Bagaimana DigiAsia Bios Manfaatkan Embedded Finance untuk Keuangan yang Inklusif

Indonesia memiliki populasi unbanked dan underbanked tertinggi (81%) di Asia Tenggara, menurut laporan e-Conomy 2022 yang disusun Google bersama Temasek, dan Bain & Co.. Kondisi tersebut menempatkan negara ini sebagai tertinggi pertama di ASEAN, yang kemudian disusul oleh Filipina (75%) dan Vietnam (54%).

Bila terjemahkan, angka ini memperlihatkan masih sulitnya masyarakat Indonesia dalam memperoleh akses keuangan. Makanya pekerjaan rumah saat ini bagi seluruh pelaku industri adalah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Dalam konteks fintech, solusi embedded finance bisa menjadi salah satu cara menuju inklusivitas akses keuangan, seperti yang saat ini dilakukan oleh DigiAsia Bios (Digiasia).

Grup perusahaan fintech ini memiliki empat produk keuangan yang sudah berlisensi, ialah uang elektronik (KasPro), p2p lending (KreditPro), remitansi (RemitPro), dan layanan keuangan digital (Digibos). Seluruh layanan tersebut disajikan untuk memenuhi kebutuhan bisnis alias B2B, maka jadi hal yang wajar karena merek-merek di atas tidak familiar di telinga konsumen B2C.

“Kami bukan untuk B2C, melainkan enabler untuk B2B [dengan empat lisensi]. Sementara ini kami melayani enterprise yang sudah punya audiens tapi ada kebutuhan produk keuangan untuk melayani konsumen mereka,” terang Chief of Digital Ecosystem Integration DigiAsia Bios Joseph Lumban Gaol saat ditemui DailySocial.id.

Menurutnya, potensi korporat yang membutuhkan solusi keuangan jauh lebih besar dan tak kalah pentingnya dalam rangka meningkatkan keuangan yang inklusif. Hanya saja bagi korporat tersebut untuk memiliki solusi keuangan, uang elektronik misalnya, harus mengajukan lisensi ke Bank Indonesia dan memenuhi berbagai persyaratan. Tak hanya makan waktu, tapi juga investasi yang dikeluarkan tak kalah besar.

Seluruh solusi ini sudah berbasis API, dapat dihubungkan dengan sistem API di enterprise sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Perusahaan lebih suka menyebut solusinya tersebut sebagai EFaaS (embedded-finance-as-a-service), sebenarnya tidak berbeda dengan istilah embedded finance yang lebih familiar di industri fintech.

Diklaim perusahaan telah bermitra dengan 97 korporasi besar lintas industri sejak beroperasi di 2017. Mereka datang dari jasa keuangan, teknologi, ritel, telekomunikasi, transportasi, dan F&B.

Dicontohkan, salah satu pengguna KasPro, yakni PT KAI membutuhkan kehadiran solusi dompet digital di aplikasi KAI Access. Memanfaatkan lisensi yang dimiliki KasPro, kini hadir KAIPay sebagai alternatif pembayaran untuk pemesanan tiket, pesanan makanan di kereta api, dan jasa lainnya di aplikasi KAI Access.

Contoh lainnya, Kredivo yang membutuhkan kemudahan transfer dana ke rekening debitur untuk setiap pengajuan pinjaman yang telah disetujui perusahaan. “Jadi solusi yang dibutuhkan para enterprise ini tailored untuk mengatasi masalah masing-masing. Karena Indonesia itu banyak yang unbanked, jadi masalahnya sangat beragam,” tambahnya.

Secara konsep embedded finance, apa yang ditawarkan DigiAsia serupa dengan pemain seperti AyoConnect, Brick, dan Brankas. Namun Joe, panggilan akrab dari Joseph, menuturkan keunggulan dari DigiAsia adalah keempat lisensi yang sudah dikantonginya tersebut.

Walau demikian, pihaknya mengaku tetap menjalin kemitraan dengan pemain sejenis apabila ada teknologi yang dirasa lebih unggul daripada yang dimiliki perusahaan. Menurutnya, di era sekarang kolaborasi lebih baik daripada memonopoli pasar, apalagi pasar Indonesia dinilai too specialized (sangat terspesialisasi).

Turut hadir dalam kesempatan tersebut Chief of Exchange and Gaming DigiAsia Bios Jimmy Tjandra. Ia menambahkan, Stripe adalah tolak ukur terbaik sebagai penyedia solusi embedded finance dalam skala global. Perusahaan banyak memperhatikan geliat perusahaan tersebut dan inovasi-inovasi yang dihadirkan.

Hanya saja, karena pasar Indonesia terlalu terspesialisasi, solusi yang begitu canggih dari perusahaan skala global seringkali tidak tepat sasaran. Alhasil tetap dibutuhkan lokalisasi agar diterima masyarakat. “Karena Indonesia itu populasi unbanked-nya masih tinggi, sehingga solusi yang terlalu canggih itu seringkali belum tentu tepat,” ujarnya.

Sumber: DigiAsia Bios

Pengembangan teknologi

Chief of Technology & Operations Officer DigiAsia Bios Hardi Tanuwijaya menambahkan, dari berbagai contoh kasus lintas industri yang sudah ditangani perusahaan, terkumpullah API-API yang dapat langsung di-plug-and-play sesuai kebutuhan yang dicari. Semuanya tersimpan di dalam komputasi awan yang membuat semua prosesnya efisien, hemat, dan cepat.

Proses kerja tim teknologi di DigiAsia menggunakan microservices architecture. Ini adalah framework yang dipakai sebagai model dalam pembuatan aplikasi komputasi awan yang modern. Di dalam microservices, setiap aplikasi dibangun sebagai sekumpulan services dan setiap layanan berjalanan dalam prosesnya sendiri.

Masing-masing dari aplikasi tersebut saling berkomunikasi melalui API. Alhasil, setiap ada perubahan pada program yang dilakukan oleh developer, tidak akan mengganggu keseluruhan aplikasi. “Dengan microservices architecture kita jadi lebih fleksibel, semua berjalan secara modular menggabungkan empat lisensi yang kita punya tanpa terganggu jika kita bangun program baru di dalam cloud.”

Dampak dari pola kerja demikian membuat struktur karyawan di DigiAsia terbilang ramping, dengan total karyawan sekitar 100 orang dan mayoritas terdiri dari tim teknologi.

Kemudian dari sisi korporasi yang ingin “menjahitkan” API dari DigiAsia ke API internal juga lebih ramah. Tapi itu tergantung kesiapan teknologi masing-masing. Hardi memperkirakan, apabila perusahaan sudah matang dengan teknologi mereka, biasanya proses penjaitan API hanya memakan waktu tiga minggu. Akan tetapi, apabila perusahaan tersebut masih memiliki banyak aspirasi pembangunan teknologi, maksimal proses penjaitannya kurang dari tiga bulan.

“Karena sudah banyak use case sejak 2017 dan sudah API-based, makanya proses penjaitan API dapat berjalan lebih cepat.”

Rencana bisnis

Dalam rangka melanjutkan visi ingin meningkatkan keuangan yang inklusif di Indonesia, perusahaan segera meluncurkan solusi baru berbentuk marketplace berbasis Open API untuk menyasar berbagai skala bisnis mulai dari UKM hingga enterprise.

Joe menjelaskan, solusi tersebut diperuntukkan buat para developer yang membutuhkan solusi keuangan sesuai yang dicari, berdasarkan API-API dengan berbagai use case yang sudah tersedia di platform tersebut. Kemudian, mereka dapat langsung menjaitnya dan mencoba apakah berjalan sukses atau tidak di platform masing-masing.

“Rencananya produk ini akan hadir bulan Juni, platform-nya kami buka khusus untuk para engineer yang ada di seluruh Indonesia. Dengan demikian, keuangan digital semakin inklusif karena masuk ke berbagai aspek hidup masyarakat karena masih banyak industri yang membutuhkan solusi keuangan yang tidak mungkin bila kita sendiri yang terjun langsung ke sana.”

Rencana lainnya, seiring mengikuti perkembangan teknologi adalah mulai mempelajari penerapan teknologi blockchain. Di Indonesia, teknologi ini masih dalam tahap adaptasi dan belum banyak contoh kasus yang bisa dikatakan sukses.

Namun secara tren global, teknologi blockchain telah menunjukkan nilai lebihnya dalam berbagai kasus penggunaan perusahaan, seperti pelacakan sumber, logistik, dan pembayaran lintas batas. Solusi blockchain lebih efisien dan hemat biaya, sekaligus menghemat waktu dan tenaga bagi perusahaan.

“Walaupun begitu, kami terus mengamati tren karena kami tetap ingin menyeimbangkan antara bisnis dan perkembangan teknologi blockchain apabila diterapkan di Indonesia.”

Mengenai rencana perusahaan bersama Mastercard dan Bank Index, Joe menuturkan bahwa saat ini sedang mengajukan izin dari Bank Indonesia untuk menerbitkan kartu debit fisik yang ditenagai Mastercard dan Bank Index sebagai bank penerbit kartu. DigiAsia nantinya sebagai penyedia fitur-fitur yang memberikan nilai tambah bagi pengguna.

Apabila tidak ada aral lintang, kartu debit tersebut nantinya akan dihadirkan untuk masyarakat unbanked namun sudah memanfaatkan berbagai platform digital yang mereka pakai sehari-hari. Ambil contoh, Maxim, yang juga sudah bermitra dengan DigiAsia, dapat membuka kesempatan bagi para pengemudinya -dengan memanfaatkan account linkage– untuk memiliki kartu debit dengan berbagai kemudahan, seperti account management dan transaksi luar negeri.

Sebagai catatan, DigiAsia kini menjadi salah satu pemegang saham (sebesar 3,67%) di Bank Index sejak awal tahun ini. Adapun, startup fintech lainnya Modalku sudah resmi masuk ke bank tersebut sejak April 2022 dengan mencaplok 10% saham. Sementara, Mastercard adalah salah satu pemegang saham di DigiAsia sejak putaran Seri B yang berlangsung pada Maret 2020.

Sebelumnya, Mastercard dan DigiAsia sudah berkolaborasi dengan Bank Rakyat Indonesia untuk menerbitkan kartu kredit virtual dan fisik Merchant on Record (MOR). Kegunaannya untuk memudahkan pengusaha distributor untuk melakukan pembayaran kepada prinsipal dengan cepat tanpa mendisrupsi model bisnis yang telah berjalan. Salah satu pengguna kartu tersebut adalah startup GrosirOne.

“Rencananya kartu debit fisik bersama Bank Index ini akan segera hadir dalam tahun ini, sekarang sedang dalam tahap compliance di Bank Indonesia.”

Rencana IPO

Mengenai perkembangan IPO via SPAC di bursa saham Amerika Serikat, diterangkan lebih jauh bahwa sejauh ini masih sesuai dengan rencana perusahaan. Bila proses lancar, diperkirakan akan resmi melantai sekitar kuartal III/IV tahun ini. “Sekarang prosesnya masih berjalan sesuai pipeline, namun saat ini belum ada sesuatu yang pasti sehingga apapun bisa terjadi,” kata Joe.

Sebelumnya, perusahaan merger dengan perusahaan cangkang StoneBridge Acquisition Corporation (StoneBridge). Transaksi tersebut membawa valuasi pra-IPO (pre-money equity) DigiAsia sebesar $500 juta. Sebelum menandatangani perjanjian merger, DigiAsia menutup investasi $14,5 juta dengan valuasi post-money sebesar $450 juta yang dipimpin Reliance Capital Management (RCM).

Bicara mengenai perkembangan bisnis DigiAsia, disebutkan gross merchandise value (GMV) tahunan yang diproses mencapai $3 juta pada tahun lalu, dengan pertumbuhan CAGR lebih dari 200% secara year-on-year. Adapun berdasarkan gross transaction value (GTV) kontributornya terbesar datang dari solusi BaaS (48%), kemudan B2B2M (46%), dan sisanya dari bisnis lainnya.

Joe menuturkan, tahun ini perusahaan menargetkan dapat cetak laba agar dapat tumbuh berkelanjutan ke depannya. “Struktur bisnis kami sudah efisien dan biaya nurture di B2B ini lebih murah dari B2C, makanya kami yakin tahun ini bisa sudah bisa profit,” tutupnya.

Alexander Rusli Uraikan Potensi Fintech dan Rencana Ekspansi Digiasia

Co-Founder dan Co-CEO Digiasia Alexander Rusli bicara tentang perkembangan pasar fintech, aksi melantai di bursa saham AS, hingga peran gandanya sebagai angle investor.

Berbincang dengan DailySocial.id, pria yang karib disapa Alex ini melihat potensi pasar Fintech-as-a-Service (FaaS) masih sangat besar seiring dengan semakin matangnya (maturity) pemahaman industri terhadap layanan fintech. Berbeda dengan tiga tahun lalu, saat industri belum memahami bagaimana fintech bisa relevan bagi bisnis B2B. Meningkatnya pemahaman ini juga membuat penjajakan sinergi/kolaborasi menjadi lebih mudah.

Sepanjang 2022, ujarnya, pertumbuhan bisnis Digiasia banyak dimotori oleh sektor fintech, terutama P2P lending. Menurutnya, kebutuhan pelaku fintech mulai meningkat agar mereka bisa lebih fokus mengelola bisnis inti, dan tidak perlu repot untuk mengajukan lisensi baru.

Selain perusahaan fintech, pihaknya juga mulai banyak masuk ke lembaga keuangan konvensional, seperti bank daerah. Ia berujar ke depannya persaingan tidak hanya terjadi pada pemain independen, tetapi juga bank-bank besar yang sudah masuk ke produk Banking-as-a-Service (BaaS).

Saat ini, Alex menyebut pihaknya tengah mengurus lisensi untuk produk payment gateway Syariah dan wallet Syariah. “Belum live, lagi diurus di BI. Kami selalu lihat pain point, kebutuhannya apa. Pada akhirnya, [kebutuhan] orang semakin disiplin, pasti akan ke sana [produk Syariah],” ujarnya kepada DailySocial.id.

Sebagai informasi, Digiasia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Saat ini, pihaknya menawarkan sejumlah solusi keuangan digital dengan lisensi wallet, lending channeling, remittance, hingga LKD.

Terbaru, Digiasia berencana go public melalui kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Dengan mekanisme ini, penilaian pra-ekuitas lewat transaksi penggabungan kedua perusahaan ini ditarget sebesar $500 juta. Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) sebagai pemegang saham Digiasia akan menggulirkan 100% dari ekuitasnya menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi.

“Kami pilih IPO di AS karena [likuiditas] uang di sana banyak, di sini lagi [susah], makanya ada tech winter. SPAC sudah di-set up seperti itu. Target realisasi IPO di kuartal II 2023, tetapi itu tergantung SEC approval. Di sana peraturah lebih jelas. Semua lebih eksplisit,” tuturnya.

Alex menambahkan, modal ini akan dimanfaatkan untuk memuluskan rencana ekspansi Digiasia ke Asia Tenggara. Rencananya, perusahaan akan mencaplok perusahaan sejenis di negara terkait untuk mempermudah lisensi dan komersialisasi layanan. Lisensi yang dimiliki perusahaan mitra tidak harus sama dengan Digiasia.

Peran sebagai investor

Alex juga membeberkan pengalamannya sebagai angel investor yang dilakoni sejak beberapa tahun terakhir. Ia aktif berinvestasi ke berbagai startup tahap awal. Portofolionya sekarang ada 31, termasuk Digiasia yang ia dirikan bersama Prashant Gokarn, sesama eks petinggi Indosat.

Saat mencari peluang bisnis baru, ada sejumlah kriteria penting bagi Alex sebelum memutuskan berinvestasi. Pertama, ia butuh waktu panjang untuk mengenal karakter founder dan memahami bisnisnya, bisa enam bulan hingga lebih dari satu tahun.

“As an early [stage] investor, you have to trust the [founder] character karena produknya belum ada. Saya ingin lihat bagaimana founder mau fight for my money, apakah saya cocok dengan cara kerjanya. Makanya, saya jarang berinvestasi di startup yang founder-nya cuma satu karena risikonya tinggi,” ungkap Alex.

Ia meyakini perusahaan masih dapat tetap berjalan meski tidak bisa memperoleh pendanaan berikutnya. Menurutnya, perusahaan tidak akan mati, hanya saja pertumbuhannya flat. Maka itu, Alex mencari bisnis yang sekiranya 80% sudah berkelanjutan.

Menanggapi penurunan industri startup, Alex bilang bahwa situasi tersebut justru menjadi eye-opener agar ekspektasi para founder menjadi lebih realistis. Bahwasannya, metode valuasi yang ia katakan sejak awal tidak masuk akal, sekarang menjadi common understanding bagi pihak terkait.

Sejauh ini, situasi downturn tersebut tidak mengganggu upayanya dalam mencari peluang bisnis baru. Dengan posisinya sebagai investor tahap awal, Alex berkomitmen untuk berinvestasi dalam jangka panjang, yakni 5-6 tahun.

“Saya tidak berinvestasi di sesuatu yang lagi ramai. Tapi, saat ini sektor yang menarik adalah agriculture and food. Bisnis harus bisa jalan dengan atau tanpa teknologi. Small scale. Kalau mau scale up, baru pakai teknologi,” ujarnya.

Alex memprediksi tahun ini investor akan selektif dan lebih memilih berinvestasi di portofolio existing. “Old VCs belum bisa raise the money now, sedangkan VC yang sudah, akan lebih berhati-hati. Until, the fed rate go down significantly, orang akan berat untuk put their money keluar AS. For me, I’ll still continue what I do.”

Dari sisi startup, Alex memprediksi startup baru akan mulai bermunculan. Namun, mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat model bisnis sekarang karena mimpi muluknya sudah habis.

Application Information Will Show Up Here

DigiAsia Bios Segera IPO di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

Startup fintech DigiAsia Bios segera melantai di bursa saham Amerika Serikat melalui mekanisme SPAC (special purpose acquisition company). Perusahaan telah menandatangani kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Ticker yang diperdagangan di pasar saham Nasdaq nantinya adalah ‘FAAS’.

Menurut keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari jajaran direksi DigiAsia dan Stonebridge, ditargetkan akan selesai pada kuartal kedua tahun ini.

“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan sedang mencari ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara. Peningkatan modal melalui IPO dan eksekusi selanjutnya akan membantu menjadikan Digi sebagai pemimpin yang jelas dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal Banking-as-a-Service di kawasan ini,” ucap Co-CEO DigiAsia Alexander Rusli.

CEO Stonedridge Bhargav Marpally menambahkan, Stonebridge didirikan sebagai jembatan bagi perusahaan-perusahaan yang siap IPO di kawasan Asia Pasifik untuk mengakses pasar publik Amerika Serikat. Fokus DigiAsia di Indonesia dan kemampuannya untuk menskalakan bisnis dengan cepat, tim dengan rekam jejak yang terbukti, menjadikannya sangat cocok dengan Stonebridge.

Lebih lanjut, transaksi penggabungan kedua perusahaan ini membawa penilaian pra-ekuitas sebesar $500 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah) dan pemegang saham DigiAsia, yakni Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) akan menggulirkan 100% dari ekuitas mereka menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi. DigiAsia juga telah menjalin kemitraan dengan Bank DBS pada 31 Oktober 2022 untuk menyalurkan pinjaman melalui bisnis lending Digiasia, KreditPro.

Dengan asumsi tidak ada penebusan oleh pemegang saham publik Stonebridge, setelah kesepakatan ditutup, entitas operasi gabungan dapat memiliki akses ke kas bersih sebanyak $200 juta (setelah membayar biaya transaksi) dari rekening perwalian Stonebridge. Hasil akhir akan bergantung pada tingkat penebusan pemegang saham Stonebridge saat ini pada penyelesaian transaksi yang diusulkan.

Sebelum menandatangani perjanjian penggabungan, DigiAsia telah menutup investasi sebesar $14,5 juta (lebih dari 225 miliar Rupiah) dengan post-money valuation sebesar $450 juta yang dipimpin oleh Reliance Capital Management. Investasi tersebut akan memperkuat relasi bisnis kedua perusahaan di bidang asuransi, aset manajemen, yang dikuasai oleh RCM. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan DigiAsia dapat menjadi solusi keuangan tertanam B2B full-stack pertama di Indonesia.

Sebagai catatan, DigiAsia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Startup ini memosisikan diri sebagai fintech-as-a-service (FaaS) yang berambisi ingin mempercepat inklusi keuangan melalui lisensi dan kumpulan teknologinya dengan menyediakan solusi embedded finance untuk B2B2C dan B2B2M. Di antaranya mobile wallet, penerbitan kartu, pembayaran tagihan, cash management, pembayaran supply chain, pinjaman, dan lain-lain. Perusahaan memiliki sejumlah lisensi bisnis, yakni dompet dan pembayaran digital, Banking-as-a-Service, remitansi, dan layanan keuangan digital lainnya.

Co-CEO DigiAsia Prashant Gokarn menyampaikan visi DigiAsia adalah menjadi bagian aktif dari revolusi digital Indonesia yang memungkinkan layanan keuangan, mulai dari pinjaman, pembayaran, pengiriman uang, dan perbankan murah, untuk semua individu dan bisnis, terlepas dari ukuran atau status sosial ekonomi mereka.

“Kami juga sangat bangga dapat bekerja sama dengan Mastercard untuk mengembangkan penawaran kami yang sudah ada guna meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Gokarn.

Langkah SPAC

Hingga berita ini diturunkan, DailySocial.id belum mendapat tambahan komentar dari Alexander Rusli mengenai alasan pihaknya memilih mekanisme SPAC untuk masuk ke pasar saham Amerika Serikat. Seperti diketahui, mekanisme ini sebelumnya juga tengah dipertimbangkan oleh sejumlah startup lokal, seperti Traveloka dan Kredivo, namun batal karena berbagai alasan strategis.

Kredivo misalnya, awalnya merencanakan untuk merger dengan perusahaan cangkang bernama VPC Impact Acquisition Holdings yang diumumkan pada Agustus 2021. VPC itu sendiri adalah mitra lama Kredivo yang pernah mengguyurkan dana hingga mencapai $200 juta.

Namun rencana tersebut kandas, dikutip dari keterbukaan informasi dari laman US Securities and Exchange Commission (SEC), yang diunggah pada 14 Maret 2022, gagalnya aksi korporasi ini merupakan dampak kondisi pasar yang bergejolak dan adanya beberapa masalah di luar kendali yang mengancam penundaan transaksi.

Salah satu aksi IPO via SPAC yang ramai di Indonesia adalah Grab dengan memanfaatkan perusahaan cangkang Altimeter Growth Corp. Diklaim kesepakatan tersebut terbesar di antara perusahaan akuisisi tujuan khusus.

Sebelumnya SPAC sempat populer di Amerika Serikat karena menjadi cara tercepat untuk memperoleh dana publik. Menurut data yang dikutip dari South China Morning Post, pada 2021 mencapai 613 IPO melalui SPAC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 248 IPO.

Akan tetapi regulator A.S SEC membuat perubahan peraturan yang dinilai menghambat aksi korporasi ini sejak akhir 2021. Salah satunya, SPAC memiliki waktu terbatas untuk menemukan perusahaan yang beroperasi untuk digabungkan (biasanya 24-36 bulan); jika SPAC gagal menyelesaikan merger dalam jangka waktu yang ditentukan, SPAC harus berhenti berdiri dan mengembalikan semua modal kepada pemegang sahamnya.

Aturan tersebut dibuat lantaran regulator khawatir mekanisme ini dimanfaatkan sebagai penyebar informasi yang menyesatkan, penipuan, dan konflik kepentingan dalam transaksi de-SPAC tertentu. Oleh karena itu, SEC mengusulkan aturan baru untuk menghilangkan asimetris informasi di antara investor, melindungi dari informasi yang menyesatkan dan penipuan dengan mengatur praktik pasar, dan mengurangi konflik kepentingan dengan lebih menyelaraskan insentif antara penjaga gerbang.

Hasilnya dilaporkan bahwa proses SPAC lebih lama dan lebih sulit dari sebelumnya, dengan tinjauan peraturan yang lebih ekstensif atas pernyataan proksi dan pendaftaran. Namun begitu, sejumlah kalangan masih tetap optimistis dengan potensi SPAC untuk jangka panjangnya. Mereka bilang, kebijakan baru ini berdampak bagi perusahaan dapat lebih jelas mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.