Menilik Alasan Quick Commerce Kurang Berkembang di Indonesia

Indonesia adalah pasar e-commerce terbesar dengan kontribusi GMV 52% di Asia Tenggara. Pesatnya pertumbuhan e-commerce di wilayah ini memunculkan permintaan terhadap pembelian barang online secara kilat dengan opsi pengiriman instan atau same day.

Quick commerce umumnya sering diasosiasikan dengan layanan e-grocery yang menawarkan jasa pembelian bahan pangan dan segar. Namun, platfrom penyedia quick commerce juga menawarkan produk kebutuhan sehari-hari dan kategori produk lainnya sehingga Average Order Value (AOV) bisa lebih unggul dari layanan grocery.

Terlepas dengan potensi pasarnya, quick commerce di Indonesia kenyataannya masih belum menemukan formula yang tepat untuk memenangkan pasar. Dalam analisis yang diungkap oleh firma konsultan Redseer, penyedia quick commerce di Indonesia dihadapkan pada tipisnya margin, komisi produk rendah, serta biaya pengelolaan dark store dan pengiriman barang mahal.

Untuk menaikkan margin, produk-produk habis pakai (FMCG) juga sulit itu dijual dengan biaya premium. Produk yang tersedia kurang variatif, belum lagi pengguna umumnya hanya mengincar diskon.

Kebanyakan pemain quick commerce bermain di mass market saja alih-alih fokus di segmen kelas atas, pekerja profesional, atau segmen GenZ dan milenial yang cenderung mengincar kenyamanan dan kecepatan transaksi. Namun, Redseer juga menggarisbawahi bahwa pandemi justru menjadi reality check bagi pemain mengingat orang-orang mulai kembali belanja di toko fisik.

“Para pemain quick commerce di dunia gagal karena berbagai alasan, yakni terlalu berfokus pada pengiriman bahan makanan. Biaya rantai pasokan yang tinggi menyebabkan margin yang sangat tipis, dan kurangnya target pasar pelanggan yang tepat,” tulis Partner Redseer Roshan Behera dilansir dari Redseer.com.

Sayurbox tak hanya bermain di e-grocery, tetapi juga masuk ke quick commerce

Sebagai gambaran, saat ini ekosistem quick commerce dan e-grocery di Indonesia hanya menyisakan sedikit pemain yang masih bertahan antara lain Astro, AlloFresh, Titipku, Segari, dan Sayurbox. Beberapa platform lainnya, seperti Bananas telah menghentikan bisnisnya dikarenakan sulitnya bersaing di ranah B2C.

Namun, ada juga yang pivot ke vertikal bisnis lain, seperti Dropezy (sekarang Sekilo) yang beralih ke hilirisasi unggas dan Brambang (sekarang Brambang Elektronik) yang menjadi marketplace smartphone.

Resep sukses quick commerce di India

Sebaliknya, ungkap Roshan, quick commerce justru banyak diminati dan terbukti sukses di India. Membangun supply-side yang tepat adalah kunci untuk memenangkan pasar quick commerce di India. Hal ini mencakup tiga strategi utama.

Pertama, operasional dark store harus berjalan cepat untuk dapat menghasilkan keuntungan. Dark store harus memproses setidaknya 1000+ pesanan setiap hari, atau setara dengan jumlah transaksi yang diperoleh warung tradisional. Agar bisa berhasil, pemain quick e-commerce perlu memiliki turnaround times (TAT) selama 1-2 bulan untuk mengevaluasi penyimpanan di dark store.

Kedua, manajemen inventori perlu diperhatikan untuk memastikan ada siklus pengisian ulang stok barang setiap hari demi mengurangi modal kerja. Ketiga, pengambilan barang langsung dari pemasok/produsen/prinsipal untuk menghindari potensi berkurangnya keuntungan dan memungkinkan pemilik merek untuk bernegosiasi langsung harga produknya.

Lebih lanjut, Roshan juga menyoroti strategi yang dilakukan TikTok untuk mendominasi e-commerce di India, itu juga yang dilakukan oleh Zepto dan Blinkit; dua platform yang menguasai pasar quick commerce di sana. Antarmuka yang didukung AI prediktif menjadi strategi mereka untuk menarik engagement pengguna, terutama transaksi pembelian yang bersifat impulsif.

Berkat itu dan portofolio produk yang lebih banyak–terutama yang punya Average Selling Price (ASP) tinggi seperti ponsel–keduanya mampu mengantongi pertumbuhan GMV yang signifikan. Strategi ini disebut dapat mendorong margin mereka. Blinkit saat ini tercatat menguasai quick commerce di India dengan 38% pangsa pasar, sedangkan Zepto mengambil 30% pangsa.

Rekomendasi playbook quick commerce / Sumber: Redseer

“Dengan melihat contoh kasus di India, salah satu pasar yang justru quick commerce-nya berkembang pesat, kita dapat menarik hipotesis bahwa mengoperasikan quick commerce secara terpisah akan sulit berhasil, apalagi jika cuma fokus pada bahan makanan dan produk FMCG,” tambahnya.

Redseer menambahkan beberapa rekomendasi strategi untuk dapat memenangkan pasar quick commerce, di antaranya adalah (1) memperluas kategori produk, serupa dengan horizontal e-commerce serta (2) menargetkan segmen mass market dan premium yang bersedia membayar demi kenyamanan.

Kemelut Startup E-grocery, Blibli Akui Tantangan Berat di Bisnis Ini

Sempat menjadi primadona di era pandemi, kini sejumlah startup e-grocery kesulitan untuk kembali di masa kejayaannya tersebut. Dari berbagai pemberitaan, para startup tersebut mengambil langkah efisiensi dengan pengurangan karyawan dan aset fisik yang tadinya tersebar di berbagai titik, bahkan harus gulung tikar.

Salah satu pemain di segmen ini, Blibli melalui Bliblimart, mengakui menjalani bisnis e-grocery ini terbilang berat karena marginnya tipis. Sementara itu, konsumen ingin terus untung, dalam artian selalu dijamu dengan berbagai subsidi gratis ongkir, diskon, dan promo rutin.

“Sementara konsumen maunya untung terus. Agar kita [startup] tetap bisa beroperasi, ini jadi tantangan juga karena e-grocery harus cover ongkos, belum lagi maintain warehouse sendiri. Ini jadi another cost,” kata EVP of Consumer Goods and Lifestyle Blibli Fransisca Krisantia Nugraha dalam acara Blibli Media Perspective Discussion tentang e-groceries di Jakarta, kemarin (22/6).

Bagi startup dengan dana terbatas harus putar otak untuk terus bertumbuh, sembari terus memenuhi konsumen yang sensitif dengan harga dan promosi. Kondisi tersebut bisa dipastikan tidak bakal berlangsung lama dan makin sulit untuk menjadi perusahaan jangka panjang. Maka langkah efisiensi paling rasional bagi bisnis-bisnis yang menyasar konsumen akhir (B2C).

Kris, sapaan akrab dari Fransisca, melanjutkan jadi suatu keuntungan terbesar bagi Bliblimart karena targabung dalam sebuah grup besar, sehingga memungkinkan Bliblimart dapat terus berjalan. Gudang dapat terutilisasi dengan baik, tidak hanya untuk menyimpan kebutuhan sehari-hari, juga untuk kategori fesyen, elektronik, handphone, dengan margin yang lebih tebal, sehingga rasio pengeluaran dengan barang yang masuk dapat lebih optimal dan dapat berkelanjutan.

“Kalau sedang ada promosi gratis ongkir, aplikasi diunduh dan berbelanja terus. Saat gratis ongkir dicabut, aplikasi dihapus dan pindah ke platform lain. Itu kebiasaan yang sangat-sangat biasa di pasar Indonesia.”

“Bayangkan kalau hanya bermain di satu verikal saja dengan satu produk saja, untuk maintain cost ratio-nya bisa sehat itu akan sangat sulit. Bagaimana bisa tetap dapat loyalitas konsumen, bukan dari kejar subsidi saja, ini yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut bertahan. Ini yang sedang terjadi,” tambahnya.

Maka dari itu, Bliblimart mulai mengambil pendekatan baru demi mendapat loyalitas konsumen, yakni mengedepankan unsur kenyamanan. Kata “nyaman” ini mungkin terdengar biasa bagi konsumen, tapi dari survei yang perusahaan lakukan, konsumen ternyata butuh solusi agar mereka bisa lebih nyaman berbelanja kebutuhan sehari-hari.

“Gratis ongkir tetap masih ada, tapi sekarang mulai disesuaikan dengan tiering membership-nya di Blibli Tiket. Semakin sering belanja, makin besar benefit-nya, jadi sekarang sudah tidak semasif dulu. Promo-promo lainnya juga masih ada untuk tanggal cantik dan payday.”

Profil konsumer Bliblimart

Pada saat yang sama, Blibli mengungkapkan sejumlah temuan mengenai tren konsumer e-grocery di Bliblimart. Dari data internal ditemukan bahwa belanja bahan pokok naik di Bliblimart naik sebesar 23% yoy di kuartal I 2023. Produk yang paling banyak dibeli konsumer adalah sembako, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan ibu & anak, dan minuman ringan & camilan.

Selanjutnya dari profil konsumer berdasarkan jenis kelamin, hampir imbang. Sebanyak 55% adalah kaum perempuan, sisanya 45% laki-laki. Biasanya produk yang paling banyak dibeli perempuan adalah minyak goreng, susu anak, tisu, dan makanan segar. Sementara, laki-laki banyak belanja kopi dan pasta gigi.

Average consumer spending-nya Rp385 ribu dan mayoritas konsumer Bliblimart berada di rentang usia 25-34 tahun,” terang Kris.

Waktu belanja yang paling banyak dipilih konsumer adalah jam 6 pagi-12 siang berlaku untuk hari biasa dan akhir pekan. Disebutkan juga, fitur Click & Collect sudah pernah digunakan oleh 4% konsumer Bliblimart, serta fitur 2 Jam Sampai sudah digunakan oleh lebih dari 42 ribu konsumer dengan 3 ribu transaksi per hari. Biasanya produk yang dibeli dengan fitur tersebut adalah makanan beku, sayur & buah, ayam potong, dan telur.

Menurut data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada periode kuartal pertama 2023. Mengutip Shopper Trend 2022, kehadiran platform digital untuk berbelanja kebutuhan harian atau e-groceries masih diminati oleh konsumen Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Startup E-grocery Tumbasin Berhenti Beroperasi

Startup e-grocery Tumbasin mengumumkan tutup, berhenti beroperasi sejak 2 Mei 2023. Kabar ini pertama kali diumumkan melalui akun media sosialnya.

“Terima kasih sudah bersama menggerakkan pasar tradisional dengan memilih belanja melalui Tumbasin. Kini saatnya Tumbasin pamit dan berharap semoga seluruh pelanggan setia Tumbasin tetap melestarikan budaya belanja dari pasar tradisional,” tulis perusahaan.

Bersamaan dengan itu, perusahaan menyampaikan seluruh operasional Tumbasin, termasuk situs dan aplikasi akan berhenti beroperasi.

Lebih lanjut mengutip dari unggahan CEO Tumbasin Bayu Saubig di LinkedIn, ia menyampaikan, “Saya ingin berbagi beberapa berita yang sulit dan disesalkan. Setelah perjuangan panjang, perusahaan kami menghadapi tantangan keuangan yang tidak dapat diatasi. Dengan berat hati, kami harus mengumumkan bahwa perusahaan kami akan mengajukan kebangkrutan.”

Dia melanjutkan, “Di saat-saat seperti ini, sangat menantang untuk menemukan kata yang tepat. Namun, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak eksternal yang telah bekerja dengan perusahaan kami selama ini.”

Tumbasin yang berbasis di Semarang ini sudah hadir sejak 2017. Konsep yang diusung adalah menghubungkan pedagang pasar tradisional dan menjualkan barang dagangan mereka kepada pengguna lewat aplikasi. Nantinya kurir Tumbasin, yang akan mengantarkan pesanan kepada konsumen.

Dalam wawancara terakhir di 2020, Tumbasin telah hadir di Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Makassar. Model sejenis juga ditawarkan oleh Titipku yang kini masih beroperasi dan masuk ke B2B dengan menyasar ke segmen horeka karena dianggap lebih stabil prospeknya.

Dirikan koperasi

Setahun sebelum mengumumkan kabar tersebut, para pendiri Tumbasin sebelumnya mendirikan koperasi simpan pinjam (KSP) di kota yang sama pada Februari 2022, bernama KSP Sitrama (Sinergi Mitra Bersama).

Dalam situsnya, M. Fuad Hasbi, Bayu Saubig, dan Triasworo Mituhu Subekti bergabung sebagai pengurus dan pengawas di koperasi tersebut.

KSP Sitrama itu sendiri adalah koperasi yang berfokus pada penyediaan dana bagi pedagang pasar dan UMKM dengan sistem ekonomi bersama. Dipaparkan, telah merangkul 73 anggota, dana simpanan Rp1,2 miliar sepanjang 2021-2022, dan menyalurkan pendanaan kepada pedagang sebesar Rp820 juta dalam kurun waktu yang sama.

Ada tiga produk keuangan yang ditawarkan. Pertama, pinjaman bagi hasil dengan limit Rp10 juta untuk pedagang dengan sistem bagi hasil harian selama 100-180 hari. Kedua, pinjaman modal usaha dengan limit yang sama dengan pembagian keuntungan bulanan dan pembayaran pokok di akhir selama 3 bulan-12 bulan.

Terakhir, simpanan berjangka dengan jangka waktu 6, 12, 18 bulan dengan imbal hasil 12%-18% flat per tahun. Besaran simpanan pokok sebesar Rp100 ribu, sementara simpanan wajib sebesar Rp30 ribu.

Berkat Omnichannel, Blibli Klaim Pertumbuhan Positif di Kuartal III 2022

PT Global Digital Niaga Tbk (Blibli) mengungkapkan, kelanjutan inovasi untuk mendekatkan perseroan sebagai platform omnichannel perdagangan dan gaya hidup dinilai mampu mengkerek kinerja positif hingga kuartal III 2022. Salah satu indikatornya terlihat dari pertumbuhan TPV (Total Purchasing Value) konsolidasi sebesar 105% yoy menjadi Rp40,6 triliun.

Pendorong terbesar kenaikan TPV datang dari segmen 3P Ritel, yang dikontribusikan dari pemulihan pada sektor perjalanan (travel) di tiket.com. Pertumbuhan TPV juga diikuti oleh peningkatan Gross Profit Before Discount (GPBD) konsolidasi, menjadi Rp18 triliun atau naik 167% dari sebelumnya Rp679 miliar. Sehingga, Blibli berhasil mencatatkan peningkatan Take Rate menjadi 4,5% dari sebelumnya 3,4%.

Lebih lanjut dalam laporan keuangan perseroan, pertumbuhan TPV didukung dari pertumbuhan secara organik, terlihat dari Yearly Transaction Users (YTU) yang meningkat menjadi 4,3 juta pengguna dari 2,4 juta pengguna.

Secara keseluruhan, untuk pendapatan bersih (net revenue) konsolidasi tumbuh 98% menjadi Rp10,5 triliun, sementara persentase EBITDA terhadap TPV tercatat lebih baik meski masih negatif, menjadi -8,5% dari -11,3%. Hal ini didorong oleh peningkatan efisiensi beban operasional.

Ekspansi bisnis

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (22/12), perseroan memaparkan sepanjang tahun ini terus memperkuat kehadirannya di segmen Toko Fisik melalui pembukaan beberapa toko flagship, terdiri dari monobrand store, seperti Samsung Experience Store dan Hello (untuk brand Apple sebagai tier-1 partner), dan multibrand store, seperti Blibli Store dan toko Tukar Tambah.

Terhitung, saat ini Blibli telah mengoperasikan lebih dari 100 flagship stores, serta 70 gerai Ranch Market yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga September 2022, solusi omnichannel Blibli juga menjangkau lebih dari 27 ribu Click & Collect dan Blibli InStore, serta lebih dari 160 ribu Blibli Mitra yang merupakan pengusaha mikro dan toko kelontong.

Berkaitan dengan penguatan sinergi dengan entitas anak, tiket.com dan Ranch Market, melalui peluncuran unified ecosystem Blibli Tiket yang menawarkan Single Sign-On (SSO) serta Loyalty Parity untuk kedua platform tersebut. Strategi yang sama juga telah diselesaikan antara Blibli dengan tiket.com pada April 2022.

Anak usaha Blibli, tiket.com, pada awal bulan ini mengumumkan ekspansi ke Malaysia dengan mendirikan badan usaha bernama Global Tiket Malaysia Sdn Bhd (GTM). Dalam struktur kepemilikan saham, PT Global Tiket Network menjadi pemilik pengendali sebanyak 99,99%.

Kehadiran GTM dimaksudkan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai agen perjalanan online dan kegiatan operasional agen tiket dalam industri travel, menjual, mengatur atau menyediakan komisi, tiket transportasi udara, air atau darat, tur, akomodasi, dan jasa terkait reservasi travel lainnya.

“Pendirian GTM ini tidak memiliki dampak merugikan terhadap kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan, atau kelangsungan usaha perseroan,” ujar Sekretaris Perusahaan Blibli Eric Winarta.

Application Information Will Show Up Here

Startup Quick Commerce “Radius” Pivot Jadi Social Commerce

Startup quick commerce Radius mengumumkan pivot bisnis ke social commerce dan rebranding menjadi Bakool. Keputusan diambil lantaran perusahaan tidak menemukan unit economics sebagai langkah prospektif mengejar keberlanjutan, mengingat bisnis ini bersifat intensif kapital pada operasional.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-Founder dan CEO Bakool Ivan Darmawan menerangkan selama beberapa bulan menjalankan Radius, ternyata ditemukan sebanyak 80% transaksi itu berasal dari barang-barang segar daripada sembako kering (dry goods) lainnya.

“Radius termasuk disiplin dalam menjalankan bisnis, tanpa promo berlebihan, overhire, dan sebagainya. Hanya saja, kami lihat untuk memenuhi ekspektasi investor yang mau growth kencang ke depannya akan sulit untuk maintain growth positif karena kalau ekspansi butuh buka toko baru. Jadi perlu untuk pivot,” ujarnya, Senin (19/12).

Radius memperkenalkan diri secara publik pada awal 2022. Mereka memosisikan diri sebagai quick commerce yang menjual kebutuhan sehari-hari, mulai dari kebutuhan pokok, makanan instan dan ringan, rumah tangga, kosmetik dan perawatan diri, susu dan olahan, minuman, serta kebutuhan anak. Solusi ini ditawarkan bagi masyarakat yang tinggal di kota lapis dua dan tiga, butuh pemerataan solusi digital dan selama ini terpusat di Jakarta saja.

Menurut pengakuan Ivan, produk segar itu baru diperkenalkan di Radius, tetapi dalam dua bulan transaksinya tembus ribuan, mampu menyaingi kategori non-segar. Saat ditelusuri lebih dalam, ternyata pemenuhan kebutuhan bahan segar di kota lapis dua itu menjadi masalah menahun. Lantaran untuk mendapatkan produk yang segar dan berharga murah, masyarakat harus bangun dini hari untuk belanja ke pasar.

Bakool sudah diperkenalkan sejak lima bulan lalu, setelah melalui dua bulan lewat proyek pilot. Konsepnya sama seperti ChiliBeli yang kini menjadi WeBuy pasca-akuisisi pada Maret 2022. Selain Ivan, Co-Founder Radius Stephanie Wongsoredjo juga turut bergabung di Bakool.

Bakool Mitra / Bakool

Model bisnis Bakool

Bakool adalah platform pembelian kelompok (group buying) untuk produk segar yang menargetkan kota-kota yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dari $7.500 atau sekitar Rp117 juta per tahun. Di kota-kota ini, sebagian besar produk segar masih diakses melalui pasar basah tradisional. Kota-kota ini juga memiliki pendapatan 50% lebih rendah, tetapi membayar harga yang sama untuk mendapatkan barang dengan kualitas yang sama dengan Jakarta.

“UMR di luar Jakarta itu terpaut jauh, tapi belanja kebutuhan dapur harganya mirip-mirip. Jadi mereka itu purchasing power-nya kecil, tapi pasti tiap hari ada transaksi. Karena behaviour seperti ini, banyak provider yang enggak mau layanin karena enggak menutup [operasionalnya]. Tapi kami liat di sini ada kesempatan dan mau kami solve. Makanya, kami masuk dengan group buying.”

Dengan bekerja menggunakan model jaringan berbasis business-to-agent-to-consumer (B2A2C), Bakool memungkinkan pembelian dan pengiriman produk segar untuk rumah tangga kota lapis dua, sehingga meningkatkan produktivitas rumah tangga. Rumah tangga ini dapat menghemat hingga 15% untuk biaya barang dan transportasi, serta menghemat hingga lima jam sehari karena mereka tidak perlu lagi pergi ke pasar malam.

Agen Bakool juga diuntungkan, dengan membuat produk segar lebih mudah diakses dan nyaman bagi komunitas mereka, para agen ini yang biasanya adalah ibu rumah tangga dan tokoh masyarakat, mampu menghasilkan pendapatan hingga tiga kali lipat.

Dari sisi operasional pun jauh lebih efisien, dari awalnya untuk mencapai target pengiriman dalam hitungan menit perlu bangun hub-hub kecil, kini hanya perlu bangun satu hub di tiap provinsi. “Kontrol di Bakool berbeda sekali, kami akan banyak investasi di sini sebab kami sudah kuat di pengantaran.”

Seluruh suplai produk segar di Bakool akan disediakan oleh para petani dan pengepul yang bermitra langsung dengan perusahaan. Bakool berupaya memotong ketidakefisienan supply chain yang berdampak pada melonjaknya harga jual di konsumen akhir, bahkan naik sampai 700%. Melalui ribuan agen Bakool yang masih terkonsentrasi di Semarang dan sekitarnya, pihaknya dapat mengurangi biaya transportasi dan pasokan, tanpa mengorbankan kualitas.

“Visi kami berbeda dibandingkan pemain e-grocery atau agritech lainnya yang mau menyetarakan harga pangan, memotong tengkulang, dan bantu petani. Kami ingin meningkatkan produktivitas masyarakat dengan group buying, ibu-ibu yang menjadi agen bisa mendapatkan penghasilan tambahan.”

Dalam jangka panjang, pihaknya ingin menjadi perusahaan penyuplai makanan segar untuk pedesaan Indonesia tanpa harus memiliki atau membangun toko offline.

Menurut laporan DSInnovate, group buying menjadi salah satu model bisnis social commerce yang mulai populer di Indonesia. Selain Echo, saat ini ada sejumlah startup yang juga bermain di ranah tersebut, misalnya Grupin, Kitabeli, CrediMart, hingga Mapan.

Gambaran proses kerja umum di platform group buying / DSInnovate

Potensi social commerce di Indonesia juga cukup besar, diperkirakan tahun ini kapitalisasi pasar bisnis tersebut akan mencapai $8,6 miliar. Diproyeksikan bertumbuh dengan CAGR 47,9% hingga menghasilkan nilai $86,7 miliar di 2028. Konsep social commerce juga dapat menjembatani gap yang ada di kota lapis dua dan tiga, sebagai basis pengguna yang belum dioptimalkan sepenuhnya oleh pemain e-commerce sebelumnya.

Terima pendanaan tahap awal

Di saat yang bersama, Bakool mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan. Investor yang berpartisipasi dalam putaran tersebut di antaranya, Kleiner Perkins, Goodwater, Insignia Ventures, Global Brain, mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan lainnya.

Dalam keterangan resmi, Mari menyampaikan misi Bakool untuk meningkatkan produktivitas rumah tangga adalah fokus yang sangat dibutuhkan oleh bisnis teknologi di tanah air. Misi ini akan memberikan dampak jangka panjang bagi perekonomian nasional dan memiliki dampak potensial bagi generasi mendatang untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

“Saya menantikan kemajuan yang akan dilakukan Ivan, Stephanie, dan tim mereka untuk mewujudkan dampak ini bagi kota dan ekonomi yang kurang terlayani di seluruh Indonesia,” kata Mari.

Selanjutnya, Founding Managing Partner Insignia Ventures Yinglan Tan menambahkan, Bakool memanfaatkan peluang besar yang belum terlayani seputar aksesibilitas produk segar untuk kota tingkat 2, 3, dan pedesaan di Indonesia, yang sudah menjadi bisnis yang signifikan bahkan merebut sebagian pasar.

Ivan dan Stephanie berbekal pengalaman selama lebih dari 15 tahun di bidang ritel, pertanian, dan rantai pasokan, pengalaman kepemimpinan di unicorn, dan kemajuan serta pembelajaran signifikan untuk menumbuhkan Radius.

“Kami yakin mereka berada di posisi utama untuk berevolusi pada peran ini guna meningkatkan, tidak hanya cara orang Indonesia di kota-kota ini mengakses produk segar, tetapi juga memengaruhi produktivitas rumah tangga secara keseluruhan di negara ini, dengan penghematan biaya pembelian kelompok, penghematan waktu pengiriman, dan pendapatan untuk agen mereka.” Tutup Tan.

Resmi IPO, Blibli Andalkan Omnichannel untuk Kejar Profitabilitas

PT Global Digital Niaga Tbk (IDX: BELI) mengungkapkan strategi omnichannel bersama ketiga unit bisnis, e-commerce, online travel, dan e-grocery, akan membantu perlancar langkah perseroan menuju profitabilitas. Terlebih, ketiganya masih punya prospek yang positif ke depannya.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan pada hari ini (8/11), CFO Blibli Hendry menyampaikan, meski ia tidak bisa merinci secara spesifik, tetapi ia bilang ambisi perseroan untuk masuk ke strategi omnichannel sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, dan proses pembangunan ekosistemnya sudah kelar. Sejak itu, perseroan bisa melakukan efisiensi terhadap EBITDA yang terlihat dari kinerja di paruh pertama tahun ini.

“Indikasi tersebut kami optimistis, paving block untuk strategi omnichannel sudah selesai akhir tahun lalu. Tapi sudah terlihat impact-nya [dari EBITDA] di semester I ini,” ucap dia.

Mengenai efisiensi terhadap EBITDA, mengacu pada laporan kinerja perseroan, sejak 2019 hingga paruh pertama tahun ini, perseroan telah melakukan efektivitas pemasaran. Rasio biaya pemasaran terhadap TPV (Total Processing Value) turun dari 6% di 2019 menjadi 3,6% pada semester I 2022.

Efisiensi juga dilakukan pada potongan harga atau diskon promosi. Di 2019, rasio diskon Blibli terhadap TPV sebesar 7,1%, kemudian turun menjadi 2,3% di semester I 2022. “Maka margin EBITDA menunjukkan margin positif. Pada semester I 2022, margin EBITDA Blibli menunjukkan perbaikan sebesar 140 basis poin.”

Blibli punya empat segmen dalam pembagian TPV. Pertama, 1P retail, yakni Blibli menawarkan produk sendiri, sehingga Blibli punya kontrol penuh atas harga dan margin. Kedua, 3P retail, yakni Blibli menjalin kerja sama dengan brand prisipal dan menjual ke pihak ketiga dalam menawarkan produk.

Dalam segmen itu, sekitar 50% berasal dari perjalanan gaya hidup dan perjalanan, sumber bisnis utama Tiket.com. Lalu berikutnya, institusi dan gerai fisik. Segmen gerai fisik ini baru dimulai pada Maret 2021 dengan membuka toko fisik dan dilanjutkan dengan akuisisi Ranch Market.

Dari keempat segmen ini Blibli mencatatkan pertumbuhan TPV sebesar 45% sepanjang 2021 dengan total Rp32,4 triliun. Sementara itu, pada semester I 2022, TPV tercatat sebesar Rp24,13 triliun atau naik 89,29% (YoY) dari Rp12,75 triliun di semester I 2021.

Prospek dari keempat segmen tersebut, menurut Hendry, masih besar dan terus menunjukkan tren positif. Untuk bisnis perjalanan saja misalnya, tercatat mulai rebound dan diprediksi tren ini bakal terus terjaga ke depannya. Begitu pula untuk bisnis e-grocery, dengan kontribusi terhadap total belanja ritel nasional yang masih minim, masih besar ruang bertumbuhnya. Belum lagi, di bisnis ini punya take rate yang besar untuk menyokong pertumbuhan margin double digit.

“Dari sinergi dengan tiga perusahaan [Blibli, Tiket, Ranch Market] dengan menjalankan omnichannel, efisiensinya akan jauh lebih besar. Dari yang awalnya akuisisi konsumen dilakukan sendiri-sendiri sekarang bisa dilakukan bersama. Maka kami percaya dengan potensi profitablitas BELI ke depannya.”

Jadi perusahaan terbuka

Di saat yang bersamaan, pada pagi tadi Blibli resmi tercatat di papan utama perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham BELI. Harga perdana yang ditawarkan mendekati batas atas rentang harga penawaran pada Rp450 per saham.

Dana yang berhasil raup dari hajatan tersebut adalah sekitar Rp8 triliun dengan valuasi Rp53,3 triliun. Dipaparkan bahwa penawaran umum saham perdana inni mendapat dukungan dan minat dari berbagai investor domestik dan internasional, yang terdiri dari sovereign wealth funds, long-only funds, multi-strategy funds, private wealth management, dan lainnya.

Diklaim antusiasme investor mencatatkan tingkat kelebihan permintaan hingga 4,4 kali lipat pada penjatahan terpusat (pooling portion), sehingga menyebabkan peningkatan jumlah alokasi dari 2,5% menjadi 5% dari keseluruhan jumlah penawaran.

Co-founder dan CEO Blibli Kusumo Martanto menyampaikan Blibli merupakan satu-satunya internet-unicorn di kawasan Asia Pasifik yang melantai di pasar modal sejak Mei 2022 dan terbesar kedua di Asia Pasifik yang melakukan IPO sepanjang 2022.

“Ini juga merupakan IPO terbesar kedua sepanjang tahun 2022 dan IPO terbesar kelima sepanjang sejarah di Indonesia. Kami berhasil menyelesaikan IPO di tengah kondisi pasar saham yang bergejolak dan aksi jual yang luas di sektor teknologi,” kata Kusumo.

Dana bersih yang diperoleh perseroan akan digunakan untuk pelunasan utang serta untuk modal kerja. Dalam IPO Blibli, Credit Suisse (Singapore) Limited dan Morgan Stanley Asia (Singapore) Pte bertindak sebagai Joint Global Coordinators (JGC), sedangkan PT BCA Sekuritas dan PT BRI Danareksa Sekuritas bertindak sebagai Penjamin Pelaksana Emisi Efek (Joint Lead Underwriters/JLU).

PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia, PT Morgan Stanley Sekuritas Indonesia, dan PT DBS Vickers Sekuritas Indonesia bersama dengan sindikasi lainnnya bertindak sebagai Penjamin Emisi Efek.

Kiat Cosmart Rebut Perhatian Pasar di Tengah Tantangan Ekonomi

Awal bulan ini startup e-commerce membership “Cosmart” meresmikan kehadirannya di Indonesia lewat pendanaan tahap awal sebesar $5 juta. Cosmart baru berdiri pada kuartal kedua tahun ini, namun kehadirannya memantik sejumlah perhatian karena beririsan dengan dunia e-commerce dan e-grocery.

Pasalnya, startup digital pada umumnya dihadapi dengan tantangan ekonomi makro yang memaksa mereka harus melakukan sejumlah efisiensi. Belum lagi, pemain e-grocery belakangan juga harus kembali beradaptasi, terutama yang bergerak di layanan quick commerce, dengan melakukan pivot agar tetap bertahan karena gagal menemukan unit ekonomi.

Sebagai catatan, Cosmart memosisikan diri sebagai one stop solution untuk konsumen yang ingin membeli kebutuhan bulanan. Dengan membayar biaya keanggotaan, konsumen bisa mendapatkan akses ke produk berkualitas tinggi dengan harga lebih murah, diklaim tidak bisa ditemukan produk di platform e-commerce lain, dan berkesempatan mencoba produk sampel dari merek baru.

Lalu bagaimana strategi Cosmart agar tetap menonjol di tengah tantangan tersebut? Dalam membahas topik ini lebih jauh, edisi #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder & CEO Cosmart Alvin Kumarga sebagai pembicara.

Punya solusi untuk masalah yang valid

Alvin menjelaskan, di tengah tantangan ini selalu ada dua sisi yang bisa dilihat. Dari sisi positifnya, ada peluang yang bisa diselesaikan oleh startup. Khusus untuk Cosmart, kebutuhan belanja rutin untuk rumah tangga itu selalu ada dari dahulu dan harus selalu dipenuhi karena fungsinya yang penting.

Ide awal dirinya merintis Cosmart datang dari pengalaman pribadinya saat harus belanja sehari-hari di platform e-commerce. Tiap toko tidak punya barang yang lengkap sehingga ia harus mencari di lebih dari satu toko. Belum lagi promo diskon dan ongkos kirim yang ditawarkan tiap toko berbeda, yang harus dioptimalkan secara manual.

Ia pun melakukan riset lebih mendalam terkait industri ini di Indonesia. Ditemukan bahwa pemain e-commerce yang ada sekarang tidak memiliki solusi yang spesifik untuk produk consumer goods. Bila pun ada, solusinya masih tergolong tahap awal.

Pun dari sejenis pemain e-grocery, mayoritas berfokus pada sisi kenyamanan, mulai dari sisi pengiriman yang instan dan seleksi barang yang baik. Bicara potensinya saja, tentu pembelanjaan barang sehari di platform online masih begitu minim dari total belanja ritel secara nasional.

“Tapi harga dari convenience tersebut adalah harga barang yang lebih mahal. Sejauh ini tidak ada yang bermain di value brand, padahal orang Indonesia itu sangat senang dengan harga yang murah. Kami percaya bisa tackle pasar itu dan akhirnya lahirlah Cosmart,” ujarnya.

Dari target konsumen Cosmart juga berbeda, sambung Alvin, yakni keluarga yang memiliki anggota di rumahnya lebih dari tiga orang. Makanya, faktor harga jadi begitu esensial bagi kelompok tersebut. Semakin besar penghematan, maka dana bisa dialokasikan untuk kebutuhan lainnya.

Dengan membayar keanggotaan, pengguna dapat menghemat lebih banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan bulanan yang sudah pasti harus dipenuhi. Makanya, isu di konsumen di segmen seperti ini bukan soal pengiriman yang cepat, tapi seberapa besar mereka bisa berhemat.

Namun, bagi Alvin, bayar keanggotaan itu bukanlah alat untuk menyelesaikan masalah yang ingin diselesaikan Cosmart, melainkan untuk sumber pendapatan utama perusahaan. “Revenue dari penjualan barang biasanya margin tidak besar, tapi karena kita pass on cost saving yang kita dapatkan buat konsumen [kerja sama dengan prinsipal], maka revenue yang kita dapatkan itu dari membership.”

Belanja offline tetap dibutuhkan

Kendati begitu, Alvin tidak menampik tetap dibutuhkannya belanja offline di tengah digitalisasi ini. Pengalaman yang ditawarkan dari belanja offline lebih kaya karena konsumen dapat langsung melihat dan meraba produk-produk yang memang mengutamakan hal tersebut, seperti beli sayur dan buah-buahan. Kedua cara belanja ini diprediksi akan terus saling melengkapi.

“Yang kita targetkan bukan memindahkan dari purchase offline ke online karena saya percaya belanja offline ada benefit-nya buat cuci mata. Tapi apakah belanja sampo yang rutin tetap menyenangkan? Mungkin enggak, makanya kami bantu coba bantu untuk belanja yang rutin-rutin ini.”

Dengan hipotesis tersebut dan dibuktikan dengan tes awal di pasar, pihaknya berhasil membuat para investor untuk yakin dengan model bisnis Cosmart. Bahwa ada masalah yang nyata dan model bisnis melalui keanggotan untuk memastikan Cosmart tetap bertumbuh.

“Mau tech winter atau tidak, harus ada market needs dan pain point yang clear, begitu juga business model yang jelas. Ketika semua sudah ada kita bisa pitching ke investor.”

Di tengah ekspektasi ekonomi makro global yang tidak menentu, membuat para investor jadi lebih ketat dan disiplin saat menanamkan dananya. Bagi startup ini menjadi tantangan untuk membuktikan hipotesisnya benar atau tidak. “Kami dengan tim ini fokus pada solving consumer problem dan apabila model bisnis ini berhasil, pasti bisa di-tackle,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Quick Commerce “Bananas” Resmi Tutup, Segera Pivot ke Bisnis Baru

Startup quick commerce Bananas mengumumkan akan tutup layanan e-grocery setelah resmi beroperasi selama 10 bulan. Kegagalan menemukan unit ekonomi yang cocok jadi penyebab utama diambilnya keputusan tersebut.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Bananas Mario Gaw menyampaikan, meski tutup ia akan mempertahankan sejumlah karyawannya untuk pivot ke bisnis baru yang benar-benar berfokus pada menyelesaikan masalah dengan unit ekonomi yang lebih baik. “Totally new [bisnis] focusing on a pain point with better unit economics,” ucapnya.

Dalam pengumuman yang disampaikan perusahaan di media sosial, perusahaan mengucapkan rasa terima kasih kepada mitra dan pemasok utama yang telah mendukung hadirnya layanan e-grocery dari Bananas untuk melayani para konsumen. Namun, perusahaan mengakui setelah beroperasi selama berbulan-bulan, sembari terus bereksperimen dengan berbagai bagian bisnis, tidak menemukan bagaimana dapat menciptakan unit ekonomi yang dapat bekerja.

“Dengan dukungan luar biasa dari investor kami, kami telah memutuskan untuk memanfaatkan runway yang tersisa untuk membangun sesuatu yang lebih baik,” tulis pengumuman tersebut.

Lebih lanjut disampaikan, berkaitan dengan itu manajemen akan menghentikan layanan e-grocery setelah selesai menjual semua stok dengan diskon yang signifikan. Perusahaan juga memastikan semua talentanya yang terkena dampak dapat segera mendapat tempat baru selama masa transisi ini, dengan memanfaatkan jaringan dan kolega di industri.

“Ini hanya perpisahan sementara dari tim di balik Bananas. Kami yakin bahwa masa-masa sulit ini hanya akan menempa orang-orang di dalamnya untuk menjadi lebih baik dan lebih kuat di masa depan,” tutup pengumuman tersebut.

Saat awal debut, Bananas telah didukung oleh sejumlah investor, seperti East Ventures, SMDV, Arise, dan Y Combinator. Total dana yang diperoleh sebesar $1,5 juta.

Tantangan di quick commerce

Awalnya Bananas memosisikan diri sebagai quick commerce untuk konsumen middle to high. Kalangan ini didefinisikan punya gaya hidup sibuk, seperti profesional dan orang tua karier yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Mereka juga bukan tipikal yang oportunis yang selalu disokong dengan diskon atau cashback.

“Kami melihat segmen ini masih sangat baru, mereka malas menghabiskan waktu di jalan, belum lagi harus antre di supermarket dan angkut belanjaannya yang berat itu. Angle kami adalah mengincar mereka, bukan yang harus dipancing dengan promo,” kata Mario saat interview dalam sesi #SelasaStartup pada September lalu.

Ia pun mengakui bahwa tantangan di quick commerce ini begitu besar karena menyatukan seluruh kerumitan dalam operasionalnya. Misalnya, harus bangun dark store, mengurus inventaris, sourcing barang di lokasi mana yang laku mana yang tidak, ini baru sebagian kecil saja.

“Jadi semua fungsi dan lini itu susah. Pun juga dari marketing untuk akuisisi user di Pondok Indah dan Kelapa Gading mungkin lebih mudah bikin event di mall. Tapi belum tentu di lokasi lain sama karena beda gaya hidup dan kebiasaan.”

Di tambah lagi, dengan kenaikan harga BBM, otomatis membuat Bananas harus putar otak untuk tetap menekan pengeluaran di tengah perang bisnis ritel yang marginnya terkenal tipis. Solusi yang kini tengah diusahakan adalah mengembangkan algoritma agar sistem pengantaran dapat dilakukan dalam satu batch untuk satu kendaraan sekali jalan untuk satu area.

Sebelumnya, Dropezy juga mengambil langkah serupa dengan pivot ke bisnis yang benar-benar baru di luar e-grocery. Kompetitor terdekat Dropezy dan Bananas, yang bergerak di vertikal sama hanya menyisakan Astro yang masih beroperasi.

Astro mulai mengembangkan produk private label, dinamai Astro Goods. Sejauh ini, produk yang sudah dirilis dari makanan ringan, makanan segar, paket siap masak, hingga kerajinan tangan. Selanjutnya, Astro Kitchen untuk produk makanan dan minuman siap santap. Disebutkan, perusahaan memiliki lebih dari 40 dark store yang terbesar di Jabodetabek.

HappyFresh juga sempat berhenti, namun kembali beroperasi setelah terima dana segar berbentuk debt dari Genesis, InnoVen, dan Mars. Ketiganya merupakan modal ventura yang berfokus pada pendanaan berbasis utang (debt).

Application Information Will Show Up Here

Pendekatan Bisnis Startup Quick Commerce “Bananas” di Tengah Pergeseran Konsumen Pasca-Pandemi

Banyaknya pemain quick commerce di global yang gulung tikar, menimbulkan kecemasan apakah model bisnis ini hanya bisa beroperasi saat pandemi saja atau sudah saatnya hadir. Lantas, timbul pertanyaan apakah pemain quick commerce di Indonesia akan bernasib sama?

Untuk menjawab itu, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder dan CEO Bananas Mario Gaw.

Mario banyak bercerita seperti apa optimisme Bananas terhadap potensi quick commerce dan seperti apa posisinya di pasar. Sebagai catatan, Bananas adalah salah satu pemain quick commerce lokal yang baru beroperasi pada awal tahun ini.

Segmentasi Bananas

Mario menjelaskan, seperti kebanyakan pemain quick commerce lainnya, Bananas membangun dark store (mini gudang) yang tersebar di pemukiman padat di Jakarta. Sejauh ini ada delapan dark store dan satu pusat distribusi untuk membantu inventaris barang.

Namun yang menjadi diferensiasi layanannya, mereka melayani konsumen middle to high. Kalangan ini punya gaya hidup sibuk, seperti profesional dan orang tua karier yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Segmentasi tersebut diambil berkat wawancara mendalam yang dilakukan oleh tim Bananas dalam proses product-market-fit.

Produk yang dijual kini mencapai 2 ribu SKU berasal dari beragam kategori, terutama di produk segar seperti telur, susu, daging, sayur, dan buah-buahan. Kemudian makanan dan minuman ringan hingga alat-alat kebersihan rumah. Seluruh produk ini dikirim dalam waktu beberapa menit sampai di lokasi pembeli.

Dengan mengambil segmentasi ini, ia merasa optimistis bahwa Bananas hadir bukan sekadar lihat tren terkini saja. Kalangan konsumen seperti ini, sambungnya, bukan tipikal yang oportunis yang harus perlu dipancing dengan diskon atau cashback.

“Kami melihat segmen ini masih sangat baru, mereka malas menghabiskan waktu di jalan, belum lagi harus antre di supermarket dan angkut belanjaannya yang berat itu. Angle kami adalah mengincar mereka, bukan yang harus dipancing dengan promo,” kata Mario.

Meski begitu, meminta pendapat dari konsumen secara berkala tetap harus dilakukan perusahaan agar Bananas menjadi perusahaan berkelanjutan. Saat ini, perusahaan mulai memikirkan bagaimana cara meningkatkan rata-rata nilai belanjaan dan meningkatkan GMV.

“Yang sekarang jadi penting bagaimana caranya kita tetap fokus pada user. Caranya dengan terus berbicara dengan mereka agar mengerti apa yang saat ini dibutuhkan dan bagaimana keinginan ke depannya. Sebab saya percaya kebutuhan groceries itu enggak akan hilang, tapi apakah dulu beli merek mahal atau tidak, itu hanya soal shifting. Sebagai pemain, kita harus bisa menangkap dan mengikuti kebutuhan mereka.”

Hal ini sekaligus bentuk tip dari Mario untuk para founder yang baru merintis startupnya. Bagi dia, kesalahan terbesar yang ia lakukan sebelum-sebelumnya adalah kurang mendengarkan konsumen. Hanya mengandalkan asumsi dari riset, tanpa melihat kondisi langsung di lapangan.

“Dengan banyak mendengarkan konsumen, kita jadi lebih ngerti pain point mereka sehingga kita bisa dapat insight yang lebih real daripada hanya sekadar teori saja.”

Tantangan di quick commerce

Mario pun mengakui bahwa tantangan di quick commerce ini begitu besar. Ada yang menyebutkan bahwa model bisnis ini menyatukan seluruh kerumitan dalam operasionalnya, harus bangun dark store, mengurus inventaris, sourcing barang di lokasi mana yang laku mana tidak, itu bagian sulit.

“Jadi semua fungsi dan lini itu susah. Pun juga dari marketing untuk akuisisi user di Pondok Indah dan Kelapa Gading mungkin lebih mudah bikin event di mall. Tapi belum tentu di lokasi lain sama karena beda gaya hidup dan kebiasaan.”

Di tambah lagi, dengan kenaikan harga BBM, otomatis membuat Bananas harus putar otak untuk tetap menekan pengeluaran di tengah perang bisnis ritel yang marginnya terkenal tipis. Solusi yang kini tengah diusahakan adalah mengembangkan algoritma agar sistem pengantaran dapat dilakukan dalam satu batch untuk satu kendaraan sekali jalan untuk satu area.

“Dalam tiap pengantaran per batch-nya, pengemudi bisa antar ke banyak titik untuk satu area. Dari situ kami bisa tekan cost logistik.”

Kendati banyak pemain online grocery yang masuk ke solusi quick commerce, Mario tidak mengkhawatirkan kompetisi yang sengit. Di industri ini, ia percaya “winner takes all” tidak berlaku. Khususnya, bagi quick commerce yang masih sangat baru di Indonesia, edukasi adalah barang mahal yang bila dilakukan sendiri tidak akan cukup waktu. Makanya dibutuhkan pemain online grocery lainnya, untuk melakukan inisiatif serupa bersama-sama.

“Dari sisi kompetisi, walau ide sama, tapi karena bahan-bahan di dalam perusahaan beda, hasil masakannya juga beda. Filosofi kami adalah tetap monitor pergerakan industri, tapi tidak jadi sesuatu yang ditakuti. Jadi kami saling beradu menyelesaikan user, mana yang lebih baik,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Dropezy Siapkan Jalan Keluar di Tengah Isu “Winter Quick Commerce”

Startup quick commerce Dropezy dikabarkan tengah menyiapkan strategi agar dapat tetap bertahan di tengah kondisi “tech winter”. Saat ini dikabarkan, perusahaan menutup seluruh 20 dark store yang berada di sekitar Jakarta, menurut pemberitaan DealStreetAsia.

Dikonfirmasi lebih jauh oleh DailySocial.id, Co-founder Dropezy Nitesh Chellaram hanya menyampaikan bahwa perusahaan tengah menyiapkan strategi baru yang akan segera diumumkan segera ke publik. “Kita belum bisa memberi tahu strategi baru kami, tapi kami punya sesuatu yang menarik yang bisa segera dibagikan,” kata dia, Senin (19/9).

Perusahaan beralih menjadi quick commerce pasca pendanaan pra-seri A yang diperoleh pada September 2021 sebesar $2,5 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun belasan dark store tersebar di Jabodetabek.

Dropezy sendiri lahir saat pandemi di awal 2021 sebagai online grocery. Proposisinya adalah platform kebutuhan sehari-hari (daily needs platform), sehingga konsumen dapat belanja dalam kuantitas kecil secara beberapa kali dalam sebulan.

“Kami percaya pada konsep ‘Buy small, eat fresh’ dan ‘Top up, don’t stock up’. Kami yakin bahwa orang Indonesia tidak suka melakukan pembelian massal di awal bulan, tetapi memilih membeli dalam jumlah kecil setiap hari atau pada hari yang berbeda,” kata Nitesh.

Kompetitor terdekat Dropezy, yakni Astro mulai mengembangkan produk private label, dinamai Astro Goods. Sejauh ini, produk yang sudah dirilis dari makanan ringan, makanan segar, paket siap masak, hingga kerajinan tangan. Selanjutnya, Astro Kitchen untuk produk makanan dan minuman siap santap. Disebutkan, perusahaan memiliki lebih dari 40 dark store yang terbesar di Jabodetabek.

Melesunya industri online grocery

Sebelumnya, HappyFresh dikabarkan melakukan restrukturisasi bisnis dengan menunjuk firma konsultan untuk meninjau kondisi keuangannya. Di saat yang bersamaan, pemutusan kerja dan penggalangan dana sedang ditempuh untuk bayar hutang kepada para mitra. Operasional di sejumlah lokasi di Jakarta juga tengah dihentikan.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di tingkat global. Di antaranya, Foodpanda, Delivery Hero, Ola, dan Zomato, yang menutup unit bisnis quick commerce-nya dengan melakukan efisiensi.

Dalam suatu riset yang dilakukan oleh Stor.ai di Amerika Serikat, menyatakan hanya 2% dari 1000 konsumen yang sangat bersedia untuk bayar ongkos sedikit lebih mahal agar belanjaannya sampai dalam waktu 15 menit. Sebanyak 57,5% lainnya menyampaikan tidak mau bayar lebih mahal.

Seorang perwakilan dari Stor.ai mengatakan dari temuan tersebut menunjukkan bahwa pelanggan memprioritaskan stok barang daripada pengiriman yang cepat. Sebanyak 27% responden mengatakan mereka akan menggunakan layanan ultra-cepat lebih banyak jika pengalaman pengguna meningkat. Kemudian, 22% mengeluhkan kehabisan stok sebagai masalah terburuk yang dialami saat menggunakan platform pengiriman.

Menurut, Managing Director GlobalData Neil Saunders, fakta terbesar dari model bisnis dari perusahaan quick commerce ini sudah rusak sejak awal karena biaya yang mereka keluarkan tidak tercakup oleh biaya yang dibayar konsumen. “Selain itu, quick commerce adalah solusi yang mencari masalah. Sebagian besar orang tidak benar-benar membutuhkan hal-hal yang disampaikan dalam hitungan menit.”

Di samping itu, dengan kondisi inflasi yang terus meningkat dan perusahaan tidak dapat mengkompensasi biaya, kesempatan untuk bisnis quick commerce untuk bertahan lama sangat tipis.

Application Information Will Show Up Here