 peak viewers at their international tournament, M2 World Championship, held in January of this year. MSC 2021 is presently the second most-watched MLBB tournament of all time, followed by MPL ID Season 7 and the Filipino division coming in third and fourth place, respectively.

When compared to MSC 2019, MSC 2021 has an 800% increase in viewership. The 2019 edition was a contrast to the previous year’s MSC, which was postponed due to LAN restrictions, while this year’s event was to be placed after a one-year absence of Southeast Asia’s largest MLBB tournament.

M2 World Championship, in which another Filipino representative, Bren Esports, lifted the trophy. Image Via: SecretLab

The fact that Southeast Asia is the home of MLBB came as the crucial element in the success of MSC 2021. Each nation has a sizable loyal audience, particularly among EVOS Legends and Execration fans, since MLBB is the biggest mobile game in those nations. According to data, Indonesia has a huge 31 million players, with the Philippines coming in second with 25 million.

When compared to MSC 2019, MSC 2021 has an 800% increase in viewership. The 2019 edition was a contrast to the previous year’s MSC, which was postponed due to LAN restrictions. Following a one-year break, Southeast Asia’s greatest MLBB tournament was held online this year to crown the region’s finest team, with the Philippines claiming the title with two representatives in the final, Execration and Blacklist International, with the former lifted the trophy and took home  US$70,000 first-place prize.

Jual-Beli Nama Tim Esports: Dampak Pada Sponsor dan Tim

Beberapa tahun belakangan, semakin banyak merek non-endemik yang memutuskan untuk mendukung pelaku esports, termasuk organisasi esports. Ketika sebuah perusahaan menjadi sponsor dari tim esports, salah satu hal yang bisa mereka dapatkan adalah pemasangan logo atau nama perusahaan di jersey pemain, sama seperti yang dilakukan perusahaan ketika mereka mensponsori tim olahraga konvensional. Sayangnya, siaran pertandingan esports jauh berbeda dari kompetisi olahraga.

Saat Anda menonton siaran pertandingan olahraga, Anda akan sering melihat para atlet. Namun, sebagian besar pertandingan esports justru menunjukkan jalannya pertandingan dalam game. Jadi, para pemain justru jarang disorot. Alhasil, nama sponsor yang terpasang pada jersey pemain menjadi kurang terekspos. Karena itu, ada beberapa perusahaan yang memilih untuk menjadi naming sponsor. Dengan begitu, nama perusahaan atau brand mereka akan dipadankan langsung dengan nama tim.

Kontrak Naming Rights dan Organisasi Esports yang Telah Melakukannya

Pada 2020, pemasukan industri esports diperkirakan hampir mencapai US$1 miliar. Sponsorship dan hak siar media memberikan kontribusi hampir 75% dari total pemasukan tersebut. Sementara itu, bagi organisasi esports, sponsorship justru memberikan kontribusi yang lebih besar lagi pada keuangan mereka. Menurut Gaming Street, sekitar 90% dari total pemasukan organisasi esports berasal dari sponsorship.

Tentu saja, ketika perusahaan menjadi sponsor esports, mereka punya tujuan yang ingin mereka capai. Berdasarkan studi Sponsorship in Esports, kebanyakan perusahaan yang menjadi sponsor esports biasanya punya tujuan jangka panjang, yaitu ingin membangun reputasi mereka, khususnya di kalangan fans esports. Para sponsor esports biasanya tidak berusaha untuk mencari Return of Investments (ROI) dalam jangka pendek, seperti peningkatan penjualan.

Memang, menjadi sponsor esports akan membantu perusahaan untuk memenangkan hati para generasi milenials dan Gen Z, yang merupakan demografi penonton esports. Menurut studi Sponsoring Esports to Improve Brand Image, ketika perusahaan menjadi sponsor esports, maka satu per tiga fans esports akan menjadi lebih menyukai brand mereka. Dengan asumsi jumlah audiens esports mencapai 474 juta orang pada 2021, maka sebuah brand akan bisa menjangkau sekitar 158 juta orang ketika mereka menjadi sponsor esports.

Pertumbuhan jumlah penonton esports. | Sumber: Newzoo

Secara garis besar, ada empat jenis sponsorship, yaitu media sponsor, promotional sponsor, in-kind sponsor, dan sponsor finansial. Media sponsor bertugas untuk mengiklankan sebuah acara, baik di media televisi, koran, ataupun channel digital, seperti situs dan blog. Sementara itu, promotional sponsor memiliki tugas yang sama dengan media sponsor. Hanya saja, jika media sponsor biasanya diisi oleh perusahaan media, promotional sponsor biasanya merupakan individu.

In-kind sponsor merupakan sponsor yang memberikan bantuan berupa jasa atau produk yang mereka buat. Misalnya, jika merek minuman menjadi sponsor dari turnamen esports, maka mereka akan menyediakan minuman mereka bagi pemain dan penonton esports yang hadir. Terakhir, sponsor finansial. Dibandingkan dengan tiga jenis sponsorship lainnya, sponsor finansial adalah yang paling sering dibahas. Sesuai namanya, sponsor finansial akan memberikan bantuan berupa uang pada turnamen, event, atau tim yang mereka sponsori.

Salah satu hal yang bisa ditawarkan oleh tim esports pada sponsor mereka adalah memasang logo atau nama sponsor di jersey pemain. Hanya saja, wajah pemain profesional tak terlalu sering disorot kamera, berbeda dengan atlet olahraga konvensional. Karena itu, beberapa perusahaan lebih memilih untuk menjadi naming sponsor. Dengan begitu, nama perusahaan atau brand akan disandingkan dengan nama tim esports. Sejauh ini, ada beberapa organisasi esports yang telah menandatangani kontrak naming rights dengan brand, baik brand endemik maupun non-endemik.

Kia Motor jadi naming sponsor dari DAMWON Gaming. | Sumber: Esports Insider

Salah satu organisasi esports yang punya naming sponsor adalah DAMWON Gaming, organisasi esports asal Korea Selatan yang memenangkan League of Legends World Championship pada 2020. Pada Desember 2020, DAMWON mengumumkan bahwa Kia Motor akan menjadi naming sponsor mereka mulai 2021. Nama mereka pun berubah menjadi DWG KIA. Selain itu, mereka juga memperkenalkan logo dan seragam baru untuk pemain League of Legends mereka. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division, Kia Motors menjelaskan, alasan Kia Motors mendukung DAMWON Gaming adalah karena mereka ingin “merevitalisasi” ekosistem esports global. Tak hanya itu, mereka juga ingin mempromosikan merek Kia pada fans esports di seluruh dunia.

Organisasi esports lain yang baru saja menandatangani kontrak naming rights adalah JDG Gaming. Organisasi itu merupakan bagian dari divisi esports milik Jing Dong, perusahaan e-commerce asal Tiongkok. Perusahaan yang menjadi naming sponsor JD Gaming adalah Intel. Melalui sponsorship ini, nama JDG Gaming diubah menjadi JDG Intel Esports Club. Kontrak naming rights ini berlangsung selama dua tahun. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kontrak naming rights ini.

Team SoloMid (TSM) juga baru saja menandatangani kontrak naming rights pada awal Juni 2021. Perusahaan yang menjadi naming sponsor dari TSM adalah bursa cryptocurrency asal Hong Kong, Future Exchange (FTX). Kontrak naming rights antara TSM dan FTX berlangsung selama 10 tahun dan bernilai US$210 juta. Setelah menandatangani kontrak itu, TSM akan dikenal dengan nama TSM FTX. Tujuan FTX menjadi naming sponsor untuk TSM adalah karena mereka ingin membuat masyarakat Amerika Serikat mengenal brand mereka.

Setelah Genflix menjadi naming sponsor, nama Aerowolf pun berubah. | Sumber: Twitter

Di Indonesia, juga ada tim esports yang pernah menandatangani kontrak naming rights, yaitu Aerowolf. Pada Mei 2019, Aerowolf mengumumkan bahwa Genflix, platform streaming video lokal, resmi menjadi naming sponsor mereka. Alhasil, mereka mengubah nama mereka dari Aerowolf Roxy menjadi Genflix Aerowolf. Sama seperti FTX, tujuan Genflix menggandeng Aerowolf adalah untuk meningkatkan brand awareness. Hanya saja, Genflix menyasar generasi muda, yang memang merupakan demografi penonton esports.

Untung-Rugi dari Kontrak Naming Rights

Setiap perusahaan pasti ingin punya brand yang kuat dan positif. Alasannya, di tengah ketatnya persaingan, reputasi brand yang positif bisa membuat perusahaan lebih unggul dari persaingannya. Ketika sebuah brand punya reputasi yang baik di mata konsumen, kemungkinan besar produk dari brand tersebut dibeli akan menjadi lebih tinggi. Sponsorship menjadi salah satu cara perusahaan untuk membangun reputasi brand mereka. Menjadi sponsor dari kegiatan atau tim olahraga merupakan salah satu cara terbaik bagi perusahaan untuk membangun brand yang positif, menurut Winnan. Sekarang, perusahaan-perusahaan juga mulai menunjukkan ketertarikan untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Apalagi, ketika perusahaan menargetkan generasi milenial dan Gen Z.

Bagi perusahaan, salah satu keuntungan dari menjadi naming sponsor dari tim esports adalah meningkatkan brand awareness. Saat perusahaan menjadi naming sponsor dari tim esports, brand mereka akan disandingkan dengan nama tim. Dalam siaran kompetisi esports, para pemain memang jarang disorot kamera, membuat logo dan nama pada jersey pemain menjadi kurang terlihat. Namun, lain halnya dengan nama tim. Nama tim esports pasti akan selalu disebut dalam siaran kompetisi esports. Tak hanya itu, selama pertandingan, nama tim juga biasanya ditampilkan pada layar. Jadi, dengan menjadi naming sponsor dari tim esports, perusahaan bisa meningkatkan eksposur konsumen — khususnya penonton esports — akan brand mereka.

Keuntungan lain yang bisa didapatkan oleh perusahaan ketika mereka menjadi naming sponsor dari tim esports adalah kesetiaan para fans. Dalam buku berjudul The eSports Market and eSports Sponsoring, penulis Julian Heinz Anton Stroh, menyebutkan bahwa kebanyakan fans esports sadar, perusahaan yang menjadi sponsor dari tim kesayangan mereka punya tujuan komersil, seperti meningkatkan penjualan. Namun, para fans juga sadar, industri esports membutuhkan para sponsor untuk bisa bertahan. Jadi, komunitas esports biasanya tidak membenci perusahaan yang menjadi sponsor. Sebaliknya, mereka biasanya justru mengapresiasi para sponsor.

Fans esports punya antusiasme yang tinggi. | Sumber: ESTNN

Sejumlah studi juga menunjukkan, para fans tidak keberatan jika merek non-endemik yang tidak ada sangkut pautnya dengan game atau esports turut mendukung skena competitive gaming. Studi oleh Stroh menunjukkan, 70% dari fans esports berharap, akan ada semakin banyak merek non-endemik yang ikut mendukung esports. Walau memang, mereka lebih menyukai merek endemik.

Menjadi sponsor esports memang bisa membuat reputasi perusahaan menjadi lebih positif di mata fans. Hanya saja, ada beberapa faktor lain yang juga memengaruhi citra sebuah perusahaan, seperti metode activation yang digunakan oleh sponsor, target audiens, dan produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Dan tak bisa dipungkiri, komunitas esports memiliki antusiasme yang tinggi. Jika sebuah brand sukses memenangkan hati mereka, maka mereka akan secara aktif memuju brand di media sosial. Word-of-mouth dari para fans bisa membuat memperkuat reputasi brand di kalangan penonton esports. Sayangnya, antusiasme fans esports ini layaknya pedang bermata dua. Jika pesan yang perusahaan coba sampaikan melalui sponsorship tidak tersampaikan, para fans justru bisa menyebarkan pesat negatif akan brand. Hal ini juga berlaku dalam kontrak naming rights.

Ketika perusahaan menandatangani kontrak naming rights dengan tim esports, brand mereka akan disandingkan dengan nama tim. Jadi, brand dan tim esports yang bekerja sama akan saling diasosiasikan dengan satu sama lain. Hal ini bisa menimbulkan masalah ketika salah satu pihak — baik perusahaan maupun tim esports — terkena skandal. Misalnya, jika sebuat tim esports terbukti pernah bermain curang, maka, tak hanya reputasi tim esports saja yang akan rusak, tapi juga brand yang menjadi sponsor. Begitu juga dengan sebaliknya. Jika sponsor terkena skandal, tak tertutup kemungkinan, tim esports yang bekerja sama dengan perusahaan juga mendapatkan cap negatif dari masyarakat.

Tujuan utama perusahaan menjadi naming sponsor dari tim esports adalah untuk membuat fans mengasosiasikan merek mereka dengan tim. Hanya saja, kontrak naming rights terkadang tidak berlangsung lama. Dan jika nama tim terus berganti, fans justru bisa menjadi tak peduli pada naming sponsor. Kemungkinan lain yang mungkin terjadi adalah fans akan mengingat sponsor lama dari tim karena sudah terbiasa.

Hal ini pernah terjadi pada Candlestick Park, stadion yang menjdi markas dari San Francisco 49ers dan San Francisco Giants, menurut laporan Chron. Stadion itu dikenal dengan nama Candlestick Park sejak 1960. Pada 1995-2002, nama stadion itu berubah menjadi 3Com park. Nama stadion kembali berubah pada 2004-2008, menjadi Monster Park. Namun, pada akhirnya, nama yang diingat oleh fans adalah Candlestick Park. Hal ini menunjukkan, jika kontrak naming rights hanya berlangsung sebentar, ada kemungkinan fans tidak akan mengasosiasikan tim dengan merek sang sponsor. Meskipun begitu, jika kontrak naming rights berlangsung lama — seperti yang terjadi antara TSM dan FTX — hal ini juga bisa merugikan kedua belah pihak.

Team SoloMid baru saja menandatangani kontrak dengan FTX. | Sumber: Dot Esports

Keputusan tim esports untuk menjual naming rights pada sponsor bisa dibandingkan dengan keputusan startup untuk menerima tawaran akuisisi dari perusahaan yang lebih besar. Baik kontrak naming rights maupun akuisisi punya potensi untuk kedua belah pihak untung atau buntung. Akuisisi yang menguntungkan bagi perusahaan adalah ketika startup/perusahaan yang diakuisisi bisa memberikan kontribusi pemasukan yang lebih besar dari nilai belinya. Contohnya adalah akuisisi Instagram oleh Facebook. Pada 2012, Facebook membeli Instagram — yang hanya memiliki 13 karyawan — senilai US$1 miliar. Sekarang, Instagram memiliki lebih dari 1 miliar pengguna dan memberikan kontribusi sebesar US$20 miliar pada pemasukan Facebook setiap tahunnya.

Namun, tidak semua startup/perusahaan akan menerima tawaran akuisisi atau merger dari perusahaan yang lebih besar. Biasanya, alasan perusahaan menolak tawaran itu adalah karena mereka percaya, mereka akan bisa tumbuh besar tanpa bantuan dari perusahaan yang ingin mengakuisisi. Atau, mereka percaya, nilai perusahaan mereka di masa depan akan menjadi lebih besar dari nilai tawar saat ini. Contoh perusahaan yang menolak akuisisi perusahaan besar adalah Discord. Microsoft sempat menawarkan US$12 miliar untuk mengambil alih Discord sepenuhnya. Namun, pihak Discord menolak dan memilih untuk fokus melakukan IPO di masa depan, menurut laporan Bloomberg.

Hal yang sama juga bisa terjadi pada kontrak naming rights. Mari kita ambil kontrak naming rights antara TSM dan FTX sebagai contoh. Kontrak yang berlangsung selama 10 tahun itu bernilai US$210 juta. Hal itu berarti, saat ini, nilai merek TSM memang hanyalah US$210 juta. Namun, ke depan, ada kemungkinan TSM akan menjadi organisasi esports yang lebih besar dan dikenal oleh lebih banyak orang, yang berarti, nilai brand mereka bisa naik. Sebaliknya, dalam 10 tahun, tidak tertutup kemungkinan, performa TSM justru menurun, yang menyebabkan nilai atas nama organisasi juga merosot. Dalam kasus ini, maka FTX yang akan dirugikan karena mereka sudah terlanjur membayar ratusan juta di awal kontrak.

Kontrak Naming Rights di Olahraga Konvensional

Tak hanya di esports, kontrak naming rights juga lumrah terjadi di dunia olahraga konvensional. Misalnya, beberapa tim basket di Indonesia telah menjual naming rights pada sponsor. Salah satu tim basket Indonesia yang punya naming sponsor adalah Satria Muda. Sejak didirikan pada 1993, tim Satria Muda telah menandatangani kontrak naming rights beberapa sponsor. Pada 1997, merek AdeS dari The Coca-Cola Company menjadi sponsor utama dari tim basket asal Jakarta tersebut. Alhasl, nama tim pun berubah menjadi AdeS Satria Muda. Satu tahun kemudian, pada 1998, nama tim kembali berubah, menjadi Mahaka Satria Muda. Alasannya, karena sponsor utama tim berubah menjadi PT Abdi Bangsa Tbk milik Erick Tohir.

Tak berhenti sampai di situ, pada 2004, BRI melalui BritAma mensponsori tim Satria Muda. Ketika itu, nama tim pun menjadi Satria Muda BritAma. Tak hanya itu, markas Satria Muda juga dinamai The BritAma Arena. Namun, pada 2015, sponsor utama Satria Muda kembali berganti, menjadi Pertamina. Seiring dengan perubahan itu, nama tim basket tersebut pun berubah menjadi Satria Muda Pertamina. Tim basket nasional lain yang juga punya naming sponsor adalah Amartha HangTuah. Ketika didirikan pada 2003, tim basket itu hanya menggunakan nama HangTuah. Mereka mengganti nama menjadi HangTah Sumsel Indonesia Muda pada 2008. Nama tersebut digunakan hingga 2019, ketika Amartha memutuskan untuk menjadi naming sponsor dari HangTuah. Setelah itu, tim basket tersebut pun dikenal dengan nama Amartha HangTuah.

Saat Amartha jadi naming sponsor HangTuah. | Sumber: Kompas

Tentu saja, tidak semua tim olahraga bersedia menjual naming rights dari tim mereka. Klub sepak bola Eropa misalnya, mereka biasanya hanya menjual naming rights dari stadion yang menjadi markas mereka, tapi tidak naming rights atas klub itu sendiri. Contohnya, maskapai asal Uni Emirat Arab, Emirates, membeli naming rights atas stadion markas Arsenal pada 2004. Diperkirakan, kontrak yang berlangsung selama 15 tahun itu bernilai £100 juta. Selain hak atas nama stadion, Emirates juga mendapatkan placement logo di jersey pemain Arsenal sejak musim 2006-2007. Tahun lalu, Barcelona juga baru menjual naming rights atas markas mereka, Camp Nou. Hanya saja, dana yang Barcelona dapatkan dari penjualan naming rights atas Camp Nou tidak masuk kantong mereka sendiri, tapi akan diberikan untuk kegiatan amal terkait COVID-19.

Sementara itu, alasan mengapa klub sepak bola ternama tidak menjual naming rights atas klub mereka adalah karena nama mereka sudah dikenal banyak orang. Berbeda dengan tim esports yang masih relatif muda, klub-klub sepak bola Eropa sudah berumur lebih dari 100 tahun. Empat klub besar di Inggris didirikan sebelum tahun 1900: Arsenal pada 1886, Liverpool pada 1892, Manchester City pada 1880, dan Manchester United pada 1878. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan rela mengganti nama hanyay demi mendapatkan sponsor. Sekalipun ada tim sepak bola yang mau menjual naming rights mereka, belum tentu ada perusahaan yang rela membelinya karena harganya yang pasti mahal. Selain itu, jika sponsor hanya ingin meningkatkan brand awareness, mereka bisa mendapatkannya dengan menjadi sponsor biasa dari tim sepak bola. Toh, penempatan logo atau nama pada jersey pemain bola sudah dapat memberikan eksposur.

Kontrak naming rights tidak hanya terbatas pada tim olahraga atau organisasi esports. Ada juga perusahaan yang bersedia menjadi naming sponsor dari pertandingan olahraga atau kompetisi esports. Contohnya, liga sepak bola nasional Thailand dikenal dengan nama Toyota League Cup karena perusahaan Jepang itu memang menjadi sponsor utama dari liga tersebut. Sementara di esports, salah satu perusahaan yang membeli naming rights atas turnamen adalah Intel, yang memunculkan Intel Extreme Masters dan Intel Grand Slam. Di Indonesia, JD.id merupakan contoh perusahaan yang menandantangai kontrak naming rights dengan turnamen esports, yaitu High School League, yang diadakan oleh Yamisok. Tujuan JD.id menjadi sponsor dari HSL adalah untuk meningkatkan brand awareness di kalangan pemain dan penonton esports SMA.

Penutup

Ketika Anda pergi ke supermarket, ada berapa banyak merek sabun yang Anda lihat? Ketika dua perusahaan menawarkan produk yang sama dengan kualitas dan harga yang mirip, bagaimana Anda akan memilih produk yang akan Anda beli? Di tengah ketatnya persaingan di pasar, salah satu cara bagi perusahaan untuk unggul dari pesaingnya adalah dengan membangun reputasi merek yang baik. Salah satu cara yang bisa perusahaan lakukan untuk membangun reputasi brand adalah dengan menjadi sponsor di bidang olahraga, termasuk esports.

Memasang logo atau nama perusahaan pada jersey pemain merupakan salah satu bentuk sponsorship paling standar. Namun, bagi perusahaan yang ingin mengekspos brand-nya lebih jauh, mereka bisa memilih untuk menjadi naming sponsor dari organisasi esports. Dengan begitu, fans akan mengasosiasikan nama brand dengan tim kesayangan mereka. Hanya saja, jika tidak hati-hati dalam memilih tim esports yang dijadikan sebagai rekan, perusahaan justru bisa terkena masalah.

Kunci Sukses Brawl Stars Meraih Pendapatan US$ 1 Miliar Dalam Kurun Waktu 4 Tahun

Supercell adalah pengembang game mobile asal Finlandia. Perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2010 ini telah menelurkan beberapa game ternama seperti Clash of Clans, Clash Royale, dan yang terbaru Brawl Stars. Pada hari jadinya yang keempat Brawl Stars dikabarkan meraih pemasukan US$ 1 miliar. Frank Keienburg game lead dari Supercell membagikan pengalaman dan perjalanan Brawl Stars hingga saat ini melalui wawancara ekslusifnya dengan Pocketgamer.biz

Pembaruan Berkala dan Konten Baru

Saat ini hampir keseluruhan game tidak terlepas dari pembaruan yang dilakukan terus menerus. Pembaruan jangka panjang ini dilakukan agar game tetap berjalan dengan optimal dan selalu ada konten segar yang ditawarkan kepada pemain. Upaya ini juga dilakukan untuk menjaga loyalitas pemain terhadap game yang dimainkan.

Frank menyampaikan bahwa saat ini Brawl Stars terus memberikan perkembangan baru dalam jangka waktu sebulan sampai dua bulan sekali. Perkembangan ini termasuk konten baru seperti, brawlers, skins, maps, game mode, dan challenges.

Frank menuturkan bahwa Brawl Stars di tahun 2019 telah merilis 50 skin baru, lalu bertambah menjadi 80 skin di tahun 2020 dan di tahun 2021 direncanakan akan ada 150 skin baru. “Kami mendukung semua perilisan konten baru dengan secara aktif berinteraksi dengan komunitas di berbagai platform sosial media dan merilis developer updates secara berkala.”

Mempertahankan Player Base

Player base merupakan hal penting yang membuat sebuah game dapat bertahan dalam jangka waktu lama. Frank menyampaikan bahwa dua kunci utama untuk mempertahankan player base adalah dengan menyediakan fitur dan konten baru secara berkala serta yang terpenting, mendengar saran dari komunitas.

Frank menambahkan, ada pepatah yang menyampaikan bahwa pemain bukanlah desainer game dan mendengarkan saran dari komunitas hanya akan membawa kegagalan. “Kami tidak sepenuhnya percaya dengan pernyataan ini dan kami berusaha memasukkan konten dari komunitas ke dalam game ini.” Seperti separuh map Brawl Stars berasal dari kompetisi komunitas atau melalui in-game map maker.

Image Credit: Supercell Brawl Stars

Brawl Stars di Tiongkok

Saat ini Brawl Stars di Tiongkok merayakan hari jadinya yang pertama. Supercell membutuhkan waktu dua tahun untuk mendapatkan persetujuan lisensi Brawl Stars di Tiongkok. Menurut Frank “Dengan unsur kekerasan kartun dan sedikit elemen realistis, Supercell tidak perlu melakukan penyesuaian besar agar game ini dapat dirilis di Tiongkok. Tiongkok adalah pasar game terbesar di bumi dengan jumlah pemain terbanyak. Maka dari itu, menjangkau wilayah Tiongkok adalah hal yang penting dan kami menyukai apabila game dari Supercell dapat dinikmati oleh pemain secara global.”

Brawl Stars esports

Awalnya Supercell tidak merencanakan untuk Brawl Stars menjadi sebuah game esports. Frank bercerita, “di tahun 2018, saat kami mengadakan turnamen internal berjumlah 100 pemain. Ada satu momen luar biasa pada saat turnamen berlangsung, para pelayan berhenti sejenak untuk menonton turnamen di layar, dan hal itu membuat saya kagum akan potensi game ini.” Tetapi mereka tetap kembali memastikan apakah esports adalah sesuatu yang diinginkan oleh komunitas. “Saat semuanya jelas bahwa komunitas ingin adanya turnamen esports Brawl Stars, kami memutuskan merekrut Kim (pernah bekerja untuk esports Clash Royale) untuk membantu merealisasikan esports Brawl Stars.”

Image Credit: Brawl Stars esports

Seiring perjalanannya selama 4 tahun, Brawl Stars telah mencapai banyak hal seperti total 20 juta peserta di esports bulanan Brawl Stars, 10 juta subscribers YouTube, dan 250 juta pemain membuat map di Map Maker. Akhir kata dari Frank, “kami mempunyai banyak hal keren yang akan dirilis!”

Brawl Stars merupakan game battle royale dengan format 3vs3 pemain. Game ini pertama sekali dirilis pada tahun 2017 melalui tahapan open beta lalu dirilis secara global pada tahun 2018. Game ini juga masuk ke pasar Tiongkok pada tahun 2020. Brawl Stars merupakan game kelima garapan Supercell mengikuti kesuksesan game sebelumnya Clash of Clans dan Clash Royale.

Durasi Bermain Game Mobile Ternyata Meningkat 75% Selama Pandemi

Ketika pandemi COVID-19 pertama kali menyerang pada 2020, banyak orang yang harus mengubah kebiasaan untuk menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah.

Salah satu hal yang masih bisa dilakukan adalah bermain video game. Dan game mobile kelihatannya menjadi salah satu yang paling populer karena kemudahan dan kepraktisannya untuk dimainkan di manapun dan kapanpun.

Dari laporan terbaru, dalam setahun ini jam bermain rata-rata para pemain game mobile meningkat sebanyak 75%. Hasil tersebut didapat dari riset yang dilakukan oleh firma intelijen pasar IDC dan juga platform periklanan LoopMe (via Gameindustry.biz). Dalam riset yang dilakukan terhadap 3.800 konsumen di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, dan Brazil.

Hasil survey tersebut memperlihatkan bahwa aktivitas bermain game mobile cenderung naik lebih tinggi pada negara-negara dengan tingkat kematian COVID-19 yang lebih tinggi.

“Selama pandemi, terjadi lonjakan yang sangat besar (pada aktivitas bermain game). Kami melihat hal tersebut pada game mobile, maupun konsol dan PC. Kami ingin mencari tahu bagaimana ‘new normal’ akan terlihat setelah pandemi ini berakhir.” Ungkap Direktur Gaming dan VR/AR IDC, Lewis Ward.

Pada saat pandemi dimulai, sebanyak 63% responden mengatakan bahwa mereka mulai meningkatkan durasi bermain game mobile. 6% responden bahkan mengatakan bahwa mereka tidak pernah bermain game sebelum pandemi ini terjadi.

Image credit: istockphoto

Terkait genre, ternyata game mobile live-multiplayer menjadi yang paling digemari oleh para pemain hingga mengalahkan genre-genre game lain selama 2020.

Lebih lanjut, 3 dari 4 gamer dilaporkan bahwa mereka bermain hanya untuk hiburan atau menghabiskan waktu. Sedangkan 4% mengatakan mereka bermain untuk dapat melakukan interaksi sosial secara virtual.

Terakhir, tingginya waktu untuk bermain game mobile ini diprediksi akan terus terjadi meskipun pandemi sudah berakhir. 75% akan tetap bermain game mobile, sedangkan 25% sisanya diprediksi akan mulai berhenti bermain pada akhir 2022.

Accenture Report: 84% Gamers Jadikan Game Sebagai Alat Bersosialisasi

Gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Bagi sebagian gamers, asumsi itu  memang benar. Namun, sekarang, game tidak hanya menjadi media hiburan. Game juga bisa menjadi alat komunikasi, jembatan yang menghubungkan para gamers dengan satu sama lain. Lockdown yang ditetapkan pada tahun lalu juga memperkuat tren tersebut.

Pertumbuhan Industri Game

Pemasukan industri game mencapai US$200 miliar, menurut data Accenture. Sementara jumlah pemain game di dunia diperkirakan mencapai 2,7 miliar orang. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang menjadi tiga negara dengan industri game terbesar. Tiongkok memiliki 929 juta gamers. Sementara besar nilai industri game di negara tersebut mencapai US$51 miliar. Di AS, ada 219 juta gamers. Industri gaming di AS bernilai US$48 miliar.

Dari segi populasi, Jepang memang tidak sebesar Tiongkok ataupun Amerika Serikat — negara dengan populasi terbesar pertama dan ketiga di dunia. Namun, industri game di Jepang juga cukup besar. Dengan total gamers mencapai 75 juta orang, industri game di Jepang memiliki pemasukan sebesar US$24 miliar. Selain Tiongkok, AS, dan Jepang, masih ada 17 negara lain yang industri game-nya memiliki nilai lebih dari US$1 miliar. Beberapa negara tersebut antara lain Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.

Pembagian gamers berdasarkan gender. | Sumber: Accenture

Selama ini, banyak orang percaya, tidak banyak perempuan yang bermain game. Asumsi ini salah. Data dari Accenture menunjukkan, 46% gamers merupakan perempuan, 52% laki-laki, dan 2% sisanya masuk dalam kategori non-binary atau tidak mau menyebutkan gendernya. Dari segi pengalaman bermain game, Accenture membagi empat ribu respondennya ke dalam dua kategori, yaitu gamers dengan pengalaman bermain lebih dari lima tahun dan gamers yang baru bermain satu sampai empat tahun belakangan.

Menariknya, gamers baru punya karakteristik yang berbeda dengan gamers lama. Dari segi umur, gamers baru lebih muda dari gamers yang lebih berpengalaman. Umur rata-rata gamers baru adalah 32 tahun, dan umur rata-rata gamers lama adalah 35 tahun. Sebanyak 30% gamers baru berumur di bawah 25 tahun. Dari kelompok gamers lama, hanya 25% orang yang berumur di bawah 25 tahun. Selain itu, kebanyakan gamers baru merupakan perempuan. Sebanyak 60% dari total gamers baru merupakan perempuan. Di kalangan gamers yang telah lebih lama bermain, jumlah gamers perempuan hanya mencapai 39%.

Industri yang Terkena Dampak tak Langsung dari Industri Game

Industri game tumbuh begitu besar sehingga ia juga memunculkan berbagai industri baru, termasuk esports. Secara total, industri-industri baru yang muncul berkat pesatnya pertumbuhan industri game bernilai US$100 miliar. Berikut daftar dari industri-industri yang tumbuh berkat industri game:

Esports, bernilai US$1,3 miliar
– Aksesori gaming untuk PC, bernilai US$12 miliar
– Hardware PC gaming, bernilai US$39,3 miliar
– Perangkat mobile, bernilai US$39,7 miliar
– Konten gaming, bernilai US$9,3 miliar

Besar industri yang terpengaruh dari industri game. | Sumber: Accenture

Tak melulu soal uang, game juga mempengaruhi dunia hiburan dan budaya di dunia. Misalnya, dalam industri perfilman, cukup banyak film yang dibuat berdasarkan pada game, mulai dari Angry Birds sampai War of Warcraft — walau harus diakui, banyak film adaptasi game yang justru menuai kritik dan bukannya pujian. Selain industri film, game juga punya dampak pada industri mainan dan menumbuhkan industri esports. Sementara itu, inovasi dalam industri game juga bisa digunakan di industri lain, mulai dari edukasi, kesehatan, sampai militer. Faktanya, edukasi merupakan salah satu kategori dengan pertumbuhan paling cepat di Roblox.

Konsep gamifikasi juga banyak digunakan oleh orang-orang di luar industri game. Misalnya, dengan menerapkan sistem poin atau ranking. Sebaliknya, saat ini, game juga tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, tapi juga sebagai temapt untuk berkumpul dan bersosialisasi. Buktinya, konser virtual Travis Scott di Fortnite “dihadiri” oleh 12 juta pemain game battle royale itu. Selama lockdown akibat pandemi, orang-orang juga menggunakan game untuk mengadakan perayaan dari momen penting, seperti ulang tahun dan pernikahan.

Fitur Sosial Mendorong Pertumbuhan Industri Game

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah keberadaan perangkat mobile. Jika dibandingkan dengan harga PC gaming atau konsol, harga smartphone relatif lebih murah. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan dengan gratis. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk bermain game. Menariknya, kemunculan mobile game tidak menganibal pasar game konsol dan PC, dan justru mendorong para kreator game untuk fokus pada fitur sosial dari sebuah game. Jadi, jangan heran jika semakin banyak gamers yang menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial.

Menurut data dari Accenture, 84% gamers mengatakan, bermain game merupakan cara mereka untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka. Tak hanya itu, juga banyak gamers yang menjadi game sebagai alat untuk mencari teman-teman baru. Tren ini diperkuat oleh pandemi COVID-19. Sebanyak 75% gamers mengaku, interaksi sosial mereka terjadi dalam game atau platform terkait game, seperti Discord.

Pentingnya fitur sosial dalam game. | Sumber: Accenture

Bagi gamers, dunia game memiliki peran penting dalam kehidupan sosial mereka. Menurut data dari Accenture, gamers menghabiskan sekitar 16 jam per minggu untuk bermain game. Tak hanya itu, mereka juga berinteraksi dengan komunitas game, baik melalui forum game maupun dengan menonton konten game. Rata-rata, gamers menghabiskan waktu 8 jam dalam seminggu untuk menonton konten game dan 6 jam per minggu untuk aktif dalam komunitas dan forum game.

Sayangnya, komunitas game terkadang toxic. Jadi, penting bagi gamers untuk menemukan komunitas yang sesuai. sebanyak 84% responden survei Accenture mengatakan, bermain bersama teman yang cocok sangat penting dalam bermain game online. Sementara 76% responden menyebutkan, dalam satu tahun terakhir, mereka menjadi sering bermain game online. Dan 74% mengaku, mereka menjadi semakin sering bersosialisasi melalui game karena pandemi COVID-19.

Menemukan teman yang cocok saat bermain game itu penting. | Sumber: Accenture

Data di atas menunjukkan bahwa fitur sosial dalam game menjadi semakin penting di mata para gamers. Hal itu berarti, sekedar membuat game menarik dari franchise populer tak lagi cukup. Para kreator game juga harus fokus untuk memberikan pengalaman bermain yang menyenangkan para gamers.

Free Fire World Series 2021 Cetak Rekor 5 Juta Penonton

Kompetisi terakbar Free Fire tahun ini, Free Fire World Series (FFWS) 2021, baru saja menyentuh rekor baru. Pasalnya, gelaran game milik Garena ini berhasil mengumpulkan 5,4 juta penonton langsung. Dengan angka jumbo tersebut, FFWS 2021 berhasil menjadi event esports dengan penonton langsung terbanyak di dunia (dengan tidak memperhitungkan platform asal Tiongkok).

Free Fire World Series 2021 merupakan acara esports global yang diselenggarakan oleh Garena selaku pengembang resmi Free Fire. Delapan belas tim terbaik dari sembilan qualifier di berbagai negara berkumpul pada 28-30 Mei lalu di Marina Bay Sands, Singapura untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$2,000,000 atau setara dengan Rp28,5 miliar.

Kompetisi offline Free Fire pertama di tahun 2021 ini disiarkan langsung di 12 bahasa berbeda di platform YouTube, Twitch, Facebook, TikTok, platform sosial media Rusia VK, serta platform milik Garena, BOOYAH!.

Ketidakhadiran tim India tidak sontak membuat negara tersebut tidak antusias dalam menonton FFWS 2021. Menurut data yang dihimpun dari EsportsChartsstream dengan Bahasa Hindi membawa total 1,9 juta penonton walaupun diselenggarakan saat tengah malam di India. Kemudian di tempat kedua adalah 25.9% total jam tayang dari keseluruhan gelaran ini yang datang dari Portugal.

Gelaran ini dimenangkan oleh Phoenix Force, divisi EVOS Esports cabang Thailand. Tim yang dipimpin oleh Kitsawin “Rambo” Chanawong ini berhasil membawa pulang uang sebesar US$500,000, diikuti oleh tim Loud dan Russian Silence yang membawa pulang masing-masing US$250,000 dan US$100,000.

FFWS 2021 mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh League of Legends World Championship 2019 dengan 3,9 juta penonton langsung.

Photo cover by Garena