Kenapa Gamers Nge-Cheat? Apa Dampaknya?

Dari tahun ke tahun, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi esports terus naik. Karena itu, tidak heran jika kecurangan dianggap sebagai masalah serius. Saat ini, bahkan telah ada Esports Integrity Commission (ESIC), yang bertujuan untuk memastikan integritas dari dunia esports. Namun, orang-orang yang menggunakan cheats atau berbuat curang dalam game tidak terbatas pada pemain profesional. Tidak sedikit gamers amatir atau bahkan gamers kasual yang juga berbuat curang. Hal ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gamers berbuat curang saat bermain?

Kecurangan Tidak Terbatas oleh Gender

Kebanyakan riset tentang cheating di dunia game fokus pada laki-laki. Hal ini menyebabkan munculnya asumsi bahwa laki-laki lebih sering berbuat curang dalam game daripada perempuan. Namun, studi tentang para pemain Whyville — game edukasi yang ditujukan untuk anak-anak berumur delapan tahun ke atas — menunjukkan bahwa asumsi itu salah. Whyville yang diluncurkan pada 1999. Kebanyakan pemain dari game itu adalah anak dan remaja perempuan di rentang umur 8-13 tahun. Dan ternyata, ada banyak pemain dari game tersebut yang berbuat curang.

“Ketika saya dengar bahwa Whyville dibuat untuk remaja perempuan, saya bertanya pada sang developer: apakah hal itu berarti mereka tidak perlu khawatir tentang masalah cheating,” kata Mia Consalvo, Professor di bidang Game Studies and Design dan Communication Studies di Concordia University, Kanada, seperti dikutip dari BBC. Namun, ternyata, walau 68% pemain dari Whyville adalah anak dan remaja perempuan berumur 8-13 tahun, game itu dipenuhi dengan orang-orang yang berbuat curang.

Dalam Whyville, para pemain akan mendapatkan clams — mata uang virtual yang digunakan dalam game — jika mereka berhasil memecahkan puzzles tentang sains atau matematika. Clams yang didapatkan oleh pemain bisa digunakan untuk mengubah avatar pemain. Misalnya, mengubah tampilan wajah atau potongan rambut avatar. Selain itu, clams juga bisa digunakan untuk membeli item tertentu. Setelah mendesain avatar sesuai dengan selera mereka, para pemain bisa menjual desain avatar tersebut dengan harga yang mereka tentukan sendiri.

Whyville adalah game edukasi untuk anak dan remaja. | Sumber: PC Mag

Menurut Yasmin Kafai, Professor of Learning di University of Pennsylvania, AS dan Deborah Fields dari Utah State University, AS, kecurangan yang dilakukan oleh pemain Whyville beragam. Sama seperti game lain, game itu juga punya cheat codes dan walkthrough guides yang bisa pemain gunakan. Selain menggunakan cheat codes, kecurangan lain yang pemain lakukan adalah dengan membuat akun kedua atau bahkan meretas akun pemain lain agar mereka bisa mendapatkan clams.

Menariknya, Consalvo juga menemukan metode cheating yang jarang digunakan di game lain, yaitu manipulasi harga pasar. Untuk melakukan itu, para pemain akan bersekongkol dan menggunakan fitur chat untuk mengklaim betapa langkanya desain avatar yang mereka jual. Terkadang, mereka menyebarkan rumor bahwa desain avatar yang mereka tawarkan sedang dicari oleh banyak orang. Harapannya, hal ini akan membuat calon konsumen rela untuk mengeluarkan clams lebih banyak. Consalvo menyebut fenomena ini sebagai “arbitrase sosial”, yaitu ketika sekelompok orang berusaha untuk memanipulasi pasar menggunakan kemampuan sosial mereka.

“Hal ini sangat mengejutkan, kan?” kata Consalvo, ketika dia membahas tentang cara kreatif yang digunakan pemain untuk mendapatkan clams. “Anda tidak akan bisa tahu siapa yang melakukan apa di dalam game. Dan karena itulah, sesuatu yang baru dan menarik akan selalu terjadi.”

Kenapa Kita Bermain Curang?

Sekarang, game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Seiring dengan semakin meningkatnya popularitas game, semakin banyak pula orang yang menjadi gamers. Alhasil, gamers kini juga bisa mendapatkan label “cool. Consalvo menyebut konsep ini sebagai “gaming capital“. Jadi, seseorang bisa menjadi populer di komunitas, jika dia bisa sukses dalam game. Dan tentu saja, dia akan ingin bisa mempertahankan kepopuleran mereka itu.

“Jika Anda sangat serius menekuni game tertentu, Anda akan mendapatkan informasi yang tidak diketahui pemain lain… Dan informasi itu bisa Anda bagikan dengan pemain lain,” kata Consalvo. “Hal seperti ini bisa disebut sebagai ‘cultural capital‘.”

Seseorang bisa menjadi populer di komunitas karena keahlian dalam bermain game. | Sumber: Pexels

Hanya saja, biasanya seorang gamer yang berhasil menjadi populer di komunitas akan ingin mempertahankan status itu meski dia harus berbuat curang. Satu hal yang menarik, pemain yang berbuat curang biasanya adalah pemain yang justru punya performa cukup baik dalam game dan bukannya orang-orang yang sama sekali gagal dalam game. Hal ini mengimplikasikan, seseorang akan lebih termotivasi untuk berbuat curang demi mempertahankan apa yang dia miliki daripada untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah dia raih.

Keputusan seseorang untuk berbuat curang demi mempertahankan statusnya tidak hanya terjadi di dunia game, tapi juga di bidang lain, seperti akademi. Kerry Ritchie melakukan penelitian tentang bagaimana cara untuk memperbaiki kualitas pengajaran di University of Guelph, Ontario, Kanada. Dari penelitian itu, dia menemukan, sebagian besar murid yang berbuat curang adalah murid yang memiliki nilai yang bagus. Sebanyak 60% orang yang berbuat curang mendapatkan nilai 80/100 atau lebiih. Memang, berbuat curang dalam game dan berbuat curang di sekolah adalah hal yang berbeda. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, ada kesamaan pada alasan seseorang berbuat curang.

Selain keingingan untuk mempertahankan status, ada faktor lain yang bisa mendorong seorang gamer untuk berbuat curang. Pertemanan adalah salah satu faktor tersebut. Gamer yang punya teman yang juga berbuat curang punya kemungkinan lebih besar untuk berbuat curang. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, perilaku seseorang biasanya dipengaruhi oleh perilaku teman-temannya. Kedua, karena biasanya, manusia cenderung mencari teman dengan pemikiran yang serupa.

Dampak Bermain Curang

Tentu saja, berbuat curang akan memberikan dampak tersendiri, khusunya dalam game multiplayer online. Salah satu dampak buruk yang muncul, menurut Kafai dan Fields, adalah rusaknya pengalaman bermain dari korban. Tidak tertutup kemungkinan, korban penipuan akan berhenti bermain sama sekali.

Kafai dan Fields lalu menceritakan kisah Zoe, pemain berumur 12 tahun yang menjadi korban penipuan di Whyville. Satu hari setelah dia ditipu, dia  balik menipu pemain lain untuk pertama kalinya. Namun, dua minggu kemudian, dia berhenti bermain Whyville. Tampaknya, dia tidak lagi menikmati pengalaman bermain game tersebut karena penipuan.

Kafai dan Fields menjelaskan, penipuan yang tidak memanfaatkan desain game sebagai loophole dan ditujukan ke pemain lain, jenis penipuan tersebut bisa punya kaitan dengan cyberbullying. Sementara itu, tingginya tingkat penipuan yang terjadi di Whyville menunjukkan, anak dan remaja harus diajarkan tentang konsekuensi dari tindakan yang mereka ambil. Dengan begitu, mereka bisa tahu dampak yang terjadi ketika mereka memutuskan untuk menipu pemain lain.

Menjadi korban kecurangan bisa membuat seseorang berbuat curang. | Sumber: Research Gate

Berbuat curang akan memberikan dampak yang berbeda, tergantung pada apakah pemain bermain game single-player atau multiplayer. Dalam game single-player, menggunakan kode cheats justru bisa membuat pemain lebih menikmati sebuah game. Satu hal yang pasti, meskipun pemain berbuat curang dalam game single-player, tidak ada pemain lain yang dirugikan. Lain halnya dengan kecurangan dalam game multiplayer. Ketika seseorang menggunakan cheat dalam game single-player, hal ini bahkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis mereka.

Consalvo menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa menggunakan cheats dalam game single-player justru bisa membuat para pemain merasa puas. Alasan pertama: terkadang, desain game tidak sempurna. Kesalahan dalam desain game bisa menyebabkan pemain terjebak di satu tempat dalam game. Dan terjebak di satu titik tanpa bisa melanjutkan game bukanlah hal yang menyenangkan. Consalvo mengungkap, hal ini menjadi alasan utama mengapa seorang gamer menggunakan kode cheat.

Lalu, Consalvo membandingkan bermain game dengan membaca buku. Ketika membaca buku, pembaca bisa melakukan skimming atau bahkan melewati bagian yang dianggap membosankan. Jadi, pembaca tidak akan kehilangan minat di tengah jalan ketika mereka sampai di bagian yang membosankan. Sayangnya, hal yang sama tidak bisa dilakukan di game. Kebanyakan game didesain sedemikian rupa sehingga untuk bisa memainkan level berikutnya, pemain harus menyelesaikan level yang sedang dia mainkan. Karena itulah, ada kalanya, menggunakan cheats di game single-player justru bisa membuat pemain merasa puas.

Sumber header: Pexels

Newzoo: RPG Adalah Genre Mobile Game dengan Pendapatan Terbesar di Tahun 2020

Pernahkah Anda bertanya dalam hati, “Di genre game apa mayoritas gamer mobile menghabiskan paling banyak uang?” Apakah di game-game kasual seperti Candy Crush atau Hay Day? Di game strategi macam Clash of Clans? Atau malah di game RPG seperti Genshin Impact?

Berdasarkan laporan terbaru dari Newzoo dan platform mobile ads Pangle, jawabannya adalah RPG, setidaknya selama tahun 2020. Dalam laporannya, dikatakan bahwa dari total pendapatan di industri mobile game pada tahun 2020, 21,3% di antaranya berasal dari genre RPG — paling besar di antara genre-genre lainnya.

Jadi dari total pendapatan industri mobile game sebesar $86,9 miliar di tahun 2020, sekitar $18,5 miliar merupakan hasil belanja para pemain game RPG. Menariknya, penyumbang terbesar dari angka $18,5 miliar itu adalah negara-negara di kawasan Asia Timur, spesifiknya Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.

Pada kenyataannya, tiga negara tersebut menyumbang 72% dari total pendapatan mobile RPG. Paling besar adalah Tiongkok dengan $7,84 miliar, disusul oleh Jepang dengan $3,46 miliar, kemudian Korea Selatan dengan $2,04 miliar. Yang mungkin jadi pertanyaan berikutnya adalah, kok bisa para pemain mobile RPG di kawasan Asia Timur, khususnya di tiga negara tadi, berani mengeluarkan jauh lebih banyak uang ketimbang pemain dari negara-negara lain?

Menurut Newzoo, salah satu alasannya adalah karena RPG bikinan negara-negara timur mengemas lebih banyak mekanik, lebih banyak fitur gameplay sosial, dan lebih banyak update rutin yang berbobot (live-ops).

Berdasarkan hasil studi Newzoo, eksplorasi merupakan salah satu faktor utama mengapa gamer tertarik dengan genre RPG. Agar pemain bisa terus termotivasi, tentunya perlu ada hal yang mendorong mereka untuk terus bereksplorasi, semisal update yang menghadirkan kota atau lokasi baru di dalam game. Itulah mengapa beberapa judul mobile RPG yang sukses adalah yang rutin menerima update konten baru dari pengembangnya.

Lebih lanjut, tidak sedikit juga mobile RPG yang kini menaruh fokus ekstra pada aspek live-ops dengan menggelar beragam event di dalam game maupun menjalin kolaborasi dengan brand. Salah satu contohnya adalah Genshin Impact.

Data yang direkam Newzoo menunjukkan bahwa berbagai event baru dan koleksi item gacha yang dihadirkan di Genshin Impact terbukti mampu meningkatkan engagement sekaligus kecenderungan pemain untuk mengeluarkan uang. Alhasil, tidak kaget kalau in-app purchase (IAP) masih tetap menjadi sumber pemasukan terbesar buat genre RPG.

Selain IAP, in-app advertising juga menjadi opsi monetisasi lain yang semakin diterima oleh para pemain mobile RPG. Survei yang dilakukan Newzoo menunjukkan bahwa 73% pemain mobile RPG tidak keberatan dengan keberadaan iklan di dalam game seandainya itu bisa membantu progres permainan mereka, seperti misalnya menonton video iklan untuk mendapatkan item atau mata uang dalam game secara cuma-cuma.

Sumber: Newzoo via Games Industry.

Kreator Cheats di PUBG Mobile Kena Sanksi Sebesar US$10 Juta, Durasi Bermain Dyling Light 2 Bisa Tembus 500 Jam

Minggu lalu, ESA mengonfirmasi bahwa tahun ini, E3 tidak akan digelar secara offline. Sementara itu, grup hackers yang membuat cheats untuk PUBG Mobile dikenakan denda sebesar US$10 juta. Pada minggu lalu, Roblox juga memutuskan untuk menghapus aplikasi mereka dari app stores di Tiongkok karena mereka sedang mengembangkan versi baru. Dan developer Dying Light 2 mengatakan, untuk menamatkan game itu sepenuhnya diperkukan waktu sekitar 500 jam.

Pembuat Cheats untuk PUBG Mobile Kena Denda Sebesar US$10 Juta

Grup hackers yang membuat cheats untuk PUBG Mobile dikenakan hukuman berupa denda senilai US$10 juta. Pihak developer PUBG mengatakan, mereka akan menggunakan uang tersebut untuk membuat teknologi anti-cheat. Grup pembuat cheats PUBG Mobile ini dibawa ke meja hijau oleh Tencent Games dan Krafton, yang merupakan publisher dari PUBG Mobile. Kedua perusahaan itu lalu dimenangkan oleh pengadilan federal di Amerika Serikat dan Jerman.

Selain membayar denda, kelompok hackers yang membuat cheats ini juga diharuskan untuk memberikan informasi tentang cara mereka untuk mengeksploitasi celah yang ada dalam game. Tak hanya itu, mereka juga dilarang untuk melibatkan diri dalam kegiatan ilegal terkait game cheating di masa depan, menurut laporan IGN.

Total Playtime dari Light 2 Capai 500 Jam

Techland, developer Dying Light 2, mengonfirmasi bahwa pemain perlu menghabiskan 500 jam untuk bisa menyelesaikan game tersebut sepenuhnya. Di Twitter, mereka mengungkap, total playtime dari Dying Light 2 bisa dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk berjalan dari Warsaw, Polandia ke Madrid, Spanyol. Menurut laporan IGN, jarak antara kedua kota itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 534 jam.

Pengumuman dari Techland ini membuat netizen heboh. Sebagian orang mengaku khawatir dengan waktu playtime yang sangat lama tersebut. Namun, Techland meyakinkan, 500 jam adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan semua hal yang ada di dalam Dying Light 2. Jika pemain hanya fokus pada cerita utama dan side quests, mereka akan bisa menamatkan Dying Light 2 dalam waktu kurang dari 100 jam.

2022, E3 Tidak Diadakan Secara Offline

Entertainment Software Association (ESA) telah mengonfirmasi bahwa tahun ini, E3 tidak akan digelar secara offline. Alasan ESA untuk tidak menyelenggarakan E3 secara offline adalah karena pandemi COVID-19, khususnya kemunculan varian baru, yaitu Omicron. Tahun lalu, acara E3 hanya diadakan secara online dan pada 2020, E3 dibatalkan sama sekali.

“COVID-19 memunculkan risiko kesehatan yang bisa memberikan dampak buruk, baik pada pengunjung dan exhibitors E3. Karena itu, E3 tidak akan diadakan secara offline pada 2022,” tulis ESA dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Pocket Gamer. “Kami tetap tidak sabar untuk mengadakan E3 dan kami akan memberikan informasi lebih lanjut tentang acara itu dalam waktu dekat.”

Xbox Jalin Kerja Sama dengan Merek Cat Kuku OPI

Minggu lalu, Xbox mengumumkan kerja sama mereka dengan brand cat kuku OPI. Melalui kerja sama ini, pemain akan bisa mendapatkan skin khusus di Halo Infinite dan Forza Horizon 5. Skin tersebut akan memiliki warna yang sesuai dengan cat kuku yang Anda beli di dunia nyata. Di situs resmi, disebutkan bahwa koleksi OPI x Xbox menawarkan cat kuku dalam 12 warna yang berbeda.

Koleksi cat kuku Xbox x OPI.

Selain mendapatkan skin khusus, orang-orang yang membeli cat kuku hasil kerja sama Xbox dengan OPI ini akan punya kesempatan untuk memenangkan custom wireless controllers Xbox. Dari 12 warna cat kuku yang tersedia, warna yang dipilih untuk custom controller itu adalah warna yang menjadi warna favorit netizens, lapor IGN.

Dalam beberapa bulan belakangan, Xbox memang sibuk menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dari berbagai industri. Tahun lalu, Xbox bekerja sama dengan Adidas untuk meluncurkan sepatu yang terinspirasi oleh konsol Xbox. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan Krispy Kreme untuk membuat donut bertema Xbox dan berkolaborasi dengan Gucci untuk membuat Xbox Series X senilai US$10 ribu.

Roblox Hapus Aplikasi di Tiongkok, Bangun Aplikasi Baru

Roblox menutup aplikasi mereka di Tiongkok. Menurut laporan Reuters, aplikasi LuoBuLesi — yang Roblox luncurkan di Tiongkok pada tujuh bulan lalu, dengan bantuan dari Tencent — telah menghilang dari berbagai app stores di negara tersebut. Orang-orang yang sudah mengunduh aplikasi Roblox akan mendapatkan pesan, yang mengucapkan terima kasih karena mereka telah menggunakan aplikasi versi pengujian.

Juru bicara Roblox mengatakan, keputusan perusahan untuk menghapus aplikasi di Tiongkok merupakan bagian dari strategi mereka. Dia juga mengungkap, Roblox kini tengah mengembangkan versi terbaru dari aplikasi mereka. Namun, masih belum diketahui kapan aplikasi terbaru itu akan diluncurkan, lapor GamesIndustry.

Sumber header: Steam

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay

VCGamers Secures 37.3 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce and NFT for Games

VCGamers is a social commerce platform for gamers. The company recently announced to reach a $20 million valuation or equivalent to 287.4 billion Rupiah. Previously, in mid-2021, VCGamers has secured a $2.6 million seed funding or equivalent to 37.3 billion Rupiah, led by BEENEXT and Rans Ventures – the venture capital unit owned by celebrities Raffi Ahmad and Nagita Slavina.

A number of angel investors participated in the funding, including Ari Fadyl (Google APAC’s executive) and Jerry Soer (VP of Collab Asia).

“VCGamers aims  to become an all-in-one home and platform for gamers, and to provide economic empowerment for small businesses and entrepreneurs in the gaming ecosystem. We are fully committed to building a platform that can serve the needs of all gamers in Indonesia and the region,” the Co-Founder & CEO, Isya Sony Subrata said .

Isya founded VCGamers along with Hartanto, Ibnu Anggara, and Wafa Taftazani. Wafa recently announced his new startup Upbanx has received $5.2 million and currently participating in the Y Combinator program. He was previously known as the founder of Modal Rakyat and also an angel investor for several startups.

After the funding, VCGamers will accelerate product development, grow the business, and plan to expand into Southeast Asia. VCGamers is currently under PT Sotta Teknologi, with its headquarter in Bekasi, West Java.

Currently they offer services through a web platform. The game players can buy and sell various items/assets/currencies used in a gaming ecosystem. Developed as a hub, VCGamers  allows users to connect with each other, including hosting events such as tournaments or creating an esports team.

Entering the NFT ecosystem

Furthermore, VCGamers will enter the Web3 game. Today (07/1) they will conduct a debut offering for the VCG token which will later become one of the transaction support assets in the social commerce. In addition, VCG is designed to revive the NFT gaming ecosystem, including for trading game items and assets. Its total supply reaches 100 million, operating on top of the Binance platform.

A social commerce-based approach is considered relevant to animate transactions in the gaming business.It is due to many items are obtained by individuals – and can be traded to other users. VCG can provide support for a better transaction process, especially if it succeed in penetrating the regional market – especially for cross-border transactions which is more affordable.

In the area of asset and gaming item marketplace, VCGamers is not a solo player. There is also itemku which is also Bukalapak’s subsidiary. The market value of the gaming industry in Indonesia is projected to reach 24.4 trillion Rupiah last year. It is projected to continuously increase as more mature business models are applied to the business ecosystem — particularly driven by the development of esports businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

VCGamers Dapat Pendanaan 37,3 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce dan NFT untuk Game

VCGamers merupakan sebuah platform social commerce untuk pemain game. Baru-baru ini mereka mengumumkan telah mencapai valuasi $20 juta atau setara 287,4 miliar Rupiah. Sebelumnya pada pertengahan tahun 2021 lalu, VCGamers membukukan pendanaan awal senilai $2,6 juta atau setara 37,3 miliar Rupiah yang dipimpin oleh BEENEXT dan Rans Ventures — unit usaha modal ventura milik selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Sejumlah angel investor turut berpartisipasi dalam pendanaan tersebut, di antaranya Ari Fadyl (eksekutif Google APAC) dan Jerry Soer (VP Collab Asia).

“Tujuan VCGamers adalah menjadi rumah dan platform all-in-one bagi para gamer, dan untuk memberikan pemberdayaan ekonomi bagi usaha kecil dan pengusaha di ekosistem game. Kami berkomitmen penuh untuk membangun platform yang dapat melayani kebutuhan semua gamer di Indonesia dan regional,” ujar Co-Founder & CEO Isya Sony Subrata.

Selain Isya, VCGamers turut didirikan Hartanto, Ibnu Anggara, dan Wafa Taftazani. Wafa sendiri baru-baru ini juga mengumumkan startup barunya Upbanx yang telah mendapatkan pendanaan investor $5,2 juta bebarengan dengan keikutsertaannya ke dalam program Y Combinator. Ia juga sebelumnya dikenal sebagai pendiri Modal Rakyat dan menjadi angel investor di sejumlah startup.

Pascapendanaan ini, VCGamers akan mengakselerasi pengembangan produk, menumbuhkan bisnis, dan merencanakan ekspansi ke Asia Tenggara. VCGamers sendiri bernaung di bawah PT Sotta Teknologi, memiliki markas pusat di Bekasi, Jawa Barat.

Saat ini mereka menjajakan layanannya melalui platform web. Di sana para pemain game dapat membeli dan menjual berbagai item/aset/mata uang yang digunakan dalam sebuah ekosistem permainan game. Dikembangkan menjadi sebuah hub, VCGamers juga memungkinkan antarpengguna untuk saling terhubung, termasuk untuk mengadakan sebuah acara seperti turnamen atau membuat tim esports.

Masuki ekosistem NFT

Rencana berikutnya yang akan segera dimatangkan, VCGamers akan masuk ke permainan Web3. Hari ini (07/1) mereka akan melakukan penawaran perdana untuk token VCG yang nantinya akan menjadi salah satu aset penunjang transaksi di social commerce milik mereka. Selain itu VCG juga didesain untuk menghidupkan ekosistem NFT game di dalamnya, termasuk untuk memperjual-belikan item dan aset game. Total suplainya mencapai 100 juta, berdiri di atas platform Binance.

Pendekatan berbasis social commerce juga dinilai relevan untuk menghidupkan transaksi dalam bisnis game. Pasalnya item-item game memang banyak didapat oleh individu –dan dapat diperjual-belikan kepada pengguna lain. VCG dapat memberikan dukungan untuk proses transaksi yang lebih baik, apalagi jika nantinya VCGamers berhasil menembus pasar regional – khususnya untuk transaksi cross-border yang lebih terjangkau.

Di ranah marketplace aset dan item game sendiri VCGamers tidak sendiri, sejumlah pemain telah masuk di kawasan ini. Salah satunya itemku yang saat ini menjadi anak perusahaan dari Bukalapak. Nilai pasar industri game di Indonesia diproyeksikan telah mencapai 24,4 triliun Rupiah pada tahun lalu. Diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan model bisnis yang makin matang diaplikasikan pada ekosistem bisnis tersebut — khususnya didorong perkembangan pebisnis esports.

Free Fire Punya Peta Baru: Alpine, Nintendo Ungkap Daftar Game Indie Terpopuler di Switch

Pada akhir 2021, menjelang tahun baru 2022, ada beberapa kabar menarik dari industri game. Salah satunya, Garena meluncurkan peta baru untuk Free Fire. Peta yang dinamai Alpine itu diluncurkan tepat pada 1 Januari 2022. Selain itu, Krafton juga mengungkap bahwa mereka akan merilis peta baru untuk PUBG: New State pada pertengahan 2022. Sementara Nintendo baru saja merilis daftar game-game indie paling populer sepanjang 2021. Dan President Square Enix menyambut tahun baru dengan mengungkap minatnya akan berbagai teknologi baru di dunia game, khususnya NFT.

1 Januari 2022, Garena Luncurkan Peta Baru untuk Free Fire

Free Fire kini punya peta baru, yang dinamai Alpine. Pada awalnya, Alpine merupakan desa nelayan. Desa itu lalu diubah menjadi pos militer pada Winter War. Alpine resmi dirilis pada 1 Januari 2022, menurut laporan Dot Esports.

Tampilan peta baru Free Fire, Alpine.

Bersamaan dengan peluncuran peta baru, Garena juga mengadakan berbagai events di Free Fire. Dalam salah satu event, pemain akan bisa mendapatkan Magic Cube Fragments jika mereka bermain di peta baru. Kepingan tersebut dapat ditukar dengan “item eksklusif” di Magic Cube exchange store. Di toko itu pula, pemain juga akan menemukan beberapa bundles yang bisa didapatkan dalam waktu terbatas, seperti Winter Icerunner Costume Bundle.

Nintendo Ungkap Game-Game Indie Terbaik di Switch

Sejak Nintendo Switch diluncurkan pada 2017, ada banyak game indie yang dirilis untuk konsol tersebut. Pada 2021, berbagai game indie yang unik dan kreatif juga diluncurkan untuk Switch. Untuk menunjukkan apreasiasi mereka pada developer indie, Nintendo merilis daftar game-game indie dengan penjualan terbaik sepanjang 2021. Daftar itu ditampilkan dalam video Indie World terbaru mereka.

Berikut daftar game-game indie dengan penjualan terbaik sepanjang 2021 di Nintendo Switch:

Axiom Verge 2
Curse of the Dead Gods
Cyber Shadow
Doki Doki Literature Club
Eastward
Ender Lilies: Quietus of the Knights
Islanders: Console Edition
Littlewood
Road 96
Slime Rancher: Plortable Edition
Spelunky 2
Stick Fight: The Game
Subnautica + Subnautica: Below Zero
Tetris Effect: Connected
Unpacking

PUBG: New State Bakal Punya Peta Baru di Pertengahan 2022

Minggu lalu, Krafton memamerkan tampilan peta baru untuk PUBG: New State. Melalui Twitter, developer asal Korea Selatan itu mengatakan, mereka sedang mengembangkan battleground baru yang akan diluncurkan pada pertengahan 2022. Sayangnya, saat ini, belum ada banyak informasi yang ada tentang peta baru tersebut. Selain peta baru untuk New State, Krafton mengatakan bahwa mereka juga akan meluncurkan dua peta baru — Kiki dan Tiger — di PUBG: Battlegrounds dalam waktu dekat, lapor Dot Esports.

Saat ini, PUBG: New State hanya punya dua peta. Pertama adalah Troi, yang merupakan peta eksklusif untuk game tersebut. Kedua adalah peta yang didasarkan pada Erangel. Kedua peta tersebut memiliki ukuran 8×8 kilometer. Sejauh ini, Krafton juga belum mengungkap ukuran dari peta baru untuk New State. Tampaknya, peta baru itu akan berupa medan berat yang dipenuhi dengan pepohonan.

Presiden Square Enix Tunjukkan Minat akan NFT dan Blockchain

Dalam sebuah surat terbuka, President Square Enix, Yosuke Matsuda membahas tentang berbagai teknologi baru di industri game, mulai dari metaverse, cloud gaming, sampai AI. Dan blockchain token menjadi salah satu fokus pembahasan dalam surat tersebut. Matsuda memang tidak mengatakan bahwa Square Enix akan memasukkan NFT ke game-game mereka, tapi dia mengaku, perusahaan akan terus memantau perkembangan teknologi NFT. Tak hanya itu, dia juga mengatakan, tak tertutup kemungkinan, Square Enix akan membuat token mereka sendiri, seperti disebutkan oleh PC Gamer.

President Square Enix, Yosuke Matsuda. | Sumber: Square Enix

Menariknya, dalam surat terbuka yang dia buat, Matsuda mengaku sadar bahwa ada banyak gamers yang tidak suka jika NFT menjadi bagian tak terpisahkan dari game. Pada saat yang sama, dia juga percaya, keberadaan NFT akan memberikan alasan baru bagi orang-orang untuk bermain game. Walau dia menunjukkan ketertarikan pada NFT dan blockchain, Matsuda tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana kedua teknologi itu akan bisa membuat industri game terus tumbuh.

Riot Games Bayar US$100 Juta untuk Selesaikan Kasus Diskriminasi Gender

Minggu lalu, Riot Games mengumumkan bahwa mereka akan membayar US$100 juta demi menyelesaikan kasus diskriminasi gender yang terjadi dalam perusahaan. Kasus ini diawali oleh laporan dari Kotaku pada November 2018. Ketika itu, Riot dituduh telah tidak mengacuhkan akan budaya kantor yang tidak sehat. Dari US$100 juta yang Riot bayarkan, US$80 juta merupakan kompensasi untuk semua karyawan dan mantan karyawan yang bekerja dengan mereka sejak November 2014 sampai saat ini. Sementara US$20 juta sisanya digunakan untuk membayar biaya pengadilan.

Sebelum ini, Riot sempat menawarkan untuk memberikan kompensasi sebesar US$10 juta pada para pekerjanya. Namun, California Department of Fair Employment and Housing mengatakan, para pekerja Riot seharusnya bisa menerima kompensasi hingga lebih dari US$400 juta, lapor GamesIndustry. Setelah menyelesaikan kasus diskriminasi ini dengan membayar kompensasi, Riot mengatakan, ke depan, mereka akan berusaha untuk membuat budaya kantor yang lebih transparan dan akuntabel.

8 Mobile Game dengan Pemasukan Lebih dari US$1 Miliar di 2021

Pandemi COVID-19 membuat industri game tumbuh pesat pada 2020. Momentum tersebut berlanjut di 2021. Menurut data dari Sensor Tower, total belanja mobile gamers pada 2021 mencapai US$89,6 miliar, naik 12,6% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Seiring dengan meningkatnya total belanja para mobile gamers, jumlah mobile game yang pemasukannya menembus US$1 miliar pun bertambah. Di 2018 dan 2019, hanya ada 3 mobile game yang pemasukannya mencapai US$1 miliar. Angka itu naik menjadi 5 mobile game pada 2020. Dan pada 2021, ada 8 mobile game yang pemasukannya melebihi US$1 miliar.

Total Belanja Gamers dari 8 Mobile Game Tembus US$1 Miliar

Di tahun 2021, PUBG Mobile berhasil menjadi mobile game dengan total belanja paling banyak. Sepanjang tahun ini, pemain PUBG Mobile menghabiskan US$2,8 miliar di game tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, total spending PUBG Mobile pada tahun ini naik 9%.

Pada tahun lalu, PUBG Mobile sempat mengalami masalah dan diblokir di India, salah satu pasar terbesarnya. Namun, tahun ini, masalah tersebut telah terselesaikan. Di India, PUBG Mobile diluncurkan dengan nama Battlegrounds Mobile. Selain di India, PUBG Mobile juga melalui proses pelokalan di Tiongkok. Di sana, PUBG Mobile dikenal dengan nama Game For Peace.

Dengan total spending sebesar US$2,8 miliar, Honor of Kings berhasil menjadi mobile game dengan total spending terbesar ke-2 di 2021. Pada tahun ini, total belanja gamers Honor of Kings — yang juga dikenal dengan nama Arena of Valor — mengalami kenaikan sebesar 14,7%. Baik PUBG Mobile dan Honor of Kings merupakan mobile game di bawah bendera Tencecnt.

Delapan mobile game dengan total belanja lebih dari US$1 miliar. | Sumber: Sensor Tower

Selain PUBG Mobile dan Honor of Kings, mobile game lain yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar pada tahun ini adalah Genshin Impact dari miHoYo. Sejak diluncurkan pada September 2020, Genshin Impact telah meraup US$1,8 miliar, menjadikannya sebagai mobile game dengan total belanja terbesar ke-3. Untuk membuat para gamers tetap tertarik memainkan Genshin Impact, miHoYo terus merilis update secara berkala. Strategi miHoYo ini terbukti efektif. Setelah mereka meluncurkan Version 2.1 pada September 2021, total spending mingguan para pemain Genshin Impact naik hingga 5 kali lipat.

Dalam daftar 8 mobile game dengan total spending terbesar di 2021, Roblox ada di posisi ke-4. Sepanjang 2021, total spending gamers Roblox mencapai US$1,3 miliar, naik 20,3% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Peringkat 5 diisi oleh Coin Master dari Moon Active, yang juga mendapatkan total spending sebanyak US$1,3 miliar. Dari tahun lalu, total belanja gamers Coin Master tahun ini naik hingga 13,8%.

Posisi ke-6 dan ke-7 diisi oleh Pokemon Go dari Niantic dan Candy Crush Saga dari King. Kedua game itu sama-sama mendapatkan total spending sebesar US$1,2 miliar. Game ke-8 yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar adalah Free Fire dari Garena. Selain delapan mobile game tersebut, Sensor Tower mengatakan, ada satu mobile game lain yang berpotensi untuk mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Ialah Uma Musume Pretty Derby dari Cygames. Walau mobile game itu baru diluncurkan pada Februari 2021 dan hanya diluncurkan di Jepang, game tersebut telah berhasil mendapatkan US$965 juta per 14 Desember 2021. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, total spending dari game itu akan menembus US$1 miliar dalam dua minggu terakhir dari 2021.

900 Aplikasi Dapatkan US$1 Juta untuk Pertama Kalinya di 2021

Sepanjang 2021, konsumen tidak hanya menghabiskan uangnya untuk membeli item dalam mobile game, tapi juga untuk aplikasi lain. Buktinya, total spending pengguna aplikasi mobile di 2021 juga mengalami kenaikan. Berkat hal itu, sepanjang 2021, lebih dari 900 publisher aplikasi mobile berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta untuk pertama kalinya.

Dari semua publisher itu, sebanyak 581 publishers merilis aplikasi mereka di iOS dan 325 publisher lainnya meluncurkan aplikasi mereka di Android. Sebagai perbandingan, pada 2016, jumlah publisher aplikasi iOS yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta hanyalah 310 perusahaan dan jumlah publisher aplikasi Android yang berhasil mendapatkan pencapaian itu hanyalah 165 perusahaan. Hal itu berarti, dalam 5 tahun lalu, jumlah publisher aplikasi iOS yang pemasukannya bisa menembus US$1 juta meningkat 87%. Angka pertumbuhan itu lebih tinggi di Android, mencapai 97%.

Jumlah aplikasi yang pemasukannya berhasil menembus US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Sebagian besar aplikasi yang pemasukannya mencapai US$1 juta merupakan mobile game. Menurut Sensor Tower, tahun ini, ada 185 publisher mobile game yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta. Selain mobile game, banyak aplikasi dengan pemasukan lebih dari US$1 juta yang masuk dalam kategori Social Networking dan Entertainment. Jumlah aplikasi Social Networking yang berhasil mendapatkan US$1 juta di tahun ini adalah 62 aplikasi. Sementara di sektor Entertainment, ada 41 aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta.

Selain mobile game, Social Networking, dan Entertainment, aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta berasal dari kategori Productivity dan Sports. Jumlah aplikasi Productivity dengan total spending lebih dari US$1 juta di 2021 mencapai 34 aplikasi, naik dari 21 aplikasi pada tahun lalu. Sementara di kategori Sports, di tahun ini, ada 18 aplikasi yang berhasil mendapatkan pemasukan sebesar US$1 juta, naik dari 5 aplikasi pada tahun lalu.

Kategori aplikasi-aplikasi yang berhasil mendapatkan US$1 juta. | Sumber: Sensor Tower

Di masa depan, spending yang dilakukan oleh konsumen di mobile game dan aplikasi mobile diperkirakan masih akan mengalami kenaikan. Sayangnya, jumlah aplikasi yang akan bisa mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta justru diduga akan berkurang. Alasannya adalah perubahan kebiasaan konsumen.

Pandemi COVID-19 pada 2020 membuat kebiasaan konsumen dalam memasang aplikasi mobile berubah drastis. Mereka cenderung mau untuk memasang aplikasi baru. Namun, seiring dengan semakin terkendalinya pandemi, maka kebiasaan penggunaan aplikasi konsumen mulai kembali normal seperti sebelum pandemi. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah aplikasi yang diunduh oleh konsumen pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Selain itu, jumlah aplikasi yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 juta di tahun 2021 sebenarnya lebih sedikit dari tahun 2020. Di tahun lalu, jumlah aplikasi dengan total spending lebih dari US$1 juta adalah 1.003 aplikasi: 636 aplikasi iOS dan367 aplikasi Android.

Sumber header: Sensor Tower

Fitur Gaming & Pengalaman Bermain Game Call of Duty: Mobile di OPPO A95

OPPO A95 merupakan smartphone seri A terbaru dari OPPO dan sekaligus yang paling powerful yang bisa Anda dapatkan pada seri tersebut. Ia ditenagai chipset kelas menengah Qualcomm Snapdragon 662 yang membuatnya dapat diandalkan untuk berbagai skenario penggunaan, termasuk aktivitas gaming.

Untuk membuktikan performa dari A95, OPPO Indonesia bahkan menjalin kemitraan dengan Call of Duty: Mobile – salah satu game FPS terbaik di smartphone. OPPO A95 pun diklaim memiliki kapabilitas untuk memainkan game CODM dengan nyaman berkat dukungan beberapa fitur gaming yang dibawanya, apa saja itu?

Fitur Gaming & Spesifikasi OPPO A95

OPPO memadukan chipset 11nm Snapdragon 662 ini dengan RAM mencapai 8GB dan penyimpanan internal 128GB yang masih dapat diperluas dengan menyisipkan microSD. Bukan hanya penyimpanan internal, kapasitas RAM pada OPPO A95 juga bisa ditambah secara virtual hingga 5GB berkat teknologi memory expansion.

 

Dengan total RAM 13GB, pengamanan bermain game CODM pada OPPO A95 pun terdongkrak. Game dapat menyimpan data sementara dengan jumlah lebih besar sehingga dapat menjaga kestabilan responsivitas dan frame rate.

RAM virtual ini diambil dari penyimpanan internal, pengguna bisa memilih mulai dari 2GB, 3GB, hingga maksimal 5GB. Yang perlu dilakukan cukup membuat perubahan sederhana pada pengaturan OPPO A95, caranya buka setinggs > about phone > RAM dan kemudian aktifkan RAM expansion.

Grafis tinggi CODM pun dapat dinikmati secara puas, sebab OPPO A95 sudah menggunakan panel AMOLED 6,43 inci dengan resolusi FHD+. Sayang, perangkat ini belum dibekali refresh rate tinggi 90Hz seperti seri Reno6.

Walau begitu, untuk memastikan frame rate yang stabil saat bermain game CODM, OPPO turut membekali A95 dengan teknologi Hyper Boost yang telah dipatenkan. Teknologi ini juga akan meningkatkan respons sentuhan, mengurangi lag, dan memangkas waktu yang dibutuhkan untuk loading game secara signifikan dengan pemakaian daya yang lebih rendah dan pengaturan suhu yang lebih baik.

Pengalaman bermain CODM yang menyenangkan juga didukung oleh body yang cukup tipis serta finishing yang ada di perangkat OPPO A94. Kenyamanan genggam menjadikan pemain bisa lebih leluasa untuk membidik dan mengarahkan karakter.

Untuk pengaturan grafis di dalam permainan, kita bisa mencapai pengaturan grafis high dan frame rate maksimal di medium lalu frame rate high dengan grafis low. Ini cukup menarik karena pengaturan yang umum untuk bermain adalah mengehar frame rate yang tertinggi.

Selain itu, dari sisi dukungan baterai, adanya baterai besar 5.000 mAh yang memungkinkan bermain game berjam-jam telah didukung fitur 33W Flash Charge. Cukup 30 menit baterai dapat terisi hingga 54% dari 0%.

Tingginya kepercayaan diri OPPO terhadap A95 untuk aktivitas gaming didukung atas dasar yang kuat. Termasuk spesifikasi yang mencukupi di kelasnya dan rangkaian fitur gaming lain yang dapat diakses pada Game Space. Ada Game Assistant yang menawarkan banyak tool dan optimasi lanjutan seperti bullet notification, touch optimisation, game focus mode, autoplay, dan sebagainya.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.

Tantangan dan Potensi Game Blockchain Menurut Blockchain Game Alliance

Sama seperti teknologi, dari tahun ke tahun, game juga terus berubah. Tahun ini, muncul tren baru dalam industri game, yaitu blockchain game dan game Nonfungible Token (NFT). Menurut laporan dari Blockchain Game Alliance (BGA), total pemasukan dari game-game NFT pada Q3 2021 mencapai US$2,32 miliar. Hal itu berarti, game NFT memberikan kontribusi sebesar 22% pada total volum transaksi NFT di industri.

Didirikan pada 2018, BGA merupakan grup advokasi untuk game NFT. Ketika didirikan, grup itu hanya memiliki delapan anggota. Sekarang, jumlah anggota mereka telah menjadi 300 perusahaan. Sebanyak 198 perusahaan baru mendaftar sebagai anggota BGA pada 2021. Laporan yang BGA dibuat didasarkan pada survei yang mereka adakan pada ratusan perusahaan yang menjadi anggota mereka tersebut.

Dalam laporan tersebut, BGA membahas tentang tantangan yang dihadapi dalam industri blockchain game serta masa depan blockchain game.

Industri Blockchain Game Dipenuhi dengan Pekerja Muda

Sepanjang 2021, blockchain game menjadi salah satu topik yang disorot oleh media. Tak hanya itu, ada banyak perusahaan blockchain game yang mendapatkan kucuran dana. Salah satunya adalah Animoca Brands. Mereka mendapatkan pendanaan sebesar US$88 juta di bulan Mei 2021. Pada Juli 2021, mereka kembali mendapatkan investasi sebesar US$65 juta dan terakhir, mereka mendapatkan modal sebesar US$65 juta pada Oktober 2021. Sekarang, perusahaan itu telah berstatus sebagai unicorn, startup yang valuasinya telah menembus US$1 miliar.

Blockchain gaming adalah industri yang masih sangat muda. Karena itu, mungkin tidak aneh jika industri tersebut juga diisi oleh orang-orang yang masih muda. Sebanyak 48,6% pekerja di industri blockchain game ada di rentang umur 25-34 tahun dan 30,7% lainnya di rentang umur 35-44 tahun. Dari segi lama bekerja, sebanyak 42,5% pekerja mengatakan, mereka baru bekerja di industri blockchain gaming selama kurang dari 1 tahun dan sebanyak 38,2% pekerja lainnya telah bekerja selama 1-3 tahun.

Industri blockchain game adalah industri yang masih sangat muda. | Sumber: VentureBeat

Sementara itu, kebanyakan perusahaan yang bergerak di bidang blockchain gaming bukanlah perusahaan besar. Sekitar 60% perusahaan blockchain gaming mempekerjakan kurang dari 50 karyawan dan 25% lainnya memiliki pegawai kurang dari 10 orang.

Selama periode Januari sampai November 2021, lima blockchain game dengan jumlah Unique Active Wallets harian paling banyak adalah Alien Worlds, Axie Infinity, Splinterlands, CryptoMines, dan Bomb Crypto. Per September 2021, jumlah Unique Active Wallets harian di Splinterlands mencapai 245 ribu dompet, naik 3.267% jika dibandingkan dengan pada akhir Q2 2021.

Masa Depan dari Industri Blockchain Game

Dari survei yang diadakan oleh BGA, sebanyak 86% responden percaya, teknologi blockchain akan diadopsi oleh industri game tradisional dalam waktu dua tahun. Dan memang, sepanjang 2021, ketertarikan masyarakat akan blockchain gaming terus naik. Hal ini bisa terlihat meningkatnya pencarian akan blockchain gaming, menurut data Google Trends. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pencarian dengan kata kunci blockchain gaming, game NFT, dan play-to-earn mengalami kenaikan yang signifikan pada bulan Juli 2021.

Pencarian dengan kata kunci blockchain game menunjukkan kenaikan. | Sumber: VentureBeat

“Satu hal yang sangat menarik pada 2021 adalah betapa cepatnya topik rumit seperti NFT atau mekanisme play-to-earn menarik perhatian komunitas gaming di seluruh dunia,” kata Jon Jordan, Editor-At-Large, BlockchainGamer.biz. “Jelas, salah satu faktor yang mendorong hal itu adalah adanya game-game blockchain-first seperti NBA Top Shot dan Axie Infinity. Di awal 2022, saya ingin melihat bagaimana perusahaan game tradisional akan mulai membuat game-game NFT atau blockchain.”

Blockchain gaming kini menjadi segmen favorit di industri,” kata Dragos Dunica, Co-founder dari DappRadar. Dia mengatakan, meningkatnya jumlah pemain blockchain game, digabung dengan keberadaan decentralized app dan tren gaming saat ini, maka semua itu akan menciptakan metaverse. “Di masa depan, cara kita berkomunikasi, bermain, berdagang, dan bersosialisasi akan berubah sama sekali. Blockchain gaming adalah katalis yang mendorong terciptanya pusat dari dunia virtual yang akan kita tinggali.”

Tantangan di Industri Blockchain Game

Survei dari BGA memang disambut dengan baik. Meskipun begitu, masih ada banyak tantangan yang pelaku industri blockchain game harus hadapi. Buktinya, ketika Ubisoft menggunakan NFT di game Ghost Recon Breakpoint, banyak gamers yang protes.

Berdasarkan survei BGA, beberapa tantangan yang ada di industri blockchain gaming antara lain ketidakpastian regulasi, kebutuhan edukasi, keterbatasan teknologi, pengalaman penggunaan yang buruk, kualitas gameplay, ketiadaan pekerja ahli, ketiadaan standar industri, implementasi yang sulit, dan lain sebagainya. Sebanyak 52% responden mengatakan, regulasi merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh indusri blockchain game.

“Teknologi bergerak dengan cepat dan para regulator kesulitan untuk bisa mengikuti laju perkembangan teknologi,” kata Gianluigi Guida, rekan di Guida & Associates. “Meskipun begitu, regulasi dasar diperlukan untuk membantu developer memahami batasan yang tidak boleh mereka lewati.” Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan adanya peraturan yang jelas, pelaku industri blockchain gaming akan bisa membuat produk sesuai dengan peraturan tersebut. Menurutnya, hal ini bisa membantu pelaku industri blockchain gaming untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Edukasi menjadi masalah lain di industri blockchain gaming. Sebanyak 43% responden menganggap, edukasi tentang konsep dasar blockchain game merupakan masalah terbesar kedua di industri. Memang, 59% responden menjelaskan, orang-orang yang tidak memahami blockchain gaming akan berasumsi bahwa game itu merupakan penipuan.

Tantangan yang dihadapi pelaku industri blockchain gaming. | Sumber: VentureBeat

“Sejak saya memasuki dunia blockchain gaming pada enam tahun lalu, sekarang adalah periode yang paling menarik. Karena, dana investasi yang masuk ke blockchain gaming mengalir deras, jumlah pengguna meroket, dan media-media besar dunia membahas tentang blockchain gaming,” kata Sebastien Borget, Presiden dari BGA, seperti dikutip dari VentureBeat. “Karena perhatian banyak orang tertuju ke blockchain gaming, kami juga menerima banyak kritik terkait berbagai isu, seperti ketidaktahuan masyarakat akan blockchain gaming, manfaat blockchain gaming untuk developer dan gamers, dampak NFT ke lingkungan, serta regulasi tentang aset digital yang belum jelas.”

Borget mengatakan, sebagian kritik yang ditujukan ke pelaku blockchain gaming memang bersifat konstruktif dan membuka diskusi tentang masalah yang mungkin muncul di masa depan. Namun, sebagian kritik lainnya justru menakut-nakuti masyarakat. Menurut Borget, hal itulah yang membuat sejumlah kejadian yang disesalkan terjadi, seperti keputusan Valve untuk memblokir blockchain game dari Steam.

Faktor Pendorong Pertumbuhan Industri Blockchain Game

Walau ada banyak tantangan yang harus dihadapi di industri blockchain game, responden survei dari BGA tetap optimistis bahwa industri blockchain game masih akan tumbuh di masa depan. Sebanyak 68% responden memperkirakan, mekanisme play-to-earn akan menjadi faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan industri blockchain game.

Play-to-earn adalah mekanisme game baru, memungkinkan pemain untuk mendapatkan cryptocurrency ketika mereka bermain game. Cryptocurrency yang didapat oleh pemain lalu bisa ditukar dengan uang di dunia nyata. Berkat adanya mekanisme play-to-earn, ada banyak studio muda yang berhasil tumbuh. Tak hanya itu, game-game play-to-earn juga memberikan dampak besar di negara-negara berkembang, seperti Filipina atau kawasan Amerika Latin. Di kedua kawasan itu, game play-to-earn seperti Axie Infinity bisa menjadi sumber pemasukan bagi para pemainnya, apalagi karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan mereka akibat pandemi COVID-19.

Memang, mekanisme play-to-earn diperkirakan akan menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan industri blockchain gaming. Namun, para responden survei BGA juga mengatakan, gameplay yang menarik tidak kalah penting untuk menumbuhkan industri blockchain gaming. Sebanyak 83% responden mengatakan, elemen paling penting dari blockchain game adalah kualitas gameplay.

“Sekarang, memang sudah ada game-game blockchain sukses yang menyenangkan untuk dimainkan,” kata Lenny Peterson, Acting Managing Director, Antler Interactive. “Tapi, agar blockchain game bisa diadopsi secara massal, maka kualitas dan aksesibilitas dari blockchain game tetap harus ditingkatkan.”

Jika pelaku industri blockchain gaming ingin agar industri itu terus tumbuh, hal lain yang harus mereka lakukan adalah terus memperbaiki kualitas grafik dan gameplay dari blockchain game. Sebanyak 56% responden mempercayai hal tersebut. Sementara itu, 51% responden mengatakan, membuat blockchain game yang didasarkan pada franchise yang sudah terkenal juga punya potensi untuk mendorong pertumbuhan industri blockchain game.