[Review] Canon EOS M50: Mirrorless Basic dengan Fitur Komplet

Canon merilis kamera mirrorless EOS M pertama pada tahun 2012, menggunakan sensor berukuran APS-C dan sistem lensa EF-M. Sampai sekarang sudah ada tujuh anggota keluarga EOS M series, namun keseriusan Canon memang baru terlihat pada EOS M50.

Sejumlah fitur yang paling mencolok pada EOS M50 ialah kemampuan merekam video 4K, diperlengkapi dengan viewfinder (EVF), dan layar full vari-angle yang bisa dibuka ke samping dan diputar 360 derajat. Langsung saja, berikut review Canon EOS M50 – sebelum itu di bawah ini merupakan jajaran Canon EOS M series:

  • 2012 – EOS M
  • 2015 – EOS M3
  • 2016 – EOS M10
  • 2016 – EOS M5
  • 2017 – EOS M100
  • 2017 – EOS M6
  • 2018 – EOS M50

Desain Body Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Penamaan kamera mirrorless Canon memang tidak beraturan, tapi kalau dilihat dari garis desain dan kelengkapan kontrol kamera yang dimiliki urutannya ialah:

  • EOS M, EOS M3, dan EOS M6
  • EOS M10 dan EOS M100
  • EOS M5 dan EOS M50

Saya terkejut saat pertama melihat EOS M50, ternyata ukurannya tidak begitu besar. Dimensi 116,3×88,1×58,7 mm dan bobot 390 gram (body only), membuat kamera ini praktis untuk ditenteng dan tidak begitu ‘makan tempat’ saat disimpan.

Review-Canon-EOS-M50

Soal tampilan, EOS M50 mewarisi desain EOS M5 dengan style DSLR. Hand grip-nya cukup besar sehingga lebih nyaman di tangan, ada hotshoe untuk memasang aksesori seperti flash atau mikrofon eksternal, dan electronic viewfinder di bagian “punuk” yang menyuguhkan pengalaman memotret yang menyenangkan.

Unit kamera yang saya review berwarna putih, dengan sentuhan glossy yang cukup menarik perhatian. Meski build quality-nya sudah bagus, namun material plastik yang digunakan menyuguhkan feel kurang premium di tangan. Saya lebih suka warna hitam dengan finishing matte yang tampil lebih kalem.

Kontrol Kamera Canon EOS M50 

Review-Canon-EOS-M50

Kontrol kamera yang disematkan tidak selengkap EOS M5, hanya ada mode dial shooting untuk beralih mode pengambilan gambar dan satu dial utama di sekeliling tombol rana yang fungsinya serba guna untuk menyetel seperti shutter speed, aperture, dan ISO.

Untuk tata letak atribut tombol terkonsentrasi di bagian kanan, di panel atas sebelah kanan ditemukan tombol shutter, tombol movie, saklar on/off, tombol M-Fn yang bisa disesuaikan, hotshoe, dan internal flash.

Bagian depan, didapati mount lensa EF-M, tombol untuk membuka lensa, dua mikrofon, dan lampu AF illuminator atau self timer.

Beralih ke belakang, ada electronic viewfinder (EVF) dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot. Layar 3 inci full touchscreen yang sudah mendukung fungsi tap-to-focus, touch shutter, dan navigasi menu. Serta, full articulated yang hampir bisa diputar ke segala arah dan bisa ditutup saat tidak digunakan.

Di samping layar, diperoleh sejumlah tombol seperti AE lock, AF frame selection, Info, Menu, Playback, dan tombol navigasi yang masing-masing dilengkapi fungsi tertentu.

Port HDMI, micro USB, dan fungsi WiFi bertempat di sisi kanan. Port input mikrofon eksternal 3,5 mm dan area NFC di sisi kiri. Sementara, slot baterai, kartu memori, dan lubang soket tripod berada di bawah.

Fitur dan Spesifikasi Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Bagian inti EOS M50 ialah sensor tipe CMOS, berukuran APS-C, resolusi 24,1-megapixel, dan diotaki prosesor pengolah gambar terbaru Canon, Digic 8.

Prosesor baru ini, berkontribusi pada peningkatan kinerja Dual Pixel AF. Sekarang menampilkan lebih banyak titik AF, yakni 99 titik hingga 143 titik dan cakupan area lebih besar yakni 80% vertikal  x 80% horizontal hingga 88% x 100% pada lensa tertentu.

Kombinasi tersebut juga membuatnya mampu menjepret berturut-turut 10 foto per detik di focus mode AF-S (Single-shot AF) dan 7,4 foto per detik di AF-C (Continuous AF). Dengan tingkat sensitivitas native ISO dari 100 hingga 25.600 yang bisa diekspansi hingga ISO 51.200.

EOS M50 juga merupakan kamera mirrorless pertama yang mendukung file format RAW Canon yang baru yaitu CR3. Jenis RAW ini menawarkan kualitas tinggi dengan menyimpan resolusi penuh 24-megapixel, tapi dalam ukuran file 40% lebih kecil.

Salah satu keuntungan memotret dalam format RAW ialah memberi Anda fleksibilitas yang lebih besar saat mengolah foto-foto. Anda bisa meng-edit foto RAW di aplikasi Canon Digital Photo Professional.

Kemampuan Perekaman Video Canon EOS M50

EOS M50 adalah kamera mirrorless pertama Canon yang mampu merekam video resolusi 4K (3840×2160 piksel), meski dengan crop 1,7x, dan frame rate 25 fps. Sementara, di resolusi 1080p bisa direkam pada 50 fps dan resolusi 720p hingga 100 fps.

Untuk mendukung produksi video, EOS M50 juga dilengkapi dengan teknologi stabilisasi Dual Sensing IS untuk menetralkan getaran. Di mana sistem menggunakan sensor gyro dan informasi dari sensor CMOS untuk mendeteksi gerakan.

Layar full articulated, perekaman video 4K, dan Dual Sensing IS – membuat EOS M50 sudah cukup mumpuni untuk produksi konten video untuk YouTube. Untuk hasil terbaik, cukup merekam pada resolusi 1080p saja dan ambil footage tertentu pada resolusi 4K.

Sayangnya, teknologi Dual Pixel AF tidak bekerja pada perekaman video 4K, di mana kamera hanya sebatas melakukan contrast detection AF. Bila fitur perekaman video yang Anda cari, maka Sony Alpha A6300 atau Panasonic Lumix G85 bisa dilirik.

Pengalaman Menggunakan Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Harus diakui, desain layar full articulated ini asyik. Sangat memudahkan saat mengatur komposisi dan memotret dari berbagai sudut – baik foto maupun video.

Keberadaan viewfinder menyuguhkan kepuasan tersendiri. Bagian kerennya, EOS M50 mendukung opsi AF Touchpad yang memungkinkan kita mencari titik fokus dengan mengusap layar.

Mode silent shutter juga menarik, memungkinkan kita mengambil foto tanpa menarik banyak perhatian. Pengoperasian EOS M50 relatif mudah dan digunakan oleh siapa saja yang menginginkan hasil foto yang lebih baik daripada kamera smartphone.

EOS M50 menggunakan baterai tipe LP-E12, sama seperti EOS M100 yang hanya mampu menyuguhkan 235 foto sekali charge. Namun kita bisa mengaktifkan ‘mode Eco‘ yang diyakini mampu sedikit memperpanjang hingga 370 foto.

Hal yang sangat menyebalkan adalah meski kamera ini punya port micro USB, tapi kita tidak bisa men-charge kamera langsung dari kamera. Artinya, tidak bisa di-charger pakai powerbank – sebaiknya membeli baterai cadangan.

Review-Canon-EOS-M50

Konektivitas yang dibenamkan sangat lengkap, dari Bluetooth, WiFi, hingga NFC. Jangan lupa menginstal aplikasi Canon Camera Connect di smartphone, di mana hasil foto akan secara otomatis ditransfer ke smartphone sehingga bisa langsung posting ke media sosial.

Bluetooth membuat kedua perangkat terhubung, bahkan ketika kamera dimatikan. Proses setup-nya agak sedikit rumit, hanya bisa mengirim hasil foto, dan tidak bisa mengirim video.

Tentang kualitas hasil foto EOS M50 sudah amat baik, terutama di ISO rendah 100 hingga 800 – warna yang disuguhkan juga khas Canon – terlihat menyenangkan. Sementara di kondisi temaram, sebaiknya tidak menggunakan ISO lebih dari 6400 – karena noise akan mulai menampakkan diri.

Berikut beberapa hasil foto Canon EOS M50 menggunakan lensa EF-M15-45 mm f/3,5-6,3 IS STM:

Verdict

Review-Canon-EOS-M50

Jujur saja, impresif awal saya agak skeptis pada EOS M50. Karena merupakan kamera basic, tetapi keraguan tersebut telah lenyap setelah dimanjakan beragam fitur-fiturnya. EOS M50 mampu memenuhi kebutuhan saya seperti untuk meliput acara, serta foto dan video produk review. Harusnya juga sudah mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar Anda juga.

Layar full articulated dan full touchscreen, electronic viewfinder dengan AF Touchpad, perekaman video 4K, stabilisasi Dual Sensing IS, prosesor terbaru Digic 8 yang membuat kinerja kamera secara keseluruhan meningkat signifikan, dan body yang ringkas – kamera ini asyik dan mudah digunakan.

Menurut saya, ideal untuk para video content creator [baca: YouTuber] atau pehobi fotografi terutama pengguna smartphone yang bercerita lewat foto dengan memberikan sentuhan seperti setting eksposur, titik fokus, warna, komposisi, dan kreativitas yang kita dimiliki.

Sparks

  • Layar full articulated dan full touchscreen
  • Electronic Viewfinder
  • Perekaman video 4K
  • Silent Mode
  • Konektivitas lengkap dan bisa transfer hasil foto otomatis ke smartphone

Slacks

  • Dual Pixel AF tidak bekerja pada perekaman video 4K
  • Crop 1,7x di 4K, susah mengambil video dalam wide-angle
  • Tidak mendukung pengisian USB langsung ke kamera

Pengalaman Mengambil Gambar dengan Samsung Galaxy A7

Samsung Galaxy A9 dan A7 diluncurkan secara global di W Hotel, Malaysia. Samsung A7 sendiri mengusung tiga buah kamera pada bagian belakangnya, sedangkan A9 ada empat buah kamera.

Samsung A7 Exp - Denny

Pada acara yang dihelat di Malaysia tersebut, DailySocial berkesempatan untuk mencoba salah satu perangkatnya yang bakal dijual bulan ini. Kami mendapatkan Samsung Galaxy A7. Tentunya, kamera merupakan satu hal yang dikedepankan dalam penjualan smartphone tiga kamera tersebut.

Kali ini, pengambilan gambar dilakukan dengan bimbingan dari salah satu fotografer yang namanya sudah tidak asing lagi, Gesit Wisnu Prakoso. Beliau pun memberikan beberapa tips dalam mengambil gambar.

Samsung A7 Exp - Unbox

Menurut Gesit, menggunakan smartphone seperti Samsung Galaxy A7 dan A9 membuat para fotografer tidak lagi harus capek mengganti banyak lensa. Hal tersebut dikarenakan pada kedua smartphone sudah memiliki kemampuan untuk mengambil gambar wide angle, bokeh, normal dengan tingkat ketajaman yang tinggi, dan zoom  pada A9.

Samsung menamakan kamera untuk menangkap gambar lebih lebar dengan sebutan Ultra Wide Angle 120°. Dengan fungsi tersebut, para pengambil gambar dapat memfoto dengan sudut pandang yang lebih lebar. Selain itu, pada ruang sempit dan terbatas, membuat fotografer mampu mengambil gambar lebih luas. Dimensi foto pun akan dipertegas dengan fungsi ini.

Samsung A7 Exp - Tricam

Samsung Galaxy A7 dan A9 juga memiliki bukaan yang lebih lebar, yaitu f/1.7. Dengan bukaan tersebut, Galaxy A7 dan A9 mampu menyerap atau merekam cahaya dengan sangat baik sehingga menghasilkan gambar dengan kualitas yang bagus. Hal tersebut terutama dalam kondisi yang minim cahaya atau low light.

Untuk mengambil gambar yang menarik, Gesit memiliki beberapa tips pengambilan gambar. Yang pertama adalah Framing. Hal ini dilakukan dengan cara menempatkan obyek yang ingin diambil seperti seolah-olah dikelilingi elemen lain dalam foto. Hal tersebut membuat obyek seperti berada di dalam sebuah bingkai.

Samsung A7 Exp - Gesit

Yang kedua sering dikatakan oleh banyak fotografer, yaitu Leading Lines. Hal tersebut biasanya digunakan untuk mengarahkan siapapun yang melihat foto kita kepada subyek utama dalam menggunakan elemen seperti garis ataupun pola yang ada disekitar bangunan.

Ketiga, usahakan untuk menggunakan aturan Rule of Thirds. Idenya adalah menempatkan elemen penting dari adegan di sepanjang satu atau lebih garis atau di mana garis berpotongan. Untuk itu, pengguna harus mengaktifkan fungsi Grid Lines pada smartphone-nya.

Keempat, fokus pada background/foreground. Hal ini dilakukan dengan menempatkan fokus pada obyek utama dan memberikan efek tertentu pada obyek pendamping. Contoh dari tips yang satu ini adalah dengan menambahkan dedaunan di depan sebuah obyek bangunan.

Samsung A7 Exp - Food

Kelima, gunakan People in frame. Fotografer harus berani meletakkan manusia pada obyek utama agar foto lebih memberikan cerita. Gesit juga mengatakan untuk tidak takut menggunakan ambience atau aktivitas yang ada di lingkungan sekitar.

Terakhir adalah Centered Composition and Symmetry. Hal ini akan menempatkan obyek utama ditengah bingkai dengan memberikan aksen yang bersifat simetri di sekitar obyek.

Dengan arahan dari Gesit, berikut adalah beberapa contoh dari hasil kamera Samsung Galaxy A7:

Kamera dari Samsung Galaxy A7 mampu mengerjakan tugasnya dengan baik. Samsung sendiri menggunakan sensor ISOCELL dengan teknologi TetraCell yang mampu menggabungkan beberapa gambar menjadi satu untuk menghasilkan gambar yang lebih baik.

Samsung sendiri berjanji masih akan meningkatkan kualitas kamera mereka saat sudah terjual di pasaran. Hal tersebut membuat hasilnya akan lebih baik dari yang kami ambil di sini.

Tentunya, tips ini juga dapat digunakan pada smartphone lainnya. Oleh karena itu, selamat mencoba!

Insta360 One X Dapat Merekam Dalam Resolusi 5,7K dengan Sangat Stabil

GoPro punya teknologi HyperSmooth, Insta360 punya FlowState. Tujuan yang hendak dicapai keduanya sama persis, yakni mewujudkan sistem stabilization yang sangat efektif sampai-sampai perangkat tidak perlu dipasangkan pada gimbal guna menciptakan video yang mulus.

Teknologi FlowState ini kembali menjadi sorotan melalui kamera 360 derajat baru bernama Insta360 One X. Sesuai namanya, ia merupakan penerus dari Insta360 One yang diluncurkan tahun lalu, dan bersamanya datang sederet pembaruan yang menarik.

Dari segi estetika, desain One X berubah cukup signifikan. Yang tadinya serba mengilap (glossy) kini berubah menjadi matte, dengan bodi yang lebih tipis dari sebelumnya (28 mm). Juga baru adalah layar indikator kecil pada salah satu sisi One X.

Insta360 One X

Di balik sepasang lensa 200° f/2.0 miliknya, tertanam dua sensor CMOS 1/2,3 inci bikinan Sony, masing-masing dengan resolusi 18 megapixel. Kenapa resolusinya turun? Karena ukuran pixel individual pada sensor One X lebih besar, yang berarti kualitas gambarnya di kondisi minim cahaya pasti lebih bagus.

Resolusi fotonya boleh turun, tapi resolusi videonya malah meningkat pesat. One X mampu merekam video 360 derajat dalam resolusi maksimum 5,7K 30 fps. Kalau yang dicari frame rate tinggi, masih ada opsi perekaman dalam resolusi 4K 50 fps atau 3K 100 fps.

HDR, time lapse, hyperlapse, semuanya tersedia pada One X. Demikian pula kemampuan untuk ‘mengekstrak’ video normal (non-360) pasca perekaman, sehingga pengguna dapat mengubah perspektif video dengan mudah.

Insta360 One X

Terkait FlowState, Insta360 mengklaim algoritmanya telah diperbarui sehingga efeknya bakal lebih terasa pada One X. Juga unik adalah fitur Bullet Time, di mana kamera akan merekam dalam perspektif mengorbit dengan efek slow-motion. Di One X, fitur ini memiliki sudut pandang yang lebih luas lagi beserta resolusi yang lebih tinggi (3K).

Selain Bluetooth, One X turut mengemas konektivitas Wi-Fi 5,8 GHz yang menjanjikan proses transfer data lebih cepat (transfer via kabel juga mungkin dilakukan). One X dibekali baterai 1.200 mAh, dengan estimasi daya tahan hingga satu jam saat dipakai merekam dalam resolusi 5,7K 30 fps.

Deretan aksesori

Insta360 One X cases

Seperti pendahulunya, One X dikategorikan sebagai action cam oleh Insta360. Maka dari itu, wajar apabila tersedia sejumlah aksesori opsional untuknya, dari yang umum sampai yang cukup nyentrik.

Yang umum adalah dua jenis casing: Venture Case untuk menambah ketangguhannya, dan Dive Case untuk kegiatan menyelam sampai kedalaman 30 meter. Kemudian ada pula monopod sepanjang 3 meter yang tidak akan kelihatan wujudnya pada hasil perekaman sebab aplikasi pendamping One X bakal menghapusnya secara otomatis, sehingga kamera terkesan sedang melayang.

Insta360 One X GPS Smart Remote

Aksesori lain yang tak kalah unik adalah GPS Smart Remote, yang memudahkan pengguna untuk mengontrol kamera ketika sedang terpasang, misalnya, di atas helm. Di saat yang sama, remote tersebut juga akan merekam data GPS secara lengkap, termasuk halnya informasi kecepatan, arah, elevasi, dan tentu saja lokasi.

Insta360 One X Drifter

Terakhir, ada aksesori nyentrik bernama Drifter yang bentuknya mirip roket kecil atau dart. Selipkan One X ke dalamnya, tekan tombol record, lalu lemparkan seperti sebuah dart. Hasilnya adalah video slow-mo di udara yang Insta360 sebut dengan istilah Drift Shot.

Harga dan ketersediaan

Insta360 One X rencananya akan dipasarkan mulai 17 Oktober seharga $400, lebih mahal $100 dari pendahulunya. Harganya masih lebih terjangkau ketimbang kamera 360 derajat lain seperti Rylo maupun GoPro Fusion.

Sumber: Insta360.

[Review] Sony Alpha A7 III: Kamera Mirrorless Full Frame Serbaguna

Sebagai seorang content creator, kemampuan fotografi dan videografi sangat penting dalam menunjang pekerjaan saya. Kurang lebih untuk keperluan reportase atau meliput event, serta pengambilan foto dan video review.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, saya membeli kamera mirrorless Sony Alpha A7 karena memiliki sensor full frame. Karena saya membutuhkan kualitas gambar gambar yang lebih baik, terutama saat low light – di mana kamera menggunakan ISO tinggi.

Satu hal yang paling mengganggu pada A7 adalah absennya stabilizer di body kamera. Sehingga tidak memungkinkan merekam video dengan hand-held, harus menggunakan tripod – bila menggunakan lensa tanpa dukungan Optical SteadyShot image stabilization.

Makanya tahun depan nanti, saya berencana upgrade body kamera ke A7 II yang sudah memiliki 5 axis stabilization atau investasi ke lensa. Tetapi, rencana tersebut kemungkinan saya urungkan dulu setelah dicekoki Sony Alpha A7 III.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Ya, meja redaksi DailySocial lifestyle kedatangan kamera mirrorless full frame A7 series terbaru generasi ketiga. Sudah hampir satu bulan Sony Alpha A7 III menemani berbagai aktivitas saya – untuk liputan, foto dan video review, traveling, dan bahkan prewedding.

Pengalaman paling berkesan saat menggunakan A7 III ialah kepraktisan menentukan titik fokus, daya tahan baterainya panjang, 5 axis stabilization yang sangat berguna saat merekam video, dan masih banyak lagi. Berikut review Sony Alpha A7 III selengkapnya.

Desain Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Pada minggu pertama bersama A7 III, kebetulan event sedang padat – di mana hampir setiap hari pergi meliput. Saya masih meraba-raba untuk mengoptimalkan kamera ini, tetapi jujur saja – leher dan juga pundak saya berasa pegal-pegal.

Sebenarnya wajar, mengingat dimensi A7 III lebih besar (127x96x74 mm). Bobotnya juga lebih berat, A7 hanya 474 gram (termasuk baterai tanpa lensa) – sementara A7 III mencapai 650 gram.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Harus diakui, bertambahnya dimensi dan grip lebih besar yang nyaman di tangan membuatnya jauh lebih ergonomis. Peningkatan kontrol kamera pada A7 III juga membuatnya lebih responsif saat digunakan. Dalam grip tersebut telah tertanam baterai baru yang menyuguhkan ketahanan hampir 2x lebih panjang.

Garis desain A7 III sendiri masih sama seperti pendahulunya yaitu mengambil desain klasik seperti kamera SLR atau rangefinder. Dari luar, tampilan A7 III nyaris sama dengan A7R III – sangat ganteng.

Kontrol Kamera Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Saat mengambil foto dan video review, biasanya saya bermain aperture, area fokus, dan angle. Namun menentukan titik fokus pada A7 adalah hal yang cukup merepotkan.

Oleh karena itu, keberadaan joystick dan fungsi layar sentuh pada A7 III menurut saya merupakan fitur esensial – karena sangat berguna membantu berpindah area fokus.

Sayangnya, layar sentuh 3 inci miliknya belum bisa diputar ke samping dan depan. Jadi, kadang masih suka ribet sendiri saat mengkomposisi foto dalam angle tertentu dan sukar merekam video diri sendiri atau vlogging. Fungsionalitas layar sentuhnya juga terbatas, hanya untuk menentukan titik fokus dan belum bisa untuk navigasi menu.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Bagian depannya cukup ramai, selain layar sentuh dan AF joystick – terdapat pula dan jendela bidik tipe electronic 2,36 juta dot OLED (0,78x magnification) lengkap dengan dial diopter untuk menyesuaikan fokus dari lensa viewfinder.

Tombol lainnya antara lain tombol menu untuk mengakses pengaturan kamera, tombol FN yang terdiri dari 12 shortcut, kustom C3 dan C4, AF-ON, AEL, playback, dan roda kontrol.

Sementara, pada bagian atas terdapat tombol shutter yang dilengkapi toggle on/off, dial untuk menyesuaikan aperture, dial untuk mengatur shutter speed, multi interface shoe, serta tombol kustom C3 dan C4.

Lalu, ada mode dial untuk mengatur exposure compensation, serta dial untuk beralih ke mode pemotretan seperti auto mode, program auto, aperture priority, shutter priority, manual exposure, memory recall satu dan dua, movie, S&Q motion, dan SCN (scene selection).

Review-Sony-Alpha-A7-III

Lanjut ke belakang, ada tombol tuas untuk membuka dan memasang lensa. Serta, lampu AF illuminator atau self-timer. Sementara, di bagian bawah ada slot untuk baterai dan lubang soket tripod.

Ke sisi kanan, ada dua slot untuk kartu memori dan kait untuk strap. Sementara pada sisi kiri, ada jack microphone, jack headphone, jack HDMI mirco, USB Type-C, lampu charge, dan multi/micro USB.

Kontrol kamera pada A7 III memang relatif kompleks dan terdapat banyak sekali tombol yang fungsinya dapat diubah. Pastinya akan menyita waktu kita untuk menyesuaikan sesuai kebutuhan, tetapi semua kesabaran itu akan terbayar – jangan ragu mengotak-atik kamera.

Spesifikasi Teknis Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Kamera ini mengusung sensor full frame 35mm, dengan resolusi 24-megapixel seperti A7 dan A7 II. Namun teknologi didalamnya telah ditingkatkan, di mana kini telah menggunakan sensor BSI (backside-illuminated) – singkatnya A7 III menawarkan kinerja lebih baik di bright light maupun low light.

Desain sensor baru yang disebut ‘dual gain‘ tersebut juga membawa kemampuan sistem autofocus hybrid dengan 693 titik phase-detection yang nyaris memenuhi keseluruhan frame (93%), 425 titik contrast-detection, rentang ISO hingga 51200 (bisa ditingkatkan sampai ISO 204800), dan mampu memotret 10 fps dengan buffer 163 foto.

Saya tidak suka kehilangan kontrol di mode auto, karena itu saya selalu memilih mode manual. Tetapi saya percaya dengan ISO otomatisnya, karena performa ISO tingginya bagus. Namun untuk memastikan hasilnya tetap terjaga, kita bisa menentukan nilai ISO minimum dan maksimum.

Review-Sony-Alpha-A7-III-18

Soal video, A7 III sanggup merekam video 4K pada 24 fps tanpa crop, video 4K pada 30 fps dengan crop 1,2x, dan video slow-motion 1080p pada 120 fps di mode S&Q.

Lengkap dengan dukungan S-log3 yang bisa disimpan ke SD card (8 bit 4:2;0) maupun ke HDMI out (8 bit 4:2:2) dan HLG (hybrid log gamma) yang berguna saat keadaan kontras tinggi.

Ya, kemampuan perekaman video 4K milik A7 III sudah terbilang mumpuni. Meskipun banyak yang masih membuat video pada 1080p – mengambil footage 4K memiliki sejumlah keuntungan. Misalnya bisa digunakan untuk bermain multi-angle, bisa zoom atau re-framing tanpa mengurangi kualitas saat kita me-render ke 1080p.

Pengalaman Menggunakan Sony Alpha A7 III

Saya mendapatkan kesempatan menguji A7 III untuk membantu pemotretan prewedding. Saya benar-benar terkesan dengan fitur Eye-AF tracking yang sangat cepat dan akurat.

Eye-AF akan melacak mata subjek yang paling dekat dengan kamera, bahkan saat bermain bokeh dengan aperture besar seperti f1.8. Eye-AF juga akan terus melacak mata ketika subjek bergerak dan saat kita melepaskan tembakan beruntun (continuous shooting) 10 fps.

Jujur saja, saya merasa begitu fleksibel dan bisa dengan mudah beradaptasi saat mengubah skenario. Sehingga bisa sepenuhnya fokus mengejar komposisi yang saya inginkan, menangkap ekspresi yang tepat, dan mengabadikan momen secara lebih sempurna.

Penggunaan baterai lithium-ion baru NP-FZ100 yang sanggup mempersembahkan hingga 710 foto sekali full charge dan dukungan dual slot SD card – membuat saya bernafas lega. Tidak perlu begitu khawatir lagi kehabisan daya dan memori penuh, terutama saat harus syuting berat.

Review Sony Alpha A7 III ini, pengambilan sampel gambar juga dibantu oleh salah satu fotografer Dailysocial – Sadam. Menurutnya, meski bermain di ISO tinggi dan aperture kecil di kondisi low light – hasilnya masih bagus dan minim noise. Sangat recommended bagi penikmat fotografi malam yang anti flash.

Secara umum, kualitas bidikan dari A7 III sangat bagus – keunggulannya terletak di low light dan dynamic range-nya. Penggunaan ISO tinggi pun hasilnya masih tetap minim noise dan di kondisi backlight detail tertangkap dengan sangat baik. Kualitas warna untuk skintone juga sudah membaik dibanding A7.

Untuk kebutuhan hobi fotografi serius ataupun semi pro, kualitasnya sudah lebih dari cukup. Demikian juga buat kerja/pro, dengan catatan bila Anda tidak perlu resolusi tinggi. Kemampuan perekaman video 4K bagus, serta didukung koleksi lensa yang lengkap dan berkualitas (Zeiss, Sony GM).

Berikut beberapa bidikan dari Sony Alpha A7 III:

Verdict

Review-Sony-Alpha-A7-III-17

Meski menyasar kalangan professional, Sony menyebut A7 series merupakan model paling basic. Bisa dimaklumi, karena Sony memiliki A7R series yang mengunggulkan resolusi tinggi, A7S series spesialis di video, dan A9 series mampu menjepret foto berturut-turut 20 fps.

Menurut saya, A7 III adalah kamera yang serbaguna – cocok untuk segala kebutuhan fotografi dan juga andal untuk kebutuhan video – baik hobi maupun buat kerja (pro). Feel-nya professional dan fitur-fitur yang ada sangat memanjakan penggunanya.

Sony Alpha A7 III juga menjadi benchmark untuk kamera full frame. Saat Nikon meluncurkan Z6 dan Z7, serta Canon dengan EOS R – kebanyakan orang akan langsung membandingkan dengan A7 III. Harga A7 III juga sangat kompetitif bila dibandingkan para kompetitornya.

Sparks

  • Baterai 2,2x lebih tahan lama (710 jepretan)
  • Grip lebih besar, lebih nyaman saat digunakan
  • Layar sentuh dan AF joystick sangat membantu memilih area fokus
  • Dua slot memory card

Slacks

  • Layar belum bisa diputar ke samping dan depan layaknya camcorder
  • Tanpa PlayMemories, tidak bisa menginstal aplikasi tambahan

Zeiss ZX1 Adalah Kamera Compact Full-Frame Dengan Adobe Lightroom CC Built-In

Baik untuk kebutuhan profesional maupun pemakaian casual, proses editing sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ranah fotografi. Tersedia banyak software sunting foto di PC maupun perangkat bergerak, beberapa mudah digunakan dan yang lain menawarkan keleluasaan fitur. Begitu besarnya peran editing, platform sosial media bahkan menyertakan fungsi ini di layanan mereka.

Krusialnya proses editing sepertinya turut mendorong satu perusahaan spesialis produk optik asal Jerman untuk mengintegrasikan fitur penyuntingan di perangkat high-end barunya. Di ajang Photokina 2018, Zeiss memperkenalkan ZX1, yaitu kamera compact mirrorless yang mengusung kapabilitas edit built-in berkat kehadiran Adobe Lightroom CC. ZX1 juga merupakan kamera full-frame pertama buatan Zeiss.

Zeiss ZX1.

Layaknya kamera point-and-shoot bertubuh padat di kelasnya, Zeiss merancang ZX1 agar siap menunjang pemakaian satu tangan. Penampilannya mengombinasikan estetika desain modern dan industrial tanpa melupakan aspek ergonomis. Kemudahan pemakaian menjadi perhatian utama Zeiss, dan untuk memenuhi hal tersebut, produsen mencantumkan layar multi-touch seluas 4,3-inci yang dipadu dengan user interface intuitif. Beradasarkan keterangan Zeiss, mereka memang menyiapkan ZX1 sebagai alternatif lebih canggih dari smartphone.

Layar sentuh dan UI sangat esensial karena berkat dukungan penuh dua elemen ini, pengguna dipersilakan mengutak-atik foto berformat RAW via Adobe Photoshop Lightroom CC langsung di ZX1. Zeiss menjanjikan tampilan antar-muka unik yang memungkinkan kita mengedit tanpa gangguan. Lalu saat kamera full-frame mirrorless ini tersambung ke network, Anda bisa segera mengunggah gambar tanpa perlu menyimpannya di storage eksternal.

Zeiss ZX1 1

Lalu bagaimana jika saat itu internet tidak tersedia? Kita memang tidak dapat membubuhkan penyimpanan tambahan di ZX1, namun kamera compact ini sudah dibekali memori internal sebesar 512GB – cukup untuk menyimpan sekitar 6.800 foto RAW dan lebih dari 50.000 JPG, sangat ideal untuk digunakan berfoto-foto saat liburan panjang. Selain Wi-Fi, ZX1 turut dilengkapi konektivitas Bluetooth dan USB type-C yang memungkinkan kita menyambungkannya ke sejumlah periferal.

Dalam mengabadikan momen, ZX1 mengandalkan sensor full-frame 37,4-megapixel buatan tim Zeiss sendiri, dikombinasikan bersama lensa Zeiss Distagon 35mm f/2 T*. Perpaduan sensor dan lensa tersebut menjanjikan ‘kualitas gambar kelas atas dengan karakteristik hasil foto khas Zeiss’.

Buat sekarang, Zeiss belum menginformasikan harga yang mereka patok untuk satu unit ZX1. Perusahaan Jerman itu hanya bilang akan mengumumkan harga retail ZX1 bersamaan dengan peluncuran produk, rencananya dilangsungkan di awal tahun 2019.

Sumber: Zeiss.

Zenit Bangkit Kembali dengan Kamera Mirrorless Full-Frame, Zenit M

Penggemar sekaligus pengguna kamera Leica semestinya pernah mendengar pabrikan bernama Zenit. Di era fotografi film, merek asal Rusia tersebut pernah berjaya berkat sejumlah kamera jiplakan produk-produk Leica, sampai akhirnya mereka berhenti memproduksi kamera di tahun 2005.

Namun di tahun 2016, Shvabe Holding selaku pemegang merek Zenit mengumumkan bahwa mereka berniat menghidupkan brand itu kembali. Setahun setelahnya, niat mereka semakin jelas dengan rencana meluncurkan kamera mirrorless full-frame di tahun 2018, dan itu ternyata bukan bualan semata.

Di ajang Photokina 2018, di tengah-tengah pengumuman dari brandbrand besar, Zenit memperkenalkan Zenit M. Kalau sebelumnya mereka banyak mencontek Leica, kali ini Zenit bekerja sama langsung dengan Leica; Zenit M dibuat dengan Leica M (Typ 240) sebagai basisnya.

Leica M (Typ 240) / Leica
Leica M (Typ 240) / Leica

Kendati demikian, Zenit bilang bahwa mereka telah melakukan modifikasi baik pada hardware maupun software guna merealisasikan Zenit M, yang seharusnya berarti ini bukan revisi kosmetik semata. Menemani Zenit M adalah lensa Zenitar 35mm f/1 yang proses desain dan produksinya diklaim 100% berlangsung di Rusia.

Menurut Zenit, lensa ini sanggup menghasilkan gambar dengan efek soft focus dan bokeh yang unik tanpa memerlukan pemrosesan digital tambahan. Secara keseluruhan, penampilan Zenit M memang sengaja dibikin mirip dengan kamera-kamera lawas buatan mereka.

Zenit M

Zenit sejauh ini belum membeberkan spesifikasi M, akan tetapi semestinya identik dengan Leica M (Typ 240), yang mencakup sensor CMOS full-frame 24 megapixel, ISO 6400, continuous shooting 3 fps, perekaman video 1080p, LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot, live view focusing, dan viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,68x.

Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan di Eropa pada bulan Desember mendatang. Harganya belum diungkap, tapi sebagai referensi, Leica M (Typ 240) yang menjadi basisnya sampai sekarang masih bisa dibeli seharga $6.000.

Sumber: PetaPixel dan Shvabe.

Leica S3 Sapa Penggemar DSLR Medium Format Tahun Depan

Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.

Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.

S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.

Leica S3

Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.

Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Panasonic Sedang Kerjakan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame: Lumix S1R dan S1

Kehadiran Nikon Z 7 dan Nikon Z 6 beserta Canon EOS R semestinya sudah cukup membuat Sony sebagai penguasa di segmen kamera mirrorless full-frame khawatir. Namun ternyata masih ada lagi pihak lain yang juga ingin ikut menginvasi lahan dominasi Sony, yaitu Panasonic. Di ajang Photokina 2018, pelopor tren mirrorless itu mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan dua kamera mirrorless full-frame.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix S1R dan S1. Layaknya seri Sony a7 yang selalu dibagi dua (tiga kalau a7S yang video-oriented juga dimasukkan hitungan), S1R adalah model flagship dengan sensor full-frame beresolusi 47 megapixel, sedangkan S1 ‘hanya’ 24 megapixel. Yang cukup unik, kedua kamera ini tidak menggunakan dudukan lensa (mount) baru seperti halnya Nikon Z dan Canon EOS R, melainkan L-mount besutan Leica.

Kendati demikian, Panasonic masih akan mengembangkan lensa L-mount bikinannya sendiri. Tiga yang sudah direncanakan adalah 50mm f/1.4, 24-105mm, dan 70-200mm, lalu tujuh lainnya akan menyusul tidak lewat setahun setelah kedua kamera ini diluncurkan. Demi semakin memperluas ekosistem lensa yang ditawarkan, Panasonic dan Leica juga telah menggandeng Sigma untuk ikut memproduksi lensa L-mount.

Panasonic Lumix S1R and Lumix S1

Berhubung masih dalam tahap pengembangan (yang dipamerkan baru prototipenya), detail mengenai S1R dan S1 pun belum terlalu lengkap. Beberapa yang esensial di antaranya adalah kemampuan merekam video 4K 60 fps (pertama untuk mirrorless full-frame kata Panasonic), dan sistem image stabilization internal yang dapat dikombinasikan dengan stabilization bawaan lensa.

Kedua kamera dilengkapi layar sentuh yang dapat dimiringkan pada tiga poros (atas, bawah dan samping, macam milik Fujifilm X-T3), sayang bukan yang model fully-articulated. Slot memory card-nya ada dua, satu untuk SD card biasa dan satu untuk XQD card. Menyesuaikan dengan target pasarnya, sasisnya telah dirancang agar tahan terhadap cuaca yang tidak ramah.

Rencananya, kedua kamera ini baru akan dipasarkan pada awal tahun 2019 mendatang. Harganya belum diketahui, tapi sudah pasti lebih mahal daripada Lumix GH5S, yang merupakan kamera termahal Panasonic saat ini.

Sumber: DPReview.

Canon PowerShot SX70 HS Unggulkan 65x Optical Zoom, Sempurnakan Banyak Aspek Pendahulunya

Kamera superzoom merupakan kategori yang cukup menarik. Umumnya kamera dalam kategori ini dirancang sebagai pendamping traveling yang serbabisa: dimensinya ringkas, akan tetapi menyimpan lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, sehingga cocok untuk beragam kebutuhan.

Juli lalu, Canon meluncurkan PowerShot SX740 HS yang seukuran kamera saku tapi menawarkan 40x optical zoom. Kalau ternyata 40x masih dirasa kurang jauh, Canon punya penawaran baru lainnya, yakni PowerShot SX70 HS yang lebih besar sekaligus lebih jago meneropong.

Canon PowerShot SX70 HS

Kamera ini merupakan penerus langsung PowerShot SX60 HS, namun ternyata lensa yang digunakan masih sama: 21-1365mm (65x optical zoom, atau hampir separuh Nikon Coolpix P1000), dengan aperture maksimum f/3.4-6.5. Yang banyak dirombak justru adalah jeroannya.

SX70 mengemas sensor BSI (backside-illuminated) 1/2,3 inci dengan resolusi 20,3 megapixel. Ditemani oleh prosesor Digic 8, sensor ini sanggup menjepret dalam format RAW Canon CR3, yang ukuran file-nya lebih kecil daripada CR2. Video pun dapat ia rekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan bitrate maksimum 120 Mbps.

Canon juga menjanjikan sistem image stabilization yang lebih efektif lewat perpaduan sensor dan prosesor baru ini, dengan klaim bahwa sistemnya bisa mengompensasi guncangan hingga lima stop. Performa burst shooting-nya pun cukup gegas di angka 10 fps, atau 5,7 fps dengan continuous AF.

Canon PowerShot SX70 HS

Perubahan drastis lainnya ada pada viewfinder elektroniknya (EVF). Panel yang digunakan bukan lagi LCD beresolusi 922 ribu dot, tapi OLED 2,36 juta dot layaknya mayoritas kamera mirrorless. Sebelumnya absen, sensor mata kini hadir sehingga pergantian antara EVF dan LCD di bawahnya bisa terjadi secara otomatis.

Konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth melengkapi fitur-fitur yang ditawarkan Canon PowerShot SX70 HS. Kamera ini rencananya akan dipasarkan pada akhir November mendatang seharga $550.

Sumber: DPReview.

GoPro Luncurkan Trio Action Cam Baru: Hero 7 Black, Silver dan White

Sejak tahun 2016, GoPro rutin merilis action cam baru di bulan September. Di tahun 2016, GoPro Hero 5 Black datang membawa desain baru. 2017, GoPro Hero 6 Black hadir sebagai kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri. Tahun ini, GoPro menyiapkan tiga action cam baru sekaligus: Hero 7 Black, Hero 7 Silver dan Hero 7 White.

Seperti biasa, Hero 7 Black adalah bintang utama alias model flagship-nya. Gaya desain yang diperkenalkan Hero 5 masih dipertahankan, demikian pula bodi yang tahan air sampai kedalaman 10 meter tanpa bantuan casing. Sekali lagi yang berubah cukup signifikan adalah jeroannya.

GoPro Hero 7 Black

Prosesor GP1 kembali menjadi suguhan utama, akan tetapi GoPro sudah memodifikasinya lebih lanjut hingga mampu menghadirkan kapabilitas baru pada Hero 7 Black. Utamanya adalah sistem stabilization internal super-efektif yang dijuluki HyperSmooth.

Eksklusif untuk Hero 7 Black, HyperSmooth sanggup mengompensasi guncangan dengan luar biasa baik sampai-sampai hasil videonya kelihatan seperti direkam dengan bantuan gimbal, dan sistem ini pun tetap bisa bekerja meski kamera sedang dibawa menyelam. Komparasinya dengan generasi sebelumnya dapat Anda lihat sendiri pada video di bawah ini.

Hero 7 Black juga menjadi action cam pertama GoPro yang dibekali fitur live streaming. Video yang sedang direkam dapat langsung disiarkan ke berbagai platform seperti Facebook, YouTube atau Twitch. Juga baru adalah fitur bernama TimeWarp, yang akan menghasilkan video time lapse dengan efek yang sangat mirip seperti fitur Hyperlapse di Instagram.

Selebihnya, spesifikasi Hero 7 Black masih sama seperti Hero 6 Black. Resolusi video maksimum yang dapat direkam 4K 60 fps, plus 1080p 240 fps jika ingin mengambil video slow-motion. Foto dapat dijepret dalam resolusi 12 megapixel, dan Hero 7 Black turut dibekali fitur pemotretan HDR ala smartphone.

Beralih ke Hero 7 Silver dan Hero 7 White, keduanya jelas dipasarkan sebagai alternatif yang lebih terjangkau. Desainnya nyaris identik (dengan warna yang berbeda tentunya), akan tetapi LCD kecil yang ada di samping lensa Hero 7 Black absen di sini. Tonjolan lensanya pun lebih kecil jika dibandingkan Hero 7 Black.

Seperti yang saya bilang, fitur HyperSmooth cuma tersedia di Hero 7 Black, sedangkan Silver dan White cuma dibekali sistem stabilization internal standar. Beruntung layar sentuh 2 inci tetap ada di kedua kamera ini, demikian pula fitur pemanis macam kendali via perintah suara. Khusus Hero 7 White, ia adalah satu-satunya yang tak dilengkapi GPS.

GoPro Hero 7 SilverSoal spesifikasi, Hero 7 Silver mampu merekam video dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, sedangkan resolusi fotonya turun menjadi 10 megapixel. Kalau Hero 7 Black dilengkapi HDR, Hero 7 Silver cuma WDR alias “wide dynamic range”.

GoPro Hero 7 White

Hero 7 White di sisi lain cuma bisa merekam video dalam resolusi 1080p 60 fps, dan resolusi fotonya juga cuma 10 megapixel, tapi tanpa HDR maupun WDR. Baik Hero 7 Silver maupun White mengemas baterai rechargeable yang tertanam, sedangkan Hero 7 Black bisa dilepas-pasang baterainya.

Rencananya, trio action cam baru ini akan dipasarkan mulai 27 September mendatang. GoPro Hero 7 Black dihargai $399, Hero 7 Silver $299, dan Hero 7 White $199. Pada generasi terbaru ini, seri Session yang berbentuk kubus sudah tidak ada lagi.

Sumber: PetaPixel dan GoPro 1, 2.