East Ventures Dikabarkan Kembali Pimpin Pendanaan Greenly

Greenly, startup new retail yang fokus pada makanan dan minuman sehat, dikabarkan mengantongi pendanaan baru sebesar $800 ribu (lebih dari Rp11 miliar) yang dipimpin East Ventures. Menurut informasi yang DailySocial dapatkan, putaran lanjutan ini juga diikuti oleh Sage Capital.

Belum ada konfirmasi yang diberikan pihak East Ventures dan Greenly sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal Greenly dengan nilai dirahasiakan pada Februari 2020. Dana segar ini digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi, serta memperluas jaringannya di Surabaya dan kota-kota lainnya.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto menyampaikan, semangat perusahaannya adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji.

Menurutnya, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di berbagai titik agar mudah dijangkau konsumen.

Tak hanya makanan, kini Greenly membentuk sub-brand baru khusus untuk minuman sehat (plant based) dengan ragam menu kekinian bernama Freshful.

Semua proses bisnis Greenly dilakukan dengan pendekatan O2O, mengadopsi penjualan multikanal melalui gerai fisik dan pesan-antar. Perusahaan kini mengoperasikan tiga outlet flagship di Surabaya, dan cabang lainnya untuk pemesanan online yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Bali dengan total sembilan outlet.

Konsep Greenly diyakini diterima masyarakat Indonesia. Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

Filosofi Startup “New Economy”: “Growth” Bukan Segalanya

Startup new retail yang berkonsep direct-to-consumer (DTC) bisa dikatakan menjadi sorotan di mata investor selama beberapa tahun terakhir karena punya proposisi yang menarik dalam memanfaatkan alat-alat teknologi yang ada ke dalam proses bisnisnya, entah seluruhnya atau sebagian, untuk mendongkrak penjualan.

Mereka efisien karena memotong rantai penjualan ke kanal digital, ketimbang membuka gerai offline sendiri. Alhasil harga yang dijual jauh lebih kompetitif dari brand yang sudah besar, dengan sejumlah diferensiasi lainnya yang dikuatkan seperti bahan-bahan yang diproduksi ramah lingkungan dan baik untuk menjaga kesehatan.

Menarik untuk disorot bagaimana mereka menerapkan konsep growth yang eksponensial dengan bakar duit seperti yang dilakukan oleh startup kebanyakan. Gorry Holdings, Greenly, dan Pura bersedia berbagi pandangannya terhadap hal tersebut kepada DailySocial.

Ketiganya termasuk startup yang tumbuh hijau di tengah pandemi ini karena fokus kepada industri wellness dengan mengonsumsi gaya hidup sehat.

Growth penting, tapi bukan segalanya

Co-Founder & CEO Gorry Holdings Herry Budiman mengatakan growth adalah komponen penting buat perusahaannya, tapi bukan jadi segalanya. Perusahaan mengombinasikan growth dengan strategi keberlanjutan agar Gorry Holdings tetap membawa profit.

“Kita lebih balance. Growth harus ada tapi tetap memerhatikan aspek sustainability dan profit. Mungkin kita dibandingkan perusahaan lainnya, menerima fund [pendanaan dari investor] yang lebih sedikit, tapi kita bisa memberikan ekspektasi lebih tinggi untuk mereka,” terangnya kepada DailySocial.

(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings
(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings

Implikasi dari pemilihan strategi ini, buat sebagian  investor jadi abu-abu. Umumnya investor punya goal lain untuk menjual portofolionya ke investor lain saat portofolio tersebut melakukan penggalangan dana. Metriks yang biasanya dipakai investor adalah growth yang dimiliki si portofolio tersebut. Semakin eksponensial angkanya maka akan semakin “menjual”.

“Gorry tiap tahun selalu ada growth, tapi memang growth kami ini tidak eksponensial karena dana kita itu terbatas. Tapi ini lebih baik sebab kami sudah punya monetisasi lewat app dan membuat perusahaan tetap sustain sampai sekarang.”

Bagi Gorry sendiri, dengan penerapan strategi yang berimbang ini perusahaan dapat mempertahankan konsumen, dengan tingkat retensi yang diklaim lebih baik dari kompetitor. Herry menjelaskan, sebanyak 80% konsumen yang ada saat ini adalah recurring consumer yang berjumlah ratusan ribu orang yang mayoritas tersebar di Jakarta dan Tangerang. Biaya operasional terbilang cukup rendah karena perusahaan mengoperasikan dapur sendiri, meski belum masuk ke cloud kitchen.

Pendapat yang sama dikemukakan Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto. Mengejar growth adalah suatu keharusan, tapi harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Pendanaan yang diterima perusahaan hanya diinvestasikan untuk kebutuhan pengembangan bisnis, seperti ekspansi.

Edrick menekankan, semangat Greenly adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang mudah mencari makanan cepat saji. Makanan sehat seharusnya bukan dikonsumsi sesekali saat berkunjung ke mal, tapi di mana saja konsumen berada.

Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di Surabaya, Malang, dan Bali.

Gerai offline diposisikan sebagai channel penjualan saja, karena semua makanan diproses terpusat di cloud kitchen. Secara total, Greenly memiliki 10 cloud kitchen dan tiga gerai offline.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

“Model bisnis yang dijalankan sekarang sesuai dengan hipotesis awal bahwa kita ingin menjadikan makanan sehat ini bukan jadi leisure meals, melainkan makanan keseharian bisa dipesan online. Untuk itu, kita menjalankannya dengan konsep new retail. Kita ada offline store tapi hanya untuk serving, tidak ada dapur karena semuanya terpusat di cloud kitchen.”

Dengan metode ini, Edrick mengaku brand exposure Greenly, baik online maupun offline, mampu memainkan perannya masing-masing dengan baik. Bisnis pun lebih efisien dan lincah untuk berekspansi ke lokasi baru, maupun mengembangkan menu baru.

Kelebihan ini juga ikut terasa saat pandemi yang masih berlangsung hingga kini. Kendati penjualan offline turun, namun keuangan perusahaan tetap terjaga dalam level yang aman karena terdorong oleh penjualan online.

Co-Founder dan Marketing Strategist PURA Monica Liando sependapat dengan dua narasumber sebelumnya. Perusahaan menganggap growth adalah sesuatu yang pasti bakal mengiringi perjalanannya kalau memiliki solusi yang menjawab apa yang dicari konsumen.

“Kita lebih consumer-based kita lihat konsumen ini butuh apa, lalu apa pain problem-nya, dari situ kita jawab dengan solusi. Kita percaya bahwa ketika kita tahu apa yang kita lakukan ini [sesuai dengan kebutuhan], maka growth pasti akan mengikuti,” kata Monica.

Startup dari Surabaya ini berdiri pada 2017 dengan berbekal pengalaman pribadinya bahwa di Indonesia sulit untuk mencari produk bumbu masakan 100% alami tanpa perasa buatan dengan harga terjangkau. Perusahaan memanfaatkan kanal digital, seperti reseller online, pada pertama kali beroperasi.

Berkat pemasaran dari mulut ke mulut, PURA berkembang hingga sekarang memiliki situs e-commerce sendiri yang memasarkan enam bumbu yang diproduksi sendiri. Bahkan sejak tahun lalu PURA bisa dijangkau secara offline di toko swalayan.

“Sedari awal kita lihat arahnya adalah [memasarkan] online karena untuk menggapai lebih banyak konsumen lebih mudah dari situ. Hingga sekarang kami belum memiliki toko sendiri.”

Sumber: PURA
Sumber: PURA

Emban misi lain

Ketiga perusahaan ini tidak hanya fokus membangun bisnis yang bisa cetak untung saja, tapi juga menggotong misi lain yakni mengedukasi untuk meningkatkan kesadaran gaya hidup sehat jadi suatu kebiasaan. Dalam membentuk kebiasaan tersebut tentu pada awal-awal mereka beroperasi tidaklah mudah.

Sumber: Gorry Holdings
Sumber: Gorry Holdings

Herry menceritakan pada awal Gorry Holdings dirintis, bisnis pertama yang digeluti adalah Gorry Gourmet. Mereka sempat membuat survei mini terhadap 3 ribu responden di seluruh Indonesia untuk membuktikan hipotesisnya. Kesimpulan yang didapat adalah responden punya keinginan untuk hidup lebih sehat, tapi mereka tidak tahu cara memulainya dari mana.

“Mereka ada yang menjawab mulai dari olahraga, tapi apparently bukan [itu jawabannya], tapi dari pola makan dan belum tentu langsung mencari katering sehat. Makanya solusi dari kami adalah bantu orang define goals mereka. Setelah ketemu baru kita beri rekomendasi solusi apa yang bisa kita berikan.”

Herry melanjutkan, “Dari awal kita believe, apa yang sehat menurut kamu belum tentu sehat menurut orang lain. Kita bantu orang achieve goals mereka dan guide mereka, bukan sekadar diet saja. Dari situ kita baru menawarkan layanan katering. Monetisasi kita langsung dari situ dan it works karena barrier orang untuk mulai berlangganan katering lebih kecil daripada bayar gym.”

Bisa dikatakan Gorry Gourmet adalah jalur perusahaan dalam mengidentifikasi konsumennya dan mencari tahu kebutuhan lainnya yang bisa dikembangkan. Selang empat tahun kemudian, aplikasi GorryWell dirintis sekaligus mengukuhkan misi Gorry dari awal sebagai perusahaan wellness.

Aplikasi ini berisi beragam fitur wellness seperti analisa gaya hidup, panduan gaya hidup sehat, rekomendasi makanan sehat terdekat, resep makanan. Fitur teranyar yang baru dirilis pada awal bulan ini adalah Gorry Mart, platform e-commerce produk makanan dan minuman sehat.

Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings
Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings

“Kita sebisa mungkin menjauhkan orang agar tidak sakit. Aplikasi ini bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut, sudah dipakai untuk korporat buat para karyawannya. Mereka bisa lihat stress level karyawannya sejauh apa, penyakit apa yang paling banyak diderita, dari situ mereka bisa mengalokasikan budget-nya ke spending yang lebih terarah. Terbukti pula klaim asuransinya turun hingga 20%.”

Dalam waktu dekat, Gorry akan melengkapi fitur di GorryWell dengan wellness coach. Menurut pengakuan Herry, selama pandemi ini level stres meningkat karena harus selalu berada di rumah, bahkan berujung perceraian. Pihaknya akan menghubungkan konsumennya dengan para psikolog untuk berkonsultasi secara online.

“Banyak solusi wellness yang solusinya tidak bisa dipecahkan dengan makanan sehat. Wellness coach rencana awalnya mau kami rilis tidak dalam tahun ini, namun melihat kondisi sekarang akhirnya kami percepat.”

Keseriusan Gorry Holdings juga dibuktikan dengan mengantongi sertifikat HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan ISO 22000:2005 untuk sistem keamanan pangan.

Dari sisi Greenly, agar konsumen familiar dengan semangat demokratisasi makanan sehat, Greenly memutuskan untuk memadukan tren di global dengan melokalkannya ke lidah orang Indonesia.

“Kita enggak bisa langsung copy paste, perlu adjust. Makanan sehat apa yang masih bisa diterima, akhirnya kita pilih salad karena di Indonesia ada juga gado-gado yang mirip dengan itu.”

Pengembangan variasi menu terus dilakukan agar konsumen semakin familiar dengan makanan sehat. Misalnya, tim Greenly mengembangkan variasi salad dalam bentuk wrap yang menyerupai kebab. Lalu menu minuman boba tapi terbuat non dairy, dengan mengambil dari susu almond atau susu gandum yang lebih sehat.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

Bahan-bahan yang dipakai Greenly untuk membuat seluruh menu tersebut dilakukan secara internal, berkat salah satu co-founder-nya berlatar belakang ahli nutrisi. Harga produk yang dijual Greenly berkisar Rp30-40 ribu.

“Kita semuanya lakukan in-house, sehingga cost bisa ditekan rendah dan pemasarannya secara online. Biaya overhead-nya jadi ringan dan kami bisa berikan savings-nya ke konsumen.”

PURA juga tidak main-main dalam keseriusannya bermain di industri wellness ini. Sama seperti Gorry Holdings, Monica menuturkan perusahaan telah memperoleh sertifikasi HACCP dan ISO 22000:2005, tujuannya untuk memastikan bahan-bahan yang dipakai itu benar-benar alami dan aman untuk dikonsumsi. “Karena banyak konsumen PURA adalah ibu-ibu yang membeli PURA untuk anak-anaknya.”

Seluruh produk PURA dikembangkan secara internal dan proses manufakturnya secara eksklusif telah teken kontrak eksklusif dengan salah satu pemain yang piawai di bidangnya. Fokus perusahaan pada saat ini adalah memperbanyak variasi bumbu-bumbu agar konsumen semakin banyak pilihan.

“Target jangka panjang kami pada 5-8 tahun ke depan bisa masuk ke pasar ASEAN dan kita percaya kalau pakai kemampuan sendiri ini akan butuh waktu lama. Oleh karena itu mulai dari sekarang kami mulai mempersiapkan untuk rencana funding,” tutupnya.

10 Startup “Femtech” Berpotensi di Indonesia

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan menyebutkan female technology (femtech) secara global bisa menjadi pasar bernilai $50 miliar hingga tahun 2025 mendatang. Femtech bisa berarti bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.

Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang didirikan perempuan. Beberapa startup di antaranya diprediksi bakal meluncur mulus dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan, termasuk yang menyasar produk kecantikan, layanan e-commerce dan marketplace fashion, kebutuhan produk segar, dan makanan dan keperluan bayi.

Menyambut peringatan hari Kartini bulan April ini, berikut adalah rangkuman 10 startup yang didirikan dan dipimpin perempuan dan menyediakan layanan dan produk untuk perempuan Indonesia.

1. Base

CEO Base Yaumi F. Sugiharta
CEO Base Yaumi F. Sugiharta

Base adalah layanan e-commerce kecantikan yang memberikan rekomendasi produk berdasarkan kondisi kulit pengguna. Rekomendasi akan muncul setelah konsumen mengisi seluruh pertanyaan yang ditanyakan. Startup ini didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari.

Seluruh produk kecantikan Base diproduksi sendiri. Akhir tahun 2019 lalu startup produk kecantikan berbasis metode direct-to-consumer (DTC) ini mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures dan Skystar Capital.

“Industri kecantikan di Indonesia saat ini sedang tumbuh dengan cepat. Hal tersebut terjadi seiring dengan berkembangnya kebutuhan konsumen dan juga kemajuan teknologi. Dengan mudahnya akses informasi dan jual beli produk dari luar negeri, saat ini konsumen memiliki demand produk dengan kualitas tinggi. Fenomena tersebut mendorong para pemain industri kecantikan untuk meningkatkan standar kualitas produknya. Audiens Gen Z dan juga milenial adalah segmen yang dapat kami kategorikan sebagai smart buyer, ingin mengenal dengan cermat tentang produk yang mereka gunakan dan terliterasi dengan baik,” kata Yaumi.

Tahun 2020 ini Base memiliki target pengembangan produk baru sesuai dengan masukan konsumen dan mengenalkan brand serta edukasi kepada audiens yang lebih luas. Perusahaan juga akan melakukan penyempurnaan teknologi untuk mengoptimalkan analisis data menggunakan Artificial Intelligence, yang kemudian digunakan untuk pengembangan produk dan strategi pengembangan perusahaan.

2. Sayurbox

CEO Sayurbox Amanda Cole
CEO Sayurbox Amanda Susanti Cole

Sayurbox hadir mencoba memenuhi kebutuhan buah segar dan produk sayuran berkualitas kepada warga ibukota. Platform online ini menyediakan bahan segar dan produk sehat berkualitas dari petani dan produsen lokal Indonesia. Sayurbox awalnya didirikan Amanda Susanti Cole dan Rama Notowidigdo, kemudian Metha Trisnawati bergabung ke tim sebagai COO.

Sayurbox mengusung konsep bisnis farm-to-table yang memungkinkan konsumen mendapatkan berbagai bahan segar dan produk berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal. Sayurbox merupakan salah satu startup yang telah menerima beberapa putaran pendanaan, termasuk dari Patamar Capital di tahun 2018 dan kemungkinan Tokopedia tahun lalu.

3. Love and flair

Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury
Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury

Didirikan oleh Emily Jaury, Love and Flair merupakan layanan e-commerce multibrand yang dikurasi untuk perempuan Indonesia. Dengan menerapkan bisnis berorientasi konsumen, semua masukan dari konsumen menjadi fokus perusahaan. Selain bisa diakses secara online, Love and Flair juga telah memiliki toko permanen di mall terkemuka Jakarta.

Tahun 2018 lalu Love and Flair tergabung dalam program akselerator besutan Gojek dan Digitaraya, Gojek Xcelerate batch kedua, yang fokus ke startup karya founder perempuan Indonesia dan Asia Pasifik.

4. Kotoko

CEO Kotoko Cynthia Krisanti
CEO Kotoko Cynthia Krisanti

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu oleh Cynthia Krisanti, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independen, termasuk DTC, di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multibrand store pertama di Plaza Indonesia dan mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

5. Gigel

Co-founder Gigel Putri Arinda
Co-founder Gigel Putri Arinda

Gigel didirikan oleh pasangan suami istri Putri Arinda dan Muhammad Syahdani. Platform ini berisi penyewaan produk yang banyak dibutuhkan pasangan muda yang baru memiliki anak, seperti stroller, mainan, dan lain-lain.

Awal tahun ini Gigel gencar mengembangkan cakupan layanan dan model bisnis marketplace penyewaannya. Tidak hanya produk untuk bayi, pengguna bisa menyewa barang seperti winter jacket, koper untuk wisata, atau kamera. Gigel mengklaim telah memiliki sekitar 500 mitra dan 15 ribu pengguna aktif. Masih terbatas di kawasan Jabodetabek, tahun ini Gigel memiliki rencana untuk memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya.

“Saat ini kami telah memiliki angel investor dan belum berencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada traksi dan melayani lebih banyak pengguna. Diharapkan tahun ini kami juga bisa menambah pilihan produk untuk pengguna,” kata Arinda.

6. Rata

CMO RATA Drg. Deviana Maria A
CMO RATA drg. Deviana Maria A

Startup Rata didirikan oleh drg. Edward Makmur, Danny Limanto, Jason Wahono, dan drg. Deviana Maria A untuk mengatasi permasalahan estetika gigi yang dibantu teknologi artificial intelligence.

“Kami ingin menciptakan clear aligner yang bisa dijangkau semua orang, dan pastinya much better than using braces. Permasalahan seperti kawat gigi yang menusuk, harus datang ke klinik dental secara rutin dan mengganggu penampilan yang pada akhirnya membuat orang menjadikan permasalahan estetika gigi kebutuhan kesekian,” ujar Deviana.

Mendapat investasi dari Alpha JWC Ventures, Rata juga memberikan kesempatan konsultasi online secara gratis dan melakukan engagement langsung memanfaatkan media sosial.

7. Bubays

CPO Bubays Ifatul Khasanah
CPO Bubays Ifatul Khasanah

Bubays didirikan oleh pasangan suami istri Ifatul Khasanah dan Muhammad Faiz Ghifari. Platform ini menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura. Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Bubays menghadirkan makanan bayi sehat untuk keluarga muda di Indonesia, yang bisa diantar hingga ke rumah. Platform ini memastikan makanan yang dibuat dengan bahan-bahan segar, lezat, dan bernutrisi tinggi yang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Platform ini memungkinkan pengguna untuk secara khusus memesan makanan bayi mereka berdasarkan usia bayi, alergi, dan juga membantu melacak tumbuh kembang bayi mereka.

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek.

8. Greenly

Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja
Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah sarjana di bidang nutritional science, dietetics, dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi kesehatan.

Konsep new retail yang diadopsi Greenly menawarkan aneka makanan dan minuman sehat. Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

Memasuki tahun keduanya, Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk menginovasi produk, pengembangan teknologi, dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

9. Style Theory

Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim
Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim

Diluncurkan pada 2016 di Singapura oleh Raena Lim dan Chris Halim, platform penyewaan produk fesyen Style Theory hadir menawarkan opsi penyewaan lebih dari 50 ribu koleksi busana yang dapat diakses melalui aplikasi. Perusahaan menawarkan langganan bulanan dan resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2017 lalu. Perusahaan ingin mengurangi konsumsi busana (dalam bentuk pembelian) di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan berpengaruh ke lingkungan.

Saat ini Style Theory telah memiliki lebih dari 13 ribu pengguna yang tersebar di Indonesia, Singapura, hingga Hong Kong. Awal bulan Desember lalu Style Theory mengantongi pendanaan putaran Seri B yang dipimpin SoftBank Ventures Asia.

10. Woobiz

Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / SWA
Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / Photo credit : SWA

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand. Woobiz mengklaim bisnis yang dijalankan, sebagai social commerce, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia, khususnya ibu rumah tangga, agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial.

“Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online,” kata Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina.

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Ke depannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point,” ujar Putri.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.