Bekraf Berharap Lahirkan Ratusan Produk Digital Baru dari Program BEKUP

Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) Indonesia kembali menggagas sebuah program yang ditujukan untuk membantu mengembangkan industri startup Indonesia. Program yang diberi nama Bekraf for Pre-Startup (BEKUP) 2017 ini didukung oleh MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif TIK/Digital Indonesia) dan PT Telekomunikasi Indonesia dikonsep untuk memberikan pendampingan kepada calon pendiri startup digital. Program ini sendiri ditargetkan bisa mencetak 450 calon pendiri dan 150 produk startup digital baru.

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Santosa Sungkari dalam rilis pers-nya menyampaikan, “Program BEKUP bukanlah workshop atau pun training, melainkan penggemblengan.”

BEKUP sendiri saat ini telah mempersiapkan 105 mentor di 15 kota yang di tiap kotanya akan terdapat 6 mentor dan 1 koordinator wilayah dengan melibatkan 10 inkubator, akselerator dan investor yang siap membantu para pendiri startup digital melalui 3 program, 3 kurikulum dan 4 tahapan dalam kurun waktu 4 bulan.

Kota-kota yang beruntung tersebut adalah Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan dan Makassar. Untuk menstandarisasi kualitas lulusan program BEKUP ini, mentor yang terlibat telah diklasifikasi dan distandarisasi.

Program BEKUP sendiri tersedia untuk seluruh tingkat kemampuan, mulai dari pemula hingga yang sudah memiliki produk. Program-program BEKUP antara lain BEKUP BASIC yang ditujukan untuk peserta perorangan yang membutuhkan pendampingan untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam membangun startup di bagian teknis.

Ada juga program BEKUP START yang ditujukan bagi peserta yang sudah memiliki tim dan memiliki ide dan memiliki rencana untuk membangun startup dalam waktu dekat, sehingga kurikulumnya pun lebih lengkap mulai dari teknis hingga bisnis. Ada lagi program BEKUP JOURNEY yang ditujukan untuk startup yang telah beroperasi untuk mengikuti program pendampingan lanjutan dan link and match dengan mitra strategis.

Untuk BEKUP START ada 4 tahapan berkelanjutan yang bertujuan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan calon pendiri startup. Keempat tahap tersebut adalah tahap workshop, talenta development, founder preparation, dan tahap pre-incubation.

Melalui program BEKUP ini Bekraf berharap pelaku startup digital Indonesia dapat memberikan dampak positif bagi pergerakan perekonomian Indonesia. Bekraf melalui unit infrastruktur non fisik mencoba memberikan kontribusi nyata sejalan dengan semangat pemerintah Indonesia sebagai “The Digital Energy of Asia”

Inisiasi Panaya Sebagai Dukungan Artis Indonesia Membangun Ekonomi Rakyat

Jika membahas tentang sektor UMKM di Indonesia, secara kasat mata saat ini terlihat pertumbuhan yang mulai signifikan, didukung oleh banyak faktor, salah satunya akses modal yang makin banyak dan proses digital yang memudahkan. Namun jika menelisik lebih lanjut, dengan membandingkan rasio dengan sebaran UMKM di negara lain, menurut data dari Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) jumlah wirausaha Indonesia baru mencapai 3,1 persen dari jumlah penduduk. Lebih rendah jika dibandingkan negara seperti Malaysia (5%), Tiongkok (10%), Singapura (7%), Jepang (11%) maupun Amerika Serikat (12%).

Kendati demikian banyak hal yang membuat berbagai kalangan optimis dengan peningkatan rasio UMKM di Indonesia. Salah satunya didukung oleh laju perdagangan online yang signifikan. Kominfo memprediksikan bahwa nilai bisnis e-commerce akan mencapai Rp1.710 triliun pada 2020 mendatang. Selain didukung konsumen digital yang makin mapan, hal ini juga banyak melibatkan manuver kalangan pengusaha kecil menengah di masyarakat.

Panaya.id sebagai salah satu sinergi memajukan UMKM lewat digital

Namun Bekraf menganggap perlu adanya sinergi dengan berbagai pihak tatkala berbicara memajukan UMKM. Eekonomi kreatif, yang berbasis modal kreativitas sumber daya manusia, berpeluang mendorong daya saing bangsa di masa depan.

“Bekraf mendorong pertumbuhan industri kreatif sebagai tulang punggung ekonomi kreatif dan inilah cita-cita kami bersama, kami mengharapkan adanya perubahan paradigma dari para pelaku industri. E-commerce merupakan salah satu infrastruktur ekonomi kreatif yang diharapkan dapat melakukan akselerasi pertumbuhan penjualan produk-produk kreatif anak bangsa Indonesia, baik di pasar domestik maupun pasar global,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Hal tersebut direalisasikan dengan kerja sama yang dijalin bersama Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), para artis, dan pelaku UMKM Indonesia. Salah satu perwujudan dari sinergi tersebut ialah inisiasi platform Ekonomi Rakyat Digital bernama Panaya. Panaya didesain menjadi platform yang membantu UKM dalam menggunakan media sosial para artis sebagai alat menjalankan bisnisnya.

Panaya sendiri secara resmi bisa digunakan pada tanggal 9 Mei 2017 mendatang.

“Kami bergembira dengan sambutan positif untuk mendukung program pemerintah dan idEA untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan digital. Melalui platform Panaya.id ini para artis akan membantu produk lokal agar dapat menjangkau seluruh Nusantara. Para artis juga mengajak puluhan juta follower-nya untuk menjadi peritel dengan syarat yang sangat sederhana,” ungkap CEO Panaya.id Hero Tjokroardi.

Melalui saluran follower dan fans para artis, didukung penuh oleh pemerintah, dan dibantu penyebarannya melalui jaringan e-commerce anggota idEA, diharapkan ke depan akan muncul pengusaha UMKM yang siap jadi e-UKM murni. Jika hal tersebut bisa diberdayakan, angka wirausahawan sukses Indonesia akan terus naik. Ujungnya, akan memperkuat ekonomi nasional secara keseluruhan.

Promosi Digital Jadi Prioritas Tantangan Utama Pengembang Lokal

Dari gelaran Bekraf Developer Conference (BDC) 2016, 180 top pengembang lokal merumuskan ada tiga prioritas tantangan utama harus diselesaikan bersama. Yakni, mengenai promosi digital, pendirian asosiasi developer aplikasi, dan preload.

Sekadar informasi, BDC 2016 adalah acara puncak dari pelaksanaan roadshow Bekraf Developer yang telah diselenggarakan di Malang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Acara ini mempertemukan 180 top pengembang lokal dengan pemerintah (diwakili kementerian terkait) untuk merumuskan tantangan yang perlu diselesaikan demi membangun ekosistem yang dapat mendukung pengembang perangkat lunak bisa berkembang pesat di Indonesia.

“Acara BDC ini jadi wadah terbentuknya talenta di bidang digital yang akan melahirkan startup yang menyediakan solusi, sehingga Indonesia dapat menjadi tuan rumah di Ekonomi Digital Indonesia,” ucap Hari Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf, Senin (28/11).

Awalnya, ada 64 prioritas tantangan yang muncul. Lalu, ada proses voting untuk menentukan tingkat urgensi permasalahan, akhirnya mengerucut jadi sepuluh prioritas tantangan. Terakhir, terpilihlah tiga prioritas tantangan yang tingkat urgensinya paling tinggi.

“Proses perumusan masalah awalnya ada 64 isu, kemudian dilakukan voting hingga akhirnya tersaring jadi tiga isu. Ketiga isu ini dipilih karena urgensinya yang sangat tinggi dan dibutuhkan oleh pelaku pengembang lokal,” terang Andi Taru Nugroho selaku CEO dan Founder Educa Studio.

Dijabarkan lebih jauh, promosi digital adalah jalur kegiatan pemasaran yang masih asing untuk dilakukan oleh pelaku usaha yang kebanyakan masih menganut dengan cara konvensional. Maka dari itu, lanjut Andi, solusi yang ditawarkan pengembang kepada pemerintah ada tiga hal.

Yaitu, pemerintah melakukan kampanye nasional untuk mengedukasi pentingnya menghargai dan memakai karya lokal. Membuat etalase bersama (marketplace) aplikasi atau games yang bisa dipromosikan pemerintah. Terakhir, memberikan edukasi kepada pengembang mengenai cara promosi digital yang efektif.

Isu kedua, mengenai pendirian asosiasi developer aplikasi Indonesia. Urgensi untuk isu kedua ini cukup tinggi. Pasalnya, selama ini komunikasi antara pemerintah dengan pelaku pengembang belum maksimal karena ketidakhadiran asosiasi sebagai wakil yang tatap muka langsung dengan pemerintah.

“Sekarang ini baru ada Asosiasi Game Indonesia (AGI), untuk aplikasinya belum ada. Sementara, untuk bertemu dengan pemerintah perlu diwakili oleh asosiasi untuk membicarakan lebih jauh. Lagipula, kehadiran asosiasi memang diperlukan sejak awal sebagai wadah penampung aspirasi pengembang,” ujar Andi.

Isu terakhir, adalah mengenai preload. Solusi yang ditawarkan terkait masalah preload ini adalah membuat aplikasi khusus sebagai etalase bersama untuk perload dalam perangkat smartphone yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi aplikasi lokal yang baru dan berkualitas untuk di-preload.

Pengembang juga meminta kepada pemerintah agar mempermudah syarat preload agar semua developer memiliki kesempatan dan exposure yang sama. Andi mengatakan, usulan mengenai preload ini erat kaitannya dengan rencana pemerintah mulai 1 Januari 2017 untuk menetapkan 30% Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk telekomunikasi berbasis standar Long-Term Evolution (LTE).

“Aturan TKDN itu sebenarnya sangat baik karena tujuannya ingin memajukan produksi buatan dalam negeri. Hanya saja, aturan TKDN terlalu tinggi karena untuk bisa masuk ke preload itu hanya aplikasi yang sudah diunduh satu juta kali. Sementara untuk bisa menyentuh angka itu, butuh waktu yang tidak sebentar.”

Maka dari itu, sambung Andi, pihaknya mengusulkan untuk membuat aplikasi preload khusus yang sudah ditanamkan ke perangkat smartphone yang berisi aplikasi lokal berkualitas dan sudah terkurasi.

“Tujuan akhirnya, kami ingin masyarakat mengenai aplikasi lokal karena selama ini sangat minim yang tahu. Dengan adanya aplikasi khusus yang sudah di-preload, masyarakat jadi gampang mengetahuinya.”

Hari menambahkan, usulan yang diajukan pengembang lokal untuk bisa masuk ke TKDN diharapkan syaratnya bisa diturunkan, tidak lagi harus satu juta unduhan. Angka yang dinilai ideal menurut pelaku usaha adalah 100 ribu unduhan.

“Masukan angka unduhan minimal 100 ribu kali diunduh menurut kami cukup masuk akal dan bisa diukur kualitasnya. Kalau menunggu satu juta unduhan butuh waktu lama, bisa jadi tahunan.”

Isu kekurangan talenta masuk dalam prioritas tantangan

Selain itu, dalam konferensi ini juga membahas tujuh isu lainnya dan solusi yang coba ditawarkan kepada pemerintah. Pada dasarnya, ada lima bidang permasalahan yakni pasar, talenta, regulasi, infrastruktur, dan permodalan.

Mengenai permasalahan pasar, isu yang disinggung setelah promosi digital adalah meningkatan pangsa pasar lokal. Untuk masalah talenta, mengenai dukungan industri teknologi, ruang untuk inovasi, dan institusi pendidikan.

Untuk masalah regulasi, selain isu preload adalah perizinan dan legal. Masalah infrastruktur, mengenai kebutuhan riset pasar dan inkubator. Terakhir, masalah permodalan adalah isu mengenai investor.

Narenda Wicaksono, CEO Dicoding Indonesia, menerangkan salah satu masalah utama yang jadi tantangan adalah kurangnya talenta. Institusi pendidikan yang menyediakan ilmu jurusan komputer atau ilmu informatika memang jumlahnya banyak, tapi mayoritas tidak semua lulusan dari sana yang bisa langsung terserap di industri. Pasalnya, kurikulumnya tidak relevan dengan industri.

Menurutnya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dengan institusi pendidikan berupa komunikasi yang intensif agar ada restrukturisasi kurikulum yang dibangun sesuai dengan kebutuhan industri.

Salah satu kurikulum yang dibangun oleh pelaku usaha adalah International Business Machines (IBM) Indonesia. Vina Kasim, Country Manager IBM Indonesia menerangkan untuk mendukung talenta IT yang berkualitas pihaknya meluncurkan materi yang bisa diakses secara online dan berbahasa Indonesia yang diakses melalui situs Dicoding.

Di sana, para pengembang bisa mempelajari dengan gratis dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, IBM juga menyediakan akses infrastruktur dan teknologi bentuk kredit untuk penggunaan platform Softlayer dan IBM Bluemix.

“Kami percaya para pengembang Indonesia merupakan yang terbaik dalam mengarahkan perekonomian kreatif di negeri ini dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Kami berharap bisa jadi mitra dalam membantu mereka melalui perangkat dan platform teknologi yang kami miliki,” pungkas Vina.

Suka Duka Pelaku Startup di Daerah

Startup (terlebih digital) dikenal sebagai bisnis pemula dengan eksekusi cepat. Untuk memastikan performa cepat dan tepat itu, seringkali dihubungkan dengan bagaimana bisnis dapat menjangkau entitas-entitasnya. Mulai dari rekanan, pangsa pasar, pendanaan hingga basis bisnis. Tak heran jika kota dengan pusat bisnis umumnya menjadi pilihan. Lokasi di pusat bisnis seperti ibukota memang memberikan akses yang menjanjikan untuk perkembangan bisnis. Namun apakah itu artinya di daerah sulit untuk melakukan pengembangan bisnis seperti layaknya di kota besar?

Pada dasarnya internet telah memberikan peluang baru. Internet memangkas jarak dan waktu menjadi sesuatu yang lebih sederhana. DailySocial mencoba mewawancarai beberapa penggiat startup dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan startup di Indonesia. Kami berbincang tentang bagaimana bisnis digital dapat dijalankan di daerah, kendala apa saja yang dihadapi dan alasan yang membuat mereka bertahan untuk tetap tinggal di sana.

Memulai startup di luar ibukota

Pada kenyataannya masih banyak pengembang startup di daerah yang mengalami kesulitan mengakselerasi bisnisnya. Banyak alasannya. Salah satunya karena mereka terkesan jauh dari jangkauan investor.

Soekma A Sulistyo, salah seorang penggiat startup yang tergabung dalam komunitas SoloconValley, menceritakan bahwa di Solo sendiri banyak penggiat startup yang mencoba bersama-sama mengembangkan bisnisnya. Mereka masih terkendala beberapa hal, di antaranya masalah mentor, ekosistem pasar lokal, dan masalah modal (dalam hal ini akses ke investor).

Untuk masalah mentor, Soekma menjelaskan dirinya dan teman-teman di SoloconValley ingin terus berusaha menambah pengetahuan mereka dengan menghadirkan mentor-mentor untuk membimbing bisnis. Hanya saja mereka yang tergabung dalam SoloconValley masih belum mampu untuk menghadirkan mentor yang berpengalama. Di sinilah mereka berharap adanya bantuan.

Masalah ekosistem dan modal menjadi permasalahan selanjutnya. Perkara ekosistem ini, menurut Soekma, meskipun ide bisnis yang dijalankan didesain untuk skala internasional namun penerimaan masyarakat di sekitar masih tergolong rendah jadi kesempatan mereka untuk dikenal menjadi semakin sedikit.

Pengalaman yang sedikit berbeda diungkapkan Istofany Api Diany, founder Fitinline. Internet, menurutnya, mampu memfasilitasi kebutuhannya dengan baik untuk mengembangkan startupnya di Yogyakarta. Masalah klasik yang diceritakan justru biaya pengiriman produk fisik dari Yogyakarta yang umumnya lebih mahal jika dibandingkan dari Jakarta. Namun, untuk menjangkau konsumen, Istofany mengatakan hal itu bukan isu besar.

Fajar Assad, sebagai salah satu inisiator Komunitas Startup Makassar dan founder Lean Skill, juga berkisah tentang kondisi startup Makassar dan masalah yang sering kali ditemui penggiat startup di sana. Sejauh ini, menurut Fajar, startup yang muncul di Makassar sudah bisa dibilang cukup banyak. Hanya saja startup hanya muncul berbarengan dengan beberapa event startup yang sempat hadir di Makassar, sementara kelanjutannya masih belum jelas.

Fajar mengisahkan banyak startup di Makassar yang butuh pendampingan. Provokasi untuk menjalankan startup diharapkan tidak hanya sebatas pada mendirikan startup, tetapi juga sampai dengan menjalankan dan mengelola startup secara profesional.

“Sayangnya program-program tersebut hanya sekedar memicu/provokasi utk lebih banyak orang membuat startup digital hanya untuk mengikuti program tersebut. Hal ini bagus akan tetapi jika tidak diimbangi dengan pendampingan/pembinaan yang berkelanjutan akan membuat startup tadi akan drop pada titik waktu tertentu. Produk yang mereka develop sekarang harus go-to market dan harus terus growth. Sayangnya cara atau pengalaman untuk hal demikian belum banyak bisa dipelajari di sini, [di] kota Makassar,” ujar Fajar.

Menurut Fajar, di Makassar sebenarnya keberadaan startup mulai dilirik masyarakat dan media lokal. Hal ini diduga karena popularitas startup kenamaan, seperti Tokopedia, Go-Jek, Traveloka, dan Lazada yang sudah terdengar hingga Makassar. Pemerintah kota Makassar sendiri dianggap belum melihat potensi startup digital sebab masih belum banyak wadah komunitas startup untuk berinteraksi dengan pemerintah kota.

Fajar berkesimpulan rekan-rekan sesama founder masih belum aktif mengembangkan pengetahuan mereka sehingga pengembangan startup berjalan di tempat. Salah satu yang diharapkan adalah ajang berbagi pengalaman dari startup-startup yang memiliki ekosistem yang sama namun berjalan untuk pasar atau masyarakat lain. Di sini validasi ide menjadi penting.

Alamanda Shantika, salah satu nama di balik kesuksesan Go-Jek yang sekarang menjadi bagian Kibar demi misinya “memprovokasi” startup-startup di Indonesia, menjelaskan bahwa validasi ide adalah hal terpenting.

Perempuan yang akrab disapa Ala ini menjelaskan potensi startup di daerah cukup besar. Ragam masalah lokal bisa diselesaikan oleh startup yang beroperasi di tempat tersebut. Di Bali misalnya, banyak yang coba menghadirkan solusi digital yang mengangkat permasalahan sektor pariwisata. Atau di Yogyakarta yang mencoba menyelesaikan permasalahan pertanian.

“Saya udah keliling beberapa kota waktu Next Dev dan 1000 Startup. Banyak bedanya, Indonesia kaya banget dan budaya kita beragam. Justru yang di luar kota masalahnya lebih banyak yang mereka angkat. Misalnya Bali lebih ke pariwisata, di Jogja masalah pertanian, berbagai macam problem yang ada. Dari segi potensi mereka gak kalah, mereka sudah melek banget tentang startup,” papar Ala.

Masalah pengetahuan bisnis startup, menurut Ala, sebenarnya saat ini bisa diakses dengan mudah berkat adanya internet. Intinya ada pada kemauan dan upaya masing-masing untuk terus belajar.

“Kalau mau ngerjain produk kita harus challenge diri kita sendiri. Terus jangan pikir produk kita sudah keren, karena yang paling penting adalah mendengarkan orang lain, market validation. Saya udah mentoring banyak startup. Kadang mereka terlalu pede, kadang idenya tidak dibutuhkan market, kadang sampai juga problem-nya sebenarnya tidak ada, problem-nya tidak sebesar itu [yang disebutkan]. Jadi market validation dan mau mendengarkan kata market itu penting,” saran Ala.

Solusi Bekraf sebagai komponen pendorong industri kreatif nasional

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan penggiat startup di daerah ini. Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menjelaskan bahwa saat ini pemerintah melalui Bekraf aktif untuk mengajak pemuda daerah untuk membangun melalui dua program. Yang pertama adalah Bekraf Developer Day (BDD) dan BEKUP (Bekraf for Pre-Startup). Dua program Bekraf ini diharapkan mampu memacu tumbuhnya startup-startup di daerah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dengan teknologi digital.

Ketika ditanya mengenai apa yang perlu dikembangkan untuk membantu startup-startup daerah ini tumbuh, Hari menjelaskan, “Yang paling penting adalah membangun ekosistem yang membuat startup dapat tumbuh subur. Dari hulu, harus tersedia pool of talent yang siap dan telah disiapkan menjadi pengusaha. Tidak kalah penting adalah tersedianya jaringan mentor yang akan melakukan coaching di inkubator-inkubator bisnis secara rutin.”

“Kemudahan dalam membentuk Badan Usaha, sehingga para startup tidak dipusingkan dengan kegiatan awal. Insentif pajak baik kepada pelaku startup dan juga pemodalnya. Tidak terlepas harus adanya ekosistem untuk para Venture Capital untuk exit baik itu lewat IPO atau lewat Merger atau Akuisisi. Tidak kalah penting adalah pendaftaran Kekayaan Intelektual (KI) dan monetisasinya,” lanjutnya.

Beberapa hal yang menjadi keuntungan startup di daerah

Yogyakarta adalah kota yang “adem”. Demikian disampaikan Istofany saat ditanya mengapa tetap bertahan di kota pelajar tersebut. Tak semua bisnis harus dijalankan di pusat bisnis besar, nyatanya banyak hal yang menginspirasi di daerah. Salah satu alasan mengapa akhirnya ia memilih berbasis di Yogyakarta justru karena ia terinspirasi dengan kebiasaan “kerja” masyarakat di Yogyakarta.

Dengan berbagai keterbatasan dibumbui kreativitas, orang-orang di sini mampu mengimbangi berbagai kebutuhan bisnis dan persaingan pasar. Hal tersebut yang turut mendorong semangat juang rekan-rekan di daerah.

Yogyakarta saat ini juga sedang hype dengan kultur startup. Istofany mengatakan umumnya pemain baru ini banyak fokus di produk (pengembangan), sangat mirip dengan karakteristik sebagai kota pelajar. Sisi bisnis masih kurang dipahami baik. Untungnya Yogyakarta masih “asri” dalam bisnis, pressure-nya tak seketat di Jakarta. Semua bisa berjalan santai sehingga memberi kesempatan untuk menyiasati kekurangan tadi.

Sama halnya dengan Solo, Makassar, dan daerah-daerah lain. Peluang untuk mengembangkan bisnis digital atau startup terbuka lebar. Hanya memang perjuangan dan tingkat kesulitan prosesnya berbeda-beda. Butuh ide dan eksekusi yang disesuaikan dengan permasalahan masing-masing.

Di zaman digital ini, roda bisnis dapat digerakkan dari mana saja. Terlebih saat produk yang ditawarkan berbentuk layanan digital. Tantangannya justru bagaimana kita mampu menghadirkan strategi terbaik yang memanfaatkan potensi yang ada dari lingkungan kita. Menjadikan alasan tinggal di luar ibukota sebagai hambatan berkembang adalah kurang tepat, karena masalah ibukota berbeda dengan yang ada di daerah.


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Bek-Up Memfokuskan Pembinaan Pra-Inkubasi

Sabtu (30/07) lalu Bekraf baru mengadakan sebuah pagelaran akbar bertajuk “Developer Day”. Acara tersebut mengumpulkan selebihnya 1.000 developer di Yogyakarta dan sekitarnya untuk mengulas seputar berbagai potensi yang dapat dikembangkan di era digital ini. Sebagai salah satu wadah untuk industri kreatif nasional, Bekraf bertekad untuk memfasilitasi dan mengarahkan para talenta berpotensi agar mampu meningkatkan daya saing.

Ditemui di sela-sela acara, Hari Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf mengungkapkan bahwa ia mencoba menegaskan kembali bahwa kegiatan pematangan inovator digital yang diusungnya tidak untuk bersaing dengan kegiatan inkubasi atau akselerasi yang sudah ada, justru ingin mencoba melengkapi. Bekraf sendiri sudah menginisiasi Bek-Up (Bekraf for Pre-Startup) untuk mendorong keberhasilan startup lokal.

“Bek-Up awalnya diinisiasi oleh kunjungan Presiden Jokowi ke Silicon Valley, kala itu Kepala Bekraf ikut dalam rombongan. Cita-cita Presiden ingin menumbuhkan iklim kewirausahaan digital seperti yang ada di sana. Dari situ diinisiasi program Bek-Up. Riset pun menunjukkan, bahwa hanya 10% dari total populasi startup yang benar-benar berhasil, visi Bek-Up ingin membuat persentase tersebut terus meningkat, khususnya di Indonesia,” ujar Hari menceritakan landasan fundamental pendirian Bek-Up.

Bek-Up bukanlah sebuah kelas inkubasi, melainkan justru mempersiapkan bibit-bibit unggul untuk siap terjun ke dalam proses inkubasi itu sendiri. Artinya Bek-Up melakukan proses pembinaan sampai di tahapan pra-inkubasi saja. Dari prosesnya sendiri ketika seseorang (umumnya yang bergabung di Bek-Up awalnya individual) masuk ke Bek-Up maka akan menemui tiga pengayaan, yakni talent development, founder preparation dan pre-incubation.

Materi yang disampaikan dalam Bek-Up memang lebih mengarah kepada pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia). Bekraf meyakini bahwa di luar sana kemampuan teknis sudah banyak dimiliki oleh para talenta muda, namun sayangnya banyak di antaranya yang belum paham bagaimana mengelola bisnis, berkolaborasi, melakukan negosiasi dan sebagainya. Itu semua yang ingin coba dijembatani oleh Bek-Up.

Tidak terlalu ambisius dengan Unicorn, lebih memfokuskan mencetak “Cockroach”

Proses di Bek-Up memang hanya sampai pada pre-inkubasi. Namun para lulusan Bek-Up ini nantinya akan diarahkan kepada kelas-kelas inkubasi rekanan Bekraf, salah satunya Fenox Capital. Beberapa waktu lalu lulusan Bek-Up beberapa sudah berhasil masuk ke sana. Saat ini Bekraf juga tengah menjalin kerja sama dengan beberapa penyelenggara akselerator lain, salah satunya sedang bernegosiasi dengan East Venture Capital.

Dengan modal kualifikasi dalam penjaringan peserta didukung para mentor dengan spesifikasi tinggi, Bek-Up berharap dapat menelurkan kelompok technopreneur yang memiliki kompetensi bagus. Untuk mendukung kegiatan ini, Bekraf juga mengerahkan timnya dari deputi edukasi, deputi akses pemasaran, deputi permodalan dan deputi bidang fasilitasi HAKI. Ini menjadi hal unik, karena salah satu fokus Bekraf juga untuk mengedukasi seputar HAKI kepada para insan kreatif di dalamnya.

Hari Sungkari juga menambahkan bahwa program ini tidak begitu menargetkan pada pencetakan startup Unicorn, karena pihaknya lebih banyak fokus untuk menghadirkan talenta yang “tahan banting” memfasilitasi kebutuhan digital dalam negeri. Diibaratkan seperti “cockroach”, meskipun kecil tapi memiliki kekuatan yang dahsyat. Startup masih rentan dengan berbagai tantangan di sani-sini, seperti “cockroach” tadi, ketika kakinya putus, harapannya masih tetap bisa bertahan hidup, berlari dan memperbaiki diri.

Melalui Aplikasi Gempita, Bekraf Ingin Bangun Industri Musik yang Lebih Transparan

Meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap layanan streaming musik membuat Bekraf berkerja sama dengan Telkom menginisiasi sebuah aplikasi lokal bernama Gempita. Aplikasi yang nantinya akan mirip dengan layanan Spotify, JOOX dan Guvera ini didesain khusus untuk mempublikasikan karya-karya musik lokal. Tak hanya untuk menjual lagu, namun Gempita lebih difokuskan untuk memberikan informasi yang lebih transparan kepada para musisi seputar persebaran musik mereka ke konsumen.

Transparansi ini dinilai penting, karena harapannya dapat membuat proses industri menjadi lebih adil. Tak hanya bagi penyanyi, melalui cara ini diharapkan juga dapat melindungi hak penulis lagu, termasuk artis pendukung. Kepada DailySocial, Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari mengungkapkan misi besar dari layanan Gempita:

“Pada dasarnya misi Bekraf bersama Gempita ini bukan untuk menciptakan platform. Streaming adalah contoh platform. Tapi yang ingin dikembangkan di sini adalah sebuah sistem yang merujuk pada transparansi, tentu keuntungannya tidak hanya dari sisi konsumen, melainkan lebih banyak di pelaku industrinya sendiri, dalam hal ini berbagai komponen musisi,” ujar Hari.

Sistem yang dimaksud tersebut adalah untuk memudahkan para pelaku industri (yang di dalamnya termasuk musisi, produser, label musik dan sebagainya) untuk mendapatkan statistik data secara lebih mendetil dan transparan, seputar demografi pangsa pasar mereka. Untuk mematangkan konsep ini, dengan memegang teguh pada unsur HAKI, terdapat sebuah pokja (program kerja) bersama Lembaga Manajemen Kolektif yang saat ini terus digodok mekanisme yang tepat untuk proses royalti, bagi hasil dan sebagainya.

Hari turut mengungkapkan, bahwa Gempita saat ini dari sisi teknologi sudah sangat siap. Namun rencananya baru akan diluncurkan sekitar kuartal keempat tahun 2016, mengingat masih banyak yang harus mematangkan berbagai unsur yang berkaitan dengan bisnis industri musik itu sendiri. Gempita melibatkan banyak pihak, harapannya bisa lebih menjamin ketahanannya dan mampu mengimbangi pangsa pasar digital yang begitu dinamis saat ini.

“Bekraf tidak membuat Gempita sendiri, banyak pihak yang akan menjalankan dari berbagai sisi, baik itu sisi bisnis, pemasaran, royalti, hak cipta hingga proses kerja sama dengan para penggiat musik kreatif,” ujar Hari meyakinkan bahwa Gempita akan relevan di jangka panjang.

Setelah diluncurkan, nantinya Gempita akan lebih mengakomodir kemudahan bagi para musisi lokal, baik itu musisi yang dinaungi oleh perusahaan produksi ataupun musisi indie untuk mengorbitkan karya mereka. Hari mengungkapkan bahwa tata cara dan persyaratan publikasi yang dibuat akan jauh lebih mudah, jika dibandingkan layanan lain, karena Gempita memang dikembangkan untuk kesejahteraan musisi lokal.

Banyak hal yang membuat Bekraf optimis dengan Gempita, dari sisi penetrasi layanan, salah satunya karena kekuatan Telkom sebagai operator dengan broadband terluas dan paling banyak digunakan, yang menjadi salah satu fondasi layanan ini. Selain itu berbagai hal terkait dengan data digital akan disajikan lebih transparan kepada para musisi, ini yang dinilai Bekraf akan menjadi nilai utama dari layanan dan membuat para musisi tertarik untuk masuk di dalamnya.

“Jika berbicara melawan pembajakan memang tidak ada habisnya. Masalahnya banyak masyarakat kita tidak menyadari ada yang dilakukan (menggunakan karya bajakan) itu salah. Bekraf sudah memiliki satgas sebagai langkah antisipatif terhadap pembajakan, dan kini dengan Gempita ingin memberikan akses legal secara lebih mudah. Gampangnya, dari pada membajak, steraming saja, toh murah,” pungkas Hari.

Bekraf: Masa Depan Industri Digital Cerah, Harus Difasilitasi

Salah satu pendukung acara Echelon Indonesia 2016 adalah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dalam perbincangannya dengan DailySocial, Deputy of Infrastructure Bekraf Hari Sungkari menyebutkan bahwa industri digital, termasuk e-commerce, memiliki masa depan cerah dengan pertumbuhan 8% per tahun. Mereka harus difasilitasi oleh pemerintah, dalam hal ini termasuk Bekraf, untuk memberikan sumbangsih bagi negara.

Berikut ini adalah video perbincangan singkatnya:

Kemendag Pastikan Virtual Office Bisa Digunakan Untuk Alamat Kontak Perusahaan

Akhir tahun lalu industri kreatif Indonesia dibuat ramai dengan terbitnya aturan sementara yang melarang penggunaan virtual office untuk domisili perusahaan. Alasannya, untuk mengantisipasi adanya perusahaan fiktif. Pun begitu, pihak Kementrian Perdangan menyebutkan bahwa virtual office masih bisa digunakan untuk kepentingan alamat kontak perusahaan.

Dilansir Tempo, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementrian Perdagangan Fetnayeti mengatakan, “Penggunaan virtual office untuk kantor bersama atau alamat kontak boleh saja. […] [Namun] Untuk mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), misalnya, tidak bisa menggunakan alamat virtual office.”

Terbitnya aturan yang melarang penggunaan virtual office seperti co-working space sendiri sebenarnya telah telah berhasil menimbulkan keresahan di beberapa pelaku industri kreatif. Umumnya mereka satu suara menyebutkan bahwa aturan ini bisa menghambat pertumbuhan UMKM dan juga perusahaan rintisan yang belum memiliki modal besar (startup).

Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif Indonesia Hari Sungkari sebelumnya juga menyebutkan bahwa virtual office adalah elemen penting dalam usaha sebagai legalitas. Apalagi untuk startup yang umumnya belum memiliki modal dan juga target pasar yang masih belum jelas.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Virtual Office and Co-Working Space Association Indonesia (VOACI) Anggawira yang percaya bahwa banyak pelaku usaha khususnya sektor kreatif membutuhkan domisili agar bisa mendirikan perusahaan yang berbadan hukum.

Jadi jika hanya dapat difungsikan sebagai alamat kontak saja, itu masih tidak efektif dan kontradiksi dengan visi pemerintah yang ingin melahirkan 1000 startup.

Titik terang untuk aturan yang lebih baik

Dengan segala keresahan yang ditimbulkan, bukan berarti para pelaku terkait juga berdiam diri saja. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebelumnya telah mengajukan perizinan kantor virtual ke Kementrian Perdagangan. Langkah tersebut diambil guna memudahkan pelaku startup dan juga UMKM untuk menjalankan usaha.

Toh aturan yang terbit dalam Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015 pun masih berupa aturan sementara.

“Kehadiran aplikasi dan perkembangan startup seperti Go-Jek, Grab, dan jasa seperti Virtual Office jangan dihambat karena hanya regulasi, kita harus mengejar ketertinggalan dari luar negeri, jadi pearaturan yang dibuat juga harus kondusif,” ujar Wakil Ketua Umum Kadin bidang UMKM, Koperasi, dan Industri Kreatif Sandiaga Uno seperti dilansir BeritaSatu.

Jika harus ditinjau kembali, sebenarnya tak ada yang salah dengan alasan di balik terbitnya regulasi larangan penggunaan virtual office. Namun, penerapannya memang masih kurang tepat sasaran.

Dengan lahirnya Virtual Office and Co-Working Space Association Indonesia (VOACI), harusnya sekarang bisa jadi waktu yang tepat bagi para pemangku kepentingan dan pelaku industri untuk duduk bersama dan berdiskusi menentukan aturan yang tepat guna mendorong pertumbuhan ekosistem yang tengah menggeliat di Indonesia.