Goola Dapatkan Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari Alpha JWC Ventures, Segera Terapkan Konsep “New Retail”

Alpha JWC Ventures hari ini (16/8) mengumumkan penggelontoran investasi kepada Goola, startup yang mengembangkan produk minuman tradisional. Nilainya mencapai $5 juta atau setara dengan 71 miliar Rupiah. Ada beragam produk minuman yang ditawarkan bisnis tersebut, mulai dari es doger, es kacang hijau dan aneka minuman lainnya. Menyasar kalangan muda, mereka mengusung konsep “grab-and-go” untuk pengemasan dan penyajian.

Goola didirikan pada tahun 2018 oleh dua orang founder, yakni Kevin Susanto dan Gibran Rakabuming. Gibran dikenal sebagai pengusaha kuliner yang juga putra pertama Presiden Joko Widodo. Saat ini mereka memiliki lima unit gerai di Jakarta, pasca pendanaan akan targetkan pengembangan 100 gerai hingga tahun 2020 – baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga.

“Goola tadinya didirikan sebagai bisnis kuliner konvensional, namun kami kemudian menyadari bahwa bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar jika kami mengubah cara bisnis kami dan mulai menggunakan teknologi dalam operasional sehari-hari,” ujar Kevin.

Segera terapkan konsep “new retail”

Selain penambahan gerai, dana investasi yang didapatkan juga akan difokuskan Goola untuk mengimplementasikan pendekatan new retail. Realisasinya ialah dalam pengembangan aplikasi – saat ini proses pengembangannya tengah berjalan di internal.

Aplikasi Goola akan didesain memaksimalkan pengalaman transaksi pelanggan melalui jalur online tanpa antrean, program loyalitas, dan lain-lain. Aplikasi ini juga akan membantu pengelola menganalisis pola konsumsi para pelanggan sehingga dapat terus memperbaiki layanan serta produk yang ditawarkan.

“Penggunaan teknologi adalah satu hal, tapi bagi saya, faktor terpenting tetaplah pada racikan minuman kami. Tantangan kami selanjutnya adalah bagaimana membawa Goola dan minuman lokal ini ke pecinta kuliner internasional,” ujar Gibran.

Kevin melanjutkan, “Jika nantinya ada kompetitor yang muncul, ini akan menjadi bukti validasi pangsa pasar yang kami tuju. Munculnya kompetitor juga sebenarnya akan mendorong kami untuk merealisasikan visi Goola lebih cepat karena mereka akan membantu kami mengedukasi masyarakat mengenai produk sejenis.”

Untuk bisnis dengan konsep serupa, sebelumnya Alpha JWC Ventures juga berinvestasi pada Kopi Kenangan. Prinsipnya sama, mereka akan mengembangkan pendekatan new retail dalam menjual produk minuman kopi kepada kalangan muda.

Interview Session with dahmakan Co-Founder & CEO on “Cloud Kitchen” and its Potential Business

The term “cloud kitchen” is getting popular as a new approach in the food cycle business. Digging further into the concept, DailySocial just had an interview with one of dahmakan Co-Founder, Jonathan Weins.

Entering the conversation, Jon told us the concept of cloud kitchen. He said, “Cloud kitchen is basically a restaurant designed for the delivery purpose only, it is to cut costs and design (packaging) ready stock food.”

Cloud kitchen providers mostly have no kiosk or exact building as common restaurants. However, they have different offers in terms of brand and products. A startup for cloud kitchen platform developer will serve as business middlemen between customers and kitchen stuff while providing delivery and transaction process.

A great opportunity in Southeast Asia

Jon explained one of the cloud kitchen signatures is advanced product innovation. Using a minimum capital, kitchen owners can brag for more distinct offers to minimize risks. Of the many potential and challenges, come various and high-quality menus. The kitchen partners compete for unique brands following the market share.

In South Asia’s market, the trend gains positive feedback. Along with the flexible access and instant process.

“In Europe. people prefer cooking at home than ordering food, whereas in Southeast Asia food delivery becomes a habit of the young generation in particular. They’re going to order food or having a takeaway,” he added.

Getting deeper into the issue through what happened in Indonesia, this model been mushrooming since on-demand services arrived. Some areas provide delivery order via GoFood or GrabFood without dine-in options.

Besides cloud kitchen as a business, it is to create opportunities for SMEs and housewives to start low-investment food-producing.

dahmakan to land in Indonesia

dahmakan team in Malaysia / dahmakan
dahmakan team in Malaysia / dahmakan

Customers have various options on dahmakan‘s app or website. In Kuala Lumpur as the native city, there are certain place and chefs to produce the menus. Some are the expat from starred hotels and restaurants. Thus, dahmakan has each unit to serve orders.

In each menu, attached the detailed information, such as food composition for reference. They are to expand in the last quarter of 2019 with a branch office in Indonesia.

“We are now recruiting for Indonesia’s core team. They will create some new, compelling menus and prepare the tech operation for launching. We have some supportive investors with a good connection in Jakarta. It’s our debut city before expanding services throughout Indonesia,” further explained.

Before closing the interview, Jon revealed his company’s mission to produce high-quality and affordable meals with easy access. What dahmakan offer is to fix the production and serving process using an efficient approach.

“Externally, we looked like cloud kitchen (usual), but we are fully redefined the whole cooking process using technology that 55% of food went cheaper from the restaurant price also given added value to the consumers,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Berbincang Bersama Co-Founder & CEO dahmakan Menganai “Cloud Kitchen” dan Potensinya

Istilah “cloud kitchen” dewasa ini cukup ramai diperbincangkan sebagai pendekatan baru dalam bisnis penyediaan kebutuhan makan. Untuk mendalami tentang konsep tersebut, DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan salah satu Co-Founder dahmakan, Jonathan Weins.

Mengawali perbincangan, Jon menjelaskan kepada kami tentang definisi cloud kitchen. Ia mengatakan, “Cloud kitchen pada dasarnya adalah restoran  yang dirancang hanya melayani delivery order, sehingga memungkinkan menghemat banyak biaya serta merancang (pengemasan) makanan untuk siap kirim.”

Penyaji makanan di cloud kitchen umumnya tidak memiliki kedai atau tempat makan layaknya restoran biasa. Hanya saja, secara brand dan produk mereka memiliki daya tawar tersendiri. Startup pengembang platform cloud kitchen menjembatani proses bisnis antara dapur dengan pelanggan, sembari memberikan jasa pengiriman hingga transaksi.

Potensi besar di Asia Tenggara

Jon menceritakan, salah satu ciri khas dari cloud kitchen adalah inovasi produk yang berkelanjutan. Dengan modal yang minimal, pemilik dapur lebih berani untuk menawarkan sesuatu yang beda, karena risikonya relatif lebih kecil. Dari peluang sekaligus tantangan tersebut maka muncul menu-menu yang lebih beragam dan berkualitas. Mitra dapur berlomba-lomba membuat brand makanan unik, menyesuaikan pangsa pasar.

Di Asia Tenggara, dikatakan tren tersebut disambut cukup baik oleh pasar. Didukung fleksibilitas akses dan proses yang instan.

“Di Eropa masyarakatnya lebih gemar memasak di rumah alih-alih memesan dari luar, sebaliknya perilaku masyarakat di Asia Tenggara lebih suka memesan makan, terutama generasi muda. Trennya pesan makanan atau membeli makanan di luar lalu dibawa ke rumah,” ujar Jon.

Jika ditelisik lebih dalam, dengan mengamati yang terjadi di Indonesia, model seperti ini sudah mulai menjamur sejak layanan berbasis on-demand diminati masyarakat. Di beberapa daerah mulai banyak produk makanan yang masuk di aplikasi seperti GoFood atau GrabFood, namun hanya menerima pemesanan saja, tidak untuk dimakan di tempat karena tidak memiliki sarannya.

Selain menjadi peluang bisnis, cloud kitchen pun dinilai akan membuka kesempatan baru bagi UKM dan ibu rumah tangga untuk melahirkan produk makanan dengan modal kecil.

dahmakan segera masuk ke Indonesia

dahmakan
Tim dahmakan di Malaysia / dahmakan

Melalui aplikasi atau website dahmakan, pengguna bisa memilih beragam menu yang disajikan. Di kota basisnya, Kuala Lumpur, perusahaan memiliki chef dan dapur khusus untuk menyediakan menu makanan. Beberapa juru masak direkrut dari restoran dan hotel berbintang. Jadi, dahmakan memiliki unit-unit dapur sendiri yang siap melayani pesanan.

Pada setiap pilihan makanan yang disajikan, turut disertakan berbagai informasi, seperti bahan makanan, yang dapat digunakan pengguna sebagai referensi. Rencananya dahmakan akan ekspansi ke Indonesia di kuartal terakhir tahun 2019 ini. Mereka juga akan mendirikan kantor khusus di Indonesia.

“Saat ini kami sedang memulai proses perekrutan untuk tim inti di Indonesia. Mereka akan bekerja untuk menciptakan hidangan baru yang menarik dan mempersiapkan teknologi kami untuk peluncuran. Kami memiliki beberapa investor yang terhubung baik dari Jakarta yang sangat mendukung inisiatif ini. Kami akan meluncurkan pertama di Jakarta dan kemudian secara bertahap memperluas layanan ke kota-kota lain di seluruh Indonesia,” jelas Jon.

Di akhir perbincangan Jon mengungkapkan misi perusahaannya, yakni memproduksi makanan berkualitas tinggi yang terjangkau dan dapat diakses kapan saja. Apa yang dilakukan oleh dahmakan ialah menata kembali proses produksi dan penghidangan makanan dengan pendekatan yang lebih efisien.

“Di luar kami terlihat seperti cloud kitchen (biasa), namun kami sepenuhnya mendefinisikan ulang proses memasak menggunakan teknologi sehingga membuat makanan 55% lebih murah dari pada harga di restoran atau memberikan nilai lebih kepada konsumen,” terang Jon.

Application Information Will Show Up Here

Startup Kuliner “Madhang” Mulai Fokus pada Kegiatan Pengembangan Mitra

Startup kuliner on-demand asal Semarang Madhang sudah mulai melebarkan jangkauannya ke beberapa kota baru termasuk Jakarta. Capaian positif mereka dalam tahun 2018 membuatnya optimis bisa membantu lebih banyak mitra di tahun ini.

Kepada DailySocial, CEO Madhang Maulana Bayu Samudro menjelaskan bahwa di tahun 2018 mereka telah menorehkan capaian yang positif, baik dari segi inovasi, bisnis hingga teknologi. Salah satunya seperti menjalin kerja sama dengan OVO untuk mengintegrasikan sistem pembayaran. Di 2018 Madhang juga mulai meluncurkan aplikasi khusus bagi mitra yang berfungsi untuk memberikan sistem kasir dan laporan yang lebih mendetail.

Dari segi bisnis dan kerja sama, di akhir 2018 Madhang telah berhasil menjalin kemitraan dengan Sampoerna Untuk Indonesia dan BEDO (Business & Export Development Organization) untuk memberikan pelatihan kepada mitra-mitra Madhang. Sesuai dengan visinya, memberikan dampak sosial dengan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibu rumah tangga.

“Total user sekarang sudah sekitar 60 ribu, [dan] total merchant sudah di angka 4 ribu,” jelas Bayu.

Bayu lebih jauh menjelaskan di usia Madhang masih di angka satu tahun ini apa yang mereka hasilkan di tahun kemarin merupakan sesuatu hal yang positif. Namun untuk membawa Madhang ke level selanjutnya masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dibenahi.

“Pencapaian tersebut kalau dilihat dari umur Madhang yang masih di angka satu tahun itu merupakan track yang bagus. Tapi kita masih merasa kurang dengan angka tersebut. Masih banyak PR yang harus kita selesaikan di tahun ini, karena kita perlu melakukan develop mitra-mitra kita,” terang Bayu

Menatap tahun 2019 dengan optimis

Di awal tahun 2019 mereka memulai dengan masuk ke dalam Program Plug and Play Indonesia Batch 4, bersama dengan Emvazo, BFarm, Redkendi, dan beberapa startup lainnya dari beberapa negara.

Bayu juga menjelaskan bahwa di tahun 2019 ini Madhang akan fokus untuk pengembangan mitra dengan memberikan pelatihan-pelatihan khususnya dalam hal branding product mitra-mitra Madhang.

“Rencana di tahun 2019 ini kita lebih fokus untuk pengembangan mitra kita, memberikan pelatihan-pelatihan lebih bagi mitra. Khususnya dalam branding product mereka. Memberikan wadah-wadah jualan bagi mitra-mitra yang berpotensi. Contohnya kita baru melakukan kerja sama dengan pujasera di Semarang guna memberikan wadah mitra untuk berjualan. Dan tentunya melakukan fundraising,” terang Bayu.

Application Information Will Show Up Here

Eatever Hadirkan Peluang Wirausaha untuk Koki Rumahan di Jakarta

Berdasarkan laporan dari Kementrian Perindustrian RI, industri makanan dan minuman nasional terus menunjukkan kinerja positif dengan tumbuh mencapai 9,82 persen atau sebesar Rp 192,69 triliun pada triwulan III 2016. Pertumbuhan industri ini terutama didorong kecenderungan masyarakat khususnya kelas menengah ke atas yang mengutamakan konsumsi produk-produk makanan dan minuman yang higienis dan alami.

Melihat potensi tersebut, sudah banyak hadir startup yang berbasis teknologi mencoba menjadi enabler dari industri tersebut. Mulai dari food delivery, katering makanan premium dengan menu pilihan dari chef ternama, hingga yang terbaru yaitu Eatever, platform berbasis teknologi yang menghubungkan koki-koki rumahan dengan para pecinta kuliner atau orang-orang sekitar.

Membantu ibu rumah tangga menjadi wirausaha

Eatever didirikan pada bulan November 2016 oleh CEO Dian Widayanti. Pada Februari 2017, Debrina Puspitarini bergabung sebagai Co-Founder dan COO. Eatever melakukan soft launching dan mulai beroperasi pada 17 Juli 2017.

“Eatever ingin memberi solusi kepada semua orang yang memiliki keahlian memasak (karena kebanyakan ibu rumah tangga sangat pandai memasak), untuk dapat menjual makanannya di platform Eatever, dan mendapat penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan rumah,” kata Dian.

Untuk mendukung perekonomian keluarga, Eatever ingin mendorong lebih banyak lagi ibu rumah tangga, yang pada umumnya gemar memasak, memanfaatkan kemampuannya untuk menjalankan usaha koki rumahan.

Eatever nanti akan mengurusi soal packaging, pemasaran, dan pengantaran makanan ke konsumen. Secara tidak langsung, Eatever akan bersaing dengan layanan katering online yang lebih dulu hadir, seperti BerryKitchen, Kulina, atau Gorry Gourmet.

“Dengan adanya Eatever, semua rumah dapat menjadi restoran tanpa harus memiliki modal yang besar, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sewa tempat, merekrut staf, dekorasi resto, dan lain sebagainya. Para ibu rumah tangga tetap dapat menjaga anak-anak atau keluarganya dan juga mendapat penghasilan untuk membantu perekonomian keluarganya.”

Segera merilis aplikasi dan perluas wilayah layanan

Dengan bergabung menjadi koki rumahan Eatever, para koki rumahan mendapatkan akses bahan baku dan packaging yang lebih murah dari pasaran. Eatever juga membantu menyediakan fotografer handal untuk mendapatkan gambar berkualitas.

“Sampai saat ini sudah ada 107 koki rumahan yang mendaftar di Eatever. Koki rumahan tersebut hanya perlu mendaftar melalui situs dan klik tombol ‘Gabung’ atau menu bar ‘Bergabung Menjadi Homechef’. Kemudian tim Eatever akan melakukan kurasi koki rumahan untuk dapat berjualan di Eatever,” kata Dian.

Masih menyediakan layanan di kawasan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat saja, Eatever saat ini masih micro-focused untuk memastikan kualitas dari para koki rumahan tetap terjaga dan selalu segar. Dalam waktu dekat Eatever akan melakukan ekspansi ke seluruh area Jakarta.

“Konsep kami adalah membantu para homechef untuk fokus pada memasak saja, segala urusan operasional dan marketing akan ditanggung oleh Eatever. Dengan berbagai kemudahan yang diberikan Eatever, terdapat profit sharing sebesar 90% untuk koki rumahan serta 10% untuk Eatever,” kata Dian.

Target dan rencana Eatever

Untuk menambah pilihan menu dan koki rumahan yang bergabung, Eatever masih mencoba untuk merekrut sebanyak mungkin koki rumahan yang berkualitas di daerah Jakarta. Selanjutnya untuk memudahkan pengguna, Eatever juga akan merilis aplikasi pada awal tahun 2018 mendatang.

“Selain itu, tentunya kami juga memiliki target untuk dapat beroperasi di kota-kota lainnya di Indonesia,” kata Dian.

BlackGarlic Konfirmasi Penutupan Layanan

Layanan on-demand bahan siap masak BlackGarlic mengumumkan penutupan layanannya per 15 Juli mendatang. Pasca tanggal tersebut, layanan BlackGarlic Express, yang menjual bumbu masak dan bahan makanan siap saji, bakal diambil alih tim William Wongso Kuliner sebagai pengembang produk ini. Tim BlackGarlic akan beroperasi hingga 19 Juli mendatang.

Informasi ini ironisnya muncul ketika role model layanan ini di Amerika Serikat, Blue Apron, justru sedang mempersiapkan diri untuk go public di bursa saham. Secara implisit, model bisnis seperti ini belum mampu untuk menopang kelangsungan hidup startup yang umurnya hampir mencapai dua tahun ini, meskipun mereka telah melayani 80 ribu porsi makanan dengan hampir 1000 menu dan 10 ribu konsumen yang berbeda.

BlackGarlic didirikan oleh tim yang sukses mengembangkan layanan pengantaran makanan on-demand Klik-Eat, yang kemudian diakuisisi layanan Jepang Yume no Machi. Mereka bekerja sama dengan tim William Wongso Kuliner, dengan Olivia Wongso menjadi Chief Product Officer BlackGarlic.

Dalam pernyataannya, Co-Founder dan CEO BlackGarlic Michael Saputra menyebutkan, ” Keberhasilan saya di startup sebelumnya ternyata tidak menjamin perjalanan ini akan sukses. Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua bisnis akan berhasil, tetapi pengalaman saya menutup bisnis yang sudah 2 tahun saya rintis bersama co-founders saya, dengan semua jatuh bangun, air mata dan jerih payah tetap sangat menyakitkan.”

Meskipun demikian Michael memastikan bahwa kegagalan ini membawa pengalaman yang sangat banyak dibandingkan kesuksesan dia sebelumnya.

Tidak ada informasi terbuka soal jumlah investasi yang dihimpun BlackGarlic selama beroperasi, tetapi Skystar Capital dan Convergence Ventures adalah jajaran investor yang telah menginvestasikan dananya ke layanan ini.

Dalam wawancara dengan DailySocial sekitar 4 bulan yang lalu, Michael mengatakan fokusnya tahun ini adalah loyalitas konsumen dan mereka menghadirkan paket berlangganan mingguan dan memperbarui situs. Sayang cita-cita tersebut kandas dan layanan ini harus ditutup.

Semoga penutupan ini bukan menjadi akhir kiprah Michael dan tim pengembang BlackGarlic dalam mewarnai ekosistem startup teknologi Indonesia.