Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya (Bagian 1) kami telah membahas tentang bagaimana dua lanskap kategori startup sati ini berkembang di Asia Tenggara, yakni fintech dan AI. Selain dua kategori startup tersebut –masih menyimpulkan dari sesi Future Stage di Echelon Asia Summit di Singapura—ada dua kategori lain yang dinilai tengah dalam fase hot, yakni Edtech dan Healthtech. Di Indonesia pun startup di segmen tersebut sudah bermunculan, bahkan beberapa bertumbangan, baik yang mengerjakan di sektor B2C ataupun B2B.

Menarik, saat ada yang bisa bertahan dengan proses bisnis yang dimiliki dan beberapa lainnya harus gulung tikar –minimal pivot ke proses lain. Kendati terlihat memiliki pangsa pasar yang besar, namun membutuhkan effort lebih untuk menggeser cara-cara yang sudah ada. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan tersebut juga tengah menjadi tantangan yang ingin dipecahkan para startup di Asia Tenggara secara umum.

Healthtech: Masih banyak tantangan sekaligus jalan untuk menjadi “disruptive”

Salah satu sesi dalam Future Stage membahas seputar “Disruptive Innovation For Better Healthcare”. Dalam diskusi panel ini dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Nawal Roy (Founder & CEO Holmusk), Julien de Salaberry (Co-founder Galen Growth Asia) dan Gillian Tee (Co-founder & CEO Homage).

Salah satu poin yang awal disinggung dalam diskusi panel tersebut terkait dengan intensitas pendanaan. Jika dibanding dengan yang lain, terlebih fintech, sektor healthtech memang masih jauh. Kategori startup ini lebih minim pendanaan, pun demikian dalam hype-nya di lanskap startup secara umum.

Poin menarik tentang potensi adalah saat ini para pemain di sektor kesehatan tentang mematangkan posisinya, untuk masuk secara mendalam dari unsur teknologi perangkat keras pendukung (dukungan IoT) atau perangkat lunak (khususnya analisis data).

Sesi diskusi panel pembahasan tentang tren startup kesehatan / DailySocial - Randi Eka

Terdapat salah satu pernyataan Nawal Roy yang menjadi sebuah keniscayaan. Saat startup bermain di bidang kesehatan –jika melihat yang ada sekarang—konsentrasi mereka justru belum pada misi kesehatan secara intensif, misalnya startup yang menyerukan penyembuhan diabates, sangat sedikit yang menawarkan solusi langsung terhadap penyelesaian masalah, beberapa startup bahkan hanya memanfaatkan tren untuk pemasaran semata.

Roy turut mengungkapkan bahwa inovasi tetap menjadi fokus, namun para pemula di bidang ini justru lebih suka bergelut di masalah seputar ekonomi (khususnya makro) yang berhubungan dengan kesehatan.

Terkait dengan potensi di waktu sekarang ini, Gillian Tee lebih suka melihat startup hadir sebagai tech-enabler dalam lanskap bisnis kesehatan dan juga pengelolaan data. Tak mudah memang mendapatkan akses ke data kesehatan, namun di sana terdapat banyak hal yang bisa dilakukan. Ia juga menceritakan, bahwa memahami apa yang benar-benar dibutuhkan klien menjadi hal yang sangat krusial.

Untuk itu startup yang ia gawangi, Homade, mencurahkan tahun pertamanya untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang dibutuhkan. Selain tim teknis non kesehatan, saat ini Homeage memiliki tim operasi klinis dengan spesifikasi masing-masing berpengalaman minimal 11 tahun.

“Di lapangan ini bukan hanya tentang implementasi IoT atau teknologi lain pada permasalahan (kesehatan), tapi benar-benar tentang memahami bagaimana teknologi berdampak menjadi enabler,” ujar Gillian.

Mencoba melihat dari sudut padang investor, Julien Salaberry mengatakan untuk lanskap kesehatan saat ini masih banyak pertanyaan “membingungkan”. Baik terkait dengan solusi teknologi yang digunakan ataupun pada dampak inovasi yang digarap dengan penanganan kesehatan itu sendiri. Misalnya saat membicarakan tentang bioteknologi, pertanyaannya pasti berujung pada bagaimana strategi membawa konsep tersebut ke dalam industri.

Jika melihat dari tren yang ada di Indonesia, healthtech kebanyakan mencoba memfasilitasi –baik untuk paramedis maupun konsumen—dalam bentuk layanan yang menghubungkan atau menjadi asisten virtual. Artinya apa yang dilakukan belum bisa dikatakan benar-benar “mengganggu” industri kesehatan secara umum, karena penopang dalam proses bisnisnya masih di industri yang sudah ada.

Sama seperti pada kategori lainnya, bisa jadi juga ini berkaitan dengan penerimaan calon konsumen yang ditargetkan. Secara kasat mata sangat terlihat, jika bidang kesehatan mungkin banyak konsumen yang memilih tidak untuk “bertaruh”, dalam artian mencoba hal yang baru pun ragu. Karena tingkat risikonya yang tinggi.

Namun apa pun itu, para pemateri dalam panel meyakini bahwa teknologi tetap menjadi jembatan paling penting dalam menggerakkan industri kesehatan, untuk terciptanya solusi inovatif nan efisien, dalam waktu cepat atau lambat.

Edtech: Peta layanan dan arah pertumbuhan yang semakin jelas

Tentang lanskap pendidikan, Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham menyampaikan banyak hal dalam presentasinya. Salah satu yang menjadi titik poin, saat ini layanan dan produk berbasis edtech terdiri dari empat karakteristik utama, yakni (1) on-demand learning, (2) immersive experiences (3) direct to empolyers, dan (4) guidance by AI.

Poin pertama didasarkan pada tren pendidikan yang berangsur disampaikan melalui teknologi. Dicontohkan beberapa perguruan tinggi kini mulai mengadakan kuliah online, yang berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap efektivitas sistem pembelajaran jarak jauh.

Di Asia Tenggara menurut Pham tren ini juga mulai terjadi, bahkan di Indonesia. Memang, jika menilik beberapa startup seperti Ruangguru atau Kelase misalnya, mereka mampu menyuguhkan proses dan sistem pembelajaran melalui medium teknologi yang akrab dengan pengguna.

Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial - Wiku Baskoro
Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial – Wiku Baskoro

Perkembangan teknologi modern juga berpengaruh di sektor ini, terutama berkaitan dengan bagaimana konten disampaikan. Contohnya tren Virtual Reality atau Augmented Reality yang mulai ramai digarap, tak lain menggunakan unsur edukasi sebagai konten primer yang disajikan.

Sementara itu kanal pembelajaran premium juga tetap menjadi bagian penting terhadap lanskap edtech. Pham mencontohkan bagaimana Udacity dan Pluralsight memiliki segmentasi yang membuat konten di dalamnya eksklusif bagi para pelanggan, didukung dengan keahlian sistem cerdas di dalamnya yang mampu memahami kebutuhan belajar penggunanya.

Diungkapkan juga pasar ini masih tergolong sangat terfragmentasi, kuncinya adalah pada “resolving the culture”. Apa yang dilakukan Topica Edtech Group salah satunya dengan menjalin kerja sama strategis dengan institusi pendidikan resmi. Bahkan menyesuaikan pembelajaran dengan standar yang dituntut oleh negara, dalam hal ini Tropica mempraktikkan di negara Vietnam dan Bangkok.

Edtech harus benar-benar menyesuaikan dengan pangsa pasar, pun demikian ketika startup akan melakukan ekspansi. Setiap negara bahkan kota memiliki diferensiasi yang tinggi. Mulai dari cakupan segmentasi pengguna, tatanan konten, platform sebagai medium hingga strategi distribusi.

Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial – Wiku Baskoro

Ketika berbicara pada strategi monetisasi, Co-Founder & CTO Remind David Kopf menceritakan pengalamannya, bahwa diperlukan momen dan titik awal yang pas ketika mengarahkan platform pendidikan menjadi sesuatu berbayar. Apa yang ia lakukan bersama startupnya dalam bisnis model yang telah dirumuskan, selama tahun ke-1 sampai 3 fokus pada penjelajahan pangsa pasar, kemudian tahun ke-4 fokus pada growth dan baru melakukan monetisasi pada tahun ke-6.

Prosesnya pun harus disiasati dengan baik. Beberapa layanan tidak bisa dijual langsung, misalnya penyaji konten. Ketika tidak dapat dielaborasikan dengan institusi resmi seperti sekolah, maka model bisnisnya harus dijalankan setelah memiliki traksi yang kuat. Misal edX, dengan konten premium yang mereka miliki, monetisasi dilakukan dengan cara menjual sertifikat premium untuk setiap capaian belajar.

Kesimpulannya, edtech masih menyimpan sejuta potensial, perlakukannya yang harus menyesuaikan kultur pendidikan di cakupan wilayah pasarnya. Tidak semua strategi dapat berjalan baik, bahkan cenderung harus diberi perlakuan berbeda.

Ruangguru Resmikan Perolehan Pendanaan Seri B dari UOB Venture Management

Startup edtech Ruangguru resmikan perolehan pendanaan seri B yang dipimpin oleh UOB Venture Management, sebuah perusahaan ekuitas swasta di Singapura dengan nilai yang tidak disebutkan.

Dengan pendanaan ini, UOB Venture Management bergabung dengan Venturra Capital dan East Ventures sebagai pendukung modal Ruangguru. Keduanya tak lain adalah investor yang memimpin pendanaan pada tahap sebelumnya.

Ruangguru akan menggunakan dana segar yang diperoleh untuk perkuat tim, khususnya di sisi konten edukasi, teknologi, pemasaran, operasional, serta peningkatan produknya di Indonesia. Perusahaan juga akan terus mencari cara terbaik untuk memberikan layanan pendidikan digital yang terpersonalisasi, dengan mengoptimalkan kekayaan data akademis yang dimiliki.

[Baca juga: Manuver Ruangguru Tingkatkan Traksi di Tengah Pasar Teknologi Edukasi Indonesia yang Masih Sulit]

“Ruangguru adalah investasi yang menarik karena semangat dan kapabilitas manajemennya, skalabilitas bisnis, dan potensi dampak positif yang dapat diberikan kepada pelajar di Indonesia. Kami percaya Ruangguru dapat mengubah permainan bisnis di sektor pendidikan, melihat dari besarnya pengadopsian sistem manajemen pembelajarannya dan potensi produk lainnya,” terang Managing Director & CEO UOB Venture Management Seah Kian Wee dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, Selasa (4/7).

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, bahwa pihaknya menyambut semua investor baru dan menantikan inovasi berikutnya dari Ruangguru. Dia juga menegaskan komitmennya untuk Ruangguru dan melipatgandakan investasinya di sana.

Sejak Ruangguru berdiri pada 2014 silam, pengguna Ruangguru mencapai 3 juta orang, terdiri dari siswa dari kelas 1 sampai 12 dalam berbagai layanan pendidikan yang disediakan. Ruangguru hadir di setiap jenjang pendidikan, seiring komitmen perusahaan untuk mendukung sistem pendidikan formal serta pendidikan tambahan yang berkualitas di luar sekolah.

[Baca juga: Catatan Startup Teknologi Pendidikan Indonesia Tahun 2016]

Adapun layanan pendidikan yang dihadirkan Ruangguru untuk mendukung pendidikan formal di tingkat sekolah dasar dan menengah, mulai dari layanan video belajar berlangganan terpadu (RuangBelajar), marketplace guru privat (RuangLes), layanan bimbel online on-demand (RuangLesOnline), dan solusi pendidikan pembelajaran jarak jauh berbasis group chat (Ruangguru Digital Bootcamp).

Selama setahun terakhir, Ruangguru fokus menjalin kerja sama dengan 27 pemerintah provinsi dan lebih dari 300 pemerintah kota dan kabupaten untuk perluasan akses layanan Sistem Manajemen Belajar (Learning Management System).

Layanan ini mencakup bank soal berkualitas, manajemen kelas, dan simulasi ujian online. Serta, diklaim menjadi kunci utama dalam upaya mendukung sistem pendidikan formal di Indonesia. Sebab tersedia panel dasbor dan data wawasan bagi pemerintah untuk mendukung pembuatan kebijakan berbasis data, yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan.

“[..] Kami juga percaya bahwa dengan memperkuat kerja sama dengan pemerintah, akan membantu kami untuk memperluas jangkauan operasional perusahaan secara nasional,” pungkas Co-Founder dan CPO Ruangguru Iman Usman.

Layanan Tutor Online Hong Kong SnapAsk Optimis Masuki Pasar Indonesia

Seminggu yang lalu, Kejora Ventures mengumumkan penambahan portofolio dengan berpartisipasi di pendanaan Pra-Seri A senilai total lebih dari 65 miliar Rupiah untuk startup teknologi pendidikan Hong Kong SnapAsk. DailySocial berkesempatan bertemu langsung dengan pendiri dan CEO SnapAsk Timothy Yu dan berdiskusi tentang bagaimana rencananya berekspansi di pasar Indonesia.

Kepada DailySocial, Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo menjelaskan bahwa pihaknya memiliki “niat mulia” dengan berinvestasi di ranah pendidikan dengan harapan bisa membantu pemerintah meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan ke seluruh pelosok negeri. Khusus soal investasinya, SnapAsk dianggap sebagai startup yang tepat untuk menjawab soal isu scalability.

SnapAsk sudah tersedia di Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan dengan ambisius ingin berada di 30 negara yang terletak di 5 benua pada tahun 2020.

SnapAsk sendiri adalah layanan tutor online, dalam bentuk aplikasi mobile berbasis messaging, yang membantu siswa menyelesaikan permasalahan soal-soal pendidikan yang dihadapinya. Seperti layaknya berkomunikasi menggunakan platform messaging, pengguna dapat menggunakan SnapAsk untuk memilih tutor dan meminta mereka membantu memecahkan soal-soal sekolah yang dihadapi. Berdasarkan data yang mereka miliki, diklaim bahwa setiap pertanyaan bakal mendapatkan respon jawaban dalam waktu 8 detik.

Timothy yakin terhadap platform-nya karena biasanya di kelas siswa Asia cenderung malu untuk bertanya. Mereka bakal lebih nyaman untuk bertanya soal hal yang tidak dimengerti karena pengalaman one-on-one yang diberikan, layaknya chatting dan berdiskusi dengan teman.

Strategi ekspansi ke Indonesia

Meskipun belum mengenal pasar Indonesia, SnapAsk yakin produknya diterima siswa Indonesia. Kejora Ventures, sebagai bagian dari investasinya, membantu SnapAsk mengembangkan layanan dan tim lokal di sini.

Setelah memulainya dengan bertemu stakeholder penting, SnapAsk akan fokus merekrut tutor terverifikasi sebanyak-banyaknya. Diharapkan dalam 2-3 bulan ke depan SnapAsk bisa digunakan di sini.

Indonesia jelas merupakan pasar penting karena populasinya yang besar. Menurut data Kemendikbud, data siswa SMA (yang menjadi sasaran utama SnapAsk) adalah lebih dari 4 juta siswa. Secara berangsur-angsur mereka akan meningkatkan layanan dengan menjangkau siswa SMP.

Di Indonesia target SnapAsk adalah mendapatkan pengguna sebanyak-banyaknya. Mereka memiliki konsep langganan freemium, dengan disebutkan pelanggan berbayar saat ini mencapai 4% dari total pengguna di musim tertentu (terutama saat ujian).

SnapAsk bersama dengan sejumlah startup teknologi pendidikan lokal diharapkan bisa membantu meningkatkan taraf pendidikan nasional yang relatif masih tertinggal dibanding negara tetangga. Menurut data PISA tahun 2015, Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sebagai perbandingan, di metrik yang sama Singapura berada di posisi puncak.

Tak sekedar platform tutor

SnapAsk memahami platform-nya bisa dimanfaatkan tidak hanya sekedar sebagai platform tanya jawab bersama tutor. Data yang dikumpulkan bisa menjadi evaluasi bagi guru, sekolah, dan di skala besar Kementerian Pendidikan untuk memahami permasalahan riil yang dihadapi siswa.

Kartu Muslim Optimalkan Teknologi “Augmented Reality” untuk Pembelajaran Agama

Banyak cara untuk memberikan pengajaran kepada anak, termasuk melalui cara yang atraktif dan kreatif. Seperti yang coba diusung dalam game permainan Kartu Muslim. Menggunakan basis teknologi Augmented Reality (AR), permainan kartu tersebut memberikan pengajaran agama kepada anak-anak.

Penggunaannya cukup sederhana, kartu berhologram khusus dipasarkan dalam satu set produk, misalnya dalam seri belajar Wudhu. Untuk menyajikan konten unik di dalamnya, kartu tersebut dapat disorot menggunakan kamera dan aplikasi khusus di ponsel Android.

Pada awalnya Kartu Muslim adalah sebuah karya kolaborasi antara Touchten dan Ustad Wijayanto. Saat ini Kartu Pintar masih terus dilanjutkan pengembangan bisnisnya, salah satunya oleh Nilwafa Praduta, Co-Founder Kartu Muslim sekaligus Art Director di Touchten Games. Beberapa rekannya di Touchten juga masih tetap membantu pengembangannya.

“Ide awalnya dari kebutuhan pribadi saya untuk mengajarkan anak tentang agama Islam, sebagai orang tua baru saya berpikir bagaimana bisa menyajikannya agar anak cepat tangkap dan mengerti tanpa ada pemaksaan, karena jika anak dipaksa belajar takut dia akan malah menjauh. Alhamdulillah Touchten sangat mendukung ide itu dan sebagian talent yang mengerjakan kartu muslim adalah dari dalam Touchten sendiri,” ujar Nilwafa.

Kartu Muslim dikembangkan dalam tiga bagian utama, yakni konten, fisik kartu, dan aplikasi. Untuk pengerjaan konten, tim pengembang masih bekerja sama dengan Ustad Wijayanto, dan direpresentasikan dalam animasi dan kartu oleh artist dan graphic desainer Kartu Muslim. Untuk aplikasinya sendiri dibuat oleh pengembang menggunakan teknologi AR dan program Unity yang biasa dipakai untuk pembuatan mobile games pada umumnya.

“Kami rasa aplikasi AR di masa depan akan terintegrasi dengan baik dan natural pada kehidupan sehari-hari, AR dapat membantu memberikan added value atau informasi tambahan pada masyarakat dan akan semakin banyak produk yang memakainya,” lanjut Nilwafa.

Terkait pengembangan produk Kartu Muslim, Nilwafa turut menerangkan ke depannya akan ada terus dikembangkan tema lain. Pihaknya juga mengaku tidak menutup diri akan inovasi selain bentuk kartu, karena akan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, terutama orang tua yang ingin mengajarkan anaknya.

“Kami sangat gembira atas sambutan masyarakat Indonesia yang sangat baik atas produk kami selama ini, dan kami ingin terus menyajikan produk yang lebih baik dan lebih menarik lagi, kami berharap Kartu Muslim dapat terus diterima dengan baik dan dapat menjadi bentuk kontribusi dan media dakwah kami terhadap generasi penerus bangsa ini,” pungkas Nilwafa.

Application Information Will Show Up Here

Kejora Ventures Suntik Pendanaan, Startup Edtech Hong Kong SnapAsk Segera Masuk Pasar Indonesia

Startup penyedia layanan pendidikan, atau edtech, asal Hong Kong SnapAsk mengumumkan raihan pendanaan sebesar $5 juta dalam putaran Pra-Seri A yang dipimpin Kejora Ventures. Dengan pendanaan ini SnapAsk mencoba melirik pasar baru, yakni Asia Tenggara, Australia, dan Inggris.

SnapAsk merupakan layanan yang menggabungkan teknologi kecerdasan buatan dengan layanan on-demand pendidikan. Layanan ini memberikan kemudahan bagi para penggunanya dalam belajar dan memecahkan persoalan dalam pelajaran. Sejak kuartal keempat tahun lalu, SnapAsk mengalami lonjakan pengguna. Disebutkan saat ini SnapAsk sudah bisa menjaring 300.000 pengguna di seluruh Hong Kong, Singapura, dan Taiwan.

“Saat ini kami fokus untuk ekspansi ke pasar Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kami harap untuk bisa memberikan layanan kami kepada empat juta siswa di wilayah Asia Tenggara di kuartal kedua dan untuk Australia dan Inggris di kuartal ketiga. Saat membangun pasar baru kami bersikeras untuk merekrut tim lokal karena mereka yang lebih baik memahami pasar lokal. Modal segar akan digunakan untuk mengakuisisi bakat lokal,” terang CEO SnapAsk Timothy Yu.

Nantinya di Indonesia SnapAsk akan berhadapan dengan layanan edtech lain seperti RuangGuru, HarukaEdu, Kelase, dan lain sebagainya. Pasar edtech sendiri diperkirakan cukup besar meski masih banyak tantangan di sana sini. Edtech pada tahun 2020 mendatang nilainya diperkirakan mencapai $252 miliar secara global. Nilai investasi di sektor edtech tiga tahun terakhir yang mencapai $55 miliar.

Manuver Ruangguru Tingkatkan Traksi di Tengah Pasar Teknologi Edukasi Indonesia yang Masih Sulit

Sejak diluncurkan pertama kalinya pada bulan April 2014 silam, Ruangguru menjadi salah satu dari startup edutech yang terus berinovasi melahirkan ragam produk untuk layanannya. Menarik untuk dibahas, karena kendati pasar teknologi di sektor pendidikan tampak menjanjikan, untuk saat ini adopsinya bisa dikatakan masih lambat.

Menurut data World Bank, Indonesia merupakan negara dengan peserta didik terbesar keempat di dunia, lebih dari 50 juta murid dan empat juta guru. Namun sangat menantang untuk para pemain bisnis teknologi dalam memproduksi traksi dan monetisasi di tengah dominasi konsumen konvensional.

“Saat ini pengguna Ruangguru sendiri kurang lebih ada 2,5 juta pelajar dari seluruh Indonesia. Secara demografis pengguna Ruangguru ada di kota-kota besar, namun kami juga terus melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan di 27 provinsi dan ratusan kota dan kabupaten, serta organisasi pendidikan,” ujar Co-Founder & CEO Ruangguru Belva Devara.

Kerja sama strategis menjadi salah satu kunci Ruangguru untuk mengeksplorasi jangkauan pasar. Selain dengan pihak pemerintahan, beberapa perusahaan swasta pun turut dirangkul, salah satunya bersama LINE. Keduanya berkolaborasi mengembangkan portal pendidikan berbasis media sosial yang dikenal dengan LINE Academy. Penggunanya pun cukup signifikan, saat ini sudah mencapai 3 juta pelajar.

[Baca juga: #DScussion Co-Founder Ruangguru Iman Usman Berbicara Tantangan Menjalankan Startup Pendidikan di Indonesia]

Inovasi layanan juga menjadi poin kunci untuk bertahan di pasar digital pendidikan Indonesia, Belva mengatakan, “Kami terus mengembangkan produk-produk untuk mendukung kegiatan belajar. Yang teranyar rencananya akan kamu luncurkan menjelang tahun ajaran baru mendatang.”

Ragam layanan di portal Ruangguru yang ada saat ini / Ruangguru
Ragam layanan di portal Ruangguru yang ada saat ini / Ruangguru

Terus memperkuat keberadaan di pasar yang masih tergolong sepi

Kabar teranyar, pada tanggal 8 Mei 2017 lalu Ruangguru baru saja mengumumkan perolehan hibah dari Ecosystem Accelerator Innovation Fund dari Groupe Speciale Mobile Association (GSMA). Ruangguru menjadi salah satu dari beberapa startup terpilih di wilayah Afrika dan Asia untuk penerimaan sejumlah dana hibah, bantuan teknis, dan kesempatan untuk bermitra dengan operator seluler rekanan GSMA.

“Dengan hibah dari GSMA, Ruangguru mendanai peluncuran Marketplace for Personalized Education, di mana guru dan tutor dapat menyediakan konten dan siswa dapat mengakses konten tersebut secara cuma-cuma ataupun berbayar untuk konsultasi pelajaran. Hal ini masih dalam tahap persiapan, semoga dapat kami luncurkan secepatnya,” terang Belva.

Beradaptasi dengan tren teknologi konsumer terkini juga menjadi tuntutan. Ini juga yang dijadikan Ruangguru sebagai strategi menggaet pengguna.

Fungsionalitas aplikasi mobile di layanan Ruangguru / Ruangguru
Fungsionalitas aplikasi mobile di layanan Ruangguru / Ruangguru

“Melihat jumlah pengguna Ruangguru yang terus bertambah, terlihat bahwa layanan mobile untuk pelajar sangat diminati. Salah satu layanan mobile untuk pembelajaran yang sangat diminati dari produk kami adalah RuangLesOnline, yang memberikan akses pelajar kepada guru tutor online yang dapat menjawab pertanyaan mereka via aplikasi kami, atau tutoring online on-demand,” lanjut Belva.

[Baca juga: Daftar Startup Indonesia di Bidang Pendidikan]

Ruangguru melihat pangsa pasar edtech di Indonesia masih akan berkembang selama beberapa tahun ke depan. Pesatnya perkembangan teknologi dan minat pelajar akan teknologi terus bertumbuh memberikan peluang yang besar untuk bisnis edtech di Indonesia.

“Antusiasme tersebut juga dapat kita lihat dari kerja sama Ruangguru dan LINE Academy dalam Tryout UN yang diadakan pada Mei 2017 ini yang diikuti oleh 530.130 siswa, dari tingkatan SD, SMP, SMA, SMK, bahkan umum,” ujar Belva.

Terkait dengan rencana ekspansi, Ruangguru memilih untuk masih fokus di Indonesia saja. Menurutnya problematika pendidikan di Indonesia sangat beragam dan market size-nya sudah besar. Seiring dengan visi Ruangguru untuk menjadi penyedia layanan pendidikan berbasis teknologi nomor satu di Indonesia.

Dari sini dapat dipelajari, apa yang membuat Ruangguru tetap bertahan dan cenderung bertumbuh ada dua hal: inovasi berkelanjutan dan penguatan jalinan kerja sama.

Application Information Will Show Up Here

Hacktiv8 dan Solusi Menjawab Kebutuhan Tenaga Pengembang di Indonesia

Hari Jumat lalu (19/05), DailySocial mendapatkan kesempatan untuk menghadiri acara kelulusan batch kelima siswa Hacktiv8 Indonesia, program pendidikan atau pelatihan intensif selama 12 Minggu untuk mendidik siapa pun untuk mahir sebagai full-stack Javascript programmer.

Dalam kesempatan tersebut, 14 orang siswa yang dibagi menjadi beberapa tim, diminta memberikan presentasi di hadapan tamu undangan, yang berasal dari kalangan startup dan korporasi di Indonesia. Yang menarik dari kegiatan ini adalah kesempatan para siswa untuk secara langsung untuk memperlihatkan kemampuannya.

Kebanyakan siswa yang mendaftarkan diri di program Hacktiv8 adalah mereka yang telah menguasai pemrograman dan hal terkait. Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang berasal dari latar belakang pemasaran dan berniat untuk mempelajari lebih mendalam pair programming, HTML/CSS, JavaScript ES2016, Version Control, Database, Node JS & Express JS, React & Reduct, Test-Driven Development, Deployment & Scaling dan Engineering Empathy, yang menjadi topik yang diajarkan di Hacktiv8

Kepada DailySocial, Managing Director Hacktiv8 Ronald Ishak mengungkapkan acara kelulusan menjadi menarik untuk disimak, karena bisa dilihat secara langsung sejauh mana kemampuan dari masing-masing siswa terkait dengan kurikulum dan topik yang telah mereka pelajari, dibantu oleh mentor atau pengajar yang ada.

We just want to share the world kalau orang yang sebelumnya ‘buta’ programming bisa jadi programmer dalam waktu 12 minggu,” kata Ronald.

Makin besarnya kebutuhan startup dan perusahaan teknologi akan tenaga pengembang di Indonesia, menjadi sasaran utama lulusan program ini.

Aplikasi menarik yang telah tervalidasi

Lulusan batch 5 Hactiv8
Lulusan batch 5 Hacktiv8

Salah satu aplikasi yang dipresentasikan adalah aplikasi travel itinerary yang bernama “Plan it now”. Selama kurang lebih 5-7 hari, masing-masing tim diminta untuk membuat aplikasi yang menarik dan berpotensi diminati target pengguna. Hal tersebut merupakan komitmen Hacktiv8 yang menugaskan pembuatan aplikasi yang baik dan memiliki impact kepada publik.

Sekilas aplikasi Plan it now yang dibuat siswa lulusan Hacktiv8 batch kelima serupa dengan Trip Advisor, namun memiliki tambahan agenda, peta, dan minat yang dikustomisasi untuk pengguna.

Startup Pendidikan Squline Fokus Tambah Pengguna Korporasi

Salah satu hal yang bisa dioptimalkan dari majunya teknologi digital dan internet dalam sepuluh tahun terakhir adalah pendidikan. Selain pendidikan formal yang bisa dilengkapi dengan pembelajaran jarak jauh banyak kursus-kursus online bermunculan. Salah satu kursus yang memanfaatkan teknologi digital dan internet dan terus tumbuh di Indonesia adalah Squline. Berdiri sejak tahun 2013 lalu Squline terus berbenah dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah pengguna bisa jadi satu alasan yang kuat untuk Squline memberikan inovasi di tahun ini.

Disampaikan salah satu pendiri Squline Tommy Yunus, pihaknya mengalami penambahan cukup signifikan untuk pengguna atau siswa di rentang usia di bawah 20 tahun di Q1 tahun ini. Angka ini meningkat dua kali lipat di banding periode sebelumnya. Ini menjadi sebuah tanda bahwa Squline mulai dilirik oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Sebelumnya pengguna Squline di dominasi oleh para profesional dengan rentang usia 20 – 30 tahun yang mencapai 70%.

Selain itu, masih dari penuturan Tommy, pengguna berbayar Squline yang menggunakan perangkat mobile meningkat menjadi 60% di Q1 2017. Ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa Squline menargetkan meluncurkan aplikasi mobile di tahun ini.

“Dalam tahun 2017 ini kami akan meluncurkan mobile apps agar pengguna aktif kami dapat semakin mudah mengatur jadwal belajar, membuka materi belajar dan berinteraksi dengan pengajar Squline dari smartphone mereka,” ujar Tommy.

Ketika disinggung mengenai fokus Squline di tahun ini, Tommy memaparkan pihaknya akan tetap fokus pada tiga jenis kursus yang sudah ada, yakni Bahasa Inggris, Mandarin, dan Jepang. Belum ada rencana untuk menambah produk baru. Hanya saja salah satu yang menjadi fokus Squline ada pada akuisisi pelanggan korporasi dan institusi pendidikan. Tercatat saat ini lembaga pendidikan POLTEKIP yang berada di bawah kementrian hukum dan HAM memanfaatkan Squline untuk para taruna. Dari penuturan Tommy saat ini Squline memiliki kurang lebih ada 20 klien B2B.

Selain pembelajaran online saat ini Squline juga memberikan program beasiswa bagi pengguna mereka untuk belajar ke luar negeri. Salah satu contohnya saat ini Squline sedang memberikan program beasiswa ke Beijing, Tiongkok, bekerja sama dengan BLCC (Beijing Language and Culture College).

Squline Optimalkan Strategi B2B untuk Pasarkan Layanannya

Startup pengembang layanan kursus online bahasa asing Squline terus berupaya mematangkan strategi ekspansi bisnisnya dengan menyasar sektor B2B (Business-to-Business). Kerja sama terbaru dijalin bersama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) untuk mematangkan kualitas pemahaman bahasa asing para Taruna di tempat tersebut. Pendekatan seperti ini dinilai efektif memicu penggunaan platform Squline secara lebih intensif.

“Kami melihat bahwa kebutuhan kemampuan bahasa asing di sisi swasta, institusi, dan pemerintahan terjadi peningkatan sangat besar setiap tahunnya. Sebagian besar dari mereka memilih belajar dengan cara yang kurang efektif karena terbentur oleh pekerjaan, atau tugas sehari-hari mereka,” ungkap CEO Squline Tomy Yunus.

Kerja sama berbasis B2B sendiri sudah dimulai hampir 4 tahun belakangan ini oleh Squline. Upaya ini telah berhasil membawakan  Squline lebih dari 1000 siswa yang belajar bahasa asing setiap harinya. Improvisasi juga terus dilakukan, salah satunya dengan dukungan guru asing profesional di bidang bahasa.

Tomy melanjutkan, “Menurut kami, ini merupakan peluang bagi Squline sebagai solusi belajar bahasa asing seara online dengan menawarkan kemudahan akses belajar dan felksibilitas jadwal belajar, tentunya dengan didukung oleh tenaga pengajar asing profesional. Oleh karena itu, mulai tahun ini kami aktif untuk melakukan ekspansi bisnis kami dengan menyasar segmen B2B.”

Menindaklanjuti kerja sama dengan Squline ini, Direktur Poltekip Dr. Suprapto menyampaikan, “Ke depannya seluruh taruna Poltekip akan dibekali dengan pelatihan bahasa asing terutama Bahasa Inggris. Pelatihan Bahasa Inggris berbasis online akan menjadi pilihan yang efektif mengingat jadwal kegiatan taruna yang cukup padat. Karena dengan pelatihan bahasa inggris berbasis online yang dipandu oleh guru profesional kegiatan akan berjalan lebih efektif dan efisien.”

Proses penandatanganan kerja sama Squline - Poltekip
Proses penandatanganan kerja sama Squline – Poltekip

Squline sendiri bisa dikatakan sebagai startup perintis kursus online belajar bahasa asing pertama di Indonesia, didirikan oleh Tomy Yunus dan Yohan Limerta pada tahun 2013. Saat ini ada tiga varian bahasa yang dapat dipelajari, yakni Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan Bahasa Jepang. Layanan yang diberikan mengombinasikan kelas interaktif tatap muka via video call dan konten pembelajaran multimedia.

Kelase Mobile Lab Dihadirkan untuk Bantu Sekolah di Pelosok Belajar TIK

Sebagai lanjutan dari kegiatan Microsoft Affordable Access Initiative Grant, Kelase mengadakan serangkaian kegiatan untuk mengoptimalkan implementasi teknologi digital dalam pendidikan. Sebelumnya dalam program Microsoft tersebut, Kelase mendapatkan pendanaan dan dukungan infrastruktur komputasi awan Microsoft Azure untuk mengembangkan layanan end-to-end solusi pembelajaran berbasis TIK (teknologi informasi dan komunikasi) agar dapat dinikmati oleh sekolah-sekolah di pelosok Indonesia.

Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Kelase bekerja sama dengan Microsoft Indonesia dan PT Trakindo Utama memberikan akses pembelajaran digital kepada sekolah di Merauke. Salah satu hasil inovasi yang diberikan berupa Kelase Mobile Lab, yakni sebuah paket perangkat TIK yang didesain untuk mudah dipindahkan dan digunakan di area yang tergolong sulit dijangkau.

“Kelase Mobile Lab dihadirkan untuk memberi akses kepada sekolah-sekolah di pelosok Indonesia untuk dapat menerapkan pembelajaran digital dengan lebih terjangkau dan mudah. Paket piranti TIK ini didesain untuk bisa berpindah dari satu kelas ke kelas lain, selain itu dengan adanya server kelas berikut aplikasi dan konten edukasi digital yang disertakan akan memudahkan siswa dan guru melakukan kolaborasi dan pembelajaran digital dengan koneksi internet yang minim,” ujar Winastwan Gora, Chief Operating Officer PT Edukasi Satu Nol Satu (Kelase).

Gora menuturkan, selain menyediakan Kelase Mobile Lab sebagai sarana belajar, pihaknya juga memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru dan siswa untuk mampu belajar secara efektif memanfaatkan TIK sebagai perangkat produktivitas belajar.

“Kami sangat senang dapat kembali mendukung kegiatan Kelase dengan memberikan akses pembelajaran digital. Bantuan piranti TIK ini kami harapkan dapat membantu proses pembelajaran di sekolah menjadi lebih kreatif dan kolaboratif. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya mendukung misi Microsoft untuk memberdayakan masyarakat dan organisasi, terutama di sektor pendidikan, sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di era transformasi digital saat ini,” sambut Corporate Affairs Director Microsoft Indonesia Ruben Hattari.

SDN Inpres Polder Merauke merupakan salah satu dari 40 Sekolah Dasar Negeri binaan Trakindo yang mendapatkan kesempatan untuk menerima suguhan tersebut dari Kelase.

“SDN Inpres Polder Merauke merupakan salah satu dari 40 Sekolah Dasar Negeri binaan Trakindo. Dalam menerapkan pembelajaran berbasis proyek sebagai bagian dari pelaksanaan program pendidikan berbasis karakter yang kami selenggarakan, SDN Inpres Polder ini menunjukkan kemajuan yang cukup baik. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar terpilihnya SDN Inpres Polder sebagai sekolah percontohan berbasis TIK oleh mitra kerja kami,” ungkap Chief Administration Officer PT Trakindo Utama Maria T. Kurniawati.

Application Information Will Show Up Here