Prototipe Kacamata Pintar Intel Sama Sekali Tidak Kelihatan Seperti Gadget

Intel membuat gebrakan dengan menyingkap prototipe kacamata pintar bernama Vaunt. Dipamerkan secara eksklusif kepada The Verge, Vaunt cukup istimewa karena penampilannya benar-benar menyerupai kacamata biasa dan sama sekali tidak kelihatan seperti gadget.

Tidak ada layar yang tertanam pada kedua lensanya. Yang ada hanyalah perpaduan semacam proyektor laser dan reflektor hologram pada lensa sebelah kanan. Perpaduan tersebut menghasilkan konten dalam tampilan monokrom berwarna merah, dengan resolusi sekitar 400 x 150 pixel.

Yang kedengaran begitu canggih, konten tersebut diproyeksikan langsung ke retina, sehingga semuanya akan selalu kelihatan fokus. Bukankah laser berbahaya bagi mata? Dalam kasus ini tidak, sebab laser yang diproyeksikan termasuk kategori Class 1 yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sertifikasi khusus.

Hasil proyeksinya tidak serta-merta muncul tepat di tengah pandangan pengguna, melainkan agak sedikit ke bawah. Menariknya, ketika pengguna sedang tidak melirik ke sana, hasil proyeksinya bakal sirna. Lirik kembali, maka informasi yang ditampilkan bakal kembali kelihatan.

Intel Vaunt smart glasses

Orang-orang di sekitar juga tidak akan menyadari bahwa sedang ada informasi yang diproyeksikan ke retina kanan pengguna Vaunt, terkecuali mereka benar-benar memperhatikan dan menemukan ada bintik kecil merah yang tampak di lensa sebelah kanan. Aspek inilah yang semakin membuat Intel Vaunt tidak terkesan seperti gadget.

Hal ini jelas berbeda dari Google Glass atau Snap Spectacles. Vaunt bahkan tidak dilengkapi kamera. Fungsinya murni untuk menampilkan informasi seperti notifikasi, panduan navigasi, resep masakan, dan lain sebagainya.

Seluruh komponen elektroniknya, termasuk halnya accelerometer dan kompas untuk mendeteksi gerakan kepala, disimpan di sebagian kecil tangkai sebelah kiri dan kanan (di dekat bingkai), sehingga pengguna tak akan merasa berat sebelah. Bobot Vaunt sendiri pun diklaim tidak lebih dari 50 gram, meski di dalamnya tersimpan baterai yang bisa bertahan selama sekitar 18 jam dalam satu kali charge – kalau habis, tentu saja Vaunt masih bisa dipakai sebagai kacamata biasa.

Intel Vaunt smart glasses

Vaunt juga tidak dilengkapi panel sentuh yang bisa membaca gesture jari. Ke depannya, Intel berencana menambahkan mikrofon agar Vaunt dapat menerima perintah suara dan digunakan bersama asisten virtual macam Alexa. Selebihnya, Intel akan mengandalkan AI untuk menyajikan informasi yang sesuai konteks tanpa harus menunggu input dari pengguna.

Contoh pemanfaatan AI ini adalah ketika pengguna sedang berjalan kaki di suatu area yang banyak dihuni rumah makan. Selagi menoleh ke suatu restoran, Vaunt akan menampilkan review konsumen dari Yelp secara otomatis, berdasarkan ke mana arah pandangan pengguna dan data lokasi dari smartphone (Vaunt menyambung via Bluetooth).

Intel membayangkan bakal ada desain yang bervariasi ketika Vaunt diluncurkan sebagai produk final nantinya. Namun rencana terdekat mereka adalah merilis produk ini ke tangan para developer terlebih dulu agar mereka bisa bereksperimen dengan fungsionalitasnya.

Sumber: The Verge.

Activity Tracker IronCloud Memanfaatkan AI Untuk Memicu Kita Berolahraga Lebih Giat

Dalam merespons munculnya produk-produk smartwatch yang semakin canggih, para produsen activity tracker memfokuskan perhatian mereka pada keakuratan teknologi pelacakan, serta mengimplementasikan arahan desain yang lebih mainstream dan atraktif. Sebuah tim bernama Geekery sendiri menjagokan satu fitur unik di dalam tracker mereka.

Developer dari app fitness Fitmix itu memperkenalkan IronCloud. Perangkat ini dideskripsikan sebagai ‘smartwatch multi-sport GPS premium’, dan demi memenuhi seluruh klaim tersebut, IronCloud dikonstruksi menggunakan material-material terkuat. Tapi aspek andalan smartwatch ini adalah pemanfaatan kecerdasan buatan untuk membantu Anda saat latihan.

IronCloud 1

Menurut Geekery, kompetisi adalah cara terbaik untuk memotivasi seseorang mencetak rekor baru. Itu alasannya mereka membubuhkan Virtual Opponent, yaitu fitur yang berfungsi untuk mengadu Anda dengan diri sendiri. Di sana, Anda bisa menentukan sendiri target dan kecepatannya. Selain itu, device menyimpan fitur Training Zone, berguna untuk mencocokkan target personal dengan level latihan, menggunakan intensitas detak jantung sebagai basisnya.

Smartwatch turut dibekali preset beragam jenis olahraga, dan dari sana, perangkat mampu menghitung dinamika fisik serta performa fisiologi. IronCloud siap mendukung lari, lari di atas treadmill, hiking, panjat tebing, berenang di kolam atau perairan lepas, hingga bersepeda.

IronCloud mampu memonitor detak jantung secara real-time menggunakan sensor Valencell, juga didukung oleh Triple Navigation System (BDS, GPS dan GLONASS). Dan selain sensor buat menyajikan data-data ‘standar’ seperti banyaknya langkah, pembakaran kalori serta VO2 Max (konsumsi oksigen tubuh), device juga dibekali sensor altimeter, barometer serta kompas.

Demi memastikannya tahan banting dan dapat dikenakan di segala aktivitas, produsen memanfaatkan bezel berbahan titanium TC4 yang digunakan dalam pembuatan roket serta display berlapis kaca safir. Tubuhnya kedap air hingga kedalaman 100M. Untuk strap, Anda bisa memilih material TPU (ringan, tahan UV dan lentur) atau stainless steel jika ingin tampil lebih ‘serius’.

 

Display-nya mengingatkan saya pada produk-produk Garmin, mengusung panel sentuh always-on transflective yang efektif menampilkan konten meski diterpa sinar matahari. Lalu baterainya bisa bertahan hingga 50 hari atau maksimal 30 jam jika GPS terus dinyalakan.

Versi early bird IronCloud dapat Anda pesan sekarang di Indie Gogo seharga mulai dari US$ 370. Pengiriman akan dilakukan di bulan Mei nanti.

Menakar harga dan kemampuan IronCloud, produk tampaknya disiapkan untuk bersaing dengan Garmin Fenix 5, Suunto Traverse dan Casio Pro Trek. Keunggulan IronClad terletak pada daya tahan baterai dan harga, namun tiga merek ini tentu lebih dikenal oleh konsumen.

AI Buatan Microsoft Mampu Menciptakan Gambar Berdasarkan Deskripsi yang Kita Berikan

Kita sudah melihat kebolehan AI dalam mendeskripsikan gambar atau apapun yang sedang ‘dilihat’ olehnya. Pencapaian ini kemudian memunculkan pertanyaan sebaliknya: bisakah AI menciptakan gambar sesuai dengan deskripsi yang kita berikan? Lagi-lagi jawabannya datang dari tim peneliti Microsoft.

Mereka mengembangkan AI yang mampu membuat gambar super-realistis berdasarkan kalimat yang kita berikan, semisal “burung ini berwarna merah dan putih, serta mempunyai paruh yang amat pendek.” Tidak lama kemudian, AI tersebut akan menciptakan gambar beresolusi 256 x 256 pixel yang sepintas kelihatan seperti foto.

AI ini diberi nama AttnGAN, diambil dari cara kerjanya yang melibatkan algoritma Generative Adversarial Network (GAN), serta pendekatan yang attentive, alias begitu peka terhadap detail-detail kecil. Proses penciptaan gambarnya terbagi menjadi tiga tahap, dan di setiap tahap, ada dua AI yang bekerja bersama; satu membuat gambarnya, satu lagi mengevaluasi sekaligus mengkritisinya.

Microsoft drawing AI

Detail-detail kecil seperti “paruh yang pendek” juga dijadikan pertimbangan selama proses pembuatan gambarnya. Sejauh ini, AttnGAN cukup terlatih dalam membuat gambar/foto burung, namun masih kesulitan membuat gambar yang sesuai ketika deskripsi yang kita berikan melibatkan lebih dari satu objek, terutama yang konteksnya tidak rasional.

Contohnya, ketika diminta untuk membuat gambar sebuah bis tingkat berwarna merah yang mengapung di atas danau, AttnGAN malah membuatkan gambar sebuah perahu merah di atas danau. Kemampuan belajar AI pada dasarnya membuatnya paham bahwa bis tidak bisa mengapung di atas air, sehingga akhirnya ia malah menggambar sebuah perahu.

Microsoft Drawing AI

Imajinasi tidak harus sejalan dengan akal sehat, dan untuk sekarang AI masih kesulitan memisahkan keduanya. Dalam kasus AttnGAN, AI sepertinya masih lebih condong ke akal sehat, dan itu banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan yang selama ini dipelajarinya.

Dalam beberapa tahun ke depan, tim pengembang AttnGAN percaya bahwa AI bisa menciptakan gambar yang lebih detail dan beresolusi lebih tinggi. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, untuk apa itu semua?

Pimpinan proyek pengembangan AttnGAN, Xiaodong He, membayangkan teknologi ini bisa dipakai untuk, misalnya, sistem pencarian gambar di Bing. Jadi ketika pengguna melakukan pencarian suatu gambar, dan gambarnya ternyata tidak ditemukan di berbagai sumber, Bing akan menginstruksikan AI untuk membuat gambar sesuai permintaan pengguna.

Ketika skenario ini sudah bisa diwujudkan, saya yakin akan muncul pertanyaan baru: siapa yang berhak menerima kredit atas gambar yang diciptakan, apakah AI-nya atau si Xiaodong He beserta timnya?

Sumber: Fast Company.

Yamaha Sulap Seorang Penari Menjadi Pianis dengan Bantuan AI

Di balik pesatnya perkembangan teknologi artificial intelligence (AI), ada yang merasa khawatir akan kemungkinan terjadinya skenario di mana AI merebut sebagian besar lapangan pekerjaan manusia. Di tempat lain, mereka yang berjiwa optimis berpikiran bahwa profesi di bidang seni masih aman dari bidikan AI, tapi apakah benar demikian?

Saya kira belum ada yang benar-benar berani menjawab iya atau tidak, akan tetapi eksperimen yang dilakukan Yamaha baru-baru ini bisa membuka pandangan kita bahwa AI juga punya potensi di ranah seni. Namun jangan buru-buru menyimpulkan bahwa AI juga akan menjadi penyebab banyaknya seniman yang pensiun. Dari kacamata positif, ini bisa dilihat sebagai cara baru untuk mengekspresikan diri melalui perpaduan seni dan teknologi.

Eksperimen yang dimaksud adalah mengubah seorang penari menjadi pianis, menerjemahkan setiap pergerakan tubuhnya menjadi pencetan demi pencetan pada tuts piano. Penarinya bukan sembarangan, melainkan seorang Kaiji Moriyama yang sudah banyak memenangi berbagai penghargaan.

Yamaha AI dancer pianist

Tubuh atletis sang penari dipasangi empat jenis sensor yang berbeda untuk membaca pergerakannya. Selanjutnya, AI bertugas menganalisa sinyal yang berasal dari sensor tersebut, mengolahnya dengan database melodi yang ada menjadi data MIDI, sebelum akhirnya mengirimkan semua informasi tersebut ke piano Yamaha Disklavier. Tentu saja semuanya berlangsung secara real-time.

Kalau hanya didengarkan sepotong-sepotong, lantunan suara pianonya mungkin terdengar seperti musik ngawur. Namun ketika didengarkan sepenuhnya, lengkap dengan iringan dari Berlin Philharmonic Orchestra Scharoun Ensemble yang sinkron, komposisinya jadi terdengar cukup unik, seperti yang bisa Anda simak sendiri pada video di bawah – meski saya yakin tidak semua orang bakal suka.

Sumber: Yamaha.

Google Manfaatkan AI untuk Memprediksi Keterlambatan Penerbangan

Layanan Google Flights kembali diperbarui, kali ini dengan memaksimalkan investasi besar Google atas pengembangan teknologi artificial intelligence (AI). Premis sederhananya, Google Flights memanfaatkan AI untuk memprediksi keterlambatan suatu penerbangan (flight delay).

Informasi tersebut bukan didapat dari maskapai yang bersangkutan, melainkan melalui perpaduan data-data riwayat yang telah dikumpulkan dan algoritma machine learning. Hasilnya, Google Flights bisa memprediksi keterlambatan suatu penerbangan bahkan sebelum maskapainya sendiri memberikan keterangan resmi.

Tidak cuma itu, alasan keterlambatannya pun juga akan diberikan, entah itu masalah cuaca atau pesawat yang datang terlambat. Untuk memonitor status suatu penerbangan, pengguna Google Flights hanya perlu melakukan pencarian berdasarkan kode penerbangannya masing-masing.

Guna menghindari kesalahan, Google Flights baru akan menampilkan informasi keterlambatan apabila hasil prediksi algoritmanya sudah mencapai level 80 persen atau lebih. Untuk maskapai yang langganan telat – tanpa saya sebut namanya Anda sekalian pasti sudah tahu – persentase tersebut semestinya bakal selalu tinggi.

Google Flights Basic Economy Fare

Di samping memprediksi keterlambatan menggunakan AI, Google Flights kini juga siap menyajikan informasi tarif yang lebih lengkap, terutama untuk penerbangan kelas ekonomi. Tujuannya adalah supaya calon penumpang tidak kecele, mengingat masing-masing maskapai penerbangan pastinya menawarkan fasilitas yang berbeda.

Untuk sekarang informasi tarif kelas ekonomi ini baru diterapkan pada sejumlah kecil maskapai di Amerika Serikat, namun Google pastinya akan mengusahakan dukungan buat lebih banyak maskapai ke depannya.

Sumber: Google via TechCrunch.

Aplikasi Seeing AI Buatan Microsoft Kini Dapat Membaca Tulisan Tangan

Masih ingat dengan Seeing AI, aplikasi iPhone buatan Microsoft yang mengandalkan AI untuk melihat sekaligus mengenali beragam objek di sekitarnya, lalu mendeskripsikannya secara lisan kepada pengguna tuna netra? Semenjak dirilis, Microsoft bilang sudah ada sekitar 100.000 pengguna yang mengunduh, dan mereka sekarang siap meluncurkan update berisikan sederet fitur baru.

Seperti yang sudah pernah dijanjikan sebelumnya, Seeing AI kini dapat mengenali uang tunai dan membacakan jumlahnya secara tepat kepada pengguna. Mata uang yang didukung sejauh ini baru dolar Amerika, dolar Kanada, poundsterling dan euro, namun ke depannya saya yakin Microsoft bakal menambah jumlahnya.

Tidak kalah menarik adalah kemampuan baru Seeing AI untuk mengenali dan mendeskripsikan warna dari beragam objek yang dilihat. Kemudian ada juga kemampuan untuk mendeteksi sumber cahaya dan membunyikan nada tertentu sebagai indikator bagi pengguna aplikasi.

Microsoft Seeing AI

Namun yang bisa dikatakan paling menarik adalah kemampuan Seeing AI untuk membaca tulisan tangan. Sebelum ini, Seeing AI sebenarnya sudah bisa membaca teks pendek maupun dokumen panjang, namun khusus untuk hasil cetakan saja. Berkat versi barunya, pengguna bisa mengetahui menu apa saja yang dihidangkan sebuah kedai kopi, yang biasanya terpampang di papan tulis.

Terakhir, Microsoft turut menyertakan opsi personalisasi yang lebih lengkap demi memudahkan pengguna. Yang paling utama, pengguna sekarang bisa memilih tipe suara dan seberapa cepat Seeing AI berbicara.

Update ini sekarang sudah meluncur di 35 negara di mana Seeing AI tersedia, namun sayangnya saya belum melihat Indonesia sebagai salah satunya.

Sumber: Microsoft.

Dibanderol $3.000, Nvidia Titan V Ialah Kartu Grafis Monster Untuk Pengembangan AI

Meski namanya tak bisa dilepaskan dari teknologi grafis, 2017 merupakan momen penting bagi Nvidia dalam memperluas bisnisnya ke ranah kecerdasan buatan. Di bulan Mei, perusahaan Santa Clara itu bekerja sama dengan Toyota dalam implementasi PX-series demi menunjang sistem driverless. Kemudian di bulan Agustus kemarin, mereka membuka pusat pengembangan AI di Universitas Binus.

Dan di konferensi Neural Information Processing Systems 2017 beberapa jam yang lalu, Nvidia resmi memperkenalkan Titan V. Titan V diklaim sebagai kartu grafis paling paling bertenaga di dunia, mengusung arsitektur Volta. Namun target pasarnya bukanlah gamer atau bahkan pengguna PC kelas antusias. Sesuai tema acara NIPS, Titan V dispesialisasikan ke segmen artificial intelligence serta untuk membantu proses simulasi ilmiah.

Data-data berupa angka terkati Titan V yang Nvidia pamerkan akan membuat Anda menganga: GPU menyimpan memori HBM2 sebesar 12GB dan 640 Tensor Core, mampu menghidangkan performa sebesar 110-teraFLOP (berdasarkan perhitungan mentah, kinerjanya 31 persen lebih tinggi dari Titan Xp). Selanjutnya, Titan V memiliki 21 miliar transistor dan CUDA core sebanyak 5.120-nya dioptimalkan untuk arsitektur Volta.

Nvidia Titan V 1

Base clock, boost clock dan kecepatan VRAM Titan V berada di bawah GTX 1080 Ti – masing-masing 1.200MHz, 1.455MHz dan 1.700MT/s. Clockspeed memori 1,7Gbps dan interface memori 3.072-bit di sana cukup baik untuk bandwidth 653-gigabyte per detik.

Nvidia Titan V 2

“Visi kami untuk Volta adalah mendorong batasan-batasan performa tinggi di ranah komputasi dan kecerdasan buatan,” kata CEO Nvidia Jensen Huang. “Kami berhasil memperoleh pencapaian baru ini berkat arsitektur anyar di prosesor, instruksi, format numerik, memori dan link prosesor. Dengan Titan V, kami memberikan kecanggihan Volta ke tangan para peneliti di seluruh dunia. Saya tidak sabar menyaksikan terobosan-terobosan yang akan mereka buat.”

Nvidia Titan V 3

Bersamaan dengan pengungkapan Titan V, perusahaan juga mempersilakan developer buat memanfaatkan software AI di Nvidia GPU Cloud, semua tersuguh gratis. Mereka bisa menggunakannya untuk pengembangkan kecerdasan buatan, mendalami deep learning serta high performance computing.

Wujud Titan V sendiri hampir menyerupai Titan Xp, termasuk pada posisi kipas, dengan case berdesain ala poligon. Bedanya, warna emas dipadu hitam mendominasi permukaan GPU Volta itu dan Anda bisa segera melihat branding ‘Titan V’ di sana.

Kabarnya, Nvidia Titan V sudah mulai dipasarkan pada hari ini. Kartu grafis monster tersebut dibanderol seharga US$ 3.000 atau sekitar Rp 40,6 juta.

Sumber: Nvidia.

Genjot Kinerja Bixby, Samsung Akuisisi Startup AI Bernama Fluenty

Bersamaan dengan Galaxy S8 yang dirilis pada awal tahun ini, Samsung turut memperkenalkan asisten virtual bernama Bixby. Bixby pada dasarnya merupakan pengganti S Voice yang ada pada smartphone sebelum-sebelumnya, sekaligus yang bisa dikatakan sebagai produk gagal.

Samsung punya visi besar untuk Bixby, salah satunya adalah mengintegrasikannya ke lini perangkat smart home. Perjalanan mereka tentu saja masih cukup panjang, apalagi mengingat masih banyak yang berpendapat bahwa Bixby belum sesempurna Google Assistant atau Siri. Namun perlu kita ingat, Google Assistant maupun Siri juga payah di awal-awal debutnya.

Bixby sendiri dibangun di atas sejumlah teknologi yang bukan berasal dari Samsung, melainkan dari akuisisi sejumlah startup. Salah satunya adalah Viv, yang didirikan oleh Dag Kittlaus, yang tidak lain merupakan sosok di balik lahirnya Siri, sebelum akhirnya dipinang oleh Apple.

Fluenty / Fluenty
Fluenty / Fluenty

Samsung tentunya belum mau berhenti. Baru-baru ini, mereka mengakuisisi startup asal Korea Selatan bernama Fluenty. Fluenty yang didirikan oleh beberapa eks-developer Naver dan Daum ini memiliki spesialisasi di bidang percakapan berbasis artificial intelligence (AI).

Teknologi yang mereka kembangkan pada dasarnya memungkinkan AI untuk berkomunikasi secara lebih natural. Mereka memiliki API untuk sejumlah aplikasi pesan instan seperti KakaoTalk, Line, Telegram dan Facebook Messenger, di mana AI dapat menganalisa percakapan dan menyuguhkan rekomendasi balasan yang ideal.

Kemampuan untuk berinteraksi secara lebih alami ini memang merupakan salah satu hal yang dibutuhkan Bixby untuk bisa bersaing, terutama dengan Google Assistant. Entah akuisisi ini bersifat acqui-hire atau tidak, kemungkinan besar tujuannya adalah untuk menyempurnakan kinerja Bixby.

Sumber: ZDNet.

Ilmuwan Ciptakan AI untuk Mengubah Hasil Foto Smartphone Jadi Sekelas DSLR

Hampir semua review Google Pixel 2 yang beredar memuji kualitas kameranya. Yang lebih mengesankan lagi, pencapaian tersebut diraih tanpa mengandalkan konfigurasi kamera ganda seperti kebanyakan smartphone kelas flagship lainnya.

Hardware memang memegang peranan terbesar dalam menentukan kualitas gambar yang bisa dihasilkan kamera smartphone, akan tetapi bagi Google software dan AI (artificial intelligence) juga tidak kalah penting. Pixel 2 membuktikan bahwa anggapan mereka ini benar, dan kini sejumlah cendekiawan asal Swiss mencoba membuktikan anggapan tersebut lebih lanjut.

Ilmuwan asal universitas ETH Zurich ini menciptakan sistem berbasis AI yang digadang-gadang dapat menyulap hasil jepretan kamera smartphone menjadi sekelas DSLR. Istilah “sekelas DSLR” memang terkesan sangat ambigu, tapi yang pasti tujuannya adalah menyempurnakan kualitas foto yang dihasilkan kamera smartphone.

Fokusnya di sini bukanlah memperkuat efek bokeh, melainkan memperbaiki exposure secara keseluruhan. Area shadow yang sebelumnya hanya tampak hitam tanpa ada detail dibuat jadi lebih cerah selagi masih mempertahankan area highlight agar tidak terlampau terang.

Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich
Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich

Rahasianya terletak pada sistem deep learning yang pada awalnya diajari dengan cara mengamati dua foto yang sama yang diambil menggunakan smartphone dan DSLR. Dari situ versi lebih barunya telah disempurnakan supaya dapat melihat dua foto dari kamera yang berbeda, lalu menerapkan peningkatan kualitas dari yang satu ke lainnya.

Tentu saja sistem ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Yang paling utama, sistem tak akan bisa menambahkan detail pada foto yang diambil, sebab ini sama saja dengan menambahkan informasi yang sebelumnya tidak ada. Dalam beberapa kasus, meski foto yang telah diproses tampak lebih terang dan lebih akurat warnanya, terkadang detailnya malah bisa berkurang.

Ke depannya, para pengembangnya berharap bisa menyempurnakan sistemnya agar dapat digunakan untuk mengubah kondisi foto ketimbang kualitasnya. Jadi semisal foto diambil dalam posisi hujan lebat, sistem ini nantinya bisa mengubahnya jadi terlihat cerah.

Kalau Anda tertarik mencoba dan penasaran dengan efektivitasnya, silakan langsung kunjungi situs resminya di phancer.com.

Sumber: Engadget dan DPReview.

Samsung Galaxy S9 Disebut Bakal Punya Chip Neural Engine Seperti iPhone 8

Setelah proyek peluncuran Galaxy S8 dan Galaxy Note 8 berjalan dengan mulus nyaris tanpa insiden, Samsung bisa mulai mengalihkan fokus untuk mematangkan racikan flagship berikutnya, Galaxy S9 yang disebut-sebut bakal diumumkan di kuartal pertama tahun 2018 mendatang. Persiapan ini juga menjadi tombol start bagi Qualcomm untuk mulai menyempurnakan cikal bakal chipset barunya, Snapdragon 845 dan tentu saja chipset buatan dapur Samsung, Exynos 9810 yang bakal menggunakan proses perakitan 7nm.

Tapi Samsung tampaknya punya arah baru untuk chipset buatannya. Menurut laporan media lokal Korea Herald, dikatakan bahwa raksasa Korea Selatan itu bakal mengikuti jejak Apple dan Google yang membenamkan co prosesor “Neural Engine” untuk fungsionalitas kecerdasan buatan. Flashback, ketika mengumumkan iPhone X dan iPhone 8, Apple sesumbar chipset buatannya dibekali A11 Bionic neural Engine yang menjanjikan performa lebih ngebut dan fungsionalitas ekstra. Kemudian Google ternyata juga diam-diam menyematkan chip modifikasi bernama Google Pixel Visual Core yang fokus pada sektor fotografi, berdampingan dengan Snapdragon 835.

Untuk merealisasikan obsesinya, Samsung dikabarkan telah menanamkan investasi yang besarannya tidak disebutkan ke perusahaan asal Tiongkok, DeePhi Tech. Didirikan oleh Tshinhua dan sejumlah lulusan Universitas Stanford, perusahaan ini secara aktif melahirkan output berkaitan dengan teknologi kecerdasan buatan yang sukses menarik minat sejumlah perusahaan ternama seperti Amazon, MediaTek dan tentu saja sekarang bertambah oleh kedatangan Samsung.

DeePhi mengkhususkan diri mengembangkan algoritma kecerdasan buatan mendalam dengan desain jaringan syaraf. Dan jika kabar investasi ini benar, maka kemungkinan besar – sangat besar, Samsung meminta bantuan DeePhi untuk membenamkan co-prosesor semacam itu ke dalam chipset-nya, Exynos 9810 yang diprediksi bakal menjadi juru gedor Galaxy S9.

Samsung Galaxy S9 sendiri dirumorkan bakal membawa fitur pemindai wajah tiga dimensi untuk menyaingi fitur Face ID kepunyaan Apple. Dan jika kehadiran co-prosesor dengan neural engine tidak difungsikan seperti A11 Bionic di iPhone 8, bukan berarti teknologi ini akan sia-sia, karena Samsung bisa memanfaatkan kemampuannya untuk memperkaya fitur HDR+ di komponen kamera dan mungkin juga meningkatkan kemampuan platform Bixby AI. Lagi pula, Samsung tampaknya masih belum berencana untuk sepenuhnya melepaskan diri dari Qualcomm yang juga sudah merilis software pengembangan teknologi serupa dengan nama Snapdragon Neural Engine.

Sumber berita Gizmochina dan gambar header ilustrasi Chipset Exynos.