Super Data Report: Industri Game 2020 Tumbuh 12%, Jumlah Penonton Konten Game Capai 1,2 Miliar Orang

Bagi pelaku industri game, pandemi virus corona pada 2020 juga membawa berkah di balik musibah. Jika dibandingkan dengan pada 2019, industri game pada 2020 tumbuh 12%, menurut laporan Super Data. Pada Januari dan Februari 2020, pertumbuhan industri game hanya mencapai 6%. Setelah lockdown mulai diberlakukan di berbagai negara pada Maret 2020, angka ini lalu naik menjadi 14%.

Pemasukan industri game tumbuh pesat di kawasan Amerika Utara dan Eropa. Tak heran, sekitar 55% masyarakat di Amerika Serikat mengaku bahwa mereka menghabiskan waktunya selama lockdown fase pertama dengan bermain game. Alasan masyarakat AS bermain game beragam, mulai dari untuk menghilangkan rasa bosan atau mengisi waktu, sebagai pelarian dari kenyataan, sampai untuk bersosialisasi.

Pada 2020, kebiasaan membeli game dari para gamer juga akan berubah. Mereka jadi lebih sering membeli game secara digital. Pasalnya, pandemi menyebabkan banyak toko game lokal tutup. Selain itu, pengiriman game fisik — berupa disc dan cartrdige — juga tertunda akibat pandemi. Menurut Super Data, sekitar 27% gamer di AS menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli game digital. Sebaliknya, sekitar 29% gamers AS mengeluarkan uang lebih sedikit untuk membeli game secara fisik.

 

Industri Game Free-to-Play

Pemasukan industri game digital pada 2020 diperkirakan mencapai US$126,5 miliar, berdasarkan laporan dari Super Data. Game gratis alias free-to-play menyumbangkan US$98,4 miliar, sekitar 78%, pada total pemasukan industri game digital pada tahun lalu. Meskipun begitu, pertumbuhan pemasukan game gratis hanya mencapai 9%. Sebagai perbandingan, pendapatan dari game premium naik hingga 28%.

Pemasukan industri game free-to-play. | Sumber: Super Data
Pemasukan industri game free-to-play. | Sumber: Super Data

Dalam segmen game free-to-play, mobile masih mendominasi. Buktinya, pemasukan dari mobile game gratis mencapai sekitar US$73,8 miliar. Sementara itu, game PC free-to-play memberikan kontribusi sebesar US$22,7 miliar dan konsol US$1,8 miliar. Dari segi wilayah, segmen game free-to-play tumbuh pesat di Asia. Sekitar 59% pemasukan game gratis berasal dari benua terbesar tersebut.

Dalam daftar 10 game free-to-play terpopuler, 8 di antaranya merupakan mobile game. Honor of Kings — yang diluncurkan dengan nama Arena of Valor secara global — menjadi game free-to-play dengan pemasukan terbesar pada tahun lalu. Game milik Tencent itu mendapatkan US$2,45 miliar pada 2020. Sementara posisi kedua diduduki oleh Peacekeeper Elite, alias PUBG Mobile, dengan pemasukan US$2,32 miliar. Pada 2020, League of Legends menjadi game gratis non-mobile dengan pemasukan terbesar. Game buatan Riot Games itu duduk di peringkat enam dengan pemasukan US$1,75 miliar.

10 game free-to-play terpopuler pada 2020. | Sumber: Super Data
10 game free-to-play terpopuler pada 2020. | Sumber: Super Data

Secara umum, mobile game juga memberikan kontribusi besar pada industri game. Tahun lalu, sekitar 58% dari total pemasukan industri game berasal dari segmen mobile game. Tak hanya itu, industri mobile game juga masih tumbuh. Pada 2020, industri mobile game mengalami pertumbuhan 10% dari tahun 2019. Menariknya, mobile gamer di Barat dan Timur punya genre favorit yang berbeda. Para gamer di Amerika Utara dan Eropa lebih senang bermain game kasual seperti Pokemon Go dan Candy Crush Saga di platform mobile. Sementara gamer Asia lebih memilih untuk memainkan game yang lebih kompetitif, seperti Free Fire.

 

Industri Game Premium

Sama seperti industri game free-to-play, industri game premium juga naik pada 2020. Tahun lalu, industri game premium bernilai US$24,5 miliar, naik 28% dari tahun sebelumnya. Dengan pendapatan sebesar US$1,9 miliar, Call of Duty: Modern Warfare menjadi game premium yang memiliki pemasukan terbesar pada tahun lalu. Sementara itu, FIFA 20 duduk di posisi kedua dengan pemasukan US$1,08 miliar dan Grand Theft Auto di posisi ketiga dengan US$911 juta.

Pemasukan industri game premium. | Sumber: Super Data
Pemasukan industri game premium. | Sumber: Super Data

Super Data menyebutkan, salah satu hal yang mendorong pemasukan Modern Warfare adalah peluncuran mode battle royale pada Maret 2020. Setelah mode yang dinamai Warzone itu diluncurkan, jumlah pemain Modern Warfare naik. Alasannya karena Warzone bisa dimainkan secara gratis. Meskipun begitu, sebagian pemain Warzone juga tetap mengeluarkan uang untuk membeli item. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga berakhir membeli Modern Warfare.

Dari 10 game premium dengan pemasukan terbesar pada 2020, 4 di antaranya merupakan game olahraga. Tren ini muncul karena banyak kompetisi olahraga yang harus ditunda atau dibatalkan sepanjang tahun lalu. Bermain game olahraga, atau menonton pertandingan esports olahraga, menjadi salah satu cara gamer untuk melampiaskan kerinduan mereka akan kompetisi olahraga di dunia nyata. Berdasarkan data dari Super Data, sekitar 36% gamers mengaku, mereka bermain game karena tidak bisa menonton bioskop atau pertandingan olahraga.

10 game premium terpopuler pada 2020. | Sumber: Super Data
10 game premium terpopuler pada 2020. | Sumber: Super Data

Pada 2020, game single-player juga masih diminati. Buktinya, DOOM Eternal masuk dalam daftar 10 game dengan pemasukan terbesar pada 2020. Game itu terjual sebanyak 3 juta unit saat peluncuran, 3 kali lipat lebih banyak dari pendahulunya.

 

Jumlah Penonton Konten Gaming Naik

Pandemi tidak hanya membuat orang-orang menjadi semakin sering bermain game, tapi juga menonton konten game. Jumlah penonton konten game pada 2020 naik 18% menjadi 1,2 miliar orang. Party game yang bisa dimainkan oleh banyak orang, seperti Fall Guys: Ultimate Knockout dan Among Us, menjadi salah satu genre favorit di kalangan penonton konten gaming.

Jumlah penonton berbanding lurus dengan pemasukan industri konten gaming. Seiring dengan naiknya jumlah penonton pada 2020, total pemasukan industri konten gaming juga naik. Pada 2020, total pemasukan industri konten gaming diperkirakan mencapai US$9,3 miliar. Twitch menguasai 22% dari total pemasukan konten gaming, sementara YouTube menguasai 18%. Sebesar 60% sisanya dikuasai oleh berbagai platform streaming game lain, seperti Facebook Gaming serta DouYu dan Huya dari Tiongkok.

Pembagian pangsa pasar platform streaming game pada 2020. | Sumber: Super Data
Pembagian pangsa pasar platform streaming game pada 2020. | Sumber: Super Data

Meskipun jumlah audiens konten gaming bertambah pada tahun lalu, platform streaming dari Microsoft, Mixer, justru harus berhenti beroperasi. Tutupnya Mixer berarti sejumlah streamers populer — seperti Tyler “Ninja” Blevins dan Michael “Shroud” Grzesiek — kembali untuk melakukan streaming di Twitch. Sementara itu, di Tiongkok, dua platform streaming game terbesar, Huya dan DouYu, setuju untuk melakukan merger.

 

Industri Game Augmented Reality dan Virtual Reality

Sayangnya, pada 2020, pengiriman headset VR justru mengalami penurunan sebesar 15%. Hal ini terjadi akibat pandemi yang membuat pasokan headset VR tersendat. Selain itu, segmen VR mobile premium — mencakup Samsung Gear VR dan Google Daydream — juga dianggap mati. Samsung mengungkap, mereka akan mematikan layanan VR mereka per September 2020. Sementara Google mengaku, mereka akan berhenti memberikan update untuk Daydream. Tak berhenti sampai di situ, penjualan PlayStation VR juga turun karena tidak ada konten baru yang dirilis.

Total penjualan headset VR dan game VR. | Sumber: Super Data
Total penjualan headset VR dan game VR. | Sumber: Super Data

Kabar baiknya, total penjualan headset VR naik 19% berkat Oculus Quest 2. Selain itu, orang-orang yang sudah memiliki headset VR menghabiskan waktu lebih banyak untuk menggunakan headset itu pada tahun lalu. Sementara pemasukan game VR juga naik 25% pada 2020. Peluncuran Half-Life Alyx menjadi faktor utama yang membuat pemasukan game VR naik. Game PC itu terjual sebanyak 1,9 juta unik dalam waktu 6 bulan setelah diluncurkan.

Twitch Blokir Akun Donald Trump, Epic Games Akuisisi Rad Game Tools

Minggu lalu, perusahaan-perusahaan di industri game dan esports membuat berbagai pengumuman, mulai dari investasi yang mereka dapatkan sampai akuisisi yang mereka lakukan. Misalnya, Epic Games mengungkap, mereka telah membeli Rad Game Tools. Sementara itu, Juked menyebutkan, mereka mendapatkan US$1,07 juta dari kampanye crowdfunding mereka.

Twitch Blokir Akun Presiden AS Donald Trump

Twitch memblokir akun Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk sementara. Kali ini adalah kedua kalinya Twitch melakukan hal itu. Twitch bukan satu-satunya platform yang memblokir akun Trump. Pada Rabu, 6 Januari 2021, Twitter memblokir akun Trump, sementara Facebook dan Instagram melakukan hal yang sama pada Kamis, 7 Januari 2021, menurut laporan Games Industry.

Alasan Twitch dan berbagai perusahaan media sosial memblokir Trump sama. Mereka khawatir, retorika Trump akan membuat para pendukungnya semakin panas. Pasalnya, pada minggu lalu, pendukung Trump berbondong-bondong ke Washington DC dan menduduki Gedung Capitol saat anggota Kongres akan mengesahkan hasil pemilu.

Dapat Investasi, Roblox akan Lakukan Direct Listing

Dalam ronde pendanaan terbarunya, Roblox berhasil mengumpulkan investasi sebesar US$520 juta. Mereka juga mengungkap, mereka tetap berencana untuk menjadi perusahaan publik. Hanya saja, mereka tidak akan melakukan penawaran saham perdana (IPO). Sebagai gantinya, mereka akan menjual saham secara langsung via direct listing.

Roblox akan melakukan direct listing dan bukannya IPO.
Roblox akan melakukan direct listing dan bukannya IPO.

Ketika perusahaan melakukan IPO, mereka harus menggunakan jasa makelar alias underwriters. Tugas underwriters adalah menetapakn harga saham perusahaan yang melakukan IPO. Sementara itu, direct listing memungkinkan perusahaan untuk langsung menjual sahamnya.

Seperti yang disebutkan oleh VentureBeat, salah satu keuntungan direct listing jika dibandingkan dengan IPO adalah biaya yang lebih kecil. Sayangnya, Roblox belum mengungkap kapan mereka akan melakukan direct listing.

Epic Games Akuisisi Rad Game Tools

Minggu lalu, Epic Games mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Rad Game Tools. Bermarkas di Washington, Amerika Serikat, Rad Game Tools membuat berbagai program untuk developer game, seperti video codec Bink, kompresi data Oodle, dan visualisasi performa Telemetry. Epic mengungkap, tim Rad akan bekerja sama dengan tim Epic yang bertanggung jawab atas animasi, audio, rendering, dan juga insight.

“Kerja sama antara tim Rad dan Epic akan memudahkan developer untuk mendapatkan akses ke berbagai program yang membuat proses download dan loading dari game mereka menjadi lebih cepat,” kata Epic, seperti dikutip dari Games Industry. “Tak hanya itu, program-program yang kami tawarkan juga akan membantu developer untuk membuat game dengan gameplay dan kualitas video yang lebih baik.”

Juked Dapatkan US$1,07 Juta dari Kampanye Crowdfunding

Portal konten esports online, Juked.gg, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan US$1,07 juta dari kampanye crowdfunding yang mereka buka pada September 2020. Untuk melakukan kampanye crowdfunding ini, mereka menggunakan platform investasi Republic dari OpenDeal. Secara keseluruhan, ada 2,5 ribu orang yang ikut dalam kampanye crowdfunding dari Juked.gg.

Juked.gg telah menutup kampanye crowdfunding mereka. | Sumber: The Esports Observer
Juked.gg telah menutup kampanye crowdfunding mereka. | Sumber: The Esports Observer

Juked mengungkap, mereka akan menggunakan dana yang mereka dapatkan untuk menambah staf mereka. Saat ini, mereka hanya memiliki enam pekerja. Dengan menambah jumlah pegawai mereka, Juked berharap mereka akan bisa mempercepat proses pengembangan produk mereka, mulai dari situs, aplikasi, sampai konten orisinal, menurut laporan The Esports Observer.

Nintendo Produksi Switch di Malaysia, PS5 Jadi Konsol Paling Laku Saat Peluncuran

Dalam satu minggu terakhir, ada beberapa berita menarik seputar industri game. Salah satunya, PlayStation mengumumkan, penjualan PS5 pada dua minggu sejak peluncuran telah melampaui angka penjualan PS4 pada periode yang sama. Selain itu, Nintendo juga akan mulai memproduksi Switch di Malaysia.

PS5 Jadi Konsol Paling Laku Pada Awal Peluncuran

Dalam waktu dua minggu sejak peluncuran, total penjualan PlayStation 5 telah melampaui total penjualan PlayStation 4 saat ia pertama kali diluncurkan. Dengan begitu, konsol terbaru dari Sony itu menjadi konsol paling laku pada paluncuran.

“Kami berterima kasih pada semua gamer di dunia karena menjadikan peluncuran PS5 sebagai peluncuran konsol terbesar sepanjang sejarah,” kata PlayStation seperti dikutip dari GamesIndustry. “Permintaan akan PS5 sangat tinggi, jadi, kami hendak mengonfirmasi bahwa PS5 sudah akan tersedia di penjual retail sebelum akhir tahun 2020.”

Pada 2013, ketika PS4 diluncurkan, Andrew House — yang ketika itu menjabat sebagai CEO PlayStation — mengungkap bahwa dalam dua minggu, PS4 telah terjual sebanyak 2,1 juta. Dia menyebutkan, hal itu merupakan rekor tersendiri, baik untuk PlayStation maupun industri gaming konsol.

Nintendo Juga Produksi Switch di Malaysia

Selama ini, Nintendo memproduksi Switch di Tiongkok. Sekarang, mereka juga akan mulai memproduksi konsol itu di Malaysia. Untuk membuat Switch di Malaysia, Nintendo menggandeng Sharp Corp. Tujuan Nintendo adalah untuk memastikan permintaan Switch akan terpenuhi di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, lapor Egg Network.

Nintendo Switch kini juga akan diproduksi di Malaysia.
Nintendo Switch kini juga akan diproduksi di Malaysia. | Sumber: Wikipedia

Alasan mengapa Nintendo menunjuk Sharp untuk produksi Switch di Malaysia adalah karena Foxconn Technology, yang merupakan rekan utama Nintendo dalam produksi Switch, memiliki saham di Sharp. Tak hanya itu, Foxconn juga membantu untuk menghubungkan Nintendo dengan Sharp.

Pandemi virus corona sempat mengganggu proses produksi Switch. Namun, Presiden Nintendo, Shuntaro Furukawa mengatakan, sekarang, proses produksi Switch telah kembali normal. Keputusan Nintendo untuk memproduksi Switch di Malaysia tidak aneh. Bahkan sebelum pandemi sekalipun, Nintendo memang berencana untuk tidak memusatkan produksi konsol mereka.

Pangeran Arab Saudi Beli Saham SNK

Mohammad bin Salman Charity Foundation baru saja membeli 33,3% saham dari perusahaan game Jepang, SNK, seharga 813 juta riyals (sekitar Rp3 triliun). Investasi tersebut dilakukan melalui cabang perusahaan Electronic Games Development Company. Memang, sebelum ini, perusahaan tersebut telah bekerja sama dengan SNK dalam pengembangan game dan program pelatihan.

Ke depan, badan amal milik Pangeran Arab Saudi Mohammad bin Salman itu akan membeli 17,7% saham SNK. Dengan begitu, mereka akan menguasai 51% saham dari perusahaan game tersebut.

Pada awalnya, kabar pembelian saham ini membuat nilai saham SNK naik. Namun, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry, di masa depan, keputusan SNK untuk menjual sahamnya ke pangeran Arab Saudi bisa menjadi senjata makan tuan dan menyebabkan kontroversi. Pasalnya, Arab Saudi dan para pemimpinnya terlibat dalam berbagai skandal terkait hak asasi manusia.

Roblox Lakukan IPO

Roblox, platform game yang kontennya dibuat oleh para penggunanya, baru saja melakukan penawaran saham perdana (IPO) di pasar saham Amerika Serikat. Sayangnya, mereka tidak menyebutkan berapa target modal yang mereka ingin dapatkan. Pada Februari 2020, Roblox mendapatkan investasi sebesar US$150 juta dari Andreessen Horowitz. Ketika itu, valuasi Roblox mencapai US$4 miliar.

Sekarang, platform Roblox memiliki lebih dari 31,1 juta pengguna aktif harian. Sebagai perbandingan, pada 2019, jumlah pengguna aktif harian mereka hanya 17,6 juta dan pada 2018, 12 juta orang. Per September 2020, ada 7 juta developer yang telah membuat lebih dari 18 juta game di Roblox. Hingga 30 September 2020, total jam game dimainkan di Roblox mencapai 22,2 miliar jam, naik dari 10 miliar jam pada periode yang sama pada 2019, lapor VentureBeat.

Game dalam Roblox dibuat oleh para penggunanya. | Sumber: VentureBeat
Game dalam Roblox dibuat oleh para penggunanya. | Sumber: VentureBeat

Menurut Sensor Tower, sejak 2014, Roblox telah diunduh sebanyak 447,8 juta kali dan mendapatkan US$2 miliar dari para pemainnya. Sementara itu, sejak awal 2020 sampai 30 September 2020, pemasukan Roblox mencapai US$588,7 juta, naik dari US$349,9 juta pada tahun 2019. Meskipun begitu, mereka masih mengalami kerugian sebesar US$203,2 juta. Roblox menyebutkan, salah satu alasan mengapa mereka bisa tumbuh pesat adalah pandemi yang membuat banyak orang harus tetap diam di rumah.

Memang, game merupakan salah satu industri yang diuntungkan oleh pandemi. Pada September 2020, perusahaan pembuat game engine, Unity melakukan IPO. Nilai perusahaan itu mencapai US$13,6 miliar, walau mereka masih mengalami kerugian.

Supercell Investasi di Developer Selandia Baru, 2UP Games

Developer Clash of Clans, Supercell, menanamkan investasi sebesar US$2,8 juta di studio game baru, 2UP Games. Developer tersebut punya markas di Selandia Baru. Namun, mereka kini menetapkan sistem remote-first, sehingga mereka punya staf dari berbagai negara. Investasi ini menjadi investasi pertama Supercell di kawasan Selandia Baru.

2UP Games akan fokus untuk mengembangkan co-op game di platform mobile. Harapannya, game buatan mereka akan bisa meraih kesuksesan layaknya Clash of Clans. 2UP Games didirikan oleh Joe Raeburn dan Tim Knauf. Raeburn adalah game lead dalam pengembangan game Samurai Siege dan Rival Kingdoms. Sementara Knauf pernah bekerja di Weta Workshop dan Magic Leap sebelum mendirikan 2UP.

“Kami bangga karena dapat mendukung 2UP Games merealisasikan misi mereka, yaitu menyatukan gamer di seluruh dunia melalui co-op game,” kata Developer Relations Lead, Supercell, Jaakko Harlas, menurut laporan GamesIndustry. “Berdasarkan apa yang kami lakukan selama ini, kami sadar bahwa membuat fitur co-op dalam game mendorong interaksi para gamer. Co-op juga menjadi salah satu fitur paling penting untuk membuat gamer terus memainkan sebuah game.”

Sumber header: Pocket-Lint

Menyimak Proses Pengembangan Wild Rift Dulu, Kini, dan Nanti.

Saya mewakili tim redaksi Hybrid.co.id kebetulan cukup beruntung untuk dapat mendengar cerita tersebut langsung dari dua orang yang memimpin pengembangan Wild Rift yaitu Brian Feeney (Riot Feralpony) selaku Design Director Wild Rift dan Michael Chow selaku Executive Producer Wild Rift.

Tanggal 15 Oktober 2019 lalu, Riot Games membuat banyak gamers terkejut pasca acara perayaan ulang tahun ke-10 Riot Games dan League of Legends. Pengumuman banyak game dengan berbagai genre menjadi hal yang mengejutkan dari Riot Games karena mereka diingat sebagai developer yang hanya fokus pada League of Legends saja selama 10 tahun terakhir. Dari jajaran game yang diumumkan, Wild Rift sebagai versi mobile League of Legends jadi yang paling ditunggu oleh gamers tanah air.

Rumor kehadiran League of Legends untuk platform mobile memang sudah lama simpang siur di komunitas. Sempat ada kabar angin yang mengatakan bahwa Tencent selaku pemilik sebagian saham Riot Games pernah meminta Riot Games membuatkan League of Legends untuk platform mobile beberapa tahun silam. Namun Riot Games tidak setuju dengan hal tersebut yang akhirnya membuahkan dua MOBA Mobile besutan Tencent sendiri yaitu Arena of Valor untuk pasar global dan Honor of Kings untuk pasar Tiongkok.

Pendek cerita, League of Legends Mobile (Wild Rift) yang telah lama didamba akhirnya hadir menjadi pengisi waktu luang di keseharian kita. Namun proses untuk menuju titik ini tidak pendek. Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh tim developer Riot Games demi menyajikan Wild Rift ke muka publik.

 

Cerita Proses Pengembangan Wild Rift.

Apabila Anda adalah pemain yang berkali-kali protes karena merasa proses pengembangan Wild Rift terasa lambat, Anda harus ingat bahwa Riot Games adalah perusahaan pengembang game PC selama 10 tahun belakangan. “Tidak bisa dipungkiri bahwa kami adalah perusahaan game PC yang membuat, mengembangkan, serta membangun komunitas game PC. Kami juga tidak menyangkal bahwa kami cenderung lambat mengikuti tren di pasar game mobile,” jawab Brian Feeney menanggapi pendapat orang-orang soal lamanya proses perkembangan Wild Rift.

Lebih lanjut, Brian menceritakan bahwa dirinya dan tim sudah mengerjakan proyek Wild Rift sejak dari 3 tahun lalu. “Titah” pertama yang ia terima saat memulai proyek Wild Rift kurang lebih adalah, “Hey! Coba buat League of Legends untuk platform mobile dengan durasi permainan yang lebih pendek tapi ‘feelgameplay-nya harus sama seperti League versi PC,” cerita Brian seraya menirukan perintah yang ia terima ketika itu.

“Perintah tersebut terasa tidak masuk akal awalnya. Bagaimana cara membuat seperti apa yang diperintahkan tersebut?” Brian melanjutkan ceritanya seraya menggambarkan apa yang ada di kepalanya saat menerima titah tersebut.

“Namun pada akhirnya kami menjawab tantangan itu. Kami (Tim pengembang Wild Rift) putuskan untuk duduk bersama selama kurang lebih 3 bulan fokus membuat purwarupa Wild Rift seraya mencari tahu apakah kami benar bisa membuat seperti apa yang diminta.” Lanjut Brian menceritakan awal-awal pengembangan Wild Rift.

“Seiring waktu kami menemukan bahwa proses tersebut terasa sangat menyenangkan. Awalnya memang kami memang perlu meyakinkan diri lebih dulu. Tapi seiring proses berjalan kami akhirnya yakin bahwa membuat League of Legends di mobile tidak mustahil dan akan ditunggu-tunggu oleh kalian para gamers,” tutup Brian menceritakan kisah awal tim pengembang dalam membuat Wild Rift.

Brian lalu menjelaskan bagaimana proses pembuatan dari Wild Rift itu sendiri. Ia mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa butuh proses lama untuk membuat Wild Rift adalah karena fokus mereka dalam merancang game-nya terlebih dahulu.

“Menurut saya salah satu alasan yang membuat pengembangan Wild Rift butuh proses lama karena fokus awal kami untuk merancang gameplay Wild Rift terlebih dahulu. Ketika memulai pengembangan Wild Rift, saya dan tim mengerahkan seluruh energi untuk memastikan bahwa gameplay, champion, dan semua aspek di dalam game terasa solid.”

Penjelasan Brian mungkin terasa abstrak tapi gambarannya mungkin seperti ini. Pertama, mengecilkan map League of Legends di PC untuk Wild Rift di mobile tidak sesederhana seperti resize foto yang tinggal drag saja. Mengecilkan map bisa berarti menata ulang tatak letak elemen permainan seperti Turret, Dragon, Baron, ataupun tata letak monster Jungle. Bahkan pada Announcement Trailer di atas, Anda bisa lihat sendiri Riot Games mengatakan ada proses “Rebuilt” untuk Wild Rift yang bisa berarti membuat semua elemen game dari ulang.

Kedua, memendekkan durasi permainan dari 25-35 menit menjadi sekitar 15-25 menit juga tidak mudah. Game designer harus memikirkan beberapa aspek. Salah satu contoh yang saya bayangkan adalah memikirkan berapa rasio tepat antara Hit Points Turret dengan damage yang diberikan Champion agar permainan bisa selesai pada durasi yang diperkirakan. Tentunya masih ada banyak elemen lain lagi yang harus dipikirkan ketika ingin memendekkan durasi permain selain dari sekadar rasio HP Turret dengan damage Champion.

Ketiga, menghadirkan Champion dari League of Legends PC ke Wild Rift juga tidak sesembarang copy-paste. Besaran damage dan cara pemain menggunakan skill Champion dengan virtual joystick harus dipikirkan kembali.

Tiga hal tersebut hanya berdasarkan gambaran dari apa yang saya pikirkan saja. Saya yakin bahwa masih ada banyak hal lain yang harus dipikirkan tim pengembang Riot Games saat membuat Wild Rift yang jadi alasan panjangnya durasi proses pengembangannya. Bahkan setelah rancangan pertama Wild Rift selesai dibuat, Brian bercerita bahwa mereka baru tersadar akan teringat akan masalah lain yang harus dihadapi setelahnya.

“Setelah rancangan gameplay Wild Rift selesai dan solid, kami baru teringat bahwa ada masalah lain yang harus diselesaikan seperti, bagaimana cara optimasi game di berbagai device di mobile? Bagaimana agar game ini bisa menjangkau pemain baru yang mungkin belum pernah main League of Legends sebelumnya? Jadi kami punya banyak sekali tantangan dan masalah yang harus dicari solusinya pasca rancangan pertama Wild Rift selesai.” Cerita Brian.

Setelah membahas proses pengembangan, kami lalu berbincang soal penyajian Champion di Wild Rift. Hal tersebut mungkin jadi salah satu pertanyaan yang ditanyakan oleh komunitas seperti, kapan Champion A atau B ada di Wild Rift? Kok Champion X sudah ada di Wild Rift tapi Champion Y tidak?

Menanggapi pertanyaan pertanyaan tersebut, Brian membuka jawaban dengan pernyataan bahwa Riot Games memang tidak berencana untuk membuat semua Champion di League of Legends ada di Wild Rift.

Kenapa begitu? Brian menjawab, “Champion di League of Legends (PC) ada banyak sekali. Kalau misalnya kami merilis 1 Champion setiap minggu di Wild Rift, maka akan butuh bertahun-tahun agar jumlah Champion di Wild Rift sama jumlahnya dengan Champion di League of Legends (PC).”

Lebih lanjut Brian lalu memberi penjabaran lebih lanjut, “fokus kami adalah menyajikan Champion yang bisa memenuhi kebutuhan beragam playstyle ataupun role yang dipilih oleh para player. Maka kalau Anda sadar, Champion di Wild Rift sebenarnya sangat beragam. Anda bisa melihat Champion populer seperti Lux, Jhin, ataupun Yasuo. Tapi di sisi lain Anda juga melihat Champion seperti Aurelian Sol, Gragas, ataupun Braum yang sebenarnya jarang dipakai tapi bisa memenuhi playstyle beberapa orang.”

Setelahnya, obrolan kami berlanjut ke pembahasan lokalisasi konten Wild Rift. Lokalisasi konten mungkin bisa dibilang sebagai salah satu spesialisasi Riot Games pada setiap game yang ia sajikan. Sebelum Wild Rift, VALORANT terbilang jadi contoh pertama atas usaha Riot melakukan lokalisasi. Kembali membahas Wild Rift, Michael Chow yang turut bergabung di tengah perbincangan kami lalu membahas alasan Riot Games atas usaha lokalisasi konten yang dilakukan.

Michael membuka jawaban dengan menjelaskan bahwa proses lokalisasi sebenarnya tidak mudah bahkan bagi pengembang game sebesar seperti Riot Games. “Tetapi itu (lokalisasi konten) adalah hal yang kami (Riot Games) garap secara serius. Kami ingin game yang kami buat menjadi sebuah game yang mendunia. Kami ingin semua pemain merasa seperti berada ‘di rumah sendiri’ saat memainkan game besutan kami,” ucap Michael.

“Proses ini membutuhkan komitmen khusus mengingat ada banyak bahasa, banyak negara, dan banyak dialek di dunia. Kami sadar proses tersebut tidaklah mudah namun kami di Riot Games mendedikasikan diri untuk bisa mencapai visi kami tersebut lewat kerja sama dengan berbagai rekan kami di berbagai belahan dunia,” lanjut Michael.

Brian lalu juga menambahkan bahwa lokalisasi bahasa menjadi salah satu hal yang masuk dalam proses pengembangan Wild Rift sejak awal. Brian dan tim pengembang Wild Rift sudah memastikan bahwa semua konten nantinya bisa dilokalisasi ke berbagai bahasa dengan mudah sejak dari awal pengembangan.

“Tim pengembang Wild Rift di Riot Games juga gamers. Kami tahu bagaimana perasaaan memainkan game tanpa kehadiran bahasa lokal yang membuat pengalaman bermain jadi terasa kurang lengkap. Perasaan tersebut menjadi salah satu motivasi serta alasan kenapa kami di Riot Games sangat peduli terhadap lokalisasi konten,” ucap Brian menambahkan.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Sedikit cuplikan lokalisasi konten ke bahasa Indonesia di Wild Rift. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Setelah bahasa lalu bagaimana dengan konten lokal lainnya seperti Champion atau mungkin Skin bertema lokal? Anda yang mengikuti perkembangan berita game mungkin tahu betul bagaimana banyak pengembang game mobile membuat konten lokal sebagai usaha menarik hati gamers Indonesia.

Mobile Legends: Bang Bang menghadirkan dua karakter Indonesia sebagai Hero yaitu Gatot Kaca dan Kadita (Nyi Roro Kidul). Arena of Valor tidak mau kalah dengan menghadirkan Wiro Sableng sebagai Hero. Free Fire juga jadi contoh lain yang menghadirkan Jota (Joe Taslim) sebagai karakter di dalam game.

Terkait hal tersebut Michael lalu menanggapi, “Anda bisa lihat sendiri bahwa Champion yang sudah ada di League of Legends/Wild Rift juga terinspirasi dari budaya lokal, seperti Ahri yang terinspirasi dari budaya Korea atau Akali yang terinspirasi dari budaya Jepang. Soal Champion lokal (Indonesia), saya tidak akan mengenyampingkan soal hal tersebut. Tetapi saya tidak menjanjikan dan cuma bisa mendorong Anda semua untuk menunjukkan kepada kami apabila punya ide/konsep Champion atau Skin yang berdasarkan dari budaya lokal (Indonesia). Buat kami terinspirasi untuk membuat Champion/Skin yang terinspirasi dari budaya lokal.”

 

Wild Rift Saat Ini dan Rencana Riot Games Untuk Nanti.

Fase closed-beta Wild Rift di wilayah Asia Tenggara sudah dimulai sejak 16 September 2020 lalu. Hampir kebanyakan elemen utama permainan Wild Rift berjalan dengan mulus pada saat tim redaksi Hybrid.co.id berkesempatan menjajal game tersebut pada fase closed-beta terbatas.

Tetapi ada satu masalah yang cukup esensial terjadi yaitu masalah optimasi server. Ketika mencoba Wild Rift untuk pertama kalinya, saya sempat mengalami kendala permainan berupa delay yang cukup terasa walau indikator ping/sinyal berwarna hijau.

Beberapa hari setelah itu, akses closed-beta diperbanyak dan ternyata pemain lain pun mengalami hal yang sama. Tanggal 8 Oktober 2020 Riot Games menambah akses beta untuk 2 negara lagi yaitu Korea Selatan dan Jepang.

Penambahan tersebut menambah masalah lagi bagi pemain. Penyebabnya adalah karena pemain Indonesia yang harusnya tersambung ke server SEA kadang malah dipaksa tersambung ke server Korea/Jepang. Dampak atas hal tersebut adalah delay menjadi semakin terasa sampai membuat permainan jadi tidak nyaman.

Banyak pemain sudah menyampaikan pendapat mereka terkait kondisi tersebut. Lalu bagaimana tanggapan Riot sendiri terkait masalah ini?

Michael menjelaskan bahwa sistem matchmaking di dalam Wild Rift mengutamakan 3 aspek. Aspek pertama adalah Match Quality (keseimbangan kemampuan rekan satu tim dan lawan yang dihadapi), kedua Queue Time atau waktu antrian matchmaking, dan ketiga adalah ping pemain. “Idealnya kami ingin pemain bisa mendapatkan yang terbaik dari 3 aspek tersebut,” ucap Michael.

“Mengingat Wild Rift masih dalam kondisi beta, maka kami masih dalam proses belajar untuk lebih optimasi server. Salah satu alasan kenapa cross-region matchmaking (SEA bertemu Korea/Jepang) bisa terjadi adalah karena jumlah pemain yang tergabung ke dalam matchmaking terbilang masih sedikit pada fase tersebut. Nantinya apabila game sudah masuk fase open-beta, maka akan ada lebih banyak pemain asal SEA yang mengantri untuk matchmaking. Semakin banyak yang melakukan matchmaking maka akan semakin mudah bagi kami untuk bisa memenuhi 3 aspek yang saya sebut barusan,” perjelas Michael.

Berikutnya adalah soal optimasi game terhadap perangkat. Wild Rift jadi ditunggu banyak gamers mobile karena kebutuhan spesifikasi minimum perangkat atas game tersebut yang cukup rendah.

Riot menjelaskan bahwa Anda cuma butuh smartphone 4-Core dan 1,5 Ghz CPU dengan RAM 1,5 GB jika ingin main di platform Android dan smartphone iPhone 7 jika ingin main di platform iOS. Terlepas dari spesifikasi yang dibutuhkan, pertanyaan berikutnya adalah platform mana yang akan jadi prioritas optimasi utama Riot Games?

Pertanyaan tersebut saya lontarkan mengingat game mobile kompetitif yang ada kini cenderung lebih teroptimasi di iOS daripada Android. Menjawab persoalan tersebut Michael lalu mengatakan, “satu hal yang bisa kami katakan adalah kami peduli dengan semua kalangan pemain. Sejauh ini fokus optimasi kami ada 2. Pertama adalah membuat Wild Rift semakin ringan dengan harapan pemain device low-end tetap bisa bersaing di dalam pertandingan. Kedua adalah terus meningkatkan performa grafis di tingkat atas supaya pemain yang menggunakan device high-end bisa menikmati grafis ciamik dengan performa terbaik.”

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Setelah membicarakan optimasi, obrolan kami berlanjut kepada pembahasan basic gameplay Wild Rift. Belakangan komunitas Wild Rift sedang dipenuhi perdebatan terkait cara terbaik untuk bermain Wild Rift. Perdebatan tersebut terjadi karena ada dua cara main berbeda bertemu di dalam Wild Rift.

Pada satu sisi ada pemain dari League of Legends PC yang merasa formasi Top, Mid, Jungle, dan ADC/Support Duo adalah cara main terbaik di Wild Rift.

Sementara di sisi lain ada juga pemain Mobile Legends: Bang-bang yang merasa strategi Hypercarry adalah cara main terbaik di Wild Rift. Perdebatan kedua belah pihak ini seakan tidak ada habisnya karena masing-masing merasa diri mereka sendiri sebagai yang terbaik.

Lalu bagaimana pendapat dari Riot Games? Apa yang mereka pikirkan ketika merancang gameplay Wild Rift pada awalnya?

Kali ini giliran Brian yang menanggapi. “Pembahasan tersebut terbilang sebagai topik yang sangat mendalam. Kami dari divisi Design Team kadang juga berdebat soal hal tersebut selama berjam-jam. Menanggapi hal tersebut, pada satu sisi kami tidak ingin memaksa pemain untuk bermain dengan cara main tertentu. Namun patut diketahui bahwa Wild Rift pada dasarnya dirancang berdasarkan dari gameplay, posisi, serta role di League of Legends.”

“Sejak awal kami sudah menyampaikan bahwa kami membuat Wild Rift untuk para pemain League of Legends. Karena banyak pemain yang mengatakan kepada Riot Games bahwa mereka ingin dapat bermain League of Legends di mana saja. Berangkat dari hal tersebut maka kami membuat Wild Rift berdasarkan dari gameplay, posisi serta role yang ada di League of Legends. Walau demikian… Tetap ada ruang untuk eksperimen. Anda boleh coba strategi apapun yang Anda inginkan. Mungkin ‘eksperimen’ tersebut bisa membuat Anda senang karena berhasil atau sebal karena membuat kalah. Namun intinya adalah, komunitas pemain harus terus berevolusi, belajar untuk terus jadi lebih baik, dan belajar untuk menyesuaikan.” Brian menambahkan pendapatnya terkait hal tersebut.

Setelah membahas soal server, optimasi, dan gameplay dasar Wild Rift, perbincangan kami berlanjut membahas soal masa depan Wild Rift dan penambahan fitur yang jadi pertanyaan komunitas. Salah satu fitur yang juga dibicarakan komunitas adalah fitur Touch Control.

Wild Rift cukup diantisipasi para pemain dari game MOBA lain, tak terkecuali pemain Vainglory. Melihat pengembangan Wild Rift melibatkan ShinKaigan selaku juara dunia Vainglory pada masanya, apakah ada kemungkinan Wild Rift menyertakan Touch Control di masa depan?

https://twitter.com/wildrift/status/1318944391873011712

Menanggapi pertanyaan tersebut, Brian mengatakan bahwa Riot tidak punya rencana untuk menyematkan fitur Touch Control ke dalam Wild Rift. Brian menjelaskan bahwa alasan utama atas jawaban tersebut adalah karena akan ada masalah teknis yang rumit apabila Riot Games memutuskan untuk menyertakan dua jenis skema kontrol ke dalam satu game.

“Vainglory dikembangkan untuk menggunakan Touch Control. Sementara Wild Rift dikembangkan untuk menggunakan Virtual Joystick. Saya tertarik untuk mengeksplorasi kemungkinan penerapan Touch Control di Wild Rift walau sebenarnya cukup pesimis hal tersebut bisa jadi kenyataan,” Brian membuka pembahasan.

“Hal yang perlu diketahui adalah bahwa kehadiran dua jenis skema kontrol memberikan kerumitan teknis yang sangat tinggi kepada tim developer. Satu contohnya saja dari segi balancing. Jika ada dua jenis skema kontrol, maka kami harus melakukan kerja ekstra agar suatu champion atau elemen gameplay secara bisa balance untuk kedua jenis kontrol tersebut,” tukas Brian memberi gambaran teknis apabila Wild Rift menerapkan dua jenis skema kontrol.

Menutup pembahasan, kami lalu membahas soal fitur-fitur esports. Satu yang mungkin tak bisa dipungkiri adalah kenyataan bahwa MLBB terbilang jadi yang paling getol dalam menyematkan fitur yang relevan terhadap esports ke dalam game. MLBB mungkin bisa dibilang jadi yang pertama dalam menerapkan sistem streaming via in-game dan turnamen via in-game dalam ranah game platform mobile.

Brian kembali menanggapi pertanyaan ini. Ia mengatakan bahwa fitur-fitur tersebut adalah fitur yang memang direncanakan untuk ada di masa depan. Namun setelah itu Brian menjelaskan lebih lanjut soal pandangan developer Riot Games terhadap “esports game“.

“Strategi Riot Games terhadap esports sedari awal adalah dengan membuat sebuah game yang solid/bagus lebih dahulu. Jangan langsung menentukan sebuah game sebagai game esports karena kami melihat beberapa perusahaan yang gagal karena rencana tersebut. Pandangan kami adalah apabila sebuah game sudah solid dan ternyata ada banyak orang berdedikasi memainkan game tersebut, maka esports akan muncul sendiri secara alami nantinya,” tukas Brian memberi pandangannya.

“Terkait fitur yang disebut barusan, saya mewakili tim pengembang Riot Games ingin menyampaikan bahwa kami mungkin akan lebih membelakangkan hal tersebut. Tetapi alasannya adalah karena fokus utama kami jelang open-beta adalah untuk membuat Wild Rift sesolid mungkin agar pemain nyaman ketika bermain. Walau begitu, beberapa fitur seperti Replay Mode atau Spectator Mode sudah dalam proses pengembangan,” jawab Brian sembari menutup obrolan kami.

 

League of Legends: Wild Rift seharusnya sudah memasuki fase Open Beta pada saat artikel ini terbit. Bagaimana? Sudah cukup bahagia karena akhirnya bisa memainkan Wild Rift setelah penantian yang panjang? Puas dengan sajian gameplay hasil kerja keras tim pengembang dari Riot Games?

Menutup pembahasan ini saya ingin menyampaikan pesan untuk selalu mengingat peran serta kehadiran developer yang bekerja siang dan malam demi menciptakan game bagus yang kalian mainkan. Ketika suatu game lambat/lama proses perkembangannya, bukan berarti para developer tersebut sedang menunda-nunda pekerjaan atau sedang ngopi santai.

Jadilah penikmat game yang bijak. Jangan jadi penikmat game yang cuma bisa ngoceh di internet cuma gara-gara keburukan suatu game tapi abai dengan proses pembuatannya itu sendiri.

Tren Investasi Venture Capital di Industri Game

Tahun ini, nilai industri gaming di dunia mencapai lebih dari US$150 miliar. Jika Anda menggabungkan nilai industri musik dan industri film, industri gaming masih lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa bermain game kini telah menjadi salah satu bentuk hiburan utama bagi sebagian besar orang.

Anehnya, sebelum ini, sektor gaming jarang dilirik oleh para venture capital (VC), kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk menanamkan investasi di industri gaming, seperti Play Ventures, Makers Fund, atau London Venture Partners. Menurut White Star Capital, salah satu alasan mengapa VC enggan untuk mendanai perusahaan yang bergerak di bidang game adalah karena hasil investasi yang sangat hitam-putih.

Ketika VC menyediakan modal untuk sebuah developer game, misalnya, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, game yang dibuat developer itu sukses dan developer dapat melakukan IPO atau diakuisisi perusahaan lebih besar. Kedua, game itu akan gagal. Berbeda dengan startup, developer game tidak bisa mendadak merombak konsep dari game yang mereka buat, walau mereka masih bisa meluncurkan update.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, VC mulai tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game. Faktanya, selama empat tahun — dari tahun 2014 sampai 2018 — nilai investasi VC di industri game terus naik.

Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital
Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital

Pada 2018, valuasi investasi dari VC mencapai puncaknya dengan total nilai US$4,7 miliar. Namun, tahun 2018 memang unik karena pada saat itu, Epic Games mendapatkan pendanaan sebesar US$1,25 miliar.  Jadi, tidak heran jika pada 2019, nilai investasi VC di perusahaan gaming turun drastis, menjadi US$1,1 miliar. Kabar baiknya, VC kembali tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada semester pertama 2020, investasi dari VC untuk perusahaan game telah mencapai US$700 juta. Diperkirakan, angka investasi itu akan mencapai US$1,5 miliar pada akhir tahun ini.

 

Kenapa Investasi dari VC Penting?

Investasi dari VC biasanya identik dengan startup. Ada beberapa alasan mengapa investasi dari VC penting untuk startup. Salah satunya adalah karena tidak ada pihak lain yang bersedia untuk menyediakan modal untuk mereka, menurut Hardware Business Review. Bank memang bisa meminjamkan modal. Hanya saja, besar bunga yang mereka tawarkan pada pelaku usaha tergantung pada besar risiko dari usaha itu sendiri. Sementara usaha startup cenderung memiliki risiko tinggi. Jika bank ingin meminjamkan modal pada startup, mereka harus memberikan bunga yang sangat tinggi. Padahal, ada ketentuan yang membatasi besar suku bunga yang bisa bank berikan pada peminjam.

Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos
Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos

Alasan lain mengapa startup kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank adalah karena biasanya bank akan meminta aset berwujud sebagai jaminan. Padahal, banyak startup — atau perusahaan game — yang tidak memiliki aset berwujud karena produk mereka berupa sesuatu yang tak terlihat. Contohnya, berbeda dengan perusahaan taksi yang memiliki armada sendiri, perusahaan transportasi online, seperti Gojek dan Grab, tidak memiliki armada sendiri. Mereka hanya menyediakan “platform” untuk menghubungkan pemilik kendaraan dengan penumpang.

Alasan lain mengapa investasi dari VC penting bagi startup adalah karena hal ini akan meningkatkan reputasi mereka di mata investor lain. Ketika startup mendapatkan investasi dari VC, hal ini menjadi tanda bahwa startup tersebut memiliki potensi untuk tumbuh besar di masa depan. Pasalnya, VC juga bukan badan amal. Tentunya, mereka ingin mendapatkan untung dari investasi yang mereka tanamkan.

Jadi, jika sebuah VC menanamkan modal di sebuah startup, hal itu karena mereka percaya, startup tersebut memiliki potensi untuk sukses di masa depan. Kepercayaan ini bisa memudahkan startup untuk menarik investor lainnya. Selain modal, VC juga bisa membantu startup untuk membangun jaringan di industri startup itu bergerak.

Berdasarkan studi, jika sebuah startup mendapatkan investasi dari VC pada tahap awal, hal ini akan meningkatkan kemungkinan startup tersebut untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.

 

Total Investasi dari VC di Industri Game Sejak 2014

Dalam sebuah artikel di Medium, White Star Capital mencoba untuk merangkum investasi yang dilakukan oleh VC di industri game sejak 2014. Mereka memperkirakan, sampai Juli 2020, total nilai investasi yang diberikan oleh VC ke perusahaan-perusahaan game telah mencapai sekitar US$13,3 miliar.

Untuk memahami tren investasi, White Star Capital lalu membagi perusahaan-perusahaan game ke dalam beberapa kategori: developer & publisher, developer tools, distribution platform, access point, esports talent & sponsor, esports platform, esports broadcasting, dan streaming & social.

Dari semua kategori itu, developer & publisher menjadi kategori yang mendapatkan investasi paling besar. Dari total investasi VC di dunia gaming sejak 2014, sekitar 48% masuk ke dalam kategori ini. Beberapa perusahaan yang masuk dalam kategori ini antara lain Epic Games, Niantic, dan Roblox. Ada empat model monetisasi yang biasanya digunakan oleh perushaaan di kategori ini, yaitu freemium, iklan, langganan, dan penjualan langsung. Hybrid pernah membahas tentang keempat model bisnis ini di sini.

Selain developer & publisher, kategori lain yang cukup populer adalah kategori streaming & social. Kategori ini mendapatkan sekitar 22,91% dari total investasi yang ditanamkan oleh VC di industri game sejak 2014. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini yaitu Twitch dan Discord; serta dua perusahaan streaming Tiongkok, yaitu Douyu dan Huya. Biasanya, platform streaming atau sosial game menggunakan tiga model bisnis, yaitu freemium, iklan, dan langganan atau subscription.

Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium
Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium

Sementara itu, kategori developer tools — seperti Unity dan Unreal Engine — mendapatkan porsi investasi sebesar 14,83% dari total investasi oleh VC sejak 2014. Salah satu model bisnis yang digunakan oleh perusahaan yang membuat game engine dan developer tools lainnya adalah melakukan penjualan ke perusahaan alias enterprise sale. Bisnis model lain yang biasa dipakai oleh perusahaan di kategori ini adalah Software-as-a-Service.

Selain tiga kategori di atas, masih ada empat kategori lain. Hanya saja, nilai investasi yang pernah didapatkan oleh masing-masing kategori ini kurang dari 10% dari total investasi VC di dunia game sejak 2014. Kategori platform distribusi game misalnya — seperti SEA dari Singapura — hanya mendapatkan porsi 6,99% dari total investasi VC.

Sementara kategori access point, yaitu perusahaan-perusahaan yang membuat komponen dan hardware gaming seperti Razer, hanya memiliki bagian 1,42%. Kategori esports talent & sponsor, yang mencakup organisasi esports seperti Cloud9, mendapatkan porsi investasi yang sedikit lebih besar dari kategori access point, mencapai 1,71% dari total investasi. Dan terakhir, kategori esports platform — seperti Skillz dan PlayVS — mendapatkan porsi investasi sebesar 4,14%.

 

Investasi di Industri Game Selama 9 Bulan 2020

Sepanjang 2020, banyak industri yang mengalami masalah akibat pandemi COVID-19. Namun, industri game jadi salah satu industri yang diuntungkan. Pasalnya, ketika masyarakat harus melakukan karantina, mereka jadi punya waktu luang lebih banyak untuk bermain game. Dan hal ini juga tercermin dalam meningkatnya penanaman modal, IPO, dan akuisisi di dunia game selama 2020. Hingga akhir Q3 2020, total valuasi investasi, IPO, dan akuisisi di industri game mencapai US$20,5 miliar.

Data tersebut dikumpulkan oleh perusahaan pelacak investasi game, InvestGame. Mereka mengumpulkan data tentang transaksi — baik dalam bentuk investasi, IPO, maupun akuisisi — yang melibatkan pelaku industri game, mulai dari developer, publisher, perushaaan teknologi, esports, sampai hardware. Hanya saja, mereka hanya menghitung transaksi yang diumumkan secara terbuka dan sudah terjadi. Transaksi yang nilainya tidak diumumkan atau belum pasti akan dilangsungkan tidak dihitung. Selain itu, mereka juga tidak menghitung akuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar oleh Microsoft.

“Kami melacak semua informasi tentang transaksi yang terjadi di industri game,” kata Sergei Evdokimov dari InvestGame pada VentureBeat. “Anda bisa melihat besarnya angka perputaran uang di dunia game dan angka ini masih terus tumbuh. Kami ingin bisa menunjukkan data ini pada para investor.”

Berbeda dengan White Star Capital, InvestGames mengategorikan perusahaan game ke dalam empat kategori, yaitu gaming, platform & tech, esports dan other. Dari tiga kategori lainnya, kategori gaming memiliki jumlah dan nilai transkasi paling besar. Selama sembilan bulan di 2020, ada 211 transaksi yang terjadi di kategori ini, dengan total nilai US$15,3 miliar. Sementara itu, di kategori platform & tech, jumlah transaksi yang terjadi mencapai 112 transaksi, dengan total nilai US$3,97 miliar. Dalam kategori esports, terdapat 89 transaski dengan total nilai US$685 juta, dan di kategori other, terdapat 25 transaksi yang bernilai US$504 juta.

Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame
Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame

InvestGame juga membagi ratusan transaksi yang terjadi selama 2020 berdasarkan tipe transaksi, yaitu IPO, akuisisi, dan investasi privat. Dari ketiga tipe tersebut, IPO memiliki valuasi paling besar, mencapai US$9,2 miliar. Salah satu perusahaan game yang melakukan IPO pada tahun ini adalah Unity.

Sementara itu, akuisisi memiliki valuasi terbesar kedua dengan nilai US$6,6 miliar. Memang, sepanjang 2020, terdapat beberapa akuisisi bernilai besar di industri game. Terakhir, jenis investasi privat, yang jumlahnya mencapai US$4,6 miliar sepanjang 2020. Di industri game, VC yang paling aktif saat ini antara lain Play Ventures, Galaxy EOS VC, Bitkraft Ventures, Sisu Game Ventures, dan Makers Fund.

 

Akuisisi di Industri Game Selama 2020

Tahun ini, cukup banyak akuisisi penting yang terjadi. Salah satunya adalah akuisisi perusahaan Turki, Peak Games oleh Zynga seharga US$2 miliar. Akuisisi lain yang menarik perhatian banyak orang adalah akusisi developer Warframe, Leyou Technologies oleh Tencent. Sementara pada September 2020, Microsoft mengakuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar.

Sepanjang 2020, Tencent menjadi salah satu perusahaan yang paling aktif dalam mengakuisisi perusahaan lain. Memang, sejak tahun lalu, konglomerasi asal Tiongkok itu sangat aktif membeli saham atau bahkan mengakuisisi perusahaan game seperti Funcom dan Marvelous. Selain Tencent, dua perusahaan lain yang aktif melakukan akuisisi di industri game adalah Embracer Group serta Stilfront Group.

“Satu hal yang paling menarik, jumlah transaksi M&A di dunia game tetap sangat banyak meski di tengah pandemi,” kata Evdokimov. “Hanya saja, jumlah transaksi dari VC — baik pada tahap awal maupun akhir — memang mengalami penurunan secara signifikan.”

Sepanjang tahun ini, ada 41 perusahaan mobile game yang diakusisi. Secara total, nilai akuisisi perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$4,4 miliar. Sementara akuisisi terkait perusahaan game konsol dan PC memiliki nilai yang jauh lebih besar, mencapai US$10,5 miliar.

 

Popularitas Streamer dan Esports Buat Ekosistem Game Semakin Besar

Selama ini, jika sebuah merek ingin menjangkau para gamer, mereka hanya bisa bekerja sama dengan developer atau publisher game untuk memasang iklan dalam game. Namun, sekarang, ekosistem game telah berkembang menjadi lebih besar berkat semakin populernya streamer dan esports. Konsumen game tak lagi terbatas pada orang-orang yang memainkan sebuah game tapi juga orang-orang yang menonton konten game melalui platform streaming atau fans esports. Dan banyak merek yang semakin tertarik untuk memenangkan hati para audiens gaming tersebut.

Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan perusahaan game/esports. | Sumber: White Star Capital
Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan pelaku industri game/esports. | Sumber: White Star Capital

Buktinya, banyak merek ternama yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan game dan esports, seperti Louis Vuitton, Adidas, dan BMW. Ketiga perusahaan tersebut memang tidak membuat produk yang berhubungan langsung dengan game. Namun, hal itu tidak menghentikan mereka untuk bekerja sama atau menjadi sponsor dari pelaku industri game dan esports. Misalnya, dalam kasus Louis Vuitton, mereka bekerja sama dengan Riot Games tidak hanya untuk membuat koleksi pakaian bertema League of Legends tapi juga membuat skin mewah bagi karakter dalam game.

Salah satu alasan mengapa esports kini menarik perhatian merek-merek besar adalah karena pertumbuhan audiens mereka yang cukup signifikan. Menurut Deloitte, fans esports di dunia mencapai 380 juta orang pada 2018. Sementara pertumbuhan fans esports per tahun mencapai 15%.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Nfx
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: NfX

 

Penutup

Ada beberapa kesamaan antara perusahaan game dan startup. Salah satunya, biasanya, keduanya tidak memiliki aset yang berwujud. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Di sinilah perusahaan venture capital bisa membantu. Mereka tidak hanya bisa menyediakan modal, tapi juga keahlian dan jaringan. Dan hal ini bisa membantu startup atau perusahaan game tumbuh.

Pada awalnya, perusahaan-perusahaan game tak terlalu menarik minat para VC, kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan game. Namun, seiring dengan semakin beragamnya perusahaan yang bergerak di bidang game, para VC pun mulai tertarik. Salah satu alasan mengapa industri game kini menjadi semakin beragam adalah karena semakin populernya streamer dan esports. Kedua hal ini membuka pintu baru bagi perusahaan yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri game.

Sumber: Medium, VentureBeat

Fall Guys Jadi Game PC Paling Laris Bulan Agustus 2020

Superdata, perusahaan riset yang merupakan anak perusahaan dari Nielsen, mengeluarkan laporan terbarunya soal penjualan game digital di bulan Agustus 2020. Dalam laporan tersebut, satu yang menjadi sorotan adalah menanjaknya Fall Guys sebagai game paling laku dari kategori game PC.

Laporan tersebut mengatakan bahwa Fall Guys: Ultimate Knockout menjadi game dengan pendapatan tertinggi pada waktu peluncurannya, dengan total mencapai 185 juta dollar AS. Superdata juga mengatakan bahwa gelar tersebut sebelumnya dipegang oleh Overwatch pada Mei 2016 lalu. Lebih lanjut, Superdata menjelaskan bahwa salah satu alasan 8,2 juta gamers di PC membeli Fall Guys: Ultimate Knockout adalah karena pendekatan inovatif terhadap genre Battle Royale.

Sumber: Superdata
Sumber: Superdata

Lalu, sorotan lain yang juga disebut oleh Superdata adalah soal kesuksesan game genre olahraga pada bulan ini. Salah satu yang cukup penting adalah kesuksesan game simulasi olahraga American Football, Madden NFL 21. Game tersebut berhasil menjual 570 ribu unit di bulan agustus setelah rilis di akhir bulan yang sama. Berkat pencapaian tersebut, Madden NFL 21 berhasil menempati peringkat 7 sebagai top grossing game konsol.

Terakhir yang juga tak kalah menarik adalah soal PUBG Mobile. Pasca terkena blokir oleh pemerintah India, kini PUBG Mobile harus puas berada di peringkat 8 saja dari kategori top grossing game mobile. Selain itu, bulan Agustus juga menjadi momen Fortnite di blokir oleh Google dan Apple. Terlepas dari itu tidak ada peningkatan jumlah pemain di PUBG Mobile, yang menandakan bahwa pemain Fortnite tidak pindah ke PUBG Mobile gara-gara hal tersebut.

Sumber: Twitter @G2esports
Sumber: Twitter @G2esports

Bicara soal Fall Guys, memang game tersebut sedang mendapat perhatian yang sangat tinggi dari para gamers. Game tersebut bahkan masuk dalam daftar peringkat 5 turnamen esports terpopuler bulan Agustus yang dibuat oleh Esports Charts, dengan total peak viewers sebanyak 565.971 orang.

Selain itu, game tersebut juga sempat mendapat perhatian dari G2 Esports, yang dikabarkan sudah menyiapkan 1,9 miliar hanya untuk skin maskot G2 di dalam game. Terakhir kali platform streaming asal Tiongkok yaitu Bilibili, juga kabarnya sedang mempersiapkan versi mobile dari Fall Guys untuk pasar Tiongkok.

Agustus mungkin memang masih menjadi bulannya Fall Guys. Tapi, apakah game tersebut masih akan bertahan di bulan September 2020 ini?

The Washington Post dan Bloomberg Mulai Tertarik Bahas Industri Game

Di negara-negara Barat, tak banyak media besar yang tertarik untuk membahas industri game secara mendalam. Biasanya, media-media niche seperti IGN, Kotaku, dan Destructoid yang mendominasi jurnalisme di dunia gaming. Selama 10 tahun belakangan, mereka menyajikan berbagai artikel tentang game, mulai dari review game sampai artikel investagasi soal industri game.

Namun, belakangan, hal ini mulai berubah. Semakin banyak media besar yang tertarik untuk membahas industri game secara mendetail. Salah satu alasannya adalah karena industri game telah menjadi industri besar dengan nilai mencapai US$159,3 miliar.

Beberapa media besar yang tertarik untuk membahas industri game dengan lebih dalam antara lain The Washington Post, Bloomberg, dan Wired. Mereka ingin menyediakan artikel tentang dunia gaming layaknya Hollywood dan Silicon valley. Khususnya, mereka ingin mmbuat artikel investagasi terkait bisnis dan budaya perusahaan game dengan harapan menarik perhatian masyarakat awam dan juga para gamer.

Bulan lalu, Wired Games resmi diluncurkan. Sebenarnya, kali itu bukanlah pertama kalinya Wired mencoba menyediakan segmen khusus game. Editor-in-Chief Nicholas Thompson mengaku, topik game tak lagi jadi perhatian ketika dia kembali bekerja di Wired pada 2017.

“Saya tidak tahu kenapa mereka berhenti membuat artikel game,” kata Thompson, menurut laporan CNN. “Sesekali, Wired akan membahas tentang game, tapi tidak sering. Padahal saya pikir, game punya peran penting dalam budaya kita, sehingga kita seharusnya bisa membahas banyak hal tentang game.”

Sementara itu, Bloomberg memang telah sejak lama membahas keuangan perusahaan-perusahaan game, seperti Nintendo dan Sony. Namun, sekarang, mereka juga akan mulai membuat artikel tentang budaya di perusahaan game. Pada April 2020, Bloomberg memperkenalkan segmen baru bernama Screentime, yang membahas tentang industri hiburan, termasuk game.

“Industri game sangat besar, tapi kurang mendapatkan perhatian media,” kata Mike Hume, Editor Launcher, segmen gaming dari The Washington Post. “Ada audiens yang tertarik dengan dunia gaming. Jika media besar membuat artikel tentang gaming secara mendalam, hal ini akan menarik minat masyarakat. Ada banyak cerita menarik di dunia game yang bisa kita bahas. Kami hanya terdiri dari 6 orang. Kami tidak akan bisa membahas semua berita penting di dunia game.”

Sumber header: Depositphotos.

Sistem Monetisasi Game Apa yang Paling Sering Dipakai Developer Indonesia?

Dalam 10 tahun terakhir, industri game terus berevolusi. Bukan hanya genre game baru yang bermunculan, tapi juga model monetisasi baru. Saat ini, ada 4 model monetisasi yang lazim digunakan oleh developer game. Pertama adalah model sekali bayar. Biasanya, model monetisasi ini digunakan untuk game PC atau konsol premium, sebut saja franchise Assassin’s Creeds, Dark Souls, The Witcher, dan lain sebagainya.

Kedua, model monetisasi subscription atau berlangganan. Model monetisasi ini menjadikan game sebagai sebuah layanan (game-as-a-service alias GAAS). Biasanya, developer yang membuat game dengan model monetisasi berlangganan akan terus meluncurkan konten baru. Tujuannya, agar pemain betah memainkan game buatannya dan rela untuk mengeluarkan uang saat bermain game itu. World of Warcraft adalah salah satu contoh dari game yang menggunakan sistem biaya berlangganan.

Dua model monetisasi lainnya adalah iklan dan in-app purchase. Biasanya, 2 model monetisasi ini digunakan untuk game-game yang bisa dimainkan gratis. Terkadang, Anda akan menemukan 2 model monetisasi ini digunakan dalam satu game, walau tidak selalu. Dalam model monetisasi in-app purchase, developer biasanya menawarkan item yang bisa pemain beli. Item tersebut beragam, bisa berupa item kosmetik ataupun item power-up, yang memunculkan game-game pay-to-win.

Saya mewawancarai 4 orang dari 4 developer yang berbeda-beda untuk mengetahui tentang sistem monetisasi yang digunakan oleh developer lokal.

 

Developer Game5Mobile

Steve Lie, CEO Game5Mobile mengatakan, dari 4 model monetisasi mereka pernah menggunakan model subscription, in-app purchase, dan iklan. Alasan mengapa mereka tak pernah membuat game dengan model sekali bayar adalah karena target pasar mereka yang tidak cocok dengan model monetisasi tersebut. Dari 3 model monetisasi yang Game5Mobile pernah pakai, iklan memberikan kontribusi terbesar pada sumber pendapatan developer tersebut.

“Saya tidak bisa ngomong secara pasti porsinya berapa karena kita harus benar-benar hitung dari data satu-satu, tapi, bisa dibilang, sekitar 98% porsi pemasukan kita datang dari iklan,” kata Steve saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat.

Steve lalu menjelaskan tentang mekanisme model monetisasi iklan dalam game. “Kalau kita mau menampilkan iklan di game, kita harus pasang SDK (Software Development Kit) dari vendor tertentu. Nah, nanti di vendor, kita bisa set rules untuk iklan yang bakal tampil di game kita,” ujarnya. “Di kasus kami, karena kita bekerja sama dengan publisher, maka publisher yang menentukan iklan apa saya yang bakal dipakai di game kita.”

Happy Glass adalah salah satu game buatan Game5Mobile.
Happy Glass adalah salah satu game buatan Game5Mobile.

Steve menjelaskan, dalam menentukan model monetisasi yang akan digunakan, target market menjadi salah satu pertimbangan utama. “Dalam 2 tahun terakhir, Game5Mobile fokus ke pengembangan game hiperkasual untuk iOS dan Android. Untuk pasar game hiperkasual, nggak cocok pakai sistem sekali bayar dimuka,” ujarnya. Bisnis menjadi alasan mengapa Game5Mobile fokus untuk membuat game hiperkasual.

“Pilihan bisnis yang paling masuk akal untuk kita, berdasarkan resource yang kita punya saat ini, ya terjun ke pasar game hiperkasual,” ujar Steve. “Jadi, jika membandingkan resource, work dan time investment dengan return yang didapat, buat kita, mengerjakan game hiperkasual menawarkan value paling masuk akal. Setidaknya saat ini.”

 

Gambir Studio

Sementara itu, CEO Gambir Studio, Shafiq Husein mengungkap, mereka pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Alasannya karena model monetisasi itu masih belum lazim digunakan di Indonesia. Tak hanya itu, seorang gamer juga harus memiliki komitmen bermain yang kuat sebelum dia mau berlangganan.

“Kalau model iklan dan in-app purchase, kita biasanya gunakan untuk game kasual atau hiperkasual,” kata Shafiq ketika ditanya tentang pertimbangan Gambir Studio sebelum mereka memutuskan model monetisasi yang akan digunakan. “Karena metode itu yang paling common dipakai untuk game free-to-play sih.” Lanjutnya. Gambir Studio juga pernah menggunakan model sekali bayar untuk salah satu game horror besutan mereka.

“Waktu kita mencoba yang model premium di game kita yang berjudul Jurit Malam,” ujar Shafiq. Sayangnya, game itu sudah tidak bisa diunduh karena Gambir Studio tak lagi bekerja sama dengan talent yang terlibat dalam game tersebut. “Karena waktu itu, kita buat game horror. Dan kalau game horror kan kita harus bangun ambience, biar pemainnya merasa tegang saat main. Jadi, kalau tiba-tiba di tengah main ada iklan atau harus beli barang, kita khawatir game-nya jadi kurang dapat feel-nya.”

Salah satu karya Gambir Studio adalah Densus 86.
Salah satu karya Gambir Studio adalah Densus 86.

Di Gambir Studio, model monetisasi yang paling sering dipakai adalah iklan dan in-app purchase. Menurut Shafiq, kedua model tersebut sudah “sepaket”, meski tidak melulu harus digunakan bersamaan. Dari segi pemasukan, Shafiq memperkirakan, sekitar 70% pemasukan berasal dari iklan, dan 30% sisanya berasal dari in-app purchase. Dia menjelaskan, bentuk item yang dijual oleh Gambir beragam, mulai dari kosmetik sampai power-up, tergantung pada game itu sendiri. Namun, item yang paling laku terjual biasanya adalah item power-up.

 

Toge Productions

Sama seperti Gambir Studio, Toge Productions juga pernah mencoba semua model monetisasi kecuali subscription. Namun, lain halnya dengan Game5Mobile dan Gambir Studio yang lebih fokus pada game dengan model bisnis iklan dan in-app purchase, fokus Toge adalah pada game premium atau sekali bayar. Dan memang, bagi Toge, game model premium memberikan kontribusi pemasukan paling besar.

“Bukan berarti model monetisasi yang lain pemasukannya tidak besar. Kami memilih untuk fokus ke game premium karena memang passion, skill, dan resources kita lebih cocok di game-game premium,” ujar Kris Antoni, Pemilik Toge Productions. “Game free-to-play membutuhkan modal yang besar dan risikonya tinggi karena persaingan yang sangat ketat. Tentunya, beda developer, bisa beda (strategi) juga. Mungkin ada developer yang memang lebih cocok membuat mobile game free-to-play.”

Kris menjelaskan, saat memutuskan model bisnis sebuah game, biasanya ada 5 hal yang menjadi pertimbangan:

  1. Kemampuan developer (dalam bentuk modal dan kemampuan Sumber Daya Manusia)
  2. Target market
  3. Kesempatan vs kompetisi vs risiko
  4. Gameplay/play experience yang ingin diberikan
  5. Passion
Coffee Talk menawarkan naratif yang relatable.
Coffee Talk menawarkan naratif yang relatable.

“Bisa saja, business model yang mengarahkan game design, tapi juga bisa sebaliknya,” ujar Kris. Dia memberikan contoh bagaimana gameplay atau pengalaman bermain menentukan model bisnis yang digunakan. “Misal, game seperti The Last of Us, dengan experience yang mendekati kualitas film blokcbuster, tidak mungkin dijadikan game free-to-play. Selain gameplay-nya tidak cocok dengan monetisasi F2P, resiko bagi developer akan sangat tinggi bila game-nya dirilis di platform seperti mobile.”

Lalu, adakah karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah game agar pantas menyandang gelar game premium? Menurut Kris, selama sebuah game menggunakan model bisnis yang tepat dan memberikan value yang sesuai, maka game tersebut pantas menjadi game premium. “Target market juga bisa berbeda-beda, tergantung game-nya,” katanya.

“Sejauh ini, Toge membangun reputasi sebagai developer yang mengembangkan game dengan gaya pixelart dan mekanisme gameplay yang unik,” ungkap Kris. “Dengan Coffee Talk, kita juga melebarkan sayap ke game dengan elemen naratif yang relatable. Jadi, fanbase kita cukup variatif, tapi rata-rata, mereka suka pixelart dan gameplay yang unik.”

Kris mengaku, Toge memang lebih menyasar pasar global daripada pasar lokal. Salah satu alasannya karena dia merasa, game lebih dihargai di luar negeri. Memang, pembajakan game — atau karya kreatif lain, seperti film dan komik — masih menjadi masalah di Indonesia.

Namun, Kris merasa, ada beberapa alasan mengapa pembajakan masih merajalela di Indonesia. Salah satunya adalah karena pemahaman masyarakat akan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) masih sangat rendah. Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga cenderung memandang sebelah mata karya lokal. Alasan lainnya adalah karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan produk bajakan, sehingga tak lagi mengapresiasi karya digital. Terakhir, banyaknya produk game free-to-play dengan budget besar yang muncul di Indonesia.

“Visi kami di Toge adalah mengangkat karya-karya Indonesia di mata dunia dan mengubah Indonesia dari sekedar pasar menjadi dikenal sebagai negara produsen game terbaik,” aku Kris. Terkait tanggung jawab edukasi mengenai HAKI, Kris merasa, semua orang memiliki tanggung jawab atas itu. “Jangan terlalu bergantung pada pemerintah, mulai saja dari lingkaran masing-masing dan komunitas masing-masing.”

 

Agate Games

Agate Games merupakan salah satu developer game Indonesia yang pernah menggunakan semua model monetisasi untuk game, termasuk subscription. Walau memang, model subscription bukanlah model monetisasi yang paling sering Agate gunakan. Dave Fabrian, Vice President of Mobile Games, Agate Games, mengungkap, Agate paling sering menggunakan model monetisasi iklan dan in-app purchase.

Terkait model monetisasi subscription, Dave juga menyebutnya sebagai model game-as-a-service (GAAS). Salah satu keunikan game dengan model GAAS adalah biasanya, developer terus merilis update secara berkala. “Berbeda dengan game yang diluncurkan sebagai produk. Developer tidak update pun tidak apa-apa, karena konsumen mengeluarkan uang di awal membeli game,” ujar Dave.

Melalui Code Atma, Agate ingin memperkenalkan budaya Indonesia.
Melalui Code Atma, Agate ingin memperkenalkan budaya Indonesia.

“Sementara GAAS, karena gamer bisa bermain dengan gratis, kita harus membuat mereka mau bermain selama mungkin. Semakin lama gamer bermain, semakin besar kemungkinan mereka untuk spending,” kata Dave. Dia memperkirakan, game dengan model GAAS biasanya mendapatkan update sekitar seminggu atau dua minggu sekali. Ada berbagai macam update yang bisa developer berikan, mulai dari peningkatan keamanan, perbaikan bug, sampai munculnya konten baru, seperti karakter atau peta baru.

Dua hal yang Agate Games pertimbangkan sebelum menentukan model monetisasi yang akan digunakan dalam sebuah game adalah segmen dari tujuan dari game itu sendiri, Dave menjelaskan. Selain itu, Agate juga mempertimbangkan apakah target konsumen dari game mereka merupakan tipe gamer yang terbiasa untuk mengeluarkan uang saat bermain game. “Misalnya, kita membuat game yang ditujukan untuk semua orang, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Game seperti ini, model iklan yang paling cocok. Karena target pemainnya bukan orang yang terbiasa spending di game,” ungkap Dave.

Dave memperkirakan, di kalangan gamer yang terbiasa melakukan in-app purchase, hanya sekitar 1-2% pemain yang pada akhirnya mengeluarkan uang. Sementara di kalangan pemain yang tidak terbiasa spending, persentase itu bahkan lebih rendah lagi. Karena itulah, game kasual yang menargetkan orang banyak biasanya menggunakan model monetisasi iklan. Dia menyebutkan, sekitar 70-90% game kasual menggunakan model monetisasi iklan.

 

Waktu Pengembangan Game vs Life Cycle

Waktu yang diperlukan untuk membuat game tergantung pada ukuran dari game itu sendiri. Semakin sederhana sebuah game, semakin cepat pula proses pengembangannya. Selain itu, jumlah kru yang mengerjakan sebuah game juga memengaruhi berapa lama waktu pengembangan sebuah game.

Kris memperkirakan, Infectonator 3: Apocalypse dan Coffee Talk dibuat dalam jangka waktu 2 tahun. Sementara Necronator: Dead Wrong hanya 1 tahun. “Game yang kita publish bersama Mojiken, A Space For the Unbound, sudah dikerjakan selama hampir 4 tahun dan belum kelar,” ujarnya. “Sementara When The Past Was Around kurang dari satu tahun.” Soal life cycle sebuah game, Kris mengatakan bahwa biasanya, sebuah game akan menghasilkan pendapatan terbesar tahun pertama game diluncurkan. Meskipun begitu, hinga 4-5 tahun setelah peluncuran pun, sebuah game bisa masih menghasilkan.

Sementara di Game5Mobile, sebuah game harus melewati beberapa fase sebelum ia dirilis di pasar. Fase tersebut antara lain fase prototipe, fase test market, dan fase global release. “Biasanya, kita sudah bisa melihat apakah suatu game layak dirilis atau tidak sejak fase test market,” ujar Steve. “Untuk waktu pengerjaan, dibutuhkan waktu sekitar 1 minggu hinga 1 bulan untuk membuat prototipe yang siap test market.”

“Untuk life cycle, tergantung pada konten dari game itu sendiri. Bisa saja, life cycle game hiperkasual hanya mencapai beberapa bulan, atau bisa sampai beberapa tahun,” aku Steve. Dia memberikan contoh Happy Glass. Game5Mobile merilis game tersebut secara global pada 2018. Namun, sampai saat ini, game tersebut masih menyumbangkan pemasukan.

 

Kesimpulan

Ada 4 model monetisasi yang bisa digunakan oleh developer game, yaitu sekali bayar, iklan, in-app purchase, dan subscription. Kebanyakan developer Indonesia menggunakan model monetisasi iklan. Pasalnya, sebagian besar developer Indonesia memang berkecimpung dalam membuat game kasual, yang biasa menggunakan monetisasi iklan atau in-app purchase.

PUBG Corp Ambil Alih Peran Publisher PUBG Mobile India

Pada tanggal 3 September 2020 lalu, PUBG Mobile resmi diblokir oleh pemerintah India bersama dengan Arena of Valor, dan 116 aplikasi lainnya. Menindaklanjuti hal tersebut, PUBG Corporation pengembang game asal Korea Selatan yang memegang hak kekayaan intelektual atas PUBG, mengumumkan bahwa mereka akan mengambil alih peran publisher game PUBG Mobile di India.

Lewat sebuah blog post, PUBG Corporation mengatakan bahwa mereka memahami tindakan yang diambil oleh pemerintah India. PUBG Corporation juga menyatakan harapannya untuk bisa bekerja sama dalam mencari solusi agar para pemain di India dapat kembali bermain PUBG Mobile, sembari tetap mematuhi regulasi keamanan siber pemerintah India.

Sumber: PUBG Mobile Official
Sumber: PUBG Mobile Official

“Melihat perkembangan kasus tersebut, PUBG Corporation memutuskan untuk menghentikan akses franchise PUBG Mobile yang dipegang oleh Tencent Games di India. Lebih lanjut, PUBG Corporation akan mengambil alih segala tanggung jawab publishing PUBG Mobile di negara teresebut. Kami akan mencoba melakukan yang terbaik agar dapat memberikan PUBG experience kepada pemain-pemain di India, sembari sebisa mungkin berkomitmen dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi para penggemar game tersebut di ekosistem lokal.” Tulis PUBG Corp dalam blog post.

Walau merupakan game yang serupa, tetapi PUBG Mobile dan PUBG di PC/konsol dikelola oleh dua pihak yang berbeda. Tencent Games mengelola PUBG Mobile di banyak negara dan wilayah tempat game tersebut beroperasi. Sementara PUBG di PC/konsol dikembangkan dan dikelola oleh pengembang asal Korea Selatan bernama PUBG Corporation.

PUBG Corporation juga menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengembangkan PUBG di PC/konsol saja. Pengembang asal Korea Selatan tersebut mengatakan bahwa mereka juga mengembangkan serta mengelola PUBG Mobile pada beberapa negara/kawasan.

Sejauh ini, PUBG Mobile bisa dibilang sebagai salah satu game mobile terpopuler, dengan mayoritas pemain datang dari negara India. Catatan dari Sensor Tower mengatakan bahwa pendapatan PUBG Mobile sudah mencapai angka 3 miliar dollar AS, dari 2 tahun game tersebut beroperasi. Catatan Sensor Tower juga mengatakan bahwa India adalah negara pengunduh PUBG Mobile terbanyak. Dari total 734 juta download secara global, India mencatatkan sebanyak 175 juta download, lebih banyak dari Tiongkok maupun AS.

PUBG Mobile Global Championship
Jelang perilisan PUBG Mobile versi 1.0, game tersebut malah kena blokir pemerintah India.

Terlepas dari itu, pemerintah India akhirnya mengambil aksi keras terhadap game tersebut, dan memblokirnya pada tanggal 3 September 2020 lalu. Menurut menteri teknologi informasi negara India, pemblokiran tersebut dilakukan karena PUBG Mobile dan 117 aplikasi lainnya diduga terlibat dalam aktivitas yang mengancam kedaulatan, integritas, pertahanan, keamanan, dan ketentraman masyarakat negara India.

Apakah ini artinya PUBG Mobile akan dapat kembali dimainkan setelah aksi ambil alih peran publisher yang dilakukan oleh PUBG Corporation. Pertanyaan selanjutnya yang tak kalah penting, bagaimana nasib ekosistem esports PUBG Mobile di India nantinya setelah kejadian ini?

Industri Cloud Gaming Berkembang Pesat, Bernilai Rp8,6 Triliun Pada 2020

Pasar cloud gaming akan tumbuh pesat pada tahun ini, menurut studi terbaru dari Newzoo. Mereka memperkirakan, pada akhir tahun 2020, total pemasukan industri cloud gaming akan mencapai US$585 juta (sekitar Rp8,6 triliun).

Dalam studi tersebut, Newzoo mewawancarai beberapa perusahaan penting dalam cloud gaming. Perusahaan-perusahaan tersebut mengatakan, jumlah pengguna cloud gaming naik pesat pada semester pertama 2020. Mereka mengungkap, hal itu terjadi karena pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang harus tetap di rumah.

Nilai industri cloud gaming pada 2020 naik pesat. Sebagai perbandingan, pada 2019, nilai industri cloud gaming hanya mencapai US$170 juta (sekitar Rp2,5 triliun). Ke depan, industri cloud gaming masih akan terus tumbuh. Diperkirakan, pemasukan industri cloud gaming masih akan terus naik, mencapai US$4,8 miliar (sekitar Rp71 triliun) pada 2023.

Tahun ini, kebanyakan pengguna cloud gaming masih berasal dari Amerika Utara dan Eropa. Buktinya, Amerika Utara memberikan kontribusi sebesar 39% pada total pemasukan industri cloud gaming pada 2020, dan Eropa menyumbangkan kontribusi 29%.

industri cloud gaming 2020
Perusahaan-perusahaan yang bermain di industri cloud gaming. | Sumber: Newzoo

Microsoft merupakan salah satu perusahaan yang tertarik dengan cloud gaming. Mereka akan meluncurkan layanan game streaming Project xCloud di Xbox Game Pass per 15 September 2020. Newzoo menyebutkan, keputusan Microsoft untuk bermain di cloud gaming akan mendorong pertumbuhan pasar cloud gaming, menurut laporan GamesIndustry.

Selain Microsoft, ada beberapa perusahaan besar lain yang tertarik cloud gaming. Dalam sembilan bulan belakangan, NetEase, Tencent, dan Facebook menunjukkan ketertarikan dengan platform cloud Gaming. Nvidia juga telah meluncurkan platform cloud gaming GeForce Now. Sementara Ubisoft menjalin kerja sama dengan perusahaan penyedia platform cloud gaming, Parsec.

Ke depan, pasar cloud gaming tampaknya akan semakin ramai. Pasalnya, semakin banyak perusahaan cloud gaming yang tak terlalu besar yang berusaha untuk meningkatkan jumlah pengguna mereka. Belum lama ini, perusahaan cloud gaming Gamestream mendapatkan €3,5 juta (sekitar Rp61,3 miliar). Mereka akan menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan platform cloud gaming B2B mereka. Sementara startup RemoteMyApp telah mendapatkan pendanaan sebesar €2 juta (sekitar Rp3 miliar) pada Juli 2020.

Di Indonesia, salah satu perusahaan yang tertarik untuk menyediakan platform cloud gaming adalah Skyegrid. Mereka percaya, pasar cloud gaming di Indonesia sangat menjanjikan.

Sumber header: VentureBeat