GoPlay Live Diluncurkan untuk Mengakomodasi Kebutuhan Konten Interaktif

Pergeseran perilaku konsumen terhadap konsumsi media online di era pandemi ini telah mendorong GoPlay, platform video on demand dari Gojek, untuk meluncurkan inovasi terbarunya, GoPlay Live. Fitur ini akan menayangkan secara langsung (live streaming) berbagai program atau konten online dengan lebih interaktif.

Hal ini diakui oleh Edy Sulistyo, selaku CEO GoPlay, “Awalnya kita melihat shifting behavior dari pengguna yang mulai mencari konten daring. Diikuti dengan peningkatan jumlah event online […] dari sini kita coba cari cara bagaimana membuat online event yang bisa menghadirkan offline experience.

Pihaknya turut menyampaikan potensi konten online yang cukup besar selama pandemi ini. Menurut data yang didapat dari sister company, Loket.com, terjadi lonjakan penyelenggaraan online event yang mendominasi 96% dari total event. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah pengguna GoPlay yang mencapai 10 kali lipat.

Belum lama ini, GoPlay juga telah mengamankan investasi secara independen.

Memperkuat kolaborasi

Memasuki tatanan baru di era pandemi ini, Edy memaparkan beberapa strategi perusahaan untuk beradaptasi dengan situasi saat ini. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang bisa mengoptimalisasi industri film Indonesia dan menunjang para sineas dalam distribusi karya mereka secara menyeluruh

Sejauh ini, GoPlay telah berkolaborasi dengan Gojek dan Citilink untuk beberapa paket produk (bundling). Selain itu, bersama Kemenparekraf menghadirkan festival film dan serial online pertama di Indonesia. Strategi kolaborasi ini dinilai sangat efektif untuk bisa meningkatkan engagement dengan pengguna sekaligus mendukung kampanye #Dirumahaja.

Sebelumnya, GoPlay telah memiliki beberapa kategori seperti GoPlay Original, Goplay Exclusive, dan Goplay Library dalam aplikasinya. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah online event, fitur live streaming ini juga sebagai salah satu strategi untuk bisa melengkapi ekosistem yang ada serta turut membantu mereka yang terkena dampak pandemi di industri entertainment.

Mendukung sineas lokal

Beberapa fitur interaktif baru yang sudah bisa dinikmati meliputi (1) ShoutBox, untuk membantu pengguna dalam sesi tanya jawab dengan host/penyelenggara dalam sebuah sesi; (2) Public and Private Group Chat, yang memungkinkan para hadirin bisa berinteraksi satu sama lain layaknya ketika mengikuti event secara offline; (3) Live Shopping, untuk mempermudah pengguna membeli merchandise, souvenir, atau produk lain dari pembuat konten (atau event); serta beberapa fitur lainnya.

Selain fitur-fitur yang bisa menambah revenue para seniman/pembuat konten, terdapat juga proteksi DRM (Digital Right Management) untuk menghindari duplikasi konten serta mem akses kontrol yang eksklusif.

“Inovasi dan kreativitas content creator di Indonesia sangatlah tak terbatas. Melalui dukungan super app Gojek, pengembangan fitur GoPlay dalam kategori GoPlay Live juga tidak akan berhenti sampai di sini. Dalam waktu dekat, GoPlay Live akan menghadirkan fitur-fitur tambahan, seperti Interactive Trivia, Interactive Polling, Donation, Virtual Gift, dan masih banyak lagi bagi para pengguna,” sambung Edy.

Sementara itu, dari sisi content creator, penyelenggaraan online event ini menjadi salah satu yang bisa mendorong industri kreatif tetap bertumbuh di tengah hilangnya panggung offline mereka. Selain itu, akses daring yang tidak terbatas secara geografis dirasa bisa memperluas target audiens. Faktanya, sejumlah online event bahkan berhasil meraih penjualan lebih dari 5000 tiket. Penontonnya tidak hanya datang dari masyarakat lokal, namun juga dari beberapa negara tetangga.

“Hal ini membuat saya sangat exited dengan potensi online event ini. Selain tetap bisa menggunakan GoPlay untuk membantu para seniman tetap berkarya, kita juga melihat potensi post-pandemic. Dengan konsep yang ada, kita bisa membentuk hybrid model antara offline dan online event yang nantinya bisa mendapatkan revenue dari audiens yang lebih besar,” tambah Edy.

Saat ini Goplay Live juga telah terintegrasi dengan GoTix dan Loket. Untuk pengguna yang ingin menikmati pengalaman offline dalam event online secara lebih interaktif serta ingin lebih mengapresiasi content creator favoritnya bisa langsung membeli tiket yang tersedia di dua platform tersebut.

Application Information Will Show Up Here

Terima Pendanaan, Aplikasi Rating Film Bioskop Cinepoint Segera Perluas ke Platform OTT

Aplikasi rating dan box office film bioskop Cinepoint mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan dari Ideosource Entertainment. Dana segar tersebut digunakan untuk mengembangkan fitur-fitur yang secara langsung membantu industri perfilman Indonesia, bisa terintegrasi dengan platform lain, dan perluas rating untuk konten di dalam platform OTT.

Ideosource Entertainment sebelumnya juga berinvestasi untuk pendanaan GoPlay, platform OTT milik Gojek. Baik Cinepoint dan GoPlay adalah bentuk komitmen dari Ideosource untuk membangun ekosistem perfilman di Indonesia yang lebih baik.

Cinepoint adalah aplikasi rating dan box office yang tayang di bioskop Indonesia, baik lokal maupun internasional. Rating diukur melalui exit polling yang diisi oleh penonton setelah selesai menonton dan diverifikasi secara real-time. Data box office selalu diperbarui secara rutin, dilengkapi dengan grafik mingguan maupun data historis dan infografik.

Sejatinya aplikasi ini sudah hadir sejak tahun lalu di bawah pengembang Inspira PRJ. Adapun sosok di balik aplikasi Cinepoint adalah akun Twitter @bicaraboxoffice yang kerap memberikan informasi jumlah penonton film yang tengah tayang di bioskop.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Cinepoint Sigit Prabowo menjelaskan, Cinepoint berbeda dengan layanan lainnya yang lebih condong ke arah review film. Cinepoint memosisikan diri sebagai pemberi rating film berdasarkan angka, tanpa review. Angka lebih bersifat absolut dan benar-benar menggambarkan penilaian dari penonton.

Menurutnya, metode seperti ini sudah familiar dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Akan tetapi, penilaian diambil secara manual lewat secarik kertas yang diisi penonton setelah keluar dari bioskop. Cinepoint mendigitalkan proses tersebut untuk dibawa masuk ke Indonesia.

“Dengan digital, industri bisa mendapat gambaran jauh lebih luas, persebaran penonton, bisa memprediksi selera berdasarkan lokasi, dan lain sebagainya. Kita seperti big data analytics tapi khusus film,” ucapnya, Kamis (25/6).

Untuk memberikan rating, pengguna akan diminta memasukkan lokasi bioskop disertai scan tiket. Lalu memasukkan nama film yang ditonton, jam, dan nomor kursi bioskop. Penonton dapat menilai film dari skala 1-10.

Perlu dicatat, pemberian rating ini disarankan setelah selesai menonton atau tidak jauh dari lokasi bioskop. Setiap rating yang diberikan, pengguna akan mendapat poin.

Ketertarikan Sigit di dunia film dan analitik akhirnya menginspirasi untuk mengembangkan Cinepoint agar lebih serius dan terstruktur agar memberikan dampak positif untuk industri film. Sejak pertama kali dirilis hingga kini, dia menyebut Cinepoint telah mengantongi 40 ribu pengguna.

Salah satu fitur yang akan dikembangkan adalah rating untuk film yang tayang di platform OTT. Kata Sigit, pandemi membuat konsumsi konten film di platform OTT melesat, akhirnya mendorong tim untuk mengembangkan fitur tersebut.

Pendanaan dari Ideosource

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disebarkan kemarin (24/6), CEO Ideosource Entertainment Andi Boediman menerangkan pihaknya sangat peduli terhadap perkembangan industri film. Namun, tidak bisa disangkal kalau pandemi berdampak luas terhadap industri film, ribuan pekerja film pun banyak yang terdampak secara ekonomi.

“Oleh karena itu, Ideosource Entertainment melalui Cinepoint melakukan sinergi dengan GoPlay untuk membantu pekerja film,” kata Andi.

Karena Cinepoint kini sudah masuk dalam portofolio Ideosource Entertainment, bersama GoPlay, kini kedua perusahaan saling bersinergi. Di dalam aplikasi Cinepoint akan tersedia voucher GoPlay yang dapat dibeli. Pengguna akan mendapatkan reward cashback setiap pembelian paket berlangganan.

Application Information Will Show Up Here

 

GoPlay On Demand Video Platform Bags Independent Investment

GoPlay, the on-demand video platform in Gojek’s ecosystem today (8/6) announced the closure of its first funding round with an undisclosed value. This is independent funding, it means the investment is directed specifically to the core company instead of the parent company.

This is the first external funding announced by the Gojek group’s business unit. The concept is practically the definition of a spin-off, but GoPlay’s CEO Edy Sulistyo told DailySocial that GoPlay will remain part of the whole Gojek ecosystem.

Edy breaks down the news that every Gojek business unit with a different model must have a different business license because it has to adjust to the  Indonesian rule.

“Independent PT [GoPlay] has existed since the day it’s founded because it requires different permits. […] [Nevertheless] we are always part of the Gojek ecosystem,” he said, Monday (6/8).

The funding round was led by ZWC Partners and Golden Gate Ventures. Other investors involved were Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, and Redbage Pacific.

Edy said that the capital fund obtained is to be focused on developing GoPlay technology to reach more users in Indonesia. Content creators are also expected to use GoPlay to distribute their work to wide markets.

He further said Indonesian content creators needed more platforms to be able to show their talent and work. While at the same time, more and more Indonesian mobile users demand fast and easy access to local content.

The great potential can’t be performed by the cinema industry alone and he is trying hard to close the gap between the needs and availability of quality content through technology.

“We are proud that investors can acknowledge GoPlay’s mission. We are working hard to develop technology and improve GoPlay features over the past year. Therefore, now is the time to embrace partners with deep expertise in the industry to spur our growth,” he said in an official statement.

Some investors in this round also made their statements on this occasion. ZWC Partner’s Founding & Managing Partner, Patrick Cheung said, “We are very happy that Gojek and GoPlay acknowledge the added value ZWC Partners can provide in developing GoPlay, such as our resources, networks, also knowledge and experience in the Chinese market.”

Ideosource Entertainment CEO (subsidiary of NFCX) Andi Boediman added, “Looking at today’s growth and demand for streaming content, we believe that the Indonesian content market has the potential to reach $1 billion in the next three years.”

For the record, Ideosource Entertainment and GoPlay, through GoStudio, have collaborated several times for creating content for the big screen.

Since it was first released in September 2019, GoPlay is claimed to have been reached by hundreds of thousands of mobile users inside and outside the Gojek ecosystem. This platform has given consumers exclusive access to hundreds of locally produced films and serials.

Currently, GoPlay has developed its technology with the Cast feature from application to television using Chromecast devices for Android and AirPlay for Apple.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Video on Demand GoPlay Dapatkan Investasi secara Independen (UPDATED)

GoPlay, platform video on-demand dari Gojek hari ini (8/6) mengumumkan penutupan putaran pendanaan perdananya dengan nilai dirahasiakan. Pendanaan ini bersifat independen, artinya investasi dialirkan secara khusus ke perusahaan, tidak melalui induk perusahaan.

Pendanaan dari pihak eksternal ini adalah yang perdana diumumkan unit bisnis grup Gojek. Konsepnya masuk ke definisi spin off, tetapi CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial memastikan bahwa GoPlay akan tetap menjadi bagian dari ekosistem Gojek secara keseluruhan.

Edy menjelaskan setiap unit bisnis Gojek dengan model yang berbeda pasti memiliki izin usaha yang berbeda karena harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di Indonesia.

“PT sendiri [GoPlay] sudah ada sejak awal berdiri karena punya izin yang berbeda. [..] [Meskipun demikian] kami selalu ada di dalam ekosistem Gojek,” ujarnya, Senin (8/6).

Putaran pendanaan dipimpin oleh ZWC Partners dan Golden Gate Ventures. Investor lainnya yang turut terlibat adalah Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, dan Redbage Pacific.

Edy menuturkan bahwa dana modal yang didapatkan akan difokuskan untuk mengembangkan teknologi GoPlay agar semakin banyak bisa dijangkau lebih banyak pengguna di Indonesia. Kreator konten pun diharapkan bisa memanfaatkan GoPlay untuk mendistribusikan hasil karya mereka kepada lebih banyak orang.

Lebih lanjut dia mengatakan, para kreator konten Indonesia membutuhkan lebih banyak platform untuk dapat menunjukkan bakat dan karya mereka. Sementara di saat yang sama, semakin banyak pengguna ponsel Indonesia yang menginginkan akses ke lebih banyak konten lokal secara cepat dan mudah.

Potensi besar ini belum bisa dijawab oleh industri bioskop dan dia berusaha keras untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan terhadap konten berkualitas melalui teknologi.

“Kami bangga bahwa investor dapat melihat misi yang hendak GoPlay capai. Kami bekerja keras untuk membangun teknologi dan menyempurnakan fitur-fitur GoPlay selama setahun terakhir ini. Sehingga, sekarang saatnya untuk merangkul para partner yang memiliki keahlian mendalam di industri untuk memacu pertumbuhan kami,” katanya terpisah dalam keterangan resmi.

Sejumlah investor yang masuk dalam putaran ini juga menyampaikan pernyataannya dalam kesempatan ini. Founding & Managing Partner ZWC Partners Patrick Cheung mengatakan, “Kami sangat senang bahwa Gojek dan GoPlay memperhitungkan nilai tambah yang dapat ZWC Partners berikan dalam pengembangan GoPlay, yaitu sumber daya, jaringan, serta pengetahuan dan pengalaman kami di pasar Tiongkok.”

CEO Ideosource Entertainment (anak usaha NFCX) Andi Boediman menambahkan, “Melihat pertumbuhan dan permintaan akan konten streaming dewasa ini, kami percaya bahwa pasar konten Indonesia berpotensi untuk mencapai $1 miliar dalam tiga tahun ke depan.”

Sebagai catatan, Ideosource Enterntainment dan GoPlay, melalui GoStudio, sudah pernah beberapa kali berkolaborasi untuk pembuatan konten untuk layar lebar.

Sejak pertama kali dirilis pada September 2019, diklaim GoPlay telah dijangkau oleh ratusan ribu pengguna ponsel di dalam maupun di luar ekosistem Gojek. Platform ini telah memberikan akses eksklusif bagi konsumen ke ratusan film dan serial yang diproduksi secara lokal.

Saat ini GoPlay telah mengembangkan teknologinya dengan fitur Cast dari aplikasi ke televisi dengan menggunakan perangkat Chromecast untuk Android dan AirPlay untuk Apple.

Update: kami menulis ulang tentang konsep spin off antara GoPlay dan Gojek

Application Information Will Show Up Here

Loket Luncurkan “Loket Live”, Mudahkan Pengelolaan dan Monetisasi Acara Online

Pandemi tidak menghentikan startup teknologi pengembang layanan manajemen acara Loket untuk berinovasi. Fitur baru bertajuk “Loket Live” hari ini (19/5) diresmikan, memungkinkan para penyelenggara mengelola acara online mereka.

Di dalamnya sudah mencakup beberapa layanan, mengintegrasikan sistem manajemen tiket dan streaming video dengan dukungan teknologi GoPlay. Diharapkan dengan platform ini dapat membuat acara online yang diselenggarakan dapat dihelat secara profesional.

Loket Live juga sekaligus melengkapi layanan Loket bagi para event creator, mulai dari pembuatan konsep dan persiapan acara, pembuatan halaman event virtual, pendistribusian tiket, penyelenggaraan halaman streaming video, hingga analisis laporan setelah acara selesai.

Tampilan laman streaming di platform Loket Live / Loket
Tampilan laman streaming di platform Loket Live / Loket

Head of Loket Tubagus Utama mengungkapkan bahwa situasi pandemi secara langsung memberikan imbas yang cukup besar bagi industri event dan hiburan, termasuk juga para pekerja yang terlibat di dalam ekosistem ini.

“Secara konsep, kami membawa eksklusivitas ke event virtual dengan menerapkan sistem penjualan sebagaimana dalam event offline, dengan satu tautan untuk satu transaksi tiket; yang hanya bisa digunakan oleh satu perangkat konsumen,” ujarnya.

Selain mendistribusikan tiket acara online secara lebih luas, konsep tiket berbayar ini menurut Bagus menjadi kunci penting bagi keberlangsungan industri.

VP Commercial Loket Ario Adimas menambahkan, ke depannya layanan Loket Live juga bisa digunakan oleh para penyelenggara acara dengan berbagai skala event.

“Seperti halnya layanan self-service yang kami terapkan dalam pembuatan event di Loket, kami akan membuka layanan ini seluas-luasnya kepada seluruh event creator. Kami juga optimis bahwa event online akan menjadi ‘new normal’ yang terus diminati bahkan setelah pandemi ini berakhir. Hal ini terbukti dari lonjakan jumlah pembuatan event online di Loket hingga 2000 event dalam kurun waktu sebulan terakhir,” jelas Dimas.

Application Information Will Show Up Here

Lika Liku Platform OTT Video Lokal

Konsumsi tayangan dari saluran TV masih mendominasi buat sebagian besar orang Indonesia. Mengacu data Nielsen, pada tahun lalu total belanja iklan mencapai Rp181 triliun berdasarkan gross rate card.

Belanja iklan TV menempati porsi terbesar 85% senilai Rp143 triliun, naik 14% dari tahun lalu. Posisi berikutnya ditempati belanja iklan media cetak Rp22 triliun, iklan digital Rp13,3 triliun, dan belanja iklan radio Rp1,7 triliun.

Secara kategori, layanan online menjadi penyumbang belanja iklan terbesar dengan total belanja Rp10,3 triliun, naik 2%. Disusul oleh kategori perawatan rambut Rp9,2 triliun, pemerintah dan organisasi politik Rp8,8 triliun, perawatan wajah Rp8,1 triliun, dan rokok kretek Rp7,2 triliun.

Angka ini memberikan gambaran jelas bahwa pola mengonsumsi tayangan TV masih memiliki pengaruh signifikan buat bisnis perusahaan, karena massa masyarakat ekonomi menengah ke bawah lebih banyak ketimbang menengah ke atas.

Buat negara dengan penetrasi TV yang masih tinggi, seperti Indonesia dan kebanyakan negara di Asia Tenggara lainnya, strategi beriklan ke TV adalah cara termudah, sekaligus termahal untuk mengakusisi pengguna baru karena membutuhkan brand awareness.

Data Nielsen menjadi gambaran awal bagaimana perjalanan platform OTT streaming video berupaya mengubah pola konsumsi konten dari TV yang selalu gratis untuk berbayar lewat smartphone dengan koneksi internet.

Tidak bisa disangkal, Netflix sebagai brand yang kuat, diasosiasikan sebagai pemain OTT tersohor yang punya pengaruh kuat. Hal ini menginspirasi  munculnya berbagai pemain OTT lokal dengan cita rasa yang kurang lebih mirip dengan yang Netflix sajikan.

Mereka yang muncul dan gugur

Bisnis OTT video dikenal sebagai bisnis internet yang sulit dan punya rentetan sejarah kegagalan yang begitu panjang. Hal ini terlihat dari pemain yang hadir di Indonesia bisa dihitung jari untuk mereka yang sudah berusia lebih dari lima tahun.

DailySocial mencatat berbagai macam pemain OTT video lokal yang telah beroperasi, yaitu Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, dan FirstMedia X. Stasiun TV Free-To-Air (FTA) juga ikut merilis platform-nya sendiri, seperti Vision+ dan RCTI+ (MNC) dan Zulu (Net TV).

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua ketimbang koleganya karena mereka telah beroperasi sejak 2014. Mereka masih beroperasi karena punya ekosistem yang berkaitan erat dalam rangka memperkaya konten.

Vidio, misalnya, ada di bawah naungan Grup Emtek yang punya jaringan tayangan TV luas sehingga lebih mudah didigitalkan ke dalam platform. Vidio ditempatkan sebagai bentuk diversifikasi bisnis grup, sehingga tidak menjadi isu jika belum menjadi bisnis yang menguntungkan dalam waktu dekat.

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Tersedia pula tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya keluaran terkini hingga film-film nostalgia.

Vidio

Di luar itu, Genflix masuk ke dalam jaringan Sinar Mas, UseeTV adalah layanan Telkom Group, dan FirstMedia X didukung Lippo Group (kini sedang proses akuisisi oleh MNC).

Bagaimana dengan yang lainnya? Baik GoPlay, KlikFilm, MaxStream, Mola TV adalah pemain yang relatif baru. Kebanyakan dari mereka hadir sejak dua tahun belakangan. Kecuali platform milik MNC dan Net TV, umumnya para pemain ini lebih berani untuk jor-joran dengan rajin produksi konten original dan mengadopsi konsep model bisnis yang sedikit berbeda.

GoPlay menjadi contoh terdekat platform OTT yang rajin memproduksi konten lokal. Mereka mengklaim memosisikan dirinya tidak hanya sebagai platform, tetapi wadah bagi para sineas lokal untuk unjuk gigi dengan produksi film berkualitas. Sejauh ini di dalam katalognya tidak ditemukan sama sekali konten negara-negara Barat, alias hanya ada konten lokal dan Asia saja.

“Sebagai platform VOD karya anak bangsa, kami memiliki ambisi untuk mengumpulkan katalog terbesar bagi film dan serial Indonesia. Saat ini kami memiliki ratusan film dan serial di GoPlay, baik original maupun eksklusif. Kami juga berkolaborasi dengan rumah produksi untuk hak eksklusif berbagai judul film Indonesia yang populer di layar lebar, seperti A Man Called Ahok dan Ratu Ilmu Hitam,” terang CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial.

MolaTV, di sisi lain, bisa menjadi contoh bagaimana mereka memosisikan diri sebagai layanan multiplatform televisi kabel, IPTV, dan video on-demand untuk empat kanal premium khusus olahraga. Mereka juga memuat konten film dan acara khusus anak dari berbagai genre dari Indonesia dan mancanegara.

Sementara KlikFilm menempatkan diri sebagai konten terkurasi dari berbagai negara yang secara eksklusif tidak masuk ke bioskop Indonesia. Platform tersebut sekaligus menjadi corong Falcon Pictures untuk mendistribusikan konten buatan mereka sendiri untuk tayang eksklusif. Terhitung ada ratusan film sudah diproduksi sejak mereka beroperasi di 2010.

“Selama ini, kami belum mempresentasikan KlikFilm kepada media. Sekarang kami sudah menemukan formula yang memikat untuk konsumen, dengan menayangkan film-film bagus dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia, KlikFilm akan menayangkannya,” ujar CEO Falcon Pictures HB Naveen dikutip dari Antara.

Seluruh konten hanya bisa dinikmati dengan berlangganan. Harga yang dibanderol Rp7 ribu untuk jangka waktu satu minggu berlangganan.

Konsep berbeda ditampilkan Maxstream. Platform ini menggabungkan konsep video-on-demand dengan channel TV lokal dan internasional dalam satu platform. Mereka juga membuat konten original untuk menambah daya tarik. Hanya saja layanan ini terbatas untuk pelanggan Telkomsel.

Dibalik optimisme yang tinggi, terdapat nafas yang tersengal-sengal hingga terpaksa harus gulung tikar. Dalam catatan DailySocial, ada beberapa platform lokal dan regional yang terpaksa tutup. Setelah Tribe dan Oona TV yang melambaikan bendera putih, teranyar Hooq bakal resmi tutup pada akhir April 2020.

Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro menjelaskan, jelang tanggal penutupan tiba, layanan Hooq masih bisa dinikmati. Ia belum memastikan bagaimana masa depan katalog Hooq. Layanan Hooq di dalam platform Grab juga telah dihapus per 14 April 2020.

Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu
Acara Hooq di Indonesia beberapa waktu lalu

Oona masuk ke Indonesia pada 2018 dengan badan hukum PT Oona Media Indonesia (OMI), sebagai anak usaha NFC Indonesia. Metranet, anak usaha Telkom Indonesia, digaet sebagai mitra eksklusif OMI. Di Hong Kong, Oona bermitra dengan perusahaan patungan Omni Channels Asia (TV4 Entertainment dan Multi Channels Asia) untuk menghadirkan beragam channel di Indonesia.

Aplikasi ini punya ambisi besar bermain di Indonesia, meski mereka berkantor pusat di Hong Kong. Oona mengadopsi model advertising video-on-demand (AVOD) hybrid karena dilengkapi program loyalitas yang dapat ditukar dengan berbagai penawaran. Semakin banyak iklan yang ditonton, semakin banyak poin terkumpul. Oona menawarkan tayangan TV lokal dan internasional yang dapat dinikmati secara cuma-cuma.

Pada kuartal pertama 2019, Oona ganti manajemen menjadi Oona Global Indonesia. Tepatnya 1 November 2019, seluruh operasional Oona di Indonesia ditangani langsung oleh tim di Hong Kong. Selang beberapa bulan kemudian, Oona menutup bisnisnya di Indonesia. Seluruh tim pendukung kegiatan operasional aplikasi dan TV aplikasi berbasis Android box yang ada di Indonesia telah dihentikan.

Selain Oona, ada OTT asal Malaysia yakni Tribe, layanan milik TV kabel Astro. Aplikasi ini hadir di Indonesia sejak Maret 2016 dan selang dua tahun kemudian Tribe menutup bisnisnya.

Layanan on demand Tribe dan rencananya sepanjang tahun 2017 / Tribe

Kedua platform tidak merinci alasan mundurnya dari Indonesia. Besar kemungkinan hal ini didasari kesulitan mencari model bisnis yang tepat dan kurang modal untuk berinovasi. Dua isu yang sering terjadi di perusahaan video on-demand, termasuk dialami sendiri oleh Hooq.

Platform lainnya, Vision+, sebelumnya bernama Moviebay dan sempat berganti nama menjadi MNC Now. Platform ini tidak lagi eksklusif untuk pelanggan TV kabel grup MNC saja.

Konten original sebagai jantung pemain OTT

Strategi yang dilakukan Netflix, melalui produksi konten original, juga dilakukan platform OTT lokal agar menarik perhatian para pengguna. Biaya yang harus disiapkan juga tak tanggung-tanggung besarnya.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan karena dipandang sebagai kekuatan brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas.

“Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah ‘anchor content’ seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi teresterial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya kepada DailySocial.

Bertambahnya konten original dari berbagai platform OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun. Beberapa konten original Vidio antara lain Get Married, Omen, I Love You Baby, Heart, dan Girls in The City.

GM External Corporate Communications Telkomsel Aldin Hasyim menambahkan, peranan konten original memberikan identitas dan positioning sebuah brand OTT yang sesuai dengan segmentasi pelanggannya. Mereka juga turut menyumbang sebagian besar pengguna aktif di MaxStream.

Secara berkala, MaxStream terus memperkaya konten originalnya. Namun dampak dari pandemi, perusahaan melakukan beberapa penyesuaian, bagian yang paling terdampak adalah anggaran produksi konten yang harus ditunda untuk sementara waktu.

“Selanjutnya penyesuaian dalam menggunakan anggaran belanja kami adalah memberikan promo dan program kepada pelanggan sebagai bagian dalam program Telkomsel untuk terus menghibur di rumah,” terangnya.

Konten original MaxStream yang bisa dinikmati d iantaranya Cerita Kamu, Isyarat, Journal of Terror: Afterlife, Nawangsih, Negeri 5 Menara, Cerita Dokter Cinta, dan Brata.

Tidak hanya sebagai bagian dari identitas, menurut Edy, kekuatan konten original bertumpu pada pengembangan cerita dan tingkat kualitas produksi yang berada di atas rata-rata serial yang ada di Indonesia sebelumnya. Para sineas lokal khawatir terhadap jumlah penonton, kompetisi dengan produksi mancanegara, persepsi terhadap kualitas film nasional, pilihan isu yang dapat diangkat, dan jumlah layar yang cukup menonjol, adalah beberapa masukan yang ia terima.

“Kami percaya pentingnya kolaborasi yang erat antara GoPlay dengan berbagai rumah produksi dan sineas berbakat akan menghasilkan karya-karya unik lokal berkualitas dan berdaya saing. Dengan sistem revenue-sharing yang sangat kompetitif dan berpihak pada sineas, kami dan partner rumah produksi berupaya memastikan agar tidak hanya konten berkualitas yang dapat dinikmati masyarakat, tetapi menumbuhkan industri film bersama dalam jangka panjang.”

GoPlay memproduksi beberapa serial original bersama sineas lokal. Beberapa judulnya adalah Saiyo Sakato, Tunnel Indonesia, Gossip Girl Indonesia, Filosofi Kopi The Series, Kata Bocah The Show, dan Bukan Keluarga Biasa. Tidak hanya serial, di bawah studio produksi GoStudio, sudah beberapa kali ikut andil dalam produksi film lokal terkemuka. Aruna & Lidahnya, Kulari ke Pantai, 27 Steps of May, Keluarga Cemara, Buffalo Boys, Kucumbu Tubuh Indahku adalah contoh keterlibatan mereka.

Berkah pandemi

Rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of COVID-19 Pandemic” menyoroti berbagai kenaikan aktivitas digital dan kebiasaan baru yang terjadi sepanjang pandemi. Salah satunya adalah konsumsi video streaming.

Laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden. AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.

Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).

Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.

Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.

Secara agregat, seluruh platform OTT yang beroperasi di Indonesia, Filipina, dan Singapura mengalami kenaikan konsumsi hingga 60% per minggunya. Jumlah konsumsi mingguan video streaming mencapai 58 miliar menit melalui perangkat seluler pada 11 April, naik drastis dari 36,4 miliar menit pada 20 Januari 2020.

Berkah ini juga dirasakan oleh platform OTT regional. Konsumsi iQiyi naik 500% di empat negara, yakni Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Viu naik 274% dan iflix naik 118%.  Sementara Neflix yang naik 115% di keempat negara ini.

Direktur Eksekutif MPA Vivek Couto mengatakan, momentum tersebut harus bisa dimanfaatkan platform untuk mempertahankan pelanggan yang baru diakuisisi ini agar tetap loyal. Empat negara yang dianalisis MPA diestimasi memiliki tujuh juta pelanggan pada akhir Maret 2020, menyumbang $350 juta dalam pengeluaran konsumen tahunan.

“Pemain lokal utama harus didorong dengan meningkatkan konsumsi dan dalam kasus-kasus tertentu, untuk monetisasi di negara yang kami survei, mereka ingin berinvestasi untuk meningkatkan penawarannya dengan mengelola transisi siaran ke video digital. Sekarang adalah tanggung jawab dari penawaran agregator yang lebih kuat dari TV berbayar tradisional dan operator seluler dan operator virtual,” kata Couto.

Rezki tak segan berbagi data mengenai pencapaian Vidio. Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah.

“Pengumpulan data masih terus berjalan, akan tetapi dapat dipastikan Vidio mengalami peningkatan jumlah pengguna yang cukup signifikan di bulan April ini, dilihat dari pencapaian Vidio yang sempat menempati nomor 1 di Top Chart App Store dan Google Play. Kami semakin optimis untuk terus menyediakan tayangan berkualitas yang dibutuhkan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%. Tayangan yang paling banyak dikonsumsi pengguna Vidio adalah pertandingan olahraga (khususnya sepak bola) dan tayangan serial dan film lokal.

Di sisi GoPlay, Edy menyebutkan terjadi kenaikan engagement hingga 10 kali lipat. Tidak disebutkan jumlah pengguna aktifnya. Dari segi demografi, penonton GoPlay mayoritas berusia 18-35 tahun. Genre tayangan yang diminati adalah drama, komedi, horor, dan thriller.

“Kami rasa hal ini karena masyarakat Indonesia terus mencari cerita-cerita lokal yang unik, segar, dan beda dari biasanya, juga berkualitas. Itulah kami menghadirkan berbagai variasi konten yang ada di katalog.”

Bagi MaxStream, pada kuartal pertama tahun ini, kunjungan ke platform-nya juga mengalami kenaikan sekitar 16% dari periode sebelumnya. “Namun kami sangat berharap musibah Covid-19 di negara kita segera berakhir,” harap Aldin.

Jalan panjang berikutnya

Pukulan berat yang harus diterima Hooq memberi gambaran terang bahwa bisnis OTT adalah bisnis yang sulit. Edy melihat kompetisi di platform OTT bukan tergolong winner takes all, tapi bagaimana bisa memberikan kontribusi pada kemajuan industri perfilman Indonesia dengan unique value proposition yang ditawarkan.

“Di sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap konten-konten VOD sudah cukup baik, didukung oleh penetrasi internet yang semakin meningkat dan gawai yang semakin canggih. Sehingga, pertimbangan untuk memilih berlangganan VOD tidak hanya berdasarkan tarif berlangganan, namun proporsi kualitas konten yang dihadirkan dan diminati masyarakat.”

Dia juga menekankan strategi GoPlay akan selaras dengan Gojek Group, khususnya dalam memastikan kepuasan pengguna berdasarkan kualitas konten yang ditawarkan selaras dengan pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.

“GoPlay juga akan terus mengembangkan berbagai fitur dan inovasi baru, serta mendukung kreativitas para sineas dan insan perfilman Indonesia melalui platform yang dapat diakases oleh ratusan juta pengguna Gojek di Indonesia.”

Aldin turut menambahkan, MaxStream sebagian salah satu layanan digital Telkomsel masih memiliki fondasi yang kuat sehingga memungkinkan platform ini tetap kreatif. Mereka juga menempatkan pemain OTT lain bukan sebagai kompetitor, melainkan partner.

“Itulah mengapa banyak konten partner kami yang juga tersedia di layanan MaxStream,” tutupnya.

Berdarah-Darah Rebut Hati Penonton “Streaming” Video

Nafas platform OTT video regional mulai tersengal-sengal memasuki operasional tahun kelima. Asia Tenggara bisa dikatakan sulit untuk menjadi pemain yang dominan di pasar karena karakteristik konsumen yang disasar adalah suka membandingkan harga dan senang dimanja dengan berbagai pilihan. Hooq menjadi platform pertama yang tumbang dengan mengajukan likuidasi akhir Maret lalu.

“OTT video multi-pasar adalah bisnis padat modal dan membutuhkan komitmen investor jangka panjang karena jalur menuju profitabilitas penuh dengan tantangan dan membutuhkan sumber daya yang besar,” ujar Managing Partner Media Partners Asia Vivek Couto dikutip dari Variety.

Dia melanjutkan, “Hooq punya keuntungan sebagai first mover ketika diluncurkan lima tahun lalu. Tetapi mungkin apa yang awalnya dianggap penting secara strategis bagi sebuah grup [Singtel] yang fokus pada pemindahan hulu ke konten karena membawa manfaat dan kedekatan dengan bisnis inti mereka [telekomunikasi], menjadi non-inti bahkan tidak penting jika diperlukan investasi lebih banyak modal untuk skala berhasil di Asia Tenggara.”

Laporan keuangan Hooq pada Maret 2019 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pendapatan naik jadi $21,9 juta dari periode yang sama di tahun sebelumnya $10 juta, namun dibarengi kenaikan rugi sebelum pajak jadi $62,5 juta dari $56,6 juta.

Hooq secara implisit “menyalahkan” lanskap market dan perusahaan lain atas kejadian ini. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut selama lima tahun terakhir terjadi “perubahan struktural yang signifikan dalam pasar video OTT dan lanskap kompetitifnya”.

“Biaya konten tetap tinggi dan kemauan konsumen di negara berkembang untuk berlangganan meningkat naik bertahap di tengah serangkaian pilihan yang meningkat. Karena perubahan ini, model bisnis yang layak untuk platform independen OTT menjadi semakin ditantang.”

Di belakang Hooq, nafas Iflix ikut tersengal-sengal sejak pertama kali beroperasi di 2014. Mereka merumahkan lebih dari 50 karyawan. CEO Iflix Marc Barnett menerangkan ini adalah respons perusahaan terhadap ketidakpastian dari dampak pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

“Industri tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memastikan perusahaan bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini,” tutur Barnett dikutip dari DealStreetAsia.

Executive Director of iflix Cam Walker / iflix
Executive Director of iflix Cam Walker / iflix

Dia mengungkapkan, perusahaan tetap fokus mengarahkan bisnis pada titik impas pada 2021 dan langkah-langkah tersebut adalah bagian dari strategi perusahaan agar tetap dalam jalur tersebut. “Kami secara alami melakukan semua yang kami bisa untuk mendukung staf yang terkena dampak baik secara profesional maupun pribadi.”

PHK adalah pilihan Iflix untuk mengurangi beban agar rencana melantai di bursa efek Australia berjalan mulus. Australian Securities and Investments Commission menetapkan, Iflix mungkin dipaksa untuk menebus lebih dari $47,5 juta convertible loan jika tidak terdaftar di bursa pada 31 Juli 2020.

Rencana IPO Iflix sebenarnya akan berlangsung pada akhir tahun lalu, namun diundur karena perusahaan harus melakukan sejumlah efisiensi dengan merumahkan sebagian besar level senior. Sejak 2016, tercatat mereka sudah melakukan rangkaian PHK agar tetap bertahap di tengah tekanan munculnya pemain OTT global.

Upaya Barnett untuk mencapai titik impas butuh perbaikan signifikan di internal perusahaan. Kerugian bersih perusahaan melebar pada 2018 jadi $158,1 juta dari defisit $120,4 juta pada tahun sebelumnya. Alhasil, arus kas bersihnya dipersempit dengan mengurangi kas operasional pada 2018 dari $67,4 juta di tahun sebelumnya menjadi $25,5 juta.

Apa yang salah?

Analis video OTT Omdia Tony Gunnarsson memaparkan Hooq gagal karena kurang modal. Bahkan ada laporan mereka tidak dapat membayar sejumlah produksi original yang sudah direncanakan.

“Secara umum, video OTT adalah bisnis yang sangat sulit, dan sejarah internet adalah bisnis dengan rentetan layanan video yang gagal. Agar berhasil, layanan video OTT harus memiliki akses ke sumber modal yang stabil untuk membayar konten baru yang menarik, rangkaian teknologi yang layak, dan layanan pelanggan yang andal,” katanya dikutip dari Campaign Asia.

Perusahaan juga harus beriklan rutin untuk mengakuisisi pengguna baru. Meski Hooq punya akses dana, dengan dukungan Singtel, Warner, dan Sony, tidak ada jaminan bakal sukses. Pada dasarnya, tanpa kontrak jangka panjang dan tanpa terikat dengan produk dan layanan lain (seperti TV kabel, kontrak seluler atau broadband), layanan video OTT tetap ada di tangan loyalitas pelanggan. Sangat sulit dijangkau.

Lima tahun sejak diluncurkan, Hooq baru menembus 1 juta pelanggan pada 2019 di lima negara. Pencapaian tersebut bukan hasil yang baik untuk layanan streaming dengan dukungan investor besar.

Pendapat lainnya diungkapkan VP Media Partners Asia Arravind Venugopal. Dia menerangkan, saat Hooq diluncurkan, semangatnya cukup kredibel dan dapat diukur. Mereka ingin memberikan konten melalui perangkat/jaringan seluler dengan harga terjangkau.

“Di atas kertas, silsilahnya benar. Hooq, di samping Iflix dan Viu, mengejar piramida konsumen bagian tengah dan bawah yang belum dilayani Netflix. Pada saat itu, visi dan kepercayaan yang dianut adalah konten Hollywood akan berhasil. Di tengah pembajakan film dan serial barat yang merajalela di kawasan ini, menawarkan ide membuat konten tersebut jadi terjangkau oleh masyarakat,” terang Arravind.

Akan tetapi, tantangan justru terletak pada pelaksanaan ide tersebut yang banyak hambatan, mulai dari struktur pasar, perilaku konsumen, pilihan konten/keadaan ekonomi, dan ketersediaan teknologi. Masalahnya, di negara yang disambangi Hooq (tidak termasuk India), membayar konten bukan bagian dari kebiasaan konsumen.

Konsumsi TV FTA (free-to-air) jauh lebih dominan dan berfungsi sebagai sumber utama konten lokal untuk masyarakat. Di banyak kasus, channel FTA juga membawa konten barat yang di-dubbing atau terjemahkan dalam bahasa lokal. Selain itu, ada tayangan olahraga lokal dan internasional dengan basis penonton yang masif.

“Meyakinkan orang untuk berlangganan bulanan [meskipun jumlahnya lebih kecil dari TV kabel berbayar] dan kemudian mengonsumsi konten on-demand [vs TV FTA], melalui jaringan data seluler mereka [dan di negara tersebut biaya data relatif tinggi], adalah salah satu batu sandungan awal yang besar.”

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Tantangan berikutnya adalah pilihan konten. Film dan serial Barat sebagian besar sudah hadir di TV kabel atau, jika ada dana lebih, berlangganan melalui Netflix. Hal ini menekan keengganan pelanggan untuk berlangganan layanan lain, seperti Hooq dan Iflix. Padahal biaya konten itu biayanya signifikan dibandingkan ambil konten lokal.

Sejauh ini masyarakat di Asia Tenggara lebih suka konten bahasa lokal atau konten Asia, sebagaimana yang berhasil dibuktikan Viu dan eksperimen Iflix menayangkan sajian konten dari Korea Selatan.

Di sisi lain, konten lokal sebagian besar diproduksi oleh dan untuk TV kabel dan FTA. Berarti Hooq dan Iflix perlu membayar tarif premium untuk mendapatkan akses ke penulis dan perusahaan PH terbaik. Hal ini yang menaikkan anggaran konten mereka.

Bila memilih sebagai advertising video on demand (AVOD), kompetisinya sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang mengakses YouTube, Facebook, dan platfrom sejenis. Berkompetisi di bidang iklan, berarti tidak hanya harus membangun produk atau layanan yang benar-benar baru, tapi juga tim yang relevan.

“Hooq telah memulai jalan itu. Menempatkan tim dan beberapa produk untuk mengatasi hal ini. Tapi masih ada tantangan di atasnya, membawa penonton yang cukup untuk menikmati konten gratis. Pencapaian tersebut dapat dijual ke pihak pengiklan.”

Gunnarsson menambahkan, Hooq sadar agar semangat awalnya tetap hidup, perusahaan beberapa kali mengubah model bisnisnya sejak beberapa tahun terakhir. Contohnya menambahkan konten gratis, model freemium (ada iklan), menurunkan harga, dan membuat paket berlangganan harian. Di India, Hooq dipasarkan sebagai agregator konten berbahasa Inggris.

“Meskipun kami merekomendasikan layanan video OTT agar fleksibel dan responsif terhadap pasar lokal, saya pikir layanan harus sangat hati-hati untuk mempertahankan brand recognition dan hal-hal semacam ini [sebab] pada akhirnya dapat menjadi bumerang dan menyebabkan banyak konsumen bingung.”

Pemain global bermodal tebal

Pemain regional akan terus ditekan dengan gencaran OTT global yang sudah membawa modal tebal. Kebanyakan dari mereka mengawali India sebagai ekspansi perdana karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dan populasinya ada di nomor dua di bawah Tiongkok.

Tiongkok tidak masuk radar karena negara tersebut sudah menutup rapat-rapat akses pemain luar dengan serangkaian regulasi yang ketat.

Dalam menyediakan konten, Netflix menyiapkan memiliki surat hutang jangka panjang. Misalnya saja, tahun ini mereka memiliki sekitar $14,6 miliar surat hutang jangka panjang dalam pembukuannya. Sebelumnya, perusahaan menerbitkan sekitar $2,2 miliar dalam bentuk obligasi pada musim gugur lalu dan tambahan $19,1 miliar dalam bentuk kewajiban belanja konten.

Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety
Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety

Anggaran belanja terus membengkak nilainya dari tahun ke tahun, selaras dengan gencarnya pemain lain berkantong tebal yang mulai terjun. Pada 2018, anggaran Netflix mencapai $12 miliar, naik dari sebelumnya $9 miliar. Lalu, angkanya menjadi $15,3 miliar di 2019 dan tahun ini menganggarkan $17,3 miliar.

Menurut firma BMO Capital Market, Netflix akan terus berinvestasi konten dan diprediksi tembus $26 miliar pada 2028. Angka yang begitu fantastis untuk mempertahankan tahtanya sebagai pemain video streaming teratas.

Pendapatan perusahaan ikut meningkat. Mereka tahun lalu memperoleh $20,1 miliar, naik 27,62% dari tahun sebelumnya yang mencapai $16 miliar. Netflix mengantongi laba bersih sebesar $1,85 miliar, naik 54,13% dari tahun sebelumnya $1,21 miliar.

Laba tersebut didapat sepenuhnya dari biaya berlanganan yang dibayarkan konsumen per bulannya. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar Netflix. Diperkirakan 54% penduduk negara tersebut adalah pelanggannya.

Bila ditotal, Netflix memiliki lebih dari 167 juta pelanggan. Pada kuartal IV 2019, ada tambahan 8,8 juta pelanggan baru. Pencapaian tersebut dikatakan menakjubkan, lantaran pada saat yang sama Apple dan Walt Disney merilis layanan video streaming.

Dijabarkan lebih jauh, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Australia, dan India, jumlah pelanggan Netflix mencapai 16,2 juta orang. Di antara empat kawasan, kontribusi kawasan ini adalah yang paling rendah.

Media Partners Asia mengestimasi pada 2018, ada lebih dari 8,5 juta pelanggan di 2018 untuk kawasan APAC. Asia Tenggara berkontribusi sekitar 11% dari angka tersebut atau sekitar 935 ribu pelanggan. Angka tersebut diestimasi akan semakin tinggi, apalagi kini bisa berlangganan lewat pulsa (Indonesia).

Harga yang dibanderol untuk paket ponsel adalah Rp49 ribu per bulan, atau lebih murah setengah harga dari paket dasar sebesar Rp109 ribu.

“Kami melihat Indonesia memiliki waktu menonton (screen time) yang dua kali lebih tinggi dibanding rata-rata pengguna global,” ucap juru bicara Netflix Kooswardini Wulandari yang dikutip dari Kompas.

Pemain OTT global dan regional lainnya yang terang-terangan hadir di Indonesia dan bersaing dengan Netflix adalah Amazon Prime Video, HBO Go, dan Apple TV Plus. Selain menggunakan kartu kredit, pembayarannya bisa melalui pulsa dan GoPay (Google Play) dan Dana (untuk platform besutan Apple).

Selain pemain asal Amerika Serikat, perusahaan raksasa internet dari Tiongkok, Baidu, merilis layanan OTT-nya sendiri iQiyi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pembayaran layanan ini bisa menggunakan pulsa.

Kita belum bicara Disney Plus yang maha raksasa akan jaringan kontennya. Indonesia sudah pasti masuk radar Disney, meski saat ini layanan streaming tersebut mengawalinya dengan India lewat layanan video streaming lokal Hotstar pada awal April 2020.

TechCrunch melaporkan kurang dari seminggu Disney Plus Hotstar sudah menjaring delapan juta pelanggan. Hotstar sendiri tergolong layanan streaming tersohor dengan lebih dari 300 juta pelanggan. Disney Plus sendiri, sejak dirilis kurang dari lima bulan lalu, diklaim sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan di seluruh dunia.

Ramai-ramai berburu pasar Asia Tenggara

Pamor Netflix terancam dengan keberadaan para pemain global ini. Sebelum mereka mulai gencar, Netflix menggaet pemerintah Indonesia (lewat Kemendikbud) untuk melatih talenta lokal membuat film yang akan dipasarkan melalui platform globalnya. Disebutkan perusahaan menyiapkan dana $1 juta dalam kerja sama tersebut.

Pemerintah sejatinya masih “abu-abu” dengan kehadiran Netflix, seperti Kemenkominfo yang mengkhawatirkan penyebaran konten negatif. Kemenkeu juga terus mengincar pemain OTT asing, termasuk Netflix, terkait pembayaran pajak.

Konten Indonesia dalam katalog Netflix jumlahnya semakin banyak. Produksi konten original sudah diuji coba melalui film “The Night Comes for Us” dan serial dokumenter “Street Food” yang meliput kisah pembuat makanan legendaris dari Yogyakarta dalam salah satu episodenya.

Selain Indonesia, mereka aktif memproduksi konten bersama sejumlah sineas tersohor, seperti Malaysia (The Ghost Bride), Thailand (The Stranded), Taiwan (Nowhere Man dan Triad Princess), dan Korea Selatan yang kini jumlah konten originalnya sudah tidak bisa hitung dengan jari.

HBO tidak mau kalah. Meski belum semasif Netflix, sejumlah sineas Indonesia pernah diajak memproduksi konten, semisal film horor Dead Mine, serial Halfworlds, Folklore, dan Serangoon Road.

Katalog harian Viu / Viu
Katalog harian Viu / Viu

Sebagai pemain regional, konten Asia adalah pilihan Viu, yang berdiri sejak tahun 2016, untuk menarik pengguna dan sejauh ini premis mereka tepat.

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta menerangkan, Viu kini dikenal sebagai penyedia konten hiburan Asia. Untuk itu, perusahaan terus berupaya perbanyak produksi konten lokal untuk memuaskan pelanggan di Indonesia.

Lanjutnya, meski konten hiburan dari Korea Selatan digemari, tapi selera tersebut berbeda jika membandingkan konsumen di Jakarta dan Medan misalnya. Yang terakhir lebih menyukai konten lokal.

Pada awal Maret 2020, perusahaan mulai memperkenalkan konten dari Thailand sebagai gelombang konten regional berikutnya di Asia Tenggara. Ketersediaan ini berkat kemitraannya dengan GMM dan One31.

“Kami biasanya merilis sekitar 25-40 episode drama dengan berbagai judul setiap harinya. Ketersediaan konten baru adalah faktor utama mengapa konsumen terus mengakses Viu,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

Perusahaan juga menggaet sineas lokal Indonesia untuk memproduksi konten di Viu. Data terakhir menunjukkan pengguna aktif bulanan Viu hampir 41 juta di 16 negara dan telah ditonton selama lebih dari lima miliar menit pada tahun lalu.

Sumber : Media Partners Asia
Sumber : Media Partners Asia

Pasar video online Asia Pasifik pada 2024 diperkirakan menembus angka $50 miliar menurut Media Partners Asia. Tahun lalu diestimasi ada kenaikan 24% dari tahun sebelumnya. Mereka juga menyebut, model SVOD akan mengalami penyesuaian, sedangkan model AVOD berkontribusi pada mayoritas pendapatan.

Tujuh klaster terbesar APAC secara berurutan akan menguasai pasar video online pada 2024. Mereka adalah Tiongkok, Jepang, Australia & Selandia Baru, India, Korea, Taiwan, dan Indonesia.

Pemain lokal

Dari semua negara di regional Asia Tenggara, kue bisnis terbesar ada di Indonesia. Statista memprediksi pendapatan yang diberikan Indonesia untuk OTT sebesar $161 juta dengan 21,9 juta jumlah pengguna pada tahun ini. Kenaikan nilai ini mencapai dua digit dibandingkan tahun 2019.

Ramalan itu tampaknya benar terjadi karena dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat konsumsi layanan OTT tinggi. Telkomsel mencatat terjadi kenaikan konsumsi data untuk layanan penunjang kerja, komunikasi pesan instan, online gamesdan streaming video. Operator telekomunikasi lain juga melaporkan perolehan yang sama.

Di dalam negeri, ada sekian banyak pemain bermunculan, seperti Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, FirstMediaX. Stasiun TV FTA juga ikut merilis seperti Vision+ dan RCTI+, keduanya milik Grup MNC.

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua daripada koleganya. Mereka beroperasi sejak 2014. Dari keempatnya, Vidio bisa dikatakan punya traksi terkencang. Aplikasi ini sempat menduduki posisi pertama di Top Chart App Store dan Google Play selama pandemi berlangsung.

Kepada DailySocial, VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, perjalanan Vidio bisa sampai ke tahap sekarang karena kekuatan konten lokal yang variatif dan bisa menyasar segala kalangan usia. Namun begitu, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konten original dapat dipandang sebagai kekuatan dari brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas brand. Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah “anchor content” seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi terestrial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya.

Bertambahnya konten original dari berbagai OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun.

Vidio

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Lalu, tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya dari keluaran terkini hingga nostalgia.

Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah. Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%.

Selain perkaya konten, harga tentu menjadi bagian “sensitif” buat pengguna Vidio. Untuk berlanganan harga yang dibanderol mulai dari Rp15 ribu (1 minggu), Rp29 ribu (1 bulan), dan Rp300 ribu (1 tahun).

Dari koleksi katalog dan harga berlangganan, sasaran pengguna Vidio tidak bisa disamakan dengan Netflix. Vidio lebih mengarah pada mass market dengan kelas menengah ke bawah. Perbedaan strategi ini memperlihatkan bahwa masing-masing OTT punya pasar masing-masing.

Ekspansi OTT global yang jor-joran membuat pemain regional dan lokal harus bersiap dengan strategi penghalau. Semakin “lokal” solusi yang konsumen dapatkan, akan semakin mudah mendapat loyalitas. Cara ini yang akhirnya dipakai beragam pemain OTT lokal.

Lagipula, seperti yang dipaparkan Arravind Venugopal, membudayakan untuk membayar suatu acara yang bisa didapat saat nonton TV di rumah yang gratis bukan suatu pekerjaan rumah yang ringan buat orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemerintah di tiap negara juga kompak untuk membuat aturan main yang adil agar mereka tunduk. Memblokir tentu bukan pilihan yang bijak karena di sana ada hak konsumen untuk memilih mana yang ingin mereka nikmati. Semakin dilarang, semakin mudah diterobos karena kecanggihan VPN.

GoPlay and Hooq Optimism with Video on Demand Service in Indonesia

With the rise of Video on Demand (VOD) apps in Indonesia, none of them positioned as the key player. The changing characteristic has forced the VOD service to run without any stable formula.

On this matter, DailySocial through #Selasastartup session trying to dig through the challenges the local and global VOD service players currently facing. The speakers are from GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo and Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur S. Siboro.

Indonesian unique habit

Goplay and Hooq

During its operation in Indonesia for the past 4 years, Hooq noted the unique habits of the Indonesian people. Starting from the use of internet data quota on smartphones that are very concerned to use the wifi to access various needs on the internet. This, according to Hooq, makes it difficult for them to be able to present services that rely solely on applications.

For this reason, Hooq then formed a strategic partnership with telecommunications operators, broadband services, to the super apps platform. The goal is simple, it’s for Hooq that can be accessed anywhere and anytime.

“The difference that we felt in the past (2016) since Hooq launched until now is, the payment options are still very limited. It’s only available through credit cards like those launched by Netflix. However, with the presence of GoPay, Ovo and other digital wallets make it easier for users to make a purchase,” Guntur said.

From the side of GoPlay, which all businesses are supported by the Gojek ecosystem, this is precisely their strength. With the bundling concept packaged in the form of vouchers, GoPlay tries to take advantage of broad access to Gojek’s complete channel distribution.

These strengths later became attractive offers for content creators to Indonesian filmmakers, to focus on content and entrust other aspects to GoPlay.

“In terms of GoPlay, it is included in the Gojek ecosystem and supports the existing business. One of them is offering related service vouchers, bundling with GoFood to GoSend aiming to invite more people to access local content while promoting content to more users,” Edy added .

Though many Indonesian users prefer content for free but there are some that willing to subscribe and pay, in order to get quality content.

Original content and big data management

data analytics to improve services
data analytics to improve services

One thing that later became a same objective of the two VOD services was to encourage the best works of Indonesian creators and filmmakers. In this case, each of them established a strategic partnership with studios to Indonesian production houses, in order to create interesting original content for users.

GoPlay claims such market condition is what behind their goals as a bridge for viewers for easier access to the local films.

“At least the existence of GoPlay can give filmmakers in Indonesia the option to channel their work using digital services owned by GoPlay. In accordance with Gojek’s commitment to eliminate friction in daily life,” Edy said.

Hooq has introduced the production of 19 new original content consisting of series and films in the four countries in which they operate at the end of 2019. Of the 19 new titles, the largest Hooq original content comes from Indonesia with 14 titles consisting of series, films and stand-up comedy events.

It is not surprising to have a large number of new content slots in Indonesia because the majority of the Hooq market in Southeast Asia comes from Indonesia. That was justified by Thunder.

As a platform that fully utilizes smartphones for accessing content, GoPlay claims to have succeeded in gathering big data which is then processed and can be utilized by partners to filmmakers. By utilizing this data, filmmakers can see what kind of content is a favorite, the ideal duration and what genre or category of film is in demand by various groups. Technology and data analytics processing are the strengths of GoPlay.

Meanwhile, Hooq, which available not only on smartphones but also on broadband and home cable services spreading throughout Indonesia, claims that engagement actually occurs more through the channel. However, in terms of downloads and users, Hooq noted recorded more interaction in the application.

Regarding big data and data analytics, Hooq will also apply it to improve services, Guntur said the plan was included in the company’s roadmap. After proposing the liquidation at the end of last month, currently,  Hooq Indonesia is still waiting for the company’s decision to continue or stop its services in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

 

GoPlay dan Hooq Optimis dengan Perkembangan “Video on Demand” di Indonesia

Meskipun sudah banyak aplikasi Video on Demand (VOD) di Indonesia, namun belum ada yang mampu menjadi pemain utama atau key player. Sifatnya yang kerap berubah, menjadikan layanan VOD tidak bisa dijalankan mengacu kepada formula yang stabil.

Melihat persoalan tersebut, DailySocial melalui sesi #Selasastartup mencoba untuk mengupas tuntas persoalan hingga tantangan yang hingga saat ini masih banyak ditemui pemain layanan VOD lokal hingga asing. Narasumber yang dihadirkan adalah CEO GoPlay Edy Sulistyo dan Country Head Hooq Indonesia Guntur S. Siboro.

Kebiasaan unik masyarakat Indonesia

Selama menjalankan bisnis di Indonesia sejak 4 tahun terakhir, Hooq mencatat kebiasaan unik masyarakat Indonesia. Mulai dari penggunaan kuota data internet di smartphone yang sangat diperhatikan hingga penggunaan wifi untuk mengakses berbagai kebutuhan di internet. Hal tersebut menurut Hooq menyulitkan mereka untuk bisa menghadirkan layanan yang hanya mengandalkan aplikasi.

Dengan alasan itulah Hooq kemudian menjalin kerja sama strategis dengan operator telekomunikasi, layanan broadband, hingga platform super apps. Tujuannya sederhana, agar Hooq bisa diakses di mana saja dan kapan saja.

“Perbedaan yang kami rasakan dulu (2016) sejak Hooq meluncur hingga saat ini adalah, pilihan pembayaran yang masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya memanfaatkan kartu kredit saja seperti yang dilancarkan oleh Netflix. Namun kini dengan hadirnya GoPay, Ovo hingga dompet digital lainnya memudahkan pengguna untuk melakukan pembelian,” kata Guntur.

Dari sisi GoPlay yang semua bisnisnya didukung oleh ekosistem Gojek, hal tersebut justru yang menjadi kekuatan mereka. Dengan konsep bundling yang dikemas dalam bentuk voucher, GoPlay mencoba memanfaatkan akses luas hingga distribusi kanal yang lengkap milik Gojek.

Kekuatan tersebut yang kemudian menjadi penawaran menarik kepada konten kreator hingga sineas Indonesia, untuk fokus kepada konten dan mempercayakan aspek lainnya kepada GoPlay.

“Untuk GoPlay sendiri masuk dalam ekosistem di Gojek dan mendukung ekosistem yang ada. Salah satunya adalah penawaran voucher layanan terkait, bundling dengan GoFood hingga GoSend dengan tujuan untuk mengajak lebih banyak orang mengakses konten lokal sekaligus mempromosikan konten ke pengguna yang lebih banyak,” kata Edy.

Meskipun hingga saat ini masih banyak pengguna di Indonesia yang lebih menyukai konten secara gratis, namun mulai banyak pengguna yang memilih untuk berlangganan dan rela membayar, demi mendapatkan konten yang berkualitas.

Konten original dan pengolahan big data

Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan
Penerapan data anlytics untuk meningkatkan layanan

Satu hal yang kemudian menjadi tujuan yang serupa dari kedua layanan VOD tersebut adalah, untuk mendorong karya-karya terbaik para konten kreator dan sineas Indonesia. Dalam hal ini masing-masing sengaja menjalin kemitraan strategis dengan studio hingga rumah produksi Indonesia, demi menciptakan konten original menarik untuk pengguna.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

“Paling tidak dengan hadirnya GoPlay bisa memberikan opsi kepada sineas di Indonesia untuk menampilkan karya mereka memanfaatkan layanan digital yang dimiliki oleh GoPlay. Sesuai dengan komitmen dari Gojek untuk menghilangkan friction in daily life,” kata Edy.

Hooq sendiri akhir tahun 2019 lalu telah memperkenalkan produksi 19 konten orisinal baru yang terdiri dari serial dan film di empat negara tempat mereka beroperasi. Dari 19 judul baru, produksi konten orisinal Hooq terbanyak ada di Indonesia dengan 14 judul yang terdiri dari serial, film, dan acara stand up comedy.

Banyaknya slot konten baru di Indonesia tak mengherankan lantaran pasar Hooq di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Indonesia. Hal itu dibenarkan Guntur.

Sebagai platform yang sepenuhnya memanfaatkan smartphone untuk pengguna mengakses konten, GoPlay mengklaim berhasil mengumpulkan big data yang kemudian diolah dan bisa dimanfaatkan oleh mitra hingga sineas. Dengan memanfaatkan data tersebut, para sineas bisa melihat konten seperti apa yang menjadi favorit, durasi yang ideal hingga genre atau kategori film seperti apa yang diminati oleh berbagai kalangan. Teknologi dan pengolahan data analytics menjadi kekuatan GoPlay.

Sementara itu, Hooq yang saat ini bukan hanya bisa dinikmati di smartphone namun juga di layanan broadband dan home cable yang tersebar di Indonesia, mengklaim justru engagement lebih banyak terjadi melalui kanal tersebut. Namun untuk jumlah unduhan dan pengguna, Hooq mencatat lebih banyak terjadi di aplikasi.

Disinggung apakah nantinya Hooq juga bakal menerapkan big data hingga data analytics untuk meningkatkan layanan, Guntur menyebutkan rencana tersebut sudah masuk dalam roadmap perusahaan. Setelah mengajukan opsi likuidasi akhir bulan lalu, saat ini Hooq Indonesia masih menunggu keputusan perusahaan untuk meneruskan atau menghentikan layanan mereka di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

GoPlay and the Challenges Ahead

The new original series by GoPlay, Gossip Girl Indonesia, is getting much of the public’s attention. The character names are kind of odd among society.

However, we’re not going in-depth with the series, instead, we’ll further analyze GoPlay’s strategy and future plans as the video-on-demand (VOD) platform. Gossip Girl Indonesia is not GoPlay’s first original content, after the recent ones titled Saiyo Sakato and Tunnel.

After all, GoPlay has not made any significant development in terms of strategy than the other VOD platforms, which is to make the most original content. In fact, the current scheme is quite a prerequisite to any of the video streaming.

“As a local-pride VOD platform, we have a big ambition to gather the largest catalog of Indonesian films and series. Therefore, we will continue to focus on original and exclusive content on the GoPlay platform to provide different and unique offers to Gojek users,” GoPlay’s CEO, Edy Sulistyo, stated to DailySocial.

The total of GoPlay’s original content is increasing, slowly indeed. In addition to the previous ones, other titles such as Kata Bocah The Show, Filosofi Kopi The Series, Haha Club, and Namanya Juga Mertua have listed on GoPlay’s catalog.

Edy said that the team is currently preparing two new content in the near future, the reality show titled Bukan Keluarga Biasa, a special series of Ramadan Jadi Ngaji, some other titles are still undisclosed.

Content is not the only issue

Pushing the production of original content has become an unwritten obligation for VOD service players. However, by focusing only on this issue won’t make them win the competition.

First of all is the price aspect. Comparing to the other players, GoPlay subscription fees are more expensive. The cheapest cost per month at iFlix is Rp. While Netflix, which is the most popular video-on-demand service, pays the lowest Rp.49,000 per month for mobile-specific services.

This is not a simple matter considering the behavior of Indonesian people is relatively price sensitive. Moreover, the content offered by GoPlay does not differ much from Hooq, iFlix, and Viu which concentrate on local and Asian content.

dsvideostreaming

Another stumbling block for GoPlay is limited access to watch only on mobile phones. For the record, all content provided by previously mentioned competitors is accessible on other devices. This can be something to withstand the GoPlay’s growth rate in its early days. Edy promised that he would launch new innovations to improve the customer’s viewing experience.

“Today, there are several new features that we currently develop this year in order to improve the viewing experience, and we will further inform you of this,” he added.

GoPlay’s opportunities

GoPlay’s presence is not without solutions. In terms of subscription fees, they have at least a short-term solution that is creating cross-service promotions. For instance, they create a bundling for GoPlay subscription package for two weeks with a GoFood voucher worth Rp360,000 and to be redeemed with only Rp.49,000.

As we all know, GoFood is one of the strongest services out of a total of 20 services on the Gojek platform. This cross-promotion can also be GoPlay’s preferred technique to simply attract consumers to subscribe to their video streaming platform.

GoPlay has another ammo as a quite extensive network of resources in the film industry. GoPlay, under GoStudio, has several times contibuted in the production of the country’s popular films. Aruna & Lidahnya, Kulari to the beach, 27 Steps of May, are part of their contribution.

artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek
artists who play roles in Gossip Girl Indonesia / Gojek

Well-known artists in the film industry have collaborated with GoPlay to create a persuasive content lineup. Nia Dinata, Gina S. Noer, Angga Dwimas Sasongko, Ifa Ifansyah, are a list of names which is proven that GoPlay has a reliable network of filmmakers to win the audience.

“We can also say that in just the last two months, the number of GoPlay access users has increased more than thirteen times exponentially and continues to grow according to plan in a proud manner,” Edy said confidently.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here