Peran Besar Data Science bagi Industri Penerbangan

Data science atau dikenal pula sebagai data-driven science saat ini merupakan hal yang cukup “seksi” dan sedang ramai diperbincangkan, terutama di kalangan pelaku bisnis teknologi. Penggunaan data science memberikan dampak dan manfaat yang sangat besar bagi sebuah perusahaan, terutama dalam upaya melaksanakan pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih tepat. Jadi bukan hanya menggunakan intuisi semata, tetapi juga berdasarkan data yang ada.

Big data memang merupakan hal yang menjadi booming sejak adanya internet. Dahulu, kita terbiasa bekerja dengan data yang terstruktur rapi dan dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Namun sejak era dot com dimulai, masyarakat dapat semakin mudah mengakses dan mengirimkan informasi, sehingga jumlah dan ukuran data yang tersedia pun semakin besar.

Sayangnya, data tersebut belum tersusun dan terstruktur secara rapi. Padahal, di dalam kumpulan data sebesar itu terdapat banyak sekali informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi yang mampu menggali, menganalisis, menyusun, dan mengolah data tersebut sehingga dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Dalam kondisi inilah data science memiliki peran yang besar.

Pemanfaatan data science juga dapat dilakukan oleh banyak perusahaan dengan berbagai bidang. Salah satunya adalah dalam dunia penerbangan atau aviasi. Dengan data analytics, sebuah maskapai dapat meningkatkan kualitas pelayanannya menjadi lebih baik. Selain itu, perusahaan penerbangan saat ini dihadapkan pada tantangan untuk mengoptimalkan upaya mereka dalam menjaga lingkungan hidup. Salah satu maskapai yang telah memanfaatkan data science untuk kedua hal tersebut adalah Qantas dari Australia.

Kualitas pelayanan dengan aplikasi

Dalam peningkatkan kualitas pelayanan, Qantas telah menggunakan aplikasi canggih bernama FlightPulse. Aplikasi ini digunakan oleh pilot untuk mengetahui data pesawat dan data penerbangan secara lengkap dan akurat. Mulai dari mengakses metrik, tren efisiensi, sampai keamanan terkait operasional penerbangan dapat dilakukan dengan cara yang praktis, hanya lewat iPad. Sehingga pilot dapat menyusun perencanaan dan eksekusi penerbangan yang efisien, aman, dan irit bahan bakar.

Qantas berkolaborasi dengan General Electric (GE) untuk mengembangkan aplikasi FlightPulse sejak akhir tahun 2016 lalu. Aplikasi ini dikembangkan untuk layanan mobile dari platform Predix, yang telah lebih dulu dibuat oleh GE. Aplikasi ini menggunakan data pesawat yang direkam dan dianalisa secara ringkas, sehingga pilot dapat mengakses data digital terkait operasional penerbangan. Kini, aplikasi FlightPulse telah digunakan oleh lebih dari 1.500 pilot Qantas.

Data dan keberlanjutan lingkungan hidup

Kolaborasi antara GE dan Qantas juga dilakukan dalam upaya menjaga lingkungan hidup. GE ikut berperan serta dalam program bernama Qantas Future Planet Partnership sejak tahun 2007. Tujuan program ini adalah mengurangi emisi gas buang dari perjalanan maskapai tersebut, dengan mengembangkan teknologi pesawat hemat bahan bakar dan rendah emisi gas karbon.

Selain lewat proyek lingkungan, kolaborasi antara GE dan Qantas juga menghasilkan GE Required Navigation Performance (RNP) untuk efisiensi bahan bakar dan optimalisasi jalur operasi penerbangan. Seperti halnya FlightPulse, sistem ini juga dikembangkan dari platform Predix milik GE. Predix sendiri merupakan Paas (Platform as a Software) yang diluncurkan GE sebagai Operating System (OS) berbasis cloud untuk implementasi di sektor industri. Predix mampu menghasilkan analisis dan membuat operasional industri menjadi lebih efisien.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Mengenal PaaS untuk Dunia Perindustrian

Inovasi, dalam spektrum apapun, dibangun oleh salah satu sifat yang merujuk pada fleksibilitas, yakni dinamis. Kita semua tentu sudah tidak asing dengan istilah tersebut, bila dikaitkan pada kemunculan perubahan-perubahan dari perusahaan sekelas Apple, misalnya. Tak hanya inventornya, teknologi pendukung daya cipta pun harus akur terhadap dinamika proses trial-error, atau kemungkinan perkembangan bisnis yang tiba-tiba melonjak.

Pembaruan industri membuat sifat dinamis ini menjadi sebuah urgensi, apalagi sehubungan dengan dibentuknya ekosistem baru untuk melahirkan bibit-bibit inovasi, seperti Digital Foundry. Itulah contoh implementasi revolusi industri jilid keempat dari kacamata proses kreatif. Dari sisi teknis, mari ambil teknologi cloud computing sebagai contohnya.

Cloud computing mempermudah technologist dalam membangun produk dan mendirikan startup. Dari berbagai ‘atmosfer’ komputasi awan, PaaS (Platform as a Service) adalah bentuk teknologi cloud yang dirancang tepat untuk dapat beradaptasi dengan laju perkembangan bisnis teknologi yang pesat dan pengelolaan aplikasi yang dinamis.

PaaS, melalui segala dayanya dalam mengelola aplikasi dan memelihara infrastruktur secara simpel, membuat kolaborasi yang terjadi di Digital Foundry menjadi tidak terdengar mustahil. Terlebih bila Anda sudah berkenalan dengan Predix.

Predix milik General Electric (GE) telah didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan infrastruktur berbasis cloud dengan tingkat keamanan yang tinggi, demi mendukung dunia industri dalam merasakan manfaat dari pertumbuhan Industrial Internet yang pesat. GE mengaku bahwa Predix dirancang untuk industri, oleh industri, guna mengolah data di masa depan.

Cara kerja layanan PaaS Predix yang ditujukan untuk konsep Internet of Things (IoT) cukup sederhana. Anda tinggal menghubungkan data dari sebuah mesin yang dihubungkan ke Predix cloud, lalu Anda bisa mengembangkan Industrial Internet services di dalamnya.

Tak perlu lagi pengeluaran besar untuk memesan sistem in-house data analytic, layanan PaaS Predix membantu Anda untuk meninjau operasional mesin, hingga kemudian Anda dapat menguji dan mengaktifkan aplikasi untuk industri dengan lebih mudah dan terintegrasi pada cloud.

Schindler telah merasakan betapa layanan Predix secara efektif bisa diandalkan. Sebagai salah satu perusahaan lift terbesar di dunia, Predix dapat mengoptimalkan konsumsi daya dari lift dan eskalator rilisan mereka. Bahkan, diproyeksikan Predix akan membantu Schindler menganalisa 100 aplikasi di tingkat mesin (dan mengkoreksinya bila perlu) dalam satu waktu.

Ide membuat platform untuk IoT telah tersaji di atas. Cloud computing telah terbukti menjadi opsi tepat agar industri lebih produktif dalam mengembangkan produk dan mengerjakan proyek. Kini, tinggal idenya. Apa ide pengembangan industrimu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Digital Industrial, Mengintip Cara Kerja Baru Industri Indonesia

Inovasi digital terbukti telah memberikan perbedaan signifikan bagi kehidupan umat manusia. Berbicara kehidupan sehari-sehari, tentu sudah tidak asing lagi di telinga Anda bagaimana media sosial begitu berdampak pada cara masyarakat berinteraksi. Atau, e-commerce yang membuat Anda jual-beli lewat sentuhan jari di layar smartphone. Dan juga on-demand transportation, di mana Anda bisa memesan taksi maupun ojek dengan satu-dua-tiga kali klik.

Lingkup perindustrian juga ternyata ikut andil dalam menyumbang kemajuan inovasi digital ini, yang pada akhirnya mempengaruhi masyarakat. General Electric membawa gelombang inovasi ini melalui konsep Digital Industrial.

Bagi perindustrian, khususnya Indonesia, Digital Industrial dapat membantu dalam optimalisasi konsumsi bahan bakar serta meningkatkan efisiensi listrik pada beragam sektor. Manufaktur dapat merasakan kemudahan dalam produksi barang, begitu pula pertanian dan perikanan yang bisa mengakselerasi perekonomian akar rumput.

Menurut GE, setidaknya tiga langkah prioritas ini yang diperlukan Indonesia untuk menjalankan program ini dalam industrinya.

Pertama, industri harus siap berinvestasi pada infrastruktur. Mereka harus berkonsentrasi pada infrastruktur seperti transportasi, energi, jasa kesehatan, dan komunikasi. Sambil membangun infrastruktur tradisional, industri Indonesia dapat mengadopsi dan menyesuaikan kondisi dengan solusi-solusi digital.

Kedua, investasi pada pengembangan skill, untuk melahirkan talenta yang tepat bagi masa depan industri. Langkah yang satu ini dimulai melalui reformasi pada peningkatan standar sistem pendidikan, dengan STEM education (Science, Technology, Engineering and Mathematics). Meski tidak semua orang akan menjadi engineer ataupun data scientist, tetap saja penting bagi para pekerja untuk membiasakan diri dengan teknologi dan inovasi digital.

Ketiga, Indonesia mesti sigap mengambil langkah progresif untuk meningkatkan business environment. Hal ini dapat dimulai dari pemberdayaan dan pengembangan bisnis startup atau bisnis rintisan berbasis teknologi.

Inilah implementasi The Future of Works dari General Electric yang telah mereka lakukan. Caranya adalah dengan merangkul startup-startup Indonesia yang ada dan memiliki spirit sama. Dattabot salah satunya.

Dattabot mengembangkan sebuah platform smart farming bernama HARA, yang membawa pengaruh teknologi digital untuk memastikan agar produktivitas panen kepada petani-petani dan juga perusahaan pertanian. Mengombinasikan teknologi big data, digital sensors, data analytics, dan predictive agriculture inputs, HARA membawa nilai tambah bagi sawah-sawah potensial tersebut bersama sistem operasi GE bernama PREDIX.

Teknologi digital dan inisiasi-insiasi seperti inilah yang membawa cara kerja bagi industri Indonesia. Kolaborasi perindustrian, teknologi, dan ekonomi kerakyatan agaknya mampu membawa perubahan signifikan bagi kehidupan umat manusia selanjutnya.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Internet of Things di Perindustrian Kini Berbasis Sistem Operasi Khusus

Tiga kali sudah dunia merasakan revolusi industri, di mana uap, listrik, dan komputer menjadi simbol dari perubahan tersebut. Hari ini, kita kembali mencicipi revolusi jilid keempat, yang ditandai dengan entitas baru dengan kemampuan menghubungkan manusia secara cepat, yakni Internet. Kita bisa lihat bukti meledaknya fenomena ini dari begitu masifnya pemanfaatan teknologi interkoneksi ini, serta pesatnya peredaran smartphone.

Menariknya, teknologi yang secara alamiah merupakan media komunikasi ini sekarang tidak cuma mendukung sistem kerja industri dari aspek general affairs dan perdokumenan saja. Ranah teknis juga ‘kebagian’ efek dari kemutakhiran Internet.

Dalam hal ini, Internet of Things ikut andil memberikan perubahan. Konsep teknologi yang mengintegrasikan objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel ini kini mendapat tempat baru di dunia perindustrian; General Electric (GE) mengistilahkannya Industrial Internet of Things.

Terminologi tersebut terangkat sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. Bagi GE, PREDIX dapat memudahkan para engineer menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri, dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Schindler, contohnya. Salah satu raksasa dunia dalam bidang usaha lift ini memanfaatkan PREDIX untuk optimalisasi konsumsi daya yang digunakan oleh lift dan eskalatornya, di mana cloud telah menyimpan data dari utilitas daya.

Kemampuan ini disinyalir akan semakin canggih lagi dengan dukungan produk terbaru GE untuk PREDIX, yaitu PREDIX Edge System yang dapat menanam aplikasi mesin di mana saja sesuai kebutuhan, dari yang terkecil seperti perangkat medis, controller, jaringan atau router, dan menghubungkannya ke cloud.

Jadi, di atas kertas, Schindler nantinya dapat menyimpan komputer kecil di setiap lift untuk menganalisis data secara real-time dan memperbaikinya apabila terjadi kesalahan. PREDIX direncanakan tidak akan lagi membuat penggunanya bergantung pada satu komputer terpusat saja untuk mengoptimalkan operasi; PREDIX akan siap menjalankan sistem 100 aplikasi di tingkat mesin secara langsung.

Teknologi PREDIX diperkuat oleh hadirnya Digital Foundry, sebuah tempat kolaborasi di Paris, yang memungkinkan pelaku industri, akademisi, dan berbagai kalangan yang memiliki ketertarikan pada teknologi untuk berkreasi dan berinovasi.

Majunya inovasi semacam PREDIX nyatanya masih memerlukan dua hal yang dapat membangunnya: kolaborasi dan cloud computing.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Siapkah Industri Indonesia Mengadopsi Digital Industrial?

Dunia akan terus berjejaring. Dari tahun ke tahun, kultur digital semakin membaur dan meningkat di kehidupan masyarakat dunia. Pemanfaatan platform digital sudah diadopsi banyak oleh masyarakat, apalagi jika berbicara tentang bagaimana mereka terhubung satu sama lain—seperti messenger dan social networking.

Secara global, potret lanskap digital 2017 menunjukkan jumlah masyarakat Internet yang kini telah menyentuh angka di kisaran 3,7 triliun, dengan penetrasi sebesar 50% serta peningkatan 10% sejak tahun lalu. Penetrasi Internet di Asia Tenggara punya angka yang tak kalah besar, yakni sebesar 53%. Lebih mengerucut, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia punya tingkat penetrasi yang tergolong cukup baik dengan angka 51%, terutama dibandingkan dengan beberapa negara berkembang Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Meski boleh dianggap besar secara kuantitas, namun apakah Indonesia benar-benar siap melancarkan digitalisasi? Sebab, yang dipersoalkan di sini bukan hanya dari lingkup masyarakatnya saja, tapi juga industri. Terlebih dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan perusahaan teknologi asal Negeri Paman Sam, GE, dengan nama Digital Industrial, sebuah konsep teknologi yang mengintegrasikan sebuah objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel.

Terminologi tersebut dikenal sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang diluncurkan sekitar tahun 2015 yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. PREDIX disinyalir dapat memudahkan para engineer dalam menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Yang menarik adalah GE telah membuka pintu kolaborasi untuk merangkul pihak-pihak dari berbagai lapisan industri Tanah Air untuk ikut serta memajukan dunia perindustrian dan teknologi bangsa. Kerja sama strategis tersebut dilakukan bersama regulator dan pelaku industri (termasuk startup). Tiga startup potensial mendapatkan dukungan langsung dari GE, antara lain Dattabot, Fishare, dan 3i.

Dattabot, Mitra Pertama PREDIX di Dunia untuk Industri Pertanian

Sebagai perusahaan big data analytics, Dattabot turut serta membangun perekonomian Indonesia di sektor pertanian. Perusahaan yang dulunya bernama Mediatrac ini berusaha mengubah pola pikir terhadap dunia pertanian yang masih dianggap tradisional, melalui produk Internet of Things.

Ditandai dengan penandatangan MoU, GE memperlihatkan keseriusannya mendukung IIoT untuk pertanian bersama Dattabot lewat HARA, aplikasi pertanian yang dapat membantu mengembangkan agribisnis dari sisi efisiensi dan profitabilitas.

HARA adalah aplikasi IIoT pertama di Indonesia yang menggunakan platform Predix. “Dengan demikian, Dattabot bisa memahami luas sawah yang digunakan petani, real-time, jadi bisa memahami permasahan langsung meski posisinya sangat jauh lokasi tempat Anda berada,” terang CEO Dattabot Regi Wahyu.

Industrial IoT Startup Anak Bangsa yang Berpotensi Mendisrupsi Pasar

Selain itu, GE turut memperkenalkan startup-startup tanah air di bidang Industrial Internet of Things yang disinyalir mampu membuat terobosan baru di sektor perindustrian dan perikanan.

Fishare
Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module. “Produktivitas budidaya ikan negara kita masih tergolong rendah, dibandingkan dengan Tiongkok,” ujar CEO Fishare Marvinus Arif. Itulah salah satu latar belakang kelahiran Fishare.

Fishare menyajikan fish feeding assistant dengan sensor, di mana para petani ikan akan mendapatkan informasi secara transparan dan objektif mengenai kondisi ikan mereka, yang terlihat di smart dashboard.

3i
Bersama ungkapan “the future of maintenance”, 3i mengembangkan sensor online untuk membantu pabrikan mengurangi downtime tak terencana melalui data analytics dan machine learning. Teknologi sensor pintar 3i memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif; meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya operasional, sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

“Sensor ini ditanam di dalam mesin dan dihubungkan ke mobile device pengguna agar pengguna dapat melihat keadaan mesin secara real-time,” terang Gimin, CEO 3i.

Mau tidak mau dunia perindustrian Indonesia harus siap dengan digitalisasi dalam operasional mereka. Kita semua bisa melihat bagaimana teknologi dan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia (sawah, ikan, dan pabrik) dapat terkoneksi untuk membangun perekonomian negara. Maka, industri yang lebih dipandang “progresif” mestinya juga bisa mengadopsi IIoT, ‘kan?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Gaya Kolaborasi Startup di Korporasi Perindustrian, Bisakah?

Kita sama-sama sudah mengetahui sebelumnya bahwa keterlibatan orang-orang yang kreatif dan satu visi adalah ciri yang lekat dengan gaya kerja ala startup. Kita juga tahu bahwa cara kerja dan suasana sesantai itu tak hanya menjadi kegemaran dan idaman pekerja masa kini, namun juga telah terbukti dari kualitas produk yang dihasilkan.

Pertanyaannya, dengan kultur serba teratur, dapatkah perusahaan-perusahaan besar yang bergelut di ranah perindustrian seperti migas, transportasi, bahkan digital energy mengadopsi sistem kerja startup yang santai-namun-tetap-terukur?

Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para petinggi perusahaan untuk menerapkan prinsip kerja startup ke organ-organ usaha mereka. Diperlukan beberapa poin yang harus dipenuhi agar korporasi mereka tak hanya dapat mengadopsi kultur kerja startup, tapi juga merasakan pembaruan dalam pengembangan produk.

Mari ambil contoh korporasi yang telah menghadirkan inovasi produk yang dicetuskan oleh spirit kolaborasi startup, yakni General Electric.

Sempat dibahas di artikel lainnya bahwa, melalui Digital Foundry-nya, General Electric telah mengadaptasi pengorganisasian product development serupa bisnis rintisan. Gaya ini berkaitan dengan salah satu syarat dalam menerapkan kolaborasi ala startup: menghadirkan stimulasi kreatif di segala penjuru working space.

Digital Foundry yang menempati lantai dua di gedung Le Centorial, Rue du Quatre Septembre, Paris ini memang dirancang sebagai rumah inovasi. Dirancang oleh arsitek Jepang Hidekazu Moritani, bentuk Digital Foundry mengacu pada struktur sarang lebah, di mana ruang berbentuk heksagonal akan menstimuli orang jadi lebih dinamis.

Dan menariknya, semua dinding sebenarnya adalah papan tulis kaca, sehingga siapapun dapat menuliskan ide-ide yang muncul di pikiran mereka ke dinding tersebut.

Infrastruktur ini menarik orang-orang untuk datang dan menunjang kolaborasi mereka dengan karyawan General Electric. Bahkan, memang secara jelas pihak General Electric mengaku, mereka membuka Digital Foundry tak hanya untuk karyawan namun juga untuk konsumen General Electric, seperti mahasiswa dan programmer.

Kolaborasi dan interaksi seperti ini sangat memicu adanya percikan-percikan ide, sehingga mereka semua bisa mewujudkannya bersama-sama.

Nah, seberapa besar keberhasilan adaptasi gaya startup seperti ini memberi efek pada daya cipta karyawan? Lagi-lagi General Electric sudah memperlihatkan buktinya.

Di samping diciptakannya inovasi baru dari GE Healthcare, kini telah hadir sistem operasi PREDIX yang terus dikembangkan tim General Electric. PREDIX adalah platform yang dihadirkan untuk pengembangan teknologi, yang mereka sebut sebagai, Industrial Internet of Things (IIoT)—diyakini lebih besar dan meledak dari Internet of Things (IoT). Dengan teknologi tersebut, aeroderivative gas turbines, misalnya, akan mengadopsi desktop technology di dalamnya.

Inovasi-inovasi besar semacam itu hanya bisa lahir jika kamu punya percikan ide, keinginan untuk eksekusi, dan kesediaan berkolaborasi dengan pihak lain yang satu visi.

Jangan ragu juga untuk bergabung dengan program-program katalisator pengembangan ide seperti Digital Foundry! Karena bisa jadi, inovasimu akan terwujud di sana. Pertanyaannya: apa gagasan-gagasan inovasi teknologi yang ada di kepalamu sekarang?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Pola Pikir dan Teknologi Baru untuk Industri Indonesia

Lahirnya inovasi selalu membuat hidup tidak lagi sama. Lihat saja bagaimana Anda kini ‘mengubah’ ponsel bukan cuma sebagai peranti komunikasi, tapi menjadi ‘hidup’. Lihat juga bagaimana Anda terhubung dan berjejaring melalui inovasi media sosial. Dan yang fenomenal di beberapa tahun belakang, Anda bisa melihat bagaimana ojek sekarang menjadi pilihan utama dalam bertransportasi dengan adanya layanan on-demand.

Inovasi digital seperti ini memang dilahirkan untuk membuat gaya hidup manusia berbeda dan lebih mudah, tak terkecuali untuk kehidupan industri. General Electric (GE), sebagai perusahaan teknologi yang mencakup multi-industri, tergerak untuk turut serta mengambil lakon dalam kemajuan inovasi melalui konsep Digital Industrial.

Melalui acara bertajuk Digital Industrial Forum 2017, GE memperlihatkan bagaimana dewasa ini industri semestinya mengadopsi kemajuan-kemajuan teknologi yang menghubungkan cloud dengan smart component yang ada di tempat perindustrian. GE memperkenalkan PREDIX, sebuah platform PaaS (platform as a service) layanan cloud computing yang mendukung pengembangan aplikasi yang menggunakan data operasional untuk menggali informasi sebagai landasan pengambilan keputusan yang lebih baik, juga cepat.

Salah satu aplikasi pintar yang dibangun di dalam PREDIX adalah Digital Twin. Sederhananya Digital Twin adalah jembatan antara instrumen fisik dengan instrumen digital. “Digital Twin membantu mengenali aset fisik yang Anda miliki. Apakah ada risiko di dalamnya dan bagaimana keadaannya. Digital Twin membantu mempelajari usia dan penggunaan mesin,” ujar Vinay B. Jammu, Technology Leader and Physical-Digital Analytics General Electric, sembari langsung mendemonstrasikannya.

CT scan machine, contohnya. Saat industri kesehatan memerlukan mesin ini untuk hal-hal darurat, Digital Twin membantu mengingatkan apakah mesin ini perlu masuk fase perawatan. “Platform ini bisa diaplikasi ke wind power forecasting, construction vehicles performance, dan marine engine oil health. Baik untuk produk GE maupun non GE.”

GE juga berupaya membuktikan bahwa pola pikir digital industrial yang mereka canangkan tergolong adaptif untuk segala ranah industri.

Dalam event yang berlangsung di Fairmont Hotel ini, dihadirkan sebuah sesi perbincangan antara Luis F. Gonzalez (Chief Digital Officer General Electric Asia Pasifik) yang mewakili industri energi, David Wu (General Manager Healthcare, GE, Asia Pasifik) mewakili industri kesehatan, David Parkinson (General Manager, GEOil and Gas, Asia Pasifik) mewakili industri migas, Hardik Raithatha (Digital Growth Leader GE Renewable, Asia Pasifik) mewakili industri energi baru terbarukan, Frank Siegers (Senior Program Manager GE Aviation) mewakili industri aviasi, Jonathan Lim (Commercial Director, GE Transportation, Asia Tenggara) dan Alvin NG (General Manager , GE Digital Electric Asia Tenggara) selaku moderator. Masing-masing panelis mendemonstrasikan berbagai macam implementasi digital industrial di sektor energi, kesehatan dan transportasi.

Berlanjut setelah perbincangan hangat serta sesi tanya-jawab dengan audiens, Digital Industrial Forum menghadirkan Direktur Jenderal APTIKA Kominfo Samuel Pangarepan, yang membahas visi Indonesia secara digital pada tahun 2020, yakni 1000 startup (total valuasi Rp 150 triliun), satu juta petani dan nelayan yang go digital, serta delapan juta UKM yang go digital.

“Sampai 2016, kita sudah launch program Go Digital Vision dengan 50 teknopreneur yang sudah terlibat,” terangnya.

Teknologi baru yang dibawa GE ternyata menyentuh perekonomian akar rumput, seperti sektor pertanian, perikanan, maupun manufaktur. Hal ini diangkat pada salah satu segmen acara yang bertajuk The Pioneers; di mana GE memperkenalkan tiga startup berpotensi Indonesia yang bermain di ranah Industrial IoT; Dattabot, Fishare dan 3i.

Dattabot adalah startup big data analytics Indonesia pertama yang membangun sebuah aplikasi precision agriculture bernama HARA, yang dibangun di atas platform industrial internet dari GE Bernama PREDIX. HARA adalah sebuah field management application yang menganalisis sawah, membantu produksi pertanian meningkat hingga 80%, dan menurunkan biaya hingga 10%.

Dattabot menggunakan platform PREDIX dari GE dalam mengembangkan aplikasi untuk memahami bagian-bagian kendaraan yang rusak atau perlu dirawat segera. Fishare memerlukan GE untuk membuat self-farming module.

Selain itu, GE juga memperkenalkan dua startup lainnya yang bergerak di bidang Industrial Internet of Things (IIoT), yang disinyalir mampu mendisrupsi pasar; yakni 3i dan Fishare. 3i mengembangkan teknologi sensor online yang memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif melalui kemampuan data analytics dan machine learning.

Sedangkan, Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module.

Digital Industrial Forum ditutup oleh closing speech yang ditunggu oleh sebagian besar audiens, yakni Presiden Republik Indonesia ketiga, H.E. Prof. BJ. Habibie.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Mengapa Bekerja di Perusahaan Startup?

Bagi kamu yang seringkali membuat orang tua bertanya-tanya setiap kali pamit bekerja sambil mengenakan t-shirt, celana jeans dan sneaker, kemungkinan besar kamu adalah seorang pekerja di lingkungan startup—atau setidaknya kamu dan kantormu sekarang sedang menganut kultur tersebut.

Sesampainya di kantor, mereka pun bekerja dengan budaya yang santai. Gaya berpakaian dan bekerja yang kasual seperti ini banyak diadopsi oleh karyawan startup dalam keseharian. Lingkungan berbasis open working space juga banyak digunakan sebagai tempat mereka berkolaborasi dan berkarya.

Baik, mungkin sampai di titik ini bekerja di perusahaan startup kedengarannya fleksibel dan tidak rumit. Tapi percayalah, dengan kultur kedisiplinan yang mereka ciptakan sendiri, gaya bekerja seperti ini terbukti telah menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia.

Lantas, bagaimana sistem kerja yang kasual bisa menjadi bagian dari perusahaan raksasa dunia? Mengapa harus kultur startup? Mengapa harus bekerja di startup?

Paling tidak, tiga alasan ini seharusnya dapat memecah rasa ingin tahumu tersebut. Ini dia!

1. Keterlibatan dan jejaring yang kuat

Budaya yang lepas dan santai dari startup memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang senang berkreasi dan berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan. General Electric, korporasi yang bisnisnya berada di berbagai segmen—dari migas hingga jasa kesehatan, telah mengaplikasikannya.

Melalui tempat yang menjadi melting pot bagi engineer dan teknisi bernama Digital Foundry, General Electric berhasil menciptakan ide-ide baru, dan bahkan mengajak pelanggan untuk ikut serta berkolaborasi di Digital Foundry.

2. Lingkungan yang siap berinovasi

Salah satu hal yang menyenangkan dari bekerja di perusahaan startup adalah mentalitas orang-orang di dalamnya yang selalu siap dengan perubahan dan tidak khawatir dengan trial-error. Kultur ini yang membuat mereka ingin terus bertumbuh.

Saat bekerja di Google, mantan Direktur Pemasaran Google Brett Crosby punya pengalaman menarik soal pertumbuhan. Kala Google Drive diluncurkan, Brett dan tim punya growth goals yang begitu besar, bahkan mereka sempat tidak yakin dapat mencapai target pada awalnya.

Namun, kultur yang ingin terus bertumbuh dapat mendobrak kenyataan dan menjawab urusan alokasi dana marketing mereka, yang saat itu cukup menyesakkan perusahaan. Hingga pada akhirnya Google Drive dapat diintegrasikan pada Gmail, dan membuat mereka berhasil mencetak target tersebut.

3. Melihat dari sudut pandang yang unik

Produk unik memerlukan orang-orang dengan pemikiran unik di belakangnya. Hal ini berkaitan dengan alasan nomor satu tadi. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh General Electric.

Sebelumnya, General Electric tak bisa diasosiasikan dengan budaya startup. Tak ada dinding kaca dengan coretan sisa brainstorming dan meja foosball. Tapi, lewat Digital Foundry, General Electric berhasil mematahkan pemikiran tersebut. Hasilnya, Digital Foundry menelurkan, salah satunya, sebuah produk dari seorang data scientist di Digital Foundry yang dapat memilah dan mengelompokkan ribuan gambar MRI dari GE Healthcare, sehingga membuat pekerjaan lebih efisien dan makin efektif.

Tiga alasan tadi setidaknya bisa jadi sampel dari bagaimana perusahaan kelas dunia pun berhasil mendobrak pemikiran bahwa kantor bukan hanya menjadi mesin pencetak uang, namun juga rumah imajinasi dan laboratorium inovasi.

Ide-ide besar dan kreatif adalah asupan sehari-hari para karyawan startup. Nah, apakah kamu tertarik dengan suasana kantor seperti ini? Atau, bagaimana kantor idamanmu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

C by GE Sol Adalah Lampu Pintar dengan Integrasi Alexa

General Electric (GE) memang bukan yang pertama kali meluncurkan lampu pintar, namun mereka adalah yang pertama mengintegrasikan asisten virtual Alexa ke dalam sperangkat smart home tersebut. Dinamai C by GE Sol, ia bisa Anda anggap sebagai Amazon Echo yang bisa menyinari ruangan.

Interaksi dengan Alexa pada lampu ini sejatinya identik dengan pada speaker Echo. Anda bisa menanyakan beragam informasi, atau bahkan meminta tolong Alexa untuk membelikan sesuatu di Amazon.

Secara fisik, ia memiliki desain yang cukup futuristis. Pun begitu, desain membulat ini bukan sekadar kosmetik saja, namun juga ada aspek fungsionalnya: ia dapat merangkap tugas sebagai penunjuk waktu dengan menampilkan indikator pada bagian jarum jam dan menitnya.

Pengguna bebas mengatur temperatur warna cahaya yang dipancarkan C by GE Sol / GE Lighting
Pengguna bebas mengatur temperatur warna cahaya yang dipancarkan C by GE Sol / GE Lighting

Lampunya sendiri bisa diatur temperatur warnanya, sehingga pengguna bisa menciptakan suasana yang cozy dengan cahaya kekuningan. Lebih menarik lagi, jika Anda punya lampu C by GE lain, Sol dapat membuatnya jadi bisa dikendalikan dengan Alexa, asalkan posisinya berdekatan.

C by GE Sol rencananya bakal masuk ke pasaran mulai September mendatang dengan harga $200, atau pengguna juga bisa melakukan pre-order dari sekarang dan menerima potongan harga $40. Bersamaan dengan itu, GE juga akan memasarkan sebuah smart hub bernama C-Reach yang akan menghadirkan kompatibilitas Alexa dan Apple HomeKit pada lini lampu pintar C by GE.

Sumber: The Verge dan GE.

Menguak Proses Inovasi Teknologi

Sejak awal 2000 hingga tulisan ini dirilis, bisakah Anda menghitung berapa banyak startup yang lahir di industri teknologi Indonesia? Jumlahnya mungkin membeludak, tapi tak banyak yang tetap kukuh bertahan sampai detik ini. Ada beberapa syarat yang perlu ‘dipatuhi’ agar keberlanjutan tersebut tetap terjadi, yang di antaranya ialah produk yang solutif.

Sebut saja Go-Jek, Traveloka, dan Tokopedia, misalnya. Meski bergerak di ranah bisnis yang berbeda, ketiga perusahaan ini mempunyai satu hal yang menjadi oksigen bagi laju penciptaan inovasi, yaitu keinginan untuk membawa perubahan terhadap kebiasaan masyarakat. Kebiasaan tersebut umumnya sudah terasa usang, terutama di era Internet.

Lihat bagaimana Go-Jek membawa perubahan pada cara berpikir tukang ojek dan penumpangnya dengan produk on-demand service. Lihat juga Traveloka yang mencoba memecahkan masalah dari sulitnya pemesanan tiket transportasi khususnya pesawat. Dan juga, jangan luput dari ingatan Anda tentang Tokopedia yang menjadi online marketplace untuk menjawab kebutuhan para pengusaha kecil dan UKM dalam berdagang.

Rasanya, dewasa ini sudah banyak startup hadir dengan semangat yang sama dalam menghadirkan inovasi.

Namun ternyata, inovasi teknologi belakangan tak semata lahir dari permasalahan yang dilihat dan dirasakan inovatornya saja. Beberapa penemuan teknologi kadang muncul dari hal-hal yang tidak terduga, seperti peribahasa.

Ya, Anda tidak salah dengar. Peribahasa ternyata tidak lagi menjadi instrumen dalam kancah pelajaran bahasa atau penulisan cerita, tapi sudah berfungsi baik menjadi bibit dari inovasi. Program “Unimpossible Mission” dari General Electric (GE) membuktikan keadaan tersebut.

Premis dari program ini cukup sederhana—meski pembuatan produknya tentu tidak sesederhana itu, GE melakukan hal-hal yang dianggap mustahil setiap hari guna memecahkan beragam masalah kompleks yang dihadapi dunia. Hal-hal tersebut mengacu pada peribahasa, misalnya “Catching Lighting in a Bottle,” “You Can’t Fight Fire with Fire,” atau “You Can’t Unring the Bell.”

Yang baru diluncurkan, Anda dapat menyaksikan bagaimana aksi orang-orang tercerdas di dunia mematahkan peribahasa-peribahasa tersebut. Kabar lain, GE juga membuka kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswi Indonesia untuk memperlihatkan kemampuan mereka dalam berinovasi dari peribahasa.

Nah, apakah Anda salah satu inovator yang tepat untuk menjalankan “Unimpossible Missions”?


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.