League of Legends Worlds Bakal Digelar di Shenzhen, Twitch akan Siarkan Konten Olimpiade

Minggu lalu, NBC mengumumkan, mereka menggandeng Twitch untuk menyiarkan konten terkait Olimpiade Tokyo. Selain itu, merek e.l.f. Cosmetics mengungkap bahwa mereka juga telah membuat channel Twitch resmi. Mereka juga membuat inisiatif untuk mendukung para gamers perempuan.

Twitch Bekerja Sama dengan NBC untuk Siarkan Konten Olimpiade

Stasiun televisi asal Amerika Serikat, NBC, bekerja sama dengan Twitch untuk membuat channel baru yang akan menampilkan konten Tokyo Olimpiade. Menurut The Esports Observer, Twitch akan membuat konten live menjelang dan selama pertandingan berlangsung. Konten tersebut akan mencakup wawancara dengan para atlet dan juga kompetisi gaming bertema Olimpiade.

Tak hanya itu, konten Olimpiade yang disiarkan di Twitch ini juga akan dilengkapi dengan fitur interaktif. Misalnya, sebelum acara pembukaan, para streamers dan penonton bisa mempertahankan nyala api obor virtual dari engagement. Keputusan Twitch untuk menyiarkan konten Olimpiade tidak aneh. Memang, dalam beberapa tahun belakangan, Twitch telah membuat beberapa channel baru yang tidak ada kaitannya dengan game. Pada 2020, mereka meluncurkan kategori khusus untuk olahraga tradisional.

League of Legends World Bakal Digelar Offline di Tiongkok

League of Legends World Championship 2021 bakal digelar secara offline pada 6 November 2021, di Shenzhen, Tiongkok. Shenzhen Universiade Sports Centre, yang memiliki kapasitas penonton hingga lebih dari 60 ribu orang, dipilih sebagai stadium untuk mengadakan Worlds, menurut laporan Clutch Points. Tahun ini merupakan kali ketiga Tiongkok menjadi tuan rumah dari League of Legends World Championships. Pada 2017, Worlds diadakan di Beijing, dan pada 2020, kompetisi itu digelar di Shanghai.

Shenzhen Universiade Sports Centre akan menjadi tempat digelarnya League of Legends World Championship 2021.

“Kami tidak sabar untuk menciptakan inovasi baru yang menembus batas di dunia olahraga dan hiburan dengan Worlds 2021 dan mendefinisikan era berikutnya dari LoL Esports selama 10 tahun ke depan,” kata John Needham, Global Head of Esports, Riot Games, dikutip dari Esportz Network. “Shenzhen adalah kota paling kompetitif dan inovatif di Tiongkok. Di sana, ada ribuan startup teknologi. Kami merasa, Shenzhen merupakan kota yang sangat tepat untuk menggelar turnamen Worlds.”

Merek e.l.f. Cosmetics Buat Channel Twitch Resmi

Merek e.l.f. Cosmetics telah meluncurkan channel resmi Twitch. Mereka juga mengadakan program baru berjudul “e.l.f. You” yang bertujuan untuk mendukung dan memberdayakan gamers perempuan. Untuk merayakan peresmian channel barunya, e.l.f Cosmetics akan mengadakan acara khusus dan mengundang sejumlah streamers, seperti Autumn Rhodes, Kathleen “Loserfruit” Belsten, dan Fasffy dari Team Liquid. Acara itu juga akan dihadiri oleh Global Makeup Artist dari e.l.f. Cosmetics, Anna Bynum, lapor The Esports Observer.

Fokus dari event tersebut adalah untuk mempromosikan program e.l.f You.  Salah satu acara yang menjadi bagian dari program tersebut adalah kontesn “Game Up”. Di kontes yang diadakan di TikTok pada 9 Mei-6 Juni 2021 itu, para peserta akan diminta untuk menunjukkan makeup yang mereka gunakan ketika mereka menyiapkan diri untuk melakukan streaming. Tujuh orang peserta akan keluar sebagai pemenang. Mereka akan mendapatkan berbagai peralatan streaming, seperti webcam 4K, mikrofon dan produk e.l.f.

Metafy Dapat Pendanaan US$5,5 Juta

Minggu lalu, Metafy mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan investasi US$5,5 juta. Kucuran dana ini merupakan bagian dari pendanaan tahap awal dari Metafy. Sebelum ini, mereka juga telah mendapatkan pendanaan tahap awal sebesar US$3,15 juta. CEO Metafy, Josh Fabian, mengungkap, hanya dalam waktu sekitar 9 bulan, gross merchandise value (GMV) dari Metafy telah menembus US$76 ribu.

Pertumbuhan Metafy selama 9 bulan terakhir. | Sumber: TechCrunch

Metafy adalah platform marketplace yang akan menghubungkan para gamers dengan pelatih. Menariknya, mereka justru lebih fokus untuk menggaet para pelatih ke platform mereka. Hal ini memungkinkan Metafy untuk memotong biaya marketing mereka. Pasalnya, para pelatih yang mereka ajak kerja sama biasanya sudah punya audiens sendiri, menurut laporan TechCrunch.

Riot Games Berkomitmen Adakan Turnamen LoL Wild Rift Global Tahun Ini

Keputusan Riot Games untuk merilis game MOBA andalan mereka League of Legends di platform mobile pada 2020 memang mengejutkan banyak fans. Namun kelihatannya visi masa depan tersebut berbuah manis karena Riot Games sendiri kelihatannya melihat potensi besar pada League of Legends: Wild Rift.

Dilansir dari The Esports Observer, dikabarkan bahwa Riot Games akan memberikan komitmen besar pada perkembangan LoL: Wild Rift termasuk mengadakan turnamen esport global pertamanya pada akhir tahun ini.

“Kami sangat percaya bahwa game mobile akan membantu mengubah masa depan esport,” ungkap John Needham, Global Head of Esport dari Riot Games.

Lebih lanjut Needham menjelaskan bahwa mereka memang belum memastikan secara pasti, namun mereka berkomitmen akan mengadakan event esport global Wild Rift pada kuartal keempat tahun 2021 ini.

Image credit: Riot Games

“Bagi kami, (komitmen) ini adalah tentang belajar dari 10 tahun pengalaman kami di esport LoL sekaligus juga memelajari apa yang membuat komunitas mobile spesial, menciptakan olahraga yang unik dan menarik untuk ditonton oleh para pemain Wild Rift.” Lanjut Needham.

Komitmen Riot Games terhadap LoL: Wild Rift memang patut diapresiasi, mengingat game mobile ini terhitung masih muda dan bahkan baru dirilis untuk region Amerika Utara pada Maret 2021 lalu. Namun Riot Games sendiri ingin segera membuat gebrakan untuk pasar esport mobile.

Sumber Gambar – Wild Rift Vietnam Official Channel.

LoL: Wild Rift sendiri sebenarnya telah melakukan penjajakan jauh sebelum inisiasi turnamen global-nya ini diadakan. Salah satunya adalah penetrasi terhadap Asia Tenggara yang merupakan pasar utama esport mobile. Termasuk salah satunya adalah menjadikan Wild Rift sebagai salah satu cabang olahraga esport pada SEA Games mendatang.

Fakta mengejutkan lain adalah LoL: Wild Rift dan judul-judul game mobile lainnya memiliki tingkat pemain wantia paling tinggi ketimbang game-game serupa di PC. Hal ini sendiri dibuktikan dengan lebih banyaknya organisasi esport di Asia Tenggara yang mendaftarkan squad wanitanya ke dalam Wild Rift meskipun umurnya masih muda.

Meskipun pasar Asia Tenggara merupakan region dengan perkembangan Wild Rift paling cepat sekarang, Riot Games sendiri tetap berkomitmen untuk mengembangkan ekosistem esport LoL:Wild Rift ini merata di seluruh dunia.

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan April 2021

Memasuki bulan Mei, Hybrid.co.id kembali membuat daftar turnamen esports terpopuler selama April 2021. Dari lima kompetisi yang masuk dalam daftar kali ini, tiga di antaranya juga masuk daftar turnamen paling populer di Maret 2021. Namun, game esports yang populer pada April cukup berbeda dari bulan sebelumnya. Jika pada bulan Maret, Free Fire berjaya, pada April, justru League of Legends yang menjadi sorotan utama.

Berikut lima turnamen esports terpopuler sepanjang April 2021, menurut data dari Esports Charts.

5. ONE Esports Singapore Major 2021

Dengan peak viewers mencapai 605 ribu orang, ONE Esports Singapore Major 2021 duduk di peringkat lima dalam daftar turnamen esports terpopuler di April 2021. Jumlah peak viewers tersebut tercapai pada babak final yang mempertemukan Evil Geniuses dengan Invictus Gaming. Sebelum bertanding dengan EG di babak final, IG sempat kalah dari tim asal Amerika Serikat itu, membuat mereka terdepak dari Upper Bracket. Jadi, ketika IG kembali bertemu dengan EG di babak final, tidak heran jika atmosfer di antara keduanya terasa menegangkan.

Daftar pertandingan terpopuler di ONE Esports Singapore Major. | Sumber: Esports Charts

Pemenang dari babak final turnamen Major ini ditentukan dengan format Best of Five. EG meraih kemenangan di dua pertandingan pertama. Namun, IG berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan EG pada pertandingan ketiga. IG juga memenangkan dua pertandingan setelah itu. Dengan begitu, IG berhasil keluar sebagai juara dari ONE Esports Singapore Major 2021 dengan skor 3-2. Sejak diselenggarakan pada 25 Maret 2021 hingga 4 April 2021, turnamen Dota 2 Major ini berhasil mendapatkan 20,6 juta jam hours watched. Sementara jumlah penonton rata-rata dari turnamen tersebut adalah 197 ribu orang.

4. PUBG Mobile Pro League Season 3 2021 Indonesia

PUBG Mobile Pro League Indonesia (PMPL) 2021 Season 3 duduk di peringkat empat dalam daftar turnamen esports terpopuler untuk bulan April 2021. Dari bulan Maret 2021, PMPL ID S3 naik satu peringkat dari peringkat lima. Tentu saja, kenaikan peringkat diiring dengan meningkatnya jumlah peak viewers. Pada Maret 2021, jumla peak viewers PMPL ID S3 hanya mencapai 532 ribu orang. Sementara pada April 2021, angka itu naik menjadi 628 ribu orang.

Pertandingan terpopuler sepanjang PMPL ID S3. | Sumber: Esports Charts

Pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton pada PMPL ID S3 adalah babak final hari ke-3, Ronde 18. Sementara itu, Ronde 17 di hari yang sama menjadi pertandingan terpopuler ke-2, dengan peak viewers mencapai 584 ribu orang. Geek Fam berhasil menjadi juara dari PMPL ID S3 dan akan maju ke PMPL Southeast Asia (SEA). Sementara itu, gelar runner up dimenangkan oleh Bigetron Red Aliens. Sebagai juara 2, Bigetron RA juga berhak akan tiket ke PMPL SEA. Namun, tiket tersebut diberikan ke Aura Esports, yang duduk di juara tiga. Alasannya, Bigetron RA sudah mendapatkan undangan untuk bertanding di PMPL SEA karena jadi juara dari musim sebelumnya.

3. LCK Spring 2021

League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2021 menjadi turnamen esports terpopuler ketiga dengan peak viewers 674 ribu orang. Menariknya, pertandingan paling populer dari LCK Spring 2021 bukanlah babak final. Pertandingan yang berhasil menarik 674 ribu orang penonton tersebut adalah pertandingan antara T1 dengan Gen.G pada babak semifinal hari ke-2. Meskipun begitu, babak final yang mempertemukan Damwon Gaming (DWG) Kia dengan Gen.G, juga menarik cukup banyak penonton. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 616 ribu orang.

T1 muncul dalam 3 dari 4 pertandingan terpopuler di LCK Spring 2021. | Sumber: Esports Charts

LCK Spring 2021 dimenangkan oleh DWG KIA setelah mereka mengalahkan Gen.G dengan skor telak: 3-0. Sementara itu, tim Hanwha Life Esports berhasil meraih gelar juara tiga, dan T1 juara empat. Walau hanya menjadi juara empat, T1 terbukti sukses menarik banyak penonton. Buktinya, pertandingan terpopuler ketiga di LCK Spring 2021 adalah pertandingan antara T1 dan DRX di babak quarter finals hari ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mempunyai 599 ribu orang. Sementara itu, secara total, LCK Spring 2021 mendapatkan hours watched sebanyak 67,6 juta jam dengan jumlah rata-rata viewers sebanyak 232 ribu orang.

2. LEC Spring 2021

Posisi kedua dari daftar turnamen esports paling populer untuk April 2021 kembali diisi oleh kompetisi League of Legends. Dengan peak viewers mencapai 831 ribu orang, League of Legends European Championship (LEC) Spring 2021 berhasil mengalahkan LCK Spring 2021. Sepanjang turnamen berlangsung, LEC Spring 2021 telah mendapatkan 44,3 juta hours watched dan 310 ribu average viewers. Dengan begitu, LEC Spring 2021 berhasil mencetak rekor baru dalam hal hours watched, average minute audience (AMA), dan peak viewers.

Pertandingan terpopuler di LEC Spring 2021. | Sumber: Esports Charts

Babak grand final dari LEC Spring 2021 mempertemukan MAD Lions dengan Rogue. Pertandingan tersebut sukses menjadi pertandingan paling populer dari LEC Spring 2021. Sementara itu, pertandingan antara G2 Esports dan Rogue di semifinal hari ke-2 menjadi pertandingan terpopuler ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 690 ribu orang. Pertandingan antara G2 dan MAD Lions pada semifinal hari pertama juga menarik banyak penonton, dengan jumlah peak viewers mencapai 661 ribu orang.

Satu hal yang mengejutkan dari LEC Spring 2021 adalah kalahnya G2 Esports. Selama ini, tim asal Jerman itu dianggap sebagai raja di kompetisi League of Legends Eropa. Meskipun begitu, G2 bukan satu-satunya tim besar yang kalah dari tim-tim yang lebih baru.

1. MPL ID Season 7

Dimulai pada Februari 2021, Mobile Legends Professional League Indonesia Season 7 masih menarik perhatian penonton pada bulan April 2021. Faktanya, turnamen Mobile Legends ini justru naik peringkat. Pada Maret 2021, MPL ID S7 merupakan liga esports terpopuler kedua. Pada bulan April, mereka berhasil naik ke peringkat pertama.

Pada Maret 2021, pertandingan El Clasico antara RRQ dan EVOS Esports menjadi pertandingan paling populer. Jumlah peak viewers dari pertandingan tersebut mencapai 1,18 juta orang. Sementara jumlah peak viewers dari MPL ID S7 pada April justru naik menjadi 1,47 juta orang. Menariknya, sama seperti pada Maret, di bulan April, pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton adalah pertandingan antara RRQ Hoshi dan EVOS Legends.

Data soal MPL ID S7. | Sumber: Esports Charts

Sementara itu, dari segi hours watched, MPL ID S7 berhasil mendapatkan 54,5 juta jam, dua kali lipat dari total hours watched pada Maret 2021. Seperti yang disebutkan oleh Esports Charts, RRQ merupakan tim paling populer di MPL kali ini. Jumlah penonton rata-rata dari RRQ adalah 508 ribu orang. Namun, EVOS, yang berhasil menjuarai MPL musim ini, juga tidak kalah populer. Empat dari lima pertandingan terpopuler sepanjang Season 7 melibatkan EVOS. Jumlah rata-rata penonton dari EVOS adalah 496 ribu orang.

Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Anime League of Legends, Arcane, Diumumkan dan akan Ditayangkan di Netflix

Video game kelihatannya mulai mendapat tempat nyamannya di serial TV. Alih-alih langsung membawanya ke layar lebar dengan segala keterbatasan durasinya yang membuat ceritanya terkadang amburadul. Banyak video game kini lebih memilih membawa franchise game-nya menuju serial TV.

Apalagi dengan adanya platform streaming seperti Netflix, franchise game jadi punya ruang gerak dan eksplorasi lebih dalam menyuguhkan cerita. Apalagi dengan kesuksesan adaptasi seperti The Witcher, Castlevania, dan yang terbaru adalah Dota 2 tidak mengejutkan bila Riot Games membawa franchise terbesarnya dengan treatment yang sama.

Setelah beberapa waktu lalu beberapa kali digoda, akhirnya para fans League of Legends (LoL) mendapatkan pengumuman resmi sekaligus teaser perdana dari seri animasi yang akan berjudul Arcane.

Dalam video yang hanya berdurasi 19 detik tersebut, diperlihatkan bahwa serial animasi ini akan berpusat pada cerita origin konflik antara karakter ikonik game-nya yaitu Jinx dan Vi, dalam teaser yang berupa potongan-potongan adegan tersebut juga ditunjukkan karakter baru misterius yang mungkin juga akan menjadi bagian dari konflik ceritanya.

Selain karakter-karakter ikonik dari dalam game-nya, ada kemungkinan besar kita juga akan diberikan cerita backstory dari perseturuan dua kota kembar Runeterra, yaitu Piltover dan Zaun yang juga terlihat muncul di teaser-nya.

Film seri animasi League of Legends: Arcane ini diproduseri langsung oleh Riot Games, yang bekerja sama dengan Fortiche Production. Keduanya memang telah berkolaborasi sejak lama untuk beberapa video sinematik dan juga video musik untuk LoL.

Mengenai perilisannya, Netflix hanya memberikan informasi bahwa serial animasi ini akan dilepas pada musim gugur mendatang. Kemungkinan besar nantinya akan ada trailer penuh yang menunjukkan lebih banyak tentang ceritanya dan juga tanggal pasti perilisannya.

Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Premier League Gandeng Tencent untuk Adakan ePremier League China, Red Bull Kumite Digelar di London

Minggu lalu, ada beberapa berita menarik di ranah esports. Salah satunya, Premier League baru saja menggandeng Tencent dan EA untuk menggelar ePremier League China. Sementara itu, Riot Games bekerja sama Uniqlo untuk merilis koleksi kaos bertema League of Legends. Thrustmaster juga baru saja meluncurkan setir replika dari Ferrari F1.

Premier League Gandeng Tencent untuk Gelar ePremier League China

Premier League mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Tencent Sports, Tencent Esports, dan EA Sport untuk mengadakan ePremier League China. Turnamen itu akan dimulai pada 28 April 2021 sampai 15 Mei 2021. Turnamen tersebut akan menjadi ePremier League pertama yang digelar di luar Inggris. Dalam turnamen itu, masing-masing tim di Premier League akan diwakili oleh dua orang asal Tiongkok: seorang gamer profesional dan seorang kreator konten, lapor The Esports Observer. Kompetisi ePremier League ini akan disiarkan di platform video milik Tencent dan ditayangkan secara live di DouYu dan Huya.

Thrustmaster Meluncurkan Setir Replika Ferrari F1

Minggu lalu, Thrustmaster meluncurkan SF1000 Edition Wheel Add-on, setir replika dari setir yang digunakan oleh Charles Leclerc dan Sebastian Vettel pada 2020 Ferrari F1. SF1000 dilengkapi dengan 11 tombol, 7 encoders, dan 2 thumbwheels, yang fungsinya bisa diatur sesuai selera pengguna. SF1000 juga dilengapi dengan layar sebesar 4,3 inci, yang akan menampilkan berbagai informasi , seperti suhu ban, gears, serta penggunaan bahan bakar dan energi. SF1000 sudah tersedia di Eropa saat ini. Sementara di Asia Pasifik, ia baru akan tersedia pada 18 Mei 2021. Penjualan global akan dimulai pada 26 Agustus 2021.

Setir replika dari Ferrari F1 buatan Thrustmaster. | Sumber: Motor1

Thrustmaster dan Ferrari telah bekerja sama selama 10 tahun terakhir. Dan peluncuran SF1000 akan memperkuat hubungan antara keduanya. Sebelum ini, Thustmaster juga mendukung 2021 Ferrari Esports Series. Kompetisi sim racing itu akan dimulai pada 5 April 2021. Sim racer yang berhasil keluar jadi juara akan mewakili Ferrari dalam kompetisi sim racing, menurut laporan Motor1.

Red Bull Kumite 2021 Bakal Diadakan di London

Red Bull Kumite akan diadakan di London, Inggris. Pada Sabtu, 22 Mei 2021, Guilty Gear Strive akan menjadi game yang diadu. Sementara pada hari Mingu, 23 Mei 2021, Red Bull Kumite akan menampilkan pertandingan antara 16 pemain Street Fighter V terbaik. Red Bull Kumite pertama kali diadakan di Paris, Prancis. Dan selama 3 tahun, pada 2015-2018, turnamen itu selalu digelar di Prancis. Pada 2019, lokasi Red Bull Kumite baru dipindahkan ke Jepang, sebagai penghormatan pada developer di balik Street Fighter, lapor Bleeding Cool. Red Bull Kumite mendapatkan dukungan ASTRO Gaming sebagai peripheral partner dan AOC sebagai monitor partner.

Uniqlo Bakal Rilis Koleksi Kaos Bertema League of Legends

Riot Games baru saja mengumumkan kerja sama dengan Uniqlo. Dengan ini, Uniqlo akan meluncurkan beberapa kaos bertema League of Legends. Kaos-kaos itu akan menampilkan berbagai gambar a la Runeterra, termasuk Poros, Summoners Rift, dan K/DA, girlband virtual yang didasarkan pada karakter di League of Legends, menurut laporan Dot Esports.

Menurut Ryan Crosby, Head of Entertainment Marketing and Consumer Products, Riot Games, alasan Uniqlo terpilih untuk menjadi rekan Riot adalah karena mereka punya dedikasi dalam menciptakan pakaian yang unik. Dalam beberapa tahun belakangan, Riot memang aktif untuk bekerja sama dengan sejumlah merek fashion, termasuk Louis Vuitton dan A Bathing Ape. Selain itu, mereka juga meluncurkan koleksi merchandise mereka sendiri.

Acer Bakal Gelar Predator Sim Racing Cup 2021

Acer mengumumkan rencana mereka untuk menggelar turnamen sim racing baru, yaitu Predator Sim Racing Cup 2021. Kompetisi itu dibuka untuk umum, dengan tujuan mencari sim racer berbakat dan membuat semakin banyak orang kenal dengan sim racing. Secara total Predator Sim Racing akan menawarkan total hadiah sebesar US$50 ribu.

Menurut laporan The Esports Observer, Predator Sim Racing Cup akan diadakan di Arab Saudi, Belanda, Denmark, Inggris, Irak, Italia, Jerman, Kuwait, Mesir, Norwegia, Oman, Polandia, Prancis, Qatar, Rusia, Republik Ceko, Slovakia, Spanyol, Swedia, Turki, Ukraina, dan Uni Emirat Arab. Para pemenang kompetisi nasional akan bisa melaju ke turnamen tingkat internasional.

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan Maret 2021

Tak terasa tahun 2021 ternyata sudah memasuki bulan ke-4. Bulan lalu Hybrid.co.id sudah merangkum daftar turnamen esports terpopuler. Lalu, kira-kira siapa yang masih bertahan di daftar bulan Maret 2021?

Singkatnya, bulan Maret 2021 menjadi bulannya esports Free Fire Amerika Latin. Tanpa berlama-lama lagi, berikut daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021 yang dirangkum dengan menggunakan fitur pro dari Esports Charts.

 

#5 – PUBG Mobile Pro League Indonesia 2021 – Season 3

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

PUBG Mobile Pro League Indonesia 2021 Season 3 baru saja dimulai tanggal 24 Maret 2021 kemarin. Masuknya PMPL ID ke dalam daftar sedikit banyak jadi bukti bagaimana liga esports PUBG Mobile paling bergengsi di Indonesia ini ditunggu-tunggu para penggemarnya. PMPL ID Season 3 berhasil mencatatkan 532 ribu lebih peak viewers dengan 13 juta lebih total watch hours.

Pertandingan dengan puncak keseruan tersebut adalah pertandingan pekan pertama hari kedua. Pertandingan hari itu memang berjalan cukup sengit.

Pertandingan tersebut merupakan fase Weekdays yang menjadi seleksi untuk pertandingan sesungguhnya di fase Super Weekend, persaingan tim terasa ketat hari itu. Salah satu bukti persaingan ketat yang terjadi adalah dari WWCD yang didapatkan oleh tim berbeda-beda setiap rondenya. Ditambah lagi hari itu juga jadi momen WWCD perdana bagi Bigetron RA, tim PUBG Mobile Indonesia yang sejauh ini masih jadi favorit banyak orang.

Dengan catatan tersebut, PMPL Indonesia 2021 Season 3 menempati peringkat 5 dari daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021.

 

#4 – LEC Spring 2021 (League of Legends)

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Pada peringkat 4 ada liga League of Legends Eropa, yaitu LEC. Sejauh ini LEC memang selalu berhasil menyajikan pertandingan berkualitas dan penuh aksi yang dianggap jadi gaya main khas esports LoL Eropa.

Pada bulan Maret 2021 kemarin, pertandingan LEC Spring 2021 telah memasuki babak Playoff. Keseruan babak Playoff pun berhasil mencatatkan 640 ribu lebih peak viewers. Selain itu, turnamen tersebut juga telah mencatatkan 38 juta total watch hours yang dicatat sejak dari babak Regular Season.

Pertandingan yang membuat LEC Spring 2021 masuk ke dalam daftar ini adalah pertandingan antara G2 Esports melawan Schalke 04. Pertandingan yang terlaksana di hari kedua babak Playoff tersebut memang berlangsung dengan sangat seru dan sengit.

Kedua tim saling berbalas kemenangan, ditambah aksi-aksi unik G2 Esports di pertandingan tersebut yang salah satunya adalah menggunakan Seraphine (Champion Mage) sebagai Attack Damage Carry atau ADC. Secara keseluruhan, pertandingan tersebut masuk di peringkat 2 dari 5 pertandingan LEC terpopuler.

Pertandingan dengan catatan peak viewers terbesar adalah antara G2 Esports vs MAD Lions. Namun demikian pertandingan tersebut terlaksana di tanggal 3 April 2021 kemarin. Secara keseluruhan, tayangan pertandingan berbahasa Inggris menjadi tayangan LEC terpopuler dengan catatan 440 ribu viewers lebih .

 

#3 – Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 1

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Tingkat popularitas Free Fire di Brazil mungkin bisa dibilang mirip seperti MLBB di Indonesia. Maksudnya mirip, tayangan bahasa lokal punya jumlah penonton yang bersaing dengan liga-liga internasional yang ditayangkan dengan bahasa Inggris.

Hal tersebut kembali terbukti dengan masuknya Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 1 ke peringkat 3 dari 5 daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021.

LBFF 2021 berhasil mencatatkan 827 ribu lebih peak viewers dan mencatatkan 14 juta lebih total watch hours. Pertandingan yang jadi daya tarik penggemar esports Free Fire di Brazil tersebut adalah pertandingan ronde 9 dari babak final LBFF 2021 yang terselenggara tanggal 20 Maret 2021 kemarin.

Pertandingan ronde terakhir memang berjalan cukup sengit. FX, LOUD, dan Cruizero, tiga besar klasemen sementara saling bersaing ketat mendapatkan Booyah di ronde 9. Persaingan berlangsung sampai titik darah penghabisan, sehingga FX finish di peringkat 4, LOUD di peringkat 3, dan Cruizero yang mendapat Booyah.

Dari sisi jumlah penonton berdasarkan bahasa, hampir seluruh penonton LBFF datang dari tayangan berbahasa Portugis yang merupakan bahasa lokal Brazil. Karenanya seperti apa yang saya katakan di awal, LBFF bisa dibilang sebagai liga berbahasa lokal dengan jumlah fanbase yang kuat.

 

#2 – MPL Indonesia Season 7 (Mobile Legends: Bang-Bang)

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

MPL Indonesia masih bertengger kuat di dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan walau peringkatnya turun dari peringkat 1 di daftar bulan Februari 2021 lalu, menjadi peringkat 2 di daftar bulan Maret 2021.

Peringkatnya memang menurun, tetapi jumlah penonton MPL ID Season 7 meningkat apabila dibandingkan dengan bulan lalu. Dari segi jumlah penonton berdasarkan bahasa, masuknya MPL Indonesia Season 7 ke dalam daftar bulan ini juga masih disebabkan oleh fanbase lokal Indonesia.

MPL Indonesia Season 7 berhasil mencatatkan 1,1 juta lebih peak viewers. Secara keseluruhan, liga esports game Mobile Legends: Bang-Bang yang berjalan sejak bulan Februari ini telah mencatatkan 27 juta total watch hours.

Bulan lalu kita melihat pertandingan antara RRQ Hoshi vs Alter Ego yang membuat MPL Indonesia jadi masuk ke dalam daftar. Bulan ini pertandingan El Clasico antara RRQ Hoshi vs EVOS Legends yang membuat liga MPL Indonesia kembali berjaya.

Menariknya pertandingan tersebut sebenarnya tidak sengit seperti pertandingan antara RRQ Hoshi vs Alter Ego yang melejit di bulan Februari 2021 kemarin. Pertandingan antara RRQ Hoshi vs EVOS Legends di week 3 day 2 MPL Indonesia tersebut didominasi kuat oleh EVOS Legends.

Dalam pertandingan tersebut, EVOS Legends berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 2-0 dalam durasi 10 menit lebih di game 1 dan 14 menit lebih di game 2. Sementara itu dari segi jumlah penonton berdasarkan bahasa, mengutip dari data fitur pro milik Esports Charts , jumlah penonton tayangan berbahasa Indonesia jumlahnya masih mendominasi secara mutlak (sekitar 90% lebih dari keseluruhan peak veiewers).

 

#1 – Free Fire League Latinoamerica 2021 Opening

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version.
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version.

Bulan Maret 2021 ini sepertinya menjadi bulannya bagi turnamen Free Fire. Lagi-lagi pertandingan esports Free Fire lokal Amerika Latin masuk ke dalam daftar, kali ini bahkan sebagai pemuncak daftar turnamen esports terpopuler.

Turnamen tersebut adalah Free Fire League Latinoamerica 2021 Opening. Berbeda dengan LBFF yang hanya mempertandingkan tim asal Brazil, FFLA mempertandingkan tim-tim seantero Amerika Latin, termasuk dari negara Mexico, Ekuador, Kolombia, dan sekitarnya.

FFLA berhasil mencatatkan 1,4 juta lebih peak viewers pada tanggal 21 Maret 2021 kemarin, pada saat laga Grand Final berjalan. Turnamen yang terselenggara selama 9 pekan sejak dari 16 Januari 2021 kemarin tersebut telah mencatatkan sebanyak 6,3 juta lebih total watch hours secara keseluruhan. Secara keseluruhan, laga final FFLA berhasil secara konsisten menarik minat menonton para penggemarnya.

Hal tersebut terlihat dari daftar 5 tayangan FFLA terpopuler yang seluruhnya diisi oleh pertandingan-pertandingan babak Grand Finals yang terselenggara pada 21 Maret 2021. Lima tayangan tersebut juga selalu mencatatkan angka peak viewers diatas 1 juta.

Mengutip Liquidpedia, FFLA hanya menyajikan tayangan bahasa Spanyol saja. Karenanya penonton tentu saja terpusat kepada tayangan berbahasa Spanyol saja tanpa ada pembanding lainnya.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Sejak Rilis, PUBG Mobile Raup Rp73,6 Triliun, Final Fantasy XI Reboot Dibatalkan

Razer mengumumkan laporan keuangan mereka untuk tahun 2020 pada minggu lalu. Mereka mengungkap, untuk pertama kalinya, pemasukan mereka berhasil menembus US$1 miliar. Sementara itu, menurut perkiraan Sensor Tower, pemasukan PUBG Mobile sejak game battle royale itu dirilis telah mencapai US$5,1 miliar atau sekitar Rp73,6 triliun.

Total Pemasukan PUBG Mobile Capai Rp73,6 Triliun

Sejak diluncurkan, PUBG Mobile telah mendapatkan total pemasukan sebesar US$5,1 miliar atau sekitar Rp73,6 triliun, menurut data dari Sensor Tower. Sementara itu, Games Industry melaporkan, pemasukan PUBG Mobile pada 2020 mencapai US$2,7 miliar  (Rp39 triliun). Pada tahun lalu, setiap hari, para gamer PUBG Mobile menghabiskan sekitar US$7,4 juta (Rp107 miliar). Semua ini berarti, PUBG Mobile mendapatkan lebih dari setengah pemasukan mereka pada tahun lalu.

Pemasukan PUBG Mobile pada tahun ini juga menunjukkan tren naik. Pada Q4 2020, pemasukan PUBG Mobile mencapai US$555 juta (Rp8 triliun). Sementara pada Q1 2021, game battle royale itu berhasil mendapatkan US$709 juta (Rp10,2 triliun). Tiongkok masih menjadi pasar PUBG Mobile terbesar. Gamer dari Tiongkok menyumbangkan US$2,8 miliar (Rp40,4 triliun) atau sekitar 55,4% dari total pemasukan PUBG Mobile. Padahal, Sensor Tower hanya menghitung spending dari gamer yang menggunakan iOS di Tiongkok.

Pengembangan Final Fantasy XI Reboot Dibatalkan

Proyek Square Enix dan Nexon untuk membuat versi reboot dari Final Fantasy XI telah dibatalkan. Padahal, pengembangan dari game itu telah berjalan selama lima tahun. Alasan Square Enix dan Nexon untuk membatalkan proyek ini adalah karena game tersebut dianggap tidak memenuhi ekspektasi, menurut laporan Gamebiz.jp.

final fantasy xi dibatalkan
Walau telah dikembangkan lama, Final Fantasy XI akhirnya diberhentikan. |Sumber: WCCF Tech

Dikabarkan, proses pengembangan dari game ini telah dihentikan pada akhir tahun lalu. Meskipun begitu, Nexon baru mengonfirmasi bahwa mereka memang akan membatalkan pengembangan versi reboot dari Final Fantasy XI ketika mereka mengumumkan laporan keuangan terbaru mereka pada Februari 2021, seperti yang disebutkan oleh Games Industry.

Pemasukan Razer Tembus Rp17,3 Triliun

Minggu lalu, Razer baru saja mengumumkan laporan keuangan mereka. Mereka mengungkap, pemasukan mereka naik 48% dari tahun lalu, menjadi US$1,2 miliar (Rp17,3 triliun). Kali ini adalah pertama kalinya Razer berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar (Rp14,4 triliun). Seperti yang disebutkan oleh Games Industry, divisi hardware Razer memberikan kontribusi terbesar. Pemasukan segmen hardware mencapai US$1,08 miliar (Rp15,6 triliun), naik 51,8% dari tahun lalu. Sementara itu, pemasukan dari divisi Fintech naik 66,8% menjadi US$128,4 juta (Rp1,9 triliun). Sayangnya, Razer tidak mengungkap pemasukan mereka di divisi software.

Tahun Ini, Pasar Cloud Gaming Naik 2 Kali Lipat

Pasar cloud gaming diperkirakan akan mencapai US$1,4 miliar (Rp20,2 triliun) pada akhir 2021, menurut studi terbaru dari Newzoo. Sementara pada akhir 2020, nilai pasar cloud gaming diduga mencapai US$633 juta (Rp9,6 triliun). Hal itu berarti, pasar cloud gaming pada 2021 akan tumbuh hingga lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu.

Menurut laporan Games Industry, pemasukan cloud gaming naik berkat bertambahnya jumlah pengguna cloud gaming. Pada akhir 2021, jumlah pengguna cloud gaming diperkirakan akan mencapai 23,7 juta orang. Ke depan, cloud gaming diduga masih akan tumbuh. Pada akhir 2023, Newzoo memperkirakan, pasar cloud gaming akan mencapai US$5,14 miliar (Rp74,2 triliun). Kami pernah membahas soal potensi cloud gaming di Indonesia di sini.

Riot Games Akui Tengah Buat Game MMO

Pada Desember 2020, para developres di Riot Games mengungkap bahwa mereka tengah mengembangkan spinoff dari League of Legends yang ber-genre MMO. Sekarang, Riot secara resmi mengumumkan kabar itu di situs mereka. Jika Anda mengunjungi worldofruneterra.com, hal pertama yang akan Anda lihat adalah pernyataan: “Kami sedang membuat MMO.”

Riot akui tengah buat game MMO dari League of Legends.
Riot akui tengah buat game MMO dari League of Legends.

Satu hal yang harus diingat, Riot biasanya menggunakan situs ini untuk menawarkan pekerjaan atau membantu tim developer dalam mengembangkan game yang tengah mereka buat. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan merilis trailer dari game MMO terbaru mereka dalam waktu dekat, menurut laporan VentureBeat.

Rahasia Dari Balik Dapur, Inilah Cerita Seorang Head Chef Tim Esports

Untuk menjadi pemain profesional yang sukses, seseorang tidak hanya harus jago di game yang dia mainkan. Kebugaran fisik serta asupan gizi juga punya peran penting dalam memastikan performa para pemain profesional tetap optimal. Karena itulah, ada beberapa organisasi esports yang mempekerjakan chef untuk memastikan para pemainnya mendapatkan asupan gizi seimbang. Salah satu organisasi esports yang punya chef adalah T1 dari Korea Selatan.

Ialah Kim “Alex” Jae-hyeong, head chef dari T1. Setiap waktu makan, dia dan krunya harus membuat makanan sekitar 90-100 porsi. Tak hanya itu, mereka juga bahkan bertanggung jawab untuk membuat snack pada malam hari jika ada pemain yang memang masih ingin makan camilan. Berikut cerita Alex.

Sebelum bekerja sebagai head chef T1, Alex pernah bekerja di restoran biasa, restoran keluarga, restoran franchise, dan bahkan rumah sakit untuk rehabilitasi. Ketika dia mendapat tawaran untuk bekerja di T1, dia sempat ragu. Pasalnya, dia tahu bahwa T1 punya fans di berbagai negara. Dia khawatir dia justru akan menjadi beban.

Head Chef dari T1, Kim “Alex” Jae-hyeong. | Sumber: InvenGlobal
Head Chef dari T1, Kim “Alex” Jae-hyeong. | Sumber: InvenGlobal

“Saya fans lama T1,” kata Alex, seperti dikutip dari InvenGlobal. “Saya sudah suka dengan T1 sejak era Starcraft. Saya menonton BoxeR bermain. Saya pernah bekerja di restoran franchise. Di sanalah, saya bertemu dengan salah satu eksekutif SK Telecom. Dia lalu menawarkan saya untuk bekerja di gedung T1 yang baru. Saya sangat terkejut.”

Sebagai head chef, Alex selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik pada para pemain T1. Dia melakukan hal ini tidak hanya karena dia merupakan penggemar T1, tapi karena dia memang punya dedikasi tinggi sebagai seorang chef. Salah satu contoh dedikasinya, dia selalu memilih bahan segar untuk membuat makanan. Dia bercerita, dia selalu menggunakan bahan masakan yang berkualitas. Jika bahan makanan yang dia pesan tidak memenuhi standar, dia akan mengirimkan bahan itu kembali.

 

Kebiasaan Pemain Esports Saat Makan

Setelah menyiapkan makanan, Alex juga memerhatikan bagaimana para pro player mengonsumsi makanan yang dia buat. “Saya menyadari dua hal. Pertama, kebanyakan pemain profesional menghabiskan makanan dengan cepat. Mereka bisa selesai makan hanya dalam waktu 5-10 menit. Dan mereka selalu makan sampai habis,” ujar Alex. “Karena mereka senang makanan yang bisa mereka konsumsi dengan cepat, saya biasanya membuat masakan yang menjadikan lauk sebagai topping dari nasi.”

Alex menambahkan, para pemain T1 juga biasanya lebih senang makan makanan yang tidak bertulang. Dia bercerita, setiap dia memasak ayam, dia harus menggunakan daging ayam tanpa tulang. Tujuannya adalah agar para pemain bisa mengonsumsi makanan dengan lebih mudah dan cepat. Begitu juga ketika dia memasak ikan. Biasanya, dia memilih ikan yang memang tak bertulang atau dia akan menghilangkan tulang pada ikan sebelum memasaknya.

Contoh masakan yang dibuat oleh para chef T1. | Sumber: InvenGlobal
Contoh masakan yang dibuat oleh para chef T1. | Sumber: InvenGlobal

Kebanyakan pemain T1 memang makan dengan cepat. Namun, Lee “Faker” Sang-hyeok merupakan anomali. “Faker makan pelan-pelan. Biasanya, dia menghabiskan waktu sekitar 30 menit di kafetaria untuk makan. Sementara para pro players lainnya, walau mereka makan pelan-pelan, mereka tetap lebih cepat dari kebanyakan orang biasa. Tampaknya, Faker memang orang yang unik, bahkan ketika sedang makan.”

Daging merupakan lauk favorit para pemain T1. Alex memberikan beberapa contoh makanan favorit para pemain T1 yaitu Galbi-jjim (semur iga), bulgogi, dan vongole. Dia mengaku merasa beruntung karena para pemain T1 tidak pilih-pilih makanan dan tidak pernah protes soal makanan yang dibuat oleh para chef.

“Salah satu alasan kenapa saya sering memasak daging adalah karena para pro players memang suka daging. Alasan lainnya adalah karena mereka punya jadwal yang ketat, jadi mereka perlu stamina,” ungkap Alex. “Tapi, saya juga berusaha untuk memasak sayuran. Saya khawatir mereka tidak mendapatkan nutrisi yang seimbang. Menjaga kesehatan para pemain adalah salah satu prioritas kami.”

 

Resep Rahasia di Kafe T1

Alex mengungkap dana yang dikeluarkan oleh T1 untuk dapur tidak lebih dari kebanyakan kafetaria. Meskipun begitu, dia dan rekan-rekannya selalu dapat memuaskan para pemain T1. Tidak hanya itu, para fans juga kaget melihat berbagai makanan lezat yang disajikan oleh dapur T1. Memang, T1 bahkan punya akun Instagram khusus untuk menampilkan masakan yang mereka buat.

“Kami punya akun Instagram untuk hasil masakan di kafe T1. Para chef akan mengambil gambar dari proses memasak dan makanan yang telah jadi. Para pemain dan staf T1 biasanya turut memberikan komentar,” kata Alex. “Saya selalu bangga. Para fans biasanya selalu berkomentar setelah melihat makanan yang kami sajikan.”

Alex bercerita, salah satu rahasianya untuk membuat makanan enak dengan dana terbatas adalah mencari bahan yang tepat. Para chef T1 biasanya memilih bahan makanan berdasarkan harga pasar. Misalnya, ketika selada sedang musim, mereka akan membuat menu yang menggunakan selada. Dengan begitu, mereka bisa menghemat dana yang mereka miliki. Sesekali, mereka bisa memasak masakan mewah seperti lobster.

Sebagai head chef, Alex sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengurus jadwal menu. Untuk itu, dia melakukan riset melalui Instagram dan media digital lainnya. Dia mengungkap, salah satu cara untuk membuat para pemain T1 tidak merasa bosan dengan masakan yang dia buat adalah dengan secara rutin mengganti menu makanan dari menu Korea, Tiongkok, dan juga Jepang. Selain itu, dia juga selalu menanyakan makanan favorit para pemain.

Alex melarang chef lain melakukan pre-cooking. | Sumber: InvenGlobal
Alex melarang chef lain melakukan pre-cooking. | Sumber: InvenGlobal

Alex juga punya peraturan lain di dapurnya, yaitu tidak melakukan pre-cooking. Jadi, para chef hanya akan mengolah bahan makanan ketika mereka memang hendak memasak makanan. Misalnya, dia baru mulai memotong daging ketika dia hendak mempersiapkan makanan untuk para pemain T1. Alasannya adalah untuk memastikan agar rasa dari masakan yang dia buat tetap enak.

“Jika kami menyiapkan makanan sebelum diminta, akan ada makanan yang tersisa. Dan ketika makanan sudah dingin, rasanya jadi tidak terlalu enak. Kami biasanya berusaha untuk memasak makanan ketika para pemain memintanya. Kami bahkan tidak memotong bahan yang diperlukan sebelum memasak. Karena hal itu bisa memengaruhi rasa makanan,” jelas Alex. “Seorang chef punya tugas untuk memeriksa bahan makanan apa yang tersisa dan ada berapa pemain yang sedang di kafetaria. Dengan begitu, kami bisa menyajikan makanan dengan tepat waktu.”

Keuntungan lain yang didapat dengan tidak melakukan pre-cooking, ungkap Alex, adalah meminimalisir jumlah makanan yang dibuang. Dengan begitu, para chef akan bisa menghemat dana yang mereka punya sehingga mereka bisa membuat masakan khusus sesekali. Meskipun begitu, Alex mengaku, dia tetap tidak bisa membuat makanan yang disukai semua orang.

“Saya ingin tahu apa yang para pemain suka dan tidak suka sehingga saya bisa membuat masakan yang mereka suka saja,” kata Alex. “Selama ini, kami hanya punya dua menu utama. Tapi, tetap sulit bagi kami untuk membuat masakan yang disukai semua orang. Saya rasa, ke depan, proses memasak untuk para pemain akan menjadi lebih efisien.”

Credits: T1
Credits: T1

T1 bukan satu-satunya organisasi esports yang mempekerjakan chef untuk memastikan para pemainnya mendapatkan asupan gizi seimbang. Ketika pindah ke markas barunya di Utrecht, Belanda, Team Liquid juga mempekerjakan seorang chef. Sementara itu, Counter Logic Gaming (CLG), organisasi esports asal Amerika Serikat, tak hanya menunjuk Andrew Tye sebagai Head Food Operations, mereka juga mempekerjakan seorang ahli gizi. Sama seperti Alex, prioritas Tye adalah memastikan para pemain CLG punya stamina yang cukup untuk melakukan kegiatan mereka sehari-hari.

Sumber header: Tempus Magazine

Game Esports Gratis: Sebuah Kausalitas

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, dan Free Fire adalah beberapa contoh dari game yang sukses jadi esports. Selain sama-sama populer sebagai esports, gamegame tadi juga punya kesamaan lain. Kesamaannya adalah sama-sama free-to-play alias gratis. Kesamaan tersebut tentunya memunculkan pertanyaan lain. Kenapa game yang besar sebagai esports menggunakan model free-to-play?

Esports bisa menjadi cara baru untuk mendatangkan pemasukan jangka panjang, yang tidak dapat ditawarkan dengan metode Pay-to-Win. Selain soal model bisnis jangka panjang yang nanti akan kita bahas lebih dalam, ada sejumlah alasan lain kenapa esports memang bisa bertumbuh lebih di game-game freeto-play.

 

Ragam Jenis Model Bisnis Video Game

Sebelum membahas lebih dalam soal hubungan antara esports dengan model free-to-play, akan saya bahas singkat lebih dulu ragam jenis model bisnis game yang umum di industri game saat ini. Free-to-play hanyalah salah satu dari beberapa model bisnis yang digunakan oleh para game developer. Selain free-to-play, model lain yang lazim diadaptasi sekarang ini adalah model game berbayar dan subscription (berlangganan).

Dalam model berbayar, pemain diharuskan membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan satu game. Pemain biasanya hanya dikenakan satu kali pembayaran saja untuk memainkan satu game sebebas-bebasnya. Generasi muda atau gamer mobile yang sudah terbiasa dengan model free-to-play mungkin merasa asing dengan model ini. Walau demikian, model ini sebenarnya adalah model paling umum dan juga paling lama. Developer game AAA (seperti Cyberpunk 2077 atau GTA V contohnya) sampai developer indie (seperti Stardew Valley).

Sumber: Rockstar Games
Sumber: Rockstar Games

Model game berbayar memang biasanya tidak terlalu fokus pada esports. Tapi ada juga beberapa game berbayar yang punya skena esports. Contohanya adalah: ragam jenis game fighting (Street Fighter Series, Tekken Series, dan lain sebagainya) dan ragam jenis game olahraga (FIFA, PES, NBA 2K series, dan lain sebagainya). Counter Strike: Global Offensive sebenarnya juga sempat menggunakan model game berbayar pada saat awal rilis, namun akhirnya diubah menjadi free-to-play pada tahun 2018 lalu.

Soal kenapa game berbayar kurang sukses sebagai esports akan saya bahas di bagian akhir artikel ini. Untuk saat ini mari kita beralih ke model berikutnya yaitu sistem subscription.

Dalam model subscription, pemain harus membayar sejumlah uang setiap bulan supaya bisa memainkan game terkait. Model ini tergolong sangat tidak lazim di Indonesia (beberapa orang Indonesia bahkan kaget ketika tahu harus membayar untuk sebuah video game), namun model ini cukup umum dikenal oleh gamers-gamers negara barat. Model seperti ini biasanya digunakan pada game-game MMORPG. Dua game paling populer yang menggunakan sistem berlangganan adalah World of Warcraft atau Final Fantasy XIV Online.

Sumber: Blizzard Official Site
Biaya yang dibutuhkan untuk berlangganan World of Warcraft. Sumber: Blizzard Official Site

World of Warcraft malah mengadopsi beberapa sistem sekaligus. Sebagai pemain, Anda harus membayar sejumlah uang untuk dapat memainkan ekspansi terbaru (Shadowlands contohnya), lalu membayar lagi setiap bulannya agar bisa terus main. Harga expansion biasanya lebih mahal (sekitar Rp500 ribu ++ mirip seperti harga game AAA), sementara harga langganan per bulannya dipatok lebih murah (sekitar Rp150 ribu++ per bulan).

Model subscription mungkin terasa mirip dengan model Battle Pass (seperti Royale Pass pada PUBG Mobile atau Starlight Member pada Mobile Legends) pada game free-to-play. Tetapi ada satu perbedaan penting yang membedakan antar keduanya yaitu Anda tidak diperkenankan (atau dibatasi) memainkan game tersebut apabila Anda tidak membayar biaya langganan bulan itu. Dalam World of Warcraft misalnya, Anda hanya bisa memainkan karakter sampai level 20 saja apabila tidak membayar. Setelah membayar biaya langganan Anda akan bisa memainkan karakter sampai level 50 apabila tidak memiliki ekspansi. Setelah membeli ekspansi, Anda bisa memainkan karakter sampai level 60 dan diwajibkan membayar biaya langganan setelahnya apabila ingin lanjut bermain.

Pada perkembangannya, pembayaran biaya langganan tidak lagi terbatas dengan menggunakan uang tunai saja. Pada World of Warcraft misalnya, Anda bisa membayar biaya langganan dengan menggunakan “gold” yang Anda dapatkan dari mekanik di dalam game (dengan cara crafting, hunting, atau trading misalnya). Tapi gold yang dibutuhkan untuk bisa membayar subscription juga tidak sedikit. Karenanya pemain tetap dipaksa “membayar” waktu (untuk rutin memainkan game-nya) ketika ingin membayar biaya langganan dengan gold.

Model yang paling terakhir adalah free-to-play. Model seperti ini adalah model bisnis game yang paling lazim dikenal gamer Indonesia. Seperti namanya, tidak butuh sepeserpun biaya untuk memainkan game free-to-play. Lalu kalau game-nya gratis, dari mana developer dan publishernya mendapat pemasukan? Game free-to-play biasanya memiliki ragam jenis micro-transaction.

Sumber: VALORANT In-Game Store
Skin senjata adalah salah satu contoh micro-transaction yang disedikan game free-to-play VALORANT. Sumber: VALORANT In-Game Store

Micro-transaction merupakan berbagai pernak-pernik kecil yang bisa dinikmati pemain game free-to-play yang bisa dibeli pakai uang tunai. Pada beberapa game, konten micro-transaction biasanya bersifat hanya pemanis saja dan tidak memberi keuntungan dari sisi gameplay. Contohnya seperti skin karakter pada game MOBA atau skin senjata pada game FPS. Tapi ada juga konten micro-transaction yang akan membuat Anda jadi lebih kuat atau membantu Anda mencapai tingkat yang lebih tinggi secara lebih cepat. Contohnya seperti akses double XP pada game RPG atau skin karakter dengan tambahan kekuatan yang tidak dimiliki karakter standar. Sistem yang menganakemaskan pemain berbayar di game-game gratisan, biasanya jadi disebut Pay-to-Win

Dalam prakteknya, sistem micro-transaction tidak hanya digunakan oleh game free-to-play saja. World of Warcraft atau Street Fighter V kini juga menjual micro-transaction yang berisi konten tambahan sebagai pemanis atau pelengkap permainan.

Selain metode micro-transaction, game free-to-play kini mulai menjajaki model bisnis baru sebagai salah satu sumber pemasukan mereka. Model bisnis baru tersebut adalah esports.

 

Kenapa Game Esports yang Sukses Gratis?

“Kalau Anda tidak membayar untuk suatu produk, maka produknya adalah Anda.”

Ungkapan tersebut sebenarnya sudah disuarakan ketika televisi baru booming di kalangan masyarakat namun dengan kalimat yang berbeda. Seiring waktu, ungkapan tersebut santer lagi terdengar terutama ketika media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan kawan-kawan semakin merajalela dan lekat dengan keseharian kehidupan kita. Lalu, apa hubungannya antara esports dengan ungkapan tersebut?

Mungkin Anda sudah bisa menduganya. Dalam esports, publisher dan developer game tersebut berusaha mengubah pemain game menjadi penonton esports. Penonton esports tersebut digunakan menjadi “produk” yang dijual kepada investor ataupun sponsor. Pernyataan tersebut mungkin terdengar sinis. Tetapi, model tersebut terbilang lebih baik ketimbang model bisnis game free-to-play lainnya yang cenderung eksploitatif.

Apabila Anda sempat membaca tulisan Ellavie yang membahas beda industri game Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, Anda mungkin ingat bahwa model free-to-play sebenarnya bukan model yang baru di dalam industri game. Nexon, publisher dan developer game asal Korea Selatan, adalah yang pertama merilis game free-to-play bernama QuizQuiz yang rilis pada tahun 1999.

Namun seiring perjalanannya, cara monetisasi game free-to-play tidak selalu menyenangkan bagi pemainnya. Sebelum esports booming sampai menjadi bisnis seperti sekarang, game free-to-play sebenarnya punya berbagai macam cara untuk memonetisasi pemainnya.

Kalau Anda adalah gamer sejak dari zaman warnet, Anda mungkin ingat RF Online. Kalau Anda main RF Online, apakah Anda ingat dengan Premium Service? Benar, layanan yang bisa Anda aktifkan dengan cara membeli voucher (dengan mata uang asli) yang selanjutnya ditukar dengan Premium Service. Layanan Premium Service akan memberikan Anda sebuah kenyamanan berupa XP yang lebih besar dan jumlah loot monster yang lebih banyak.

RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.
RF Online, game RPG yang sempat populer pada masanya.

Metode tersebut adalah salah satu bentuk monetisasi dari game free-to-play. RF Online bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Tapi kalau tidak keluar uang, yaa…XP Anda seret, dapat equip dewa juga susah karena loot-nya sedikit. Padahal, daya tarik utama RF Online adalah perang antar tiga bangsa yang sifatnya PVP atau pemain lawan pemain. Karenanya, Anda sebagai pemain tentunya akan butuh level tertinggi dan equip terbaik agar dapat bersaing dengan pemain lain.

Apakah pemain bisa punya karakter super kuat tanpa Premium Service? Bisa saja sih, tapi waktunya tentu akan jauh lebih lama ketimbang pemain yang selalu menyalakan Premium Service. Karenanya, saya menggunakan kata eksploitatif sebelum menjelaskan model ini. Walaupun game tersebut bisa dimainkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, tetapi sistem game-nya menaruh prioritas lebih ke pemain berbayar dan mengesampingkan pemain gratisan.

Lalu apakah metode monetisasi tersebut adalah metode yang adil atau etis? Adil tidak adil, etis atau tidak etis, bukan saya yang menentukan. Pada akhirnya RF Online juga masih terus hidup sampai sekarang. Pemain yang masih setia tidak merasa ada masalah dan tetap membeli premium service. Dulu ketika saya masih SMP, saya juga main RF Online dan beli Premium Service kok.

Namun satu hal yang bisa kita sepakati, model tersebut membuat ladang pemasukan game terkait jadi terbatas. Apa kabarnya kalau tiba-tiba semua pemain tersadar, lalu sepakat untuk tidak lagi membeli Premium Service? Karena kalau semua orang tidak pakai Premium Service, maka permainan akan jadi lebih adil bukan? Atau mungkin yang lebih buruk, apa jadinya kalau tidak ada lagi orang yang mau main game tersebut karena merasa dieksploitasi dengan model Premium Service?

Selain RF Online, contoh lainnya mungkin adalah sistem energi atau sistem untuk mempercepat pembuatan pasukan pada Clash of Clans (CoC). Walaupun sistemnya agak sedikit beda, tapi model tersebut sebenarnya senada, mempercepat progresi (kekuatan karakter/pembuatan pasukan/peningkatan level) untuk pemain yang membayar.

Pada masanya, CoC sempat mengumpulkan pemasukan yang luar biasa dengan metode tersebut. Mengutip dari statista, Clash of Clans sempat mendapat pemasukan sebesar US$1,8 triliun pada tahun 2015. Tapi pemasukan tersebut terus menurun setiap tahunnya, sampai jadi hanya tinggal US$722 juta pada tahun 2019 lalu.

Data tersebut sedikit banyak menjadi gambaran — kalau tidak bisa menjadi bukti — bagaimana model monetisasi yang “memajaki” perkembangan pemain tidak bisa bertahan selamanya. Monetisasi tersebut sangat bergantung dengan keinginan pemain untuk membeli micro-transaction. Tentu saja, pengembang berusaha setengah mati untuk meningkatkan selera pemain agar terus membeli. Mungkin awalnya dengan cara yang halus dulu seperti penjelasan video dari Vox di bawah. Kalau cara halus tidak berhasil, developer biasanya sudah menyiapkan cara “frontal”, yaitu membuat progresi pemain gratisan jadi lebih lambat ketimbang yang membayar.

Tetapi balik lagi seperti penjelasan awal saya. Metode eksploitatif seperti itu ada batasnya. CoC sebenarnya mirip dengan RF Online, sama-sama punya konten PVP sebagai daya tarik utamanya dan sama-sama memajaki progress permainan kepada pemainnya. Karenanya, ketika game ini sedang ramai, developer pun cenderung lebih mudah untuk memonetisasi game terkait.

 

Tapi bagaimana ketika hype game-nya sudah mulai menurun? Apa yang terjadi saat Anda sudah level 50, tapi teman Anda berhenti bermain? Anda mungkin masih tetap bermain, tapi yaaa… Santai aja deh, toh enggak ada persaingan juga. Atau malah yang terburuk, ikut berhenti bermain. Kami juga sempat mengurai persoalan “pay-to-win” pada game free-to-play jika Anda ingin tahu lebih lanjut kenapa monetisasi dengan cara tersebut punya masalahnya tersendiri.

Karena itu, kehadiran esports secara tidak langsung telah membuka kesempatan bisnis baru bagi game developer. Bahkan bukan cuma membuka kesempatan bisnis baru, esports bahkan bisa memperpanjang usia dari sebuah game. Mengapa demikian? Pertama, game esports sebenarnya sudah punya keuntungan tersendiri dari aksesnya yang mudah dan ekonomis.

Seperti yang saya sebut sejak awal, game free-to-play bisa dimainkan secara gratis. Karena gratis, semua orang bisa memainkan game tersebut asal punya perangkat untuk memainkannya. Selain gratis, game free-to-play juga biasanya tidak butuh spesifikasi yang terlalu tinggi ketimbang game-game premium.

VALORANT sebagai contohnya. Rilis tahun 2020 lalu, VALORANT bahkan masih bisa berjalan dengan menggunakan GPU Intel HD yang merupakan bawaan dari prosesor. Tetapi pada sisi lain, FIFA 21 yang juga rilis tahun 2020 butuh GPU eksternal (sehingga butuh biaya tambahan) berupa GeForce GTX 660 dan Radeon HD 7850.

Dua game tersebut sama-sama jadi esports, tapi siapa yang lebih populer? Anda mungkin bisa menebak sendiri. Akses yang mudah (free-to-play dan kebutuhan spesifikasi hardware rendah) membuat sebuah game berpotensi menarik lebih banyak pemain ketimbang game dengan akses yang lebih sulit (berbayar dan kebutuhan spesifikasi hardware tinggi). Karenanya jumlah penonton game VALORANT terbanyak di Twitch sempat menyentuh angka 478 ribu sementara FIFA 21 hanya 82 ribu saja mengutip dari twitchtracker.com.

Akses yang mudah dan murah mengundang lebih banyak pemain. Pemain tersebut pelan-pelan diubah menjadi penonton, entah melalui streamer atau konten-konten video tips dan trik. Lalu dengan menghadirkan turnamen dan liga, penonton tersebut pun bisa dikomersialisasi dalam bentuk sponsorship, lisensi media, atau investasi-investasi lainnya dari pihak eksternal.

Dalam hal ini, lagi-lagi saya menggunakan Riot Games dan game League of Legends sebagai contoh. Kalau Anda mengikuti pemberitaan Hybrid, Anda bisa lihat sendiri sudah berapa banyak deal yang didapat Riot Games pada tahun 2020 kemarin hanya gara-gara esports saja. Mulai dari brand fashion seperti Louis Vuitton, AAPE, brand teknologi Cisco, sampai brand musik seperti Universal Studios dan Spotify. Semuanya hinggap ke Riot Games dan League of Legends gara-gara ada 44 juta orang yang menonton LoL World Championship di tahun 2019 lalu. Karenanya, jadi tidak heran kalau Riot Games memutuskan untuk membuat esports jadi salah satu pilar bisnis mereka ketimbang sekadar alat pemasaran saja.

Pencapaian Riot Games sedikit banyak menjadi bukti bahwa esports bisa menjadi salah satu model bisnis bagi publisher game free-to-play yang lebih berjangka panjang.

Model seperti League of Legends baru satu contoh. Dota 2 juga bisa menjadi contoh lain suksesnya game free-to-play berkat esports, walau dengan model yang sedikit berbeda. Valve menjual Battle Pass (berisi berbagai pernak pernik skin dan lain sebagainya) yang 25% dari penjualannya ditambahkan ke hadiah turnamen Dota 2 terakbar di dunia, The International (TI). Valve telah mengumpulkan US$40 juta dari The International Battle Pass tahun lalu cuma dengan 25% dari penjualan Battle Pass. Dengan 75% sisanya masuk ke kantong Valve, Anda bisa bayangkan sendiri berapa uang yang sudah dikumpulkan oleh sang publisher dari penjualan tersebut.

Menyediakan game secara gratis memang memberi keuntungan-keuntungan tersendiri saat publisher berusaha menjadikannya sebagai esports. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana esports memang merupakan sebuah ladang baru dengan potensi komersialisasi tinggi. Esports bisa digunakan untuk membangun minat pemain untuk membeli konten atau mengundang pihak eksternal untuk berinvestasi ke dalamnya.

 

Kenapa Model Lain Kurang Sukses Menjadi Esports yang Besar?

Pada kesempatan sebelumnya saya sudah membahas soal faktor-faktor yang membuat game kompetitif bisa sukses sebagai esports. Apabila Anda juga membaca artikel tersebut, Anda akan menemukan bahwa kemudahan akses menjadi salah satu faktornya.

Seperti yang saya sebut pada pembahasan di atas , game free-to-play memang cenderung lebih mudah mengumpulkan banyak orang. Selain game-nya gratis, developer game free-to-play juga berusaha membuat game-nya seringan mungkin agar bisa menarik perhatian orang sebanyak mungkin.

Pada sisi lain, model bisnis game berbayar atau subscription system mungkin punya fokus yang berbeda. Dari segi akses, kita juga sudah melihat perbandingan antara VALORANT dengan FIFA 21 pada penjelasan saya di bagian sebelumnya. Mau semudah apapun atau sesederhana apapun sebuah game, jumlah penggunanya akan tetap terbatas kepada seberapa tinggi entry barrier yang ditetapkan oleh sang developer ataupun publisher.

Semakin rendah harga dan kebutuhan spesifikasi perangkat yang dibutuhkan sebuah game, otomatis akan semakin besar dan luas potensi pasarnya. Semakin tinggi harga dan kebutuhan spesifikasi device yang dibutuhkan akan semakin sedikit dan sempit potensi pasarnya. Dalam konteks VALORANT vs FIFA 21, kita bisa lihat bahwa VALORANT gratis sementara FIFA 21 harganya Rp849.000. VALORANT bisa jalan tanpa GPU eksternal sementara FIFA 21 butuh GPU eksternal.

BBC akan tampilkan konten turnamen FIFA 21 Eropa.
FIFA 21 juga memiliki turnamen esports, tetapi kesuksesannya tetap jadi terbatas karena harga gamenya yang kurang terjangkau dan kebutuhan spesifikasi PC yang lebih tinggi ketimbang game free-to-play.

Dalam hal beda haluan bisnis developer yang saya bicarakan tadi, salah satu contoh nyatanya bisa kita lihat dari posisi Nintendo terhadap esports Smash Bros. Komunitas Smash Bros sudah beberapa kali mengeluh ke Nintendo karena merasa sudah membesarkan game tersebut, namun tak jua mendapat sokongan dalam bentuk hadiah uang turnamen. Dalam satu kesempatan, Nintendo sempat mengatakan bahwa esports cuma salah satu dari berbagai macam event yang ingin dapat didukung oleh Nintendo. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan posisi Nintendo yang tidak punya keinginan untuk investasi lebih jauh di esports.

Kasus hubungan antara Nintendo dan komunitas esports Super Smash Bros menjadi contoh, bahwa walaupun esports sedang besar dan digembar-gemborkan, belum tentu juga semua developer ingin ke sana. Apalagi developer yang sedari awal sudah sukses dengan model game berbayar. Menurut opini saya, dalam konteks Nintendo, bisa saja mereka sudah nyaman dengan pendapatan yang didapat dari penjualan game Super Smash Bros. Lalu, kenapa harus pusing-pusing lagi memikirkan esports?

Sumber: Time
Shuntaro Furukawa, presiden Nintendo yang pernah menyatakan pendapatnya soal esports Super Smash Bros. Sumber: Time

Sementara pada sisi lain, developer yang menyajikan game secara gratis harus putar otak agar tetap bertahan hidup. Menjual skin jadi salah satu sumber pemasukan pasti, tapi apakah dengan menjual skin saja bisa mencukupi biaya operasi sebuah game? Riot Games mungkin bisa saja menggunakan metode monetisasi yang eksploitatif pada League of Legends. Misal, Champion baru hanya terbuka apabila akun Anda mencapai level tertentu. Apabila Anda membayar, Anda bisa lebih cepat menaikkan level akun Anda. Tapi pertanyaanya, apakah model seperti itu adalah model yang sehat dan bisa bertahan untuk jangka panjang?

Memang, esports butuh investasi besar dan belum tentu juga menguntungkan pada akhirnya. Tetapi apabila diasuh dengan tepat, efeknya seperti apa yang kita lihat seperti ini. Karenanya CEO Riot Games Nicolo Laurent sempat berkata bahwa esports tidak lagi bisa dilihat sebagai alat marketing, melainkan sebagai sebuah bisnis. Setelahnya Nicolo juga menambahkan, “kami ingin memastikan semua orang memiliki impian untuk diraih.” Dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung kita juga bisa melihat bagaimana esports punya dampak ekonomi yang lebih luas ketimbang sekadar menjual micro-transactions saja.

 

Penutup

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana menjadi model free-to-play memang memberi keuntungan tersendiri bagi developer saat berniat menjadikan game tersebut menjadi esports. Di luar dari itu, esports juga memberikan ragam keuntungan menarik kepada developer game terkait. Mulai dari membangun minat pemain, memperpanjang usia sebuah game, sampai memberikan keuntungan-keuntungan finansial yang didapatkan dari komersialisasi liga esports.

Lalu kalau pertanyaannya dibalik, apakah game gratis harus selalu dijadikan esports? Jawabannya tentu tergantung fokus bagi sang publisher. Seperti yang saya jelaskan di atas, ada banyak metode-metode monetisasi bagi game free-to-play. Walaupun Clash of Clans sempat mengalami penurunan pendapatan, tapi toh game tersebut masih bertahan dengan metode yang sama sampai sekarang. Pada sisi lain, Riot Games yang sukses besar berkat esports juga masih menekankan tim mereka untuk membuat game yang bagus lebih dulu ketimbang terlalu “kebelet esports“.

Saya sendiri sebenarnya cukup setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun, inti dari esports adalah game-nya itu sendiri. Karenanya sebuah game harus bagus (aspek kreatif maupun teknis), balanced, dan diminati banyak orang terlebih dahulu sebelum jadi esports. Bukan dijadikan esports agar lebih diminati walau game-nya kurang bagus dari aspek kreatif maupun teknis ataupun kurang balanced.