Bukan Cuma Bolong-Bolong, Mouse Gaming Ini Juga Dilengkapi Kipas Pendingin Terintegrasi

Belakangan ini mouse gaming bolong-bolong tampaknya sedang ngetren. Premisnya sederhana: berkat desain yang unik itu, bobot mouse bisa berkurang secara signifikan selagi masih menjaga ketahanan fisiknya. Banyaknya lubang juga berarti udara dapat bersikulasi dengan lebih maksimal, yang pada akhirnya berujung pada berkurangnya keringat di telapak tangan.

Terkait sirkulasi udara, sebenarnya cara paling mudah sekaligus murah untuk mengatasi problem ini adalah dengan mengganti cara kita menggenggam mouse menjadi claw grip, meski harus saya akui tidak semua orang nyaman dengan grip style seperti itu. Cara lainnya bisa dengan memanfaatkan perpaduan ventilasi udara dan kipas pendingin, seperti yang ditawarkan mouse unik bernama Zephyr berikut ini.

Penampilannya sepintas tidak berbeda jauh dari Cooler Master MM710 maupun mouse gaming berdesain honeycomb lain yang ada di pasaran. Namun senjata rahasia Zephyr terletak pada sebuah kipas pendingin di balik rangka luarnya. Fungsi kipas tersebut tidak lain dari menyemburkan angin segar langsung ke arah telapak tangan penggunanya, dengan sudut kemiringan 45°.

Zephyr gaming mouse

Kecepatan putaran kipasnya pun dapat diatur antara 4.000 – 10.000 RPM. Kipasnya ini juga bisa dimatikan sepenuhnya, meski jujur saya heran kenapa Anda harus membeli mouse ini kalau memang tidak akan memanfaatkan fitur unggulannya tersebut.

Pengembang Zephyr tak lupa menekankan bahwa kipas pendinginnya itu menerima suplai daya melalui kabel USB yang sama seperti mouse-nya sendiri, dan kemungkinan besar ini menyinggung mouse keluaran Thermaltake di tahun 2012 yang kipas eksternalnya perlu dicolokkan ke port micro USB di sebelah kabelnya.

Meski dilengkapi sebuah kipas pendingin, bobot Zephyr secara keseluruhan rupanya tetap cukup ringan di angka 68 gram. Performanya ditunjang oleh sensor optik PixArt PMW 3389, sensor yang sama persis seperti yang terdapat pada Cooler Master MM710 dan sejumlah mouse gaming lain, dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI. Tentu saja Zephyr juga dilengkapi tombol untuk mengganti DPI secara cepat.

Zephyr gaming mouse

Lebih lanjut soal desainnya, Zephyr menganut bentuk ambidextrous yang simetris, akan tetapi tombol ekstranya cuma ada dua di sisi kiri saja, sehingga ia akan lebih cocok untuk pengguna tangan kanan. Tombol utamanya sendiri memakai switch bikinan Omron dengan klaim ketahanan hingga 50 juta klik.

Saya tidak menemukan kata-kata “programmable buttons” pada situs Zephyr, yang ada malah cuma “programmable RGB tech“. Meski begitu, kecil kemungkinan ada sebuah mouse gaming di tahun 2020 yang hadir tanpa software pendamping untuk mengatur berbagai aspek kustomisasi, termasuk untuk memprogram tombol-tombolnya.

Rencananya, Zephyr akan ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter mulai 22 Juli mendatang. Untuk sekarang, konsumen yang tertarik bisa mendaftarkan email di situsnya guna mendapatkan harga spesial sebesar $79, atau 50% lebih murah daripada estimasi harga retailnya.

Sumber: PC Gamer.

Samsung Odyssey G7 Diklaim Sebagai Monitor Gaming yang Paling Melengkung

Apa yang Anda cari dari suatu monitor gaming? Resolusinya? Refresh rate-nya? Kelengkungannya? Fitur pendukungnya (adaptive sync)? Atau malah semuanya? Kalau budget memang bukan masalah, semestinya gamer tak akan berkompromi dalam memilih salah satu periferal terpenting ini.

Salah satu opsi terbaru yang bisa didapatkan adalah Samsung Odyssey G7. Diperkenalkan pertama kali pada ajang CES Januari lalu, G7 memenuhi hampir semua kriteria monitor gaming idaman. Kita mulai dari bentuknya terlebih dulu.

Samsung Odyssey G7

G7 merupakan sebuah monitor curved, dan ia diklaim sebagai monitor gaming yang paling melengkung yang ada saat ini, dengan radius kelengkungan mencapai 1000R (semakin kecil angkanya, semakin melengkung layarnya). Samsung sejak lama percaya bahwa ini bisa membantu menumbuhkan kesan immersive secara signifikan, dan menurut mereka, radius 1000R ini sama melengkungnya seperti mata manusia.

Panel melengkung itu masuk kategori panel QLED, dengan resolusi 2560 x 1440 pixel, baik pada varian 27 inci maupun 32 incinya. Istimewanya, refresh rate maksimumnya tercatat di angka 240 Hz, dengan waktu respon (GTG) 1 milidetik serta dukungan atas Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync Premium Pro sekaligus.

Samsung Odyssey G7

G7 datang membawa sertifikasi HDR 600, yang berarti tingkat kecerahan maksimumnya bisa mencapai angka 600 nit. Konektivitasnya cukup melimpah dan mencakup port HDMI 2.0, 2x DisplayPort 1.4, 3x USB 3.0, serta headphone jack. Buat yang peduli dengan tampilan sebuah monitor, kebetulan G7 cukup manis di mata berkat desain futuristisnya.

Samsung berniat memasarkan Odyssey G7 secara global mulai bulan Juni ini juga. Banderol harganya belum disebutkan, akan tetapi Amazon mencantumkan banderol $700 untuk varian 27 inci, dan $800 untuk varian 32 inci.

Sumber: Samsung.

Logitech Luncurkan Mouse Gaming Kelas Budget dengan RGB, G203 Lightsync

Logitech punya mouse gaming baru untuk gamer dengan budget terbatas, khususnya mereka yang mewajibkan ketersediaan pencahayaan RGB. Namanya Logitech G203 Lightsync, dan ia merupakan penerus dari G203 Prodigy yang dirilis empat tahun silam.

Apa saja yang berubah? Dari luar, hampir tidak ada. G203 Lightsync tetap mengadopsi wujud ambidextrous dan layout 6 tombol yang sama persis seperti sebelumnya. Perbedaan fisiknya tidak lebih dari pencahayaan warna-warni yang telah menggantikan lampu biru milik pendahulunya, dan tentu saja pattern-nya bisa dikustomisasi via software.

Namun RGB tentu bukan satu-satunya perubahan yang disuguhkan. Logitech telah memperbarui jeroannya; G203 Lightsync mengemas sensor optik dengan sensitivitas maksimum hingga 8.000 DPI. Seperti pendahulunya, mouse ini turut mengunggulkan polling rate sebesar 1.000 Hz demi memberikan respon yang lebih instan dari biasanya. Belum lama ini, Corsair juga membanggakan mouse gaming barunya yang mempunyai polling rate di atas normal.

Logitech G203 Lightsync

Memori onboard tetap dipertahankan oleh G203 Lightsync, memungkinkan pengguna untuk menyimpan sampai lima preset sensitivitas langsung pada perangkat. Di atas kertas, fitur yang ditawarkan cukup melimpah untuk mouse gaming kelas budget.

Semurah apa memangnya? $40 saja saat mulai dipasarkan pada bulan Mei mendatang, $10 lebih murah daripada harga pendahulunya di hari peluncuran. Selain warna hitam, Logitech G203 Lightsync juga tersedia dalam balutan warna putih.

Sumber: Logitech.

HyperX Luncurkan Dua Headset Gaming Terjangkau dengan Dukungan Suara Surround 7.1

Kingston, melalui divisi gaming-nya, HyperX, adalah salah satu pabrikan headset gaming yang paling produktif. Portofolio mereka sangat lengkap, dan mereka juga belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti.

Baru-baru ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming anyar: HyperX Cloud Stinger Core dan HyperX Cloud Stinger Core Wireless. Keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan perbedaan hanya di konektivitas (satu berkabel, satu nirkabel).

Fitur unggulan kedua headset ini adalah virtual surround 7.1 berbasis software. Meski cuma berbasis software, sebelum ini virtual surround cuma tersedia pada lini headset HyperX yang lebih premium dari lini Cloud Stinger. Ya, kedua perangkat ini sama-sama diposisikan di kategori ramah kantong dengan banderol masing-masing $60 (Core) dan $80 (Core Wireless).

HyperX Cloud Stinger Core dan Core Wireless

Secara teknis, Cloud Stinger Core dan Core Wireless dibekali sepasang dynamic driver berdiameter 40 mm, dengan respon frekuensi di kisaran 20 – 20.000 Hz. Input-nya mengandalkan mikrofon uni-directional yang dilengkapi teknologi noise cancelling beserta fitur swivel-to-mute.

Sepintas kedua headset ini tampak bongsor, tapi rupanya bobotnya tidak sampai seperempat kilogram. Fitur pemanis seperti tombol-tombol pengoperasian di sisi luar earcup (termasuk kenop volume) turut tersedia. Khusus Core Wireless, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 16 jam pemakaian.

Sumber: Business Wire.

Mouse Wireless Corsair Dark Core RGB Pro Diklaim Lebih Responsif Daripada Mouse Berkabel

Problem utama mouse wireless biasanya adalah seputar latency. Untuk penggunaan secara umum, efeknya mungkin tidak begitu terasa, tapi kalau untuk gaming, peran latency sangatlah vital. Di game kompetitif, latency tinggi bisa berujung pada kekalahan karena mouse terlambat merespon reaksi pemain.

Singkat cerita, mouse berkabel masih merupakan pilihan terbaik untuk urusan latency. Namun ternyata Corsair menolak anggapan tersebut. Mereka mengklaim mouse wireless terbarunya, Dark Core RGB Pro, punya latency yang lebih rendah daripada mouse berkabel.

Corsair Dark Core RGB Pro

Prestasi tersebut dicapai menggunakan kombinasi dua hal. Yang pertama adalah teknologi transmisi sinyal Slipstream Wireless bikinan Corsair sendiri. Yang kedua adalah teknologi hyper-polling, dengan polling rate sebesar 2.000 Hz. Keduanya ditandemkan untuk mewujudkan latency yang amat rendah kalau kata Corsair.

Memangnya mouse berkabel masih kurang instan responnya? Buat saya sih tidak, tapi saya juga bukan seorang gamer kompetitif, alih-alih atlet esport. Buat konsumen seperti saya, mouse ini mungkin cuma terasa sama responsifnya seperti mouse berkabel, dan itu sebenarnya sudah merupakan hal yang positif.

Lebih lanjut mengenai performanya, Dark Core RGB Pro mengemas sensor optik PixArt PAW3392 yang menawarkan sensitivitas maksimum 18.000 DPI, dan yang bisa disesuaikan per 1 DPI. Kalau diperlukan, mouse ini juga dapat dipakai via sambungan Bluetooth ataupun kabel USB-C.

Corsair Dark Core RGB Pro

Secara desain, mouse ini nyaris sama seperti pendahulunya, dengan sisi kanan yang bisa dilepas-pasang untuk menyesuaikan dengan preferensi bentuk yang disukai masing-masing pengguna. Jumlah tombolnya ada 8, dan semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan.

Dalam satu kali pengisian, baterai perangkat ini bisa tahan sampai sekitar 50 jam pemakaian. Buat yang mendambakan kenyamanan ekstra, ada varian Dark Core RGB Pro SE yang dibekali dukungan Qi wireless charging, yang juga kompatibel dengan wireless charging mousepad.

Di Amerika Serikat, Corsair Dark Core RGB Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $80, sedangkan varian Dark Core RGB Pro SE seharga $90.

Sumber: Corsair.

Razer DeathAdder V2 dan Basilisk V2 Unggulkan Switch Optis Beserta Sensor Focus+ yang Sangat Mumpuni

Razer Viper Ultimate yang dirilis Oktober lalu boleh dibilang merupakan gaming mouse paling inovatif yang pernah Razer buat. Di samping konektivitas wireless generasi baru, mouse tersebut turut mengunggulkan switch tombol bertipe optis dan sensor Razer Focus+ yang sangat mumpuni.

Dua fitur terakhir itu bakal menjadi standar untuk portofolio gaming mouse Razer ke depannya. Sebagai bukti, Razer baru saja menyingkap DeathAdder V2 dan Basilisk V2, dan keduanya sama-sama mengusung pembaruan dalam wujud switch optis beserta sensor Razer Focus+ itu tadi.

Razer Optical Switch / Razer
Razer Optical Switch / Razer

Dibanding switch mekanis, switch optis unggul dalam hal akurasi dan responsivitas karena mengandalkan sinar infra-merah untuk menerjemahkan klik pada tombol menjadi sinyal input. Penjelasan lengkapnya sempat saya bahas ketika Razer pertama menerapkannya pada Viper versi standar.

Mengenai sensor Focus+, Razer dengan bangga menyebutnya sebagai sensor yang paling gesit sekaligus paling presisi yang pernah mereka ciptakan. Secara teknis, sensor ini memiliki sensitivitas maksimum 20.000 DPI, sedangkan kecepatan tracking-nya mencapai angka 650 IPS.

Razer Focus+ Optical Sensor / Razer
Razer Focus+ Optical Sensor / Razer

Terakhir, DeathAdder V2 dan Basilisk V2 turut mengemas kabel Speedflex yang sangat fleksibel. Material khusus yang membalut kabelnya dirancang supaya pergeserannya di atas meja lebih mulus dan tidak menghambat kelincahan tangan pengguna.

Selebihnya, masing-masing mouse masih mempertahankan sekaligus sedikit menyempurnakan fitur khas pendahulunya. DeathAdder V2 misalnya, menawarkan ergonomi yang lebih baik lagi berkat lapisan tahan keringat beserta lapisan karet pada bagian sisinya.

Razer Basilisk V2 / Razer
Razer Basilisk V2 / Razer

Basilisk V2 di sisi lain menawarkan 11 tombol yang bisa diprogram (naik dari 8). Fitur andalan generasi sebelumnya, yakni tombol clutch di sisi kiri dan scroll wheel dengan tingkat resistensi yang adjustable, tentu masih tersedia di sini.

Kedua mouse saat ini sudah dipasarkan secara luas. Razer DeathAdder V2 dihargai $70, sedangkan Basilisk V2 dibanderol $80.


Sumber: Razer.

Gaming Mouse Asus ROG Chakram Dilengkapi Stik Analog Layaknya Sebuah Gamepad

Asus merilis sederet perangkat gaming di CES 2020, namun satu yang menurut saya paling mencuri perhatian adalah ROG Chakram, sebuah mouse serba bisa yang dilengkapi satu inovasi langka, yakni sebuah stik analog kecil di sisi kirinya.

Fungsinya tidak lain dari menggantikan joystick yang biasa terdapat pada gamepad. Kendati demikian, pengguna juga dapat memanfaatkannya sebagai tombol input empat arah yang semua fungsinya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Andai benar-benar tidak dibutuhkan, stik analog itu juga dapat dilepas dan diganti dengan cover penutup. Asus benar-benar memperhatikan aspek kustomisasinya; stik analognya hadir dalam dua ukuran yang berbeda demi menyesuaikan dengan ukuran ibu jari konsumen yang bervariasi.

Asus ROG Chakram

Juga menarik dari ROG Chakram adalah aspek modularnya. Tidak seperti mouse konvensional, kedua tombol utama ROG Chakram terpasang secara magnetis, sehingga pengguna dapat melepasnya dengan mudah. Usai dilepas, mereka juga bisa mengganti switch Omron yang terpasang dengan switch lain yang sejenis.

Lanjut ke bagian telapak tangan, cover penutupnya rupanya juga turut mengandalkan magnet. Lepas cover-nya, maka konsumen akan mendapati dongle USB yang tersimpan dengan rapi di baliknya. Andai latency bukan masalah, pengguna juga bisa menyambungkan ROG Chakram via Bluetooth.

Asus ROG Chakram

Dalam satu kali pengisian, baterai ROG Chakram bisa bertahan selama 48 jam pemakaian (79 jam kalau lampu RGB-nya dimatikan). Dalam mode Bluetooth, daya tahan baterainya mencapai angka 53 jam (100 jam tanpa lampu RGB). Selain menggunakan kabel USB, ROG Chakram juga dapat di-charge di atas Qi wireless charging pad.

Perihal performa, Asus ROG Chakram mengandalkan sensor optik dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan akurasi 400 IPS. Bobotnya yang berada di kisaran 122 gram juga dinilai optimal; tidak terlalu berat, tapi juga tidak kelewat ringan. Perangkat ini rencananya akan segera dijual seharga $150.

Sumber: Asus.

Corsair Akuisisi Produsen Controller High-End Scuf Gaming

Dua tahun terakhir ini Corsair cukup agresif memperluas portofolio produknya. Rute yang mereka ambil rupanya adalah rute instan, yakni dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang di luar spesialisasinya.

Total sudah dua akuisisi yang mereka lancarkan; Origin PC di kategori custom PC, dan Elgato Gaming di ranah streaming video. Di penghujung tahun 2019 ini, akuisisi mereka bertambah satu lagi, yakni Scuf Gaming, yang dikenal lewat deretan gamepad high-end sekaligus modularnya.

Tidak disebutkan berapa mahar yang Corsair sediakan untuk menjadi pemilik baru Scuf. Scuf sendiri sudah berkiprah sejak tahun 2011, menciptakan berbagai controller untuk PlayStation, Xbox maupun PC, sekaligus membangun reputasi yang baik di kalangan komunitas esport.

Dibandingkan controller bawaan PS atau Xbox, controller bikinan Scuf banyak dicari karena menawarkan sejumlah keunggulan yang spesifik, macam back paddle yang dapat dilepas-pasang sesuai kebutuhan, atau fitur remapping tombol secara instan tanpa harus mengandalkan bantuan software.

Satu kekurangan produk-produk Scuf kalau menurut saya adalah ketersediaannya. Mencari produk Scuf di Indonesia sangatlah sulit, dan itu wajar mengingat mereka hanya memasarkan produknya secara resmi di Amerika Serikat dan Kanada. Kendala ini semestinya dapat diatasi oleh Corsair, yang skala operasionalnya memang sudah masuk skala global.

Corsair bilang bahwa ke depannya Scuf tetap akan beroperasi sebagai merek terpisah, yang berarti statusnya bakal menjadi anak perusahaan Corsair. Semoga saja akuisisi ini bakal berujung pada ketersediaan controller Scuf secara resmi di lebih banyak negara, termasuk Indonesia.

Sumber: Corsair.

Logitech G Adaptive Gaming Kit Lanjutkan Misi Mulia Xbox Adaptive Controller

Pada pertengahan tahun lalu, Microsoft memperkenalkan Xbox Adaptive Controller, sebuah periferal unik yang diciptakan secara khusus untuk para gamer dengan keterbatasan fisik. Bentuknya yang sepintas mirip dengan sebuah turntable itu sengaja dibuat agar kaum difabel tetap bisa menikmati sesi gaming meski mereka tidak mampu menggenggam gamepad.

Microsoft juga merancang perangkat ini sebagai sebuah hub, yang berarti ia bisa disambungkan dengan berbagai periferal tambahan, semisal tombol trigger besar yang dapat diinjak layaknya sebuah pedal. Masalahnya, harga periferal ekstra ini tidak murah; paling murah $40, dan itu hanya untuk satu tombol individual saja.

Logitech G Adaptive Gaming Kit

Kabar baiknya, dari awal pengembangan Xbox Adaptive Controller, Microsoft sudah mengajak sejumlah mitra guna memaksimalkan kompatibilitasnya. Salah satu yang diajak adalah Logitech, dan sekarang mereka sudah siap dengan penawarannya, yakni Logitech G Adaptive Gaming Kit.

Adaptive Gaming Kit diciptakan untuk melengkapi Xbox Adaptive Controller. Bundelnya mencakup 3 tombol kecil (diameter 35 mm), 3 tombol besar (diameter 65 mm), 2 tombol trigger berwujud pedal, dan 4 tombol pressure sensitive. Semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan, dan Logitech turut menyertakan sejumlah sticker untuk menandainya pasca konfigurasi.

Logitech G Adaptive Gaming Kit

Menemani tombol-tombol tersebut adalah dua jenis alas velcro, satu datar dan satu bisa ditekuk agar dapat, misalnya, dilingkarkan pada pergelangan tangan. Kustomisasi merupakan nilai jual utama Adaptive Gaming Kit, dan pengguna dibebaskan mengatur fungsi maupun posisi tombol-tombolnya sesuai selera dan kebutuhan masing-masing.

Namun bagian terpenting dari Adaptive Gaming Kit adalah harganya. Bundel lengkap ini bisa dibeli dengan harga $99 saja. Jadi dengan bermodalkan $200 (Logitech G Adaptive Gaming Kit + Xbox Adaptive Controller), penyandang disabilitas sudah bisa bermain game senyaman gamergamer lainnya.

Sumber: Logitech.

Razer Kraken Ultimate Hidangkan THX Spatial Audio Demi Memaksimalkan Performa Gamer Kompetitif

Gamer FPS kompetitif pasti tahu betapa pentingnya audio buat mereka. Menggunakan headset yang mendukung suara surround, mereka dapat bereaksi secara lebih baik, sebab mereka tahu dari mana suara derap kaki musuh berasal, dan secara keseluruhan mereka bisa lebih siaga selama bermain ketimbang saat sedang tidak menggunakan headset serupa.

Tidak semua headset surround diciptakan sama. Ada yang mendukung konfigurasi 5.1 channel, ada yang 7.1, dan ada pula yang dibekali teknologi THX Spatial Audio, salah satu terobosan terbaru di ranah 3D audio. Inilah yang menjadi hidangan utama headset teranyar Razer, Kraken Ultimate.

Razer Kraken Ultimate

Razer bilang THX Spatial Audio punya akurasi yang jauh lebih baik dibanding surround 7.1 biasa. Selain lebih presisi, teknologi ini juga dirancang untuk mencegah pemain terlalu cepat lelah akibat harus berkonsentrasi secara visual maupun aural. Caranya adalah dengan mencocokkan posisi speaker virtual-nya persis dengan jarak sumber suara di dalam game, sehingga pada akhirnya yang lebih banyak bekerja adalah insting pemain ketimbang telinganya.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, apakah THX Spatial Audio juga bakal berdampak di luar sesi gaming? Well, pengguna Kraken Ultimate tidak perlu khawatir sebab sudah ada tuas untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fitur tersebut kapan saja mereka mau. Tuas tersebut diposisikan di sisi luar earcup, persis di sebelah kenop kecil untuk menyesuaikan volume.

Kraken Ultimate datang membawa sepasang driver 50 mm yang diyakini punya karakter suara yang natural, dan yang diklaim mampu menyuguhkan suara paling mendetail dari seluruh lini Kraken. Selain unggul dari sisi input, Kraken Ultimate juga memprioritaskan output dengan berbekal mikrofon active noise cancelling, yang akan memastikan suara pengguna selalu terdengar jelas dan tidak terganggu suara lain di sekitarnya.

Razer Kraken Ultimate

Fisik headset ini memang tergolong bongsor, akan tetapi bobotnya masih tergolong ringan di angka 390 gram berkat konstruksi yang terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan stainless steel. Demi menambah kenyamanan, Razer turut menanamkan gel pendingin di balik masing-masing bantalan telinganya.

Razer Kraken Ultimate saat ini telah dipasarkan seharga $130. Kalau terlalu mahal, Razer juga menawarkan Kraken X USB yang jauh lebih terjangkau ($60), akan tetapi yang hanya berbekal surround 7.1 biasa dan sejumlah pemangkasan lain dibanding Kraken Ultimate.

Sumber: Razer.