Mempertanyakan Valuasi Luar Biasa yang Dikejar J&T Express

Perusahaan logistik lokal J&T Express (J&T) kembali menghebohkan pemberitaan dengan rencana penggalangan pendanaan lebih dari $1 miliar (lebih dari Rp14,5 triliun) dari Tencent dan investor lainnya dengan valuasi pre-money sebesar $20 miliar, mengutip pemberitaan The Information.

Sebelumnya, pada April ini, CB Insights menyebut J&T telah menyandang status unicorn dengan valuasi $7,8 miliar, melalui pendanaan yang mereka peroleh senilai lebih dari $2 miliar dari sejumlah investor. Investor tersebut adalah PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, dan Sequoia Capital China.

Ketika dimintai tanggapannya oleh media lokal, CEO J&T Robin Lo tidak membenarkan atau membantah soal status unicorn ini.

Bila mengacu dari angka valuasi versi CB Insight, artinya dalam waktu empat bulan, valuasi J&T telah melambung lebih dari dua kali lipat. DailySocial pernah membuat tulisan yang mempertanyakan status unicorn J&T.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyangsikan status tersebut, sebab bila disandingkan dengan peers terdekatnya, JNE diperkirakan juga sudah menjadi unicorn.

Valuasi “suka-suka”

Tanpa mengesampingkan rumor di atas, kata kuncinya adalah valuasi irasional kembali menarik untuk dibahas.

Mengutip dari PracticalEcommerce, mereka menyebutkan bahwa valuasi di perusahaan privat itu bersifat spekulatif. Bahkan penghitungannya tidak seobyektif yang dibayangkan.

Ada yang memperhitungkan faktor-faktor, seperti keahlian tim, produk, aset, model bisnis, total pasar yang dapat ditangani, kinerja pesaing, dan lainnya. Ada juga VC yang sudah memiliki formula sendiri untuk menemukan pre-value money dari sebuah bisnis.

Jadi bisa dikatakan menghitung valuasi sebuah startup itu menggabungkan unsur seni dan sains. Bila menyejajarkan valuasi dengan NFT, bukanlah suatu larangan karena keduanya punya kesamaan. Sama-sama irasional. Tetap bakal tervalidasi selama ada yang beli, berapapun angkanya.

Di luar itu, umumnya dikenal delapan metode penghitungan valuasi, misalnya The Berkus Method, Comparable Transactions Method, Scorecard Valuation Method, dan lain sebagainya.

Dulu dianggap lumrah ketika startup menggalang pendanaan ekuitas tidak lebih dari tiga putaran pendanaan dan diakuisisi atau menjadi publik dalam waktu lima tahun sejak memulai bisnis. Tapi sekarang bukan hal yang aneh bagi startup untuk menerima enam putaran pendanaan dan tetap tertutup selama lebih dari 10 tahun.

Ketika startup tumbuh menjadi bisnis yang matang, baik pendapatan maupun pengeluaran yang tumbuh, memaparkannya pada lingkungan ekonomi yang berbeda. Lebih banyak tantangan muncul — persaingan tambahan, pasar yang jenuh, memperoleh pelanggan. VC, yang mendapat untung ketika startup mereka exit, telah menunjukkan kesabaran yang luar biasa.

Selama menjadi perusahaan privat, artinya tidak ada kewajiban untuk memberitahu laporan keuangan kepada publik.

Saat startup matang, memancing pesaing bermunculan, dan setiap perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak pemasaran dan akuisisi pelanggan. Kebutuhan terbesar inilah yang membuat startup butuh lebih banyak uang. Metriks inilah yang jarang tersorot dan memunculkan gambaran sepihak tentang keadaan perusahaan yang sebenarnya.

“Semua hype berakhir, bagaimanapun, ketika perusahaan mengajukan untuk menjadi entitas publik,” tulis PracticalEcommerce.

Co-Founder Union Square Ventures Fred Wilson menulis di blognya, “…penilaian di pasar swasta, khususnya di late stage, terkadang bisa irasional. Valuasi di publik, tentu saja setelah saham diperdagangkan untuk waktu yang cukup lama dan masa lock-off selesai, jauh lebih rasional.”

Hal ini terlihat jelas dalam kinerja Uber dan Lyft di bursa saham. Saat Uber go-public di Mei 2019, sahamnya dihargai $45 per lembar dengan valuasi $75,5 miliar. Pergerakan sahamnya liar sejak saat ini, pernah ada di posisi puncak $46 per saham pada 28 Juni 2019, lalu jatuh ke level terendah $26 per saham pada November 2019. Kini 2 September 2021, $41,09 per lembar dengan market cap $76,59 miliar.

Sedangkan Lyft go-public pada Maret 2019 dengan harga $72 per lembar saham dengan valuasi $24 miliar. Harga saham Lyft jauh lebih liar lagi. Kini 2 September 2021 berada di harga $48,96 per saham dengan market cap $16,41 miliar, jauh dari harga penawaran awal.

Perang yang “berbeda”

Di Asia Tenggara, J&T telah hadir di tujuh negara, sebelum akhirnya mendarat di Tiongkok pada Maret 2020. Jauh sebelum itu, latar belakang pendirinya Robin Lo sangat kuat dengan backing dari para pengusaha Tiongkok.

Di Tiongkok sendiri pasar logistiknya sudah sangat “berdarah-darah”. Ada lima pemain besar di sana, yakni S&F Express, Yunda, ZTO, YTO, STO, dan HT Express. Untuk menarik traksi, taktik yang dipakai J&T terbilang ekstrem, dengan memberikan subsidi ongkos kirim dan harga yang rendah cenderung merusak pasar.

Relasi Robin dan Jet Lee (CEO J&T Tiongkok) dalam membangun J&T Indonesia sudah cukup kuat, mengingat Jet Lee adalah mantan petinggi Oppo. Menurut laporan KrAsia, bisnis J&T cukup tertopang berkat bantuan induk Oppo, yakni BKK Electronics. Di situ tak hanya menaungi Oppo, juga brand smartphone lainnya, ialah Vivo, Realme, dan OnePlus.

Founder BKK Duan Yongping turut berperan dalam hubungan J&T dengan Pinduoduo karena ia turut menjadi mentor untuk founder Pinduoduo Colin Huang. Bersama Pinduoduo, J&T mampu mencetak volume pesanan harian lebih dari 20 juta paket di Tiongkok saja. Selama Festival Belanja 618 -event belanja tahunan terbesar kedua, volume paket harian J&T Express pada saat tersebut melebihi 30 juta paket.

Namun, dengan backing itu semua, belum mampu membuat dominasi J&T kuat karena dibandingkan dengan peers-nnya, seperti ZTO yang telah memiliki 94 pusat sorting dan 30 ribu outlet pengiriman yang mampu menjangkau 99% wilayah Tiongkok. Di sisi lain, J&T masih kurang menjangkau wilayah rural dan remote.

Sekadar tak ingin fokus di Tiongkok saja, J&T terus menciptakan sumber pertumbuhan baru dengan mengalihkan perhatiannya ke Timur Tengah dan Amerika Latin. Mereka akan fokus pada tiga negara berpenduduk padat – Mesir, Brasil, dan Meksiko – dan dua negara dengan pendapatan per kapita lebih tinggi: UEA dan Arab Saudi. Populasi negara-negara ini sangat besar, dengan total hampir 500 juta orang.

Perkembangan J&T di Indonesia

Sama seperti Tiongkok, kondisi perusahaan logistik last-mile di Indonesia sudah begitu ramai. Robin Loo mengklaim perusahaan bisa mengirimkan hingga 2,5 juta paket per hari berkat kemitraannya dengan berbagai platform marketplace.

Para pesaing J&T secara mayoritas mengandalkan strategi yang serupa. Untuk pengiriman reguler dan satu hari sampai (next day), pembeli dapat memilih layanan pengiriman dari SiCepat, JNE, AnterAja, Ninja Express, hingga Shopee Express yang disediakan Shopee. Ini belum menghitung Grab Express dan GoSend yang menyediakan pengiriman instan.

Seluruh opsi pengiriman ini tersedia di seluruh marketplace. Setiap penjual diberi kebebasan untuk memilih mana saja yang dapat dijangkau oleh mereka. Kondisi terbilang wajar jika tidak semua layanan logistik tersedia dan dapat dipilih pembeli. Terlebih, bila belanja di Shopee, mayoritas pengiriman dikuasai Shopee Express.

Agar tidak kalah bersaing, belakangan J&T mengembangkan layanan kargo untuk pengiriman paket dengan berat dan vokume yang besar dengan SLA estimasi pengiriman 1-3 hari. Layanan pengiriman premium juga semakin diperluas cakupannya. tak hanya di Jabodetabek, tetapi juga bisa dinikmati di Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Jambi.

Mempertanyakan Status Unicorn Layanan Logistik J&T Express

Pada 2017, perusahaan jasa ekspedisi J&T Express (J&T) mencatat jumlah pengiriman barang sebanyak 300 ribu paket per hari. Tiga tahun kemudian, J&T mencatatkan rekor pengiriman tertingginya dengan 2 juta paket per hari atau hingga 20 juta paket di sepanjang 2020.

Dalam enam tahun perjalanannya sejak berdiri di 2015, J&T telah mencatatkan milestone yang signifikan di industri logistik. Perusahaan kini telah memiliki 100 gateway center, 4000 operating point, 30.000 pegawai, dan ribuan armada untuk menjangkau seluruh Indonesia.

Perusahaan yang didirikan Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Tahun ini J&T disebut telah menyandang predikat unicorn menurut daftar CB Insights. Valuasinya pun fantastis, $7,8 miliar atau sebesar Rp113,5 triliun. J&T menempati urutan kedua unicorn dengan valuasi terbesar di Indonesia setelah Gojek dan diklaim sebagai startup logistik pertama di Indonesia.

Model bisnis dan pendanaan baru

Informasi ini cukup banyak memunculkan pertanyaan. Pasalnya, J&T dinilai menggunakan model bisnis tradisional, sama halnya seperti perusahaan logistik legacy seperti JNE. Perusahaan juga dianggap tidak termasuk dalam kategori bisnis smart logistics.

Jika patokannya adalah valuasi, nilai yang dirilis CB Insights wajar mengingat perusahaan sudah beroperasi di empat negara. Namun, jika kembali pada asas startup yang sifatnya disruptif, tidak diketahui apa saja inovasi atau teknologi yang dikembangkan perusahaan selama enam tahun berdiri.

Dari observasi dan informasi yang dikumpulkan DailySocial, satu-satunya hal yang dapat menghubungkan J&T dengan predikat unicorn tersebut adalah pengaruh besarnya dalam memberikan ongkos kirim jasa pengiriman yang murah dan gratis melalui kemitraannya dengan e-commerce.

Hal ini terlihat dari strategi kunci J&T dalam menggandeng marketplace besar sejak 2017, yaitu Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Saat itu, seperti dikutip dari Merdeka, CEO J&T Robin Lo menyebut bahwa jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.

Di situasi pandemi Covid-19, kontribusi tersebut naik signifikan. Terlebih, riset e-Conomy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa sektor e-commerce masih menjadi motor penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 54% atau $32 miliar.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto bereaksi terhadap hal ini dan menilai bahwa informasi ini sepatutnya disuarakan ke publik. Apalagi J&T juga berencana untuk go public di bursa Amerika Serikat (AS). Menurutnya, jika ini semata untuk menaikkan valuasi, sudah seharusnya pemerintah mulai mengatur persaingan sehingga pemain asing tidak dapat menghancurkan pasar logistik.

“Kami mempertanyakan apa iya sebesar itu valuasinya? JNE saja mungkin [valuasinya] sudah Rp10 triliun, kenapa tidak disebut unicorn? JNE menggunakan mitra di daerah-daerah, sedangkan J&T ‘nempel’ di titik JNE dengan modal sendiri. Apakah model business process [J&T] bisa tidak tidak terbatas di Indonesia? Persaingannya harus di medan yang pas lah,” paparnya saat dihubungi DailySocial.

Dengan rencana IPO ini, J&T berencana menghimpun pendanaan sebesar U$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun usai mengantongi investasi sebesar $300 juta beberapa waktu lalu. “Penawaran ini bakal menaikkan valuasi J&T Express menjadi $5 miliar,” ungkap salah seorang sumber di perusahaan seperti diberitakan Bloomberg.

Mungkin saja, apabila IPO terealisasi, gebrakan inovasi teknologi J&T di smart logistics akan lebih banyak dilakukan tahun ini.

Smart logistics

Dalam beberapa tahun terakhir, investor menaruh investasi besar di vertikal smart logistics. Berdasarkan catatan kami, ada delapan deal investasi yang diperoleh startup logistik di sepanjang 2020.

Di awal tahun ini, SiCepat Ekspres (SiCepat), yang tidak bermula di bisnis smart logistics, juga telah menerima pendanaan signifikan dari VC. SiCepat memperoleh Rp2,4 triliun dari sejumlah investor, seperti Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), MDI Ventures, hingga Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings).

Hal yang membedakan SiCepat dan J&T adalah perusahaan mengambil strategi pengembangan inovasi dengan ekspansi horizontal yang masif. Perusahaan mencaplok kepemilikan 51% saham platform food delivery DigiResto yang berada di bawah naungan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Kemudian induk SiCepat, Onstar Express Pte. Ltd., berinvestasi ke Logitek Digital Nusantara (LDN) yang merupakan anak usaha Telefast, bagian dari grup M Cash.

Ekspansi ini menjadi strategi kunci SiCepat, terutama melalui DigiResto yang disebut telah terintegrasi dengan tiga ekosistem utama, yakni multi delivery, multi merchant, dan multi payment.

Bicara inovasi smart logistics, Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menilai sebetulnya pengembangan di segmen ini dinilai lebih sulit dibandingkan dengan vertikal lain, seperti digital payment atau fintech. Smart logistics berkaitan dengan barang fisik sehingga peranan manusia masih sangat diperlukan untuk perpindahan barang. Berbeda dengan fintech yang bisa mengubah uang fisik menjadi non-tunai (cashless). Apalagi industri logistik di Indonesia dinilai belum punya standar jadi.

Alhasil, proses manual masih banyak dilakukan dan sulit untuk mendigitalisasinya. Sementara digitalisasi di sektor keuangan dinilai lebih mudah karena sudah distandarisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

“Contoh minor, standarisasi data. Misalnya, maksimum jumlah karakter untuk alamat dan format nomor telepon itu belum ada sehingga menyulitkan integrasi API antar-platform. Kalau smart logistics di luar negeri tinggal plug and play. Ini baru bicara standardisasi pra kondisi dari smart logistics,” ujarnya dihubungi DailySocial.

Dari situasi ini saja, sebetulnya ada peluang bagi pelaku startup logistik untuk masuk ke ranah pengembangan tools atau solusi yang belum terstandarisasi. Namun, lanjut Zaldy, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi sektor logistik untuk membantu mempercepat digitalisasi ke arah smart logistics. Konsumen mau tak mau “dipaksa” mengikuti proses berbasis digital.

Bukalapak Luncurkan Layanan Logistik Terpadu “BukaPengiriman”

Persoalan logistik masih menjadi kendala bagi banyak UKM untuk menjamah pasar online. Logistik sendiri terdiri dari banyak aspek, mulai dari penyimpanan, pengepakan, hingga pengiriman. Melihat kondisi tersebut, Bukalapak meluncurkan layanan logistik terpadu BukaPengiriman yang bisa dimanfaatkan oleh UKM secara mudah dan murah.

Kepada DailySocial Corporate Communication Manager Bukalapak Evi Andarinim mengungkapkan, Bukalapak sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia terus berupaya untuk memberdayakan para pelaku UKM di Indonesia sebagai penggerak roda perekonomian.

“Dengan adanya fitur BukaPengiriman tersebut, Bukalapak dapat membantu para pelapak yang merupakan pelaku UMKM untuk mengelola pengiriman barang pesanan pelanggan.”

Menggandeng logistik pihak ketiga

Untuk memastikan proses pengiriman berjalan dengan lancar, Bukalapak menggandeng enam perusahaan logistik. Di antaranya adalah J&T Express, Pos Indonesia, Ninja Express, GrabExpress, dan Go-Send. Pelapak nantinya tidak perlu menitipkan (upload) barang ke Bukalapak untuk melakukan pengiriman. Mereka pun dapat memonitor semua pengiriman barang melalui aplikasi Bukalapak.

Layanan ini tersedia secara khusus untuk mitra Bukalapak dan hanya tersedia di aplikasi iOS dan Android. Proses pembayaran pun bisa dilakukan dengan mudah, yaitu cukup membayarkan biaya pengiriman ke Bukalapak dan tidak perlu membayarkan biaya pengiriman ke kurir atau driver.

“Dengan adanya fitur BukaPengiriman ini, Bukalapak berharap semakin banyak para pelaku UKM yang bergabung untuk tumbuh bersama Bukalapak membangun Indonesia,” tutup Evi.

Application Information Will Show Up Here

Alibaba dan J&T Express Resmikan “J&T Alibaba”, Beri Akses Pemasaran Global untuk UKM Lokal

Alibaba dan J&T Ekspress mengumumkan peresmian J&T Alibaba, perusahaan dengan entitas baru yang dibentuk khusus menyasar segmentasi B2B. Perusahaan ini menjadi mitra resmi sekaligus perwakilan kantor Alibaba di Indonesia, dengan semangat ingin mendorong perekonomian Indonesia lewat sektor UKM untuk menembus pasar internasional melalui platform e-commerce.

J&T Alibaba menyediakan jasa konsultasi bisnis e-commerce langsung dari pakar, edukasi mengenai strategi pemasaran dan ekspor, serta akses langsung ke kumpulan pembeli potensial dari seluruh dunia lewat jaringan Alibaba.

“J&T Alibaba resmi berdiri sebagai mitra bisnis Alibaba di Indonesia, bukan sebagai mitra logistik. Kami berkomitmen untuk memajukan perekonomian Indonesia dengan mendorong sektor UKM dan memperkenalkan produk mereka pada pasar internasional,” terang Direktur J&T Alibaba Oliver Yang, Selasa (9/5).

General Manager of Oversea B2B of Alibaba Group Jack Zhang menambahkan, “Alasan kami menggandeng J&T Express karena mereka memiliki 1.200 jaringan tersebar di seluruh Indonesia. Kami harap sinergi solid ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada ekonomi Indonesia.”

Dalam model bisnisnya, J&T Alibaba menyediakan dua fasilitas keanggotaan bagi pelaku UKM, yakni International Free Member (IFM) dan Global Gold Supplier (GGS). Kedua keanggotaan ini memiliki fasilitas yang berbeda-beda.

Menurut Marketing Manager J&T Alibaba Agustina Putri Wijaya, keanggotaan ini menjadi syarat utama yang bisa dimanfaatkan pengusaha UKM sebelum mengakses platform Alibaba.

Di kondisi sebelumnya, ketika pengusaha ingin berjualan di Alibaba mereka harus berhubungan langsung dengan pihak Alibaba di Tiongkok. Hal ini tentu saja sangat rumit dan membuat minat pengusaha untuk melakukan ekspor juga terhambat.

“Sekarang dengan adanya J&T Alibaba, pengusaha bisa langsung mendaftar jadi anggota dan berjualan di Alibaba. Selain itu, berpotensi mendapat pelanggan baru di Alibaba yang berasal dari negara lain,” kata Agustina.

Saat ini ada 26 cabang J&T Alibaba yang bisa dipergunakan untuk menjangkau pengusaha lokal, di antaranya ada di Aceh, Bali, Balikpapan, Manado, kota-kota di Pulau Jawa, dan beberapa kota lainnya. Ditargetkan pada tahun ini dapat bertambah jadi 50 titik.

Diklaim saat ini Alibaba telah melayani sektor pelanggan B2B di lebih dari 190 negara dan 40 industri, dengan 160 juta pembeli.