Financial Technology: Definisi, Peran, Keuntungan dan Contoh FinTech dalam Bisnis

Dewasa ini perkembangan teknologi mempengaruhi segala sektor yang ada di masyarakat, salah satunya adalah perekonomian dan keuangan. Dimana saat ini masyarakat sering menggunakan teknologi untuk melakukan kegiatan perekonomian mereka.

Berikut ini penjelasan mengenai financial technology yang mulai banyak digunakan di masyarakat.

Definisi Financial Technology

Financial Technology adalah inovasi dalam transaksi keuangan melalui teknologi. financial technology atau teknologi finansial adalah sistem keuangan yang mengandalkan teknologi yang menghasilkan produk, layanan atau model  bisnis baru pada sistem keuangan.

Berdasarkan pengertian dari Bank Indonesia, financial technology adalah gabungan antara jasa keuangan dan teknologi yang membentuk model bisnis dari konvensional menjadi moderat, maksudnya adalah sistem pembayaran yang semula dilakukan dengan tatap muka dapat dilakukan dengan transaksi jarak jauh melalui financial technology.

Financial Technology disingkat juga menjadi FinTech merupakan penggunaan teknologi informasi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi bagian dari kebutuhan gaya hidup. FinTech biasanya digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan suatu barang tapi tidak memiliki waktu atau memiliki halangan untuk mengunjungi lokasi tersebut secara langsung, melalui FinTech masyarakat dimudahkan dengan proses transaksi pembayaran.

Peran Financial Technology

Financial Technology memiliki peran dalam penggunaan transaksi pembayaran yang lebih efektif. Berikut ini peran yang dapat kamu rasakan dengan kehadiran financial technology :

  1. Menjadi tools pembayaran, FinTech dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pembayaran yang lebih efisien, mudah dan cepat.
  2. Meringankan pekerjaan pelaksanaan investasi.
  3. Menjadi tools yang dapat menanggulangi risiko dari sistem pembayaran secara konvensional, FinTech memiliki peran untuk mencegah terjadinya risiko pada saat melakukan sistem pembayaran secara konvensional seperti pencurian, kehilangan uang, uang rusak di tengah jalan dan sebagainya.
  4. Membantu masyarakat yang akan menabung, meminjam dana maupun penyertaan modal.
  5. Membuka potensi pasar bagi para pelaku usaha, seperti munculnya metode pembayaran baru seperti OVO, DANA, Gopay dan lain sebagainya

Keuntungan Financial Technology

Berdasarkan definisi dan peran yang telah dijelaskan sebelumnya, FinTech juga memiliki keuntungan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Berikut ini keuntungan yang dapat kamu rasakan dengan kehadiran sistem pembayaran financial technology :

1.Bagi Konsumen

Financial Technology dari perspektif konsumen dapat memberikan keuntungan berupa pelayanan yang diberikan lebih baik dan efisien pada saat proses transaksi dilakukan, mendapatkan berbagai alternatif pilihan metode pembayaran yang murah dan praktis, pembelian barang dapat dilakukan dengan jarak jauh.

2.Bagi Penyedia Jasa

Bagi para penyedia jasa layanan penjualan produk atau jasa, mereka akan lebih dimudahkan untuk melakukan analisa dan rekapitulasi transaksi yang terjadi, mengurangi biaya operasional dan modal dengan menggunakan financial technology dibandingkan pada saat metode transaksi dilakukan secara konvensional dan dapat membekukan alur informasi.

3.Bagi Negara

Keuntungan bagi sebuah negara jika menggunakan financial technology adalah mendorong penerusan kebijakan ekonomi di negara, mampu meningkatkan perekonomian masyarakat karena perputaran uang akan menjadi lebih cepat dengan  financial technology dibandingkan konvensional, dan mendorong Strategi Nasional Keuangan Inklusif lancar.

Contoh Financial Technology dalam Bisnis 

Berikut ini contoh penggunaan financial technology dalam lingkup bisnis meliputi metode pembayaran yang saat ini semakin canggih dengan peran teknologi. Saat ini berbagai usaha bisnis mulai mengadopsi berbagai teknologi untuk mempersingkat dan meningkatkan efisiensi dalam melakukan pekerjaannya. 

Di Indonesia financial technology mulai banyak dikenal dan digemari oleh masyarakat khususnya dalam proses pembayaran yang dianggap lebih mudah dan murah, kemunculan berbagai perusahaan startup menjadi salah satu bukti bahwa financial technology semakin berkembang di masyarakat.

Salah satu jenis FinTech yang terjadi di Indonesia adalah digital payment system, yaitu layanan pembayaran secara digital untuk memudahkan transaksi pembelian oleh konsumen. Digital payment system menyediakan berbagai fitur yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk melakukan pembayaran pulsa, listrik atau token, QRIS dan lain sebagainya.

Beberapa startup yang muncul sebagai perusahaan FinTech diantaranya, Dana, OVO, Cicil, Ajaib, Kredivo, Gopay dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat mendapatkan kesempatan lebih banyak dalam memilih metode pembayaran dengan hadirnya financial technology. 

Berdasarkan penjelasan mengenai  financial technology diatas, maka dapat kamu pahami bahwa perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor penunjang hadirnya  financial technology di masyarakat.  Financial technology sendiri merupakan sistem keuangan dengan menggunakan teknologi dalam sistem pembayarannya.

Semoga informasi yang telah disampaikan dapat membantu kamu memahami mengenai pengertian, peran dan keuntungan yang dapat diraih dengan menggunakan  financial technology.

CT Bidik 10 Juta Pengguna Allo Bank di Tahun Pertama

PT Allo Bank Indonesia Tbk (IDX: BBHI) akan meluncurkan aplikasi mobile banking secara komersial pada Maret 2022. Untuk tahap awal, perusahaan membidik satu juta pengguna di minggu pertama peluncurannya.

Disampaikan pemilik CT Corp Chairul Tanjung, aplikasi Allo Bank baru tersedia untuk uji coba bagi kalangan karyawan di seluruh anak usahanya. Saat ini, Allo Bank telah dipakai sebanyak 43.000 pengguna.

“Di tahun pertama, kami membidik sebesar sepuluh juta pengguna, tetapi target ultimate kami sebesar 50 juta pengguna,” ungkap pria yang karib disapa CT ini dalam Jumpa Pers Allo Bank, Selasa (1/11).

CT juga menjelaskan bahwa pihaknya masih berupaya membentuk manajemen Allo Bank secara bertahap. Diketahui saat ini jajaran direksi Allo Bank baru terdiri dari Harry Abbas dan Yohanes.

“Kami masih dalam tahap pembentukan manajemen yang solid, kuat, dan menggabungkan talenta Indonesia dan global. Kami harap sudah dapat memiliki manajemen yang utuh pada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS Allo Bank berikutnya. Mitra strategis kami dapat memberikan usulan terkait kemungkinan [menempatkan] orangnya di manajemen Allo Bank,” tambahnya.

Lebih lanjut, CT mengungkap bahwa Allo Bank ditopang oleh kekuatan teknologi dan ekosistem yang menjadi elemen kunci dalam mendirikan bank digital. Dari aspek teknologi, CT menyebut telah bekerja sama strategis selama dua tahun terakhir dengan bank digital terbesar di dunia untuk mengembangkan sistem teknologi, baik software dan hardware di Allo Bank.

Ia enggan menyebut nama bank ini, tetapi diketahui mitra strategis tersebut adalah WeBank, bank digital milik raksasa teknologi Tencent asal Tiongkok. WeBank memanfaatkan teknologi AI, blockchain, cloud, hingga big data untuk menawarkan berbagai produk keuangan ke segmen UMKM. Saat ini, WeBank telah memiliki lebih dari 200 juta pengguna.

“Demikian juga ekosistem. Meski merasa ekosistem kami sudah kuat, kolaborasi tetap diperlukan di era digitalisasi. Ekosistem digital punya kelemahan, begitu juga ekosistem fisik. Dengan menggabungkan keduanya, kami bisa ciptakan ekosistem solid. Maka itu, kami mengajak ekosistem lain berkolaborasi. Kami yakin platform kami dapat menjawab tantangan dan dapat besar, baik secara transaksi, nasabah, maupun profitability,” ungkapnya.

Ekosistem raksasa Allo Bank

Menurut CT, Allo Bank akan diperkuat dengan ekosistem raksasa yang dimilikinya. Tak hanya dari ekosistem dari anak usahanya saja, Allo Bank akan didukung oleh ekosistem dari sejumlah mitra strategis, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.

Sebagai informasi, CT Corp memiliki tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).

Pihaknya tengah mempersiapkan sejumlah produk/layanan Allo Bank yang terintegrasi dengan seluruh ekosistem di CT Corp. Sebagai contoh, pengguna Allo Bank dapat bertransaksi secara O2O di Transmart atau membuka rekening melalui media digital.

Ekosistem produk yang dimiliki oleh CT Corp / Sumber: CT Corp

“Kami mengusung konsep one-for-all yang memungkinkan pengguna Allo Bank terhubung dan terintegrasi ke seluruh ekosistem kami. Harapan kami [semua ekosistem] dapat terhubung karena [integrasinya] bertahap dan pasti ada yang diprioritaskan,” paparnya.

Lebih lanjut, CT juga menambahkan bahwa seluruh mitra strategisnya, termasuk Mega Corp dan CT Corp, telah terikat locked up agreement selama tiga tahun terhitung dari tanggal pencatatan. Artinya, selama tiga tahun ini mereka tidak boleh menjual sahamnya demi melindungi kepentingan dari investor retail.

Di sisi lain, CT juga menegaskan bahwa tidak ada upaya untuk menggabungkan Allo Bank dengan anak usaha di bidang perbankan Bank Mega. Menurutnya, Allo Bank dapat berperan sebagai perpanjangan tangan digital dan inovasi bagi anak usaha Mega Corp, seperti Bank Mega, Bank Mega Syariah, serta kepemilikan saham minoritas CT di Bank Pembangunan Daerah.

Baru-baru ini Allo Bank juga mengumumkan aksi penawaran umum terbatas (right issue) senilai Rp4,8 triliun dengan melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Terdapat enam perusahaan yang terlibat sebagai investor, termasuk Bukalapak, Traveloka melalui Abadi Investments, dan Carro melalui Trusty Cars.

Dalam pernyataan sebelumnya, Komisioner Allo Bank Ali Gunawan mengungkap antusiasmenya untuk meluncurkan layanan pinjaman ke masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak terlayani oleh produk keuangan, seperti pinjaman, investasi, dan asuransi.

Bank Mandiri Gencarkan Transformasi dengan Menghadirkan Layanan Digital Kolaboratif

PT Bank Mandiri Tbk (IDX: BMRI) tengah gencar bertransformasi digital untuk memperkuat posisinya di segmen perbankan ritel. Bank Mandiri meluncurkan layanan digital kolaboratif, yakni mesin Electronic Data Capture (EDC) berbasis Android dan Rumah Idamanku (RIKu). 

Mandiri berkolaborasi dengan PT Mitra Transaksi Indonesia melalui penyedia solusi keuangan digital Yokke. EDC Android dapat digunakan pada point of sales (POS), platform merchant, hingga promosi dan loyalty, serta menerima berbagai alternatif pembayaran berbasis QR, contactless, dan wearable. 

Direktur Jaringan dan Retail Banking Bank Mandiri Aquarius Rudianto mengatakan, saat ini pihaknya terus berupaya mengembangkan teknologi terkini dalam menghadirkan alat pembayaran digital yang adaptif dan optimal bagi nasabah dan mitra merchant.

Ia menargetkan EDC Android dapat mendongkrak kenaikan jumlah transaksi secara masif. Saat ini, EDC Android baru tersedia di Sogo Indonesia saja. “Kami juga berharap solusi ini dapat mempermudah merchant untuk memantau transaksi secara real-time dengan teknologi EDC positioning system,” tambah Aquarius dalam keterangan resmi beberapa waktu lalu.

Hingga Juli 2021, Mandiri mencatat 150 ribu mitra merchant dengan total EDC sebanyak 218.000 unit. Dari jumlah tersebut, Bank Mandiri mengantongi volume penjualan sebesar Rp62 triliun atau naik 13% dan 104 juta transaksi atau naik 12% dibandingkan periode sama tahun lalu (YoY).

Sinergi keduanya tidak mengherankan mengingat Yokke adalah salah satu portofolio investasi Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang juga anak usaha investasi milik Bank Mandiri Group. Melalui sinergi ini, Mandiri mendapatkan akses terhadap inovasi, dan sebaliknya Yokke menerima modal untuk memperluas koneksi dan pengembangan produk.

Masuk ke segmen proptech

Selain fintech, Bank Mandiri juga melebarkan jangkauan layanan keuangan dengan masuk ke segmen proptech. Pihaknya berkolaborasi dengan startup Pinhome untuk meluncurkan aplikasi Rumah Idamanku (RIKu). 

Executive Vice President Consumer Loans Bank Mandiri Ignatius Susatyo Wijoyo, mengatakan nasabah sulit mencari properti semenjak pandemi Covid-19. Ruang gerak pemasar properti juga terbatas dengan adanya pembatasan sosial. Dengan situasi ini, pihaknya berupaya memberikan alternatif layanan untuk mengakomodasi perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

Untuk itu, aplikasi RIKu dinilai dapat membantu nasabah dalam mencari hunian mulai dari pencarian, jadwal kunjungan, konsultasi, hingga pengajuan KPR atau KPA baik rumah, apartemen, dan ruko. Para broker properti juga dapat memasarkan listing-nya.

Founder & CEO Pinhome Dayu Dara Permata memastikan bahwa algoritma Pinhome dapat memberikan alokasi yang merata bagi para broker properti. “Pinhome memungkinkan seluruh informasi dan transaksi properti secara online, terautomasi lengkap dengan virtual reality, dan algoritma berbasis machine learning.

Transformasi tanpa konversi jadi neobank

Beberapa waktu lalu, Bank Mandiri telah menegaskan langkahnya untuk bertransformasi digital, tanpa perlu mengonversi menjadi neobank atau bank digital sebagaimana dilakukan bank-bank lain. Pihaknya menilai telah disokong oleh permodalan besar dan ekosistem perbankan yang mapan.

Salah satu langkah signifikan yang diambil anak usaha BUMN ini adalah melakukan rebranding aplikasi mobile banking Livin’ by Mandiri di pertengahan tahun ini. Berdasarkan kinerja semester I 2021, transaksi digital Bank Mandiri berkontribusi besar terhadap perolehan margin bisnis perusahaan. Pengguna Livin’ by Mandiri tercatat sebesar 7,8 juta nasabah dengan nilai transaksi mencapai Rp728,9 triliun.

Ekosistem layanan terintegrasi kini menjadi elemen penting bagi perbankan yang ingin bertransformasi digital. Bank Mandiri bahkan menyebut akan menjadikan Livin’ by Mandiri sebagai “super app“. Pihaknya menargetkan dapat menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan lebih banyak ke depan.

Application Information Will Show Up Here

Kiat Menghadapi Perubahan Pola Masyarakat di Tengah Perkembangan Fintech

Salah satu transformasi yang cukup terasa di era digital adalah berubahnya cara orang menggunakan uang. Di kawasan kota, masyarakat Indonesia mulai terbiasa bertransaksi, baik itu berbelanja, makan, atau membayar tagihan, melalui ponsel mereka.

Tanpa mengecilkan fungsinya, uang tunai mulai tergantikan oleh dompet digital. Bahkan kini sebagian besar masyarakat urban tak lagi membayar transportasi online dengan uang tunai. Segala aktivitas dapat dilakukan secara seamless asal terhubung dengan internet.

Di balik kemudahan di atas, tentu ada sebuah proses terjadi. Ada tantangan sulit yang dihadapi sejumlah pelaku bisnis dalam mengubah kebiasaan pengguna memakai layanan keuangan digital. Hal ini karena Indonesia memiliki karakter konsumen yang sudah terbiasa bertransaksi dengan uang fisik.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial kedatangan CEO Sprint Asia Technology, Setyo Harsono, yang mengulas tentang bagaimana upaya untuk tetap inovatif di tengah persaingan industri fintech, termasuk mengedukasi pasar.

Tetap inovatif dengan tiga hal utama

Tak dapat dimungkiri, industri fintech Indonesia kini semakin bertumbuh dengan semakin bertambahnya pemain. Persaingan semakin kuat, pelaku bisnis berlomba-lomba menawarkan layanan terbaiknya.

Agar dapat bersaing, Setyo mengungkapkan tiga hal utama yang sekiranya dapat menjadi guidance untuk masuk ke industri fintech. Pertama, pastikan bahwa kita memiliki expertise di bidang yang ingin dimasuki. Jangan sampai masuk ke bisnis ini apabila tidak berpengalaman di bidangnya.

Kedua, jangan sampai pelaku bisnis terlalu habis-habisan dalam memanfaatkan teknologi sehingga melampaui batas. “Teknologi itu menjadi guardian, kita bisa (kembangkan layanan) dari ujung ke ujung, tetapi kita masih punya etika untuk tidak melakukannya,” ungkap Setyo.

Terakhir, pelaku bisnis perlu menghargai nilai dari sebuah joint-effort karena dalam industri ini pesaing bisnis bisa saja menjadi mitra kolaborasi di masa depan.

Mengubah kebiasaan adalah tantangan, perlu edukasi bersama

Bagi Setyo, tantangan terbesar dalam mengembangkan layanan keuangan digital adalah mengubah kebiasaan konsumen. Transisi dari penggunaan uang tunai ke digital akan terasa sulit bagi pasar di Indonesia, mengingat pasar kita terbiasa dilayani.

“Mengubah kebiasaan adalah sesuatu yang sulit di Indonesia karena kita tidak terbiasa dengan budaya self-service. Konsumen Indonesia terbiasa dilayani. Artinya, sesuatu yang baru pasti tantangannya terletak pada habit,” tuturnya.

Dalam kasus ini, ia menilai perlunya edukasi berkelanjutan secara bersama-sama oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) agar adopsinya menjadi lebih cepat.

Ia mencontohkan saat ATM pertama kali keluar, tak banyak penggunanya karena satu pemain saja yang menyediakan. Apabila semua bank termasuk pemerintah ikut mengedukasi bersama-sama, adopsinya akan lebih mudah.

“Mengubah kebiasaan menggunakan uang tunai berarti menghadirkan kebiasaan baru. Para pemangku kepentingan harus mengadopsi bisnis model baru, selain terlalu memanjakan konsumen.”

Sprint Asia merupakan perusahaan yang menawarkan solusi perbankan berbasis TIK. Hingga tahun 2012, barulah perusahaan masuk ke bisnis payment gateway, salah satunya lewat produk Bayarind. Sejak dua tahun lalu, Bayarind masih menanti lisensi e-wallet dari Bank Indonesia.