Studio VR Opaque Kembangkan Konten Simulasi untuk Berbagai Bidang

Pemanfaatan teknologi Virtual Reality (VR) ternyata tidak hanya terbatas untuk industri game saja. Hal ini dibuktikan langsung oleh startup studio VR asal Australia, Opaque Media Group.

Opaque mengembangkan VR untuk segmen niche seperti luar angkasa, penerbangan, dan kesehatan yang bisa dimanfaatkan untuk dukung program pelatihan. Dengan demikian, demo simulasi akan terasa lebih terasa nyata dan lebih memberikan dampak secara langsung.

Dalam kunjungan DailySocial beserta media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia dalam rangka Digital Indonesia Media Visit, kami bertemu dengan Manajer Studio Opaque, Mitchell Manganaro.

Manganaro bercerita, startup yang didirikan sejak 2012 ini awalnya ingin membawa teknologi VR agar tidak melulu soal game saja. Setelah brainstorming bersama tim, akhirnya diputuskan untuk membuat simulasi soal dunia kesehatan bertemakan MRI, demensia, alzheimer, dan autisme.

Ambil contoh, MRI VR Preparation dipakai untuk memberikan gambaran kepada pasien sehingga mereka bisa lebih siap. Sementara Virtual Dimentia Experience digunakan agar perawat bisa memberikan pelayanan untuk pasien demensia.

“Kemudian dari situ kami melanjutkan brainstorming, sektor mana lagi yang bisa dikembangkan. Akhirnya memilih luar angkasa, dari situ kami mulai buat demo, kemudian mendapat tanggapan bagus sekarang juga dihadirkan untuk publik,” terang dia, Rabu (28/11).

Mencoba game VR Earthlight: Spacewalk / DailySocial
Mencoba game VR Earthlight: Spacewalk / DailySocial

Earthlight: Skywalk menjadi permainan eksplorasi VR di luar angkasa pertama dari Opaque, dirilis pada tahun 2015. Konten ini memungkinkan simulasi realistis sebagai astronot yang di International Space Station (ISS).

Pengguna diajak merasakan sensasi microgravity sembari menyelesaikan tugas yang diberikan lewat instruksi, seperti memanjat tangga atau melepas sekrup. Durasinya memakan waktu kurang lebih 30 menit.

Opaque menggabungkan Oculus Rift dan Kinect 2 dengan plugin Kinect 4 Unreal mereka sehingga menghasilkan Unreal Engine 4. Pengalaman yang ditawarkan terasa nyata, melihat luar angkasa tanpa batas dengan video 4K 360 derajat.

Lewat game VR ini, membuat Opaque akhirnya dilirik NASA dan akhirnya menimbulkan kolaborasi antar keduanya. NASA menggunakan Earthlight untuk melatih calon astronotnya. Manganaro menyebut kolaborasi antar keduanya masih berlanjut, hingga game franchise dari Earthlight yang kedua dirilis.

Space agency suka dengan konten yang kita buat karena menggambarkan habitat seperti aslinya. Selain dengan NASA, kami akan buka kemungkinan perluas pemanfaatan Earthlight di sekolah untuk mengenalkan luar angkasa kepada para pelajar.”

Mendapat feedback yang bagus dari NASA, sambungnya, membuat Opaque percaya diri untuk merilisnya secara publik. Game ini tersedia di SteamVR, PlayStation VR, dan Oculus Rift dengan tambahan perangkat game tambahan.

Manganaro menambahkan sejak dibuka untuk publik pada awal tahun ini, Earthlight telah dimainkan oleh lebih dari ratusan ribu gamers.

Adapun tim Opaque itu sendiri, tidak hanya ada di Melbourne saja, tapi sudah merambah ke Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jerman. Bila ditotal ada sekitar 20 orang.

Buat menggaet lebih banyak pengguna, Manganaro membuka kemungkinan untuk melakukan lokalisasi bahasa yang dipakai game saat memberi instruksi. Bahasa Indonesia masuk jadi pertimbangan tim Opaque, meski belum ada target kapan rencana tersebut akan direalisasikan.

“Kami lihat ada potensi pemain yang besar game VR di Indonesia dan menarik apabila kami bisa turut serta,” pungkasnya.

Sepetik Cerita Divisi Terbaru Go-Jek untuk eSports “Go-Live”

Bisnis vertikal Go-Jek semakin lintas batas dengan kehadiran Go-Live, divisi terbarunya. Belum banyak detil yang bisa dipaparkan dari divisi ini, namun secara garis besar Go-Live akan jadi vertikal yang khusus menangani industri eSports dan live event experience entah itu berbentuk festival musik, atau lainnya di Indonesia.

Hal inilah yang melatarbelakangi disponsorinya event bersama Metrodata untuk mengadakan Indonesia Game Xperience (IGX) pada Juli 2018 di Jakarta. Event tersebut menjadi ajang menemukan atlet eSport dan memperkenalkan ke dunia gaming skala internasional.

Dalam blog internal Go-Jek, berdasarkan penuturan Head of e-Gaming Go-Live Rudolph Karundeng (Rudi), Go-Live merupakan cara Go-Jek untuk menangkap potensi eSports di Indonesia. Dari berbagai hasil riset yang ia kumpulkan, tercatat pada tahun lalu Indonesia memiliki 43,7 juga gamers. Artinya angka besar ini menjadi potensi bisnis yang begitu gurih untuk diseriusi.

Bertahun-tahun lalu, eSports adalah komunitas gamer video yang dapat berkumpul di konferensi besar, memainkan game Country Strike, Call of Duty, atau League of Legends.

Sat ini Go-Live hadir untuk men-disrupt dunia turnamen dan kompetisi game dengan tujuan menyediakan tempat bagi pengguna Go-Jek dan non Go-Jek untuk berbaur dalam perayaan eSports. Entah itu berbentuk festival, konser musik, e-sport, dan acara olahraga dengan sedikit nuansa Go-Jek di dalamnya.

Dalam konteks eSports, hal ini berarti melampaui kompetisi konvensional dengan memasukkan tambahan unsur kuliner, VR, dan AR. Sebuah festival yang tidak hanya menghibur tetapi mendidik, dan manfaat lainnya yang disadari atau tidak disadari. Intinya bukan sekadar acara eSports kebanyakan.

Rekrut penggemar game

Rudi sebelumnya adalah seorang bankir dan pernah berkecimpung di dunia logistik. Dia pun adalah gamers sejati, sudah memiliki passion di bidang tersebut sejak kecil. Dota, Counter Strike Go, Mobile Legends, Walking Dead Fortnite, PUBGM, Tekken dan South Park adalah beberapa game favorit yang dia mainkan.

Menurutnya, video game itu mewakili puncak teknologi, selaras dengan permainan yang maju dalam grafis, kecepatan pemrosesan, perhitungan kode fisika dalam dunia game, telah mendorong teknologi untuk memenuhi tuntutan tersebut lewat graphic cards, motherboard, monitor, keyboard, mouse, suara, sampai processor.

“Ini menunjukkan inovasi sebagai bentuk seni yang terperinci dari dunia game, hingga alur ceri berseni. Ini yang membuat saya bersemangat,” ujar Rudi.

Karena kecintaannya pada game sejak kecil, membuat Rudi berani banting setir untuk terjun memimpin Go-Live. Terhitung Rudi telah bergabung di Go-Live sejak enam bulan.

Menurutnya Go-Jek memiliki pengaruh yang sangat luas di Indonesia. Semua orang tahu apa itu Go-Jek. Jadi ketika ada unsur eSports dan ditambahkan dengan merek Go-Jek, ada keyakinan penuh pasti eSports bakal tumbuh semakin besar di Indonesia.

“Makanya saya pikir akan sangat keren bila saya benar-benar dapat berpartisipasi dan mencoba mengembangkan industri eSports di Indonesia. Saya melihatnya sebagai peluang besar tidak hanya untuk Go-Jek tetapi juga terhubung dengan pengguna Indonesia karena semua orang memainkan game.”

Haru Biru Andi Taru Mendirikan Educa Studio

Andi Taru begitu terkejut ketika istrinya, Idawati, mengabarkan dirinya terkena PHK. Pemutusan hubungan kerja itu membuat masalah rumah tangga mereka semakin runyam. Pasalnya, bisnis Andi, pengembang game online, lagi mandek dan terancam bangkrut. Kejadian ini terjadi sekitar lima tahun lalu di kota kelahiran pasang pengantin baru itu, Salatiga.

Dalam beberapa hari, gelar pengantin baru berubah menjadi pasangan suami istri pengangguran. Keran sumber penghasilan keduanya macet. Yang tersisa hanya tabungan yang mereka punya. Dalam keadaan terjepit, konon otak manusia menjadi lebih kreatif. Survival Spirit. Keduanya memutar otak bagaimana menciptakan sumber penghasilan baru.

Andi memang penggemar game sejak jadi mahasiswa Teknologi Informasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Meskipun demikian, itu sekadar melampiaskan hobi saja, belum ada niatan untuk menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian utama.

Setelah berdiskusi panjang lebar dengan istri, keduanya sepakat untuk membangun game khusus anak. Alasannya simpel. Saat itu belum banyak produk game edukasi khusus anak beredar di pasaran. Pasangan ini kemudian melakukan riset game anak seperti apa yang mau dibuat.

Pangsa pasar game edukasi cukup luas. Jenjangnya mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai kuliah. Idawati, yang juga lulusan Teknologi Informasi, menyarankan Andi menciptakan game untuk usia yang paling “dini”, baru perlahan ke jenjang yang lebih tinggi.

Keduanya lantas berbagi tugas. Andi memegang bagian pemrograman, sementara istrinya bagian riset dan desain. Ruang tamu berukuran seadanya diubah menjadi kantor kecil. Kelak, ruang ini yang menjadi cikal bakal lahirnya Educa Studio dan kini terus berkembang menjadi pengembang game yang mampu bertahan dengan seri-seri game-nya.

Sepanjang tahun 2012, Andi dan Idawati bertahan hidup dari sisa tabungan sembari merintis bisnis game mereka.

Proses memulai yang tidak mudah

Proses pembuatan game pertama memakan waktu selama tiga bulan. Biayanya ditekan seminim-minimnya. Untuk tetap hidup, keduanya mematok dana Rp10 ribu untuk makan berdua. Aset terbesar adalah kedua laptop yang mereka miliki. Tidak ada konektivitas Wi-Fi di ruang tamu mereka. Untungnya internet saat itu tidak begitu diperlukan karena kebutuhannya hanya sesekali.

Demi menghemat budget, orang-orang terdekat dikerahkan sebagai talenta. Sang adik menjadi voice talent pada game. Lalu untuk urusan musik dikerjakan teman sendiri. Bila ditotal, biaya yang dihabiskan untuk buat produk pertama sekitar Rp9 juta.

Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 1 Oktober 2012, judul mobile game pertama Andi dan Ida dirilis di Google Play. Namanya Marbel, yang berasal dari kata “Mari Belajar Sambil Bermain”. Sebelumnya, Marbel sudah ada versi PC di tahun 2011, tapi keduanya memutuskan untuk fokus ke mobile game, sebab di sanalah pasar yang belum tersentuh.

Versi pertama game Marbel ini sangat simpel. Hanya ada dua menu, play dan learn. Untuk menu learn, ada kartu yang bisa digeser-geser dan ditebak itu huruf apa. Pasca game Marbel dirilis, dapat diterima dengan baik oleh pengguna. Keduanya memanfaatkan semua masukan para pengunduh untuk terus memperbaiki kualitas.

Mumpung pasar mobile game anak belum banyak, pasutri pecinta dunia game ini memutuskan untuk berani mengambil pinjaman ke bank. Orangtua pun merestui bahkan mendukung dengan membolehkan keduanya menjaminkan sertifikat rumah sebagai agunan.

Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio
Karakter game yang dibuat Educa Studio / Educa Studio

Bank yang bersedia memberi pinjaman adalah BRI dengan plafon Rp200 juta dan bunga 9% per bulan untuk tenor dua tahun.

Langkah pinjam ke bank ini diakui Andi cukup nekat. Pada saat itu “lebih mudah” jika mereka mencari investor modal ventura atau angel investor. Apalagi pada waktu itu bisnis game edukasi anak masih dianggap sebelah mata karena tidak seksi. Sayangnya, keduanya membutuhkan dana segar dalam waktu cepat dan jawaban untuk kebutuhan tersebut, yang ada di depan mata, adalah bank.

“Sejak dapat pinjaman, ada kelegaan sekaligus tanggung jawab berat yang harus saya tanggung. Ada sertifikat rumah yang harus segera ditebus. Kalau Educa Studio tidak jalan bisa fatal dampaknya. Beruntung pada awal-awal kami dibantu orang tua mengangsur kredit, jadi kami saling patungan,” Andi mengenang masa-masa sulitnya.

Kebetulan, orang tua Andi punya mimpi ingin punya perpustakaan dan sekolah. Keduanya memang berprofesi sebagai guru. Andi melihat keinginan orang tuanya itu sebagai sebuah impian untuk dikejar lewat bisnis barunya, Educa Studio.

“Saya bertekad untuk segera mempercepat pembuatan seri Marbel berikutnya. Langsung rekrut tim untuk meningkatkan kualitas game. Dari awalnya cuma saya dan istri, akhirnya ada tambahan orang yang khusus menangani musik, art, dan programmer,” paparnya.

Tahun berikutnya, Educa fokus pada produksi mobile game edukasi. Jumlah produk yang dirilis lebih dari 100 buah. Perhitungannya dalam sebulan mereka merilis delapan game baru. Educa memanfaatkan platform iklan Admob milik Google untuk strategi monetisasi seluruh produk.

Kondisi kemudian membaik

Tim Educa Studio / Educa Studio
Tim Educa Studio / Educa Studio

Pendapatan Educa perlahan meningkat dan mampu menutupi operasional sekaligus melunasi kredit bank. Banyaknya produk yang dirilis, bila diakumulasi dengan perolehan iklan, lumayan menutupi biaya perusahaan. Selain membayar utang bank, Andi dan Ida mulai memperbarui dan mempercanggih peralatan mereka.

Educa hingga kini sudah merilis 215 edugames di Google Play. Sekitar 80% pengguna Educa berasal dari Indonesia, sisanya dari Malaysia.

Sebenarnya, selain mengandalkan iklan, Educa juga memakai strategi in-app purchase. Hanya saja strategi ini tidak begitu berjalan karena sejak awal fokus Educa adalah aplikasi gratis, sehingga mendorong orang untuk membayar agak terlambat.

Kondisi keuangan di Educa Studio pada tahun 2014 mulai stabil, pendapatannya disebut sudah miliaran Rupiah.

“Kalau boleh dihitung-hitung, pertumbuhan Educa Studio secara keseluruhan mencapai 3 kali lipat per tahunnya,” Andi berbinar.

Game pertama keluaran Educa Studio, Marbel Huruf, terbukti jadi penyokong utama hingga kini dengan total unduhan sampai 3,5 juta kali. Basis penggunanya meningkat pesat. Di awal 2015, Educa mulai mencetak profit. Angsuran lunas dan kantor berpindah dari ruang tamu Andi – Ida ke kantor yang lebih layak.

Fokus Educa Studio kini mulai bergesar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi industri. Kompetitor mulai bermunculan. Kini Andi lebih berkonsentrasi menjaga pengguna yang sudah ada, bagaimana memperkecil churn rate, dan meningkatkan kualitas game. Churn rate adalah persentase pelanggan yang tidak melanjutan berlangganan.

“Rencananya kami akan mulai merambah pengembangan produk untuk segmen umur pelajar menengah pertama [SMP]. Selama ini kebanyakan produk untuk usia prasekolah sampai sekolah dasar,” kata Andi.

Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.

Melirik Potensi Besar Industri “Gaming” di Indonesia

“Gamal! Kapan belajarnya?! Jangan main terus!,” ujar Mary, orang tua Gamal, pelajar kelas 12 SMA di Bekasi.

Bu Mary sudah berkali-kali mengungkapkan kekesalannya ke anaknya itu. Gamal terlalu sering lalai mengerjakan tugasnya dari sekolah dan cuma asyik bermain game di smartphone-nya semalaman. Kebiasaan buruk itu bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap hari dilakukan Gamal, yang termasuk kids jaman now.

Maksud Mary, Gamal boleh saja rileks sejenak, namun jangan sampai kebablasan. Namun kenyataannya, lebih sering bablas bergadget ria, daripada belajar. Alhasil perolehan nilai sekolah Gamal ikut terjun bebas, padahal dia sekarang sudah ada di tingkat akhir.

Mary tidak tahu game apa yang membuat Gamal bisa keranjingan sampai sedemikian parahnya. Awalnya Gamal bukan anak yang gemar main game. Tapi, karena pengaruh teman-teman di sekolah, atau mungkin dari teman-temannya di dunia maya, akhirnya membuat dia jadi gamer gelap mata.

Tren MOBA

Gamal, seperti kebanyakan anak-anak generasi zaman sekarang, rupanya keranjingan main game Mobile Legends: Bang Bang. Mobile game ini sangat populer dan terus menempati posisi teratas dalam Top Charts di Play Store dan App Store. Di Play Store saja, terhitung sudah diunduh oleh lebih dari 50 juta kali di seluruh dunia.

Mobile Legends adalah multiplayer online battle games (MOBA), lima lawan lima dengan cara bermain yang simpel. Ada tutorial disediakan bagi gamer yang baru pertama kali mencoba. Pemain dapat bertanding dengan pemain yang dikenal atau orang yang tidak dikenal dari seluruh dunia. Mereka dapat bekerja sama memenangkan pertandingan, bahkan disediakan fitur in-game chat agar tetap bisa berkomunikasi selama game berlangsung.

Desain grafis dan visual ditata dengan cukup apik. Baik karakter, map, item, efek skill, dan lainnya cukup nyaman dipandang mata, hampir sempurna untuk dikategorikan sebagai sebuah mobile game.

Aktor yang ‘bermain’ pada game sengaja dibuat dari berbagai negara. Ada Bruno dari Brazil, Yin Shun Shin dari Korea, Kagura dari Jepang, Chou dari Tiongkok, bahkan ada karakter dari Indonesia, Gatot Kaca. Seluruh karakter tersebut memiliki berbagai skill yang berbeda-beda untuk dimainkan.

Game Mobile Legends Bang Bang

Pamor game ini cukup tinggi di Indonesia. Buktinya, kompetisi Mobile Legends South East Asia Cup (MSC) 2017 digelar di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Menurut Mobile Legends, Indonesia dipilih lantaran memiliki 3,5 juta pemain aktif harian. Ini angka tertinggi dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Perusahaan game dibalik Mobile Legends adalah Shanghai Moonton Technology dari Tiongkok.

Pesaing (game) Mobile Legends di Indonesia adalah Arena of Valor yang masuk ke Indonesia lewat perusahaan publisher Singapura, Garena, pada Juli 2017. Perusahaan ini termasuk ke dalam salah satu anak usaha Tencent Games.

Tencent adalah salah satu perusahaan teknologi terbesar, bersaing dengan Alibaba dan Baidu. Lewat anak usahanya, Tencent Games dikenal lewat produk mobile game yang mereka keluarkan, seperti Mobile Area, Strike of Kings, dan King of Glory.

Tips Bermain Ranked Match di Arena of Valor

Meski keduanya saat ini sedang bersiteru di pengadilan Amerika Serikat terkait isu pelanggaran properti intelektual dan hak cipta yang diduga dilakukan Mobile Legends, ternyata pamornya di Indonesia cukup kuat. Mereka berlomba-lomba menarik anak-anak remaja seusia Gamal hingga kalangan pekerja untuk
keranjingan bermain game tersebut. Pengguna rela mengucurkan biaya tambahan untuk membeli item yang dijual dalam game. Demi meningkatkan peluang untuk memenangkan pertandingan dan prestise. Harganya pun bervariasi mulai dari Rp3 ribu sampai Rp1,5 juta.

Potensi bisnis di industri gaming Indonesia

Penjualan item menjadi salah satu kantong pendapatan Mobile Legends. Mengutip data statistik yang diungkap Prioridata.com, hingga Maret 2017 Mobile Legends telah diunduh oleh 31,6 juta kali di seluruh dunia. Total pendapatannya mencapai U$5,3 juta sejak pertama kali diluncurkan pada November 2016.

Populasi penduduk Indonesia yang hampir mencapai 260 juta, menjadi nilai surplus bagi siapapun yang berbisnis di sini. Menurut hasil riset lembaga firma game Newzoo, di tahun 2016 secara demografis jumlah pemain mobile game didominasi kalangan laki-laki berusia 21-35 tahun dengan persentase 27%. Posisi kedua ditempati oleh kalangan usia 10-20 tahun sebesar 24%, dan sisanya usia 36-50 tahun.

Untuk perempuan, porsi terbesar juga dipegang oleh kalangan berusia 21-35 dengan persentase 18%. Usia 10-20 tahun sebesar 14% dan 36-50 tahun sebesar 7%. Sehingga bisa disimpulkan, kalangan usia 21-35 tahun merupakan lahan utama bagi perusahaan game karena mereka merupakan orang-orang pekerja yang rela mengeluarkan uang ekstra demi game favoritnya.

EMARKETER (DATA DARI NEWZOO)

Secara industri, potensi bisnis game di Indonesia lebih ‘hijau’ dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara karena pertumbuhannya yang cepat. Masih mengacu dari sumber yang sama, total pendapatan industri game di Indonesia diprediksi mencapai US$879,7 juta di 2017. Angka ini lebih besar dari Malaysia US$586,6 juta dan Singapura US$317,6 juta.

Besarnya kue industri game menjadikan Indonesia sebagai negara ke-16 dengan potensi bisnis terbesar dari 100 negara yang diriset Newzoo. Negara terbesar yang menduduki posisi nomor 1 dan 2 adalah Tiongkok dan Amerika Serikat, dengan potensi pendapatan masing-masing sebesar US$27,55 miliar dan US$25 miliar.

Angka yang cukup menakjubkan tersebut, ternyata menurut Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono porsi yang dinikmati lokal kurang dari 10%.

“Hmm.. kalau dirunut masalahnya jadi panjang dan enggak kelar-kelar [bahasnya],” terang Narenda sambil menghela napas dan tertawa kecil, (9/10).

Narenda menguraikan satu per satu masalah yang masih menghantui pemain game lokal.

Pertama adalah kanal distribusi yang sudah terlalu didominasi oleh Google Play Store dan App Store. Sedangkan untuk game berjenis PC dikuasai oleh platform Steam, distributor game digital yang dapat beli langsung di sana. Untuk konsol, pasti menggunakan prinsipal masing-masing yang beredar saat ini, di antaranya PlayStation, Nintendo, dan Xbox.

Dari seluruh kanal distribusi di atas, yang paling cocok untuk pasar Indonesia adalah mobile game. Kebanyakan orang Indonesia merupakan pemakai baru memakai smartphone (mobile-first). Meskipun demikian, karena didominasi oleh dua pemain besar (Google dan Apple), panggung untuk pemain kecil jadi kian tipis akibat dari tingkat persaingan yang ketat dengan aplikasi lainnya.

“Akhirnya untuk mendapatkan exposure harus pasang iklan. Lagi-lagi iklan itu tidak murah. Kalau mau pasang [iklan] di TV, sudah tahu kan biayanya seberapa banyak. Masih banyak perusahaan game yang revenue-nya masih di bawah Rp200 juta-an.”

Kedua, masalah belum meratanya kualitas pengembang game. Ada yang sangat bagus, ada yang kurang. Akibatnya kualitas game yang diciptakan secara rerata masih kalah dengan Vietnam.

Ketiga, tingkat kesudian orang Indonesia untuk membeli game premium beserta item-itemnya masih sangat minim. Padahal langkah ini adalah salah satu pundi-pundi perusahaan game melakukan monetisasi.

Terakhir, membuat game yang berkualitas rupanya bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi perusahaan. Sayangnya, membuat game yang berkualitas tidak ada formula pastinya. Pengembang game harus terus memroduksi produk baru dan terus pelajari bagaimana hasilnya.

“Untuk mengasah kemampuan coding itu bisa belajar di manapun. Tapi untuk mengasah gimana membuat game yang bagus, perlu membuat produk terus menerus dan pelajari hasilnya sampai nanti sampai ke titik game-nya jadi jackpot. Ini akan jadi masalah kalau enggak ada pemodal. Karena ini yang akan membuat runaway jadi pendek, akhirnya beralih buat advergame.”

Dukungan berbagai pihak

Seluruh permasalahan di atas, menurut Narenda, membuat mentalitas kewirausahaan pengembang game jadi kurang tahan banting. Terutama bagi anak muda yang baru lulus kuliah dan memiliki minat jadi pengembang game. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti di tengah jalan, beralih ke profesi lain karena tidak mampu bertahan dengan proses awalnya.

Siklus reproduksi talenta dalam industri ini jadi kurang variatif karena ujung-ujungnya diisi oleh pemain veteran dan idealis yang mampu bertahan.

“Jadi kayak ayam dan telur. Karena enggak ada yang mau danai, nafasnya jadi tidak bisa panjang. Banyaklah cerita yang kami dapat akhirnya beralih profesi. Bukan hal yang salah juga karena enggak ada yang berani kasih funding sampai produk mereka jadi hit.”

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Dicoding, perusahaan tempat Narenda bernaung, untuk membuat mobile game yang layak setidaknya membutuhkan waktu antara 6 bulan maksimal setahun. Definisi layak itu setidaknya memenuhi semua kriteria minimum, termasuk gameplay, storyline, karakter, dan lainnya.

Berbeda dengan industri lainnya, di dalam game berlaku faktor X yang bisa menjadi titik loncatan terbesar bagi suatu produk game.

SUMBER: NEWZOO

Salah satu contoh game yang menjadi hit karena faktor X adalah Angry Birds oleh Rovio. Game tersebut muncul, salah satunya karena momentum epidemi flu babi yang merebak secara global di 2009. Wabah tersebut melahirkan ide untuk menjadikan babi sebagai karakter dan musuh bagi burung, karena virus tersebut menyebar lewat perantara babi.

Angry Birds sendiri bukan game pertama yang dibuat Rovio, melainkan game ke 52 yang diproduksi Rovio sejak berdiri di 2003. Faktor X tersebut membawa kejayaan Rovio hingga kini. Awalnya Angry Birds dibuat eksklusif untuk platform iOS sebagai game premium, biaya pembuatannya sekitar US$136 ribu dengan lama pengerjaan 8 bulan.

“Karena faktor X ini yang membuat game di mata para pemodal kurang menarik. Secara fluktuasi sangat tinggi dan kurang sustainable. Padahal industri ini rumusnya jelas: game bagus, promosi maksimal, uang pasti ada.”

Untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di industri game, AGI rajin mengadakan program pelatihan bekerja sama dengan kampus-kampus demi menghasilkan bibit-bibit muda. Maksud dari kegiatan ini adalah AGI ingin memberi mereka pengalaman merintis sebuah game dari awal jauh hari sebelum mereka lulus kuliah.

Semangatnya adalah ketika mereka sudah lulus sudah ada kemampuan untuk membuat game dan mendirikan usaha sendiri. Dengan demikian, bisa memperbaiki siklus reproduksi pelaku game tidak lagi diisi oleh veteran saja.

SUMBER: BEKRAF

Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana menuturkan pihaknya telah menyaksikan pertumbuhan industri game lokal yang berkualitas tinggi dan dapat diterima masyarakat. Contohnya adalah Tahu Bulat, Tebak Gambar, dan Warung Chain.

“Mereka tumbuh luar biasa dengan angka pertumbuhan yang kuat dalam hal pendapatan dan unduhan,” kata Jason tanpa menyebutkan detil angkanya.

Untuk terus mendukung ekosistem game lokal, Google Indonesia secara aktif terus melakukan inisiasi lokal dengan membuat kegiatan seperti Indonesia Games Contest, Made in Indonesia Collection, Ramadan Collection, Independence Day Collection, dan koleksi lainnya bermuatan lokal.

Melihat potensi yang cukup besar dari industri kreatif ini, aplikasi dan developer game (AGD) menjadi satu dari tiga subsektor prioritas yang diangkat oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Setelah itu ada sektor film, dan musik.

“Tiga subsektor prioritas ini yang paling menderita karena ekosistemnya belum terbentuk,” ucap Kepala Bekraf Triawan Munaf dalam kata sambutan acara yang digelar Samsung, (9/10).

Bekraf mengangkat tiga subsektor ini karena memiliki kesamaan yakni tidak ada formula standar yang membuat setiap produk yang dirilis selalu laris di pasar. Ini yang membuat fluktuasinya tinggi dan kurang terlihat nyata keberlangsungan bisnisnya di mata pemodal.

Ditambah pula, kontribusinya terhadap total produk domestik bruto (PDB) untuk ekonomi kreatif di bawah 1% pada tahun lalu. Padahal, pertumbuhan PDB dalam masing-masing sektor tumbuh sekitar 7% tiap tahunnya.

Sebagai gambaran, kontribusi aplikasi dan developer game sebesar 1,77%, musik 0,47%, dan film 0,16%.

Alasan lainnya, Bekraf mengangkat aplikasi dan developer game karena industri ini dianggap jadi motor untuk mengangkat subsektor ekonomi kreatif lainnya. Misalnya game bisa diperuntukkan dalam dunia hiburan, media iklan, edukasi, dan lain sebagainya.

Dari segi pertumbuhan pendapatan pun, industri game terus menunjukkan peningkatan yang cukup drastis [lihat grafik Newzoo]. Namun porsi yang dinikmati lokal sangat minim.

“Karena alasan alasan tersebut, Bekraf memutuskan untuk mengangkat aplikasi dan game developer, serta musik, dan film masuk ke dalam subsektor prioritas sejak tahun lalu. Kami gerak aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang melibatkan ketiga subsektor tersebut,” ucap Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, (17/10).

Beberapa program yang diinisiasi Bekraf untuk memajukan industri game, mulai dari mencetak sumber daya alam, membangun infrastruktur, hingga bantuan pendanaan. Untuk mencetak talenta berkualitas, Bekraf mengadakan Bekraf Developer Day (BDD) bekerja sama dengan perusahaan skala global. Tujuannya tak lain ingin mempertemukan pelaku usaha dengan perusahaan agar terjadi kolaborasi bisnis.

Dalam kurun waktu dua tahun, BDD telah hadir di 14 kota, dihadiri lebih dari 10 ribu pengembang dan menghasilkan lebih dari 1.300 aplikasi. Dari total tersebut, sekitar 338 aplikasi adalah game. Program lainnya Bekraf turut berpartisipasi lewat kegiatan Samsung Developer Academy Indonesia. Di sana telah mendidik 5 ribu orang dan menghasilkan 900 aplikasi lokal.

Dalam rangka mendukung pembangunan ekosistem ekonomi kreatif, Bekraf mendorong seluruh kota di Indonesia mengikuti program Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I). Program ini ditujukan untuk mendorong peningkatan kontribusi PDB ekonomi kreatif yang dilakukan langsung oleh pemerintah daerah.

Setiap kota diwajibkan untuk memilih satu dari 16 subsektor yang diandalkan. Nanti Bekraf akan lakukan penilaian dan verifikasi tersendiri dan memberikan sejumlah insentif untuk menunjang kegiatan subsektor tersebut. Misalnya bantuan pengadaan kantor dan pusat kegiatan.

Kota yang sudah memutuskan diri untuk fokus ke subsektor AGD adalah Malang. Penilaian Bekraf untuk memilih AGD untuk Malang karena subsektor ini telah tumbuh dan terus berkembang sejak 2011.

Di sana, jumlah pelaku AGD mencapai lebih dari 2.200 pelaku, 6 komunitas, 96 pengusaha, 4.800 lulusan akademik, dengan kegiatan tahunan skala nasional dan operasi bisnis skala internasional. Diperkirakan jumlah tenaga yang terserap saat ini sekitar 2.200 orang dengan pertumbuhan sebesar 20% per tahun.

Secara ekonomi, sektor AGD memiliki indikasi forward linkage pada kegiatan bisnis di subsektor unggulan lainnya, yaitu kuliner dan animasi, film & video. Serta, backward linkage pada penyerapan tenaga kerja terampil dan terdidik dari universitas maupun sekolah kejuruan.

“Kami juga tantang mereka, setelah fokus ke subsektor AGD berapa kontribusi PDB yang bisa mereka berikan ke Malang, berapa tenaga kerja yang bisa diciptakan. Sebagai gantinya, kami beri insentif berupa bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur untuk dukung sektor AGD.”

Kota lainnya yang sudah menetapkan fokus ekonomi kreatif adalah Semarang, yang memilih fesyen, Banda Aceh dan Pekalongan memilih kriya. Sleman, menurut Hari, meski belum memutuskan, kemungkinan besar akan jadi kota kedua setelah Malang yang fokus ke AGD.

Dengan adanya berbagai upaya positif dari Bekraf, AGI, maupun Google untuk memajukan pemain game lokal, artinya masih ada secercah harapan untuk Tahu Bulat dan kawan-kawannya untuk terus eksis di Tanah Air, menghadapi terjangan dari Mobile Legends dan sebangsanya.

Menentukan Masa Depan Industri Game Indonesia

Industri game di Indonesia masih memiliki peluang untuk menguasai pasar sendiri yang terlanjur terkepung pemain dari luar negeri. Mengacu pada hasil riset yang dipublikasi Newzoon dan Kominfo di 2016, industri game Indonesia tumbuh 86,92% menjadi US$600 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2014, nilainya baru mencapai US$180 juta.

Hanya saja dari porsi tersebut yang bisa dinikmati pengembang lokal kurang lebih berkisar 10% saja atau sekitar US$60 juta. Sisanya dikuasai pemain asing.

Masih kecilnya porsi pengembang lokal terjadi karena masih adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seluruh stakeholder. Salah satu tantangannya adalah lemahnya branding dengan minimnya investasi untuk dorong industri game lokal.

Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo
Gambaran Industri Game di Indonesia pada 2015 / Newzoo

Cipto Adiguno, Deputi Akses Jaringan dan Permodalan Asosiasi Game Indonesia (AGI), menjelaskan industri game tergolong baru di Indonesia. Branding masih belum kuat untuk bersaing dengan pemain dari luar negeri. Dia menilai branding sangat erat kaitannya dengan investasi karena branding yang lemah berpengaruh pada jumlah investasi untuk industri game saat ini tergolong minim.

“Kita agak susah jual branding game lokal karena industri ini masih baru, karena branding yang belum kuat membuat investor jadi kurang berminat untuk investasi game di sini. Kita tidak bisa branding kalau tidak punya investasi karena tidak bisa buat game yang besar. Di sisi lain, investasi tidak akan datang kalau tidak ada branding. Dua hal ini jadi berkesinambungan,” ucapnya, Kamis (16/3).

Indonesia, sambungnya, belum memiliki branding yang kuat sebagai negara pembuat game, beda halnya dengan Jepang. Indonesia lebih dikenal sebagai negara konsumen, yang akan menggelontorkan uangnya untuk membeli merchandise dari berbagai game luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Pilih fokus segmen pengembangan game lokal

Dari sisi asosiasi, lanjut Cipto, pihaknya akan menentukan fokus yang akan dibidik dalam rangka meningkatkan daya saing pengembang lokal. Salah satunya, pertimbangan untuk menentukan segmen industri game Indonesia apakah ingin mengarah ke game untuk smartphone bertipe low end atau game console dan PC. Keputusan ini bakal dibicarakan saat rapat asosiasi esok hari (17/3).

Menurutnya, kedua segmen ini sama-sama memiliki peminat di Indonesia, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Cipto menjelaskan, penetrasi pengguna smartphone di Indonesia dikuasai oleh tipe smartphone low end dengan harga di bawah Rp2 juta. Smartphone tipe tersebut umumnya memiliki keterbatasan memori dan kapasitas maksimal RAM sebesar 2 GB.

Fakta tersebut membuktikan beberapa game lokal seperti Tahu Bulat dan Nasi Goreng cukup diminati masyarakat. Kedua game ini hanya membutuhkan kapasitas memori yang rendah dan konsumsi internet yang terbatas, sehingga bisa digunakan masyarakat di pinggiran kota.

Beda lagi dengan pemain game console dan PC. Penggunanya masih cukup mendominasi, hanya saja produk game untuk jenis ini umumnya masih dikuasai oleh game dari luar negeri.

“Ambil contoh, di Malaysia mereka memilih untuk mendorong perusahaan asing untuk outsource dan menanamkan modalnya ke dalam negeri. Yang terpenting, mereka ingin penggunaan tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan, meski produk yang diciptakan tidak dipasarkan di Malaysia. Kami akan tentukan dalam rapat asosiasi, mau tentukan arah mana yang mau diambil untuk memajukan industri game.”

Membuat kegiatan networking game skala internasional

Salah satu upaya lainnya yang dapat dilakukan adalah menggelar lebih banyak acara networking dan konferensi game tingkat internasional yang dapat mempertemukan pemain lokal dengan luar negeri, seperti acara Game Networking Jakarta 2017.

Kali ini, Game Networking Jakarta 2017 dihadiri sejumlah perusahaan besar seperti Square Enix, A Team, Google Play, Pierrot, dan lainnya.

Acara tahunan sudah ketiga kalinya di selenggarakan di Indonesia, jumlah pesertanya pun semakin bertambah. Kegiatan networking seperti ini dapat menjadi pintu antara kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan kerja.

Perusahaan tersebut membuka kesepakatan kerja dengan para pengembang game lokal. Bentuknya kesepakatannya pun bervariasi, ada yang ingin memasarkan produknya ke Jepang atau sebaliknya, perusahaan asing tersebut mencari tenaga outsource untuk dipekerjakan, memberi investasi untuk pengembang lokal yang butuh pendanaan, atau kolaborasi dalam hal pemasaran produk.

“Bentuk deal-nya macam-macam dan rata-rata sifatnya tertutup karena terikat perjanjian. Kegiatan networking ini pada intinya membuka kesempatan pada pengembang lokal bisa berkenalan dengan pemain asing, begitupun dengan pemain asing bisa mengenal lebih banyak pengembang lokal. Mereka bisa dapat sesuatu lewat kegiatan ini,” pungkas Cipto.

The Government Begins to Pay Attention at Local Gaming Industry

The government seems to have an extra care for the national tech industry lately. The Ministry of Industry even prepares Rp 30 billion and a roadmap to facilitate local gaming industry, reports claimed.

Continue reading The Government Begins to Pay Attention at Local Gaming Industry

Newzoo Predicted the Game Consumption in Southeast Asia until 2017

Southeast Asia has one of the most growing industry in the world, thanks to the vast adoption of smartphone, especially in Indonesia and Malaysia. Game consumers in Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, Thailand, and Vietnam have spent $1,1 billion for games since 2014, Newzoo reported. The institution’s analysts predicted that until 2017, the annual growth in Southeast Asia would reach an average of 28,8% per year. By that time, the market of gaming industry in the region would be around $2,2 billion. Continue reading Newzoo Predicted the Game Consumption in Southeast Asia until 2017