Samsung Galaxy Watch Active 2 Hadir Membawa Fitur ECG dan Konektivitas LTE

Belum ada setengah tahun sejak Samsung Galaxy Watch Active dirilis, Samsung sudah menyingkap suksesornya. Meski sepintas penampilannya terbilang mirip, Galaxy Watch Active 2 tentu punya fitur yang lebih lengkap, sekaligus membawa sejumlah penyempurnaan dibanding versi sebelumnya.

Fisik Watch Active 2 sedikit lebih besar dan tebal ketimbang pendahulunya, akan tetapi ia kini juga hadir dalam dua ukuran: 44 mm atau 40 mm. Keduanya sama-sama mengusung layar Super AMOLED beresolusi 360 x 360 pixel yang dilapisi kaca Gorilla Glass DX+, dan yang membedakan kedua varian ini hanya sebatas ukuran layar beserta kapasitas baterainya saja.

Samsung Galaxy Watch Active 2

Masih seputar layar, ada satu penyempurnaan paling krusial yang dibawa Watch Active 2, yakni digital rotating bezel. Seperti yang kita tahu, Watch Active tidak dibekali rotating bezel fisik yang sudah menjadi ciri khas smartwatch Samsung selama beberapa tahun terakhir.

Fitur unggulan tersebut akhirnya kembali hadir di Watch Active 2, meski implementasinya sedikit berbeda. Ketimbang mengandalkan bezel yang bisa diputar secara fisik, Samsung menanamkan panel sentuh di balik bezel Watch Active 2, dan selagi jari kita berada di atasnya, akan terasa haptic feedback yang memberikan sensasi klik seperti pada rotating bezel fisik.

Samsung Galaxy Watch Active 2

Untuk spesifikasi, Watch Active 2 rupanya masih menggunakan chipset Exynos 9110 yang sama seperti pendahulunya, namun yang membedakan, smartwatch ini juga tersedia dalam varian berkoneksi LTE. Samsung tak lupa menyempurnakan kapabilitas health tracking-nya lewat accelerometer dan heart-rate monitor yang lebih advanced, serta fitur ECG (electrocardiogram) ala Apple Watch Series 4.

Samsung Galaxy Watch Active 2 kabarnya bakal dipasarkan mulai 27 September mendatang. Harganya dipatok mulai $280 untuk varian 40 mm, atau mulai $300 untuk varian 44 mm. Tentunya itu harga untuk varian non-LTE, sedangkan varian LTE-nya sendiri masih belum dirincikan harganya.

Sumber: Samsung dan CNET.

Bocoran Fitbit Versa Generasi Kedua Beredar, Unggulkan Layar AMOLED dan Integrasi Alexa

Fitbit Versa bukanlah smartwatch pertama sang raja fitness tracking, akan tetapi Versa bisa dikatakan yang terbaik jika dilihat dari aspek estetika dan harganya. Satu tahun pasca peluncurannya, sudah waktunya Versa mendapatkan suksesor, dan bocoran mengenai Versa generasi kedua ini rupanya sudah beredar berkat sosok leaker tenar Evan Blass, atau yang lebih dikenal di Twitter sebagai @evleaks.

Dari segi fisik, kita dapat melihat sejumlah perubahan yang diusung Versa 2 (kalau memang itu namanya). Yang paling utama adalah wajah yang lebih elegan berkat penggunaan kaca melengkung, serta hilangnya logo Fitbit di bezel bawah layar. Juga berbeda adalah panel layar yang digunakan, yang kini bukan lagi LCD, melainkan AMOLED.

Fitbit Versa 2

Penggunaan panel AMOLED bukan berarti hanya kualitas visualnya saja yang meningkat, tapi semestinya juga dapat semakin memaksimalkan efisiensi baterainya. Melengkapi kesan elegannya secara menyeluruh adalah berkurangnya jumlah tombol di sisi samping Versa 2; sekarang cuma ada satu di sebelah kiri, bukan lagi tiga tombol seperti pada Versa edisi tahun lalu.

Dari segi fitur, kabarnya Versa 2 bakal hadir membawa integrasi Amazon Alexa. Ini penting mengingat mayoritas smartwatch lain yang ditenagai Wear OS memiliki akses ke Google Assistant, dan Apple Watch juga sudah sejak lama ditemani Siri. Fitur selengkapnya tidak banyak berubah, yang mencakup sensor laju jantung PurePulse, integrasi Fitbit Pay, dan ketahanan air hingga 50 meter.

Fitbit Versa 2

Belum diketahui kapan Fitbit bakal menyingkap Versa 2 secara resmi. Tidak menutup kemungkinan jadwal yang mereka tetapkan harus maju akibat bocoran lengkap seperti ini yang tengah ramai dibicarakan.

Sumber: The Verge.

Beberapa Hal yang Membuat Saya Belum Yakin Untuk Membeli Smartwatch

Jauh sebelum melambungnya kepopuleran Android Wear dan Apple Watch, upaya menciptakan jam berkemampuan pintar sudah dilakukan sejak era 80-an. Dirilis di tahun 1982, Pulsar NL C01 diklaim sebagai arloji digital ‘memorybank‘ pertama di dunia. Lalu dua tahun setelahnya, Seiko menyingkap RC-1000 sebagai jam pertama yang dapat berinteraksi dengan komputer.

Saat ini, istilah smartwatch membuat kita segera membayangkan perangkat wearable canggih serbaguna yang juga bisa jadi ekstensi smartphone Anda. Mereka tersedia dalam beragam model, dan masing-masing menawarkan fungsi serta fitur unggulan berbeda. Suka tidak suka, smartwatch telah menjadi bagian dari sejarah horologi – yaitu ilmu yang mempelajari instrumen penunjuk waktu.

W 1
Apple Watch Series 3.

Setelah perusahaan seperti Apple, Samsung, Asus, Huawei dan kawan-kawan merilis smartwatch, merek-merek fashion dan sejumlah nama di dunia watchmaking tradisional sadar mereka harus berhadaptasi dengan perubahan ini. Sebagai respons, brand seperti Fossil, Louis Vuitton sampai Tag Heuer memperkenalkan perangkat wearable pintar bertema ‘mewah’.

Namun langkah berbeda yang diambil oleh sejumlah produsen smartwatch belakangan mengindikasikan adanya suatu perubahan yang tengah terjadi. Di Beselworld 2018, beberapa perusahaan seperti Skagen, Mondaine, Kronaby hingga a.b.art tiba-tiba secara berbarengan mengungkap smartwatch hybrid. Hampir semua produk-produk ini tidak memanfaatkan layar LED seperti di smartwatch populer, padahal panel sentuh merupakan medium terbaik dalam menyajikan informasi dan berinteraksi dengan konten.

W 2
Kronaby Sekel 41mm.

Kejadian tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan: Apakah konsumen mulai bosan dengan desain smartwatch yang begitu-begitu saja? Atau apakah pendekatan ini sengaja diambil agar smartwatch jadi lebih atraktif di mata pemerhati horologi serta pengguna arloji tradisional? Berdasarkan hasil survei DailySocial, pengguna smartwatch hybrid di Indonesia sendiri lebih sedikit dibandingkan pemilik fitness band ataupun smartwatch ‘standar’.

Bagi saya pribadi, smartwatch lebih terlihat menarik jika ia mempunyai kegunaan yang jelas. Itu alasannya saya lebih menyukai merek-merek spesialis olahraga ketimbang Android Wear atau produk Apple. Berenang adalah satu dari sedikit aktivitas favorit saya, dan saya jelas lebih memilih Garmin (misalnya Vivoactive 3) buat menemani saya melakukan kegiatan itu karena tidak perlu cemas air akan merusaknya.

W 3
Garmin Forerunner 645 Music.

Namun dari aspek penampilan, Garmin bukanlah perangkat yang cantik. Untuk sehari-hari, saya lebih sering mengenakan Timex, Casio atau Seiko. Mereka bukanlah merek mahal, tapi lebih mudah disesuaikan dengan aktivitas: Timex Weekender siap menemani di kala santai, Seiko dengan dial sederhana dapat dikenakan di acara-acara formal, lalu ketika ingin tampil sporty, G-Shock sudah menanti.

Melalui artikel ini, saya ingin mencoba mengungkapkan sejumlah hal yang membuat saya masih enggan untuk membeli smartwatch, terlepas dari harga yang kian terjangkau dan fitur yang semakin canggih. Siapa tahu, Anda juga punya pendapat serupa…

W 4
Casio G-Shock DW-5600.

 

Desain

Meneruskan argumen soal desain, saya ingin bercerita sedikit soal satu lineup jam buatan Junghans: Max Bill. Nama arloji ini diambil dari seorang arsitek, seniman dan desainer grafis legendaris asal Swiss yang melakukan studi di sekolah seni Staatliches Bauhaus, Jerman. Ia punya andil besar di ranah desain, berkontribusi langsung dalam penciptaan jam dan arloji Junghans, serta membuat konsep minimalis khas Bauhaus begitu terkenal dan menjadi kiblat perancangan brand lain.

W 5
Junkers Bauhaus Chronograph.

Elemen orisinalitas inilah yang absen di smartwatch. Dalam proses desain, mayoritas produsen sejauh ini hanya memastikan produknya punya penampilan klasik khas arloji. Langkah ini bisa dimaklumi, tapi sebenarnya, rancangan-rancangan radikal malah membuat sejumlah model jam tangan jadi begitu ikonis. Ambil contohnya Seiko Giugiaro 7A28-7000 milik Ellen Ripley di film Aliens atau Hamilton Pulsar LED digital yang dikenakan James Bond di Live and Let Die.

W 6
Seiko X Giugiaro Design Spirit Smart SCED035.

Di perspektif yang lebih ‘praktis’, smartwatch jauh lebih ringkih dibanding aloji biasa. Sejumlah brand jam sudah dibekali kemampuan anti-air, anti-benturan, hingga bisa tetap bekerja di suhu ekstrem. Dan saya tidak hanya mengacu pada G-Shock: Victorinox bisa jadi alternatif jika Anda menginginkan jam analog. Sedangkan ketika memakai smartwatch, kita harus memperlakukannya bak telur kaca.

W 7
Victorinox Swiss Army Alliance.

 

Brand dan heritage

Bagi pemerhati horologi, mengenakan arloji merupakan sebuah pernyataan dan hal ini sangat berkaitan dengan brand yang diusungnya. Menariknya, aspek terbaik di bidang ini adalah, selalu ada merek (dan model) yang merepresentasikan potongan penting sejarah horologi di tiap jenjang harga. Sebagai contoh: Casio F91W yang legendaris bisa Anda miliki cukup dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 200 ribu. Atau jika Anda ingin mencicipi apiknya jam otomatis, sejumlah anggota keluarga Seiko 5 dijual di bawah Rp 1 juta.

W 8
Casio F91W.

Dan sebagai pecinta arloji, saya masih lebih memilih merek yang betul-betul mewakilkan horologi ketimbang nama-nama perusahaan perangkat elektronik yang hingga sekarang tetap memproduksi alat komunikasi dan perabotan rumah tangga. Kiprah produsen smartwatch Android Wear populer dan Apple di ranah ini belum bisa menandingi pengalaman puluhan – bahkan ratusan tahun – para watchmaker ternama.

W 9
Seiko 5 SNK809K2.

Lalu bagaimana dengan smartwatch dari brand-brand fashion? Saya sendiri selalu berusaha menghindari jam bertema fashion karena pada umumnya mereka dirancang berdasarkan tren saat ini, dan keadaan tersebut berlaku pula pada smartwatch. Cepat atau lambat, fashion akan berubah. Hal ini akan mengembalikan argumentasi ke aspek desain: lebih baik memilih produk berpenampilan orisinal karena mereka tak lekang oleh waktu.

W 10
Rolex Submariner Oystersteel.

Beberapa model jam bahkan mempunyai karakter sangat kuat, dan ia bisa segera cocok dengan pakaian apapun yang Anda kenakan. Saya akan menggunakan contoh yang ‘cukup mahal’: Rolex Submariner. Meskipun ia merupakan archetype dari jam tangan penyelam, Anda dapat memakainya di event formal bersama jas atau melengkapi pakaian santai berupa kaos dan celana pendek.

 

Umur dan siklus hidup

Mungkin Anda pernah mendengar kisah tentang bagaimana arloji yang diberikan dari generasi ke generasi, atau mungkin saat ini Anda malah sedang mengenakan jam warisan orang tua yang dahulu menjadi kesayangan mereka. Produk baru memang banyak bermunculan, tapi kadang nilai sentimental sebuah benda membuatnya sangat berharga di mata si pemilik.

W 11
Timex Waterbury Classic Chronograph.

Hal ini merupakan efek positif dari karakteristik jam tangan. Ada dua tipe mekanisme dasar pada alat penunjuk waktu: quartz dan sistem mekanis. Quartz memanfaatkan osilator elektronik yang diatur kristal kuarsa, sedangkan jam mekanis sepenuhnya menggunakan per dan komponen-komponen kompleks buat mengukur waktu. Jam mekanis terbagi dua lagi: ada tipe otomatis (self-winding, akan tetap bekerja selama Anda mengenakannya sehari-hari) atau manual (jam putar).

W 12
Audemars Piguet Flying Tourbillon GMT.

Anda mungkin sudah tak asing dengan jam kinetik dan arloji tenaga surya. Namun istilah-istilah tersebut hanyalah pengembangan teknologi lebih jauh terkait cara jam mengumpulkan dan menyimpan tenaga.

Berbeda dari jam tangan, smartwatch bergantung sepenuhnya pada komponen elektronik. Kemampuan pintarnya sendiri bersender pada kehadiran berbagai macam sensor, misalnya gyroscope, acceleromater, temperatur, magnetometer, GPS, sensor optik, modul Bluetooth dan lain-lain. Bagian-bagian ini akan menua seiring pemakaian, dan umur dapat mengurangi kemampuan serta keakuratan fiturnya.

W 13
Citizen Eco-Drive Axiom.

Dan jangan lupakan baterainya. Sejumlah produk populer mengusung desain unibody dengan baterai terintegrasi, sehingga mustahil bagi orang biasa untuk mengakses atau mengganti bagian tersebut. Padahal kita tahu, baterai rechargeable punya siklus hidup. Setelah beberapa ratus kali proses isi ulang, kemampuannya menyimpan tenaga tak lagi maksimal.

W 14
Samsung Galaxy Watch.

Keadaan ini menunjukkan bagaimana smartwatch – seperti smartphone – memiliki umur yang tidak panjang, mungkin hanya beberapa tahun hingga Anda harus menggantinya. Jam quartz sendiri masih memanfaatkan baterai, namun ‘button cell‘ tersedia secara luas dan universal. Saya cukup yakin dalam 10 tahun ke depan, baterai koin tetap lebih mudah ditemukan ketimbang baterai cadangan Apple Watch generasi ketiga.

Dan kekurang di smartwatch ini menyambung ke argumen saya berikutnya.

 

Dukungan servis di masa depan

Salah satu timepiece favorit yang saya miliki adalah Seiko 5 tahun 1986. Saya bisa mengetahui info hingga ke bulan produksinya karena Seiko selalu membubuhkan serial di produk mereka. Jam ini merupakan jenis analog otomatis, dengan kaliber pergerakan yang tidak terlalu kompleks, dan harganya pun tidak mahal. Namun hingga kini, ia mampu menunjukkan waktu secara akurat, lalu sistem penyimpanan tenaganya masih sangat baik.

W 15
Seiko 5 SNKE01K1.

Jika merasa ada masalah, saya hanya tinggal membawanya ke service center (berlokasi di tengah kota Jakarta), dan mengeluarkan biaya yang tak terlampau besar agar ia dapat kembali normal. Layanan ini sangat mengesankan, apalagi buat barang berusia lebih dari 32 tahun. Dan saya yakin, ada banyak brand jam yang lebih premium punya layanan lebih baik lagi.

Kini pertanyaan yang sama saya ajukan pada smartwatch: adakah produsen yang bisa menjamin ketersediaan spare part dan layanan purna jual lima tahun, sepuluh tahun hingga dua puluh tahun setelah produk mereka dibeli?

W 16
Orient Bambino 2nd-Gen.

Buat saya, rasa aman dalam memiliki sebuah benda tak hanya didapatkan dengan menyadari bahwa barang tersebut awet dan dapat bekerja dalam waktu lama, namun juga mengetahui akan ada dukungan perbaikan di waktu yang akan datang kapan pun dibutuhkan.

 

Masih terasa kurang esensial

Alasan terakhir mengapa hingga kini saya masih enggan membeli smartwatch adalah belum adanya urgensi untuk memilikinya. Mendapatkan notifikasi ketika ada update di sosial media atau pesan masuk, serta menggunakan layar perangkat wearable buat menampilkan preview foto di smartphone memang menarik, tapi semuanya belum terasa esensial. Bahkan seandainya smartwatch tersebut telah dilengkapi konektivitas selular pun, saya tidak akan menggunakannya untuk melakukan panggilan kecuali jika betul-betul darurat.

W 17
ZTE Quartz Smartwatch.

“Bukankah smartwatch bisa membantu kita memonitor kondisi tubuh?” mungkin ini argumen dari beberapa orang. Khusus untuk kebutuhan itu, saya tidak akan membeli smartwatch. Saya jelas akan memilih activity tracker dari produsen yang telah lama menyelami ranah tersebut, misalnya Garmin atau Fitbit.

Tapi saya bukanlah atlet profesional ataupun individu yang super-antusias terhadap olahraga, dan belum merasa membutuhkannya. Bahkan saat melakukan olahraga favorit saya – yaitu berenang – saya merasa lebih nyaman jika tidak mengenakan apapun (tentu saja kecuali celana dan kacamata renang).

W 18
Smartband Sgnl.

Seandainya saya benar-benar menginginkan kapabilitas tracking, saat ini mulai tersedia produk strap pintar, satu contohnya adalah Sgnl. Bahkan pendekatan serupa turut diusung oleh Montblanc melalui smart strap Twin – disingkap di bulan Mei kemarin. Melalui metode ini, saya tetap bisa membawa kemampuan wearable pintar sembari mengenakan arloji kesayangan.

 

Penutup

Itu dia, lima penjabaran panjang mengapa saya masih merasa berat hati untuk membeli saudara jam tangan yang diklaim lebih pintar itu. Seandainya saya betul-betul dipaksa, mungkin pilihan saya akan sama seperti Glenn (kami sempat berdiskusi soal ini), yaitu smartwatch hybrid. Dan di antara banyaknya pilihan, saya pribadi lebih memfavoritkan brand-brand dengan warisan horologi yang kaya, misalnya Skagen atau Mondaine.

W 19
Mondaine Helvetica 1.

Lalu bagaimana jika saya punya modal mencukupi untuk membeli smartwatch dan arloji? Brand serta model apa yang akan saya pilih? Sejujurnya, saya bukanlah individu yang ambisius. Jam tangan impian saya (beberapa pakar horologi memberinya istilah ‘the Grail Watch’) bukanlah model-model high-end seharga ratusan juta dengan sistem tourbillon super-kompleks; melainkan varian ‘terjangkau’ yang saat ini masih sulit saya jangkau, yaitu arloji Bauhaus sesungguhnya, Junghans Max Bill.

Mengapa Max Bill? Sejujurnya, sebagai alumnus sekolah desain, konsep Bauhaus yang mengedepankan prinsip ‘form follows function‘ selalu menginspirasi saya. Inilah basis dari prosedur pembuatan desain dan arsitektur modern.

W 20
Junghans Max Bill.

 

Catatan: Semua gambar di artikel ini diambil dari situs resmi masing-masing produk. Untuk item-item yang tidak mempunyai laman khusus, gambar diambil dari situs Amazon. Header: Apple.com.

Jam Analog Conquest V.H.P. GMT Flash Setting Tidak Kalah Pintar dari Smartwatch

Melihat cara smartwatch bekerja, perangkat wearable ini betul-betul bersadar pada beberapa aspek penting: kemampuan komputasi, dukungan sensor, dan sambungan nirkabel. Melalui koneksi Bluetooth ke smartphone, smartwatch bisa melakukan banyak hal, seperti menampilkan notifikasi atau sekadar mengubah waktu ketika Anda pergi ke daerah lain.

Jam analog, khususnya model yang betul-betul menggunakan sistem pergerakan mekanik, mengharuskan kita untuk mengubah waktu dan tanggal secara manual. Namun Conquest V.H.P. GMT Flash Setting buatan Longines mempunyai kemampuan unik yang membuatnya tak kalah cerdas dari jam pintar ‘mainstream‘. Ia tidak dibekali Bluetooth ataupun Wi-Fi, Conquest V.H.P. GMT Flash Setting memanfaatkan flash untuk melakukan sinkronisasi dengan smartphone.

Mengubah waktu pada jam biasanya dilakukan dengan memutar bagian crown. Namun masalahnya, metode ini akan memengaruhi keakuratan pengukuran waktu. Jam bisa bertambah cepat ataupun lambat. Bagi Longines, hal tersebut tidak dapat dikompromi. Apalagi perusahaan arloji asal Swiss itu menamai produknya V.H.P. – kependekan dari Very High Precision.

Conquest V.H.P. GMT Flash Setting 1

Lalu bagaimana Conquest V.H.P. GMT Flash Setting melakukannya? Layaknya perangkat wearable pintar, Longines telah menyiapkan app mobile. Di sana, Anda bisa memilih waktu di tempat tinggal serta waktu lokasi Anda berkunjung. Di bagian crown aroloji in, Longines mencantumkan tombol untuk mengaktifkan fungsi pairing. Anda hanya perlu menekannya, kemudian menyalakan app, men-tap perintah ‘send time‘ dan mengarahkan lingkaran di display preview kamera ke bagian atas jam – metodenya mirip saat memindai kode QR.

Conquest V.H.P. GMT Flash Setting 2

Ketika app mendeteksi Conquest V.H.P. GMT Flash Setting, software tersebut akan mengaktifkan flash di smartphone. Jam tangannya mempunyai sensor cahaya tersembunyi di angka 12. Saat sensor jam membacanya, arloji secara otomatis akan mengubah waktu hingga ke tingkatan detik. Tombol pada crown juga berfungsi untuk mengubah tampilan waktu antara rumah dan lokasi Anda pergi – semuanya bisa dilakukan tanpa memutar crown.

Conquest V.H.P. GMT Flash Setting 3

Conquest V.H.P. GMT Flash Setting memiliki penampilan layaknya jam tangan analog. Longines menawarkan beberapa model, ada yang bertubuh stainless steel, versi hitam dengan coating PVD, opsi warna dial berbeda, serta pilihan case 41mm dan 43mm. Meski begitu, layout dial-nya tetap sama. Arloji mengusung sistem pergerakan quartz, tapi agar kompatibel ke teknologi ‘flash setting‘, ETA (penyedia movement) harus mengembangkannya selama empat tahun.

Soal akurasi, Conquest V.H.P. GMT Flash Setting tidak main-main. Persentase melencengnya waktunya sangat kecil: plus minus lima detik dalam setahun. Sangat luar biasa. Menariknya, keakuratan ini ditawarkan Longines di harga yang tergolong masuk akal. Model stainless steel dibanderol US$ 1.350, sedangkan varian PVD hitam dijual seharga US$ 1.750.

Via Digital Trends.

Fitbit Resmikan Smartwatch Kedua Mereka, Ionic

Setelah lama dirumorkan, Fitbit akhirnya resmi mengungkap smartwatch terbarunya. Bukan, ini memang bukan smartwatch perdana Fitbit, tapi yang pertama sejak mereka mengakuisisi Pebble dan Vector Watch, sehingga wajar apabila ekspektasi konsumen terbilang tinggi.

Jam tangan bernama Fitbit Ionic ini perlu melakukan banyak pembuktian, terutama dari segi desain, mengingat Blaze bukanlah smartwatch teranggun yang ada di pasaran. Ionic mencoba menjawab keraguan kita tersebut dengan desain unibody berbahan aluminium yang tak hanya kelihatan elegan, tapi juga fungsional dengan merangkap sebagai antena Bluetooth dan GPS, yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan sinyal yang lebih baik.

Fitbit Ionic

Fitbit juga telah merancang Ionic agar tahan air sampai kedalaman 50 meter, yang berarti ia siap memonitor aktivitas berenang pengguna. Di belakang, sensor laju jantungnya tertanam rapi tanpa ada tonjolan sama sekali, membuatnya jauh lebih nyaman untuk dikenakan berlama-lama – krusial mengingat daya tahan baterainya bisa mencapai 4 hari, atau 10 jam saja kalau GPS-nya diaktifkan terus.

Masih seputar desain, Ionic turut dibekali layar sentuh yang cukup istimewa. Layar berukuran 1,42 inci dengan resolusi 348 x 250 pixel ini punya permukaan yang sedikit melengkung, akan tetapi bagian terbaiknya adalah, tingkat kecerahannya mencapai angka 1.000 nit. Ini penting mengingat ia bakal sering dipakai di luar ruangan, dimana terik matahari seringkali membuat layar jadi sulit terbaca.

Fitbit Ionic

Soal performa, Ionic mengemas segala kebaikan fitness tracker Fitbit – termasuk kemampuan untuk mendeteksi aktivitas seperti berlari secara otomatis – plus sejumlah kapabilitas baru. Yang pertama adalah sensor SpO2 relatif untuk mengestimasikan kadar oksigen dalam darah, yang ke depannya bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi kondisi macam sleep apnea, alias gangguan tidur akibat kesulitan bernafas.

Kedua, Ionic merupakan perangkat pertama yang terintegrasi oleh layanan contactless payment Fitbit Pay, yang diinisiasikan setelah Fitbit mengakuisisi Coin tahun lalu. Terakhir, mengingat Ionic menjalankan sistem operasi baru, ia juga menjadi yang pertama mengusung Fitbit App Gallery, yang tidak lain dari app store untuk aplikasi pihak ketiga.

Fitbit Ionic

Fitbit Ionic dijadwalkan tersedia di pasaran mulai Oktober mendatang seharga $300. Strap tambahan bisa dibeli seharga $30, atau $60 untuk varian kulit. Di samping itu, Fitbit juga berniat memasarkan edisi khusus Ionic hasil kolaborasinya dengan Adidas mulai tahun depan.

Sumber: Fitbit.

Berbekal Sensor Laju Jantung yang Akurat, Polar M430 Didesain untuk Pelari Serius

Polar kembali merilis jam tangan GPS berkemampuan heart-rate monitoring. Polar M430 adalah suksesor dari M400 yang dirilis di tahun 2014, dan perubahan terbesar yang dibawanya adalah sensor laju jantung itu tadi.

Dibandingkan pendahulunya, desainnya memang tidak banyak berubah. Perangkat masih mengemas layar monokrom dan pengoperasian berbasis lima tombol. Bodinya juga tahan air, dan secara keseluruhan tetap didesain secara spesifik untuk pelari serius.

Yang mungkin jadi pertanyaan, mengapa Anda harus memilih M430 ini kalau ada M200 yang cuma seharga $150? Jawabannya berkaitan dengan kinerja sensor laju jantungnya. Berbekal total 6 LED, M430 diyakini bisa memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat ketimbang M200 yang hanya mengemas 2 LED saja.

Selanjutnya, M430 juga lebih superior soal baterai. Dalam posisi normal, baterainya bisa bertahan sampai 20 hari. Saat GPS dan heart-rate monitoring-nya aktif, perangkat bisa beroperasi hingga 8 jam. Pun begitu, M430 menyediakan sejumlah mode GPS supaya daya tahan baterainya bisa didongkrak lagi hingga mendekati angka 30 jam.

Polar M430 tersedia dalam tiga pilihan warna / Polar
Polar M430 tersedia dalam tiga pilihan warna / Polar

Selebihnya, fitur yang ditawarkan M430 cukup mirip dengan M200. Yang paling utama dan unik dari Polar adalah fitur Smart Coaching serta Running Program yang bersifat adaptif. Fitur notifikasi turut tersedia, namun pastinya tidak bisa mengalahi yang ditawarkan Polar M600, yang notabene menjalankan OS Android Wear.

Polar M430 rencananya akan dipasarkan mulai bulan Mei mendatang. Harganya tidak terpaut terlalu jauh dari M200 di angka $229, dan pilihan warna yang tersedia ada tiga: putih, oranye dan abu-abu gelap.

Sumber: Polar.

Uvolt Watch Adalah Power Bank yang Menyamar Sebagai Jam Tangan

Ranah crowdfunding selalu dipenuhi dengan ide-ide unik. Bahkan produk sesederhana power bank saja bisa dibuat jadi amat inovatif, seperti contohnya Dubleup, yang tidak lain dari sebuah power bank seukuran kartu kredit.

Kalau itu masih kurang unik, coba lirik perangkat bernama Uvolt Watch ini. Ia pada dasarnya merupakan sebuah power bank yang menyamar sebagai jam tangan. Uvolt bukanlah sebuah smartwatch; tidak ada fungsi tracking apapun di sini, yang ada hanyalah penunjuk waktu standar.

Ukurannya juga lebih bongsor ketimbang arloji pada umumnya, wajar mengingat di dalamnya tertanam baterai berkapasitas 600 mAh. Sangat kecil memang, tapi setidaknya bisa sangat membantu dalam kondisi super-darurat.

Modul baterai Uvolt bisa dilepas lalu disambungkan ke ponsel via konektor Lightning/micro USB/USB-C / Uvolt
Modul baterai Uvolt bisa dilepas lalu disambungkan ke ponsel via konektor Lightning/micro USB/USB-C / Uvolt

Lalu cara pakainya bagaimana? Tidak lucu kalau ternyata Uvolt harus disambungkan ke perangkat via kabel. Pada kenyataannya, modul baterai Uvolt dapat dilepas dari ‘rumahnya’, dan di dalam modul ini telah tersimpan konektor Lightning/micro USB/USB-C – tergantung pilihan konsumen.

Seandainya ponsel Anda mendukung fitur wireless charging, Uvolt juga dapat mengisinya tanpa perlu menyambungkan apa-apa. Modul baterai Uvolt ini sendiri juga dapat diisi ulang dengan diletakkan di atas Qi wireless charger begitu saja.

Lebih unik lagi adalah integrasi panel surya pada Uvolt, yang berarti selama Anda menggunakannya sebagai jam tangan di siang hari, maka baterainya juga akan terus terisi meski prosesnya berjalan sangat pelan karena efisiensinya cuma sekitar 21 persen.

Terlepas dari itu, ide yang diusung Uvolt terdengar sangat menarik untuk diwujudkan. Pengembangnya saat ini tengah menjalani kampanye di Kickstarter. Selama masa kampanye, harga termurah yang ditawarkan adalah $119, sedangkan harga retail-nya berkisar $199.

Sumber: The Verge.

Garmin Forerunner 935 Siap Jadikan Fitness Tracker Anda Kelihatan Cupu

Garmin bukan nama yang asing lagi di ranah fitness tracker. Mereka punya lini produk untuk setiap kalangan konsumen: Vivofit untuk yang sekadar memerlukan fitness tracker sederhana, Fenix bagi yang mengincar fitur tracking yang komprehensif, dan di paling atas ada Forerunner yang ditujukan buat atlet sejati.

Belum lama ini, Garmin memperkenalkan Forerunner 935, suksesor dari Forerunner 920XT yang sudah tergolong uzur. Seperti Fenix 5, jam tangan ini siap menyajikan tracking multisport, termasuk halnya heart-rate monitoring selama 24 jam nonstop.

Yang unik dari Forerunner 935 adalah fitur untuk mengetahui dampak sesi latihan pada tubuh pengguna. Dikembangkan bersama Firstbeat, fitur ini sejatinya bisa dijadikan indikator kapan harus berhenti berlatih, dan kapan harus menambah intensitasnya lebih lagi melalui data yang mudah dipahami.

Kehadiran sederet sensor seperti accelerometer, altimeter, barometer, kompas, termometer, GPS dan GLONASS, memungkinkan jam tangan ini untuk memonitor hampir segala jenis olahraga maupun aktivitas fisik. Atlet renang pun juga siap dilayani, mengingat jam tangan ini tahan air sampai kedalaman 50 meter.

Secara fisik Forerunner 935 jauh lebih tampan ketimbang 920XT. Wajahnya dihuni oleh layar 1,2 inci dengan resolusi 240 x 240 pixel, sedangkan strap-nya dapat dilepas-pasang dengan mudah dan kompatibel dengan strap Garmin QuickFit yang terbuat dari berbagai material.

Soal baterai, Garmin Forerunner 935 menjanjikan daya tahan hingga 24 jam dalam mode GPS, 50 jam dalam mode battery saver, atau malah sampai dua minggu dalam mode jam tangan biasa. Pemasarannya sudah dimulai saat ini dengan banderol $500, namun Garmin juga membundelnya bersama tiga aksesori dan strap ekstra seharga $650.

Sumber: Garmin.

Samsung Pamerkan Tiga Perangkat Konsep Berdasarkan Gear S3

Sepuluh tahun yang lalu, saya yakin tidak ada yang bisa membayangkan kehadiran Samsung sebagai salah satu exhibitor di Baselworld. Pasalnya, selama bertahun-tahun event ini sudah menjadi pagelaran jam tangan bergengsi, namun berhubung brandbrand arloji asal Swiss kini juga sudah merambah segmen smartwatch, kehadiran Samsung di Baselworld 2017 pun jadi terasa relevan.

Dalam event yang dihelat di kota Basel tersebut, Samsung bersama desainer jam tangan Swiss kenamaan, Yvan Arpa, memamerkan tiga buah perangkat konsep yang didasari oleh Gear S3. Sekadar informasi, Yvan Arpa sendiri memang terlibat dalam proses desain Samsung Gear S3.

Desainnya sama persis seperti Gear S3, tapi wajahnya analog dan mengandalkan sistem pergerakan Swiss / Samsung
Desainnya sama persis seperti Gear S3, tapi wajahnya analog dan mengandalkan sistem pergerakan Swiss / Samsung

Konsep yang pertama adalah sebuah jam tangan tradisional dengan sistem pergerakan Swiss, namun secara estetika sangat mirip seperti Gear S3. Bisa jadi ini merupakan pertanda kalau Samsung tertarik merilis smartwatch hybrid (berwajah analog tapi masih menyimpan fitur-fitur pintar) di waktu yang akan datang.

Gear S3 rasa baru, dengan bentuk bodi dan bezel yang sedikit berbeda / Samsung
Gear S3 rasa baru, dengan bentuk bodi dan bezel yang sedikit berbeda / Samsung

Perangkat konsep yang kedua adalah yang paling biasa menurut saya. Di sini Samsung dan Yvan Arpa hanya bereksperimen dengan desain bodi dan bezel Gear S3, menghasilkan penampilan yang sedikit lebih segar dari smartwatch bersistem operasi Tizen tersebut.

Terinspirasi desain Gear S3, konsep pocket watch ini turut mengemas sejumlah teknologi smartwatch / Samsung
Terinspirasi desain Gear S3, konsep pocket watch ini turut mengemas sejumlah teknologi smartwatch / Samsung

Konsep yang terakhir bisa dibilang yang paling unik. Pasalnya, ini bukan merupakan jam tangan, melainkan sebuah pocket watch seperti yang biasa kita jumpai pada film-film dengan setting klasik. Sekali lagi desainnya banyak terinspirasi Gear S3, namun Samsung juga mengklaim bahwa ini merupakan perangkat hybrid, yang berarti di dalamnya juga telah tertanam sejumlah teknologi modern.

Untuk yang terakhir ini, saya ragu Samsung bakal merealisasikannya menjadi sebuah produk untuk konsumen. Siapa coba yang masih mau membawa-bawa pocket watch? Tapi untuk konsep smartwatch hybrid-nya, jujur saya sangat berharap Samsung bisa mewujudkannya.

Sumber: Samsung.

Garmin Luncurkan Trio Jam Tangan Multisport Baru: Fenix 5, Fenix 5S dan Fenix 5X

Segmen wearable kembali dibuat ramai oleh event CES 2017 pekan lalu, dimana sejumlah pabrikan mengungkap smartwatchsmartwatch terbarunya, termasuk yang menjalankan sistem operasi Android Wear 2.0. Lain halnya dengan Garmin, mereka mengumumkan lini jam tangan multisport baru bernama Fenix 5.

Bagi yang mengikuti, Fenix 5 adalah suksesor dari Fenix 3 yang dirilis dua tahun silam, juga di ajang CES. Belajar dari pengalaman, Fenix 5 kini terdiri dari trio jam tangan GPS yang berbeda ukuran – Fenix 5, Fenix 5S dan Fenix 5X – sekaligus mengusung fitur spesifik yang diincar oleh kalangan konsumen tertentu.

Ketiganya mempunyai desain yang tampak gagah, dengan bodi terbuat dari bahan stainless steel dan ketahanan air hingga kedalaman 100 meter. Seperti yang telah disebutkan, dimensi masing-masing model Fenix 5 ini berbeda: Fenix 5 berdiameter 47 mm, Fenix 5S yang ditujukan untuk kalangan perempuan berdiameter 42 mm, sedangkan Fenix 5X yang berfitur paling lengkap sebesar 51 mm.

Ketiga model Fenix 5 ini memiliki strap yang dapat dilepas-pasang dengan mudah, sehingga konsumen bebas memilih antara strap berbahan kulit atau logam. Tracking berbagai macam aktivitas dan jenis olahraga dapat mereka lakukan, termasuk memonitor laju jantung. Khusus untuk Fenix 5X, model tersebut malah menawarkan sistem navigasi yang komprehensif.

Garmin Fenix 5X dilengkapi sistem pemetaan yang lengkap, termasuk yang dikhususkan untuk para pesepeda / Garmin
Garmin Fenix 5X dilengkapi sistem pemetaan yang lengkap, termasuk yang dikhususkan untuk para pesepeda / Garmin

Fitur ala smartwatch pun tetap dipertahankan, utamanya untuk meneruskan notifikasi, tapi tersedia juga dukungan sistem Connect IQ dimana pengguna dapat menambahkan widget ekstra maupun mengganti watch face sesuai kebutuhan.

Untuk trio Fenix 5 ini, Garmin juga akan menawarkan varian yang dilengkapi kaca safir pada bagian wajahnya. Varian ini turut mengemas konektivitas Wi-Fi sehingga sinkronisasi data dapat dilakukan secara lebih mudah.

Daya tahan baterai yang dijanjikan terbilang fenomenal, meski masing-masing model menawarkan angka yang berbeda. Fenix 5 adalah yang paling berstamina, sanggup beroperasi selama 14 hari dalam mode smartwatch, atau 24 jam dalam mode GPS. Ukuran paling kecil menjadikan Fenix 5S yang paling loyo, cuma 8 hari atau 13 jam dalam mode GPS. Terakhir, Fenix 5X mampu bertahan selama 12 hari, atau 20 jam dalam mode GPS.

Lini Garmin Fenix 5 rencananya akan dipasarkan mulai kuartal pertama tahun ini juga. Fenix 5 dan Fenix 5S dibanderol $600; sedangkan Fenix 5 Sapphire, Fenix 5S Sapphire dan Fenix 5X sedikit lebih mahal di angka $700.

Sumber: Wareable dan Garmin.