Crewdible Dikabarkan Galang Pendanaan Seri A [UPDATED]

Startup penyedia solusi pengadaan Crewdible dikabarkan menggalang pendanaan segar. Berdasarkan data yang diinputkan ke regulator, putaran ini telah diikuti sejumlah investor, termasuk Bukalapak (melalui entitas Sierra Ranger Pte. Ltd.), Ondine Capital, 500 Southeast Asia (dulu bernama 500 Durians), dan Aldi Haryopratomo sebagai angel investor.

Saat dihubungi, perwakilan perusahaan membenarkan informasi terkait dana segar yang diterima, sekaligus menyiratkan bahwa proses penggalangan telah rampung dan akan segera memberikan informasi resminya dalam waktu dekat.

Sebelumnya, Crewdible memperoleh pendanaan pra-seri A senilai $1,5 juta yang diumumkan pada Oktober 2019. Putaran tersebut dipimpin oleh Global Founders Capital (GFC).

Startup yang dirintis oleh Dhana Galindra pada 2017 ini memosisikan diri sebagai online fulfillment service yang mengedepankan sistem crowdsourcing. Crewdible memanfaatkan gudang atau ruko kosong di berbagai wilayah untuk bekerja sama sebagai mitra perusahaan.

Hingga kini, Crewdible menyediakan layanan terpadu seperti penyimpanan barang, packing, hingga siap diantar oleh kurir. Seluruh aktivitas tersebut berada dalam suatu aplikasi yang diharapkan memudahkan pemilik bisnis online dalam melakukan transaksi bisnisnya.

Dengan demikian, pebisnis bisa lebih fokus ke pengembangan bisnis mereka karena urusan operasional, mulai dari simpan barang, packing, hingga pengiriman, otomatis selesai dikerjakan secara profesional oleh tim Crewdible. Selain praktis, pebisnis dapat memangkas biaya operasional mereka menjadi lebih hemat sampai 30%.

Visi perusahaan adalah membentuk ekosistem yang terintegrasi untuk memudahkan semua orang memulai dan mengembangkan bisnisnya secara berkelanjutan. Serta misinya, memberdayakan serta berkembang bersama mitra-mitra dalam memberikan layanan fulfillment terbaik pada berbagai business e-commerce dan UKM di seluruh Indonesia.

Berdasarkan informasi yang diberikan perusahaan, per tahun lalu, ada lebih dari 7 ribu penjual online yang bergabung, menciptakan transaksi seller/client sebanyak 6,64 juta, memiliki lebih dari 97 ribu SKU terverifikasi.

Berikutnya, ada 43 brand dengan 85 toko pengguna jasa admin Crewdible, memiliki 116 mitra gudang, 35 mitra gudang pendingin, dan menghadirkan fitur baru OMS (order management system) dan WMS (warehouse management system). Terakhir, perusahaan telah memiliki tambahan kantor cabang yang berada di Surabaya dan Bandung.

Dalam monetisasinya, Crewdible memiliki tiga kategori gudang yakni basic, standar, dan pro. Masing-masing kategori memiliki fee fulfillment yang berbeda, antara lain: 2,9%, 3,8% dan 4,5%. Ketiga kategori tersebut dapat pebisnis pilih sesuai kebutuhan dan gudang.

Tak hanya pengadaan, perusahaan kini menyediakan dukungan jasa marketing, berupa jasa foto produk, jasa admin online, dan jasa lainnya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pebisnis.

*Pembaruan: kami menambahkan Bukalapak ke daftar investor yang terlibat dalam pendanaan ini.

Application Information Will Show Up Here

The Hope Remains for Logistics Sector Amidst COVID-19

The corona disease (COVID-19) is entering a new chapter. The World Health Organization (WHO) has announced the global pandemic. Indonesia followed the lead by declaring it a national disaster.

The economy was clearly impacted by this pestilence. The tourism and hospitality business is the most visible example to imagine how devastated after the explosion of the COVID-19 case in the world. This is not much different from the logistics sector which is very close to the impact of the corona virus.

Keep in mind that China is a global production hub in the current economic era. The crippling of most of the Chinese economy has disrupted the supply chain to its trading partners, including Indonesia. The effect spreads regardless of national borders.

Chinese Significance

The Chinese country is an important trading partner for Indonesia. It is visible from the value of trade transactions between the two countries which has reached US$ 72.66 billion in 2018. This figure takes a portion of 20 percent of the total trade that occurs with all partners.

Seen from the nominal it is also known that import transactions from China touched US$ 45.54 billion. Many imported raw materials needed by the domestic industry are imported there.

Chairman of the Indonesian Logistics Association (ALI) Zaidy Ilham Masita said the import tap from China had dropped 30 percent due to the corona pandemic. Shipping goods via sea is very limited, while shipping via air has been banned since last January. Exports have the same fate. Shipments to China are becoming sluggish at this time.

“Our exports to China also experienced a decline, especially perishable exports or fresh goods because China closed imports of fresh food. So for exports and imports the impact was quite severe,” Zaidy told Dailysocial.

The story of logistics players

Crewdible is one of the startups affected by this disaster. Being in the field of warehousing, they admit that their business has stalled. The CEO, Dhana Galindra said the productivity of all of their sellers dropped dramatically since the outbreak.

Logisly suffered a similar fate. The logistics business that bridges the needs of all types of freight trucks is directly affected. The CEO, Roolin Njotosetiadi stressed the sluggish export-import activities caused demand to fall on their platforms. “The container business is the most declined,” he added.

Zaidy Masita, who is also the Paxel‘s COO, said that the situation in the logistics landscape has worsened after several countries adopted a lockdown policy. China, New Zealand, Poland, Denmark, and Italy are examples of countries that have locked themselves in their struggle against the corona virus.

The situation in China is the main focus because they are like the epicenter of the global supply chain. Quoted from the New York Times, the problem in China is not in the inventory. Ports and customs have been called almost normal. The problem lies in the lack of trucks that come to deliver and pick up goods to the port. The government’s decision to impose a quarantine to lock up an area to reduce the spread of the corona virus had to be taken even though this meant to tear down their economy.

Looking for hope

In an uncertain situation for this economy, logistical startups must rack their brains to find solutions to survive. As a relatively new player, Logisly strives to continually add new shippers and transporters. It is required to patch up the quiet demand for trucks that they offer on the platform.

A similar method is taken by Crewdible. The difference is, this online warehouse platform focuses more on certain types of products. “We are more focused on local goods and fresh products now because imported goods are gone on the market,” said Dhana.

Fresh products seems to be excellent in times of crisis like this. Anticipation is higher for activities outside the home causing increased demand for fresh products. Besides Crewdible, this was also experienced by Paxel.

Zaldy said that since the corona virus became a serious threat to the community, shopping centers and food shops that were operating were increasingly limited. Therefore he was not surprised that the demand for food ingredients had risen sharply.

“In terms of Paxel, because we focus on the same day [delivery] between cities in Indonesia, even since the corona virus broke out, our volume has risen to 40%. Food and perishable shipments have risen sharply.”

In addition, Zaldy is quite confident that Paxel’s business model that relies on smart lockers can be a solution for delivering goods in situations like this. “Indeed, there are many disasters in Q1 2020 that we experience and logistics companies must be able to survive and change their business processes by using more technology,” concluded Zaldy.

Possible stagnate

The logistics industry in the country did experience many disasters during the first quarter of this year. After many times their operations were disrupted by flooding during January and February, now the corona virus is their newest block.

ALI, which previously targeted industrial growth at 12-14% with a contribution to gross domestic product (GDP) of Rp993.9 trillion, is predicted to be canceled. According to Zaldy, logistical growth for this year will be stagnant compared to last year’s achievement which was only 7-9%.

To date, no one knows how long the corona outbreak will continue to spread. While researchers are still struggling to find the right formula to fight the virus, the governments of each country are struggling to reduce its spread. As of this writing, Covid-19 has caused 117 cases with 8 patients recovering, and 5 patients dying in Indonesia. Meanwhile, the central government and a number of regions have encouraged residents to limit their activities at home to reduce the transmission of the virus.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Meski Terpukul Akibat COVID-19, Industri Logistik Punya Harapan

Serangan wabah corona disease 2019 (COVID-19) memasuki babak baru. World Health Organization (WHO) sudah mengumumkannya sebagai pandemi global. Indonesia pun melakukan hal serupa dengan mendeklarasikannya sebagai bencana nasional.

Perekonomian jelas terpukul dalam akibat sampar ini. Bisnis pariwisata dan hospitality misalnya adalah contoh paling mudah yang bisa terbayang sehancur apa setelah meledaknya kasus COVID-19 di dunia. Hal ini tak berbeda jauh dengan sektor logistik yang berada sangat dekat terhadap dampak virus corona.

Perlu diingat bahwa Tiongkok merupakan global production hub di era perekonomian saat ini. Lumpuhnya sebagian besar ekonomi Tiongkok menyebabkan rantai pasok ke para mitra dagangnya terganggu, termasuk Indonesia. Efeknya menjalar tanpa mengenal batas negara.

Signifikansi Tiongkok

Negeri Tirai Bambu adalah mitra dagang penting bagi Indonesia. Ini terlihat dari nilai transaksi perdagangan kedua negara yang mencapai US$72,66 miliar pada 2018. Angka ini mengambil porsi 20 persen dari total perdagangan yang terjadi dengan semua mitra.

Dari nominal tersebut juga diketahui bahwa transaksi impor dari Tiongkok menyentuh US$45,54 miliar. Bahan baku impor yang dibutuhkan industri dalam negeri banyak didatangkan dari sana.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaidy Ilham Masita menyebut keran impor dari Tiongkok sudah turun 30 persen akibat pandemi corona. Pengiriman barang via laut sangat terbatas, sementara pengiriman via udara sudah dilarang sejak Januari lalu. Ekspor pun bernasib serupa. Pengiriman barang ke Tiongkok kian lesu saat ini.

“Ekspor kita ke China juga mengalami penurunan terutama ekspor perishable atau barang segar karena China menutup import makanan segar. Jadi untuk ekspor dan impor dampaknya lumayan parah,” ucap Zaidy kepada Dailysocial.

Cerita pelaku logistik

Crewdible adalah salah satu startup yang terdampak bencana ini. Berada di bidang warehousing, mereka mengaku bisnisnya tersendat. CEO Dhana Galindra menyebut produktivitas semua seller mereka menurun drastis sejak wabah ini merebak.

Logisly mengalami nasib serupa. Bisnis Logisly yang menjembatani kebutuhan segala jenis truk pengiriman barang kena imbaslangsung. CEO Roolin Njotosetiadi menekankan lesunya kegiatan ekspor-impor menyebabkan permintaan di platform mereka turun. “Yang container paling turun,” imbuhnya.

Zaidy Masita yang juga COO Paxel mengemukakan situasi di lanskap logistik makin parah setelah beberapa negara mengambil kebijakan lockdown. Tiongkok, Selandia Baru, Polandia, Denmark, dan Italia adalah contoh beberapa negara yang mengunci diri dalam perjuangannya menghadapi virus corona.

Situasi di Tiongkok jadi sorotan utama karena mereka sudah seperti episentrum rantai pasok global. Dikutip dari New York Times, persoalan di Tiongkok bukan berada di persediaan barangnya. Pelabuhan dan bea cukai pun disebut sudah berjalan hampir normal. Masalahnya terletak di minimnya truk yang datang mengantar dan menjemput barang-barang ke pelabuhan. Keputusan pemerintah memberlakukan karantina hingga mengunci suatu wilayah untuk meredam penyebaran virus corona terpaksa diambil meski ini berarti menggerus perekonomian mereka.

Mencari harapan

Dalam situasi serba tidak pasti untuk perekenomian ini, startup logistik harus memutar otak menemukan solusi agar tetap bertahan. Sebagai pemain yang relatif baru, Logisly mengupayakan terus menambah shipper dan transporter baru. Hal ini perlu untuk menambal sepinya permintaan truk yang mereka tawarkan di platform.

Cara serupa juga ditempuh Crewdible. Bedanya, platform gudang online ini lebih menitikberatkan fokusnya ke jenis produk tertentu saja. “Kita lebih fokus barang lokal dan fresh product sekarang karena barang impor sudah habis di pasaran,” cetus Dhana.

Produk segar tampaknya menjadi primadona di masa krisis seperti ini. Antisipasi yang lebih tinggi untuk beraktivitas di luar rumah menyebabkan permintaan produk segar meningkat. Selain Crewdible, hal ini juga dialami oleh Paxel.

Zaldy bercerita sejak virus corona menjadi ancaman serius bagi masyarakat, pusat perbelanjaan dan toko-toko makanan yang beroperasi kian terbatas. Maka dari itu ia tak heran permintaan bahan-bahan makanan meningkat tajam.

“Untuk Paxel karena kita fokusnya same day [delivery] antarkota di Indonesia, malah sejak virus corona merebak, volume kita naik sampai 40%. Pengiriman makanan dan perishable naik dengan tajam.”

Selain itu, Zaldy cukup percaya diri model bisnis Paxel yang mengandalkan loker pintar seperti mereka dapat jadi solusi pengantaran barang di situasi seperti ini. “Memang banyak musibah di Q1 2020 yang kita alami dan perusahaan logistik harus bisa survive dan mengubah bisnis prosesnya dengan lebih banyak lagi menggunakan tekonologi,” pungkas Zaldy.

Akan stagnan

Industri logistik Tanah Air memang mengalami banyak musibah sepanjang kuartal pertama tahun ini. Setelah berkali-kali operasional mereka terganggu banjir selama Januari dan Februari, kini virus corona jadi ganjalan terbaru mereka.

ALI yang sebelumnya menargetkan pertumbuhan industri di angka 12-14% dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp993,9 triliun diprediksi bakal meleset. Menurut Zaldy pertumbuhan logistik untuk tahun ini akan stagnan dibanding raihan tahun lalu yang hanya 7-9%.

Hingga saat ini belum ada yang tahu berapa lama wabah corona bakal menerjang dunia. Sementara para peneliti masih berjibaku menemukan obat yang tepat untuk melawan virus ini, pemerintah tiap negara tengah berjuang meredam penyebarannya. Sampai tulisan ini dibuat, Covid-19 sudah menyebabkan 117 kasus dengan 8 pasien sembuh, dan 5 pasien meninggal di Indonesia. Sementara itu pemerintah pusat dan sejumlah daerah sudah menganjurkan warga membatasi kegiatannya di rumah guna menekan penularan virus.

Lima Startup Terpilih di Gelombang Pertama Gojek Xcelerate

Sebanyak lima startup tampil dalam demo day program Gojek Xcelerate. Mereka adalah Qlue, Travelio, Peto, Izy.ai, dan Crewdible.

Startup tersebut punya latar belakang industri yang berbeda-beda. Crewdible misalnya bergerak di bidang pergudangan logistik, Izy di industri perhotelan, Peto di perawatan hewan peliharaan, Travelio di pemesanan akomodasi, dan Qlue di solusi smart city.

Rencananya program ini akan berjalan hingga Maret 2020 dengan target 20 startup terpilih dalam lima gelombang. Digitaraya, Google Developers Launchpad, McKinsey & Co., dan UBS menjadi mitra Gojek dalam program ini.

VP Public Affairs Gojek Siti Astrid Kusumawardhani menjelaskan, kelima startup itu terpilih dari 1.050 pendaftar dalam gelombang pertama program Gojek Xcelerate. Astrid menuturkan startup-startup tersebut dipilih karena dianggap akan makin kuat dengan implementasi machine learning.

“Mereka paling berpotensi tumbuh cepat dengan machine learning dan menciptakan sosial serta memecahkan masalah yang nyata di masyarakat seperti halnya Gojek,” kata Astrid.

Hadiah yang bakal diterima lima startup tersebut dari program ini bukan dalam bentuk pendanaan. Astrid mengatakan, pihaknya memberikan pengetahuan akan machine learning, akses ke mentor kelas dunia, jejaring komunitas, dan kesempatan bergabung ke platform besar Gojek.

“Itu yang nilainya sangat tinggi khususnya bagi startup-startup early stage dan ada juga kesempatan bergabung ke platform Gojek,” imbuhnya.

Crewdible sebagai peserta dalam program ini mengaku tertarik ikut karena program machine learning yang ditawarkan. Founder Crewdible Dhana Galindra mengaku dalam waktu dekat sulit mengimplementasi machine learning ke dalam sistemnya. Akan tetapi menurutnya penguasaan machine learning menjadi penting ketika kondisi sudah mengharuskan.

“Karena ini tergantung industrinya. Kalau Gojek mungkin lebih kepada volume data yang besar dan real time. Kita volume data besar tapi tidak terlalu real time, dalam arti decision making enggak terlalu real time,” ucap Dhana.

Berbeda dengan Crewdible, Peto dan Izy terang-terangan mengaku alasannya mengikuti program akselerasi ini untuk masuk ke dalam platform besar Gojek. “Betul, ini salah satu tujuan kita ikut,” pungkas CEO Peto Ditya Nandiwardhana.

Layanan Crewdible Mudahkan Proses “Fulfilment” Toko Online

Maraknya kehadiran online shop turut memunculkan berbagai bisnis pendukung. Mulai dari penyedia barang, kegiatan pemasaran, hingga logistik. Salah satu startup lokal yang mencoba untuk menghadirkan solusi tersebut adalah Crewdible.

Berawal dari kegiatan bisnis pribadinya yang kesulitan mengemas dan mengirimkan barang kepada pembeli dalam jumlah besar, Dhana Galindra mengembangkan model bisnis memanfaatkan warga sekitar yang tinggal di sekitar gerai JNE untuk menyimpan barang dan mengirimkan barang tersebut, jika ada pemesanan.

Sukses menjalankan cara tersebut selama enam bulan, Dhana kemudian mulai kebanjiran permintaan dari pemilik online shop lainnya untuk menitipkan dan mengirimkan barang, memanfaatkan mitra (pemilik rumah/gudang).

“Karena berjalan dengan baik, kita mulai membuat entitas bisnis terpisah untuk serius mengembangkan bisnis fulfilment ini yang kita beri nama Crewdible.”

Bersama Crewdible, Dhana sudah mampu mengirimkan barang dari pemilik online shop, menggandeng mitra yang bukan lagi berasal dari warga pemukiman sekitar, dan bentuk usaha lainnya.

“Selain penitipan barang, Crewdible juga bisa membantu pemilik online shop untuk mengemas hingga mengirimkan barang tersebut. Sehingga proses lebih cepat dan tentunya lebih hemat,” kata Dhana.

Untuk setiap barang yang dikemas dan dikirimkan memanfaatkan mitra, Crewdible akan mengenakan biaya sebesar 3,5% dari nilai penjualan (max Rp10 ribu). Untuk materi pengemasan barang pun, Crewdible memberikan opsi materi yang diinginkan penjual.

“Untuk setiap transaksi secara otomatis akan dipotong dari saldo yang di top-up di dompet Crewdible,” kata Dhana.

Tersebar di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan

Saat ini Crewdible telah memiliki sekitar 40 penjual aktif yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Solo, Jogja, Surabaya, Batam, Palembang hingga Balikpapan. Mereka yang tertarik untuk menjadi mitra bisa mendaftarkan langsung melalui aplikasi, kemudian memilih lokasi gudang terdekat dan tentunya melakukan pembayaran deposit (ke dompet digital).

“Nantinya biaya gudang yang dibayarkan penjual akan digunakan untuk keperluan operasional saat ini. Selain itu Crewdible juga mendapatkan dana suntikan dari profit bisnis sebelumnya,” kata Dhana.

Masih menjalankan bisnis secara boostrap, Crewdible masih memiliki banyak rencana yang ingin diwujudkan. Di antaranya adalah menambah jumlah gudang agar bisa membantu lebih banyak penjual online shop.

“Untuk itu kami berencana untuk melakukan fundraising agar bisa membantu mitra gudang bekerja lebih efisien, memperbesar jaringan gudang, mengurangi human error, otomasi proses, integrasi dengan sistem marketplace dan logistik, dan menambah kapasitas marketing,” tutup Dhana.

Application Information Will Show Up Here