Produsen Sepatu “Pijak Bumi” Manfaatkan Kanal Digital Sampaikan Visi Produk

Identitas merek atau produk bisa dibangun lewat berbagai macam media. Pijak Bumi, merek sepatu lokal dari Bandung mencoba membangun bisnis mereka melalui kanal online, tepatnya di platform Instagram dan situs web. Dari sana mereka mencoba menyuguhkan pelayanan prima sekaligus menyebarluaskan value yang diusung.

Bermula pada 2016, PijakBumi konsisten mengangkat tema sebagai merek sepatu ramah lingkungan. Tak hanya itu, mereka membawa tiga pilar penting dalam bisnisnya, yakni, orisinalitas desain, material ramah lingkungan, dan kearifan kerajinan lokal.

Co-founder Pijak Bumi Vania Audrey kepada DailySocial menceritakan bahwa mereka memanfaatkan Instagram untuk bisa membagikan produk dan cerita kepada khalayak ramai. Kemudian dari sana para pengunjung akan diarahkan menuju situs web untuk melakukan transaksi.

Pada awal kehadirannya, Pijak Bumi justru menarik pelanggan internasional. Tepatnya warga Indonesia yang tinggal di negara seperti Jerman dan Spanyol. Konsumen tertarik karena PijakBumi menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding merek sepatu lain dari Indonesia, yakni berbahan natural, tepatnya menggunakan bahan kulit sapi samak nabati, serat kenaf, katun organik, kulit kelapa, dan recycle ban bekas.

Dari sana kemudian Pijak Bumi terus berkembang, hingga pada akhirnya sekarang mereka melayani pelanggan bisnis (B2B) yang ada di Jepang dan Eropa. Sejauh ini Pijak Bumi mengaku memiliki kapasitas produksi 1000 pasang sepatu per bulan.

“Kami memang masih pakai Instagram, tapi kami optimalkan untuk tetap terhubung dengan Teman Melangkah (sebutan pelanggan Pijak Bumi). Kami juga punya website sendiri yang difokuskan untuk penjualan. Jadi nanti kalau ada penawaran kerja sama dari e-commerce lain baru kami pertimbangkan juga,” cerita Vania.

Selain Pijak Bumi, sebenarnya di Indonesia sudah mulai banyak muncul merek indie untuk produk sepatu. Misalnya Brodo, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk terhubung dengan pangsa pasarnya.

Kondisi persaingan yang ada, khususnya bila disandingkan dengan merek-merek yang banyak beredar di pasaran, memang membuat para founder produk lokal harus berpikir keras menghadirkan diferensiasi sekaligus nilai plus untuk merek yang dikembangkan. Dan menariknya setiap startup punya cara yang unik.

Fokus pada pengembangan produk

Tahun 2020 mungkin tahun yang cukup berat bagi kebanyakan orang, termasuk juga bisnis dan Pijak Bumi. Ada perubahan rencana atau lebih tepatnya rencana yang disesuaikan ulang yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Pihak Pijak Bumi, yang saat ini memiliki tim in-house sebanyak 5 orang mengaku mulai fokus pada pengembangan tim dan produk. Dengan adanya kanal B2C dan B2B membuat mereka sebisa mungkin untuk pintar mengatur sumber daya. Sementara itu untuk mendukung bisnis mereka juga menggunakan jasa pihak ketiga, seperti untuk warehousing dan semacamnya.

Berbicara mengenai teknologi digital, pihak Pijak Bumi mengaku tengah berusaha untuk meningkatkan kualitas situs web yang mereka miliki. Seperti dari segi fitur yang bisa membantu lebih banyak pelanggan dalam bertransaksi.

“Di 2020 kami ingin fokus ke produk yang ramah lingkungan dan ergonomis sehingga enak dipakai sehari-hari. Sementara untuk penerapan teknologi digital mungkin kami butuh semacam data scientis yang bisa membantu kami lebih paham membaca data yang ada,” tutup Vania.

Awal tahun ini, Pijak Bumi juga bergabung dengan program akselerator bisnis Gojek Xcelerate Batch 3. Dalam gelombang ini, Gojek merekrut banyak pengusaha dari kalangan pengembang produk ritel. Selain Pijak Bumi, ada beberapa startup lain seperti Callista, Gigel dan sebagainya.

Melalui Teknologi, Produk Perawatan Kulit Lokal “Callista” Hadirkan Personalisasi untuk Pelanggannya

Callista adalah merek produk perawatan kulit lokal yang dirilis sejak tahun 2016. Menyediakan varian produk seperti serum, tooner, mask, sunscreen, celansing dan lain sebagainya. Selain Indonesia, mereka juga telah miliki konsumen dari Malaysia, Filipina dan Hong Kong.

Dibandingkan dengan merek produk serupa lainnya, ada yang unik dari Callista. Mereka mengoptimalkan platform teknologi untuk mengakselerasi bisnis.

“Kami memiliki layanan analisis kulit dan personal beauty assistant yang mempermudah pelanggan untuk mendapatkan paket produk yang dipersonalisasi sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka,” jelas Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.

Ketika awal memulai bisnis, Callista cuma andalkan media sosial Facebook dan Instagram untuk memasarkan dan menjual produk – atau dikenal dengan social commerce—bahkan saat itu mereka belum memiliki situs jualannya sendiri seperti sekarang. Tim juga manfaatkan WhatsApp untuk terhubung dengan pelanggan, memberikan bantuan konsultasi perawatan kulit.

Seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan, platform media sosial dan aplikasi pesan yang digunakan jadi kurang efisien untuk memberikan pelayanan, karena prosesnya sangat manual. Tak jarang beauty assistant –tim pakar perawatan yang ditunjuk—kewalahan, padahal bisa berimplikasi pada hilangnya prospek pembelian.

“Dari sana kami membuat platform Skin Analysis yang diperkuat dengan AI agar konsumen bisa mendapatkan rekomendasi produk secara langsung, tanpa menunggu dibalas secara manual oleh beauty assistant. Saat ini fitur tersebut bisa diakses melalui situs resmi Callista,” terang Ryan.

Hingga saat ini, dengan bantuan teknologi yang dimiliki, mereka telah berhasil merangkul sekitar 32 ribu konsumen dan mengelola sekitar 150 ribu data analisis kulit.

Teknologi untuk personalisasi produk

Diketahui bersama, produk yang serupa diproduksi Callista sangat banyak di pasaran, bahkan datang dari brand besar kelas dunia. Indonesia memiliki potensi pasar yang luar biasa untuk produk perawatan dan kecantikan. Menurut data yang dihimpun Statista, tahun 2020 keuntungan dari bisnis tersebut diproyeksikan mencapai US$7,288 juta dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista
Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista

Menyadari hal itu, Ryan dan tim memutuskan pendekatan personalisasi agar diminati pengguna, salah satunya dengan layanan konsultasi tadi. Model bisnis itu dilakukan sejak awal berdiri, dari yang manual hingga sekarang semi-otomatis.

“Untuk memastikan produk memiliki dampak yang baik, biasanya setiap bulan beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui untuk melihat kemajuan dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya kepada tiap pelanggan,” lanjut Ryan.

Pengembangan varian produk dan model bisnis Callista juga masih akan terus dilanjutkan. Jika di tahun-tahun sebelumnya mereka fokus melakukan distribusi produk online, tahun ini akan mulai memperkuat kanal offline melalui “beauty ambassador”. Sederhananya seperti program reseller, membuka peluang bagi pebisnis mikro untuk ikut menjualkan produk-produknya. Sistem manajemennya, tetap masih andalkan platform digital.

“Berdasarkan pengalaman kami, orang akan lebih yakin membeli produk perawatan kulit apabila direkomendasikan oleh teman/keluarganya yang sudah pernah menggunakan dan mendapatkan hasil yang memuaskan,” ujar Ryan.

Dapatkan dukungan dari program akselerasi bisnis

Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra
Founder Callista Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra / Callista

Selain Ryan, ada Shinta Priantika Sari yang juga sebagai co-founder Callista. Ia memiliki latar belakang studi bidang kesehatan di Universitas Indonesia dan telah berpengalaman 8 tahun di bidang perawatan kulit. Ryan sendiri latar belakang pendidikannya di bidang teknologi dan bisnis, sejak lulus dari Queensland University of Technology.

Sejak awal berdiri, Callista berjalan secara bootstrapping, hingga pada awal tahun ini mereka menerima pendanaan pre-seed dari program akselerator SKALA. Saat ini Callista juga tengah bergabung dalam program serupa yang diinisiasi oleh Gojek, yakni Xcelerate.

In the Hype of “Sharing Economy”, Gigel Introduces Baby Equipment Rental Marketplace

It begins with Muhammad Syahdani and Putri Arinda experience as a married couple, they are then founded the baby equipment rental named Gigel. The platform offered lists of products for young couples with newborn children, such as baby walker, stroller, toys and many more.

The CEO, Syahdani told DailySocial, the high demand and big potential of this business has made its services quite popular, particularly in the Greater Jakarta. Earlier this year, Gigel also aggressively expanded its service coverage and rental marketplace business model. Currently, it’s not only baby’s products but they also rent such items as winter jackets, travel luggage, and cameras.

“We present all items by partnerships with merchants across Jabodetabek. We also have a strategic partnership with GoSend for shipping and payment using GoPay digital wallet,” Dani said.

Gigel claims to have 500 partners, 30 thousand registered users, and 15 thousand active users. It’s currently available in the Greater Jakarta, this year Gigel has plans to expand services to other large cities.
“Currently, we are still preparing things to expand to Bandung. Our target for Gigel to launch in Yogyakarta, Surabaya, and Bali this year,” he added.

Gigel website interface
Gigel website interface

Challenge for rental marketplace

One reason to create Gigel is that there are no local players dominating the business model. While the trend among millennials who prefer the concept of sharing economy and smart buying, become a great opportunity to be further developed. In addition, there are other rental services, such as Cumi.id, and Sevva which was renamed into nyewain.com.

Arinda’s thought as the CMO, is that there is countless problems in purchasing goods for the needs of mothers and children, that could end up useless and costs money. With the rental concept, Gigel offers users the freedom within a certain period of time to use a product.

“We currently have angel investors and have no plan to raise funds. Still focusing on traction and serving more users, it is expected this year to add more products for users,” she added.

Most (60%) of the products rented are Gigel’s personal inventories. However, to grow the business and reach more users, they decided to add a variety of products from partners interested in renting goods. Gigel also requests a deposit with all user requirements and agreements are determined by the merchant.

In terms of future consolidation with other players or be willing to be acquired with a larger marketplace, is possible, it all depends on the current conditions and agreements. For now, Gigel, with 30 of its team, is still focused on developing the business and expanding.

Gigel team and management
Gigel team and management

Part of Gojek Xcelerate’s third round

As part of the effort to develop business, Gigel is incorporated with Gojek Xcelerate acceleration program. In accordance with the program’s current theme, which is daily consumer innovation, it is expected that Gigel to gain more insight as well as open access to Gojek’s ecosystem network.

“We see the program and speakers by Gojek Xcelerate very compelling, practical and fit the needs in developing startups at this early stage,” Dani said.

Inviting mentors from Gojek’s internal team and curriculum specifically created for this accelerator program, Dani also realize the insights from during the program were similar to the conditions of the current Gigel business.

“I think one of the important and useful lessons for me and Gigel is the strategy planning and problem analysis taught by the McKinsey consulting team,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Manfaatkan Momentum “Sharing Economy”, Gigel Hadirkan Marketplace Penyewaan Perlengkapan Bayi

Berawal dari pengalaman pribadi pasangan suami istri Muhammad Syahdani dan Putri Arinda, mereka mendirikan layanan penyewaan perlengkapan bayi bernama Gigel. Platform tersebut berisikan produk yang banyak dibutuhkan oleh pasangan muda yang baru saja memiliki anak seperti baby walker, stroller, mainan dan masih banyak lagi.

Kepada DailySocial, Syahdani (Dani) selaku CEO mengungkapkan, besarnya permintaan dan potensi bisnis ini menjadikan layanannya sejauh ini cukup diminati, terutama di kawasan Jabodetabek. Awal tahun ini Gigel juga gencar mengembangkan cakupan layanan dan model bisnis marketplace penyewaannya. Kini bukan hanya produk untuk bayi, pengguna bisa menyewa barang seperti winter jacket, koper untuk wisata hingga kamera.

“Semua kami hadirkan dengan memanfaatkan kemitraan dengan merchant yang tersebar di Jabodetabek. Kami juga menjalin kemitraan strategis dengan GoSend untuk pengiriman hingga menghadirkan pembayaran dompet digital GoPay,” kata Dani.

Gigel mengklaim telah memiliki sekitar 500 mitra, 30 ribu pengguna yang terdaftar dengan 15 ribu pengguna aktif. Masih terbatas di kawasan Jabodetabek, tahun ini Gigel memiliki rencana untuk memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya.

“Saat ini kita masih melakukan persiapan untuk hadir di Bandung. Target kami tahun ini Gigel bisa meluncur di Yogyakarta, Surabaya dan Bali,” kata Dani.

Tampilan situs Gigel
Tampilan situs Gigel

Tantangan marketplace penyewaan

Salah satu alasan mengapa Gigel diciptakan adalah, masih belum adanya pemain lokal yang mendominasi model bisnis tersebut. Sementara ada tren di kalangan milenial yang lebih menggemari konsep sharing economy hingga smart buying, menjadi peluang yang cukup menarik untuk dikembangkan. Selain Gigel ada layanan penyewaan lain, misalnya Cumi.id dan Sevva yang sudah berganti nama menjadi nyewain.com.

Menurut Arinda selaku CMO, saat ini masih banyak ditemui persoalan pembelian barang untuk kebutuhan ibu dan anak yang tidak bisa maksimal digunakan, sehingga menjadi percuma dan menghabiskan uang saja. Dengan konsep penyewaan, Gigel memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menggunakan dalam jangka waktu tertentu produk yang sedang dibutuhkan.

“Saat ini kami telah memiliki angel investor dan belum berencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada traksi dan melayani lebih banyak pengguna, diharapkan tahun ini kami juga bisa menambah pilihan produk untuk pengguna,” kata Arinda.

Sebagian besar (60%) produk yang disewakan adalah inventori pribadi milik Gigel. Namun untuk mengembangkan bisnis dan merangkul lebih banyak pengguna, mereka memutuskan untuk menambah produk yang bervariasi dari mitra yang berminat menyewakan barang. Gigel juga menerapkan deposit yang semua persyaratan dan kesepakatan kepada pengguna ditentukan langsung oleh merchant.

Disinggung apakah ada rencana untuk Gigel melakukan konsolidasi dengan pemain lainnya atau bersedia diakuisisi dengan marketplace yang lebih besar, proses tersebut bisa saja dilakukan, tergantung dari kondisi dan kesepakatan yang ada. Namun saat ini Gigel yang telah memiliki 30 tim, masih fokus untuk mengembangkan bisnis dan melakukan ekspansi.

Tim dan manajemen Gigel
Tim dan manajemen Gigel

Peserta Gojek Xcelerate putaran ketiga

Sebagai upaya untuk mengembangkan bisnis, Gigel juga tengah tergabung dalam program akselerasi Gojek Xcelerate. Sesuai dengan tema dari program kali ini yaitu daily consumer innovation, diharapkan Gigel bisa mendapatkan wawasan lebih sekaligus akses terbuka kepada jaringan ekosistem miliki Gojek.

“Kita melihat program dan pemateri yang ditawarkan oleh Gojek Xcelerate ini sangat menarik, praktikal dan cocok dengan kebutuhan dalam mengembangkan startup di tahap early stage ini,” kata Dani.

Memanfaatkan mentor dari tim internal Gojek dan kurikulum yang dibuat secara khusus untuk program akselerator ini, Dani juga melihat ilmu yang telah diperoleh selama program serupa dengan kondisi dari bisnis Gigel saat ini.

“Menurut saya salah satu pelajaran penting dan bermanfaat untuk saya dan Gigel adalah strategi planning dan analisa masalah yang diajarkan oleh tim konsultan McKinsey.

Fokus pada “Daily Consumer Innovation”, Gojek Xcelerate Putaran Ketiga Digelar

Untuk ketiga kalinya program akselerator besutan Gojek bersama Digitaraya, Gojek Xcelerate, kembali digelar. Berbeda dengan putaran pertama dan kedua, kini tema yang diangkat “daily consumer innovation” atau inovasi digital yang mampu membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tema tersebut dirasa cukup dekat dengan Gojek, karena mereka memiliki lini produk terkait. Oleh karenanya perusahaan cukup percaya diri bisa memberikan insight mendalam berbekal pengalaman dan kompetensi tim internal.

Kepada DailySocial, Gojek Xcelerate Lead Yoanita Simanjuntak mengungkapkan, secara khusus program ini menyasar startup Indonesia yang menawarkan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses produk lokal berkualitas dunia. Selain itu diharapkan memiliki elemen sosial untuk turut menciptakan dampak positif bagi masyarakat sekitar — misalnya dengan memberdayakan UKM dalam proses produksi atau distribusi produk.

“Dengan tema daily consumer innovation, kami menargetkan startup berpangsa pasar B2C yang menyediakan solusi sejalan dengan Gojek untuk senantiasa memudahkan kehidupan sehari-hari melalui inovasi teknologi.”

Melibatkan mentor dari Gojek

Sesi pelatihan bersama VP Data Science
Sesi pelatihan bersama VP Data Science

Salah satu masukan menarik yang didapatkan Xcelerate dari peserta adalah, banyak dari mereka yang masih membutuhkan ilmu hingga pengalaman yang relevan untuk pengembangan bisnis digital. Mulai dari mengelola talenta hingga mengembangkan model bisnis. Meskipun pada akhirnya pendanaan merupakan salah satu tujuan utama, namun dengan kurikulum yang dibuat secara khusus oleh Gojek diharapkan bisa menambah sumber daya dan wawasan mereka.

Cara kerjanya tidak jauh berbeda dengan program akselerator lainnya, secara rutin peserta akan mengikuti kelas khusus menghadirkan mentor hingga pakar di bidang tertentu. Kurikulum Gojek juga disampaikan oleh para leader, product manager Gojek.

“Dalam program Gojek Xcelerate, para startup akan mendapatkan sesi bootcamp selama satu minggu, dengan berbagai kurikulum dari Gojek, Google dan rekanan global lainnya; sesi mentorship dengan McKinsey, UBS Bank dan Digitaraya; dan diakhiri dengan Demo Day di mana para startup mempresentasikan produk dan model bisnis mereka,” kata Yoanita.

Ditambahkan olehnya, melalui program ini startup bisa bertemu secara langsung dengan VC dan investor potensial yang ada dalam jaringan Gojek Xcelerate — juga tim leadership Gojek, sehingga para startup memiliki kesempatan untuk terintegrasi maupun bergabung ke dalam ekosistem Gojek. Hal tersebut yang diklaim membedakan Gojek Xcelerate dengan program akselerator lainnya.

“Pengalaman jatuh bangun kami adalah pembelajaran yang bisa dibagikan kepada para startup, sehingga dapat membantu mereka menghindari kesalahan yang kami buat dulu. Ini termasuk bagaimana membuat keputusan yang tepat pada waktu yang tepat untuk pertumbuhan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan,” kata Yoanita.

Target Gojek Xcelerate

Melalui kategori baru di putaran ketiga ini, tim Gojek dan Digitaraya menemukan banyak potensi yang masih bisa digali oleh startup yang sudah mendapatkan funding dan secara khusus menyasar sektor daily consumer innovation. Mulai dari produk makanan beku (fozen food) hingga marketplace penyewaan mainan anak dan keperluan bayi.

“Definisi kesuksesan kami adalah seberapa besar nilai yang dirasakan partisipan/startup alumni Gojek Xcelerate dan juga ekosistem di sekitarnya. Kami berharap Gojek Xcelerate dapat membantu mempersingkat perjalanan para startup mencapai pertumbuhan yang berskala besar,” kata Yoanita.

Beberapa startup lulusan Gojek Xcelerate di antaranya adalah Qlue, Travelio, Peto, Izy.ai dan Crewdible. Startup tersebut punya latar belakang industri yang berbeda-beda. Crewdible misalnya bergerak di bidang pergudangan logistik, Izy di industri perhotelan, Peto di perawatan hewan peliharaan, Travelio di pemesanan akomodasi dan Qlue di solusi smart city.

Rencananya program ini akan berjalan hingga Maret 2020 dengan target 20 startup terpilih dalam lima gelombang. Digitaraya, Google Developers Launchpad, McKinsey & Co. dan UBS menjadi mitra Gojek dalam program ini.

“Melalui Gojek Xcelerate kami ingin memberikan akses kepada para startup untuk bisa bertemu dengan mentor unggulan Gojek, praktisi kelas dunia, dan calon investor serta sumber pendanaan lain untuk mengembangkan bisnis mereka ke depannya. Ini merupakan salah satu perwujudan komitmen Gojek untuk terus memberikan dampak sosial positif yang lebih luas bagi masyarakat dengan mendukung perkembangan industri startup dan inovasi teknologi di Indonesia,” tutup Yoanita.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Xcelerate Batch Kedua Pilih 10 Startup Karya Founder Perempuan

Program akselerator besutan Gojek bersama Digitaraya, Gojek Xcelerate, telah sampai di batch kedua dengan tema startup karya founder perempuan dari Indonesia dan Asia Pasifik. Diharapkan peserta terpilih bisa mengakselerasi partisipasi perempuan di industri teknologi.

Kali ini, Digitaraya menggaet Simona Ventures yang merupakan pemodal ventura yang fokus mengembangkan bisnis dan inisiatif membawa misi sosial terkait kesenjangan gender dan pemberdayaan perempuan. Sebelumnya kedua pihak telah berkolaborasi saat menggelar program APAC Women Founders Accelerators pada Maret 2019.

SVP Product Management Gojek Dian Rosanti menjelaskan, Gojek Xcelerate batch kedua fokus melatih startup yang dipimpin perempuan mengenai strategi penting dalam mengembangkan bisnis, menghubungkan mereka dengan pemimpin perempuan sukses dari berbagai industri. Serta memberikan akses jejaring mentor dan investor yang memiliki kesamaan visi.

“Dalam proses pelatihan Gojek Xcelerate, para startup mendapatkan materi komprehensif mengenai strategi product and market fit, growth hacking, fundraising, pitch, training, leadership, dan culture building dari Gojek,” terangnya, Jumat (1/11).

Ada 10 startup terpilih yang telah selesai mengikuti program akselerasi selama satu bulan terakhir. Diisi dengan berbagai pelatihan intensif bersama sejumlah mentor Gojek dan mentor kelas dunia lainnya dari Google, McKinsey & Company, dan UBS.

Peserta dari Indonesia ada e-commerce fesyen Love and Flair dan startup penyedia layanan survei dan riset Populix. Berikutnya Jio Vio dan Pixyvlz (India), Kobe (Singapura), Paynamics dan 1Export (Filipina), Elevait (Tiongkok), PurelyB (Malaysia), dan Event Banana (Thailand).

Hari ini adalah demo day, puncak kegiatan dari seluruh rangkaian acara. Seluruh peserta memiliki kesempatan untuk pitching ke hadapan para investor global yang tertarik dengan ide-ide mereka. Kemungkinan terbesarnya adalah mereka bisa mendapatkan pendanaan, namun bukan dari Gojek.

Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita menambahkan, dalam demo day Gojek membuka exposure kepada para peserta akselerator dengan akses mentor dan investor. Sehingga harapannya mereka bisa mengakselerasi kemampuan pertumbuhan bisnis startup masing-masing.

Dia menegaskan, pertimbangan Gojek untuk merangkul startup dari akselerator yang akan masuk ke dalam ekosistemnya bukan dilihat per batch-nya. Melainkan dari seluruh batch yang bakal diselenggarakan Gojek sampai Maret 2020. Targetnya akan ada dua batch lagi yang segera digelar.

“Kami baru mempertimbangkan mana yang cocok [masuk ke ekosistem] itu dalam satu cycle dulu. Sambil paralel [Xcelerate berlangsung] kita lihat [calon startup] tapi bukan per batch, melainkan satu cycle dari empat batch tersebut,” terang Nila.

Ketimpangan peran perempuan dalam industri teknologi

Mengacu dari hasil riset ILO berjudul “Women in Business and Management: The business case for change” tahun 2019, menemukan lebih 60% responden setuju bahwa inisiatif keragaman gender meningkatkan hasil bisnis dan reputasi. Selain itu, lebih mudah menarik dan mempertahankan karyawan, serta lebih kreatif dan inovatif.

Mirisnya partisipasi perempuan di sektor teknologi masih tergolong sedikit. Sementara ekonomi digital diprediksi akan tumbuh pesat di Indonesia dan Asia Tenggara dalam satu dekade ke depan.

Dilihat dari jumlah startup yang mendaftar pada batch ini juga terlihat sangat timpang dibandingkan batch pertama yang mengambil tema machine learning. Pada batch pertama, startup yang mendaftar ada 1050 startup. Sementara pada batch kedua hanya 86 startup di Asia Pasifik.

Dian menerangkan para founder perempuan di dunia teknologi sering kali menghadapi tantangan dalam mengembangkan startup mereka dibandingkan founder laki-laki. Tidak hanya terkait stigma sosial, tetapi juga kurangnya jejaring dukungan dan akses terbatas pada pendanaan.

Di Gojek, persentase posisi manajer ke atas dari perempuan sekitar 33% dibandingkan laki-laki. Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata global yakni 30%. Namun, untuk persentase di product manager dan engineer saja, angkanya cenderung lebih sedikit sekitar 20%.

“Kami percaya bahwa industri teknologi yang lebih beragam secara gender akan mendorong lebih banyak inovasi dan mengakselerasi pertumbuhan sebuah bisnis,” tutup Dian.

Lima Startup Terpilih di Gelombang Pertama Gojek Xcelerate

Sebanyak lima startup tampil dalam demo day program Gojek Xcelerate. Mereka adalah Qlue, Travelio, Peto, Izy.ai, dan Crewdible.

Startup tersebut punya latar belakang industri yang berbeda-beda. Crewdible misalnya bergerak di bidang pergudangan logistik, Izy di industri perhotelan, Peto di perawatan hewan peliharaan, Travelio di pemesanan akomodasi, dan Qlue di solusi smart city.

Rencananya program ini akan berjalan hingga Maret 2020 dengan target 20 startup terpilih dalam lima gelombang. Digitaraya, Google Developers Launchpad, McKinsey & Co., dan UBS menjadi mitra Gojek dalam program ini.

VP Public Affairs Gojek Siti Astrid Kusumawardhani menjelaskan, kelima startup itu terpilih dari 1.050 pendaftar dalam gelombang pertama program Gojek Xcelerate. Astrid menuturkan startup-startup tersebut dipilih karena dianggap akan makin kuat dengan implementasi machine learning.

“Mereka paling berpotensi tumbuh cepat dengan machine learning dan menciptakan sosial serta memecahkan masalah yang nyata di masyarakat seperti halnya Gojek,” kata Astrid.

Hadiah yang bakal diterima lima startup tersebut dari program ini bukan dalam bentuk pendanaan. Astrid mengatakan, pihaknya memberikan pengetahuan akan machine learning, akses ke mentor kelas dunia, jejaring komunitas, dan kesempatan bergabung ke platform besar Gojek.

“Itu yang nilainya sangat tinggi khususnya bagi startup-startup early stage dan ada juga kesempatan bergabung ke platform Gojek,” imbuhnya.

Crewdible sebagai peserta dalam program ini mengaku tertarik ikut karena program machine learning yang ditawarkan. Founder Crewdible Dhana Galindra mengaku dalam waktu dekat sulit mengimplementasi machine learning ke dalam sistemnya. Akan tetapi menurutnya penguasaan machine learning menjadi penting ketika kondisi sudah mengharuskan.

“Karena ini tergantung industrinya. Kalau Gojek mungkin lebih kepada volume data yang besar dan real time. Kita volume data besar tapi tidak terlalu real time, dalam arti decision making enggak terlalu real time,” ucap Dhana.

Berbeda dengan Crewdible, Peto dan Izy terang-terangan mengaku alasannya mengikuti program akselerasi ini untuk masuk ke dalam platform besar Gojek. “Betul, ini salah satu tujuan kita ikut,” pungkas CEO Peto Ditya Nandiwardhana.

Gojek Introduces “Gojek Xcelerate” Program, Aiming for the Early Stage Startups

Gojek and Digitaraya have launched an accelerator program named Gojek Xcelerate. The name implies the objective to support Indonesia’s startups to level up from the early stage.

Aside from Digitaraya, Gojek also supported by Google Developer Launchpad, UBS, and McKinsey & Company. Each company has contributed to this accelerator program.

In the pers conference at Digitaraya tower on Tuesday (9/10) this afternoon, the accelerator program aims for 20 startups in 4 batch within the next 6 months. The first one is to held from 10 – 27 September 2019.

Digitaraya’s Managing Director, Nicole Yap emphasized on the startup they’re going to invest must be a running business, even though a small one. “We’re currently focused on the early-stage startups,” she said.

She also mentioned the gap between the rising number of startups and the low rate of funding. It is the main issue we’ve tried to solve through this accelerator program.

Gojek’s SVP of Product Management, Dian Rosanti said, their team has done some mentoring and training to startups.  However, they believe it’s not enough to hold the accelerator program alone, therefore they have Digitaraya.

In this program, Gojek Xcelerate has set the curriculum with partners. It is said to include all subjects from growth hacking, machine learning, data science, the right business model for startup, and how to calculate business valuation.

Participants will get the opportunity for a consulting session with the experts in the global tech industry. Gojek also mentioned that startups with a related solution will have space in their ecosystem.

“Therefore, we provide opportunities for those in our program to create a solution for Gojek partners and consumers to step into the ecosystem,” Dian said.

Indonesia is said to have great potential for startup expansion. It was shown at Google and Temasek research that Indonesia’s projected to contribute at US$100 billion or Rp1,400 trillion in the SEA economy by 2025. There are 46 of the 847 registered startups have raised funding worth of Rp57 trillion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Program Akselerator “Gojek Xcelerate” Diluncurkan, Sasar Startup Tahap Awal

Gojek bersama Digitaraya meluncurkan sebuah program akselerator yang diberi nama Gojek Xcelerate. Seperti namanya, program tersebut bertujuan membantu startup di Indonesia untuk membesarkan bisnisnya yang masih berusia dini.

Selain Digitaraya, Gojek juga mendapat dukungan dari Google Developers Launchpad, UBS, dan McKinsey & Company. Masing-masing perusahaan tersebut menyumbangkan keahliannya dalam program akselerasi ini.

Dalam jumpa pers yang digelar di Menara Digitaraya pada Selasa (10/9) siang tadi, program akselerator ini akan mencari 20 startup dalam 4 angkatan selama 6 bulan ke depan. Gelombang pertama program ini dijadwalkan berlangsung dari 10 September hingga 27 September.

Managing Director Digitaraya Nicole Yap menegaskan bahwa startup yang dicari dalam program ini harus yang bisnisnya sudah berjalan meskipun masih berskala kecil. “Fokus kita ke startup yang masih early stage,” kata Nicole.

Nicole juga menambahkan bahwa saat ini ada jarak antara jumlah startup yang makin banyak di Indonesia dengan aliran pendanaan yang hanya masuk segelintir startup. Jarak tersebut yang menurut Nicole diusahakan teratasi lewat program akselerator ini.

SVP of Product Management Gojek Dian Rosanti menyebut, pihaknya sejatinya punya riwayat mentoring dan pembinaan ke sejumlah startup. Namun ia mengakui pihaknya belum punya cukup pengalaman untuk menggelar program akselerasi sehingga menggandeng Digitaraya.

Dalam program ini Gojek Xcelerate menyusun kurikulum bersama mitra mereka. Kurikulum itu memuat sejumlah materi mulai dari growth hacking, penggunaan machine learning, data science, pengembangan model bisnis yang tepat untuk startup, serta cara mengukur valuasi perusahaan.

Peserta juga akan diberi kesempatan konsultasi tatap muka dengan mentor yang punya pengalaman industri teknologi global. Gojek bahkan menjanjikan startup yang memiliki solusi yang cocok diaplikasikan untuk mitra atau konsumen Gojek untuk masuk ke dalam platform mereka.

“Maka dari itu kita memberi kesempatan bagi peserta program kami yang bisa menemukan solusi bagi mitra atau konsumen Gojek untuk masuk dalam platform Gojek,” ucap Dian.

Indonesia masih dinilai sebagai negara dengan potensi yang besar bagi perkembangan startup. Riset Google dan Temasek memperlihatkan Indonesia diprediksi berkontribusi US$100 miliar atau Rp1.400 triliun dalam ekonomi Asia Tenggara pada 2025. Dari 847 startup terdaftar, 46 di antaranya tercatat meraup pendanaan sebesar Rp57 triliun.

Application Information Will Show Up Here