Mengenal Atnic dan JALA sebagai Evolusi Blumbangreksa

Atnic baru-baru ini menggema di beberapa kompetisi startup, salah satunya menjuarai Creative Business Cup 2017 Indonesia yang digelar Ciputra Entrepreneurship Center. Namanya terdengar baru, namun sebenarnya debut startup asal Yogyakarta ini tidak lagi baru. Atnic merupakan nama perusahaan pengembang Blumbangreksa, sebuah solusi berbasis IoT untuk sektor budidaya produk perikanan.

Dalam perkembangannya, Blumbangreksa yang menjadi produk inisial Atnic juga sudah berganti dengan brand baru bernama JALA. Produk tersebut tengah dalam proses finalisasi dan uji lapangan di beberapa wilayah. JALA sendiri dikembangkan sebagai asisten untuk bertambak udang. Sistem tersebut membantu petambak udang untuk memantau kualitas air dan mengelola tambak udang melalui aplikasi.

JALA adalah perangkat IoT yang mampu memonitor kualitas air pada tambak udang. Perangkat ini didesain untuk dapat mengatasi masalah budidaya udang dengan mengukur, menganalisis dan memberikan semua rekomendasi berdasarkan kondisi kualitas air tambak. JALA dikembangkan untuk membantu petambak udang dan meningkatkan respons petambak dalam menjaga kualitas air dan mengurasi kesalahan penanganan dalam bertambak udang.

“Di Atnic saat ini ada beberapa riset produk hardware tidak hanya dibidang agrikultur dan akuakultur, namun saat ini kita fokus pada tahap finalisasi produk JALA. Kami juga sedang mengembangkan beberapa produk lain untuk tambak udang dan bisnis akuakultur lain, namun saat ini tim terfokus untuk finalisasi produk JALA,” ujar Co-Founder & VP Product Atnic Syauqy Nurul Aziz.

Sistem JALA sendiri terdiri dari tiga bagian, pertama ialah sebuah perangkat yang dilengkapi sensor untuk memahami kadar oksigen terlarut, suhu, pH, salinitas, dan TDS (Total Dissolved Solid). Kemudian hasil pantauan dari sensor tersebut akan diproses dan dikirimkan hasilnya melalui aplikasi web dan SMS. Dibanding mobile app, SMS tampaknya memang lebih efisien untuk petani udang di lapangan. Dalam laporannya, JALA memberikan informasi dan rekomendasi untuk membantu petambak dalam mengambil tindakan yang tepat berdasarkan kondisi kualitas air tambak udang yang telah diukur.

Purwarupa terakhir JALA kini sedang dalam proses uji lapangan dan sudah dipasangkan di 53 kolam di Subang, Brebes, Tegal, Purworejo, dan Sleman. Untuk proses akselerasi, Syauqy juga memaparkan bahwa saat ini Atnic sedang dalam proses pembicaraan dengan beberapa investor dan pemodal ventura untuk investasi dukungan produksi masal JALA tahap pertama. Di lain agenda, Atnic juga sedang dalam masa ramp-up program salah satu accelerator hardware dan IoT di Hong Kong.

“Industri tambak udang di Indonesia saat ini sedang mengalami banyak tantangan. Kualitas air yang tidak terpantau merupakan tantangan terberat petambak udang yang menyebabkan produktivitas menurun tiap tahunnya. Tantangan ini sekaligus menjadi peluang untuk meningkatkan hasil petambak udang dengan JALA,” pungkas Syauqy memaparkan kondisi sektor budidaya yang ada saat ini.

eFishery Segera Hadirkan Teknologi IoT Smart Feeder untuk Tambak Udang

Produk Internet of Things (IoT) untuk penjadwalan pakan ikan eFishery saat ini tengah mempersiapkan platform baru untuk tambak udang. Kepada DailySocial, CEO eFishery Gibran Huzaifah mengatakan rencananya teknologi Shrimp Smart Feeder akan diluncurkan akhir tahun 2017 mendatang.

Mekanisme dan fungsi Shrimp Smart Feeder eFishery tidak jauh berbeda dengan smart feeder yang diterapkan kepada ikan, yaitu memberi pakan secara otomatis, dapat diatur dengan smartphone, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet.

Perbedaan lebih kepada desain mesinnya yang kini memiliki pelontar dengan radius lontaran 360 derajat (sebelumnya 90 derajat). Lontaran ini sesuai dengan kebutuhan tambak udang yang luasnya ratusan meter persegi. Dengan pelontar ini pakan tersebar lebih merata ke seluruh sisi kolam.

Feeder ini merupakan feeder yang kita modifikasi untuk bisa sesuai dengan model budidaya udang yang punya beberapa perbedaan dibandingkan budidaya ikan yang kita target sebelumnya. Perbedaannya terletak di modifikasi mesin dan aplikasi yang mengatur feeder,” kata Gibran.

Dari sisi aplikasi, pengaturan untuk pemberian pakan juga disesuaikan dengan kebutuhan petambak udang. eFishery memperkenalkan metode continuous feeding/frequent feeding ke tambak udang yang bisa meningkatkan pertumbuhan udang lebih cepat serta lebih efektif dalam penggunaan pakan. Metode ini adalah dengan menggunakan feeder untuk memberikan pakan belasan hingga puluhan kali dalam sehari atau bahkan 24 jam yang membuat udang makan lebih banyak tetapi pakan tidak boros.

“Metode ini tidak mungkin dilakukan sebelumnya karena keterbatasan petambak yang sulit untuk mengelilingi kolam puluhan kali setiap hari untuk memberi makan. Dengan feeder cukup di-setting dengan smartphone dan pakan akan diberikan secara otomatis,” kata Gibran.

Target eFishery hingga akhir tahun 2017

Sejak mendapatkan pendanaan Pra-Seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan dari Aqua-Spark Belanda dan Ideosource pada tahun 2015 lalu, hingga kini eFishery belum mengumumkan penggalangan dana baru. Disinggung tentang adanya rencana fundraising  tahun 2017 ini, Gibran enggan memberikan informasinya. Namun demikian hingga akhir tahun 2017 masih banyak rencana dan target yang ingin diwujudkan eFishery.

“Di 2017 ini target kami memantapkan pasar kami di perikanan air tawar terutama di wilayah Jawa dan Lampung yang merupakan wilayah sentra ikan tawar Indonesia dengan komoditas seperti nila, lele, patin, gurame, dan ikan mas. Selain itu kami juga memiliki target untuk menguasai pasar tambak udang di wilayah Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur,” tutup Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Republic of IoT 2017 Segera Digelar untuk Temukan Potensi Pengembang Lokal

Potensi penerapan teknologi Internet of Things (IoT) masih terbuka luas di Indonesia. Belakangan ini salah satu yang paling ramai ialah solusi berbasis smart home, akan tetapi itu hanya sebagian kecil dari apa yang bisa dilakukan oleh IoT. Untuk menemukan ragam inovasi IoT lainnya, penggerak IoT lokal Makestro bekerja sama dengan MyIoTC dari Malaysia dan Kominfo mengadakan rangkaian acara “Republic of IoT 2017 (RIoT 2017)”.

RIoT memiliki tujuan untuk membuka akses teknologi di bidang IoT untuk semua orang, menjadi wadah untuk menggerakkan ekosistem IoT di Indonesia melalui sebuah gerakan komunitas, serta meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum terhadap adanya teknologi IoT  yang solutif.

RIoT dibagi menjadi dua sub-acara, yaitu RIoT Seminar yang diadakan pada 23–25 Agustus 2017 dan RIoT Hackathon yang diadakan pada 26–27 Agustus 2017. RIoT Hackathon dibuka bagi para penggiat IoT yang ingin mewujudkan proyek-proyek IoT yang dapat menjadi solusi dari kategori yang ditawarkan. Khalayak umum atau investor yang tertarik mendalami bidang IoT atau sekadar ingin tahu seputar kondisi industri IoT saat ini dapat mengikuti RIoT Seminar.

Adapun beberapa masalah bangsa yang akan dipecahkan oleh para penggiat IoT di acara RIoT ini dibagi menjadi 14 kategori, yaitu pertanian, pertahanan dan keamanan, transportasi, alam, kesehatan, pendidikan, smart city, smart living, olahraga, maritim, engagement, aksesibilitas, fintech dan e-commerce, serta industri.

Untuk menyambut pagelaran utama RIoT, Makestro akan mengadakan Road to RIoT, serangkaian tur di lima kota besar di Indonesia untuk mensosialisasikan dan berbagi pengetahuan dengan komunitas maker lokal. Lima kota tersebut meliputi Jakarta, Bogor, Semarang, Surabaya dan Medan.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran, baik RIoT Seminar dan RIoT Hackathon, dapat dilihat melalui formulir yang tersedia di situs resmi RIoT di www.r-iot.id.

Flyer RIoT


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Republic of IoT 2017.

Net1 Indonesia dan INTI Bersinergi Akomodasi Frekuensi 450MHz untuk Perkuat Perkembangan IoT

PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) menyepakati realisasi visi untuk memproduksi perangkat telekomunikasi yang dapat mengakomodasi frekuensi 450MHz.  Konektivitas ini dinilai merupakan salah satu komponen penting –selain sensor and actuator dan people and process—untuk mendorong berkembangnya era Internet of Things (IoT)

STI, dengan merek dagang Net1 Indonesia, berupaya menjajaki kerja sama dengan sejumlah pihak yang telah memiliki pengalaman dalam bidang telekomunikasi. INTI dinilai sebagai perusahaan yang memiliki visi yang sama serta kapabilitas mengembangkan peranti telekomunikasi yang cocok dengan kebutuhan STI.

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara kedua belah pihak akan diwakili Larry Ridwan selaku CEO STI dan Darman Mappangara selaku CEO PT INTI.

“Kami meyakini MoU ini akan membawa business opportunity yang semakin menjanjikan bagi Net1 Indonesia dan PT INTI. Kerja sama juga diharapkan akan memberikan dampak positif guna memperlancar serta mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis berbasis IoT di lingkungan perkotaan maupun perdesaan,” sambut Larry.

Dalam kerja sama ini, PT INTI akan memproduksi perangkat yang mendukung frekuensi 450MHz yang akan dipasarkan dalam bisnisnya setelah diintegrasikan dengan layanan Net1 Indonesia. Perangkat yang dimaksud adalah perangkat yang sudah dipasarkan maupun yang akan datang.

Pertimbangan lainnya adalah kemampuan INTI untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menkominfo, sampai dengan Januari 2017, TKDN yang harus dipenuhi oleh para Vendor Pembuat Alat dan Perangkat Telekomunikasi adalah 20% bagi Subscriber Station (SS) dan 30% bagi Base Station (BS).

“Kami merasa bangga dipercaya oleh Sampoerna Telekomunikasi Indonesia untuk memproduksi perangkat 4G LTE yang mendukung frekuensi 450Mhz untuk layanan Net1, kerja sama ini merupakan sebuah langkah besar untuk mendorong perkembangan ekosistem IoT di Indonesia sehingga bisa memajukan industri dalam negeri secara  keseluruhan.” sambut Darman.

“Asia IoT Business Platform” Soroti Tiga Isu Industri “Internet of Things” di Indonesia

Asia IoT Business Platform yang diselenggarakan selama dua hari, tanggal 7-8 Agustus 2017 akan menyoroti isu utama dalam lanskap Internet of Things (IoT) di Indonesia. Di antaranya masalah mengenai biaya, infrastruktur, dan kebijakan. Selain itu, topik terkait industri, seperti perkembangan digital terbaru, tantangan, dan masalah yang dihadapi perusahaan dan organisasi di berbagai industri vertikal.

Lebih dari 400 eksekutif senior dan pemimpin IT dari Indonesia ikut serta dalam diskusi yang membangun pengetahuan dan jaringan bisnis strategis di wilayah tersebut. Tujuan akhir yang ingin disasar dari konferensi ini adalah mendorong seluruh industri untuk mengadopsi IoT lebih cepat seiring dimulainya transformasi digital, baik di kalangan pemerintah maupun swasta.

Director Asia IoT Business Platform Irza Suprapto mengatakan acara ini menjadi platform untuk para pemimpin industri dan IT dari berbagai sektor untuk berkompul dan ikut serta dalam diskusi. Dari pertemuan tersebut diharapkan dapat membuahkan kontribusi terhadap pertumbuhan pengetahuan dan pemahaman dalam industri.

“Ini salah satu langkah penting dalam mendorong transformasi digital di Indonesia, yang memungkinkan pemangku kepentngan untuk membawa masalah dan tantangan untuk mendapatkan jawabannya dari penyedia solusi dan vendor,” katanya Senin (7/8).

Division Head of IoT & Vertical Apps Solutions Indosat Ooredoo Hendra Sumiarsa menambahkan masih banyak konsumen yang masih beranggapan IoT sebagai teknologi dengan ongkos yang mahal. Menurutnya, hal ini terjadi karena proses edukasinya yang masih minim.

“Dari sisi pelanggan, bagaimana adopsi teknologi baru ini masih minim pengetahuannya. Ada yang bilang ini kompleks, tidak compatible, dan cost-nya tinggi. Ini harus di-address dengan cara yang benar. Edukasi yang cukup adalah kuncinya,” terang dia.

Minimnya edukasi, cukup tercermin dari hasil survei yang dilakukan Asia IoT Business Platform baru-baru ini terhadap pemimpin IT di ASEAN mengenai pandangannya mengenai IoT. Hasilnya ditemukan, sebanyak 73,3% perusahaan dan organisasi lokal saat ini sedang dalam proses eksplorasi atau menemukan solusi IoT yang mungkin untuk diimplementasikan.

Namun, hanya 7% yang melaporkan telah menerima keuntungan dari implementasi IoT berbentuk apapun dengan menyebutkan biaya, ketidakcocokan dengan sistem baru, dan kompleksitas sebagai tantangan terbesar.

“Memahami tantangan dan kekhawatiran pengguna, serta mampu menjawab tantangan adalah elemen penting yang dapat mendorong sekaligus mempertahankan tingkat adopsi IoT di sini,” terang Irza.

Dorong standarisasi jaringan dan lelang spektrum

Hendra melanjutkan bagi operator seluler, untuk mendukung percepatan implementasi IoT di Indonesia dibutuhkan kehadirannya jaringan khusus yang dialokasikan pemerintah. Sebab, pengembangan IoT membutuhkan jaringan khusus yang perlu menyesuaikan berdasarkan penggunaannya. Dia juga menekankan perlunya standarisasi jaringan.

“Karena IoT itu use case-nya berbeda-beda, maka dibutuhkan jaringan khusus. Oleh karena itu peran pemerintah yang kami paling butuhkan adalah membuat standarisasi dan spektrum,” terangnya.

Untuk sektor yang diperkirakan paling banyak diadopsi, menurut Hendra, secara berurutan adalah mobilitas, industri, ritel, utilitas, dan smart city.

“Empat sektor tersebut yang menurut kami bakal paling banyak menggunakan teknologi IoT untuk ke depannya di Indonesia,” pungkasnya.

Indosat Ooredoo Business Resmikan Platform IoT Manajemen Armada NextFleet

Indosat Ooredoo Business resmikan peluncuran platform internet of things (IoT) NextFleet sebagai solusi manajemen armada demi memudahkan korporasi untuk mengomptimalkan proses distribusi jadi lebih akurat dan aktual dengan menggunakan aplikasi mobile dan perangkat IoT.

NextFleet merupakan pengembangan produk vertikal lapis kedua dari platform IoT sebelumnya, yaitu NexThing, yang sudah lebih dulu diluncurkan pada akhir 2015. Peluncuran ini sekaligus menandakan ambisi Indosat Ooredoo untuk menjadi IoT platform leader di Indonesia pada tiga tahun mendatang.

“Dalam tiga tahun ke depan, kami akan memperkuat posisi sebagai preferred digital partner di Indonesia. Ini sudah kami lakukan sejak dua tahun lalu lewat peluncuran NexThing dengan fokus lebih ke smart city. Untuk vertikal produk kedua dari NexThing adalah NextFleet untuk solusi transportasi, logistik, dan distribusi. Ke depannya akan ada vertikal produk lainnya yang siap kami hadirkan,” terang Division Head of IoT & Vertical Apps Solutions Indosat Ooredoo Hendra Sumiarsa, Senin (7/8).

Kehadiran NextFleet, sambungnya, menjadi solusi yang ingin dihadirkan Indosat dalam mengatasi permasalahan tingginya ongkos logistik di Indonesia. Indosat melihat tingginya ongkos disebabkan 60% di antaranya dikontribusikan oleh transportasi. Selain itu, utilitas armada yang rendah karena sebanyak 50% kendaraan dalam perjalanan pulang berada dalam kondisi yang kosong.

Solusi yang dihadirkan pemain lainnya untuk mengatasi masalah tersebut diklaim kurang menjawab keadaan, lantaran fitur yang dihadirkan hanya sekadar GPS untuk melacak keberadaan barang.

Hendra mengklaim NextFleet sebagai solusi manajemen secara menyeluruh untuk konsumen karena adanya fitur aplikasi berbeda untuk tiga pihak yang terlibat dalam proses supply chain armada distribusi logistik. Mulai dari fleet manager, pengemudi, dan pelanggan. Ketiganya disebut sebagai Three Persona.

Three Persona menyebabkan ketiga pihak saling terintegrasi karena di dalam masing-masing aplikasi memiliki fitur yang berbeda dan dapat berbagi data. Hal ini memudahkan terjadinya kolaborasi dalam memantau armada dan proses distribusinya.

Kelebihan lainnya adalah Multi Point Destination dengan kemampuan melakukan aktivitas distribusi ke beberapa lokasi, memonitor posisi dan aktivitas secara aktual, dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.

“Di samping itu, NextFleet juga menggunakan teknologi yang sudah kami kembangkan sebelumnya yakni Vehicle Telematics. NextFleet ini diperuntukkan untuk perusahaan yang bergerak di sektor logistik, supply chain, manufaktur, transportasi, dan ritel.”

Dapat dioperasikan di luar jaringan Indosat

Director and Chief Wholesale & Enterprise Officer Indosat Ooredoo Herfini Haryono menambahkan NextFleet menggunakan konsep telco agnostic, yang berarti dapat dijalankan di luar jaringan Indosat. Tidak mewajibkan konsumen untuk menjadi pelanggan Indosat terlebih dahulu dalam menikmati produknya.

Terlebih, dalam menghadirkan produk untuk korporasi konsep ini harus dipakai tidak lagi melihat operatornya. Selain itu, dapat mengurasi potensi terjadinya blank spot untuk daerah tertentu. Lantaran, masih ditemuinya jaringan Indosat yang masih lemah untuk beberapa titik, terutama di pedalaman.

“Meski telco agnostic, kami juga adakan versi bundling-nya, sehingga penggunaan paling ekonomis bila sekaligus menjadi pelanggan Indosat. Akan tetapi sebelumnya kami sudah bekerja sama dengan operator lainnya untuk produk korporasi dapat menggunakan dual SIM,,” terang Herfini.

Terkait efisiensi yang dapat dirasakan konsumen lewat NextFleet, Herfini memprediksi bahwa konsumen akan mendapat tambahan hemat antara 15%-20% dari produk ini.

“Dari layanan machine-to-machine (M2M), konsumen sudah bisa merasakan efisiensi. Akan tetapi dengan NextFleet, kira-kira mereka akan dapat tambahan efisiensi antara 15%-20%,” pungkasnya.

Bluetooth Mesh Diproyeksikan Sebagai Standar Baru di Ranah Smart Home

Bluetooth yang kita kenal sekarang hanya bisa beroperasi dalam radius kurang dari 10 meter. Namun ke depannya batasan jarak ini bisa sirna dengan diperkenalkannya standar baru bernama Bluetooth Mesh oleh Bluetooth SIG, organisasi di balik semua penetapan spesifikasi Bluetooth sebagai standar dalam teknologi wireless.

Bluetooth Mesh bukanlah pengganti Bluetooth 5.0, melainkan merupakan mekanisme baru supaya Bluetooth bisa beroperasi dalam sebuah mesh networking (topologi jala). Singkat cerita, standar baru ini memungkinkan berbagai macam perangkat Bluetooth untuk saling terhubung dan membentuk sebuah mesh network.

Mesh networking sendiri punya banyak keuntungan. Salah satu fungsinya adalah memungkinkan transmisi data untuk ‘melompat’ dari perangkat ke perangkat, sehingga pada akhirnya data atau sinyal bisa menempuh jarak yang lebih jauh dari sebatas 10 meter.

Ilustrasi Bluetooth Mesh

Bluetooth Mesh juga tidak berniat menggantikan Wi-Fi mesh networking, sebab implementasinya hanya akan terdengar relevan pada perangkat-perangkat yang mengonsumsi daya dalam jumlah kecil saja, seperti bohlam pintar misalnya. Berkat Bluetooth Mesh, bohlam pintar yang tersebar di satu gedung perkantoran bisa saling terhubung satu sama lain, dari lantai 1 sampai lantai 30 sekalipun.

Lalu ketika Anda perlu mematikan lampu di lantai teratas, Anda bisa melakukannya via smartphone meski sedang berada di lobi karena data yang ditransmisikan akan melompat dari satu bohlam ke yang lain, lantai demi lantai.

Bluetooth Mesh bakal mempunyai peran penting di ranah smart home. Pasalnya, Anda jadi tidak memerlukan sebuah unit smart home hub untuk mengonfigurasikan dan mengendalikan Bluetooth mesh network sebab komunikasinya bisa mengandalkan semua perangkat yang mendukung standar Bluetooth.

Menurut Bluetooth SIG, perangkat yang mendukung Bluetooth Mesh akan hadir mulai tahun ini juga, tapi baru di kawasan komersial dan industrial saja.

Sumber: CNET dan Bluetooth SIG.

Mengenal PaaS untuk Dunia Perindustrian

Inovasi, dalam spektrum apapun, dibangun oleh salah satu sifat yang merujuk pada fleksibilitas, yakni dinamis. Kita semua tentu sudah tidak asing dengan istilah tersebut, bila dikaitkan pada kemunculan perubahan-perubahan dari perusahaan sekelas Apple, misalnya. Tak hanya inventornya, teknologi pendukung daya cipta pun harus akur terhadap dinamika proses trial-error, atau kemungkinan perkembangan bisnis yang tiba-tiba melonjak.

Pembaruan industri membuat sifat dinamis ini menjadi sebuah urgensi, apalagi sehubungan dengan dibentuknya ekosistem baru untuk melahirkan bibit-bibit inovasi, seperti Digital Foundry. Itulah contoh implementasi revolusi industri jilid keempat dari kacamata proses kreatif. Dari sisi teknis, mari ambil teknologi cloud computing sebagai contohnya.

Cloud computing mempermudah technologist dalam membangun produk dan mendirikan startup. Dari berbagai ‘atmosfer’ komputasi awan, PaaS (Platform as a Service) adalah bentuk teknologi cloud yang dirancang tepat untuk dapat beradaptasi dengan laju perkembangan bisnis teknologi yang pesat dan pengelolaan aplikasi yang dinamis.

PaaS, melalui segala dayanya dalam mengelola aplikasi dan memelihara infrastruktur secara simpel, membuat kolaborasi yang terjadi di Digital Foundry menjadi tidak terdengar mustahil. Terlebih bila Anda sudah berkenalan dengan Predix.

Predix milik General Electric (GE) telah didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan infrastruktur berbasis cloud dengan tingkat keamanan yang tinggi, demi mendukung dunia industri dalam merasakan manfaat dari pertumbuhan Industrial Internet yang pesat. GE mengaku bahwa Predix dirancang untuk industri, oleh industri, guna mengolah data di masa depan.

Cara kerja layanan PaaS Predix yang ditujukan untuk konsep Internet of Things (IoT) cukup sederhana. Anda tinggal menghubungkan data dari sebuah mesin yang dihubungkan ke Predix cloud, lalu Anda bisa mengembangkan Industrial Internet services di dalamnya.

Tak perlu lagi pengeluaran besar untuk memesan sistem in-house data analytic, layanan PaaS Predix membantu Anda untuk meninjau operasional mesin, hingga kemudian Anda dapat menguji dan mengaktifkan aplikasi untuk industri dengan lebih mudah dan terintegrasi pada cloud.

Schindler telah merasakan betapa layanan Predix secara efektif bisa diandalkan. Sebagai salah satu perusahaan lift terbesar di dunia, Predix dapat mengoptimalkan konsumsi daya dari lift dan eskalator rilisan mereka. Bahkan, diproyeksikan Predix akan membantu Schindler menganalisa 100 aplikasi di tingkat mesin (dan mengkoreksinya bila perlu) dalam satu waktu.

Ide membuat platform untuk IoT telah tersaji di atas. Cloud computing telah terbukti menjadi opsi tepat agar industri lebih produktif dalam mengembangkan produk dan mengerjakan proyek. Kini, tinggal idenya. Apa ide pengembangan industrimu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Internet of Things di Perindustrian Kini Berbasis Sistem Operasi Khusus

Tiga kali sudah dunia merasakan revolusi industri, di mana uap, listrik, dan komputer menjadi simbol dari perubahan tersebut. Hari ini, kita kembali mencicipi revolusi jilid keempat, yang ditandai dengan entitas baru dengan kemampuan menghubungkan manusia secara cepat, yakni Internet. Kita bisa lihat bukti meledaknya fenomena ini dari begitu masifnya pemanfaatan teknologi interkoneksi ini, serta pesatnya peredaran smartphone.

Menariknya, teknologi yang secara alamiah merupakan media komunikasi ini sekarang tidak cuma mendukung sistem kerja industri dari aspek general affairs dan perdokumenan saja. Ranah teknis juga ‘kebagian’ efek dari kemutakhiran Internet.

Dalam hal ini, Internet of Things ikut andil memberikan perubahan. Konsep teknologi yang mengintegrasikan objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel ini kini mendapat tempat baru di dunia perindustrian; General Electric (GE) mengistilahkannya Industrial Internet of Things.

Terminologi tersebut terangkat sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. Bagi GE, PREDIX dapat memudahkan para engineer menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri, dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Schindler, contohnya. Salah satu raksasa dunia dalam bidang usaha lift ini memanfaatkan PREDIX untuk optimalisasi konsumsi daya yang digunakan oleh lift dan eskalatornya, di mana cloud telah menyimpan data dari utilitas daya.

Kemampuan ini disinyalir akan semakin canggih lagi dengan dukungan produk terbaru GE untuk PREDIX, yaitu PREDIX Edge System yang dapat menanam aplikasi mesin di mana saja sesuai kebutuhan, dari yang terkecil seperti perangkat medis, controller, jaringan atau router, dan menghubungkannya ke cloud.

Jadi, di atas kertas, Schindler nantinya dapat menyimpan komputer kecil di setiap lift untuk menganalisis data secara real-time dan memperbaikinya apabila terjadi kesalahan. PREDIX direncanakan tidak akan lagi membuat penggunanya bergantung pada satu komputer terpusat saja untuk mengoptimalkan operasi; PREDIX akan siap menjalankan sistem 100 aplikasi di tingkat mesin secara langsung.

Teknologi PREDIX diperkuat oleh hadirnya Digital Foundry, sebuah tempat kolaborasi di Paris, yang memungkinkan pelaku industri, akademisi, dan berbagai kalangan yang memiliki ketertarikan pada teknologi untuk berkreasi dan berinovasi.

Majunya inovasi semacam PREDIX nyatanya masih memerlukan dua hal yang dapat membangunnya: kolaborasi dan cloud computing.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Siapkah Industri Indonesia Mengadopsi Digital Industrial?

Dunia akan terus berjejaring. Dari tahun ke tahun, kultur digital semakin membaur dan meningkat di kehidupan masyarakat dunia. Pemanfaatan platform digital sudah diadopsi banyak oleh masyarakat, apalagi jika berbicara tentang bagaimana mereka terhubung satu sama lain—seperti messenger dan social networking.

Secara global, potret lanskap digital 2017 menunjukkan jumlah masyarakat Internet yang kini telah menyentuh angka di kisaran 3,7 triliun, dengan penetrasi sebesar 50% serta peningkatan 10% sejak tahun lalu. Penetrasi Internet di Asia Tenggara punya angka yang tak kalah besar, yakni sebesar 53%. Lebih mengerucut, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia punya tingkat penetrasi yang tergolong cukup baik dengan angka 51%, terutama dibandingkan dengan beberapa negara berkembang Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Meski boleh dianggap besar secara kuantitas, namun apakah Indonesia benar-benar siap melancarkan digitalisasi? Sebab, yang dipersoalkan di sini bukan hanya dari lingkup masyarakatnya saja, tapi juga industri. Terlebih dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan perusahaan teknologi asal Negeri Paman Sam, GE, dengan nama Digital Industrial, sebuah konsep teknologi yang mengintegrasikan sebuah objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel.

Terminologi tersebut dikenal sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang diluncurkan sekitar tahun 2015 yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. PREDIX disinyalir dapat memudahkan para engineer dalam menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Yang menarik adalah GE telah membuka pintu kolaborasi untuk merangkul pihak-pihak dari berbagai lapisan industri Tanah Air untuk ikut serta memajukan dunia perindustrian dan teknologi bangsa. Kerja sama strategis tersebut dilakukan bersama regulator dan pelaku industri (termasuk startup). Tiga startup potensial mendapatkan dukungan langsung dari GE, antara lain Dattabot, Fishare, dan 3i.

Dattabot, Mitra Pertama PREDIX di Dunia untuk Industri Pertanian

Sebagai perusahaan big data analytics, Dattabot turut serta membangun perekonomian Indonesia di sektor pertanian. Perusahaan yang dulunya bernama Mediatrac ini berusaha mengubah pola pikir terhadap dunia pertanian yang masih dianggap tradisional, melalui produk Internet of Things.

Ditandai dengan penandatangan MoU, GE memperlihatkan keseriusannya mendukung IIoT untuk pertanian bersama Dattabot lewat HARA, aplikasi pertanian yang dapat membantu mengembangkan agribisnis dari sisi efisiensi dan profitabilitas.

HARA adalah aplikasi IIoT pertama di Indonesia yang menggunakan platform Predix. “Dengan demikian, Dattabot bisa memahami luas sawah yang digunakan petani, real-time, jadi bisa memahami permasahan langsung meski posisinya sangat jauh lokasi tempat Anda berada,” terang CEO Dattabot Regi Wahyu.

Industrial IoT Startup Anak Bangsa yang Berpotensi Mendisrupsi Pasar

Selain itu, GE turut memperkenalkan startup-startup tanah air di bidang Industrial Internet of Things yang disinyalir mampu membuat terobosan baru di sektor perindustrian dan perikanan.

Fishare
Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module. “Produktivitas budidaya ikan negara kita masih tergolong rendah, dibandingkan dengan Tiongkok,” ujar CEO Fishare Marvinus Arif. Itulah salah satu latar belakang kelahiran Fishare.

Fishare menyajikan fish feeding assistant dengan sensor, di mana para petani ikan akan mendapatkan informasi secara transparan dan objektif mengenai kondisi ikan mereka, yang terlihat di smart dashboard.

3i
Bersama ungkapan “the future of maintenance”, 3i mengembangkan sensor online untuk membantu pabrikan mengurangi downtime tak terencana melalui data analytics dan machine learning. Teknologi sensor pintar 3i memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif; meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya operasional, sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

“Sensor ini ditanam di dalam mesin dan dihubungkan ke mobile device pengguna agar pengguna dapat melihat keadaan mesin secara real-time,” terang Gimin, CEO 3i.

Mau tidak mau dunia perindustrian Indonesia harus siap dengan digitalisasi dalam operasional mereka. Kita semua bisa melihat bagaimana teknologi dan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia (sawah, ikan, dan pabrik) dapat terkoneksi untuk membangun perekonomian negara. Maka, industri yang lebih dipandang “progresif” mestinya juga bisa mengadopsi IIoT, ‘kan?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.