Rayakan Ultah Kelima, Master & Dynamic Luncurkan Versi Wireless dari Headphone Pertamanya

Nama Master & Dynamic mungkin belum begitu dikenal di industri headphone. Cukup wajar mengingat perusahaan tersebut baru saja merayakan ulang tahunnya yang kelima. Guna merayakan hari spesial tersebut, M&D melirik kembali produk pertama yang menjadi andalan mereka dalam membangun reputasinya, yakni headphone over-ear MH40.

Selang lima tahun sejak headphone tersebut diluncurkan, M&D akhirnya memperkenalkan versi wireless-nya. Secara fisik, nyaris tidak ada yang berbeda antara MH40 Wireless dan MH40 standar. Desainnya masih terkesan retro, dan konstruksinya pun masih mengandalkan perpaduan material-material premium seperti aluminium, kanvas, dan kulit domba asli yang membalut bantalan memory foam-nya.

Master & Dynamic MH40 Wireless

Satu-satunya perbedaan fisik yang tampak dari MH40 Wireless adalah adanya sejumlah tombol pengoperasian beserta port USB-C di earcup sebelah kanannya. Yang cukup mengejutkan adalah, bobot MH40 Wireless jauh lebih ringan ketimbang MH40 standar di angka 276 gram. Mengejutkan karena sebagai perangkat wireless, ia tentu harus mengemas unit baterainya sendiri.

Daya tahan baterainya pun terbilang cukup lumayan, dengan klaim hingga 18 jam pemakaian dalam sekali pengisian, dan ini bisa terwujud berkat penggunaan Bluetooth 5.0 yang memang lebih efisien ketimbang versi sebelumnya. Selain ketambahan Bluetooth, MH40 Wireless juga hadir membawa sepasang mikrofon beam-forming yang bisa membantu mengeliminasi suara luar selagi pengguna melakukan panggilan telepon atau berinteraksi dengan voice assistant.

Master & Dynamic MH40 Wireless

Satu detail yang membuat saya cukup bertanya-tanya adalah seputar driver-nya. MH40 Wireless mengusung sepasang driver berdiameter 40 mm, sedangkan MH40 standar dibekali driver 45 mm. Lebih besar memang tidak selalu berarti lebih baik, akan tetapi headphone kelas high-end yang ada di pasaran umumnya mengemas driver berukuran besar.

Master & Dynamic MH40 Wireless saat ini telah dipasarkan seharga $299, selisih $50 dari MH40 standar. Tiga pilihan warna yang tersedia untuk versi wireless-nya ini masih sama persis: hitam-silver, cokelat-silver, dan hitam sepenuhnya.

Sumber: Master & Dynamic.

Beoplay H4 2nd Gen Hadirkan Penyempurnaan Desain dan Dukungan Voice Assistant dalam Harga yang Sama

$300 merupakan harga yang cukup tinggi untuk sebuah headphone Bluetooth. Namun kalau yang dibahas adalah Bang & Olufsen, banderol tersebut termasuk salah satu yang paling terjangkau dari seluruh penawarannya. Perangkat yang saya maksud adalah Beoplay H4 yang dirilis dua tahun lalu, dan B&O rupanya baru saja meluncurkan versi anyarnya.

Sepintas, desain headphone tipe over-ear ini tampak tidak berbeda dari pendahulunya. Beoplay H4 generasi kedua masih mengadopsi rancangan yang sama selagi memadukan sejumlah material premium (aluminium, stainless steel dan kulit asli). Meski demikian, ada sejumlah revisi yang membuat penampilannya jadi makin sleek.

Beoplay H4 2nd Gen

Yang paling kentara adalah kabel braided yang menyambung dari bagian earcup ke headband, yang pada versi barunya ini nyaris tidak kelihatan. Penutup aluminium di sisi luar earcup-nya kini juga lebih menonjol, mengikuti gaya desain yang dianut sejumlah penawaran lain B&O yang dihargai lebih mahal.

Deretan tombol pengoperasiannya juga turut disempurnakan, akan tetapi yang paling signifikan adalah penambahan sebuah tombol baru untuk memanggil voice assistant di ponsel. Ya, Beoplay H4 2nd Gen siap menjadi perantara Anda dan Siri (atau Google Assistant), dan B&O juga memastikan suara Anda bisa ditangkap dengan jelas berkat sebuah mic ekstra yang posisinya diyakini sangat optimal.

Beoplay H4 2nd Gen

Fitur lain yang sepele namun masih cukup berperan adalah dukungan aptX Low Latency, yang dirancang untuk memastikan agar audio dan video selalu sinkron. Soal baterai, Beoplay H4 2nd Gen masih mempertahankan daya tahan 19 jam pemakaian seperti pendahulunya, akan tetapi charging-nya sekarang sudah mengandalkan sambungan USB-C.

Juga tidak diubah adalah banderol harganya. Beoplay H4 2nd Gen tetap dihargai $300, dan tetap merupakan salah satu penawaran paling terjangkau dari portofolio headphone wireless B&O.

Sumber: Trusted Reviews.

Dolby Dimension Ibarat Sistem Audio Bioskop yang Dikemas dalam Headphone Wireless

Dolby adalah dedengkot di bidang audio yang cukup unik. Selama lebih dari 50 tahun, mereka membangun reputasinya tanpa memproduksi hardware sendiri untuk konsumen umum. Jadi ketika Dolby memutuskan untuk menggarap headphone-nya sendiri, kita patut menaruh perhatian ekstra.

Headphone tersebut bernama Dolby Dimension, dan seperti bioskop yang dilengkapi sistem audio bersertifikasi Dolby, ia diciptakan untuk menemani penggunanya menonton film. Suara surround menjadi fitur keunggulannya, dan ini dicapai berkat kombinasi sepasang driver 40 mm, chipset Qualcomm Snapdragon dengan prosesor quad-core, serta teknologi virtualization racikan Dolby sendiri.

Dolby Dimension

Hasilnya adalah efek suara tiga dimensi mirip seperti yang ditawarkan teknologi Dolby Atmos. Levelnya memang belum secanggih Atmos, tapi ini disebabkan oleh batasan konektivitas Bluetooth 4.2 yang ada pada Dimension.

Efek ini akan terasa semakin realistis berkat dukungan head tracking yang ditawarkan Dimension. Jadi ketika Anda sedang menonton dan menoleh ke kiri, suara yang tadinya terdengar dari depan bakal jadi terdengar dari samping kanan.

Dolby Dimension

Selain virtualization, Dimension juga menawarkan fitur bernama LifeMix, yang kalau dari cara kerjanya, mirip seperti fitur noise cancelling adaptif yang ada pada sejumlah headphone wireless premium. Supaya kinerja fitur ini bisa maksimal, lima mikrofon omnidirectional telah Dolby sematkan ke Dimension.

Performa audio yang superior ini turut dibarengi oleh desain fisik yang manis sekaligus ergonomis. Bantalan telinganya yang gemuk kelihatan nyaman, tapi di saat yang sama bobotnya ternyata cuma 330 gram, sehingga semestinya tidak akan membuat gerah setelah dipakai menonton selama berjam-jam.

Dolby Dimension

Dimension mengandalkan kombinasi tombol fisik dan panel sentuh pada earcup sebelah kanan sebagai input kontrolnya. Soal baterai, Dimension diklaim dapat beroperasi sampai 10 jam dengan semua fitur aktif, atau sampai 15 jam dalam mode irit daya. Fast charging pun turut tersedia; charging selama 15 – 20 menit cukup untuk pemakaian selama 2 jam.

Sebagai produk debutan, Dolby Dimension terkesan sangat menarik. Kalau disuruh menyebutkan kekurangannya, saya akan bilang harganya: $599, setara soundbar yang mendukung Dolby Atmos. Pemasarannya sudah berlangsung di Amerika Serikat.

Sumber: Engadget dan Nasdaq.

Audio-Technica Luncurkan Versi Wireless dari Headphone Terlarisnya, ATH-M50xBT

Nama Audio-Technica sudah pasti tidak asing lagi di telinga para audiophile, apalagi kalau yang dibicarakan adalah headphone ATH-M50 yang legendaris. Bersama suksesornya, ATH-M50x, headphone ini kerap nongol di daftar headphone terbaik dari berbagai publikasi, serta banyak dianggap sebagai pilihan awal yang tepat untuk memulai ‘petualangan’ seorang audiophile.

Tidak terasa sudah 11 tahun lewat sejak ATH-M50 pertama diluncurkan. Zaman jelas sudah berubah, dan eksistensinya mulai terasa kurang relevan seiring bertambah banyaknya smartphone yang tak dibekali jack headphone. Singkat cerita, sudah waktunya ATH-M50 dipermak sesuai standar 2018.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Standar yang saya maksud mengacu pada konektivitas wireless. Hasilnya adalah ATH-M50xBT, dengan embel-embel “BT” sebagai indikasi konektivitas Bluetooth 5.0 yang diusungnya. Sebuah kabel masih disertakan dalam paket penjualannya, tapi itu sepertinya bakal jarang digunakan mengingat baterai headphone ini bisa tahan sampai 40 jam nonstop.

Audio-Technica sengaja tidak mengutik desain pendahulunya yang ikonis kecuali menambahkan sejumlah tombol kontrol di earcup sebelah kiri. Earcup kirinya ini juga bisa disentuh selama dua detik untuk memanggil Siri atau Google Assistant pada smartphone yang tersambung.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Dimensi earcup-nya tidak berubah, tetap besar dan bisa membungkus telinga dengan baik. Saat sedang tidak dipakai, earcup-nya bisa ditekuk ke arah dalam headband seperti ATH-M50x agar mudah dibawa-bawa, apalagi mengingat bobotnya hanya berkisar 310 gram saja.

Selain mengusung desain yang sama, performanya pun juga diklaim identik, dengan bekal driver 45 mm pada masing-masing earcup-nya. Demi memaksimalkan kualitas suara selama bekerja secara wireless, ATH-M50xBT turut dilengkapi dukungan codec aptX maupun AAC – sayang tidak ada aptX HD.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Secara keseluruhan, Audio-Technica ATH-M50xBT tidak lebih dari sebatas ATH-M50x yang dipotong kabelnya dan dijejali baterai beserta chip Bluetooth. Di Amerika Serikat, ia sudah dipasarkan seharga $199.

Sumber: Audio-Technica via Digital Trends.

Headphone Wireless JLab Flex Sport Didedikasikan untuk Penggemar Olahraga Sejati

Beberapa bulan lalu, JLab Audio meluncurkan headphone wireless berdesain retro ala headphone orisinal pendamping Walkman. Sekarang, JLab kembali ke akar bisnisnya, yakni menyajikan solusi audio portabel bagi para penggemar olahraga.

Menariknya, yang mereka luncurkan bukanlah earphone, melainkan headphone wireless tipe over-ear dengan earcup berukuran besar yang membungkus telinga. Headphone tipe ini pada umumnya kurang cocok dipakai sembari berolahraga, akan tetapi JLab sudah membubuhkan ‘sihirnya’ demi mematahkan anggapan tersebut.

JLab Flex Sport

Dijuluki JLab Flex Sport, ia memiliki headband yang begitu lentur sampai-sampai bisa dipelintir 180 derajat. Desain semacam ini tentu bakal membantu membebaskan pergerakan kepala pengguna selagi aktif menguras keringat, namun JLab rupanya belum selesai.

Flex Sport juga datang bersama dua tension headband yang dapat dilepas-pasang sehingga pengguna bebas memilih antara pemakaian yang ketat, normal, atau longgar (tanpa tension headband). Masih belum selesai, Flex Sport turut dibekali headband padding ekstra yang dapat dipasangkan ketika penggunanya memerlukan kenyamanan lebih.

JLab Flex Sport

Lalu kalau Anda melihat bantalan telinganya, tampak bahwa material yang digunakan bukanlah material fabric yang umum. Bantalan ini diklaim bisa menyerap cairan (dalam kasus ini keringat), sehingga pengguna akan tetap merasa nyaman sepanjang sesi latihan.

Keringat yang menumpuk tentu terdengar menjijikkan. Solusinya? Copot bantalan tersebut, lalu cuci dengan tangan atau menggunakan mesin cuci. Simpel nan cerdas.

JLab Flex Sport

Terkait fitur, Flex Sport yang dibekali sepasang driver 40 mm dan konektivitas Bluetooth 4.2 ini juga tidak malu-malu. Utamanya berkat fitur Be Aware yang ketika aktif, memungkinkan suara dari luar untuk masuk sehingga pengguna bisa lebih awas terhadap sekitarnya.

Dalam satu kali pengisian, baterai Flex Sport bisa tahan sampai 20 jam pemakaian. Charging-nya mengandalkan sambungan USB-C, sedangkan pengoperasiannya mengandalkan deretan tombol di sisi earcup.

Konsumen yang tertarik sudah bisa memesan JLab Flex Sport seharga $100.

Sumber: PR Newswire via SlashGear.

Grado GW100 Adalah Headphone Bluetooth Pertama yang Berdesain Open-Backed

Sebelum tren menghilangnya headphone jack dari smartphone, headphone wireless sebenarnya sudah banyak, akan tetapi jumlahnya kian banyak lagi sejak Apple memelopori tren kontroversial tersebut. Pabrikan yang tadinya tidak punya headphone wireless jadi tergerak untuk mencicipi peruntungan di ranah tersebut. Tidak terkecuali Grado.

Grado, bagi yang tidak tahu, adalah produsen headphone asal Amerika Serikat yang cukup dikenal di kalangan audiophile. Sejumlah nilai yang kerap diasosiasikan dengan Grado di antaranya adalah desain open-backed, serta proses pembuatan secara handmade. Tidak sedikit pula yang mengecap Grado sebagai produsen yang konservatif.

Jadi ketika perusahaan seperti Grado memutuskan untuk menggarap headphone wireless, Anda bisa menilai sendiri betapa besar pengaruh tren menghilangnya headphone jack itu tadi. Ya, perangkat bernama Grado GW100 ini merupakan headphone wireless perdana mereka.

Grado GW100

Yang membuat GW100 begitu unik dibandingkan headphone wireless lain adalah desainnya yang open-backed (kelihatan dari grille yang ada di sisi luar masing-masing earcup). Sepintas, perpaduan konektivitas wireless dan desain open-backed terdengar kurang ideal, sebab asumsinya headphone wireless bakal sering dibawa bepergian.

Desain open-backed sering kali diyakini mampu menyuguhkan detail yang lebih baik dan staging yang lebih luas, akan tetapi kelemahannya isolasi suara betul-betul absen, baik dari luar maupun dari dalam. Memakai headphone ini di tempat umum yang berisik, seperti di bandara misalnya, jelas bukan pengalaman yang menyenangkan.

Grado GW100

Terlepas dari itu, Grado sebenarnya ingin menyajikan kualitas khas perangkat audiophile dalam kemasan yang lebih praktis dan fleksibel. Desain open-backed berarti skenario penggunaan yang paling ideal adalah di rumah sendiri, tapi karena wireless pengguna jadi bisa memakainya selagi melakukan aktivitas lain, seperti menyapu dan mengepel misalnya.

Terkait isolasi suara, Grado bilang bahwa suara dari dalam yang bocor keluar tidak sekeras di headphone mereka lainnya. Suara dari luar masih akan masuk sepenuhnya, tapi rancangan baru yang diterapkan pada GW100 diklaim mampu mengurangi kebocoran suara dari dalam hingga 60%.

Grado GW100

Secara keseluruhan, wujud GW100 masih mirip seperti headphone Grado lainnya, dengan nuansa retro yang amat kental. GW100 masuk kategori headphone on-ear, dengan bantalan yang cuma menempel pada telinga, bukan membungkus. Di samping tombol power, perangkat turut mengemas sepasang tombol volume, jack 3,5 mm dan port micro USB untuk charging.

Dalam satu kali pengisian, baterainya diyakini bisa tahan sampai 15 jam pemakaian. GW100 menggunakan konektivitas Bluetooth 4.2, lengkap dengan dukungan codec aptX. Unit driver yang ditanamkan diklaim sama persis seperti yang ada pada headphone lain mereka yang sekelas, dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Grado GW100

Penggemar berat Grado saat ini sudah bisa membeli GW100 seharga $249. Grado tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional seperti hard case, storage box dan headphone stand yang dijual terpisah.

Sumber: The Verge dan Grado.

HyperX Cloud Mix Adalah Gaming Headset Sekaligus Headphone Bluetooth

Divisi gaming Kingston, HyperX, kembali meluncurkan gaming headset. Namanya HyperX Cloud Mix, tapi ia berbeda dari gaming headset pada umumnya, sebab ia dapat beralih fungsi menjadi headphone wireless di luar sesi gaming.

Secara default, Cloud Mix dapat disambungkan ke PC menggunakan kabel dengan konektor 3,5 mm standar. Dalam posisi ini, sepasang driver 40 mm dan teknologi dual chamber yang diusungnya sanggup memberikan respon frekuensi antara 10 – 40.000 Hz, membuatnya pantas menyandang sertifikasi Hi-Res Audio.

HyperX Cloud Mix

Namun ketika yang dibutuhkan adalah kepraktisan, pengguna tinggal melepas kabel beserta mikrofonnya, lalu menyambungkannya ke smartphone via Bluetooth 4.2. Dalam posisi ini, Cloud Mix masih bisa dipakai untuk menerima panggilan telepon berkat mikrofon internalnya, dan baterainya bisa tahan sampai 20 jam pemakaian.

Sayang sekali charging-nya masih mengandalkan micro USB, bukan USB-C, dan belum ada fitur noise cancelling. Terlepas dari itu, fleksibilitasnya tentu bisa menjadi nilai jual lebih di mata konsumen, terutama para gamer yang kerap bepergian.

HyperX Cloud Mix

Yang saya suka dari Cloud Mix adalah penampilannya yang terkesan simpel dan tidak terlalu wah seperti kebanyakan gaming headset. Rangkanya terbuat dari aluminium, sedangkan bantalan earcup berukuran besarnya (circumaural alias over-ear) menggunakan material memory foam yang dilapis kulit sintetis.

Penampilan yang terkesan ‘kurang gaming‘ ini wajar mengingat statusnya yang juga dipasarkan sebagai produk lifestyle. Bobotnya pun tidak lebih dari 260 gram tanpa mic yang terpasang, cukup bersaing dengan headphone Bluetooth di pasaran.

HyperX Cloud Mix

HyperX saat ini telah memasarkan Cloud Mix di Amerika Serikat seharga $200.

Sumber: Business Wire.

Microsoft Luncurkan Surface Pro 6, Surface Laptop 2, Surface Studio 2, dan Surface Headphones

Microsoft baru saja meluncurkan empat perangkat Surface baru. Tiga di antaranya adalah generasi baru dari perangkat yang sudah ada – Surface Pro 6, Surface Laptop 2, dan Surface Studio 2 – sedangkan satu sisanya merupakan perangkat yang benar-benar baru, yakni Surface Headphones.

Tanpa berlama-lama, mari kita bahas keunggulan yang ditawarkan masing-masing perangkat.

Surface Pro 6 dan Surface Laptop 2

Surface Pro 6 / Microsoft
Surface Pro 6 / Microsoft

Entah kenapa, Microsoft kembali menyematkan embel-embel angka pada Surface Pro, setelah sebelumnya absen di generasi kelimanya. Terlepas dari itu, Surface Pro 6 masih mempertahankan desain elegan pendahulunya, dan itu semakin kental berkat adanya varian berwarna hitam matte.

Yang berubah banyak adalah dalamannya. Surface Pro 6 mengusung prosesor quad-core Intel generasi ke-8. Pilihannya ada dua: Core i5-8250U atau Core i7-8650U (varian Core m3 yang ‘lemah syahwat’ sudah tidak ditawarkan lagi). Menurut Microsoft, kinerjanya 67% lebih cepat daripada Surface Pro generasi kelima.

Pilihan RAM yang tersedia antara 8 atau 16 GB, sedangkan penyimpanan berbentuk SSD-nya ditawarkan dalam kapasitas 128, 256, 512 GB atau 1 TB. Kombinasi ini diyakini mampu menyuguhkan daya tahan baterai hingga 13,5 jam saat digunakan untuk menonton video.

Layar yang digunakan masih sama: 12,3 inci, dengan resolusi 2736 x 1824 pixel. Sebagai sebuah Surface Pro, ia tentu masih bisa digunakan layaknya tablet biasa tanpa ada keyboard yang menancap.

Surface Laptop 2 / Microsoft
Surface Laptop 2 / Microsoft

Beralih ke Surface Laptop 2, desainnya juga masih sama seperti generasi pertamanya yang dirilis pada bulan Mei tahun lalu. Pilihan warnanya juga masih ada empat, akan tetapi salah satunya kini berwarna hitam matte yang amat elegan seperti Surface Pro 6.

Spesifikasinya nyaris identik dengan Surface Pro 6, baik untuk prosesor, RAM maupun storage-nya. Daya tahan baterainya sedikit lebih awet di angka 14,5 jam, akan tetapi resolusi layar sentuh 13,5 incinya lebih rendah di angka 2256 x 1504 pixel.

Satu hal yang sangat menyebalkan dari kedua perangkat ini adalah tidak adanya port USB-C sama sekali. Seperti di generasi sebelumnya, Microsoft hanya menyematkan satu port USB biasa saja, membuatnya kurang layak disebut future-proof, apalagi untuk standar tahun 2018.

Terlepas dari itu, untuk Surface Pro 6 setidaknya harga awalnya sekarang sedikit lebih terjangkau: $899 (sebelumnya mulai $999). Surface Laptop 2 di sisi lain dibanderol sama persis seperti pendahulunya, yakni mulai $999.

Surface Studio 2

Surface Studio 2

Tidak terasa sudah hampir dua tahun sejak Microsoft mengungkap all-in-one PC perdananya. Selang dua tahun adalah waktu yang tepat untuk penyegaran spesifikasi, dan itulah yang Microsoft lakukan dengan Surface Studio 2.

Desainnya tidak berubah, demikian pula layar sentuh 28 incinya: masih beresolusi 4500 x 3000 pixel, akan tetapi tingkat kecerahannya diklaim naik 38%, dan kontrasnya juga naik 22%. Sama seperti sebelumnya, layar ini duduk di atas engsel unik yang memungkinkan manipulasi posisi yang amat fleksibel, serta kompatibel dengan aksesori Surface Pen maupun Surface Dial.

Surface Studio 2

Soal spesifikasi, Surface Studio 2 mengusung prosesor quad-core Intel Core i7-7820HQ (generasi ke-7, sayang bukan generasi ke-8 yang mengemas 6-core). Prosesor ini ditemani oleh RAM DDR4 berkapasitas 16 atau 32 GB, serta pilihan GPU Nvidia GeForce GTX 1060 6GB atau GTX 1070 8 GB.

Dibandingkan Surface Studio generasi pertama yang menggunakan GPU GTX 965M atau GTX 980M, Microsoft mengklaim kinerja grafis Surface Studio meningkat hingga 50%. Soal penyimpanan, Microsoft tak lagi menggunakan komponen bertipe hybrid, melainkan SSD murni dengan kapasitas 1 atau 2 TB.

Urusan konektivitas, setidaknya Surface Studio 2 masih memiliki satu port USB-C (generasi sebelumnya tidak punya sama sekali), meski ini tidak kompatibel dengan Thunderbolt 3. Sisanya, masih ada empat port USB biasa, slot SD card, gigabit ethernet dan headphone jack.

Microsoft berencana memasarkan Surface Studio 2 pada bulan November mendatang, dengan harga mulai $3.499 (RAM 16 GB, SSD 1 TB), hingga $4.799 (RAM 32 GB, SSD 2 TB).

Surface Headphones

Surface Headphones

Terakhir, ada Surface Headphones yang benar-benar gres – siapa yang menyangka Microsoft yang tadinya cuma membuat software kini juga memproduksi headphone? Perangkat ini masuk kategori headphone Bluetooth bertipe over-ear, dan penampilannya tampak minimalis sekaligus elegan, dengan warna abu-abu khas lini Surface.

Kinerjanya ditunjang oleh sepasang driver 40 mm dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz. Namun yang menjadi nilai jual utama adalah ANC alias active noise cancelling, plus integrasi voice assistant Cortana. Untuk dua fitur ini, Microsoft telah membekali Surface Headphones dengan total 8 mikrofon.

Surface Headphones

Yang unik adalah mekanisme pengoperasiannya. Ketimbang menggunakan panel sentuh pada earcup seperti mayoritas headphone kekinian, Surface Headphones dilengkapi kenop yang bisa diputar pada kedua earcup-nya; sebelah kanan untuk mengatur volume, kiri untuk menyesuaikan intensitas pemblokiran suaranya.

Dalam satu kali pengisian, baterai Surface Headphones bisa bertahan sampai 15 jam dalam posisi ANC menyala terus. Charging-nya mengandalkan kabel USB-C, dan pengguna masih bisa menancapkan kabel audio 3,5 mm jika perlu.

Berdasarkan informasi yang diterima CNET, Microsoft menghabiskan waktu tiga tahun untuk mengembangkan Surface Headphones secara sembunyi-sembunyi. Perangkat rencananya akan dipasarkan menjelang musim liburan mendatang seharga $350.

Sumber: 1, 2, 3.

Qualcomm Luncurkan Codec aptX Adaptive untuk Perangkat Audio Nirkabel

Tren hilangnya headphone jack dari smartphone belakangan ini secara frontal memaksa konsumen untuk beralih ke headphone atau earphone wireless. Masalahnya, sebagian konsumen menilai kualitas suara headphone wireless masih kalah dibanding yang memakai kabel. Di situlah codec aptX datang menawarkan solusi.

aptX sejatinya sudah dikembangkan sejak lama, namun di tahun 2015, Qualcomm memutuskan untuk mengakuisisi perusahaan yang mengerjakannya (CSR alias Cambridge Silicon Radio). Tak lama setelahnya, tepatnya di awal tahun 2016, Qualcomm merilis codec aptX HD yang menjanjikan kualitas suara “lebih baik dari CD” via koneksi Bluetooth.

Selain aptX HD, ada pula aptX Low Latency yang fungsi utamanya memastikan audio tersinkronisasi dengan baik dalam skenario menonton video atau bermain game – audionya tidak terlambat dibandingkan videonya, demikian penjelasan sederhananya. Sekarang, Qualcomm memutuskan untuk mengawinkan kedua varian aptX itu.

Qualcomm aptX Adaptive

Hasilnya adalah aptX Adaptive. Label “Adaptive” merujuk pada kemampuannya memprioritaskan antara kualitas audio yang paling maksimal dan sinkronisasi yang optimal yang minim latency. Semua ini dilakukan secara otomatis tergantung pada jenis konten yang dikonsumsi serta kondisi frekuensi radio (RF) di sekitar perangkat yang digunakan.

Ilustrasinya seperti ini: kalau sedang bersantai menikmati musik di rumah, yang diprioritaskan adalah kualitas audio, sebab sinyal Bluetooth yang terpancar tidak mengalami banyak interferensi (gangguan) dari perangkat-perangkat lain.

Sebaliknya, ketika berada di dalam kabin pesawat di mana umumnya ada banyak penumpang yang membawa bekal headphone atau earphone Bluetooth (banyak gangguan), yang diprioritaskan adalah sinkronisasi dan latency rendah, sehingga seumpama Anda sedang memakai headphone Bluetooth untuk menonton video, audionya tidak akan terdengar terlambat.

Qualcomm aptX Adaptive

Qualcomm memastikan bahwa aptX Adaptive bisa bekerja secara mulus tanpa campur tangan dari konsumen. Harapannya, kehadiran aptX Adaptive dapat membantu headphone dan earphone wireless benar-benar menggantikan saudara tuanya yang masih mengandalkan kabel.

Rencananya, aptX Adaptive akan hadir bersama chip Bluetooth 5.0 bikinan Qualcomm mulai akhir September, termasuk QCC5100 yang dirancang secara spesifik untuk true wireless earphone. Artinya, konsumen baru akan berjumpa dengan headphone atau earphone yang mendukung codec ini setelah bulan September.

Membeli headphone atau earphone wireless yang mendukung aptX Adaptive saja tidak cukup, sebab ponsel atau tablet yang kita gunakan juga harus mendukungnya pula. Kabar baiknya, Qualcomm bilang bahwa smartphone dan tablet dengan OS Android Pie bakal kebagian jatahnya di akhir tahun nanti. Bagaimana dengan pengguna iPhone? Saya cuma bisa bilang maaf Anda kurang beruntung.

Sumber: Qualcomm.

Beyerdynamic Lagoon ANC Siap Ramaikan Pasar Headphone Wireless Noise Cancelling

Sony WH–1000XM3 bukan satu-satunya calon penantang kuat Bose di segmen headphone wireless berteknologi noise cancelling yang menjalani debutnya di ajang IFA tahun ini. Produsen perangkat audio tertua di dunia, Beyerdynamic, rupanya juga memperkenalkan calon rival yang sepadan, yakni Lagoon ANC.

ANC, seperti yang kita tahu, adalah singkatan dari Active Noise Cancelling, di mana pemblokiran suara dilakukan secara sengaja dengan mengolah suara yang masuk dari mikrofon. Untuk Lagoon ANC, Beyerdynamic rupanya telah menerapkan sistem hybrid, di mana mikrofon yang bertugas menangkap suara untuk dieliminasi tak hanya ditempatkan di bagian luar saja, tapi juga di dalam masing-masing earcup.

Soal performa, Beyerdynamic belum merincikan unit driver yang digunakan headphone tipe over-ear ini seperti apa, tapi yang pasti respon frekuensinya berada di rentang 10 – 30.000 Hz. Dari catatan spesifikasinya pun kita juga bisa menduga kalau dimensi headphone ini masuk kategori cukup ringkas, mengingat bobotnya tercatat hanya 280 gram saja.

Beyerdynamic Lagoon ANC

Desainnya boleh dibilang sederhana, tapi masih kelihatan cukup premium. Pada earcup sebelah kanannya, kita bisa melihat kehadiran panel sentuh yang mendukung beragam gesture untuk mengoperasikan headphone, termasuk gesture untuk memanggil Google Assistant maupun Siri. Lagoon turut dilengkapi sensor yang akan mendeteksi apabila pengguna melepas headphone, lalu menghentikan musik secara otomatis, begitu juga sebaliknya, memutarnya kembali saat headphone dikenakan.

Namun atribut terunik Lagoon adalah sistem pencahayaan di bagian dalam kedua earcup-nya. Lho kok di dalam? Ya, sebab fungsinya sama sekali bukan untuk gaya-gayaan, melainkan untuk menjadi indikator buat pengguna. Contoh, saat headphone dinyalakan, lampu di earcup sebelah kiri akan menyala biru, sedangkan kanan menyala merah, demi memudahkan pengguna membedakan antara keduanya.

Contoh selanjutnya, saat menunggu untuk di-pair, lampunya akan berpenjar dalam warna biru dan berpindah dari satu earcup ke yang lain. Begitu berhasil tersambungkan dan siap digunakan, warnanya pun berganti menjadi oranye. Terakhir, ketika baterainya hampir habis, lampunya bakal menyala merah. Sekali lagi jangan samakan ini dengan sistem pencahayaan RGB, sebab fungsinya benar-benar berbeda.

Beyerdynamic Lagoon ANC

Bicara soal baterai, Lagoon ANC menjanjikan daya tahan sampai 24 jam dalam posisi noise cancelling aktif. Kalau dinonaktifkan, baterainya malah bisa bertahan hingga 46 jam pemakaian – sangat lama untuk ukuran headphone Bluetooth. Untuk charging, Lagoon telah memakai sambungan USB-C, sama seperti Sony WH–1000XM3.

Rencananya, Beyerdynamic Lagoon ANC akan dipasarkan mulai kuartal keempat tahun ini seharga 399 euro (± 6,9 juta). Varian warna yang bakal ditawarkan ada dua: kombinasi hitam dan biru, serta kombinasi abu-abu dan cokelat.

Sumber: Beyerdynamic dan The Verge.