Mendorong Inklusi Keuangan Lewat Inovasi Credit Scoring

Proses credit scoring atau penilaian kelayakan kredit merupakan tahapan yang esensial dalam pengajuan kredit baik itu oleh individu atau UMKM. Proses ini dilakukan dengan memeriksa dan menganalisis berbagai berkas pendukung, seperti slip gaji, laporan pajak, bukti pembayaran, rekening koran, hingga verifikasi lapangan.

Pada umumnya, pengecekan skor kredit dapat dilakukan melalui BI Checking, yang sekarang sudah berubah menjadi Informasi Debitur (iDEB) atau Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Data tersebut biasanya menyangkut rekam jejak debitur dari ragam transaksi sebelumnya yang bersumber dari basis data bank atau lembaga finansial lainnya.

Berbekal informasi yang didapat, institusi finansial dapat menentukan apakah calon nasabah bisa mendapatkan layanan kredit yang dimiliki atau tidak. Bahkan secara lebih mendetail, penyedia layanan kredit juga bisa menentukan berapa besar nilai kredit maksimal yang akan diberikan didasarkan kemampuan dari calon nasabah tersebut.

Seiring berkembangnya inovasi digital, penyelenggara fintech melalui model bisnis Innovative Credit Scoring (ICS) mencoba menyediakan solusi serupa dengan memanfaatkan sumber data alternatif yang tidak terbatas pada rekening bank. Contohnya, data belanja daring, data telekomunikasi, juga rekam jejak di media sosial dapat menjadi sumber alternatif.

Berbagai data alternatif ini digunakan untuk meningkatkan akurasi penilaian kredit. Pasalnya, saat ini masih cukup banyak penduduk Indonesia yang membutuhkan layanan kredit namun belum memiliki data kredit yang layak. Industri perbankan juga mulai terbuka memanfaatkan sumber data alternatif demi memperluas jangkauannya ke segmen masyarakat unbankable dan UMKM.

Menjangkau segmen unbankable

Data Bank Dunia menunjukkan, ada 97,74 juta orang atau setara dengan 48% dari populasi dewasa di dalam negeri masuk kategori unbanked. Jumlah ini merupakan yang terbesar keempat di dunia, di bawah India, China, dan Pakistan. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa berkembang.

Salah satu agenda besar yang ingin dicapai oleh Pemerintah adalah meningkatkan indeks inklusi keuangan masyarakat sebesar 90% di tahun 2024. Kehadiran fintech Innovative Credit Scoring saat ini diharapkan dapat menjadi enabler yang memfasilitasi masyarakat, terutama yang belum tersentuh oleh layanan perbankan, untuk mendapatkan pendanaan bagi kegiatan usahanya.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yohanes Arts Abimanyu selaku President Director dan CEO Pefindo Biro Kredit mengungkapkan, “Khususnya bagi masyarakat yang unbankable, alternative score menjadi solusi dalam hal tidak tidak tersedianya data kredit atau bisa juga digunakan untuk melengkapi scoring berbasis data kredit yang sudah ada,” lanjutnya.

Metodologinya pun terus berkembang, misalnya yang dilakukan Pefindo bersama XL Axiata dalam produk IdTelcoScore, mereka merilis produk penilaian alternatif memanfaatkan nomor seluler pengguna XL Axiata untuk menganalisis kelayakan kredit debitur.

Di Indonesia sendiri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuat klaster khusus bernama Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Per September 2022, sudah ada 19 perusahaan yang tercatat dalam klaster credit scoring.

PT Finantier Teknologi Indonesia menjadi yang terakhir mendapat lisensi ini pada 2021 silam. Platform ini menyediakan solusi open finance dengan infrastruktur teknologi berbasis API yang dapat dimanfaatkan fintech untuk menghadirkan layanan keuangan inklusif. Produknya adalah credit scoring teregulasi yang dapat dimanfaatkan institusi keuangan digital dalam menunjang layanan pinjaman dengan memastikan kelayakan calon nasabah.

Pemain lainnya yang lebih dulu terdaftar CredoLab beroperasi dengan membaca data di smartphone untuk menghasilkan skor perilaku pengguna. Selanjutnya data tersebut diolah untuk memperkirakan kemungkinan gagal bayar. Metadata di perangkat diakses secara anonim, dengan tetap menjamin privasi.

Salah satu pemain baru yang bergerak di sektor ini adalah SkorLife. Menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda, perusahaan memiliki posisi yang unik karena membangun apa yang disebut dengan pemangku kepentingan sebagai “pembangun kredit” di bidang kredit konsumer.

Mereka melihat di Indonesia, sebagian besar bank dan lembaga keuangan lainnya masih bertumpu pada “kelayakan pendapatan” daripada kelayakan kredit untuk memutuskan apakah mereka dapat menawarkan kredit kepada peminjam atau tidak.

Untuk mengatasi hal ini, SkorLife bertujuan memberikan kontrol kembali kepada konsumen dengan membuat mereka mengambil peran lebih aktif dalam membangun dan mempertahankan nilai kredit mereka.

CEO SkorLife, Ongki Kurniawan juga mengungkapkan, “Melalui layanan kami, calon kreditur akan dapat membangun dan meningkatkan profil kredit mereka dengan fitur-fitur seperti tip dan saran yang dipersonalisasi. Kami juga akan membantu membawa lebih banyak pengguna NTC (New to Credit),”

Mendukung bisnis fintech

Terkait pemanfaatan layanan credit scoring, fintech lending atau P2P lending adalah salah satu jenis fintech yang akan secara intensif memanfaatkan layanan ini. Dalam proses kerjanya, mereka membutuhkan proses penilaian kelayakan yang cepat untuk memberikan umpan balik sesegera mungkin setelah pengguna melakukan pengajuan.

Belum lama ini, layanan marketplace microfinance Amartha meluncurkan inisiatif terbarunya Ascore.ai, alternatif skoring kredit yang dibangun di atas lebih dari 1 juta database mitra pengusaha ultra mikro Amartha selama tujuh tahun terakhir. Solusi ini menargetkan pangsa pasar institusi dan individu.

Selain itu juga ada AIForesee yang belum lama ini diperkenalkan sebagai anak perusahaan baru dari Investree. Perusahaan menyediakan platform penilaian kredit alternatif untuk mendukung penyaluran pinjaman produktif ke UMKM. Platform ini beroperasi menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan data alternatif yang dimiliki oleh ekosistem.

Selain dapat dimanfaatkan UMKM untuk bisa mendapat akses kredit, dan P2P lending untuk mendukung bisnis pembiayaan, innovative credit scoring juga bisa dimanfaatkan untuk e-commerce dalam rangka mendorong digitalisasi UMKM dan jasa keuangan memberi proteksi asuransi, serta akses bagi perusahaan pembiayaan.

Salah satu contohnya adalah Tokoscore yang sudah terafiliasi dengan platform Tokopedia. Saat ini, pihaknya berupaya membantu menjawab masalah yang dihadapi pemberi pinjaman. Terutama, ketika mereka menerima pengajuan kredit dari tiga kelompok masyarakat unbankable, namun kesulitan menilai credit risk karena tidak menemukan data historis mereka di biro kredit.

Perusahaan baru saja meluncurkan produk terbaru, yaitu”Income Prediction” memungkinkan prediksi nilai pendapatan dari calon peminjam untuk membantu para mitra strategis di industri keuangan, seperti bank atau fintech, dengan menilai kapasitas dari para calon peminjam. Selain itu ada “Fraud Flags” yang memberikan informasi jika calon peminjam memiliki aktivitas atau perilaku mencurigakan di platform e-commerce.

Terkait isu keamanan data, penyelenggara fintech innovative credit scoring (Fintech ICS) pada tahun 2021 lalu telah meluncurkan kode etik (Code of conduct) yang disusun oleh Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan Kelompok Kerja (Pokja). Kode etik ini diharapkan bisa mendorong penyelenggara lebih bertanggung jawab, meningkatkan kepercayaan konsumen, serta turut berkontribusi dalam inklusi keuangan di Indonesia.

Begini Cara LinkAja Kebut Pertumbuhan Signifikan Melalui Strategi Bisnis Baru Dua Sisi

Dewasa ini, pertumbuhan signifikan bagi perusahaan teknologi rintisan dari berbagai skala merupakan hal yang esensial. Tantangan yang berasal dari situasi ekonomi makro mendorong entitas teknologi untuk tak hanya bertumbuh secara signifikan, namun juga profitabilitas yang diharapkan mampu terakselerasi serta tetap mengedepankan aspek fundamental yang kokoh. Banyak cara untuk mencapai hal tersebut, salah satunya adalah dengan menciptakan kesinambungan dalam kolaborasi yang solid.

Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh LinkAja, fintech besutan tanah air ini menargetkan pertumbuhan yang pesat dengan mempertajam strategi dan memperkuat langkahnya dalam membangun solusi finansial digital yang komprehensif bagi ekosistem perusahaan BUMN di Indonesia. Hal ini akan direalisasikan dengan menghadirkan strategi bisnis baru LinkAja yang akan memfokuskan diri ke bisnis model dua sisi (two-sided business model), solusi finansial bagi konsumen Indonesia, juga menyediakan solusi finansial end-to-end bagi rantai pasok (supply chain) baik digital maupun tradisional di bawah naungan BUMN, melalui layanan pembayaran, pinjaman dan layanan digital lainnya. Langkah ini dipercaya akan menghadirkan dampak yang lebih signifikan dalam mempercepat inklusi keuangan Indonesia serta menyatukan beragam potensi yang ada di dalam ekosistem BUMN Indonesia yang sangat besar jumlahnya. 

Dikutip dari laporan fintech 2021 perusahaan fintech yang ada di Indonesia sudah berkontribusi 41.9% terhadap transaksi  ekonomi digital di ASEAN. Lebih spesifiknya, data Bank Indonesia menunjukkan hingga Agustus 2021, jumlah transaksi e-money telah mencapai Rp25 triliun. Dilihat dari data tersebut, angka ini meningkat 41 persen dari Rp17 triliun pada Agustus 2020.

Digitalisasi dalam Ekosistem BUMN Menjadi Jalan bagi LinkAja untuk Terus Unggul

Dengan tumbuhnya ekonomi digital domestik juga memberikan dampak yang cukup besar bagi LinkAja untuk semakin unggul, sejak didirikan pada tahun 2019, perjalanan LinkAja sudah meningkat 15 kali lipat lebih banyak dengan lebih dari 82 juta pengguna yang terdaftar. Tentunya dengan keberhasilan tersebut LinkAja sukses memikat investor Asia Tenggara dengan kehadiran dan kesadaran platform-nya sebagai juara fintech di Indonesia. Hal itu sejalan dengan situasi dan kondisi yang tengah terjadi di industri teknologi dunia. Di kala tantangan makro ekonomi global, perusahaan teknologi yang profitabel menjadi hal yang esensial untuk memperkuat fundamental perusahaan dari segi permodalan dan sejenisnya.

Untuk memperkuat ekosistem layanan digital bagi mitra strategis, LinkAja menciptakan sistem rantai pasok untuk mendukung kebutuhan tersebut. Menurut CEO LinkAja Yogi Rizkian Bahar, hal ini bertujuan untuk mewujudkan unit economics yang baik dengan peningkatan customer lifetime value yang berujung pada path to profitability yang lebih jelas. 

“Lalu dengan menjadi penghubung antara merchant dan pelanggan, LinkAja tidak hanya memfasilitasi aktivitas transaksinya saja, tetapi juga memungkinkan principal untuk bisa mengetahui lebih jauh tentang para merchant-nya, misalnya KYC dan kemampuan finansialnya. Hal ini akan memungkinkan LinkAja untuk memperluas fasilitas layanannya berupa pembiayaan,” katanya.

Dalam memperluas lini bisnis ke pembayaran online, layanan pembiayaan yang direncanakan oleh LinkAja diwujudkan terlebih dahulu di dalam ekosistem rantai pasok bisnis seperti Digipos (Telkomsel), para pelaku UMKM atau pelaku usaha dibawah naungan SRC (Sampoerna Retail Community), dan juga merambat ke rantai pasok bisnis BUMN lainnya.

Melalui strategi ini, LinkAja memberikan layanan efisien untuk mempermudah pengguna untuk membayar berbagai jenis tagihan seperti tagihan listrik pasca bayar, token listrik prabayar, internet, PDAM, hingga membayar BBM dan LPG melalui Pertamina. Tentunya kemudahan ini juga dijembatani dengan kehadiran QRIS yang diinisiasi oleh Bank Indonesia sejak 2020 lalu. 

Untuk memperbesar ekosistemnya, LinkAja juga melakukan kolaborasi dengan ekosistem BUMN lainnya, salah satunya PT Semen Indonesia Group (SIG), adanya kolaborasi ini juga menjadi sebuah strategi memperkenalkan dompet digital dan menjangkau lebih banyak lagi lapisan masyarakat di seluruh Indonesia . 

Tentunya sebagai salah satu platform keuangan elektronik dalam kesempatan digitalisasi yang semakin melebar, membuat LinkAja bertekad untuk terus berkolaborasi dan berinovasi dalam membantu pelaku usaha, khususnya di ekosistem BUMN agar bisa memanfaatkan konektivitas digital dan kedepannya LinkAja akan menjangkau ekosistem BUMN lainnya.

Sementara itu, untuk saat ini cash-in cash-out (CICO) LinkAja sudah mencapai 1,3 juta dan juga telah berhasil menerima investasi strategis dari Gojek dan Grab

Meningkatkan Inklusi Keuangan Melalui Kolaborasi dan Investasi

Berbeda dengan perusahaan e-wallet lainnya, LinkAja bukan hanya berfokus pada konsumen saja namun juga memberikan solusi finansial dalam memenuhi kebutuhan ekosistem merchant guna memfasilitasi kebutuhan transaksi sehari-hari pengguna layanan.

“Kami melihat perlu menajamkan kembali strategi bisnis baru LinkAja yang akan memfokuskan diri ke bisnis model dua sisi (two-sided business model), yaitu tidak hanya menghadirkan layanan solusi finansial bagi konsumen Indonesia, namun juga menyediakan solusi finansial end-to-end bagi rantai pasok (supply chain) baik digital maupun tradisional, terutama yang berada di dalam ekosistem BUMN,” tambah Yogi

Maka dari itu, LinkAja berniat untuk melakukan kerjasama dengan Badan usaha Milik Negara lain untuk memberikan pelayanan e-wallet. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan yaitu menjadi uang elektronik nasional yang bisa mendukung pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan dan ekonomi melalui kemudahan akses layanan keuangan digital kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Melalui ekosistem layanan transaksi keuangan elektronik yang lengkap dan terintegrasi, konsistensi dan komitmen LinkAja dalam upayanya untuk #SatukanPotensiIndonesia semakin terealisasi. Dengan mengoptimalkan seluruh layanan yang diunggulkan oleh setiap BUMN yang merupakan pemegang sahamnya, LinkAja optimis dapat memenuhi kebutuhan transaksi digital yang aman dan nyaman, serta semakin mempercepat proses inklusi keuangan yang merata di Indonesia.

Untuk menjalankan tujuannya tersebut sejak awal 2021, LinkAja sudah melakukan kerjasama dengan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI guna mengembangkan uang elektronik berbasis syariah di Indonesia. Kemudian di tahun yang sama juga LinkAja melakukan akuisisi iGrow (startup P2P lending untuk sektor pertanian).

Perkembangan Sektor e-wallet di Indonesia

Beberapa tahun terakhir sektor dompet digital (e-wallet) telah menghasilkan nilai transaksi yang cukup fantastis. Dalam laporan fintech 2021, e-wallet memimpin subsektor fintech yang paling sering digunakan, persentasenya memegang 53.7%. Kepraktisannya untuk penggunaan sehari-hari konsumen seperti transfer uang, top-up, hingga pembayaran e-commerce menjadi alasan utama subsektor ini bisa mengalahkan sub sektor lainnya seperti Paylater, P2P Lending, hingga investasi. Data per September 2021 juga menunjukkan volume transaksi uang elektronik ini mencapai 470 juta dengan total value Rp27,6 triliun.

Diketahui, kini selain mengakuisisi iGrow, LinkAja juga terus memperluas jangkauan pasarnya dengan menggarap layanan syariah. Seperti diketahui, pada April 2020, LinkAja  telah memiliki LinkAja Syariah, Layanan uang elektronik berbasis syariah yang pertama di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi dari MUI. 

Beberapa tahun terakhir sektor dompet digital (e-wallet) telah menghasilkan nilai transaksi yang cukup fantastis. Dalam laporan fintech 2021, e-wallet memimpin subsektor fintech yang paling sering digunakan, persentasenya memegang 53.7%. Kepraktisannya untuk penggunaan sehari-hari konsumen seperti transfer uang, top-up, hingga pembayaran e-commerce menjadi alasan utama subsektor ini bisa mengalahkan sub sektor lainnya seperti PayLater, P2P Lending, hingga investasi. Data per September 2021 juga menunjukkan volume transaksi uang elektronik ini mencapai 470 juta dengan total value Rp27,6 triliun.

Masih dari laporan yang sama, e-wallet menjadi salah satu produk fintech yang masih dipertimbangkan untuk digunakan di masa depan, karena jika melihat pertumbuhan dan potensi yang besar dari pasar e-wallet di Indonesia, banyak pemain yang berusaha berkompetisi dengan menghadirkan beragam strategi dan inovasi. Diketahui, kini selain mengakuisisi iGrow, LinkAja yang juga telah memiliki label e-wallet dari Bank Indonesia dan e-retailer dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) ini bakal memperluas jangkauan pasarnya dengan menggarap layanan syariah. Sangat menarik untuk menantikan perkembangan berikutnya dari LinkAja di masa mendatang.

GoTo Financial Anak usaha Grup GoTo jadi Gerbang Inklusi Keuangan Indonesia

Sebagai negara berkembang, salah satu tolok ukur kesejahteraan ekonomi dan masyarakat bisa diukur melalui tingkat literasi dan inklusi keuangan. Sayangnya, hal itu masih menjadi pekerjaan rumah, tatkala target pemerintah mematok inklusi keuangan untuk bisa mencapai angka 90% diprediksi hanya baru bisa tercapai di tahun 2024.

Lebih spesifik lagi, menurut Presiden Joko Widodo, literasi keuangan digital di masyarakat RI saat ini baru mencapai 35,5%. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pada 2019, indeks inklusi keuangan di Indonesia mencapai 76%, lebih rendah dibandingkan Singapura sebesar 86%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%.

Ketertinggalan itu bisa digenjot oleh berbagai cara. Dari sisi regulator, OJK telah menerbitkan roadmap yang berfokus pada percepatan akses keuangan daerah pada periode 2021-2025. Cara lain yang juga patut diperhitungkan adalah inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh para pemain industri teknologi melalui implementasi solusi keuangan berbasis digital yang sanggup menjangkau masyarakat luas secara efisien dan optimal. Seperti halnya GoTo Financial yang mampu tampil sebagai ekosistem pendorong inklusi keuangan tanah air.

GoTo Financial merupakan grup teknologi bagian dari GoTo, yang memiliki layanan untuk mendukung aktivitas keuangan masyarakat melalui GoPay dan GoPaylater, serta menyediakan solusi bisnis untuk pelaku usaha mulai dari UMKM sampai dengan perusahaan besar. Solusi bisnis ini meliputi Midtrans (payment gateway terkemuka), Moka dan GoBiz Plus (jaringan point of sales terbesar di Indonesia), hingga platform GoBiz dan Selly yang dapat meningkatkan efisiensi usaha online.

Perkembangan layanan finansial teknologi mendorong inklusi keuangan

Sejatinya, evolusi layanan keuangan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kehidupan masyarakat. Seiring dengan evolusi itu, tantangan demi tantangan yang terjadi di sekitar kita menjadi hal “lumrah” yang biasanya kerap terselesaikan dengan perkembangan teknologi. Salah satu contoh tantangan yang ada yakni masih ditemuinya perilaku terbiasa dengan uang tunai, dan “asingnya” fasilitas perbankan bagi masyarakat rural maupun berpenghasilan rendah.

Kondisi tersebut kemudian mendorong perlu adanya langkah komprehensif nan inovatif dari berbagai pihak, seperti yang dilakukan oleh para pemain fintech yang berupaya menelurkan inovasi yang memudahkan masyarakat, untuk dapat memanfaatkan pembayaran digital sebagai gerbang awal bagi layanan keuangan lainnya.

Sebagai penyedia pembayaran digital, GoPay turut hadir untuk mengakselerasi hal tersebut. Terlebih dalam waktu dekat, GoPay akan mengintegrasikan layanan dengan Bank Jago. Rencana integrasi itu menjadi contoh riil GoPay yang dimulai dari pembayaran ‘mikro’ menjadi gerbang awal masyarakat untuk masuk ke layanan keuangan ‘makro’ atau layanan keuangan formal yang diusung oleh Bank Jago.

Kiprah GoTo Financial mematangkan inklusi keuangan

Kembali lagi membahas GoTo Financial, dalam riset yang dirilis Lembaga Demografi FEB UI menyatakan, GoTo Financial dipandang sebagai salah satu ekosistem keuangan digital yang paling komprehensif dalam menggenjot inklusi keuangan.

Data survey menunjukkan, platform e-wallet GoPay diklaim sebagai gerbang pertama masyarakat dalam mengenal pembayaran non-tunai berbasis digital, atau dalam persentase, sebanyak 46% konsumen mengandalkan GoPay sebagai transaksi pembayaran non-tunai pertamanya.

Lebih lanjut, GoPay membantu masyarakat yang sebelumnya belum pernah terekspos ke produk dan layanan perbankan dan non-perbankan (unbanked & underbanked society) untuk dapat mengakses layanan keuangan formal. Berdasarkan riset, 1 dari 5 konsumen GoPay tidak memiliki atau tidak menggunakan rekening bank secara aktif.

Tak hanya itu, GoPay juga berhasil mengedukasi mendorong inklusi ke layanan finansial bagi komunitas yang sebelumnya tak terjangkau perbankan, terlihat dari ketertarikan pengguna untuk membuka rekening bank melalui GoPay (unbanked to banked society). Survey dari LD-FEB UI tersebut menyatakan bahwa 1 dari 4 konsumen ingin membuka akun bank lewat GoPay.

Lebih jauh lagi, survey LD-FEB UI mengemukakan, GoPay berhasil menjadi pintu awal konsumen dalam memanfaatkan layanan keuangan lainnya. Dikatakan, pengguna memanfaatkan GoPay untuk berbagai hal mulai dari pengatur keuangan hingga investasi digital.

Konsumen dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pemasukan secara merata menggunakan GoPay untuk investasi digital, seperti reksa dana dan emas. Hal ini mematahkan persepsi bahwa investasi hanya dapat diakses oleh masyarakat dengan pemasukan dan pendidikan tinggi.

Melihat pergerakan intensif di atas dalam menumbuhkan inklusi keuangan yang signifikan —seperti yang dilakukan oleh GoTo Financial — untuk mencapai target yang diharapkan pemerintah tadi bukanlah perkara yang sulit.

Setelah ini, hal terpenting adalah menjaga komitmen dan sinergi yang jauh lebih apik lagi di antara pemangku kepentingan untuk mewujudkan masyarakat yang melek keuangan secara menyeluruh. Bila tercapai, tidak menutup kemungkinan perkembangan yang dibangun dari kolaborasi ini dapat memajukan potensi pemulihan ekonomi bagi masyarakat Indonesia.

Artikel ini didukung oleh Midtrans.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.