Meski Telah Capai BEP di Q3 2023, Dekoruma Pilih Tunda IPO Menjelang Pemilu

Dekoruma sempat menargetkan IPO pada akhir 2023. Namun, rencana tersebut kemungkinan mundur karena perusahaan mempertimbangkan situasi pasar menjelang Pemilu pada awal 2024.

Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan mengungkap tengah gencar menambah offline presence di luar Pulau Jawa. Menurutnya, IPO menjadi opsi penggalangan dana yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan skala bisnis Dekoruma, termasuk ekspansi gerai.

“Dana pasti butuh karena kami mulai ekspansi ke luar kota juga. Namun, awal tahun depan tampaknya tidak kondusif untuk IPO. Bukan karena pasarnya tidak bagus ya, karena tahun politik. Jadi, kami wait and see dulu. Kami tidak buru-buru, investor juga sudah solid,” ungkap Dimas ditemui di Power Lunch GDP Venture, Selasa (24/10).

Dimas mengungkap bahwa Dekoruma sudah memiliki fundamental bisnis yang sehat sejak beberapa tahun lalu. Klaimnya, Dekoruma sudah mencapai break even di kuartal III 2023. Ia menargetkan break even satu tahun penuh dapat terealisasi di 2024.

Ditanya soal rencana penggalangan dana baru sebelum IPO, ia juga mengaku belum memikirkannya. “Bagi kami, fundraising saat ini untuk ekspansi, berbeda dengan 2-3 tahun lalu di mana modal digunakan untuk R&D dan survival. Kami sudah tahu arah [profitabilitas] ke mana, tetapi saat ini belum memikirkan soal fundraising.”

Dimas juga memberi sinyal untuk memperluas lini bisnisnya ke produk/jasa baru pada tahun depan. Fokusnya saat ini adalah memperkuat posisinya di segmen B2C alih-alih masuk ke pasar ke B2B atau wholesale.

Terakhir kali, Dekoruma mengumumkan pendanaan pada Agustus 2021 dengan perolehan $15 juta (sekitar Rp216,8 miliar). Investor yang terlibat antara lain Nexter Ventures by SCG Cement-Building Materials, KTB Network, termasuk investor terdahulu Global Digital Niaga (Blibli), OCBC NISP Ventura, dan Foundamental.

Tren omnichannel

Lebih lanjut, Dimas memaparkan bagaimana pendekatan omnichannel sangat diperlukan bagi bisnisnya. Dekoruma sejak awal beroperasi sebagai online marketplace untuk produk home & living. Pada 2019, Dekoruma bereksperimen untuk memasarkan produk lewat gerai offline.

“Mengapa offline? Pengalaman pembeli. Furnitur butuh dijajal atau dicoba, sedangkan [penjualan] online tidak akan bisa kasih itu. Saat pandemi, sales naik signifikan sehingga kami memutuskan investasi untuk buka gerai offline,” ujarnya.

Ini juga menjelaskan alasan gencarnya ekspansi Dekoruma ke luar Pulau Jawa selama beberapa tahun terakhir. Tingginya minar pasar baik dari segmen middle low maupun middle high di kawasan ini.

Pada 2022, Dekoruma membuka 16 toko di Jabodetabek. Kemudian, Dekoruma kembali menambah delapan gerai di sejumlah kota non-Jawa, termasuk Medan, Palembang, dan Makassar pada tahun ini. Menurut Dimas, ekspansi gerai offline berdampak terhadap menurunnya biaya marketing dibandingkan dulu saat masih full online.

“Ekspansi offline di luar kota sangat challenging dari sisi rantai suplai dan operasional. Jadi, kami tidak asal buka. Kalau makroekonomi tidak bagus, berimbas ke bisnis kami.” Tutupnya

Application Information Will Show Up Here

Strategi Renos Bersaing di Sektor Home & Living

Pemain startup home & living memang sudah ada beberapa yang muncul di Indonesia. Renos hadir menawarkan pendekatan yang berbeda dengan konsep marketplace, yang menjembatani produsen, penyedia layanan, dan pemilik rumah dengan teknologi AI.

Startup yang terafiliasi dengan dengan nocnoc (Thailand) ini beroperasi di Indonesia sejak Juli 2021 menerapkan model bisnis B2B dan B2C sebagai langkah agar menjadi perusahaan berkelanjutan. Tak hanya menjual produk furnitur, solusi Renos dinilai lebih komprehensif karena menyediakan kategori yang beragam, seperti material bangunan hingga solusi layanan rumah.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CCO Renos Nathaniel Adi Putra menyampaikan pihaknya meyakini potensi yang ditawarkan dari bisnis home & living ini masih besar. Menurutnya, ada segmen pasar yang belum terpenuhi oleh pemain yang ada, sehingga dibutuhkan solusi yang lebih komprehensif.

“Kami melihat masyarakat Indonesia masih kesulitan untuk bisa mendapatkan layanan komprehensif untuk rumah mereka. Biasanya solusinya terpecah-pecah, tapi kami tawarkan end-to-end untuk home & living, dari home improvement hingga home service solution,” ujarnya.

Brand yang bergabung sebagai merchant di Renos pun beragam, di antaranya Vivere, Aqua, Courts, Bosch, HomeMaster, dan lainnya. Adapun untuk solusi home improvement ini, perusahaan bekerja sama dengan Siam Cement Group (SCG). Bila ditotal, terdapat ratusan merchant dari berbagai kategori home living yang sudah bergabung dengan puluhan ribu SKU.

“Kami menyediakan konsumen yang tertarik untuk renovasi rumah bisa dengan platform kami, bisa cari desain yang pas dan cocok, lalu didiskusikan dan diimplementasikan.”

Dalam menjaring merchant home & living, Nathan mengaku pihaknya mengkurasi selama proses onboarding. Merchant dilihat kualitas produknya, harga, dan kemampuan operasionalnya. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah kontrol, mengingat perusahaan menganut konsep marketplace.

Perusahaan selalu memantau setiap transaksi yang masuk, lalu memastikan setiap pesanan dan bagaimana merchant tersebut memenuhinya. “Kami juga menyiapkan call center kalau misalnya ada kendala, mau minta update order-nya, dan sebagainya.”

Ia menerangkan, perusahaan saat ini tidak memiliki gudang sendiri, alias seluruh penyimpanan stok barang disimpan dan pengadaannya dilakukan oleh merchant itu sendiri. “Produk home & living itu unik karena belum tentu diproduksi secara massal. Jadi solusi terbaik untuk saat ini adalah pakai warehouse seller.”

Tidak hanya kemudahan dalam memasarkan produk dan mendapatkan calon konsumen, didukung dengan teknologi AI, merchant dapat menganalisis kinerja penjualan, sehingga ada wawasan pasar yang lebih baik untuk mereka dalam mengembangkan bisnisnya.

Tim Renos

Strategi selanjutnya

Di tahun keduanya di Indonesia, perusahaan bakal memperkuat rangkaian SKU dan kemitraan dengan berbagai brand home & living agar dapat menjadi pilihan utama konsumen saat mencari produk furnitur dan aksesoris rumah. Peluncuran aplikasi mobile juga sedang direncanakan agar perusahaan semakin dekat dengan konsumen.

Perusahaan juga akan memperkuat teknologi terkini agar pengalaman konsumen semakin kaya saat berkunjung ke platform Renos. Lantaran, perjalanan awal konsumen sebelum memutuskan untuk beli barang furnitur dan sebagainya itu panjang.

Mereka butuh riset, cari tahu material yang dipakai, pilihan warna, hingga ukurannya apakah tepat atau tidak. Karena basis Renos adalah perusahaan teknologi, perusahaan akan memanfaatkan kapabilitasnya tersebut untuk meracik inovasi yang tepat.

Belakangan para pemain sejenis, seperti Dekoruma masuk ke showroom offline. Dekoruma Experience Center (DEC) hadir sejak 2019 dan kini sudah tersebar di 22 lokasi. Toko tersebut menyediakan berbagai macam furnitur dan aksesoris rumah yang bisa langsung dicoba sebelum membelinya. Alhasil, konsumen dapat menentukan mana produk yang paling tepat untuk huniannya.

Terdapat pula Mitraruma, startup yang disuntik SCG, yang menyediakan showroom di beberapa titik juga. Di luar itu, terdapat pemain besar seperti Informa dan IKEA dengan konsep serupa.

“Kalau masuk ke gerai offline, kami masih perlu melihat dinamikanya seperti apa. Saat ini banyak teknologi yang menarik untuk mempermudah konsumen mendapatkan experience, masih kita lihat inovasinya ke sana ketimbang buka gerai.”

Tidak hanya mengandalkan model bisnis B2C (marketplace), Nathan menjelaskan pihaknya juga punya bisnis B2B yang menyasar para korporasi. Solusi yang tersedia, seperti jasa servis dan konstruksi, bahkan kalau ada bug order untuk produk home & living di hunian mereka juga memungkinkan.

Selain memperkuat operasional dan inovasi bisnis, perusahaan melakukan strategi bakar duit melalui promosi diskon di kanal digital dan offline untuk meningkatkan awareness di kalangan konsumen ritel.

Fabelio Dinyatakan Pailit, Wajib Selesaikan Kewajiban

Startup e-commerce produk furnitur Fabelio (PT Kayu Raya Indonesia) resmi dinyatakan pailit. Berdasarkan pengumuman pailit di surat kabar, pernyataan tersebut diputuskan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.47/Pdt. Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.JKT.PST, tertanggal 5 Oktober 2022.

Dalam putusan tersebut, pengadilan mengabulkan putusan pailit terhadap PT Kayu Raya Indonesia. “Menyatakan Debitor (PT Kayu Raya Indonesia) dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis pengumuman putusan pailit, dikutip dari Katadata.

Rapat kreditur pertama ditetapkan pada pekan ini (17/10). Ini ditetapkan oleh Hakim Pengawas pada 6 Oktober. Sedangkan batas akhir pengajuan tagihan para kreditur dan tagihan pajak ditetapkan bulan depan (14/11) paling lambat pukul 17:00 di kantor pengurus.

Selanjutnya, rapat pencocokan piutang/verifikasi tagihan para kreditor dan kantor pajak dijadwalkan seminggu setelahnya atau 28 November pukul 10:00 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Sehubungan dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan penetapan hakim pengawas tersebut, kami mengundang para kreditur, debitur, dan pihak lain yang berkepentingan untuk menghadiri rapat-rapat tersebut.”

Sebelumnya, isu ini sudah lama mencuat di media massa sejak tahun lalu berawal dari kegagalan perusahaan membayar gaji karyawan dan vendor sejak September 2021. Bahkan, muncul petisi yang sudah ditandatangani oleh 3.125 orang hingga 14 Desember 2021.

Manajemen berkilah kondisi tersebut terjadi karena pandemi yang membatasi gerak aktivitas orang-orang untuk keluar rumah. Namun, menurut laporan The Ken, alasan tersebut bertolak belakang dengan kondisi para kompetitornya yang justru tumbuh subur. Alias masalah Fabelio itu karena ulah sendiri.

Selain Fabelio, DailySocial.id juga mengompilasi sejumlah startup yang tutup sepanjang 2021 hingga tahun ini. Berikut daftarnya:

1. Bonza

Berdasarkan penelusuran DailySocial.id, startup ini tutup pada awal tahun ini. Dari halaman LinkedIn co-founder Bonza, ia sudah tidak bekerja di Bonza per Januari 2022. Situs resminya juga sudah tidak bisa diakses. Startup ini juga telah masuk dalam daftar portofolio terdahulu di East Ventures.

East Ventures sudah dua kali menyuntik startup yang didirikan pada 2020 oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas. Total dana yang diperoleh Bonza mencapai lebih dari Rp35 miliar dari berbagai investor, tak hanya East Ventures. Ketika ditanya perihal status Bonza, pihak East Ventures enggan memberikan komentar.

Bonza adalah startup big data yang berambisi membantu perusahaan menerjemahkan data yang dimiliki dari berbagai sumber untuk diintegrasi menggunakan AI dan machine learning untuk membantu mengambil keputusan dalam skala yang optimal.

2. Jipay

Kabar ini langsung dikonfirmasi oleh Dayana Yermolayeva selaku CEO melalui unggahan di laman LinkedIn. Jipay adalah startup fintech untuk pekerja rumah tangga (PRT) yang menyediakan kartu prepaid dan aplikasi bagi keluarga dalam mengelola pengeluaran lewat PRT mereka.

Ia memutuskan untuk menghentikan Jipay bukan karena kehabisan uang, tapi karena gagal mencapai product-market-fit. Dari hasil yang didapat, solusi Jipay tidak mampu mengubah kebiasaan keluarga dan PRT dalam mengelola anggaran keuangan. Pertumbuhan justru terjadi karena didorong oleh cashback, yang menimbulkan minimnya loyalitas, di samping buruk juga untuk bisnis secara jangka panjang.

Dengan model bisnis yang dilakukan, pada akhirnya Jipay hanya jadi sekadar platform remitansi. Yang mana, di Singapura harus ada lisensi khusus, belum lagi margin yang tipis.

“Pada akhirnya turun ke matematika sederhana. Mengingat pendanaan kami saat ini, kami tidak akan menghasilkan pendapatan pengiriman uang yang cukup di Singapura untuk meningkatkan seri A kami, sementara memperluas ke pasar kami berikutnya, UEA, akan membutuhkan investasi yang jauh lebih banyak,” tulis Yermolayeva.

Ia pun memberikan penutup, “Beberapa minggu yang sulit dipenuhi dengan pertanyaan dan ambiguitas, tetapi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada investor dan tim saya karena telah mendukung saya di setiap langkah.”

Jipay telah memperoleh pendanaan tahap awal senilai $1,3 juta dari East Ventures, SHL Capital, dan beberapa angel investors.

3. Orori

Meski belum ada pernyataan resmi dari manajemen. Dari penelusuran DailySocial.id, startup yang didirikan oleh George Budi Sumantri dan Triono J. Dawis ini telah berhenti beroperasi pada sekitar April 2021.

Baik situs dan kantor pusat Orori telah ditutup. Perusahaan dituding gagal mengembalikan dana masyarakat yang berinvestasi melalui e-mas dan beli perhiasan melalui Orori. Akun media sosial Orori di Instagram dihujani oleh konsumen yang tidak bisa menarik dananya.

Isu Tata Kelola Fabelio dan Kompleksitas Rantai Bisnis Furnitur

Fabelio (PT Tiga Elora Nusantara) merupakan startup di bidang furniture marketplace yang sudah berdiri sejak tahun 2015. Selain menjual berbagai perabot, mereka juga melayani jasa desain interior. Diklaim seluruh produk yang dijual merupakan hasil karya pengrajin Indonesia. Sebelumnya mereka menjadi salah satu startup unggulan, karena bisnis yang moncer dan seharusnya memiliki valuasi di atas $100 juta.

Namun beberapa waktu terakhir, Fabelio tengah banyak dibicarakan melalui media sosial dan pers akibat permasalahan yang berdampak pada karyawan, vendor, dan konsumen mereka.

EM, seorang konsumen, mengeluh karena pesanan yang dibuat pada Mei 2021 tak kunjung sampai. Sebelumnya Fabelio telah menjanjikan barang akan diantarkan pada Juli 2021, kemudian dengan alasan tertentu diundur bulan Agustus 2021 sampai akhirnya dibatalkan.

Saat ingin mengklaim pengembalian dana, EM diminta menunggu 30 s/d 45 hari kerja dengan estimasi bakal cair di bulan September 2021. Sayangnya sampai 1 minggu yang lalu, EM tidak kunjung menerima pengembalian dana tersebut. Ia juga sudah menyampaikan komplain lewat email, pesan WhatsApp, hingga media sosial.

EM adalah satu dari puluhan—bahkan mungkin ratusan—konsumen yang mengeluhkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari komentar di media sosial Fabelio dan petisi yang dibuat dan ditujukan untuk manajemen Fabelio.

Vendor pun mendapatkan permasalahan pembayaran. Banyak dari mereka mengaku belum menerima transfer dari produk yang berhasil dijual melalui platform Fabelio. Seperti yang dikeluhkan SD selaku salah satu vendor penyuplai barang di Fabelio, sudah 1 tahun lebih mereka belum menerima pembayaran atas barang/jasa yang dikerjakan. Bahkan CA yang juga merupakan salah satu vendor mengatakan, Fabelio memiliki tunggakan pembayaran sampai ratusan juta Rupiah.

Karyawan juga menyerukan keluhan kepada manajemen Fabelio karena perusahaan melakukan penundaan pembayaran gaji. Salah satunya disampaikan melalui petisi di Change.org. Sudah dari bulan September 2021, Fabelio belum membayarkan gaji untuk pegawainya. Beberapa kewajiban perusahaan seperti pembayaran Tunjangan Hari Raya, BPJS Ketenagakerjaan pun juga bermasalah – belum lunas.

Dari komentar-komentar yang disampaikan, tunggakan gaji ini cukup merata di semua level staf. Sumber TFR mengatakan, ada karyawan yang gajinya sudah tertunda sejak akhir 2020, ada juga yang mulai awal 2021, bulan Agustus 2021, atau Oktober 2021. Di beberapa kasus, perusahaan perusahaan membagi pembayaran gaji menjadi 50%, beberapa hanya menerima 75%, 80%, atau 85%.

CEO Fabelio: Kejar pendanaan untuk menutup utang

Kepada sejumlah media, salah satunya Kumparan, Co-founder & CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo mengatakan bahwa saat ini perusahaannya memang tengah mengalami kesulitan finansial. Hal ini diakibatkan bisnis yang terdampak negatif akibat Covid-19. Bahkan ia juga mengatakan, manajemen belum menerima renumerasi sejak 18 bulan yang lalu.

Isu tersebut sudah mengemuka sejak awal 2020, tepatnya saat Covid-19 menjadi permasalahan serius di Indonesia. Perusahaan tidak bisa mengandalkan penjualan, karena mengalami penurunan drastis. Seperti diketahui, model bisnis mereka adalah online-to-offline, sistem operasionalnya memadukan antara kanal online dengan gerai fisik yang saat ini sudah tersebar di 9 lokasi di seputar Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya — juga warehouse untuk melayani cakupan pengiriman mereka di Banten, Yogyakarta, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Selama tahun 2020, Fabelio juga dalam survival mode, mengandalkan dana investasi yang didapat dalam putaran Seri C senilai $9 juta atau setara 127 miliar Rupiah.

Dalam keterangannya, Marshall mengungkapkan, perusahaan segera melunasi kewajiban-kewajibannya, baik ke karyawan, vendor, maupun pelanggan. Mereka akan mengandalkan dana investasi di putaran selanjutnya yang ditargetkan rampung beberapa pekan mendatang. Soal fundraising Seri D ini sudah disampaikan Marshall sejak Juni 2021 lalu.

Selain Marshall, Co-Founder perushaaan adalah Christian Sutardi, Krishnan Menon, dan Srinivas Sista. Kini hanya Marshall dan Christian yang masih aktif di Fabelio. Krishnan sekarang fokus mengembangkan BukuKas dan Tokko – layanan SaaS untuk membantu UMKM di Indonesia. Sementara Srinivas fokus berkarier dengan perusahaan di luar negeri.

Kompleksitas bisnis furnitur

Guna mendalami tentang alur bisnis produk furnitur dan jasa desain interior, kami mewawancarai salah satu pemain industri di bidang ini. Menurutnya, revenue yang berpotensi dihasilkan dari setiap produk furnitur sebenarnya cukup tinggi, bisa mencapai 45%. Namun untuk memenangkan pasar dibutuhkan volume dan skalabilitas yang kuat.

Kendati potensi laba dan pangsa pasar besar, para pemain baru seperti Fabelio harus bersaing dengan bisnis legacy yang sudah memiliki banyak cabang di Indonesia. Keberadaan cabang ini penting, karena produk furnitur membutuhkan penanganan khusus dalam hal pemenuhan dan pengantaran ke konsumen.

Narasumber yang kami wawancara tersebut mengatakan, Grup Kawan Lama saat ini menjadi salah satu pemain paling signifikan di industri ini dengan dua merek ternama: ACE Hardware dan Informa. Bersumber dari keterbukaan di BEI, ACE Hardware saat ini telah memiliki 215 gerai di berbagai kota di Indonesia. Pada paruh pertama 2021, mereka telah membukukan hasil penjualan hingga 3,3 triliun Rupiah.

Untuk menghasilkan volume produk dan penjualan yang besar, tentu modal besar perlu dimiliki oleh pemain di bidang furnitur. Ini tentang bagaimana mereka memastikan stok barang lengkap dengan supply yang baik dari sisi pengembang produk/vendor.

Untuk itu, para pemain di lanskap industri ini memang membutuhkan sokongan modal ekuitas besar dari investor, salah satunya untuk memperkuat di sisi volume.

Sayangnya, tidak berhenti di sana, skalabilitas bisnis juga diperlukan untuk mencapai titik ideal dalam pemenuhan produk ke konsumen. Dari praktik yang ada, penjual furnitur online tidak bisa mengandalkan jasa logistik yang saat ini banyak diandalkan oleh e-commerce dengan produk konsumer lain seperti pakaian, gawai, atau makanan – dari sisi bentuk furnitur memiliki ukuran yang besar dan berat, beberapa bahkan rawan rusak jika dalam proses pengemasan dan pengantaran tidak sesuai standar.

Jika dipaksakan [meminta vendor yang melakukan pengiriman], biasanya  konsumen yang akan dikorbankan dengan keterlambatan hingga barang cacat. Sementara saat perusahaan memilih untuk menggunakan mode pengiriman yang lebih memadai [dengan memberikan insentif ke vendor/konsumen], maka pertaruhannya pada persentase margin yang lebih kecil. Strategi online to offline digencarkan oleh para pemilik marketplace, tak terkecuali Fabelio.

Ketika sudah masuk ke strategi O2O, ternyata permasalahannya tidak berhenti di sini saja. Perusahaan harus memiliki tempat untuk menempatkan stok barang yang luas, biasanya membutuhkan warehouse dengan ukuran yang besar – lagi-lagi ini akan berdampak pada biaya operasional di perusahaan yang akan besar. Namun demikian, keberadaan warehouse ini krusial untuk mendukung sistem supply chain produk.

Saat sudah mengoperasikan warehouse pun perusahaan harus secara ekstra melakukan pengawasan terhadap sistem manajemen di dalamnya – salah satu yang paling krusial adalah pengontrolan kualitas terhadap produk. Tanpa kontrol ini, akan banyak potensi kerugian yang dapat didera perusahaan, termasuk di sisi pemenuhan, pembaruan stok produk, sampai dalam hal urusan finansial ke vendor.

Di marketplace seperti Fabelio, orang juga bisa memesan jasa desainer interior. Bahkan ada beberapa paket all-in-one, dari perencanaan sampai implementasi. Sistem manajemen proyek di perusahaan akan diuji ketahanannya. Karena dalam sebuah proyek, banyak pihak yang dilibatkan, mulai dari desainer, kontraktor, vendor, juga konsumen. Terlebih lagi biasanya ada sub-bagian yang membuat prosesnya menjadi lebih panjang – misalnya saat kontraktor memiliki sub-kontraktor dalam menangani bagian tertentu.

Sistem manajemen proyek ini adalah alat yang digunakan untuk memastikan realisasi proyek sesuai dengan perencanaan. Di dalamnya termasuk modul-modul untuk mengontrol kualitas produk, kegiatan jasa, hingga berbagai perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Beberapa perusahaan serupa [digital] berinvestasi besar dalam pembuatan perangkat lunak ini – bahkan memiliki tim R&D khusus.

Kemungkinan salah tata kelola Fabelio

Jika disimpulkan ada beberapa masalah yang banyak dikeluhkan terhadap Fabelio, yakni pemenuhan barang, keterlambatan pembayaran, dan proyek yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Maka, benar adanya soal kompleksitas yang dibahas di atas. Memang dibutuhkan modal besar dan strategi yang tepat untuk melancarkan bisnis ini. Dan disiplin manajemen terhadap tata kelola proses bisnis yang tepat juga menjadi kunci penting untuk bisa survive dan growth.

Menurut laporan, ukuran pasar produk furnitur secara global telah mencapai $64,08 miliar pada tahun 2021 dan diproyeksikan tumbuh sampai 81,45 miliar pada 2025 mendatang dengan CAGR 9.09%. Studi di Amerika Serikat, 40% pertumbuhan telah disumbangkan dari segmen online. Potensinya tentu terbuka lebar untuk semua negara, termasuk Indonesia.

Pertumbuhan tersebut juga dialami beberapa pemain bisnis di Indonesia. Selain pemain legacy yang sudah disebutkan di awal, Dekoruma [salah satu pemain industri di Indonesia] saat mengumumkan pendanaan seri C1 beberapa bulan lalu juga mengklaim selama 18 bulan terakhir pendapatan telah meningkat 3x lipat. Pandemi jadi berkah tersendiri, karena semakin banyak konsumen yang membutuhkan produk furnitur untuk menunjang kebutuhan WFH.

Dekoruma Announces 216.8 Billion Rupiah Funding, to Reach Positive EBITDA and Plans for IPO

Dekoruma announces series C1 funding worth of $15 million or equivalent to 216.8 billion Rupiah. Nexter Ventures by SCG Cement-Building Materials, KTB Network, and several previous stage investors are participated in this round, including Global Digital Niaga (Blibli), OCBC NISP Ventura, and Foundational. The additional capital will be used for the expansion of the Experience Center outside Jakarta and product/service development.

“The current focus is to grow our business and achieve positive EBITDA by the end of 2022. Furthermore, we will prepare for an IPO around the end of 2023,” Dimas said.

Previously, the company announced a pre-series C round in May 2020 with the participation of InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundational, OCBC NISP Ventura, and Skystar Ventures. Participated also investors from the previous round.

Dekoruma has received series A funding from Skystar Capital, Beenext, and Convergence Ventures in 2016. Moreover, in 2018, they secured a million dollar series B round led by Global Digital Niaga (Blibli) and AddVentures.

O2O Concept

Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma
One of Dekoruma’s experience center / Dekoruma

Debuted in 2016, Dekoruma was originally an online marketplace platform for furniture products. Along with its development, they are now trying to connect consumers with furniture traders, interior designers, contractors, to property developers.

In 2019, they started expanding its business model with an online to offline (O2O) approach. With the distribution of Experience Centers in various cities, the company said to manage 2x productivity per square meter, including reducing acquisition costs and increasing online purchases in related cities.

“The products and ecosystem we have built have eliminated the inefficiencies that blocked the industry. This means more affordable products and highly transparent services for our customers and partners. We will improve by expanding our business beyond Jakarta and adding more partners and property developers,” Dekoruma’s Co-founder & CEO, Dimas Harry Priawan said.

From the current statistics, Dekoruma has served more than 1 million customers, with more than 5 thousand designer and contractor partners covering tier-1 and tier 2 cities. It is also claimed that over the last 18 months revenue has increased by 3x. The next target will be to expand to 8 new cities within 2 years.

The latest release

On the Dekoruma platform, users are currently provided with proptech services in the form of listing property products (apartments/houses). Dimas said, the MVP for this product has been started since the end of 2019. Apart from being a request for property developer partners, this feature is also based on several problems that according to them are still often encountered in the local property market, the imbalance quality of property agents and the less transparent home buying process.

“Unlike markets in other countries such as America and Singapore, there is no specific regulation regarding Property Agents. Everyone can become a property agent, but not necessarily they know about details such as contracts, legalities, and processes. In here, all of our agents will go through strict training and control processes, assisted by our application that has been running for almost 2 years to provide good and consistent service,” he said.

In addition, Dekoruma also launched NOMA, an interior design management system. Currently, the application has been used by 5 thousand users from interior designers and architects in their network. “NOMA is like The Sims, where users can design a room using a catalog of goods from the Dekoruma marketplace platform. It can provide price transparency and availability of goods,” Dimas explained.

This platform also bridges business processes when there are social restrictions due to the pandemic. Customers can discuss with designers virtually via NOMA. The only physical meeting before the construction process is when customers visit the Dekoruma Experience Center to feel, and touch the various materials and products firsthand.

Future plans

According to the report, the global furniture products market size has reached $64.08 billion in 2021 and is projected to grow to 81.45 billion by 2025 at a CAGR of 9.09%. Studies in the United States, 40% of growth has been contributed from the online segment. It is certainly a wide potential for all countries, including Indonesia.

Regarding market share, Dekoruma specifically targets the middle-class with an age ranging from 26 to 38 years. Without mentioning further details, the furniture products that have experienced a rapid increase are sofa-beds and home offices. The demand for kitchen sets has also been observed to increase sharply on the platform.

The large market potential and solid business model have strengthened the company to prepare for the next strategic step. Regarding the IPO, Dimas said, “We have a healthy, growing business and provide value creation for Indonesia’s home living ecosystem. The IPO can provide us with a stronger foundation for us to become a bigger and better company.”

There is not much information yet to share about the IPO, including its location whether on local exchanges or the United States. Dimas said that his team is currently conducting a study for further consideration.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dekoruma Umumkan Pendanaan 216,8 Miliar Rupiah, Segera Capai EBITDA Positif dan Rencanakan IPO

Dekoruma mengumumkan perolehan pendanaan seri C1 senilai $15 juta atau setara 216,8 miliar Rupiah. Investor yang terlibat adalah Nexter Ventures by SCG Cement-Building Materials, KTB Network, dan beberapa investor tahap sebelumnya termasuk Global Digital Niaga (Blibli), OCBC NISP Ventura, serta Foundamental. Modal tambahan akan digunakan untuk perluasan Experience Center di luar Jakarta dan pengembangan produk/layanan.

“Fokus kami sekarang adalah mengembangkan bisnis kami dan mencapai EBITDA positif pada akhir 2022. Kemudian, kami akan bersiap untuk IPO sekitar akhir 2023,” lanjut Dimas.

Sebelumnya perusahaan mengumumkan putaran pra-seri C pada Mei 2020 lalu dengan partisipasi InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor dalam putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi.

Dekoruma juga mendapatkan pendanaan seri A dari Skystar Capital, Beenext, dan Convergence Ventures pada tahun 2016. Kemudian di pada putaran seri B pada athun 2018, mereka bukukan dana jutaan dolar yang dipimpin Global Digital Niaga (Blibli) dan AddVentures.

Konsep O2O

Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma
Salah satu Experience Center milik Dekoruma / Dekoruma

Debut pada tahun 2016, Dekoruma awalnya adalah platform online marketplace untuk produk furnitur. Seiring perkembangannya, kini mereka mencoba menghubungkan konsumen dengan pedagang perabotan, desainer interior, kontraktor, hingga pengembang properti.

Di tahun 2019, mereka mulai menguatkan model bisnis dengan pendekatan online to offline (O2O). Dengan persebaran Experience Center di berbagai kota, perusahaan mengatakan berhasil mendapatkan produktivitas 2x lipat per meter persegi, termasuk mengurangi biaya akuisisi dan meningkatkan pembelian online di kota terkait.

“Produk dan ekosistem yang kami bangun telah menghilangkan inefisiensi yang mengganggu industri. Ini berarti produk yang lebih terjangkau dan layanan sangat transparan yang disukai pelanggan dan mitra kami. Kami akan meningkatkan dengan memperluas bisnis kami di luar Jakarta dan bermitra dengan lebih banyak mitra dan pengembang properti,” ujar Co-founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Dari statistik yang disampaikan, saat ini Dekoruma telah melayani lebih dari 1 juta pelanggan, dengan lebih dari 5 ribu mitra desainer dan kontraktor mencakup di kota tier-1 dan tier 2. Diklaim juga selama 18 bulan terakhir pendapatan telah meningkat 3x lipat. Target berikutnya mereka akan hadir ke 8 kota baru dalam 2 tahun ke depan.

Produk baru

Di platform Dekoruma, saat ini pengguna juga disajikan dengan layanan proptech berupa listing produk properti (apartemen/rumah). Dimas mengatakan, MVP untuk produk ini sudah dimulai sejak akhir tahun 2019. Selain menjadi permintaan mitra pengembang properti, fitur ini juga didasari atas beberapa permasalahan yang menurut mereka masih sering ditemui di pasar properti lokal, yakni kualitas agen properti yang tidak seragam dan proses pembelian rumah yang kurang transparan.

“Berbeda dengan pasar di negara lain seperti Amerika dan Singapura, belum ada regulasi khusus mengenai Agen Properti. Setiap orang bisa menjadi agen properti, namun belum tentu mereka tahu mengenai detail seperti kontrak, legalitas, dan proses. Di sini, semua agen kami akan melalui pelatihan dan proses kontrol yang ketat, dan dibantu dengan aplikasi kami yang sudah berjalan hampir 2 tahun dapat memberikan layanan yang baik dan konsisten,” ujarnya.

Selain itu Dekoruma juga meluncurkan NOMA, sebuah sistem manajemen desain interior. Saat ini aplikasi tersebut telah digunakan 5 ribu pengguna dari kalangan desainer interior dan arsitek di jaringan mereka. “NOMA itu seperti permainan The Sims, di mana pengguna dapat mendesain ruangan menggunakan katalog barang dari marketplace platform Dekoruma. Ini dapat memberikan transparansi harga dan ketersediaan barang,” terang Dimas.

Platform ini juga menjembatani proses bisnis saat ada pembatasan sosial akibat pandemi. Pelanggan bisa berdiskusi dengan desainer secara virtual lewat NOMA. Satu-satunya waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan fisik sebelum proses konstruksi adalah ketika pelanggan mengunjungi Dekoruma Experience Center untuk merasakan, merasakan, dan menyentuh langsung berbagai material dan produk.

Rencana berikutnya

Menurut laporan, ukuran pasar produk furnitur secara global telah mencapai $64,08 miliar pada tahun 2021 dan diproyeksikan tumbuh sampai 81,45 miliar pada 2025 mendatang dengan CAGR 9.09%. Studi di Amerika Serikat, 40% pertumbuhan telah disumbangkan dari segmen online. Potensinya tentu terbuka lebar untuk semua negara, termasuk Indonesia.

Terkait pangsa pasar, Dekoruma sendiri secara spesifik menargetkan kalangan middle-class dengan rentang usia 26 s/d 38 tahun. Kendati tidak menyebutkan angka rinci, sejauh ini produk furnitur yang mengalami peningkatan pesat adalah sofa-bed dan home office. Permintaan kitchen set juga terpantau meningkat tajam di platform.

Potensi pasar yang besar dan model bisnis yang solid memantapkan perusahaan untuk menyiapkan langkah strategis berikutnya. Terkait IPO, Dimas mengatakan, “Kami memiliki bisnis yang sehat, berkembang dan memberikan value creation bagi ekosistem home living Indonesia. IPO dapat memberikan landasan yang lebih kuat kami agar kami menjadi perusahaan yang lebih besar dan baik.”

Soal IPO belum banyak yang bisa dibagikan, termasuk kaitannya melantai di bursa lokal atau Amerika Serikat. Dimas menyebutkan, saat ini pihaknya masih melakukan studi untuk pertimbangan lebih lanjut.

Application Information Will Show Up Here

Pertumbuhan Marketplace Furnitur Selama Pandemi

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil pemerintah disikapi banyak perusahaan atau instansi dengan keputusan WFH atau bekerja dari rumah. Kondisi ini berimbas positif pada permintaan furnitur atau perlengkapan rumah di layanan marketplace furnitur. Pertama, karena banyak orang merasa harus mulai mempercantik rumah atau membuat rumah senyaman kantor dan, yang kedua, harus belanja dari rumah atau online.

Sebelumnya, industri marketplace furnitur terbilang cukup jauh dari sorotan. Sejumlah nama pada akhirnya menutup layanan, seperti Livaza, Decadeco, Vurnisio, dan beberapa lainnya. Di sisi lain, beberapa startup masih tetap bertahan dan bahkan mulai merancang inovasi bisnis mereka.

Fabelio tahun ini genap berusia 5 tahun. Klaim mereka, ada beberapa pertumbuhan yang cukup signifikan pada penjualan furnitur ritel dan jasa design & build. Jangkauan pengiriman yang lebih luas, mencakup 750 kecamatan di seluruh pulau Jawa dan ketersediaan showroom yang lebih banyak membuka peluang ke lebih banyak pelanggan. Saat ini, secara total, ada 20 showroom Fabelio di Jabodetabek dan Bandung.

“Untuk pertumbuhan, kami mencapai angka yang signifikan yaitu berupa kenaikan sebesar lebih dari 450% semenjak 2017. Hingga kini, sudah ada lebih dari 1000 projects yang ditangani oleh Fabelio Projects, mulai dari hunian seperti rumah dan apartemen, kantor hingga retail,” terang Co-Founder Fabelio Christian Sutardi.

Hal serupa juga dialami Ruparupa. Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo menjelaskan bahwa mereka mengalami pertumbuhan selama empat tahun beroperasi.

“Kami senang dengan pencapaian yang kami dapatkan selama 4 tahun terakhir. itu menunjukkan tren penjualan yang sehat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terutama ketika pandemi Covid-19 dimulai, kehadiran online Ruparupa diuji lebih lanjut karena hanya dalam beberapa hari, penjualan lebih dari tiga kali lipat,” terang Teresa.

Kondisi pertumbuhan juga dialami Dekoruma. Empat tahun beroperasi, mereka mengklaim sudah mampu menyuguhkan layanan end to end untuk mendapatkan rumah atau hunian idaman ke pelanggan. Tidak hanya jasa ritel dan design & build, tetapi juga membantu property developer memasarkan apartemen atau rumah.

“[..] Dengan produk yang kita buat sekarang, kita bisa menjalankan project dengan baik tanpa terpengaruh corona dan PSBB. Meeting masih bisa diselenggarakan, diskusi dengan ribuan kontraktor dengan digital,” cerita Co-Founder Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan
Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan

Cerita tentang pertumbuhan dan tantangan

Layanan marketplace furnitur di Indonesia sedikit berbeda dengan barang-barang kebanyakan. Ukuran atau dimensi yang cukup besar menjadi permasalahan serius membuat pengirimannya terbatas ke jarak atau jangkauan tertentu. Belum lagi pengalaman membeli perabotan online dan offline cukup berbeda karena banyak yang kurang puas hanya melihat display dalam bentuk gambar. Pandemi dan PSBB memaksa masyarakat untuk terbiasa berbelanja dari rumah, termasuk untuk urusan perabotan. Hal ini yang pada akhirnya meningkatkan adopsi pelanggan pertama.

“Penjualan secara online pun mengalami kenaikan sebesar hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penjualan sebelum masa pandemi. Selain itu, kami juga menerapkan protokol kesehatan dan kebersihan yang menyeluruh untuk semua titik interaksi mulai dari warehouse, showroom, hingga pengantaran produk sampai ke rumah customer. Seluruh langkah keselamatan ini kami lakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan dari seluruh stakeholders Fabelio; baik untuk customer ataupun karyawan kami,” terang Christian.

Demikian juga dengan Dekoruma. Dimas menyampaikan,”Untuk pandemi kita mengalami peningkatan dari segi retail. Untuk misalnya untuk perabot rumah tangga. Mengalami peningkatan yang cukup baik, selama tiga bulan terakhir masih growing month-of-month. PSBB mencerminkan potensi [layanan] e-commerce sebagai sebuah industri.”

Lonjakan pertumbuhan juga dialami Ruparupa. Di masa pandemi ini mereka meningkat hingga 3 kali lipat dalam kurun waktu dua hari. Sempat merasa kewalahan di awal lonjakan kini Ruparupa sudah mulai mampu mengantisipasi lonjakan.

“Melalui pengalaman inilah kami menyadari bahwa kami tidak dapat berhemat untuk terus membangun infrastruktur dan berinvestasi kembali di dalamnya. Platform omnichannel kami sangat teruji selama periode ini karena lebih dari sebelumnya pelanggan kami berbelanja dengan cara omnichannel. Mereka tidak lagi berlama-lama di store untuk browsing. Browsing dilakukan di website dan bahkan mengirimkan link-link produk yang tersedia ke toko terdekat untuk mengecek kesediaannya (jika itu adalah produk Ace / Informa, barang tersebut dapat diambil di toko),” terang Teresa.

Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo
Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo

Meskipun demikian, pertumbuhan tidak dialami semua pemain di industri. Andoleto, layanan marketplace yang sudah beroperasi sejak tahun 2016 mengklaim penurunan di tengah pandemi.

“Kami telah lama menerapkan online business, maka pada praktiknya bekerja secara remote sudah menjadi hal biasa bagi kami. Kami tentunya merasakan daya beli yang menurun di pandemi ini. Namun kami optimis dengan mulainya new normal, semua akan bangkit kembali secara perlahan,” papar CEO Andoleto Aty Samadikun.

Mengenai tantangan untuk  bertahan di industri semuanya sepakat. Fabelio, Dekoruma, maupun Andoleto menilai kepercayaan, pengalaman, dan pengiriman masih menjadi tantangan yang dihadapi, setidaknya untuk bisa tetap bertahan.

Dimas misalnya, melihat isu logistik di luar Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya, seperti Bandung dan Surabaya, cukup berat dan menjadi tantangan. Selain itu masih ada masalah kepercayaan dari pelanggan.

“Kembali ke empat tahun lalu, orang tidak membayangkan bagaimana membeli sofa tanpa melihat barangnya. Kendala ini yang dialami semuanya dan menurut saya itu kendala yang wajar. Butuh waktu, butuh edukasi. Jadi with or without pandemi, itu masalah yang dialami,” papar Dimas.

Sementara Christian menceritakan, “Kebutuhan customer untuk touch and feel [menjadi tantangan], di mana customer masih perlu untuk melihat langsung dan merasakan furnitur yang akan dibeli. Namun tantangan ini bisa kami overcome lewat fitur virtual assistant. Kami berusaha mengedukasi customer dengan layanan yang lebih personalized lewat layanan ini. Tantangan lainnya yang kami miliki adalah distribusi. Dengan ukuran barang yang lebih besar, kami harus mempersiapkan distribusi yang baik untuk menjangkau lebih banyak pelanggan.”

Co-founder Fabelio Christian Sutardi
Co-Founder Fabelio Christian Sutardi

Pendanaan

Tidak banyak yang diceritakan Aty tentang rencana Andoleto selanjutnya. Ia mencoba mengenalkan Andoleto ke lebih banyak masyarakat untuk calon pengguna. Sementara Rupapa berusaha terus untuk meningkatkan pengalaman pengguna dan sistem omnichannel mereka. Sedangkan untuk Fabelio dan Dekoruma. tahun ini keduanya sama-sama berhasil mengamankan pendanaan baru.

Dekoruma mengamankan pendanaan Seri C dari InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor di putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi. Sementara Fabelio menerima pendanaan Seri C sebesar US$20 juta atau setara 283,4 miliar Rupiah yang dipimpin oleh AppWorks, Endeavour Catalyst, dan MDI Ventures, dengan keterlibatan investor sebelumnya, Aavishkaar Capital.

Dekoruma mulai mengembangkan platform baru untuk memudahkan pelanggannya mendesain rumah idaman, termasuk platform untuk mempromosikan hunian, baik itu rumah maupun apartemen. Sementara Fabelio sudah merencanakan untuk ekspansi untuk bisa menjangkau lebih banyak daerah, agar bisa hadir ke lebih banyak orang.

Update: Penambahan informasi dari Ruparupa

Rencana dan Target Dekoruma Perluas Lini Bisnis di Tahun 2020

Memasuki akhir tahun 2019, platform jasa desain interior dan konstruksi Dekoruma menyampaikan sejumlah pencapaiannya. Kepada media, Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan menyebutkan, saat ini platformnya telah memiliki sekitar satu juta pengguna aktif dan 500 merchant ritel. Mereka juga telah memiliki Experience Center dan rencananya tahun depan jumlahnya akan ditambah di area Jabodetabek.

Meskipun saat ini fokusnya 70% masih kepada B2C, namun Dekoruma juga terus membuka kemitraan dengan pengembangan rumah atau perusahaan properti di Indonesia.

“Salah satu kerja sama yang telah kami lancarkan adalah dengan Ciputra yang bisa diakses di kanal properti. Meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, namun fokus kami masih kepada B2C,” kata Dimas.

Untuk pembayaran paling banyak dipilih oleh pelanggan Dekoruma adalah kartu kredit kemudian transfer bank. Sementara pilihan gratis ongkos kirim masih jadi fitur favorit penarik minat dan akan terus disuguhkan kepada pelanggan.

Dari demografi pengguna yang dimiliki, mereka mengklaim sebanyak 60-70% pengguna berasal dari kalangan perempuan. Hal ini turut disesuaikan pada visi Experience Center, didesain untuk meng-cater target pelanggan dengan gaya khas Dekoruma.

“Jika ditanya apa gaya atau pilihan dari selera dekorasi dan desain rumah, banyak pelanggan yang tidak bisa menjawab. Namun dengan melihat situs dan mengunjungi Experience Center kami biasanya mereka akan mendapatkan inspirasi seperti apa gaya yang sesuai untuk mereka,” kata Dimas.

Tahun 2020 mendatang, perusahaan memastikan untuk melakukan ekspansi di luar Jabodetabek. Kota-kota besar yang disasar di antaranya adalah Surabaya, Medan, Makassar, dan Bali. Rencana ekspansi ini adalah salah satu realisasi perusahaan pasca menerima pendanaan seri B dari Global Digital Niaga (Blibli) dan AddVentures tahun lalu.

Pihaknya juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahun 2020 mendatang, kendati tidak disebutkan detail waktu dan target perolehannya.

“Memang ada rencana tapi kami belum mulai melakukan penggalangan dana. Namun penjajakan dan pertemuan dengan investor terkait masih terus kita lakukan,” kata Dimas

Teknologi untuk mitra desainer interior

Salah satu lini bisnis yang tengah dijajaki adalah jasa desain interior ruangan yang menyasar kalangan premium. Karena makin besarnya minat dibarengi peningkatan kemampuan finansial dari segmen tersebut untuk membayar jasa desain interior. Saat ini perusahaan tengah mempersiapkan teknologi yang relevan yang bisa dimanfaatkan oleh mereka.

Melalui teknologi ini diharapkan bisa menjembatani kebutuhan pelanggan dengan produk yang tersedia di Dekoruma dan para desainer interior yang tersebar di Jabodetabek.

“Saat ini teknologi tersebut sudah kami terapkan kepada desainer yang bergabung dengan Dekoruma. Rencananya tahun depan teknologi tersebut akan kami luncurkan untuk publik,” kata Dimas.

Application Information Will Show Up Here

Fabelio Luncurkan Fitur “Sofa Trial” dan “One Day Delivery”

Setelah meresmikan showroom baru di Senayan City bulan Agustus 2017 lalu, layanan e-commerce furnitur Fabelio kembali menghadirkan dua fitur baru di wilayah Jabodetabek. Menurut Co-Founder dan Chief Design Officer Fabelio Marshall Utoyo, dihadirkannya dua fitur baru ini merupakan feedback pelanggan Fabelio selama menjalankan bisnis dua tahun terakhir.

“Kita sering mendengar keluhan pelanggan yang suka salah membeli furnitur namun tidak memiliki kesempatan untuk mengembalikannya. Dengan fitur Sofa Trial semua bisa dilakukan.”

Fitur Sofa Trial ini bisa digunakan pembeli melalui situs dan mobile browser Fabelio. Dengan melakukan pemesanan dan pembayaran seperti biasa, pembeli yang telah memesan produk furnitur di Fabelio, kemudian merasa tidak cocok dengan produk yang ada, bisa langsung mengembalikan produk tersebut secara gratis. Cukup melakukan pendaftaran secara online tanpa dikenakan biaya tambahan.

“Untuk pengiriman juga kita sengaja berikan gratis, agar memudahkan pembeli. Tidak ada persyaratan yang rumit dan menyulitkan pembeli,” kata Marshall.

Pengiriman langsung dalam satu hari

Selain fitur Sofa Trial, Fabelio juga menghadirkan fitur 1 day delivery untuk calon pembeli furnitur Fabelio. Fitur ini yang juga hanya tersedia di Jabodetabek, memungkinkan calon pembeli yang ingin mendapatkan furnitur secara cepat hari itu juga atau pengantaran esok hari.

“Dengan kebijakan 1 day delivery yang ditawarkan oleh Fabelio kami percaya pelanggan tidak hanya mendapatkan jaminan untuk mendapat barang yang sesuai namun juga dengan proses pengiriman yang cepat,” kata Marshall.

Showroom Fabelio juga menyediakan layanan B2B Fabelio for Business untuk perusahaan hingga startup yang ingin bekerja sama.

Sejak diluncurkan pada Juni 2015 lalu sebagai layanan e-commerce yang berfokus pada penjualan furnitur dan hanya melayani wilayah Jabodetabek, pada akhir bulan Oktober 2016 Fabelio melakukan ekspansi wilayah layanan pengiriman ke Bandung, Cimahi, Purwakarta dan Karawang.

Rayakan HUT Kedua, Fabelio Perluasan Jangkauan Pengiriman ke Empat Kota di Jawa Timur

Di HUT-nya yang kedua, layanan belanja furnitur online lokal Fabelio mengumumkan penambahan wilayah layanan pengiriman ke Jawa Timur. Startup yang menyediakan pembelian furnitur secara online dan memiliki showroom di kawasan Jakarta Selatan ini, secara resmi mengumumkan 4 wilayah layanan baru, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kabupaten Sidoarjo. Dalam rilisnya disebutkan perluasan wilayah jangkauan pengiriman ini dilakukan sejalan dengan misi utama yaitu memudahkan akses layanan interior furnitur untuk konsumen di Indonesia.

“Kami berharap ke depannya Fabelio dapat terus memberikan layanan yang terbaik bagi para konsumen, mitra serta klien kami, seperti layaknya motto kami furnishing happiness, kami ingin menghadirkan kebahagiaan di mana pun kami berada,” kata Chief Operating Officer Fabelio Christian Sutardi.

Selama ini Fabelio hanya melayani pengiriman dalam lokasi terbatas di Jabodetabek. Hal tersebut dilakukan agar bisa lebih fokus dalam hal pelayanan dan tentunya menyesuaikan permintaan dari konsumen. Selain showroom di Panglima Polim, saat ini Fabelio juga telah memiliki showroom di Senayan City.

Dua tahun menjalankan bisnis, Fabelio mengklaim mengalami jumlah pelanggan yang cukup signifikan. Fabelio mencatat rata-rata sebanyak 300 ribu total jumlah kunjungan situs Fabelio tiap bulannya, dan berhasil membukukan pertumbuhan 90 kali lipat dari kali pertama situs Fabelio aktif di tanggal 1 Juni 2015. Fabelio juga telah menambah dua layanan terbaru yaitu Home by Fabelio (penyedia jasa desain interior rumah) dan Design & Build (B2B – penyedia jasa desain interior kantor dan ruang komersil lainnya).

“Kami sangat bersyukur atas respon baik dan antusiasme yang diberikan oleh konsumen Fabelio selama dua tahun ini. Kami tidak mungkin bisa seperti sekarang ini tanpa dukungan penuh dari konsumen, mitra yang tumbuh bersama kami serta klien yang sudah mempercayakan huniannya kepada kami. Saat ini, telah ada 7 ribu kantor, rumah dan restoran yang telah berbagi kebahagiaannya bersama kami,” kata Christian.