Jack Ma Dimungkinkan Gagal Menjadi Penasihat Ekonomi Urusan E-commerce Indonesia

Awalnya menyetujui, namun kini beredar kabar bahwa Pendiri Alibaba Group Jack Ma sudah digarap lebih dulu oleh Pemerintah Malaysia untuk mendampingi perkembangan e-commerce di negeri tersebut. Berita ini juga telah dikonfirmasikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara seperti yang dilansir dari Kompas.

“Kita sudah ribut-ribut sih, akhirnya kalah kan sama Malaysia. Mereka duluan. Sudah ada foto Jack Ma salaman dengan PM Malaysia,” ujar Rudiantara.

Hal ini sedikit mengejutkan ketika pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke-14 Kamis (10/11). Dalam Perpres tentang Peta Jalan layanan e-commerce yang segera terbit ini, terdapat 8 aspek regulasi yang di antaranya adalah meliputi, pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, logistik, infrastruktur, keamanan siber dan yang terakhir Pembentukan Manajemen Pelaksana yang secara sistematis dan terkoordinasi akan melakukan monitoring dan evaluasi implementasi peta jalan layanan e-commerce.

Rudiantara enggan menyebutkan mengapa pada akhirnya Jack Ma gagal menjadi penasihat ekonomi pemerintah, khususnya untuk urusan e-commerce. Namun bisa dipastikan terlambatnya ketegasan dari pemerintah Indonesia berasal dari pro dan kontra yang ada di tanah air usai kunjungan Presiden Joko Widodo pada bulan September 2016 lalu ke kantor pusat Alibaba Group di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.

Penggiat startup mendukung kehadiran Jack Ma

Sebelumnya DailySocial sempat mengadakan survei kecil-kecilan dan menanyakan kepada penggiat startup dan asosiasi tentang rencana pemerintah Indonesia menjadikan Jack Ma penasihat untuk urusan e-commerce di Indonesia. Kebanyakan dari mereka menyambut baik bahkan mengharapkan bakal mendapatkan insight menarik terkait dengan pengalaman dan strategi yang dimiliki oleh Jack Ma.

Namun demikian banyak juga praktisi dan kalangan lainnya yang ternyata kurang menyambut baik kehadiran Jack Ma di Indonesia, dengan berbagai alasan tentunya. Mulai dari bakal mengganggu layanan e-commerce lokal hingga kekhawatiran isu keamanan negara.

Namun demikian pemerintah diwakilkan oleh Kemenkoinfo tetap mendukung 100% kehadiran Jack Ma di Indonesia. Dengan gagalnya Jack Ma meramaikan industri e-commerce di Indonesia hal tersebut cukup menghambat rencana pemerintah untuk mengembangkan layanan e-commerce di tanah air. Untuk itu Rudiantara menegaskan masih berusaha untuk minta bantuan dalam hal insight atau nasehat langsung dari tokoh yang dikenal secara global ini. Rudiantara akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution terlebih dahulu terkait hal itu.

“Nanti ada steering committee, anggotanya menteri. Mereka akan mendapatkan masukan, baik dalam maupun luar negeri, internasional. Masukan bisa dari siapa saja, salah satunya Jack Ma,” ujar Rudiantara.

Pemerintah Siap Alokasikan Sebagian Dana USO Untuk Dukung Pengembangan Startup

Masalah pendanaan untuk pengembangan startup masih menjadi fokus utama yang perlu diselesaikan oleh seluruh stakeholder, termasuk pemerintah. Kini pemerintah berinisiatif untuk mengalokasikan sebagian dari dana kontribusi umum (universal service obligation/USO) untuk diberikan ke startup. Regulasinya diharapkan terbit pada Januari 2017.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjelaskan pengusaha UKM dan startup yang berhak mendapatkan dana dari pemerintah ini diharuskan berada di 122 kabupaten dan kotamadya dari seluruh Indonesia seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 131/2015.

Beberapa di antaranya, Aceh Singkil, Nias, Kupang, Lebak, Alor, Ketapang, Sorong, hingga kawasan Papua. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Surabaya tidak masuk ke dalam kategori ini.

“Ini adalah willingness dari pemerintah untuk menggunakan dana USO untuk pembangunan startup di daerah kategori USO. Kami masih berdiskusi dengan seluruh stakeholder termasuk pemain startup bagaimana cara mengeksekusinya,” ujarnya saat menghadiri Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital di Denpasar, akhir pekan lalu.

Dana USO adalah bagian kewajiban pemerintah dalam memberikan layanan universal di bidang telekomunikasi untuk publik. Kewajiban pelayanan dilakukan untuk mengurangi kesenjangan digital khususnya di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), secara ekonomi sulit dijangkau oleh penyelenggara telekomunikasi komersial.

Salah satu kegiatan yang aktif dilakukan dari penggunaan dana USO adalah pembangunan base transceiver station (BTS). Pemerintah mengklaim anggaran USO tiap tahunnya sebesar sebesar 2 triliun Rupiah dan tidak seluruhnya dicairkan untuk proyek pemerintah.

“Pemerintah ingin mengarahkan penggunaan dana USO tidak hanya untuk pembangunan basic telekomunikasi saja, tetapi untuk sesuatu yang berkaitan dengan startup. Maka dari itu, kami ingin dorong teman-teman untuk duduk bersama dan membahasnya.”

Dia berharap, regulasi mengenai penggunaan dana USO untuk startup bisa terbit pada Januari mendatang dengan bentuk Peraturan Menteri. Menurutnya aturan ini masih mengacu ke Peraturan Presiden mengenai roadmap e-commerce.

Dua Izin Penyelenggara Telekomunikasi Bakrie Telecom Dicabut, Bagaimana Perusahaan Bertahan?

Selama tahun 2016 ini, Kemenkominfo telah resmi menerbitkan delapan surat keputusan pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi. Salah satu yang terdampak adalah izin penyelenggaraan jaringan Fixed Wireless Access (FWA) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) milik PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Pencabutan izin tersebut dilayangkan pada bulan Oktober ini, untuk FWA pada 10 Oktober, sedangkan SLI di 17 Oktober lalu.

Kemenkominfo menerbitkan surat pencabutan tersebut didasari oleh rekomendasi Direktorat Pengendalian Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika dan/atau Permohonan Pengembalian Izin Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dari Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. Selain BTEL, beberapa penyedia layanan telekomunikasi lain turut terdampak, beberapa di antaranya Asia Cellular Satellite, Global Telecom Utama dan sebagainya.

Pencabutan dua izin tersebut tentu membuat perusahaan telekomunikasi berkode saham BTEL ini makin sulit untuk bersaing di era 4G/LTE ini dengan para pemain besar lain. Keterpurukan BTEL sebenarnya sudah mencoba disiasati sejak bulan April lalu. Menggaungkan taglineAwal Transformasi“, keputusan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui pengangkatan dua direktur baru.

Bersama dua direktur barunya Mark Robson dan Andi Pravidia, BTEL berniat untuk mengejar ketertinggalan di pasar Triple Play (Internet, Telepon dan TV) yang sedang menjadi tren di Indonesia. Namun langkah awal tersebut sebenarnya dimulai dengan cukup berat, karena kala itu perusahaan dikabarkan tengah memiliki hutang hingga Rp 7,6 triliun. Sehingga hasil RUPSLB turut menyepakati untuk melakukan reformasi struktur permodalan dengan penerbitan saham baru.

MVNO dioptimalkan sebagai penggerak bisnis BTEL

Seperti diketahui BTEL telah mengubah dirinya dari penyelenggara jaringan seluler menjadi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) 4G/LTE melalui jaringan Smartfren dan kapabilitas aplikasi EsiaTalk. Pendekatan yang sedikit berbeda juga terus digencarkan untuk memaksimalkan pengguna jaringan 4G/LTE yang dimilikinya. Salah satunya dengan menyediakan berbagai varian modem dan ponsel yang 4G/LTE-ready.

Dicabutnya izin sebenarnya dilakukan pada jaringan tetap lokal mobilitas terbatas dan jaringan tetap sambungan internasional. Artinya dengan izin sebagai Internet Services Provider (ISP), BTEL harusnya masih bisa melanjutkan cita-citanya untuk menjadi penyelenggara Triple Play. MVNO dan jaringan fiber optik miliknya diyakini menjadi modal besar untuk sukses Triple Play BTEL.

Konektivitas portabel sebagai ujung tombak layanan Smartfren

Konsolidasinya dengan Smartfren dalam penggabungan usaha telah diambil sejak tahun 2014 lalu. Pada akhirnya saat ini brand Smartfren yang paling digenjot, khususnya untuk perangkat modem. Minatnya pun tak sedikit, dan kalau dilihat apa yang ingin dibentuk memang mengarah ke perangkat konektivitas portabel. Ini pun yang mungkin bisa digencarkan untuk visi Triple Play miliknya.

Umumnya pesaing di Triple Play, sebut saja IndiHome, MyRepublik dan FirstMedia menggunakan konektivitas berbasis kabel untuk masuk ke pelanggan. Bisa dikatakan belum ada yang memberikan porsi serius jika penggunaan Triple Play berada di perangkat portabel, konektivitasnya. Sangat memungkinkan dengan kekuatan Smartfren yang ada saat ini, namun hal tersebut dikembalikan kepada strategi bisnis perusahaan.

Sedikit demi sedikit layanan BTEL menyusut. Cara untuk segera menguatkan bisnis harus dipikirkan matang. Masih ada harapan untuk bisa berjaya di era internet ini, dengan izin ISP yang dimiliki. Namun jika tidak ada inovasi, maka BTEL cukup menunggu waktu saja untuk kian tertinggal jauh dengan para pesaingnya yang sudah mulai gencar melakukan pendekatan lain, yakni berbasis konten (contohnya dengan kerja sama dengan OTT dan layanan streaming premium).

Potensi dan Tantangan Indonesia Menghadapi Penguatan Ekonomi Digital

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) selama lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami lonjakan hingga 10,7 persen. Lebih tinggi dari perekonomian nasional sebesar 6,56 persen. Diperkirakan angka ini masih akan terus bertumbuh bebarengan dengan berbagai insiatif nasional seperti cita-cita Presiden menjadikan Indonesia kuat di ekonomi digital pada tahun 2020.

Selain regulasi, dukungan infrastruktur yang mulai merata turut memberikan sumbangsih. Pasalnya dengan akses ke teknologi yang lebih mudah, digitalisasi layanan bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Dari kelas atas hingga akar rumput. Yang paling signifikan tak lain adalah pemanfaatan internet. Peningkatan penggunaannya mengantarkan berbagai peluang di bisnis digital nasional.

Dalam diskusi yang diikuti oleh Menkominfo, pakar, dan perwakilan korporasi beberapa waktu lalu, disampaikan bahwa saat ini sudah banyak indikasi kemajuan industri TIK Indonesia. Alokasi belanja modal di sektor TIK pun terpantau naik. Data IDC menunjukkan tahun ini nilainya akan mencapai Rp 201,76 triliun atau mengalami pertumbuhan 8,5 persen dari tahun sebelumnya.

Peluang, tantangan dan keyakinan terhadap sektor TIK

Presiden meyakini bahwa kekuatan ekonomi digital Indonesia dapat menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Tahun 2020 ditargetkan potensi industri tersebut mencapai $130 miliar. Untuk merealisasikan visi tersebut, Presiden memprioritaskan startup digital agar mudah mendapatkan akses permodalan. Salah satunya lewat deregulasi besar-besaran terhadap bisnis e-commerce.

Berbagai rancangan, roadmap, perundangan, hingga sokongan terus digencarkan melalui bermacam program. Terlihat cukup ideal saat melihat ragam industri teknologi yang terus berkembang memberikan solusi alternatif di Indonesia. Pemodal pun tak sepi meramaikan hiruk-pikuk ini. Artinya kepercayaan mulai terbentuk, dari sisi konsumen, pemangku, hingga investor. Nyatanya keyakinan saja tak cukup menjadi awal cerita manis.

Banyak tantangan yang juga harus diselesaikan. Yang sudah jelas di depan mata ialah persaingan. Untuk mengukuhkan sektor digital sebagai tonggak ekonomi nasional, diperlukan keterlibatan yang besar dari stakeholder dan penggerak ekonomi nasional. Jika melihat lanskap digital di Indonesia saat ini, di setiap segmen sudah hadir para pemain asing memperebutkan potensi yang sama.

Persaingan tak bisa dihindari karena menjadi simpul penggerak bisnis. Hal ini bisa diantisipasi dengan berbagai pendekatan yang telah tersusun sejak dini. Bisa dikatakan bahwa sektor ini masih hijau, belum terlalu carut-marut. Peran regulator untuk mengkaryakan sektor ini menjadi subur adalah prioritas, baik melalui regulasi yang tepat, akses yang dipermudah, dan upaya peningkatan kualitas di sektor pendukungnya.

Konsumen menyadari pentingnya digitalisasi

Berbagai hasil survei mengemukakan bahwa konsumen Indonesia sudah mulai membentuk pola konsumsi yang relevan. Berbagai pertumbuhan terjadi di sana-sini. Pada dasarnya konsumen sudah mulai paham tentang peranan teknologi digital dalam mempermudah kehidupannya dan pelaku digital menangkap dengan baik kesempatan tersebut. Kekuatan konsumen Indonesia ini yang banyak disebutkan juga menjadi magnet para perusahaan dan investor asing untuk datang.

Salah satu contoh indikasi menguatnya konsumsi digital nasional adalah hasil riset DailySocial terkait keyakinan masyarakat terhadap alat pembayaran non-tunai untuk beragam kebutuhan. Pertumbuhan ini sejalan dengan kebutuhan para pemain digital dalam mendapatkan traksi layanannya. Kendati layanan on-demand dan e-commerce masih menjadi yang terfavorit diyakini kategori lain tengah menyusul popularitasnya dalam akuisisi pengguna.

Konsumen telah menyadari pentingnya digitalisasi untuk membuat kesehariannya lebih efektif. Kesadaran tersebut kini menjadi potensi besar yang diburu banyak pihak. Sudah selayaknya apa yang dibutuhkan oleh konsumen dapat dipenuhi oleh penyedia jasa dan produk dalam negeri. Banyak yang masih perlu dimatangkan untuk merealisasikan cita-cita itu semua dengan uluran berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, hingga insan mandiri sebagai inovator.

Krisis Talenta dan Regulasi Pemerintah Masih Batasi Pertumbuhan Startup

Hari pertama Festival Kreatif Ideafest 2016 menghadirkan pewakilan dari Bekraf, Kemenkominfo, dan asosiasi untuk berdiskusi secara langsung dengan para pelaku startup di Indonesia. Sesi diskusi yang bertajuk “How Government Can Actually Help Incubate Startup” turut mengundang pelaku startup dan venture capital Indonesia, yaitu CEO Kudo Albert Lucius, Managing Director Kejora Ventures Andy Zain dan Nazier Ariffin dari Fenox Venture Capital.

Para pelaku startup, venture capital, akademisi, dan pelaku media diberikan kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya di hadapan Direktur e- Business Ditjen Aplikasi dan Telematika Kementerian Kominfo Azhar Hasyim, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia Ricky Pesik, dan CEO OLX Indonesia Daniel Tumiwa yang sebelumnya menjabat Ketua Umum idEA sebagai wakil komunitas.

Banyak hal menarik yang diutarakan Andy Zain dan Nazier Ariffin sebagai perwakilan venture capital, di antaranya adalah krisis talenta. Makin maraknya pertumbuhan startup di Indonesia membuat tenaga kerja atau talenta yang memiliki skill dan kemampuan khusus menjadi semakin sulit untuk ditemukan. Dalam hal ini Andy menyarankan kepada pemerintah untuk menghadirkan tokoh serta pelaku startup internasional yang telah memiliki pengalaman serta wawasan yang luas untuk membantu para pelaku startup di Indonesia.

“Saya melihat saat ini sudah banyak orang Indonesia dikirim keluar negeri untuk belajar. Saya melihat langkah tersebut sudah terlambat. Yang baiknya dilakukan adalah mendatangkan orang-orang pintar dari mancanegara ke Indonesia,” kata Andy.

Ditambahkan juga oleh Nazier bahwa saat ini hanya 10% saja talenta Indonesia yang memilki skill dan kemampuan yang baik untuk bisa dimanfaatkan oleh startup. Solusi yang kemudian disarankan Nazier adalah dengan meng-outsource talenta dari luar negeri untuk bekerja dengan startup di Indonesia.

“Saat ini sudah ada issue yang beredar anak muda yang sekolah di luar negeri pulang ke Indonesia dan memilih untuk bekerja di perusahaan besar. Mereka masih enggan untuk memilih bekerja di startup,” kata Nazier.

Regulasi yang selalu berubah dan kurang mendukung

Di sisi lain CEO Kudo Albert Lucius mengungkapkan beberapa cerita kurang menyenangkan di balik regulasi lisensi e-money yang sudah lama tidak dikeluarkan lagi oleh pemerintah.

“Saya melihat saat ini dari sisi fasilitas pembayaran masih banyak kekurangan dari pemerintah, ketika ada beberapa startup yang mencoba untuk meng-cater potensi tersebut ke masyarakat Indonesia yang lebih luas, startup tersebut kemudian diminta untuk segera tutup dan memberhentikan bisnis mereka,” kata Albert.

Dalam hal ini Albert melihat masih tidak ada kejelasan dari pemerintah, dalam hal regulasi, menjadikan startup sulit untuk berkembang. Diharapkan kedepannya pemerintah bisa lebih terbuka terkait dengan hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh disinggung oleh startup, sehingga regulasi menjadi lebih relevan untuk startup.

What’s next untuk pemerintah

Sesi diskusi kemudian ditutup dengan tanggapan dari Bekraf, Kemenkominfo, dan perwakilan asosiasi untuk bisa memberikan tanggapannya terkait dengan ‘unek-unek’ yang disampaikan oleh pelaku startup dan venture capital.

Meskipun belum maksimal, pemerintah mengklaim sudah melakukan beberapa kegiatan strategis dalam hal perbaikan infrastruktur, kesempatan untuk memberikan program akselerasi dan inkubator serta memberikan kesempatan lebih kepada UMKM di Indonesia. Ke depannya diharapkan akan lebih banyak lagi inovasi serta dukungan yang diberikan oleh pemerintah kepada industri startup di Indonesia.

“Kami dari Kemenkominfo akan berusaha untuk menyediakan ICT, karena akan sulit bagi startup untuk tumbuh tanpa adanya prasarana telekomunikasi yang diberikan oleh pemerintah,” kata Azhar.


DailySocial adalah media partner Ideafest 2016

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.

TKDN dan Upaya Pemerintah Mengokohkan Karya Lokal

Aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk perangkat ponsel, khususnya yang berkemampuan 4G/LTE, mulai menjadi perbincangan sejak 2015 lalu. Tujuannya menarik sumbangsih pengembang/ahli lokal untuk ambil bagian dalam penyajian perangkat tersebut di Indonesia. Sejak tahun itu pula berbagai skema terus digodok, untuk terciptanya keseimbangan, dari sisi industri sebagai pemilik manufaktur dan komponen lokal yang ingin dielaborasikan dalam proses produksi.

Secara definitif, TKDN merupakan suatu nilai atau persentase komponen produksi (hardware ataupun software) buatan Indonesia yang digunakan dalam sebuah produk ponsel 4G/LTE. Tujuannya untuk mengurangi defisit perdagangan yang diakibatkan banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia. Ini belajar dari era 3G sebelumnya, ponsel diimpor ke Indonesia tidak ada batasan regulasi khusus dan menggerus nilai yang luar biasa tanpa dampak yang berarti untuk perindustrian di Indonesia.

Inisiatif ini sudah sangat kokoh. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri bahwa TKDN akan menjadi pendekatan yang pas untuk menjayakan industri IT dalam negeri. Tiga kementerian meliputi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian ambil bagian dalam perumusan TKDN. Kendati demikian beberapa pengembang ponsel 4G keberatan, dan mengendurkan diri untuk memasarkan produknya di Indonesia. Akan tetapi vendor lainnya masih tetap setia, pasalnya pasar Indonesia menjadi “taruhan” yang berarti.

Aturan TKDN yang telah disepakati

TKDN kini dilandaskan dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 65 tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet. Dalam aturan tersebut terdiri dari dua rincian pokok skema pemenuhan TKDN, yakni memberikan porsi lebih untuk aspek manufaktur (perangkat keras) atau memberikan porsi lebih untuk aspek aplikasi (perangkat lunak).

Berikut ini rangkuman detil untuk masing-masing aspek yang telah didefinisikan dalam beberapa pasal terkait dalam Permenperin No. 65 tersebut:

  • Jika perusahaan memilih aspek manufaktur

Kandungan dalam negeri 30 persen (untuk tahun ini) yang terdiri dari aspek manufaktur 70 persen, aspek riset dan pengembangan 20 persen dan aspek aplikasi 10 persen.

  • Jika perusahaan memilih aspek aplikasi

Kandungan dalam negeri 30 persen (untuk tahun ini) yang terdiri dari aspek manufaktur 10 persen, aspek riset dan pengembangan 20 persen dan aspek aplikasi 70 persen.

Aturan tersebut turut memberikan tantangan kepada para perusahaan untuk memiliki pre-load aplikasi dan game lokal di setiap ponsel terbitannya hingga mencapai pengguna aktif tertentu (untuk TKDN sisi manufaktur 250 ribu pengguna, sedangkan untuk TKDN sisi aplikasi 1 juta pengguna). Selain itu perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki server di dalam negeri dan melakukan injeksi software di dalam negeri. Untuk menghimpun aplikasi dari pengembang lokal perusahaan juga diwajibkan memiliki marketstore aplikasi lokal.

Komitmen investasi turut menjadi bagian dari mekanisme TKDN yang harus dipenuhi perusahaan. Dimuat dalam peraturan yang sama di pasal 25, perhitungan TKDN berbasis nilai investasi hanya berlaku untuk investasi baru, dilaksanakan berdasarkan proposal investasi yang diajukan pemohon dan mendapatkan nilai TKDN sesuai total nilai investasi. Jangka investasi sendiri maksimal tiga tahun, dengan tahun pertama 40 persen dari nilai sudah harus direalisasikan.

Nilai investasi tersebut juga akan menjadi perhitungan TKDN, dengan rincian sebagai berikut:

  • Investasi senilai Rp 250 miliar – Rp 400 miliar setara dengan 20 persen TKDN.
  • Investasi Rp 400 miliar – Rp 550 miliar setara dengan 20 persen TKDN.
  • Investasi senilai Rp 550 – Rp 700 miliar setara dengan 30 persen TKDN
  • Investasi senilai lebih dari Rp 1 triliun setara dengan 40 persen TKDN.
  • Investasi tersebut juga memerlukan alokasi yang jelas dari perusahaan, termasuk tahapan penggelontoran nilainya.

Kesiapan industri menyambut TKDN

Saat ini aturan resmi TKDN belum diluncurkan, draft aturan masih disimpan oleh kementerian. Namun ketika aturan tersebut dirilis, maka pemberlakuannya akan sangat ketat. Produk yang tidak memenuhi TKDN akan dilarang dijual di Indonesia. Sebagai bagian untuk menciptakan keseimbangan industri, pemerintah juga mengusung skema penerapan bertahap untuk TKDN. Contohnya pada tahun ini ditargetkan industri ponsel 4G memenuhi 20 persen kandungan dalam negeri, dapat berupa perakitan di Indonesia atau memiliki kerja sama khusus dengan perusahaan lokal. Setelah itu akan ditingkatkan ke angka 30 persen tahun depan.

Beberapa perusahaan telah mengantisipasinya sejak sekarang, sebut saja Samsung, Lenovo, Advan dan juga Evercoss yang telah siap dengan berinvestasi pada pabrik perakitan ponsel di Indonesia. Beberapa di antaranya juga memproduksi komponen (kecil) di Indonesia, misalnya buku panduan, kardus kemasan, sekrup dan bagian lain yang tidak memiliki kerumitan berarti. ASUS dengan produk Zenfone yang cukup laris di Indonesia juga tengah mempersiapkannya. Saat ini DailySocial juga tengah mengonfirmasi langkah tersebut. Kabarnya ASUS akan banyak menyentuh kandungan di sisi perangkat lunak.

Peluang TKDN untuk akselerasi produk lokal

Sederhananya aplikasi lokal akan mendapatkan tempat yang lebih beragam untuk berkembang. Perangkat 4G/LTE memiliki kewajiban untuk menjadikan aplikasi dan game lokal sebagai pre-installed app, artinya sudah tertanam di ponsel sebelum ponsel sampai ke tangan konsumen. Namun demikian ini juga menjadi tantangan bagi pengembang aplikasi lokal, untuk menciptakan kreasi yang mampu mengimbangi kualitas produk tersebut. Terlebih akan ada marketstore yang mengakomodasi karya lokal. Tanpa konten yang berkualitas, tetap saja tidak akan mendapatkan traksi yang bagus, karena penentuan akhir sangar bergantung dengan ketertarikan konsumen.

TKDN dari sisi manufaktur yang mengisyaratkan pabrik perakitan di Indonesia sebenarnya juga sebagai strategi pemerintah untuk bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak. Namun demikian sebenarnya ada hal fundamental yang tidak boleh terlupa, yaitu bagaimana mendorong individu-individu dan teknisi lokal untuk mampu mempelajari pengembangan arsitektur tersebut, sehingga tidak hanya mengerjakan aktivitas “buruh” saja, melainkan benar-benar mencetak ahli-ahli baru belajar dari proses yang ada di pabrik tersebut.

Perumusan TKDN Tak Kunjung Usai, Kini Kemendag Perketat Izin Impor Ponsel

Regulasi TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) yang tergantung pada perangkat smartphone 4G di Indonesia masih terus menjadi pembahasan. Baik mengenai regulasinya sendiri atau pun dampaknya.  Salah satunya yang terbaru mengenai revisi yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) soal ketentuan impor telepon seluler (ponsel).

Revisi aturan ini disebutkan di beberapa media akan memperketat izin impor perangkat smartphone 4G dan mempertegas kewajiban penggunaan bahan baku dari dalam negeri, lebih tepatnya terkait dengan TKDN. Revisi ini juga disebut-sebut memiliki tujuan untuk mendorong nilai investasi dalam negeri.

Dikutip dari pemberitaan Kontan, Beleid yang disahkan Menteri Perdagangan Thomas Lembong pada 30 Mei 2016 dan berlaku 1 Juni tersebut memuat sejumlah aturan, di antaranya adalah persyaratan untuk memperoleh penetapan sebagai importir terdaftar (IT) ponsel, komputer genggam, dan komputer tablet diklasifikasikan menjadi dua. Pertama untuk perangkat yang ada di jaringan 3G dan jaringan di bawahnya, yang kedua untuk perangkat di jaringan 4G LTE.

Hitung-hitungan aturan TKDN memang sudah menjadi perdebatan sejak direncanakan setahun silam. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan juga Kementerian Perindustrian yang bersentuhan langsung dengan kebijakan ini sudah bersama-sama merumuskan aturan TKDN dengan semangat untuk memberikan ‘panggung’ karya lokal atau untuk menarik investasi ke dalam negeri.

Pada dasarnya regulasi dan aturan dibuat untuk membantu atau membatasi sebuah tindakan. Dalam hal aturan TKDN dibuat untuk membatasi produk-produk smartphone 4G untuk masuk ke Indonesia untuk membantu industri dalam negeri tumbuh, baik software maupun hardware, setidaknya untuk penggunaan dalam negeri. Untuk tingkatkan ‘value’ bangsa Indonesia jika mengutip pernyataan Menteri Rudiantara tahun lalu.

Sebenarnya skema TKDN sudah berdampak pada dua produsen smartphone yang akhirnya “mundur” untuk memasarkan beberapa produknya di Indonesia. Dengan adanya revisi aturan impor ini juga diprediksikan beberapa produk akan batal atau paling tidak lamban masuk ke Indonesia.

Indonesia sejauh ini memang dikenal baik sebagai pasar yang cukup menjanjikan. Dengan penetrasi penggunaan smartphone yang cukup tinggi, dan juga melihat geliat persaingan operator telekomunikasi yang ramai-ramai menjajakan kualitas layanan 4G, smartphone 4G dalam beberapa tahun mendatang bisa diprediksi akan menjadi barang yang akan dicari.

Semoga saja inisiatif TKDN ini bisa menjadi jalan yang tepat untuk menarik investasi, bukan malah menjadi bumerang yang membuat banyak produsen kabur. Selain harus secepatnya diperjelas, TKDN juga harusnya dibarengi dukungan pemerintah mendorong industri software dan hardware tanah air untuk lebih baik atau setidaknya sejajar dengan kualitas industri software dan hardware internasional.

Daftar Startup Terpilih dalam Program Solusi Desa Broadband Terpadu

Setelah melalui tahap penjurian yang ketat, dari total 238 ide yang berhasil disubmisikan pada kompetisi Solusi Desa Broadband Terpadu (SDBT), telah terpilih 30 ide terbaik yang berhak mengikuti rangkaian acara lanjutan dari program SDBT.

Tim juri yang melakukan seleksi merupakan para ahli di bidang Total Solution, Application Ecosystem, Rural Expert, Application Architecture, Fisheries Expert, Agriculture Expert dan ICT Community Engagement. Adapun kriteria penjurian didasarkan pada latar belakang masalah, keseuaian dan rencana implementasi.

Berikut ini adalah daftar 30 ide terpilih beserta kategorinya:

No Nama Startup Kategori
1 8 Village, Nelayan Nelayan
2 AngsuCorp Nelayan
3 e-Fishery Nelayan
4 ePustaka/ Mfish Nelayan
5 JukuTech Sahabat Pulau Nelayan
6 Senusa ID Nelayan
7 SINGA LAUT Nelayan
8 Smart Fisherman Nelayan
9 Smart-Fhisery Nelayan
10 Hukaku (Hutanku Kantorku) Pedalaman
11 Nusantara Beta Studio Pedalaman
12 Postmo-care Pedalaman
13 SES Pedalaman
14 SOS DESAKU Pedalaman
15 X-Igent Pedalaman
16 8 Village, Petani Petani
17 BISO Petani
18 E-TaniPintar Petani
19 iGrow Petani
20 iKiosk Petani
21 Jejaringnet Petani
22 KulDesaK Petani
23 Layer Farm Petani
24 Lelanik.tk Petani
25 MyAgri Mobile Learning for Farming Petani
26 Panen.id Petani
27 Second Vision Corp Petani
28 SILAT MEDAN IT Petani
29 Situbondo Smart Petani
30 SmartVillage Petani

Selanjutnya peserta akan diikutsertakan ke dalam workshop dan menyempurnakan ide yang telah didefinisikan sebelumnya. Peserta diberikan waktu satu minggu untuk menyempurnakan ide dan mengembangkan aplikasi SDBT, yakni pada tanggal 23 – 25 Juni 2016. Selanjutnya pada 26 Juni – 9 Juli 2016, peserta akan diundang untuk mengikuti sesi bootcamp, mengembangkan prototipe aplikasi yang akan diimplementasikan.

Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, bahwa semua aplikasi terpilih nantinya akan mengimplementasikan langsung solusinya di lapangan. Mereka akan dihadapkan pada permasalahan riil di desa-desa yang telah terpilih menjadi obyek implementasi, sesuai dengan masing-masing bidang. Tidak hanya mengimplementasikan aplikasi semata, namun para inovator juga dituntut untuk mendampingi sampai solusi tersebut benar-benar terlaksana dengan baik.

Makna program SDBT sendiri ingin berusaha menjembatani kesenjangan di desa tertinggal dengan pendekatan modern, mencoba menyelesaikan berbagai isu publik secara cepat dan efisien dengan bantuan teknologi yang kian menyeluruh di Indonesia. Untuk memantau perkembangan dan info lainnya seputar program SDBT, kunjungi laman resminya di http://solusi.broadband-desa.go.id.

Kemenkominfo Optimis 2019 Seluruh Kabupaten Kota Akan Terhubung Internet Cepat

Keberadaan dan manfaat internet untuk menyulut kemajuan di berbagai bidang sudah tak diragukan lagi. Banyak pembuktian yang sudah menunjukkan bagaimana transformasi cara tradisional ke modern dapat memberikan optimalisasi dan efisiensi bagi harkat hidup orang banyak. Meyakini akan hal itu, Kemenkominfo berambisi untuk memastikan seluruh kabupaten kota di Indonesia dapat terhubung ke internet broadband di tahun 2019. Tidak hanya sekedar terhubung, melainkan dengan kualitas yang baik.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menkominfo yang akrab dipanggil Chief RA. Dalam sebuah kesempatan kunjungan di Batam, Chief RA menegaskan visinya untuk membuat akses internet dapat dinikmati secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu aksi nyata yang dipaparkan adalah pemerintah akan terjun langsung membangun dan mengawasi infrastruktur pitalebar dalam proyek Palapa Ring, yang sudah disinggung sejak tahun sebelumnya.

Menilik data Kemenkominfo, dari total 514 kabupaten kota di Indonesia, baru sekitar 400 yang telah terhubung ke akses internet cepat. Selain itu kecepatan pun tak merata. Chief RA mengambil contoh perbandingan konektivitas internet di Jakarta 20 kali lebih cepat dibanding dengan yang ada di wilayah Indonesia bagian timur. Terkait dengan persebaran harga pun demikian, di luar Jawa kebanyakan lebih mahal.

Program besar Pitalebar Indonesia sendiri yang menginisiasi langkah tersebut sudah digaungkan pemerintah sejak pertengahan 2014. Melalui Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 pemerintah akan melakukan penataan ulang strategi pembangunan pitalebar secara nasional dan menyeluruh, tentu dengan harapan agar seluruh masyarakat Indonesia di seluruh penjuru dapat menikmati manfaat dari jaringan internet.

Pembangunan akses internet berkecepatan tinggi jelas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari strategi bangsa Indonesia untuk mewujudkan jaringan internet yang merata. Selain bertujuan untuk persebaran informasi yang tak terbatas, perwujudan ini juga ditujukan untuk meningkatkan daya saing masyarakat berkat internet.