Upaya Bindcover Efisienkan Proses Bisnis Asuransi untuk Perusahaan

Bindcover adalah platform insurtech yang mencoba memberikan kemudahan untuk pialang dan perusahaan asuransi untuk dapat saling terhubung.

Inspirasinya datang ketika Victor Roy selaku Founder & CEO Bindcover datang mengunjungi London tahun 2018. Di sana ada Lloyd’s, yakni sebuah market asuransi/risiko terbesar di dunia — konsepnya mirip bursa, hanya saja difokuskan untuk prospek asuransi. Di dalamnya mempertemukan broker/pialang asuransi dan perusahaan asuransi. Dari sana Lloyd’s mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan asuransi yang unik, mulai dari asuransi kapal Titanic sampai produk kendaraan listrik masa kini seperti Tesla.

Namun ketika mendalami proses bisnisnya, Victor melihat ada potensi digitalisasi yang dapat memberikan efisiensi. Ketika perusahaan hendak melakukan placement, dokumen yang harus disiapkan dan dibawa sangat banyak — bertemu secara face to face. Proses tersebut masih dirasa manual, komputerisasi hanya dilakukan pada tahap pencatatan.

Founder & CEO Bindcover Victor Roy / Bindcover

Pada saat pulang ke Indonesia, tercetuslah ide untuk Lloyd’s versi digital untuk menjadi wadah bagi pialang dan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya. Di pasar lokal pun, berdasarkan pengalaman Victor di industri asuransi sejak 2004, ia melihat bahwa ketika bisnis besar (terkenal dengan asuransi kebakaran) menginginkan produk asuransi prosesnya tidak bisa semudah mencari asuransi mobil atau jiwa. Misalnya untuk asuransi yang mampu meng-cover jaminan kecelakaan kebakaran di suatu pabrik — risiko tersebut unik dan perusahaan penyedia asuransi biasanya harus melakukan kalkulasi kustom untuk mengakomodasinya.

“Contohnya ada orang punya pabrik furnitur, ketika ingin mendapat produk asuransi kebakaran biasanya isu pertama yang dihadapi mereka bingung harus menghubungi siapa, ketika datang ke situs perusahaan asuransi pun kadang tidak bisa dihubungi untuk berdiskusi intens, bahkan tidak sedikit yang kesulitan mencari tahu perusahaan mana yang mau menyediakan produk asuransi tersebut karena kayu itu termasuk risiko tinggi. Ketika sudah dapat pun, kadang perhitungan harga juga tidak transparan — sulit mencari pembanding, karena risikonya unik,” jelas Victor.

Ia melanjutkan, “Begitu dapat pialang atau agen, biasanya dokumen yang harus disiapkan banyak sekali, mulai dari legalitas PT, ukuran bangunan, produksi dll. Dan ketika sudah selesai pemberkasannya, untuk dapat harga biasanya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Itulah pain point-nya, entri datanya susah, cari datanya susah, negosiasinya kompleks, harganya tidak transparan, hingga kapasitasnya kurang.”

“Dan pain point paling penting sebenarnya saat proses klaim. Karena jika kita melihat di situs, produk asuransi berlomba menjadi yang paling murah, padahal yang terpenting adalah bagaimana mereka menangani klaim,” imbuhnya.

Solusi yang dihadirkan Bindcover

Saat ini Bindcover telah tercatat dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK untuk klaster Insurance Broker Marketplace. Sesuai yang didefinisikan OJK, Insurance Broker Marketpalce adalah platform bersama yang bersifat tertutup dan diperuntukkan untuk komunitas badan usaha berizin asuransi; mulai dari pialang asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi.

Model bisnis insurance broker marketplace / OJK
Model bisnis insurance broker marketplace / OJK

Di dalam platform web Bindcover, terdapat banyak pialang dan perusahaan yang bisa mendaftar. Pialang dapat mengunggah berbagai prospek klien dengan risiko-risiko unik di dalamnya, kemudian perusahaan asuransi bisa melihat dan menimbang untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Semua proses administrasi tercatat dan didokumentasikan di platform — baik dari sisi pialang yang mengunggah data klien ataupun perusahaan yang mengelola transaksi. Tujuan utamanya, Bindcover ingin menjadi layanan “satu pintu”.

Fitur lain yang turut disuguhkan memungkinkan antara pialang dan perusahaan asuransi melakukan negosiasi di platform. Hal ini dinilai Viktor menjadi aspek penting karena terkait kepatuhan — bisnis asuransi adalah salah satu yang diregulasi ketat. Komunikasi yang disajikan pun menyeluruh. Misalnya, seorang pialang yang mengunggah profil risiko di platform bisa mengetahui perusahaan mana saja yang mengunduh data tersebut dan kapan, sehingga dapat melakukan follow-up lebih lanjut. Biasanya kalau melalui email atau telepon menjadi kurang terstruktur pencatatannya.

Bindcover juga tengah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menyediakan data pendukung dalam proses penilaian risiko suatu bisnis. Misalnya dengan melakukan crawling data-data dari internet yang relevan terkait dengan bisnis tertentu yang akan menjadi klien asuransi. Namun untuk saat ini manajemen risiko memang masih manual, baik pencatatan data dan analisisnya — khususnya untuk risiko yang nilainya besar.

Sudah dapat pendanaan pre-seed

Saat ini model bisnis Bindcover adalah B2B. Lebih lanjut Victor menceritakan, mereka punya dua revenue stream yang dijalankan. Pertama, mengenakan biaya per polis dengan nilai yang bergantung dari premi yang berhasil di-underwriting. Untuk polis yang bernilai di bawah 2 juta, Bindcover tidak mengenakan biaya.

Sementara model kedua, ada sharing fee dari pialang yang mendapatkan inquiry klien dari Bindcover. Tidak dimungkiri, dengan adanya layanan digital beberapa perusahaan juga mencoba memesan kebutuhannya melalui Bindcover. Namun demikian, karena bukan pialang (tidak memiliki lisensi broker), yang biasa dilakukan ialah meneruskan inquiry tersebut ke mitra yang terdaftar di platformnya.

“PT kami berdiri akhir 2018. Setahun setelahnya kami masih terus mencari bentuk dan mengembangkan platform, hingga pada Februari 2020 mendapatkan izin IKD dari OJK. Sayangnya setelah siap beroperasi malah dihadapkan dengan pandemi. Namun demikian di Juli 2020 soft-launching tetap diadakan. Setelah satu tahun berjalan, angkanya tidak jelek, sampai akhir Juli 2021 ada 18 perusahaan pialang yang masuk ke Bindcover dari total 159 yang ada; lalu ada 22 perusahaan asuransi dari 70 general insurance company yang ada di Indonesia. Secara bisnis yoy juga peningkatannya sampai 100%, ” ujar Victor.

Bindcover juga sudah mendapatkan pendanaan pre-seed pada Juli 2021 lalu dari Loyal Ventures yang berbasis di Kanada. Awal tahun 2022 ini perusahaan juga mulai melakukan penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis yang tengah dikerjakan.

“Selain itu tahun ini kami mau memastikan ke regulator bentuk yang lebih firm dari model bisnis ini, agar memiliki standpoint yang lebih jelas. Karena 2022 ini kami berencana ekspansi partnership ke B2B2C, salah satunya dengan masuk ke ekosistem finansial menggandeng perbankan. Selain itu, kami juga akan berkolaborasi dengan startup yang memiliki basis pengguna UMKM,” imbuh Victor.

Mantap bermain di segmen bisnis

Di saat insrutech lain berlomba memenangkan pasar konsumer dengan menghadirkan produk asuransi mikro atau digitalisasi keagenan, Bindcover memilih fokus ke segmen bisnis. Victor punya alasan kuat terkait hal ini.

“Saat ini GDP rata-rata kita $4000 per tahun, dari penghasilan yang ada belum ada kebutuhan untuk memiliki asuransi. Jarang ada orang yang nilai membeli asuransi tanpa di paksa. Selain dari sisi income, literasi finansial berkaitan dengan asuransi masih sangat rendah, kalau tidak salah di kisaran 14%. Bagi saya ini sulit, apalagi jika ingin masuk ke pasar yang lebih mikro di daerah. Mungkin momentumnya di beberapa tahun lagi. Sementara untuk segmen bisnis, secara mendasar kebutuhan proteksi bakalan ada; dengan daya beli yang stabil juga,” ujarnya.

Victor juga mencoba melihat dari kebutuhan pasar di global, platform ini berpotensi untuk dibawa ke kancah regional. Pasalnya kondisinya saat ini baru ada 70an perusahaan asuransi dan 5 perusahaan reasuransi di Indonesia. Saat kapasitasnya kurang, maka pemain dari luar dapat masuk ke Indonesia. Ini akan menjadi fokus berikutnya dari Bindcover, mengembangkan reasuransi — saat ini juga masih mengeksplorasi perizinannya. Menarinya ke beberapa negara aksesnya juga sudah terbuka, misalnya Jepang, Australia, dan Amerika Serikat yang akan memudahkan saat melakukan ekspansi bisnis.

OJK Mencabut Status Tercatat 18 Platform Fintech dari Daftar Inovasi Keuangan Digital

Otortias Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mengumumkan pencabutan status atas Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) kepada 18 perusahaan digital. Aksi ini dilakukan sejak Juli 2020 hingga Juni 2021.

Beberapa nama yang statusnya dicabut di antaranya PropertiLord yang sebelumnya terdaftar di IKD sebagai property investment management; DuitPintar, ALAMI dari klaster aggregator; Ponsel Duit dari financial planner; hingga GoBear dari aggregator [diketahui bisnis GoBear di Indonesia memang sudah dihentikan].

Ada tiga landasan otoritas dalam mencabut status tersebut. Pertama, ada perubahan model bisnis, proses bisnis, kelembagaan, dan operasional IKD yang dimiliki perusahaan terkait. Kedua, penyelenggara mengembalikan surat penetapan atas status tercatat yang dimiliki. Dan ketiga, penyelenggara melakukan pelanggaran ketentuan peraturan.

Sebelumnya diketahui, IKD tercantum dalam beleid POJK No. 13/POJK.02/2018. Di dalamnya berisi pemain digital yang sedang dalam proses penelitian dan pendalaman model bisnis melalui mekanisme regulatory sandbox. Apabila proses penelitian telah selesai, Penyelenggara IKD dimungkinkan untuk melanjutkan ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Inovasi layanan fintech memang cukup pesat dalam 10 tahun terakhir, ragam layanan diluncurkan untuk memfasilitasi kemudahan transaksi keuangan. Sayangnya, belum semua jenis bisnis terakomodasi regulasi. Untuk mengimbangi laju teknologi yang cepat, mekanisme regulatory sandbox dihadirkan, baik oleh OJK maupun Bank Indonesia sebagai perwakilan pemerintah yang bertugas menaungi industri keuangan.

Berdasarkan pemetaan layanan dalam Fintech Report 2020, saat ini ada banyak lebih dari 20 jenis layanan finansial yang model bisnisnya tercatat oleh regulator. Di klaster IKD sendiri, ada 16 model bisnis yang diamati sejak Agustus 2020, termasuk di dalamnya insurtech dan regtech.

Klaster model bisnis fintech di Indonesia

Hadirnya otoritas dalam industri fintech tentu penting, salah satu fungsi yang paling signifikan ialah meneggakan aturan untuk melindungi konsumen itu sendiri. Di sisi lain, industri fintech memeng sangat diperlukan di Indonesia, untuk memfasilitasi kalangan undeserverd dan unbankable yang jumlahnya masih cukup signifikan – sembari memberikan pemahaman yang lebih baik tentang literasi keuangan.

Survei AFTECH: Pandemi Berdampak Besar pada Perubahan Strategi Bisnis Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan sebanyak 69% anggotanya terkena dampak akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga kini. Dalam survei yang diselenggarakan secara tahunan ini, responden menyatakan setidaknya ada lima dampak yang begitu terasa.

Mulai dari penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis fintech; penurunan penjualan untuk beberapa model bisnis; tantangan operasional, termasuk produktivitas dan efisiensi yang lebih rendah; kesulitan dalam penggalangan dana; dan penundaan ekspansi bisnis.

Kemudian sebanyak 9% responden, termasuk beberapa perusahaan pinjaman online dan pembayaran digital, mengaku mendapatkan pengguna dan peluang bisnis baru selama pandemi. Sisanya, sebanyak 22% responden menyatakan saat ini bisnis tidak beroperasi penuh.

Survei ini diikuti oleh 52 responden yang merupakan anggota AFTECH yang diselenggarakan pada akhir Maret (awal PSBB diberlakukan) dan Juni (di tengah periode pandemi). Adapun, survei ini merupakan bagian dari Annual Member Survey 2019/2020 yang dilakukan secara rutin oleh AFTECH dan diikuti oleh 154 responden.

Lebih jauh hasil survei dipaparkan oleh Ketua Umum AFTECH Niki Luhur dalam konferensi pers secara virtual, dijabarkan bahwa untuk perluasan model bisnis, responden menyatakan sebelum pandemi terjadi telah merencanakan untuk perluas model bisnis (87%). Akan tetapi, pada pandemi memutuskan untuk menundanya (59%) dan ada yang menjawab tetap melanjutkan (41%).

Berikutnya, untuk penurunan bisnis dikatakan ada gap yang tinggi. Sebanyak 33% responden mengaku memiliki total nilai transaksi lebih dari Rp80 miliar, sedangkan 24% sisanya memiliki total transaksi di bawah Rp500 juta. “Selama pandemi, total nilai transaksi telah menurun dikarenakan adanya penurunan jumlah pengguna di beberapa model bisnis tekfin dan berkurangnya aktivitas ekonomi,” kata dia, Kamis (10/9).

Rencana penggalangan investasi juga terjadi penundaan. Dalam survei dikatakan sebelum pandemi, 46% responden mencoba meningkatkan investasi, sedangkan 25% telah meningkatkan investasi sebanyak yang dibutuhkan, dan 2% telah menghimpun lebih dari yang dibutuhkan.

Sumber dana investasi yang mereka incar adalah PE (28%), bootstrapping (23%), angel investor (19%), venture capital (13%), dan sisanya menjawab teman & keluarga, pemerintah, dan IPO. Adapun rata-rata total investasi yang dihimpun oleh para startup ini berkisar antara Rp500 juta hingga Rp35 miliar. “Oleh karenanya, mayoritas responden tekfin tergolong series A dan kategori di atasnya.”

Dalam menyikapi perubahan strategi di atas, para responden ini telah melakukan sejumlah langkah mitigasi. Jawaban yang paling banyak dipilih adalah penguatan pengelolaan kas (43%); perubahan model bisnis (9%); pemutusan hubungan kerja (9%); penundaan ekspansi bisnis dan pemberlakuan cuti yang tidak dibayar dan pemotongan gaji (masing-masing 2%).

Meski bisnis mereka menurun, namun dikatakan pandemi ini telah mendorong adopsi layanan fintech di beberapa model bisnis, termasuk pembayaran digital dan pinjaman online. Menurut data BI, jumlah instrumen e-money yang digunakan mengalami peningkatan.

Pada April 2020, jumlahnya mencapai 412 juta transaksi atau tertinggi sepanjang masa. Sementara jumlah pinjaman online yang disalurkan pada Juni 2020 mencapai Rp113,46 triliun, naik 152,23% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Survei AFTECH mencatat ada 55 inisiatif untuk pemulihan ekonomi nasional. Untuk UKM, inisiatif tersebut difokuskan pada pengurangan biaya operasional, melalui penerapan suku bunga lebih rendah, penyediaan fasilitas transfer gratis, tanda tangan digital gratis, diskon tagihan bulanan, dan merchant discount rate 0%. Berikutnya, program konsultasi keuangan gratis, relaksasi pinjaman, dan bebas biaya layanan untuk berbagai proyek (terutama di sektor kesehatan).

Sementara untuk masyarakat umum inisiatif tersebut, di antaranya fleksibilitas pada penyediaan jasa keuangan, pemberian dukungan APD, dan pemberian nasihat keuangan pribadi secara cuma-cuma.

Survei lanjutan

Dalam paparannya, Niki mengatakan sejak AFTECH diresmikan pada 2016 hingga sekarang jumlah anggotanya tumbuh drastis. Menjadi 362 perusahaan pada kuartal dua tahun ini dari awalnya 24 perusahaan di 2016. Anggota ini mayoritas diisi oleh pinjaman online (44%), IKD (24%), pembayaran digital (17%), dan layanan urun dana (1%).

Terdapat lebih dari 23 jenis solusi fintech yang tersedia di pasar, dari awalnya hanya pembayaran digital dan pinjaman online kini mencakup agregator, innovative credit scoring, perencana keuangan, layanan urun dana, dan project financing. AFTECH sendiri kini sekaligus menaungi IKD, data OJK teranyar mengatakan ada 86 IKD yang berstatus terdaftar dan terbagi menjadi 18 klaster regulatory sandbox.

Niki juga menuturkan bahwa pembayaran digital telah mencapai tahap “mature” dibandingkan jenis bisnis lainnya. Sementara pinjaman online baru memasuki tahap “mature” pada 2019. Sisanya, layanan fintech yang masuk ke dalam klaster IKD dan ECF (layanan urun dana) masih dalam tahap “growth”.

Menurut survei, fintech paling banyak melayani segmen masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak 32% responden menyebutkan penggunanya adalah individu dengan pendapatan bulanan berkisar Rp5 juta-Rp15 juta (32%) dan di bawah Rp5 juta (22%). Kalangan usianya adalah 25-34 tahun (39%), 35-50 tahun (30%), dan 18-24 tahun (20%).

Wilayah operasional Jabodetabek tetap menjadi pangsa pasar utama para pemain tekfin (41%), kemudian diikuti oleh Bandung, Surabaya, dan Medan. Meski masih terkonsentrasi di kota besar, pasar telah menjangkau di wilayah luar Jawa (23%).

Salah satu hasil survei yang cukup menarik untuk disimak adalah terkait infrastruktur dan teknologi. Dikatakan bahwa ada lima infrastruktur terbesar di sektor fintech, yakni e-KYC (20,26%), infrastruktur cloud (17,37%), open banking API (16,05%), payment gateway (14,21%), dan fraud database (11,84%).

Akan tetapi, responden menyatakan dalam pengadaan infrastruktur tersebut masih terdapat tantangan. Tiga tantangan utamanya adalah biaya yang mahal (31%), hambatan regulasi (27%), dan infrastruktur dasar yang belum memadai (15%).

Berikutnya, dari sisi kesenjangan talenta yang sesuai kebutuhan, terutama untuk pekerjaan bidang data and analytics (23%), pemrograman (20%), dan manajemen risiko (15%). Terlepas dari kesenjangan tersebut, 67% responden menyatakan tidak memperkerjakan talenta asing.

Mereka justru menjawab tantangan tersebut dengan melakukan in-house training (27%), merekrut talenta dari lembaga keuangan (19%), dan merekrut dari perusahaan serupa (18%).