Bagaimana Kehadiran SPAC dan “Dual Class Shares” Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek

Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.

Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.

Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.

“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.

Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.

Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.

“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”

Plus minus SPAC dan DCS

Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.

“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.

Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.

Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.

Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.

“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”

Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.

Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.

Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.

Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.

Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.

“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Discovering the Prospect of Securities Crowdfunding for Startup Ecosystem

OJK’s act to expand alternative capitals for SMEs from equity crowdfunding (ECF) to securities crowdfunding (SCF) should be appreciated as the previous regulation had many cracks that did not accommodate SMEs, which were most are yet to be a form of limited liability companies.

The detailed regulations are contained in POJK 57/2020 concerning Securities Offerings through Information Technology-Based Crowdfunding Services, replacing POJK 37/2018 which has a limited concern to stock-based crowdfunding services and Islamic stocks.

The regulation, which contains 13 chapters and 92 articles, contains the detail of licensing, business activities, obligations and prohibitions, reporting, practice of securities offering and trading, also sanctions.

The extension does not necessarily eliminate the presence of the ECF. Chairman of the Indonesian Association of Crowdfunding Services (ALUDI) Reza Avesena, who is also the Co-Founder and CEO of Santara, emphasized that the ECF function still exists and remains an alternative that can be of interest to publishers and investors.

“With SCF, organizers can issue securities not only based on equity but also based on debt or sharia-compliant stocks (will be referred to as sukuk). It is spelled on Article 91,” he explained to DailySocial.

Avesena explained that the issuance of sukuk has now adopted what is applied by the capital market regulator. The requirements used by the IDX for issuing sukuk, such as the role of DPS (Sharia Supervisory Board) or ASPM (Capital Market Sharia Expert) recommended by DSN MUI, the role of sharia custodian banks, and the role of KSEI as custodian.

Furthermore in this SCF service contains several important points:

A. Bidding duration: 12 months (one time or more)
B. Securities offered: Equity securities, debt securities, and sukuk
C. Bidding value: Up to IDR10 billion
D. Offer period (each offer): 45 days
E. Offer is null and void: If the minimum fund is yet to fulfill, the offer is null and void.
F. Equity Securities: It is prohibited to use more than 1 provider
G. EBUS (Debt Securities and/or Sukuk): It is prohibited to raise new funds through the LUD before the Issuer fulfills its obligations to investors (except for EBUS progressive offers)
H. Cancellation offer: Issuers can cancel offers of securities before the end of the offering period by paying a penalty to the operator

CORE Indonesia’s economist, Yusuf Rendy Manilet said that the presence of SCF is a positive step for the domestic capital market because it can increase the amount of raising funds from the capital market. In addition, SCF has deepened the variety of instruments in the capital market as there are many financing instruments that have not been fully explored.

“This is a good thing, especially for the small and medium enterprise sector which is often hampered by capital issues. The impact will certainly be in line with the government’s efforts to deepen ownership of domestic investors,” he explained as quoted from Bisnis.com.

Bank Permata’s VP Economist, Josua Pardede agreed on this. He said the emerging SCF will have a positive impact on the capital market in line with the increasing demand for shares from domestic investors. This is clearly visible as the increasingly limited impact of foreign investors’ entry and exit on stock movements.

“SCF will deepen the stock market and encourage the empowerment and corporatization of SMEs,” he said.

Sumber: Depositphotos.com
Source: Depositphotos.com

The story behind ECF to SCF

Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani said that OJK’s reason for issuing POJK 37/2018 was due to the regulator’s decision to issue an ECF that is yet to fully understand the coverage. After issuing the POJK, the association provides insights from venture capital, for example, mandatory convertibles (mandatory convertible bonds) count as equity. Meanwhile, in the capital market, it is still considered a loan as long as it’s not the due date.

The concept differences occur as the regulations in the capital market are stiffer in regards to the regulations at the Ministry of Law and Human Rights. Also, after the issuance of POJK 37, there’s still a crack which finally completed by OJK through POJK 57. He saw OJK’s concern to the insights from Amvesindo that securities such as bonds or KIK participation units could be secured.

“Instead of making a circular, OJK finally made POJK 57, which is embedded with POJK 37. Therefore, securities instruments with a more open characteristic can be crowdfunded, not just equity,” he said as contacted by DailySocial.

Sumber: Amvesindo
Source: Amvesindo

He continued, the thing about SCF is it can be a new breakthrough for the startup ecosystem because it can be an attractive medium for angel investors, VCs, or accelerators expecting to collaborate with SCF organizers and fund SMEs.

There are many possibilities, for example, creating a joint venture company that functions as a pool of funds with a more open characteristic to invest in companies that are included in the SCF platform. Next, to be empowered by the accelerator players for a class upgrade and enter the accelerator board on the IDX. It could also be an angel investor or VC who directly injects funds for these SMEs.

Venture capital that does not adhere to a growth mindset can also invest. The SME businesses that enter the SCF platform are curated, not haphazard, and have stronger business fundamentals than most technology startups oriented towards “burn money” strategies.

Growth mindset-oriented venture capital companies also present. The misconception that VC is only interested in entering technology startups can also be suppressed as they start to look into many sectors. These possibilities can occur because there is a wider range of investors involved.

In terms of regulations, OJK is being more strict for SCF players than p2p lending, which still finds fraudulent investment because some players are foreign and have no representative offices in Indonesia. In fact, OJK does not enforce any provisions for registered status, the operator must have a new license to operate.

The requirements to obtain a license are very serious, not limited to understanding the business model, but must be ISO 27001 and audited by a committee that is a member of the IDX. “Because this is a mini stock exchange for private investors, we have to be strict from the start.”

Upgrade to SCF

OJK recorded issuing four operating licenses to four companies until the end of last year. They are Santara, Bizhare, Crowddana, and LandX. In total, these four companies have raised IDR185 billion in funds.

Meanwhile, OJK has noted that there are 16 prospective operators still in the ECF licensing process and three prospective organizers in the SCF licensing process. Two of the three referred to are Santara and Bizhare. “It’s in the final stage, hopefully, it can be issued [permit] this February,” Avesena said.

Santara has prepared a number of plans, for instance, for the issuance of sukuk, it has obtained a recommendation regarding the TAS (Sharia Expert Team) from the MUI DSN. However, even if the permit has been issued, the company will not immediately focus on SCF this year as it has first chosen to focus on issuing ECF.

“Because the ECF business model is very mature in our internal. However, that does not mean we will not issue sukuk, it is more necessary to educate the market and the audience first.”

Bizhare’s Founder and CEO, Heinrich Vincent said to DailySocial that the company chose to transform into SCF, not a pivot, in order to develop a pre-existing business model.

“Indeed, it is intended to make it easier for the community, especially SME businesses, to obtain capital with a more diverse choice of schemes. To be able to support Indonesia’s economic development and open up wider employment opportunities.”

Sumber: Bizhare
Soure: Bizhare

He continued, Bizhare’s SME business that received funding through the ECF scheme will continue to run and the company alone delivers innovations for the category in this service product by releasing Secondary Market services which will be released in early February 2021.

This service is a strategy to increase the liquidity of the issuer’s shares, as well as an exit strategy for investors. In an official statement today (3/2), Heinrich explained the benefits of the Secondary Market for SME publishers, to buy back their shares in the Secondary Market, if there are investors who want to sell their shares.

This way, a mature financial service system will be democratized, such as the capital market, which was initially only accessible to the upper-middle class, now accessible to SMEs throughout Indonesia. Investors can conduct transactions (bidding) and offer (shares) safely and conveniently.

“Bizhare Secondary Market is available for publishers operating at least a year, have been registered with KSEI, and/or are in accordance with the resolution of the GMS of Issuers. The Secondary Market will be opened every 6 months with the Secondary Market opening for 10 working days,” Vincent said.

Vincent is optimistic that SCF will make it easier for SMEs to choose the type of funding that suits their preferences, whether it’s in stocks, bonds or sukuk. In terms of requirements, the issuers are not only for limited liability companies, but also for cooperatives, CVs, and so on.

“We’ll continue to provide stock offerings for an increasingly attractive and diverse array of SME businesses. Currently, Bizhare is opening funding for various businesses that can be invested starting from IDR 50,000 per share. We are optimistic that there will be many businesses of Indonesian youth to grow rapidly thanks to our services as SCF, therefore, the development of Indonesian economy will be even more extraordinary.”

Bizhare is targeting more than 200-300 UKM to open funding through Bizhare this year. In terms of investor, the total investment value is expected to grow between 5-10 times. This target is to achieve with company innovation not only through expanding services to SCF but also additional types of businesses besides SMEs and franchisees, including technology startups.

“In terms of product, we will soon launch a new feature, it’s the business profile for prospective publishers can easily apply for funding and list their profile on Bizhare. In addition, the application for Android and iOS are targeted to launch this year.”

Vincent continued, “There are various strategic partnerships with various parties to be announced in the near future. In terms of funding, we’re to start discussing with various investors and VCs to join Series A funding by the end of 2021. ”

Massive education is necessary

The SCF market potential can be measured from the 60 million estimated number of MSMEs. In order to pursue this, ALUDI has a lot of homework to do. Industry optimism needs to be followed by massive education from all stakeholders in order to create a healthy ecosystem as the opportunities will get wider.

Avesena said financial literacy, integrity, legality, and understanding of the capital market have to be improved from an SME business perspective. Meanwhile, as the investors, literacy in understanding investment risk should be enhanced. It is considering each investment instrument has a different level of risk and level of understanding.

Another thing that needs to be upgraded is a public trust and lack of talent in the financial industry. Chamdani emphasized that in terms of educating investors, they should not be mistaken because this is a new investment instrument, such as stocks but not as liquid as stocks and the issuing company is relatively new.

“However, this is attractive because it contributes to SMEs, they have a fundraising route where banks or other financial institutions cannot be involved. That is an opportunity.”

He expects that if this instrument becomes more attractive to SMEs, the costs for listing securities in KSEI will be cheaper. Moreover, KSEI is currently promoting scriptless securities registration with ongoing system updates.

“KSEI’s potential could be a scriptless pattern for private companies to become a breakthrough, but the cost issue could be a burden on the platform, this becomes a concern.”

In terms of the perpetrators, Vincent said that the company prepares various programs every week to provide information about SCF online for investors. “We are actively working with the seller community, starting from the SME business community, seller marketplaces, and many others to educate business people in terms of strategies to develop their business through Bizhare funding,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Meneropong Prospek “Securities Crowdfunding” Bagi Ekosistem Startup

Langkah OJK memperluas alternatif pencarian dana buat UKM dari equity crowdfunding (ECF) menjadi securities crowdfunding (SCF) patut diapresiasi karena aturan sebelumnya punya banyak lubang yang belum mengakomodasi UKM yang mayoritas belum berbentuk Perseroan Terbatas.

Aturan sudah detil tertuang di POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi, menggantikan POJK 37/2018 yang semula hanya mengatur layanan crowdfunding berbasis saham dan saham syariah.

Beleid yang memuat 13 bab dan 92 pasal ini tersebut secara rinci bagaimana perizinan, kegiatan usaha, kewajiban dan larangan, pelaporan, praktek pelaksanaan penawaran dan perdagangan efek, hingga sanksi.

Perluasan ini tak lantas menghapuskan kehadiran ECF. Ketua Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Reza Avesena, yang juga merupakan Co-Founder dan CEO Santara, menegaskan bahwa fungsi ECF masih tetap ada dan tetap menjadi alternatif yang bisa diminati oleh penerbit maupun pemodal.

“Dengan SCF, penyelenggara bisa menerbitkan efek tidak hanya berbasis equity, namun juga berbasis utang atau sukuk. Bisa dilihat dari Pasal 91,” terangnya kepada DailySocial.

Reza juga menerangkan penerbitan sukuk kini mengadopsi apa yang diterapkan oleh regulator pasar modal. Instrumen persyaratan yang digunakan BEI untuk penerbitan sukuk, seperti peranan DPS (Dewan Pengawas Syariah) atau ASPM (Ahli Syariah Pasar Modal) yang direkomendasikan oleh DSN MUI, peran bank kustodian syariah, dan peran KSEI sebagai kustodian.

Lebih jauh dalam layanan SCF ini memuat beberapa poin penting:

A. Jangka waktu penawaran : 12 bulan (1 kali atau beberapa kali penawaran)
B. Efek yang ditawarkan : Efek bersifat ekuitas, efek bersifat utang, dan sukuk
C. Nilai penawaran : Maks Rp10 miliar
D. Masa penawaran (tiap penawaran ) : 45 hari
E. Penawaran batal demi hukum : Jika minimum dana tidak terpenuhi, penawaran batal demi hukum.
F. Efek bersifat ekuitas : Dilarang menggunakan lebih dari 1 penyelenggara
G. EBUS (Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk) : Dilarang melakukan penghimpunan dana baru melalui LUD sebelum Penerbit memenuhi kewajibannya kepada pemodal (kecuali untuk penawaran EBUS secara bertahap)
H. Pembatalan penawaran : Penerbit dapat membatalkan penawaran efek sebelum berakhirnya masa penawaran dengan membayar denda kepada penyelenggara

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kehadiran SCF merupakah langkah positif untuk pasar modal domestik karena dapat memperbesar jumlah penghimpunan dana dari pasar modal. Selain itu, SCF semakin memperdalam variasi instrumen yang ada di pasar modal sebab dinilai masih banyak instrumen pembiayaan yang belum tergali secara maksimal.

“Ini merupakan hal yang bagus, terutama untuk sektor usaha kecil menengah yang kerap terganjal masalah permodalan. Dampaknya juga tentu akan sejalan dengan upaya pemerintah memperdalam kepemilikan investor domestik,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

VP Economist Bank Permata Josua Pardede berpendapat sama. Menurutnya kemunculan SCF akan berimbas positif bagi pasar modal seiring meningkatnya permintaan saham dari investor domestik. Hal tersebut terlihat dari semakin terbatasnya dampak keluar masuk investor asing dalam pergerakan saham.

“SCF akan meningkatkan pendalaman pasar saham serta mendorong pemberdayaan dan korporatisasi UKM,” ujarnya.

Sumber: Depositphotos.com
Sumber: Depositphotos.com

Cerita awal ECF menjadi SCF

Ketua Amvesindo Edward Chamdani menceritakan asal mula OJK menerbitkan POJK 37/2018 karena adanya keinginan regulator untuk menerbitkan ECF tapi belum mengerti untuk area apa saja. Setelah menerbitkan POJK, asosiasi memberikan masukan dari sisi modal ventura, misalnya mandatory convertible (obligasi wajib konversi) terhitung sebagai ekuitas. Sementara, di pasar modal masih dianggap pinjaman selama belum jatuh tempo.

Perbedaan konsep ini terjadi karena peraturan di pasar modal yang lebih kaku karena berkaitan dengan peraturan di Kemenkumham. Pun, setelah POJK 37 diterbitkan masih ada lubang yang akhirnya dilengkapi OJK melalui POJK 57. Dia melihat OJK memperhatikan masukan dari Amvesindo bahwa efek seperti obligasi atau unit penyertaan KIK dapat disekuritaskan.

“Daripada buat surat edaran, akhirnya OJK membuat POJK 57 yang isinya sudah embedded dengan POJK 37. Jadi instrumen-instrumen efek yang sifanya lebih open bisa di-crowdfunding-kan, enggak sebatas ekuitas saja,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.

 

Sumber: Amvesindo
Sumber: Amvesindo

Dia melanjutkan, menariknya SCF dapat menjadi suatu gebrakan baru buat ekosistem startup karena bisa menjadi medium menarik buat angel investor, VC, atau accelerator yang ingin bekerja sama dengan penyelenggara SCF dan mendanai UKM.

Banyak kemungkinan yang kemungkinan bisa terjadi, misalnya membuat perusahaan patungan sendiri yang berfungsi untuk pool of fund dengan sifat lebih open untuk berinvestasi ke perusahaan yang masuk ke dalam platform SCF. Lalu dibina para pemain akselerator untuk naik kelas hingga bisa masuk ke papan akselerasi di BEI. Bisa juga angel investor atau VC yang langsung menyuntikkan dananya untuk para UKM tersebut.

Modal ventura yang tidak menganut growth mindset juga dapat ikut mendanai. Bisnis UKM yang masuk ke dalam platform SCF sudah dikurasi, tidak sembarangan, dan punya fundamental bisnis yang lebih kuat daripada kebanyakan startup teknologi yang berorientasi pada strategi “bakar duit”.

Perusahaan modal ventura yang berorientasi growth mindset juga ikut masuk. Miskonsepsi mengenai VC hanya tertarik masuk ke startup teknologi juga dapat diredam karena mereka mulai melirik ke banyak sektor. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat terjadi karena ranah investor yang dijangkau jauh lebih luas.

Dari sisi regulasi, OJK jauh lebih ketat untuk pemain SCF ketimbang di p2p lending yang masih ditemukan investasi bodong karena kebanyakan pemain datang dari luar negeri dan tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Di sini, OJK tidak memberlakukan ketentuan status terdaftar, penyelenggara harus berstatus berizin baru boleh beroperasi.

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat izin juga tidak main-main, tidak sebatas paham dengan model bisnis saja, tapi harus ISO 27001 dan diaudit oleh komite yang menjadi salah satu member di BEI. “Karena ini jadi mini bursa untuk private investor jadi mau enggak mau harus strict dari awal.”

Upgrade ke SCF

OJK mencatat hingga akhir tahun kemarin, telah mengeluarkan empat izin penyelenggara kepada empat perusahaan. Mereka adalah Santara, Bizhare, Crowddana, dan LandX. Secara kumulatif, keempat perusahaan ini telah menghimpun dana sebesar Rp185 miliar.

Sementara itu, OJK mendata ada 16 calon penyelenggara yang masih dalam proses perizinan ECF dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan SCF. Dua dari tiga penyelenggara yang dimaksud adalah Santara dan Bizhare. “Sudah tahap final, harapannya bisa release [izinnya] pada Februari ini,” sebut Reza.

Santara telah menyiapkan sejumlah rencana, misalnya untuk penerbitan sukuk sudah mengantongi rekomendasi terkait TAS (Tim Ahli Syariah) dari DSN MUI. Akan tetapi, jika izin sudah terbit pun perusahaan belum langsung menyeriusi SCF pada tahun ini karena memilih untuk fokus pada penerbitan ECF.

“Karena di ECF bisnis model tersebut sudah sangat matang di internal kami. Tapi bukan berarti kami tidak akan menerbitkan sukuk, namun lebih perlu untuk edukasi market, audience terlebih dahulu.”

Kepada DailySocial, Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, perusahaan memilih bertransformasi menjadi SCF, bukan pivot, dalam rangka  pengembangan model bisnis yang sudah ada sebelumnya.

“Tentunya ditujukan untuk lebih mempermudah bagi masyarakat, khususnya pelaku bisnis UKM, untuk memperoleh permodalan dengan pilihan skema yang lebih beragam. Untuk dapat mendukung perkembangan ekonomi Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi.”

Sumber: Bizhare
Sumber: Bizhare

Ia melanjutkan, bisnis UKM di Bizhare yang sudah mendapatkan pendanaan melalui skema ECF akan terus berjalan dan perusahaan sendiri melahirkan inovasi untuk kategori di produk layanan ini dengan merilis layanan Pasar Sekunder yang dirilis pada awal Februari 2021.

Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Dalam keterangan resmi pada hari ini (3/2), Heinrich menjelaskan manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.

Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.

“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.

Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.

“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”

Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menargetkan lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai dengan inovasi perusahaan tidak hanya melalui perluasan layanan ke SCF, juga rencana penambahan jenis bisnis lainnya selain UKM dan franchise, seperti pendanaan untuk startup teknologi.

“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini.”

Vincent melanjutkan, “Ada berbagai kerja sama strategis dengan berbagai pihak yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Dalam hal pendanaan, kami rencananya akan membuka diskusi dengan berbagai investor dan VC untuk bergabung pada pendanaan Seri A di akhir 2021 ini.”

Butuh edukasi masif

Potensi pasar SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah. Optimisme industri perlu dibarengi dengan edukasi masif dari seluruh stakeholder agar ekosistem jauh lebih sehat karena peluang ke depannya akan jauh lebih luas.

Reza menuturkan dari sisi pebisnis UKM perlu ditingkatkan tentang literasi keuangan, integritas, legalitas, serta pemahaman tentang pasar modal. Sementara dari sisi pemodal, literasi tentang pemahaman risiko investasi juga perlu ditingkatkan. Mengingat, tiap instrumen investasi punya tingkat risiko dan tingkat pemahaman yang berbeda.

Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah menjaga kepercayaan publik dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan. Edward turut menekankan dalam hal edukasi kepada investor agar tidak salah kaprah karena instrumen investasi ini masih baru, seperti saham tapi tidak selikuid saham dan perusahaan penerbitnya tergolong muda.

“Tapi ini menarik karena memberikan kontribusi kepada UKM, mereka punya jalur penggalangan dana yang di mana perbankan atau institusi keuangan lainnya yang tidak bisa dimasuki. Celah tersebut yang bisa dimanfaatkan.”

Dia berharap bila instrumen ini semakin diminati UKM, maka ongkos untuk pencatatan efek di KSEI dapat lebih murah. Terlebih, KSEI saat ini sedang menggalakkan pencatatan efek tanpa skrip (scriptless) dengan pembaruan sistem yang masih dilakukan.

“Potensi KSEI bisa dengan pola scriptless untuk private company menjadi breakthrough, tapi isu cost ini bisa membebani platform, ini yang perlu diperhatikan.”

Dari sisi pelaku sendiri, Vincent menuturkan perusahaan setiap minggunya meracik berbagai program untuk memberikan informasi mengenai SCF secara daring untuk investor. “Kami juga aktif bekerja sama dengan komunitas penjual, mulai dari komunitas pelaku bisnis UMKM, seller marketplace, dan banyak lainnya untuk mengedukasi pelaku bisnis dalam hal strategi mengembangkan bisnis mereka melalui pendanaan Bizhare,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com

Bagaimana “Venture Debt” Membantu Startup Indonesia

Kini sangat lumrah jika startup mendapatkan pendanaan dari modal ventura melalui pendanaan ekuitas (equity financing). Founder menjual sebagian saham setelah dihitung valuasinya oleh investor untuk mendapatkan dana yang mendukung pengembangan bisnis.

Nilai minus dari pendanaan ekuitas adalah potensi kepemilikan founder yang semakin terdelusi bila sering menggalang pendanaan. Alih-alih bisa mengontrol perusahaan, founder harus rela untuk dikontrol para investor yang telah menguasai saham mayoritas. Bila kinerja tidak sesuai ekspektasi, ia siap-siap harus didepak.

Sebenarnya ada metode lain untuk mendapatkan pendanaan, dan telah diatur OJK, yakni bagi hasil dan obligasi konversi.

Di luar negeri dengan ekosistem perusahaan teknologi sudah dewasa, seperti Amerika Serikat, Eropa, bahkan India, sebenarnya lebih awal dikenal konsep venture debt (utang ventura). Kehadirannya disebabkan kebutuhan pasar pada saat itu.

Cara kerjanya kurang lebih mirip dengan pembiayaan dari bank. Founder mendapat kredit dan harus dikembalikan dengan tenor dan kupon yang sudah disepakati berdasarkan profil risiko perusahaan.

Sejumlah perusahaan teknologi penting pernah terbantu lewat venture debt, seperti Airbnb dan Uber. Sebetulnya, apa itu venture debt? Lalu seperti apa potensinya buat startup Indonesia?

Mengenal venture debt

DailySocial meminta pandangan secara umum mengenai venture debt dari MDI Ventures yang diwakili Kenneth Li dan Aldi Adrian. Aldi menjelaskan venture debt umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas. Sangat riskan buat firma venture debt masuk sendiri.

Dengan demikian, founder akan memiliki runway yang lebih panjang untuk ekspansi bisnis tanpa sahamnya banyak terdelusi. Dia mencontohkan, ketika startup X ingin menggalang pendanaan dengan hitungan valuasi hanya bisa dapat sekitar $5 juta-$10 juta.

Tapi dengan tambahan venture debt, ada tambahan $5 juta untuk dikembalikan dalam satu atau dua tahun, artinya startup tersebut akan punya landasan lebih panjang. “Ada ekspektasi dari performa dan traksi startup bisa jauh lebih tinggi valuasinya tanpa harus galang dana lagi di tengah jalan.”

Kombinasi antara dana yang masuk, berupa ekuitas dan venture debt, akan membuat founder jadi lebih nyaman karena mereka tidak harus melepas saham lebih banyak. Mereka tetap akan mengontrol perusahaan.

“Jika founder tidak mau give up equity, bisa ambil venture debt karena kan kalau sudah kasih equity tidak bisa diambil lagi, beda dengan venture debt,” tambah Kenneth.

Aldi melanjutkan, kecenderungan venture debt itu dana digunakan untuk modal kerja, bukan untuk disalurkan lagi sebagai disbursement, atau disebut loan channeling, kendati metode ini sebenarnya juga bisa dipakai venture debt.

Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial
Umumnya venture debt masuk berbarengan dengan equity financing / DailySocial

Pernyataan ini sekaligus meluruskan debt financing (pembiayaan utang) yang didapat Kredivo. Startup fintech lending ini memperoleh debt financing dari firma venture debt Partners for Growth (PFG) sebesar $20 juta. Dana sepenuhnya disalurkan lagi sebagai pinjaman ke konsumen melalui lini produk Kredivo.

Kredivo memisahkan kantong pendanaan bisnis menjadi dua. Pertama adalah pendanaan ekuitas dari VC untuk membiayai seluruh pengeluaran operasional dan mendukung pertumbuhan perusahaan.

“Yang kedua yaitu pendanaan lini kredit (debt line) yang berasal dari institusi keuangan seperti bank atau firma pembiayaan seperti PFG. Kami gunakan sepenuhnya untuk penyaluran pinjaman kepada konsumen melalui beberapa lini produk pembiayaan: e-commerce, pinjaman tunai, dan offline,” ujar Head of Marketing Kredivo Indina Andamari.

Dia beralasan, pemisahan ini sebatas praktik bisnis dan pengelolaan dana yang dianggap sehat bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan. “Kami akan terus menerapkan ini untuk seterusnya. Keduanya sangat krusial bagi bisnis kami.”

Venture debt ini tidak jauh berbeda dengan pembiayaan dari bank. Ada tenor dan kupon yang secara bulanan harus rutin dibayar startup. Perkiraan tenor cukup pendek, ada yang satu sampai dua tahun.

Namun, menurut Kenneth, kupon bisa dipastikan lebih rendah dari bank karena umumnya investor menawarkan opsi waran (warrant). Utang tersebut bisa dikonversi menjadi saham menjelang jatuh tempo atau saat startup menggalang pendanaan baru.

Ada investor yang menjadikan waran sebagai opsi, tapi ada juga yang dikunci pasti jadi saham. Itu kembali ke kewenangan masing-masing. Opsi waran inilah poin utama yang membedakan venture debt dengan convertible notes. Convertible notes pasti dikonversi menjadi saham.

“Kalau ternyata di tengah jalan startup-nya kurang menarik bila dikonversi, akhirnya tinggal balikin seperti biasa saja uangnya tiap bulan.”

Tidak ada ketentuan nominal dalam venture debt. Jadi tidak ada istilah Seri A, B, dan seterusnya. Besaran dana akan diberikan sesuai kebutuhan startup, tentunya setelah investor mengukur profil risikonya.

Pemain venture debt ini, sebenarnya tidak hanya datang dari firma venture debt. Bank juga turut berpartisipasi. Di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) disebut-sebut sebagai pionirnya. Selain itu ada juga Comerica Bank, Bridge Bank, Pacific Western Bank, dan Square 1 Bank.

Sementara itu, yang berasal dari firma adalah Western Technology Investment (WTI), Triplepoint Capital, Hercules Technology, Lighthouse Capital, Pinnacle Ventures, Horizon Ventures, dan masih banyak lagi.

Di Asia Tenggara, ada Genesis Alternative Ventures, InnoVen Capital, dan DBS yang semuanya beroperasi di Singapura.

Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial
Perbedaan tingkat toleransi risiko investasi dari tiap investor / DailySocial

Perbedaan antara keduanya adalah profil risiko dan pengembalian masing-masing. Bank selalu menjadi investor dengan bentuk pembiayaan termurah, tapi jarang mengambil risiko yang signifikan. Kerugian terbesar yang mereka estimasi hanya 1%-1,5% dari tiap portofolio.

Bagi firma venture debt, term sheet mereka sering disamakan dengan bank, tapi ini dianggap kurang tepat. Mereka ini lebih dikategorikan sebagai versi hibrida antara pembiayaan bank dan VC.

Sumber dana para firma bermacam-macam, termasuk mengambil dari bank, seperti halnya Partners for Growth, salah satu mitra strategis SVB.

InnoVen sendiri sebelumnya bernama SVB India Finance, yang merupakan bagian dari SVB. Ia beroperasi sejak 2008 dan tercatat mengucurkan lebih dari 75 pinjaman ke 50 perusahaan di India senilai $110 juta per tahun 2015. SVB India dibeli Temasek Holdings di 2015, sekaligus menandakan masuknya Temasek ke pasar venture debt.

Perkembangan venture debt secara global

Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial
Pangsa pasar venture debt dan venture capital di AS / DailySocial

Ada survei menarik yang dirilis Kruze Consulting (Agustus 2019). Mereka memaparkan, 85% responden yang mewakili pasar venture debt di Amerika Serikat menyatakan telah menyalurkan $23 miliar pinjaman (Rp325,7 triliun) secara akumulatif selama tiga tahun terakhir.

Diestimasi tahun ini saja penyalurannya menjadi $10 miliar (Rp141,6 triliun)  atau tumbuh 20% dari pencapaian di 2018.

Di India, meski tidak sebesar Negeri Paman Sam, perkembangan venture debt cukup pesat sesuai dengan kondisi startup di sana. Kehadiran firma seperti InnoVen Capita, Trifecta Capital, Alteria Capital, dan investor individu seperti Sachin Bansal dan Binny Bansal (Co-Founder Flipkart) turut berkontribusi meramaikan pasar ini.

Menurut riset YourStory Research, venture debt yang tersalurkan di India tahun 2017 adalah $1,2 miliar (Rp16,9 triliun) dengan 47 pinjaman. Tahun berikutnya naik jadi $1,4 miliar (Rp19,8 triliun) dengan 62 pinjaman. Lalu pada tujuh bulan pertama di 2019 ini, jumlahnya mencapai $547 juta (Rp7,7 triliun) dengan 35 pinjaman.

Nama-nama startup yang mengambil venture debt di antaranya Ninjacar, Bigbasket, UrbanLadder, Bounce, dan Oyo. Yang terakhir ini sudah berekspansi ke Indonesia.

Venture debt yang berhasil tergantung pada pendanaan ekuitas. Yang punya banyak pemainnya di India. Dana VC yang fokus di sini cukup kering, ada $3-$4 miliar pada satu titik, akan masuk pada dua sampai tiga tahun ke depan. Bagi venture debt, yang penting startup harus tetap punya kinerja baik agar terus menarik modal, di mana itu sudah tersedia,” ucap Managing Partner Alteria Capital Vinod Murali.

Sementara itu, di Asia Tenggara tepatnya di Singapura, venture debt baru ramai sejak 2015 pasca Temasek mengambil SVB India Finance dan di-rebrand menjadi InnoVen Capital. Mereka beroperasi di tiga negara, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Sebanyak 190 pinjaman telah mereka kucurkan untuk 170 perusahaan.

Rinciannya, 26 startup di Tiongkok, 24 startup di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 startup di India. Di Asia Tenggara, InnoVen telah berinvestasi untuk Pomelo, Face, Tabsquare, Akulaku, Kargo, RedDoorz, Sorabel, Sepulsa (rebrand jadi Alterra), Wego, Tada, Zuzu, dan lainnya.

Sementara Genesis Alternative Ventures, yang berdiri pada 2018, diprakarsai konglomerasi Sasson Investment Corporation dan Bank CIMB Niaga untuk mendukung debut Genesis di Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah potensinya sama seperti negara lain?

Kepada DailySocial, Co-Founder and Partner Genesis Martin Tang mengatakan, “Kami melihat founder startup Indonesia sangat savvy dan mulai sadar perlunya mempertahankan saham mereka selama mungkin. Venture debt adalah sumber modal yang dapat membantu startup perpanjang runway atau mendanai modal kerja dengan dilusi ekuitas yang lebih rendah.”

Dia melanjutkan, di luar Indonesia, venture debt lebih banyak digunakan karena ketersediaan yang lebih luas. Genesis secara aktif mulai mendanai startup lokal bersama Bank CIMB Niaga, sekaligus menandai debutnya di sini.

Untuk komitmen awal, kedua belah pihak bersama menyiapkan dana venture debt sebesar Rp300 miliar untuk disalurkan. Martin masih enggan membeberkan nama-nama startup yang akan menerima kucuran dana. Dia hanya menyebutkan ada beberapa yang sudah dalam pipeline.

“Kami memandang market startup Indonesia sangat menarik, terlihat dari banyaknya pengusaha lokal yang berkualitas tinggi dengan populasi yang besar untuk dilayani.”

Associate Director InnoVen Capital Paul Ong menambahkan, venture debt punya korelasi erat dengan jumlah investasi yang mengalir ke negara manapun. Di Indonesia sendiri, ekosistem startup telah tumbuh dan matang dalam lima tahun terakhir.

“Dengan semakin banyak founder berada di titik sukses, mereka mulai sadar akan mengurangi kepemilikan saham untuk melindungi kekayaan pribadi. Venture debt bisa bantu itu dengan menyediakan dana yang lebih murah dan less dilutive buat perusahaan mempercepat pertumbuhan.”

Paul mengonfirmasi bahwa InnoVen belum melakukan debut di Indonesia, apalagi menyediakan dana khusus. Pihaknya baru menyediakan pendanaan untuk startup melalui entitasnya di Singapura.

Untung rugi buat startup dan investor

Konsep pendanaan ini terdengar memang menarik karena founder tetap bisa menjaga sahamnya tidak terdilusi. Dikutip dari laman Kauffman Fellows, modal tambahan yang diberikan lewat venture debt memungkinkan startup untuk mencapai lebih banyak kemajuan sebelum menuju pendanaan berikutnya atau meningkatkan kepastian untuk pencapaian tertentu, sambil meminimalkan dilusi yang akan terjadi dengan mengamankan modal tambahan pada putaran sebelumnya.

Contoh nyatanya, sebuah startup SaaS menerima venture debt sebesar $1,25 juta untuk meningkatkan angka penjualan. Ongkos dari pembiayaan ini adalah $250 ribu dalam bentuk bunga dan waran yang mewakili 0,79% saham perusahaan.

Jika mencari pendanaan ekuitas pada putaran ini, founder harus merelakan 10,7% saham dimiliki investor baru dengan nilai yang sama. Dengan venture debt ini, founder dapat menghemat saham yang signifikan hampir 10%. 22 bulan setelah pembiayaan, perusahaan dibeli dengan kelipatan signifikan dari valuasi terakhir.

Bagi founder, mempertahankan kontrolnya terhadap perusahaan bukan hanya tentang memaksimalkan kekuasaan, melainkan pada cara mempertahankan kontrol atas strategi dan operasi. Saham itu sangat berharga. Menyerahkannya untuk memenuhi peluang jangka pendek, padahal bisa didanai lewat utang, belum tentu menjadi cara terbaik dalam menjalankan bisnis.

Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial
Pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum mengambil pendanaan venture debt / DailySocial

Di sisi lain, tidak semua startup tepat untuk memilih venture debt sebagai alternatif yang bisa dipilih. Meski kontradiktif, tapi inilah charm dari venture debt. Membatasi startup adalah salah satu cara investor mitigasi risiko.

Aldi menerangkan, startup yang biasanya dibidik investor venture debt adalah mereka yang sudah arus kas stabil, sudah mulai monetisasi, dan minimal sudah pernah menerima pendanaan Seri A. Bicara target konsumen, investor lebih suka yang bergerak di B2B untuk mendukung poin-poin di atas.

“Di Indonesia itu kebanyakan bergerak direct ke B2C, jadi untuk track monthly cashflow-nya agak challenging. Makanya investor itu lebih prefer ke B2B karena clear cari yang cashflow-nya jelas. Sehingga tidak ada spesifikasi bergerak di industri mana, tapi lebih ke cashflow-nya harus jelas.”

Venture debt kurang cocok apabila startup tersebut sering bakar uang, punya revenue stream bervariasi, tujuan penggunaan dana tidak jelas, dan pembayaran utang mencakup lebih dari 25% dari biaya operasional.

“Jangan sampai terima uang tapi enggak bisa balikinnya. Makanya ini lebih tepat buat startup yang sudah mature dan proven model bisnisnya. Bukan buat startup yang masih cari-cari model bisnis.”

Venture debt juga dapat menciptakan masalah di putaran ekuitas berikutnya. Investor baru harus setuju untuk membayar utang atau berinvestasi di bawah utang sebagai pilihan keduanya. Kedua situasi ini akan sulit diterima oleh investor baru karena umumnya mereka lebih sreg melihat modal yang disuntikkan langsung masuk ke perusahaan.

Segala kekurangan dan kelebihan ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan buat startup ketika ingin mengambil cara ini. Kenneth menyebut, tren venture debt ini masih sangat awal di Indonesia, sehingga bisa dikatakan belum banyak yang paham. Pemainnya yang terlihat jelas juga baru Genesis Alt Ventures bersama Bank CIMB Niaga.

“Di Asia Tenggara saja ini masih jadi challenging, apalagi di Indonesia. Akan tetapi mungkin ke depannya venture debt ini bakal punya porsi sendiri.”

Aldi ikut menimpali, “Mungkin sebenarnya investor sudah mengincar Indonesia tapi belum berani agresif karena opportunity-nya belum banyak yang sesuai dengan appetite mereka.”

Pernyataan Aldi dan Kenneth diperkuat Paul dan Martin. Paul menjelaskan, ada metrik yang dipakai dalam menyasar startup baru, di antaranya adalah bagaimana peluang pasarnya, keunggulan utama perusahaan, dan tim yang solid.

Selain itu, mereka juga melihat berapa banyak modal ekuitas yang telah dikumpulkan startup dan siapa saja investornya. “Kami agnostik secara sektor dan tahap [pendanaan], namun kami biasanya memberikan pinjaman kepada startup yang telah meningkatkan modal ekuitas dari investor institusional atau VC.”

Setelah startup menerima dana, InnoVen tidak mengatur bagaimana uang tersebut digunakan. Meskipun demikian peruntukkannya harus jelas, misalnya untuk belanja pemasaran, membuka kantor baru, mengembangkan produk, modal kerja, membeli lebih banyak inventaris, atau membuka gerai apabila mereka bergerak di bisnis brick and mortar.

Sepanjang perjalanan InnoVen, Paul mengklaim bahwa InnoVen berhasil menekan risiko gagal bayar (default rate) nol persen di Asia Tenggara. Kinerja ini akan tetap dipertahankan, setidaknya ditekan sampai di bawah 4% untuk jangka panjangnya.

“Perusahaan portofolio kami yang telah mampu bayar kembali pinjaman, kini terus tumbuh dalam langkah yang sehat dan terus menarik modal investasi baru.”

Genesis juga tidak berbeda. Martin mencari startup yang telah mendapat pendanaan setidaknya Seri A ke atas dengan proposisi bisnis yang nyata menuju keberlanjutan. Di samping itu, startup juga perlu memiliki unit economics yang kuat dan basis konsumen loyal untuk beli produk premiumnya, ini membuktikan ada margin kotor masuk ke pundi-pundi.

“Kami juga mencari startup yang memiliki strategi ‘bakar duit’ yang terkendali, sepadan dengan pertumbuhan dan margin kotor.”

Poin-poin di atas sangat ia tekankan sebagai faktor penentu kesuksesan buat firma venture debt saat menyalurkan dana.

Oleh karena itu, sebelum memilih opsi ini, Martin menyarankan agar founder memahami strategi ‘bakar uang’ mereka, siklus modal kerja, dan model bisnis, untuk memutuskan apakah memiliki utang akan membantu atau justru menghambat mereka.

Leverage (penggunaan aset dan sumber dana/source of funds) akan selalu baik jika digunakan dengan benar. Namun, ini atas dasar bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban utangnya,” tutur Martin.

Dalam mencari partner venture debt yang tepat, Paul mendorong founder untuk selalu bekerja dengan investor yang kredibel, punya pengalaman, dan selaras dengan rencana bisnis perusahaan. Tujuannya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap mengatur utang mereka secara optimal dan tidak melebihi dari yang seharusnya.

“Meski kami tidak memiliki fund life, kami mampu mendukung portofolio perusahaan kami dengan berbagai pinjaman pada berbagai tahap penggalangan dana, seiring perusahaan tersebut tumbuh.”

Debut venture debt di Indonesia

Sebenarnya di antara portofolio InnoVen di Asia Tenggara sudah muncul sejumlah startup Indonesia yang memanfaatkan dana utang ventura ini, seperti Akulaku, Alterra (dulu Sepulsa), RedDoorz, dan Sorabel.

Selain itu UangTeman di tahun 2017 mengumpulkan dana Seri A senilai $12 juta dalam bentuk utang dan ekuitas yang dipimpin K2 Venture Capital.

Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial
Perbandingan dasar antara venture debt dengan venture capital / DailySocial

DailySocial sudah berusaha untuk menghubungi Bank CIMB Niaga untuk menanyakan detail strategi mereka bawa masuk venture debt di Indonesia. Belum ada jawaban yang diberikan hingga tulisan ini dimuat.

Sebelumnya, saat peresmian nota kesepahaman dengan Genesis, Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan menjelaskan inisiatif terjun ke venture debt karena ingin mengisi kekosongan pendanaan di startup. Bahwa selain equity financing, startup juga butuh loan financing.

“Sebenarnya sasarannya mungkin startup yang sudah berjalan satu hingga dua tahun, namun sulit berkembang karena sulit dapat pendanaan,” katanya.

Segmen startup yang dibidik, tidak melulu berkaitan dengan startup yang bergerak di dunia teknologi. Mereka juga menyasar fesyen, kuliner, properti, transportasi, kesehatan, hingga manufaktur.

Di luar bank, sebenarnya ada pemain modal ventura lokal yang tertarik dan tengah mempersiapkan diri terjun ke venture debt. Mereka ialah Ideosource. Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan sebelum tutup tahun Ideosource berharap meresmikan bisnis barunya tersebut.

Riset sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Pertimbangan Ideosource terjun ke segmen ini karena Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi. Konsep investasi startup di Indonesia menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley.

Di sana, banyak produk yang dikembangkan dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas. Di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Oleh karena itu, banyak startup di sini yang lahir dan jadi besar karena berangkat dari masalah di pasar.

“Kalau fokus ke pasar, biasanya startup punya cashflow yang bagus karena product development-nya tidak lama dan bisa langsung dipasarkan. Efeknya rata-rata produknya butuh working capital, cashflow sudah bagus tapi belum ada yang bisa bantu karena belum bankable. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Bisnis barunya ini akan di bawah PT yang akan bertindak sebagai operating holding. Mereka akan memiliki akses ke investor institusi dengan model pembiayaan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Boediman, Managing Partner Ideosource].”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup binaan sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Dalam debutnya, Ideosource memilih usaha yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen awal menjadi fokus karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan potensi dapat berkolaborasi dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen B2B dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Konversi sahamnya berada di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Lantaran tujuan Ideosource yang ingin membangun ekosistem, setiap transaksi akan diarahkan ke pengambilan saham mayoritas. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama Ideosource yang melepas saham ketika ada investor baru masuk kini dianggap tidak lagi menarik. Alhasil, dia memilih untuk berinvestasi sekali untuk selamanya, agar menuju IPO dan membangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” pungkas Edward.

Ubah Fokus Bisnis, Ideosource Segera Garap “Venture Debt” Tahun Ini

Perusahaan modal ventura lokal Ideosource mengungkapkan sedang mempersiapkan unit bisnis terbarunya venture debt (utang ventura), karena melihat ada potensi yang belum tergarap baik di sini. Pengumuman ini sekaligus menandai pergeseran fokus pendanaan Ideosource dari berbasis ekuitas menjadi venture debt.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, venture debt cukup terkenal sebagai opsi pendanaan startup di Amerika Serikat, Eropa bahkan India, namun masih sangat baru di Indonesia.

Sebelum mantap di ranah barunya ini, Edward mengaku sudah melakukan riset mendalam sejak dua tahun lalu. Menurutnya, Indonesia punya kekosongan pendanaan di industri brick and mortar dan konvensional, tidak hanya di startup teknologi saja.

Konsep investasi startup di Indonesia juga menurutnya sedikit salah kaprah karena terlalu banyak mengaca di Silicon Valley. Di sana banyak pengembangan produk dengan proses yang lama dan membutuhkan tenaga engineer yang berkualitas.

Beda halnya di Indonesia, ekosistem seperti itu belum ada. Dampaknya, kebanyakan startup di sini lahir dan menjadi besar karena berangkat dari masalah di lapangan yang tidak butuh proses pengembangan yang lama dan bisa langsung dipasarkan.

Padahal, di luar itu ada banyak usaha yang sifatnya brick and mortar, sudah besar dan cashflow bagus, tapi tidak ada yang bisa bantu karena belum bankable. Kebutuhan pendanaan untuk bantu modal usaha tetap dibutuhkan.

Kementerian Indonesia punya banyak program pengembangan startup, dana yang dikucurkan bukan main besarnya. Namun, tidak banyak yang bisa memastikan bagaimana mereka bisa tetap beroperasi, dari dapat hibah, terima dana dari VC, sampai bankable, siapa yang bisa menjaminnya?. Ini yang menurutnya bisa dimasuki oleh venture debt dan project financing.

Perlu ditekankan di sini, venture debt adalah pembiayaan utang yang biasanya ada opsi waran untuk mengonversi utang menjadi saham. Tidak ada saham yang terdelusi dalam venture debt, kecuali ada kesepakatan waran. Sementara, project financing itu murni menyalurkan kredit.

“Bentuk growth-nya seperti startup, sudah pernah dapat seed atau angel investor dari teman dan keluarga untuk buat modal kerja. Penjualan sudah naik pelan-pelan, tapi sampai akhirnya stuck. Butuh inovasi baru, ini artinya butuh modal kerja lebih besar lagi. Di situ jadi switch spot buat venture debt masuk,” terang Edward.

Ideosource memanfaatkan lisensi yang dikantongi Dana Mandiri Sejahtera untuk bermain di segmen ini. Berdasarkan POJK No 35 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Usaha PMV, disebutkan venture debt adalah model dan mekanisme investasi yg berbeda dari penyertaan ekuitas. Untuk terjun ke sini, bisa memakai izin sebagai PMV atau Dana Ventura.

Ideosource sendiri belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan, termasuk harus menyetor modal minimal Rp50 miliar. Ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, mereka banyak menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun Dana Ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

Selain Dana Mandiri Sejahtera, dua PMV yang mengantongi izin Dana Ventura adalah Mandiri Capital dan Reliance Modal Ventura.

Reduplikasi seperti Ideosource Entertainment

Ideosource akan membuat anak usaha yang bertindak sebagai operating holding. Rencananya segera beroperasi menjelang akhir tahun ini. Nama badan usaha masih dirahasiakan rapat-rapat oleh Edward.

Nantinya holding ini yang akan memiliki akses ke investor institusi dari dalam dan luar negeri memakai berbagai sumber pembiayaan dan berbasis proyek, bukan pool of fund seperti yang dipakai VC kebanyakan.

Cara yang sama juga sudah dilakukan lewat Ideosource Entertainment (IDEO), arm VC khusus industri film. Ada fund khusus yang dibentuk untuk menyalurkan pembiayaan dinamai Ideosource Film Fund (IFF) menyasar investasi film & media, produksi film, platform media analytic, digital marketing, dan sebagainya.

“Semua value yang kita punya akan dimasukkan dan dikelola oleh holding secara asetnya. Konsep yang sama sebenarnya juga sudah diterapkan untuk pembiayaan di film, dikelola oleh pak Andi [Managing Partner Ideosource],” katanya.

Tentunya akan ada perbedaan value chain yang ingin diperkuat Ideosource lewat venture debt ini. Misalnya untuk mendanai usaha di manufaktur, apabila ingin berinovasi pasti butuh lisensi IP, produk turunan pun semakin banyak. Lambat laun, makin banyak partner yang bisa digandeng untuk membesarkannya.

“Nanti kita bekerja seperti konglomerasi, dari value chain punya banyak partner. Jadi holding ini seperti ecosystem builder.”

Sembari menunggu holding beroperasi, Ideosource menyiapkan inkubasi khusus startup yang dibina sebelum menerima venture debt. Mereka melakukan proof of concept dari model bisnisnya dan arah bisnisnya di pasar setelah diberi sejumlah pendanaan.

Setidaknya startup sudah beroperasi selama dua tahun, termasuk waktu menyusun ide awalnya. Segmennya bergerak di agrikultur, FMCG, dan fintech.

Dalam debutnya, Ideosource memilih segmen yang bergerak di fintech, infrastruktur, logistik, marketplace, perkebunan. Ketiga segmen di awal paling utamakan karena dianggap substansial dalam mendukung ekosistem awal yang ingin dibangun Ideosource.

Startup yang dibidik tidak melulu bergerak di teknologi, tapi juga konvensional dengan berpotensi dapat dikolaborasikan dengan teknologi. Edward menekankan, startup tersebut punya target konsumen b2b dan arus kas yang bagus. “Kalau pure tech, tapi cashflow bagus tetap bisa. Intinya asal ada cashflow.”

Nantinya, Ideosource menetapkan waran yang sudah dikunci sejak awal sebelum venture debt disuntikkan. Mereka tetap memosisikan diri sebagai VC, tapi ini semua sudah dirundingkan sebelumnya dengan startup dan masuk melalui venture debt. Akan tetapi konversi sahamnya di belakang menjelang tempo utang berakhir.

Pertimbangan yang dia ambil, lantaran tujuan Ideosource yang ingin bangun ekosistem, kemungkinan besar akan ambil saham mayoritas startup. “Tergantung value, hitungannya variasi. Tapi bisa sampai 50% [ambil saham] karena kita operating holding jadi mau bersama-sama dengan startup. Kita enggak akan ninggalin mereka.”

Menurutnya, konsep lama yang biasa Ideosource pakai lepas saham ketika investor masuk, kini dianggap tidak menarik lagi buat perusahaan. Alhasil, dia memilih untuk invest sekali untuk selamanya. Ujungnya menuju IPO bersama dan bangun ekosistem bersama.

“Kami akan stay seterusnya, jadi lebih cocok untuk masuk ke venture debt,” tutupnya.

Kiprah Ideosource sebagai VC bisa dikatakan cukup lama, sudah beroperasi sejak 2011. Sejumlah startup pernah masuk dalam portofolionya, yakni Touchten, Stockbit, Immobi, Jas Kapital, Orori, Female Daily, Bhinneka, Kapan Lagi Network, eFishery, dan masih banyak lagi.

Rencana Lazada Indonesia untuk Kanal Khusus Produk dari Marketplace Taobao

Sebagai layanan e-commerce yang sudah menjadi bagian dari Alibaba Group, pertengahan bulan September 2017 lalu Lazada Indonesia menghadirkan kanal khusus yang menjual produk murah dan beragam dari marketplace asal Tiongkok, Taobao. Selain di Lazada Indonesia, layanan khusus ini juga sudah hadir di Lazada Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Kepada DailySocial CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri mengungkapkan, layanan ini sengaja dihadirkan untuk merangkul lebih banyak lagi konsumen di Lazada Indonesia. Untuk koleksi sendiri cukup beragam, mulai dari fesyen, elektronik hingga aksesoris.

“50% assortment dari Koleksi Taobao adalah produk fesyen, diikuti produk elektronik dan aksesoris, peralatan olahraga, anak dan bayi kemudian produk home and living,” kata Alkatiri.

Pengiriman langsung dan bebas ongkos kirim

Untuk memastikan produk yang dipesan bisa segera tiba di rumah pembeli, proses pengantaran produk koleksi Taobao memakan waktu maksimal 14 hari, sejak konfirmasi transaksi diterima. Semua produk Koleksi Taobao langsung dikirimkan dari para penjual di Tiongkok ke salah satu hub Lazada Indonesia sebelum dikirimkan ke masing-masing konsumen dalam satu paket sekaligus.

“Dengan proses ini memberikan kemudahan bagi konsumen yang membeli berbagai macam barang dalam 1 transaksi. Karena konsumen cukup menerima satu paket berisikan berbagai macam barang tersebut, tidak perlu menunggu datangnya barang berkali-kali,” kata Alkatiri.

Hal tersebut diklaim Lazada Indonesia membedakan proses pengantaran saat ini yang dilakukan jika pembelian dalam jumlah banyak di penjual yang berbeda. Untuk pembayaran, Lazada Indonesia juga menyediakan pilihan COD (cash on delivery) di seluruh Indonesia.

Selain harga yang terjangkau dan pilihan terbilang besar jumlahnya, Lazada Indonesia memberikan layanan lebih berupa bebas ongkos kirim kepada pembeli, dengan berbelanja minimal Rp. 150,000.

“Target kita adalah untuk terus menjadi situs destinasi belanja online terlengkap dan terkemuka di Asia Tenggara dan Indonesia, dengan menghadirkan berbagai pilihan produk terbaik dengan harga yang terjangkau untuk menjawab keperluan masyarakat kita yang majemuk,” kata Alkatiri.

Tantangan baru untuk layanan e-commerce lokal

Sebelumnya DailySocial sempat menanyakan pendapat investor hingga pimpinan startup layanan e-commerce terkait dengan kehadiran Taobao di Lazada Indonesia. Semua pendapat tersebut mengerucut kepada tantangan hingga gangguan yang bakal di hadapi layanan e-commerce lokal di Indonesia.

Dengan harga yang murah, pilihan produk beragam dalam jumlah yang besar hingga pengiriman yang cepat, hingga bebas ongkos kirim, tentunya menjadi penawaran yang lebih kepada konsumen.

Seperti yang diungkapkan oleh Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani.

“Pasti akan berpengaruh karena akses seluruh merchant Taobao akan bisa di akses oleh konsumen Lazada. Jadi tergantung seberapa kuat Lazada bisa menaikkan online traffic dan reach-nya tentu akan berpengaruh terhadap layanan e-commerce lainnya. Apalagi kalau logistik (time to delivery) sudah makin cepat.”

Dengan strategi yang tepat dan lebih fokus kepada kualitas produk, menurut CEO Berrybenka Jason Lamuda bisa menjadi cara tepat untuk bisa bersaing dengan produk asal Tiongkok tersebut.

“Seperti kita ketahui, produk dari Tiongkok terkenal dengan murahnya karena mereka memproduksi barang dalam jumlah besar. Hal baiknya untuk Berrybenka, produk yang kita jual adalah pakaian yang sifatnya preferensi, bukan barang komoditas,” kata Jason.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Layanan E-commerce Lokal Menghadapi “Serangan” Produk Asal Tiongkok

Beberapa waktu yang lalu layanan e-commerce yang saat ini telah dimiliki  Alibaba, Lazada, meluncurkan kanal khusus Taobao untuk produk fesyen, elektronik hingga keperluan anak di situs dan aplikasi Lazada. Masuknya Taobao ke Indonesia melalui Lazada, telah membuka kesempatan merchant asal negara Tiongkok tersebut untuk menjual semua produknya dengan harga murah.

Taobao sendiri merupakan situs berbelanja yang didirikan Alibaba Group pada bulan Mei tahun 2003. Sebuah situs yang saat ini sudah menjadi salah satu main player untuk pasar elektronik komersial Tiongkok. Pada tahun 2011, Taobao telah dibagi menjadi 3 perusahaan berbeda, yaitu eTao, Taobao Mall, dan Taobao Marketplace.

Kehadiran Taobao di situs Lazada tentunya bukan menjadi hal yang mengejutkan. Masuknya Alibaba sebagai pemilik memungkinkan produk asal Tiongkok lebih mudah masuk ke Indonesia melalui Lazada. Dari pantauan DailySocial, produk yang masuk kebanyakan produk yang diminati penggemar belanja online di tanah air yang mencari harga murah dengan produk beragam asal negara Tiongkok.

DailySocial  mencoba melakukan konfirmasi ke Lazada Indonesia tentang rencana terhadap kanal Taobao ini ke depannya, namun belum mendapat balasan.

Bakal mengganggu layanan e-commerce lokal

Dengan lebih dari 760 juta produk yang terdaftar pada tahun 2013, Taobao marketplace menjadi yang paling banyak dikunjungi di Tiongkok.

Kehadiran layanan marketplace popular asal Tiongkok ini ternyata dipandang bakal memberikan efek yang cukup negatif kepada layanan e-commerce dan marketplace lokal, mengingat popularitas produk asal Tiongkok yang dikenal murah harganya dan memiliki pilihan yang sangat beragam.

Menurut CEO Berrybenka Jason Lamuda, untuk membedakan dan nantinya bisa tampil lebih unggul terhadap produk asal Tiongkok, diperlukan strategi yang cukup kuat, mulai dari kualitas hingga eksklusivitas. Agar nantinya secara organik, pembeli yang benar-benar mencari produk dengan kualitas terbaik, bisa memilih Berrybenka dengan berbagai produk yang dimiliki.

“Hadirnya produk asal Tiongkok dalam brand Taobao tentunya memberikan impact cukup besar bagi para pemain lokal atau UMKM secara keseluruhan. Seperti kita ketahui, produk dari Tiongkok terkenal dengan murahnya karena mereka memproduksi barang dalam jumlah besar. Hal baiknya untuk Berrybenka, produk yang kita jual adalah pakaian yang sifatnya preferensi, bukan barang komoditas,” kata Jason.

Berrybenka sendiri saat ini lebih mengarah kepada curated fashion. Produk yang dijual pun secara desain lebih eksklusif dan mengutamakan penjualan di channel  Berrybenka baik online maupun offline.

Mengambil pelajaran dari Amazon vs Flipkart di India

Dari sisi investor, apa yang telah dilakukan Lazada dengan menghadirkan merek popular asal Tiongkok Taobao bakal mengganggu industri e-commerce lokal nantinya.

Menurut Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani kepada DailySocial:

“Pasti akan berpengaruh karena akses seluruh merchant Taobao akan bisa di akses oleh konsumen Lazada. Jadi tergantung seberapa kuat Lazada bisa menaikkan online traffic dan reach-nya tentu akan berpengaruh terhadap layanan e-commerce lainnya. Apalagi kalau logistik (time to delivery) sudah makin cepat.”

Ditambahkan Chamdani, agar layanan e-commerce lokal bisa bersaing dan tampil lebih unggul dengan kehadiran brand asal Tiongkok ke Indonesia, bisa mengambil contoh apa yang sudah dilakukan Amazon India melawan Flipkart dan Snapdeal.

“Amazon fokus ke NPS (net promoter score) di mana layanan ke konsumen dibuat sebaik mungkin sehingga menjadi viral dengan sendirinya. Hal tersebut bisa menjadi salah satu strategi,” kata Chamdani.

Sudah menjadi hal yang “biasa”

Berbeda dengan Jason Lamuda dan Edward Chamdani, menurut Founder dan Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li, hadirnya produk asal Tiongkok Taobao melalui Lazada tidak akan berpengaruh kepada layanan e-commerce lokal dan UMKM di Indonesia. Selama ini sudah banyak layanan e-commerce dan marketplace yang menjual secara langsung produk asal Tiongkok tersebut melalui platform masing-masing.

“Sudah banyak barang asal Tiongkok masuk ke berbagai negara. Buat saya hal tersebut tidak memberikan pengaruh kepada layanan e-commerce dan marketplace seperti Lazada hingga Tokopedia yang menjual produk tersebut.”

Adrian Li bersama Convergence Ventures selama ini cukup aktif membawa investor asal Tiongkok masuk ke Indonesia untuk menjadi investor. Hadirnya Taobao melalui Lazada justru dipandang positif olehnya.

“Saya lihat bukan hanya layanan e-commerce dan marketplace besar saja di Indonesia yang memasok produk asal Tiongkok tersebut, bisnis UMKM juga banyak yang menjual produk tersebut,” kata Adrian.

Dukungan pemerintah dan kemudahan investor berinvestasi

Pada akhirnya kesuksesan layanan e-commerce lokal bakal terwujud dengan adanya dukungan pemerintah. Tidak hanya memberikan kejelasan soal aturan dan regulasi, namun juga dalam hal ekosistem permodalan yang harus ditingkatkan lagi.

“Peran pemerintah tentu tidak bisa dihilangkan karena same level playing field dibutuhkan juga. Dengan free import duty/custom untuk produk di bawah $100 ini saja sudah berpengaruh dari traffic pengiriman yang langsung meningkat,” kata Chamdani.

Ditambahkan Chamdani, saat ini banyak investor lokal tertarik untuk investasi ke layanan e-commerce maupun perusahaan digital di Indonesia, namun belum ada instrumen yang baku dan mudah bagi mereka untuk masuk.

Keleluasan untuk melakukan initial public offering (IPO) bagi startup lokal yang saat ini dinilai sudah mampu, menurut Chamdani, juga bisa mempengaruhi posisi layanan e-commerce lokal tampil lebih unggul dibandingkan dengan pemain asing. Meskipun sudah banyak startup lokal yang mengalami pertumbuhan secara cepat dan positif, namun belum banyak yang bisa go public.

Salah satu alasannya adalah peraturan yang mengharuskan perusahaan skala kecil dan menengah wajib memiliki aset minimal Rp100 miliar sebelum masuk bursa dan maksimal pendanaan yang dapat diperolehnya hanya Rp40 miliar. OJK akan membuka pintu bagi perusahaan atau startup dengan aset di bawah Rp50 miliar untuk melakukan penawaran saham perdananya.

“Saya melihat ada 2 startup lokal yang akan IPO tahun ini namun masih melalui jalur biasa. Banyak startup lainnya belum bisa masuk ke dalam kriteria bisa IPO seperti 2 startup tersebut. Tentu akan sulit memenuhi kriteria yang cukup berat dari sisi biaya, kesanggupan untuk profitable dalam waktu 1 tahun dan syarat lainnya,” kata Chamdani.

Pada akhirnya, untuk bisa bertahan menghadapi kompetisi yang makin sengit, layanan e-commerce lokal sudah harus bisa memberikan produk dengan kualitas yang lebih baik dan tentunya membina hubungan baik dengan konsumen.