Enablr Luncurkan “Echo”, Platform Social Commerce untuk UMKM

Bertujuan untuk menghadirkan layanan terpadu bagi UMKM, Enablr platform e-commerce enabler meluncurkan “Echo“. Kepada DailySocial.id, CEO Enablr Yohan Christian menyebutkan, Echo merupakan platform berbasis komunitas yang mengedepankan pembelian group buying.

Diluncurkan tahun 2020 lalu, selama ini Enablr telah menjadi platform yang digunakan oleh perusahaan besar seperti Sinar Mas hingga Garuda Food untuk memenuhi kebutuhan distribusi. Enablr sendiri didirikan oleh Yohan Christian (CEO), Ronny Senjaya (CFO), Jupiter Zhuo (CTO), dan Sandi Wijono (CMO).

“Dua tahun ini perkembangan Enablr sangat banyak. Saat awal masuk ke layanan e-commerce kami ingin membuat satu teknologi yang memudahkan pelaku usaha berjualan di e-commerce dengan merilis platform omnichannel. Dengan demikian pelaku usaha tidak perlu membuka setiap marketplace, cukup dalam satu platform saja,” kata Yohan.

Melihat besarnya potensi yang ada di layanan e-commerce dan masih masih adanya gap yang cukup besar antara perusahaan besar hingga pelaku UMKM dalam mengelola bisnis mereka, menjadi salah satu alasan Enablr tertarik untuk menyediakan layanan terpadu kepada pelaku UMKM.

“Hal ini yang membuat kami memutuskan untuk meluncurkan Echo. UMKM di Indonesia saat ini perlu dibantu dengan platform yang sesuai dengan kultur dan nilai konsumen, dengan mengadopsi model community group buying,” kata Yohan.

Menurut laporan DSInnovate, group buying menjadi salah satu model bisnis social commerce yang mulai populer di Indonesia. Selain Echo, saat ini ada sejumlah startup yang juga bermain di ranah tersebut, misalnya Grupin, Kitabeli, CrediMart, hingga Mapan.

Gambaran proses kerja umum di platform group buying / DSInnovate
Gambaran proses kerja umum di platform group buying / DSInnovate

Potensi social commerce di Indonesia juga cukup besar, diperkirakan tahun ini kapitalisasi pasar bisnis tersebut akan mencapai $8,6 miliar. Diproyeksikan bertumbuh dengan CAGR 47,9% hingga menghasilkan nilai $86,7 miliar di tahun 2028 mendatang. Konsep social commerce juga dapat menjembatani gap yang ada di kota lapis 2 dan 3, sebagai basis pengguna yang belum dioptimalkan sepenuhnya oleh pemain e-commerce sebelumnya.

Pandemi dan adopsi teknologi

Pandemi secara langsung telah mengubah kebiasaan konsumen saat melakukan pembelian produk secara online. Jika dulunya kegiatan belanja offline masih banyak dilakukan, namun pandemi telah mengakselerasi kegiatan belanja online lebih masif lagi. Tidak lagi hanya menjual produk saja, mereka juga harus bisa melakukan kegiatan kampanye, promo, dan aktivitas lainnya dengan tujuan untuk menjangkau lebih banyak pembeli.

“Kita melihat potensi besar namun banyak tantangan yang dihadapi pelaku bisnis. Percepatan perubahan teknologi dan perubahan aktivitas belanja di kalangan konsumen karena pandemi dihadapi oleh banyak pelaku UMKM. Mereka saat ini juga harus memikirkan konten, implementasi, supply chain, customer service, hingga pengolahan data,” kata Yohan.

Echo dengan konsep community group buying diharapkan bisa bersaing dengan menggerakkan komunitas yang dimiliki oleh masing-masing pelaku UMKM untuk kemudian memanfaatkan layanan dan teknologi Echo mengadopsi usaha mereka secara online.

Pengalaman berbelanja yang dihadirkan Echo menganut prinsip social commerce. Konsumen bisa berbelanja bersama-sama dengan relasi, kerabat, atau keluarga terdekat untuk mendapatkan banyak manfaat, seperti diskon menarik dan tentunya harga yang jauh lebih murah.

“Yang Echo berikan adalah teknologi, kita sediakan platform agar mereka bisa bikin campaign dengan konsep community group buying mengedepankan demand driven. Konsumen akan beli dulu secara pre-order bersama. Dengan konsep ini pelaku UMKM bisa mendapat pesanan yang jumlahnya jelas dan akan berimbas dengan harga yang lebih kompetitif,” kata Yohan.

Saat ini platform Echo masih berada dalam naungan Enablr dan didukung oleh tim internal mereka. Namun ke depannya Echo akan dipisahkan dari Enablr dan membangun ekosistem sendiri menyesuaikan dari komunitas masing-masing.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Echo adalah, dengan mengenakan biaya per transaksi dengan harga yang kompetitif. Hal tersebut yang kemudian diklaim membedakan Echo dengan platform marketplace pada umumnya, yang kebanyakan mengenakan komisi hingga 10% untuk setiap merchant.

Rencana penggalangan dana

Untuk memperluas kegiatan pemasaran, Echo juga memberikan kemudahan bagi masing-masing pelaku UMKM untuk menyebarkan tautan kampanye mereka ke berbagai platform sosial. Ke depannya Echo juga memiliki rencana untuk membuatkan masing-masing pelaku UMKM microsite yang bisa disesuaikan. Saat ini untuk mereka telah dihadirkan dashboard yang bisa diakses di website dan mobile web.

Untuk jenis UMKM kemudian yang dilirik oleh Echo di antaranya adalah pelaku UMKM yang memiliki usaha rumahan berupa makanan beku, kue, hingga makanan bayi. Mereka yang memiliki potensi untuk mengembangkan bisnis namun memiliki kendala dalam hal pembiayaan atau permodalan, adalah pelaku UMKM yang kemudian dilirik oleh Echo.

“Ke depannya juga kita mau masuk ke market produk organik, seperti hidroponik dan fresh product,” kata Yohan.

Saat ini area layanan yang masih menjadi fokus perusahaan adalah kawasan Jabodetabek. Ke depannya dalam waktu satu tahun mendatang diharapkan bisa menjangkau lebih banyak di kawasan pemukiman warga hingga kota lapis 2 dan lapis 3.

Untuk bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, Echo memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan awal jika platform sudah meluncur secara menyeluruh. Dana segar tersebut nantinya juga akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk membangun organisasi lebih sempurna.

Saat ini pengembangan terus dilakukan oleh perusahaan sambil berjalan. Kegiatan seperti akuisisi penjual pun makin agresif dilakukan oleh mereka. Untuk beberapa bulan ke depan diharapkan bisa menjangkau 1000 UMKM di Jabodetabek.

“Dilihat dari kultur masyarakat Indonesia yang suka melakukan kegiatan secara bersama-sama, maka kita menciptakan ekosistem berbelanja seperti di Echo. Solusi belanja online secara kolektif yang dapat memberikan banyak keuntungan menarik, baik bagi penjual dan konsumen,” kata Yohan.

Hero Overwatch Ke-32, Echo, Dibekali Sederet Kemampuan Unik

Di tengah  penantian terhadap sekuel Overwatch, sebagian dari fans mungkin juga merasa cemas. Permainan anyar itu dari awal dirancang agar terintegrasi dengan Overwatch pertama sehingga progres tidak hilang dan gamer di kedua judul dapat bermain bersama di mode PvP. Tapi kita belum tahu akan seperti apa implementasinya serta seberapa efektif strategi ‘menyatukan’ dua permainan ini.

Selain fokus pada pengembangan Overwatch 2, kita tahu developer juga berjanji untuk terus memperkaya konten game yang sudah ada. Di bulan November 2018, Blizzard memublikasikan film animasi singkat berjudul Reunion. Di sana, mereka memperkenalkan dua karakter baru. Tak lama setelah itu, tokoh bernama Ashe bisa dimainkan, namun butuh waktu setahun lebih bagi Echo buat tersedia di game. Padahal, ia sempat muncul di trailer Overwatch 2.

Minggu ini, game director Jeff Kaplan mengabarkan bahwa Echo akhirnya bisa dimainkan. Echo merupakan salah satu hero Overwatch paling unik, dan itu alasannya Blizzard membutuhkan waktu lama buat menggodoknya. Echo sudah dapat dijajal di Public Test Region, tapi sepertinya developer tak ingin buru-buru menghadirkannya di server standar. Kaplan bilang timnya akan segera memodifikasi Echo jika menemukan sesuatu yang bisa merusak keseimbangan permainan.

Berbeda dari dugaan sebelumnya, Echo didesain sebagai hero damage. Namun ia juga menyimpan banyak kemampuan yang membuatnya sangat unik, salah satunya kapabilitas terbang/melayang seperti Pharah atau Mercy. Dan yang paling istimewa adalah skill ultimate bertajuk Replicate. Dengan mengaktifkannya, Echo bisa meniru hero musuh dan dapat mengakses segala kemampuannya (termasuk skill ultimate). Itu berarti Echo memberikan pemain kesempatan luas buat beradaptasi terhadap situasi.

Lewat video, Jeff Kaplan menceritan sedikit latar belakang karakter ini. Echo dibuat oleh seorang peneliti asal Singapura, Dr. Mina Liao, dengan kemampuan mengamati, belajar dan meniru. Liao ialah pakar robotik dan AI, bekerja untuk Omnica Corporation hingga pecahnya krisis Omnic. Ia segera direkrut Overwatch begitu insiden tersebut dimulai, tapi kehilangan nyawanya dalam sebuah serangan.

Sempat mempelajari karakteristik dan kebiasaan Liao, Echo terpaksa dikarantina karena Overwatch khawatir teknologinya dapat disalahgunakan dan seluruh proyek pengembangannya dihentikan. Echo akhirnya diaktifkan kembali oleh Jesse McCree, orang yang tadinya ditugaskan buat melindungi Liao, karena Overwatch butuh bantuan (dapat Anda saksikan di film animasi Reunion).

IMG_20032020_132459_(1000_x_650_pixel)

Jeff Kaplan bilang bahwa ada kemungkinan Echo merupakan hero terakhir yang dirilis untuk Overwatch hingga sekuelnya dilepas. Kronologi peluncuran karakter game belakangan memang sedikit membingungkan: Ocho diperkenalkan bersama Ashe, namun setelah itu Blizzard merilis Baptiste dan Sigma, memposisikan Echo sebagai hero Overwatch ke-32.

Ayo Berkenalan Dengan 2 Hero Baru Overwatch, Ashe dan Echo

Mungkin Anda sudah mendengar kabar baik dan buruk terkait ajang Bllizzcon 2018 minggu lalu. Di sana, fans yang mengharapkan eksistensi dari sekuel Diablo dikecewakan oleh penyingkapan Diablo Immortal untuk perangkat bergerak. Namun para gamer Overwatch dimanjakan oleh penayangan film animasi pendek baru beserta pengumuman beberapa hero sekaligus.

Menariknya lagi, film animasi bertajuk ‘Reunion’ tersebut punya kaitan erat dengan karakter-karakter anyar Overwatch. Reunion difokuskan pada sang koboi Jesse McCree sembari memperkenalkan Ashe dan Echo, masing-masing adalah hero ke-29 dan ke-30 Overwatch. Film juga mengisahkan apa yang sebelumnya terjadi di map Route 66, menjelaskan mengapa ada puing-puing kereta dan apa isi dari payload yang selama ini diperebutkan para pemain.

Singkatnya, Elizabeth Caledonia alias Ashe adalah pemimpin dari Gang Deadlock. Di film Reunion, ia beserta anak buahnya mencoba mencuri muatan kereta dengan meledakkannya. Tapi rencana tersebut berhasil digagalkan oleh McCree. Dan di penghujung cerita, akhirnya kita mengetahui bahwa muatan misterius tersebut berisi robot omnic yang dahulu pernah menjadi rekan McCree. Robot ini bernama Echo.

Detail mengenai Echo belum diketahui, namun informasi rinci terkait Ashe sudah tersedia di situs PlayOverwatch.com. Ashe didesain sebagai hero ‘damage‘. Di bulan Juni kemarin, Blizzard Entertainment memutuskan untuk menggabungkan kategori offense dan defense menjadi damage karena peran keduanya di tiap tim telah mengabur. Sering kali gamer menggunakan hero menyerang untuk bertahan atau sebaliknya.

Dalam bertempur, Ashe mengandalkan senapan repeater andalannya yang ia namai The Viper. Ashe juga dapat menggunakan Coach Gun ala senapan tabur untuk mendorong musuh yang menghalangi jalannya, serta memanfaatkan dinamit buat membakar lawan dan memberikan efek damage over time. Dinamit bisa sekadar dilempar atau ditembak untuk meledakkannya tanpa perlu menunggu.

Sebagai skill ultimate-nya, pemimpin gang Deadlock itu juga dapat memanggil teman omnic-nya, robot bernama Bob. Ketika diperintah buat membantu Ashe, Bob akan terjun ke medan tempur, bergerak secara otomatis dan membuat lawan-lawannya terpental ke udara (mirip efek Primal Rage punya Winston) serta menyerang dengan menggunakan senapan mesin.

Buat sekarang, belum diketahui kapan Ashe bisa dimainkan. Seperti sebelum-sebelumnya, Blizzard akan melakukan pengujian terlebih dulu di server tes sebelum hero baru ini bisa diakses oleh semua pemain baik di PC, PlayStation 4 atau Xbox One. Baru setelah itu, mungkin kita akan mendengar detail lebih lanjut soal Echo.

Ashe dan Bob, Overwatch 1

Via Polygon.

When in Rome Ialah Board Game Keluarga Pertama yang Didukung Alexa

Transformasi digital memang mengubah karakteristik konsumen dan kadang efeknya sulit diterka, tapi tak selamanya perubahan buruk bagi bisnis. Ambil contohnya kehadiran internet di awal 90-an. Berkatnya, industri board game mengalami perkembangan signifikan karena mencari permainan jadi lebih gampang serta memudahkan pemain bergabung dalam komunitas.

Hampir tiga dekade setelah momen itu, keberadaan game tabletop tetap tidak tergantikan oleh permainan digital. Inkarnasinya sangat banyak (cek saja Kickstarter dan lihat bagaimana board game menjamur di sana), dan para developer juga mulai mengintegrasikan teknologi digital sebagai elemen permainan. Dan kini, tim Sensible Object membenamkan kecerdasan buatan Alexa dalam board game berjudul When in Rome.

When in Rome adalah permainan berbasis board untuk keluarga pertama yang memperoleh dukungan penuh asisten digital Amazon Alexa. Game ini mengangkat tema perjalanan keliling dunia, dan dengan berbekal perintah suara, pemain bisa meminta Alexa membawa mereka mengunjungi kota-kota terkenal di planet Bumi. Di When in Rome, Alexa berperan sebagai pilot sekaligus pemandu wisata.

When in Rome 4

Formula permainannya cukup sederhana. When in Rome mengadu dua tim untuk berlomba mengelilingi dunia. Bundel game terdiri dari papan, mainan, kartu dan suvenir. Tentu saja, Alexa merupakan primadona di sana. Berkatnya, pemain tak perlu lagi membaca lembar-lembar petunjuk dan aturan bermain karena Alexa siap memandu kita. Game bisa dimulai cukup dengan berkata, “Hey Alexa, play When in Rome.”

When in Rome.

Tidak ada batasan tempat yang bisa Anda datangi. Tinggal meminta Alexa untuk ‘terbang ke London’, kemudian game segera membawa Anda ke sana. Di masing-masing kota, Anda segera disambut oleh warga setempat – suaranya diisi oleh penduduk daerah itu dengan aksen yang khas. Warga di tiap kota punya kuis, dan Anda akan mendapatkan poin jika menjawabnya dengan benar.

When in Rome 2

Poin yang Anda dapatkan bisa digunakan buat meng-upgrade kartu untuk memberikan keunggulan dalam tamasya virtual itu. Lalu dengan berkunjung ke tiap lokasi, kita juga bisa mengumpulkan suvenir.

Konten audio When in Rome sangat melimpah. Anda disuguhkan dialog interaktif berdurasi lebih dari 20 jam dan tentu saja Alexa bisa mengingat jawaban Anda dari sesi permainan sebelumnya sehingga pengalaman menikmati When in Rome selalu berbeda.

When in Rome 1

When in Rome kompatibel dengan speaker pintar Amazon Echo dan Echo Dot, serta siap mendukung aplikasi mobile Alexa. Kit mainan ini dijual seharga US$ 30, dapat dinikmati oleh pemain berusia 13 tahun ke atas, dan kabarnya bisa dikapalkan ke Indonesia.

Via TechCrunch.

Bethesda Tidak Bergurau, Game Skyrim Hadir di Toilet Pintar Seharga $ 6.000

Dirilis perdana di tahun 2011, upaya Bethesda Softworks untuk mengadirkan permainan The Elder Scrolls V: Skyrim di seluruh platform membuatnya jadi objek gurauan gamer. Setelah tersedia di PC, Xbox 360 dan PS3, publisher berambisi buat membawanya ke platform game current-gen. Inkarnasi terakhir dari RPG open world fenomenal itu adalah edisi VR dan Switch.

Bethesda tentu saja menyadari hal tersebut. Sebagai respons candaan serta meme yang beredar, mereka mengumumkan Skyrim: Very Special Edition di E3 2018. Versi ini dipresentasikan dalam video yang dibintangi komedian Keegan Michael-Key, di mana Skyrim bisa diakses Amazon Echo. Selanjutnya, sang narator mengungkap ‘rencana’ Betheda untuk melepasnya pula di Etch A Sketch, pager Motorola, sampai kulkas pintar Samsung.

Banyak orang mengira ini hanyalah cara publisher mengapresiasi guruan fans, hingga mereka sadar Bethesda ternyata betul-betul menggarapnya. Betul sekali, Skyrim bisa Anda mainkan dengan bantuan Amazon Alexa. Tapi berbeda dari versi PC/console-nya, ‘Very Special Edition’ disuguhkan seperti permainan petualangan berbasis teks, namun disuguhkan dalam bentuk audio – seperti sesi menikmati game tabletop berbekal AI.

Anda bisa segera mencobanya jika kebetulan mempunyai Echo atau Echo Dot. Bahkan berdasarkan laporan Polygon, Anda tak memerlukan speaker pintar Amazon itu, cukup perlu mengunduh aplikasi Amazon di iDevice atau menginstal Alexa di perangkat Android. Sesudah itu silakan buka app, tap icon Alexa, kemudian bilang: “Alexa, open Skyrim.

Skyrim 1

Dan kebetulan, seorang pengguna Reddit menemukan bahwa unit toilet pintar baru buatan Kohler ternyata kompatibel dengan AI Alexa. Toilet high-end bernama Numi itu bisa mendengar perintah suara Anda dan melakukan sejumlah hal, seperti mengangkat dudukan toilet hingga memutar musik. Dan dengan adanya Skyrim di sana, Anda bisa bertualang secara imajinatif sembari mengosongkan usus besar.

Dibanderol seharga US$ 6.000, Kohler Numi merupakan perangkat paling mahal yang bisa Anda beli untuk memainkan Skyrim. Dengannya, Anda tidak perlu bingung jika lupa membawa smartphone ke toilet: Anda bisa berburu naga, bertarung melawan raskasa, atau menjelajahi reruntuhan Dwemer.

Saya belum mengetahui seberapa besar isi konten Skyrim di Alexa, namun kapabilitas ini mengindikasikan bahwa game secara teori dapat berjalan di perangkat apapun yang mempunyai sirkuit elektronik. Mungkin Skyrim di smart refrigerator Samsung bukan sekadar gurauan. Dan coba Anda bayangkan rasanya sensasi bermain Skyrim di oven pintar…

Via GamesRadar.

Si Buyung Nantinya Bisa Mengakses Spotify Dari Amazon Echo Dot Kids

Semakin instensnya penggunaan perangkat teknologi di kalangan anak-anak menyadarkan produsen bahwa ada banyak hal bisa digarap untuk segmen ini. Inkarnasinya hadir dalam berbagai wujud: laptop, smartwatch, hingga produk-produk audio semisal headphone dan speaker pintar. Setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian dalam menggarap perangkat khusus si kecil: akses dan keamanan.

Di bulan April kemarin, Amazon memperkenalkan versi anak-anak dari speaker Echo Dot. Seperti penjelasan Glenn di artikelnya, Echo Dot Kids Edition mempunyai penampilan yang identik dengan varian standar; hanya saja, bundel pembelian telah dibekali case pelindung dan juga disertai garansi dua tahun yang terdiri dari layanan perbaikan hingga penukaran unit jika terjadi kerusakan.

Amazon Echo Dot Kids Edition 1

Perbedaan signifikan bisa kita lihat dari fiturnya. Echo Dot Kids Edition dibekali fitur pembatas waktu pemakaian, parental control, lalu orang tua dapat  menonaktifkan fungsi transaksi via suara. Kemampuan edukasi turut menjadi andalan Amazon di sana. Dengan membeli Echo Dot Kids Edition, Anda memperoleh akses ke layanan FreeTime Unlimited selama setahun, berisi ratusan jam konten edukasi dan audio book. Alexa di sana lebih dispesialisasikan ke DJ-DJ, komedian dan ‘pendongeng’ yang akrab buat anak-anak.

Namun mungkin Anda melihat satu kekurangan dalam penyajiannya: absennya dukungan layanan streaming musik Spotify. Spotify merupakan salah satu platform hiburan terpopuler di Bumi. Di Indonesia, kehadirannya mulai menggantikan peran music player dedicated (setidaknya di kalangan awam). Tapi di momen perilisannya, Echo Dot Kids Edition baru dibekali Amazon Music dan iHeartRadio – layanan yang boleh jadi jarang kita sentuh.

Amazon Echo Dot Kids Edition 2

Kabar gembiranya, keterbatasan ini akan berubah di waktu dekat. TechCrunch menginformasikan bahwa dukungan Spotify siap mendarat di Echo Dot Kids Edition minggu ini. Saat Spotify dibuka nanti, fitur filter ‘konten eksplisit’ secara otomatis menyala. Kemudian pengguna Spotify yang tidak berlangganan FreeTime tetap bisa menyaring lirik-lirik lagu yang tidak sesuai seperti ketika menggunakan Amazon dan Pandora.

Terhitung minggu lalu, Amazon mulai meluncurkan konten-konten baru dari Disney. Sebelumnya, Echo Dot Kids Edition telah mendapatkan Disney Dailies – berisi lelucon dan komedi sketsa berbasis jagat Zootopia. Nantinya, smart speaker Amazon itu akan kedatangan update Daily Stories dari Incredibles 2, Doc McStuffins, Wall-E, serta ‘alarm karakter’ dari film Coco dan Moana.

Amazon Echo Dot Kids Edition 3

Echo Dot Kids Edition sudah dipasarkan di Amazon, dibanderol US$ 30 lebih mahal dari varian standar, yakni US$ 80. Berdasarkan keterangan di situs eCommerce raksasa itu, produk tersebut siap dikirimkan ke Indonesia.