5 Prinsip dalam Lean Startup

Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip lean startup, pahami terlebih dulu pengertian dari lean startup serta tujuan dan contohnya di artikel yang berjudul “Memahami Pengertian dari Lean Startup“.

Prinsip lean startup adalah melakukan pendekatan ilmiah dalam mendirikan dan mengelola startup yang memiliki keinginan untuk menyampaikan produk lebih cepat di tangan pelanggan tanpa membuang-buang waktu. Agar terhindar dari kesalahan hal serupa, menggunakan metode lean startup merupakan pilihan yang cocok. Namun untuk dapat menerapkan lean startup, sangat diperlukan pemahaman mengenai prinsip-prinsipnya terlebih dahulu. Nah, berikut penjelasan prinsip-prinsip lean startup:

1. Selalu Up-to-date

Amati, pebisnis ada di mana-mana. Betul, Anda perlu mengamati dan up-to-date mengenai pasar bisnis saat ini. Sehingga Anda bisa lebih aware dengan situasi dan membuat strategi dan metode bisnis yang lebih sederhana, praktis, dan tepat sasaran.

2. Kemampuan Manajemen yang Baik

Untuk mengembangkan startup dibutuhkan sebuah manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dari startup itu sendiri. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah startup salah satunya memastikan bagaimana pengelolaan keuangan berjalan dengan baik dan strategi pemasaran produk dijalankan dengan tepat. Dengan memiliki kemampuan manajemen yang baik, maka perusahaan mampu melakukan evaluasi dalam setiap strategi yang dilakukan.

3. Terus Berinovasi dan Evaluasi

Startup hadir bukan hanya untuk menghasilkan produk, uang atau melayani pelanggan. Startup ada untuk mempelajari bagaimana membuat sebuah bisnis yang kokoh dan berkelanjutan. Pengembangan bisnis bukan hanya perlu dilakukan tapi harus fokus pada kebutuhan konsumen dan dilakukan secara terus-menerus. Oleh karena itu, sangat penting mempelajari kebutuhan konsumen dan menciptakan produk yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

4. Fokus pada Inovasi

Agar bisnis startup dapat kokoh dan berkelanjutan, maka kemampuan inovasi dalam membuat produk sesuai feedback menjadi penentu keberhasilan sebuah bisnis startup. Maka dari itu, diperlukan pemahaman bagaimana mengukur progress, bagaimana mengatur langkah usaha selanjutnya, dan bagaimana memprioritaskan pekerjaan tertentu.

5. Menciptakan Produk Terbaik

Melakukan improvisasi pada produk, mengukur respons atau tanggapan pelanggan dan kemudian belajar bagaimana untuk pindah haluan atau melanjutkan sesuai waktu yang tepat. Caranya menggunakan data untuk memahami konsumen, lalu data tersebut digunakan untuk merancang produk yang akan dijual, setelah itu prototipe-nya dicoba ke konsumen untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan kebutuhan mereka atau belum.

Nah, gimana sudah paham tentang prinsip lean startup, belum? Dengan menerapkan metode lean startup ini, resiko kegagalan bisnis akan lebih minim, proses produksi lebih efisien, sehingga lebih fleksibel digunakan segala jenis bisnis startup. Maka dari itu, jika berencana membangun bisnis startup, metode lean startup sangat cocok untuk dicoba!

***

Disclosure: Artikel ini ditulis oleh Muhamad Dika Wahyudi

Memahami Pengertian dari Lean Startup

Startup selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan setiap waktu. Hal tersebut berkembang seiring banyaknya minat pebisnis yang ingin mengakselerasi usaha rintisannya. Namun untuk menjadi pebisnis yang berhasil, tentu bukan hal yang mudah. Pebisnis membutuhkan kerja keras, ketekunan, keuletan, kedisiplinan, dan tanggung jawab, agar mampu bertahan dan bersaing di tengah persaingan yang semakin ketat.

Salah satu metode yang cukup populer di kalangan pebisnis startup adalah lean startup. Apa itu lean startup? Apa tujuan dari lean startup? Bagaimana contohnya? 

Lean startup adalah suatu metode untuk mengembangkan bisnis dalam waktu yang singkat menyesuaikan kebutuhan target pasar dengan cara melibatkan pelanggan dalam pengembangannya. Mudahnya, dalam menerapkan lean startup, pebisnis berfokus terhadap pengembangan produk agar dapat segara dilakukan pengujian langsung dan mendapatkan feedback dari pelanggan. Jadi, perusahaan akan merilis contoh produk ke pelanggan dan meminta pendapat pelanggan mengenai produk tersebut.

Tujuan lean startup adalah untuk meminimalkan resiko saat mendirikan sebuah startup. Salah satu yang dapat meminimalkan risiko tersebut adalah dengan menciptakan produk yang sesuai dan disukai pelanggan. Maka dari itu, diperlukan konsistensi belajar hal baru saat proses pengembangan produk dan berani mengeksperimenkan produk tersebut dalam melakukan metode lean startup.

Contoh lean startup adalah perusahaan merilis produk kepada pelanggan dan meminta pendapat mereka mengenai produk tersebut. Jika produk tidak sesuai kebutuhan dan tidak memberikan kepuasan terhadap pelanggan, maka perusahaan agar segera mengetahui dan segara dibuatkan keputusan membuat produk baru atau hanya meningkatkannya saja. Brand terkenal seperti Dropbox hingga Wealthfront merupakan beberapa perusahaan sukses yang menerapkan metode lean startup.

Hal utama dari metode lean startup adalah mengembangkan produk baru sesuai dengan kebutuhan para pelanggan. Banyak sekali ditemukan kesalahan dari perusahaan startup adalah memulai bisnis dengan menemukan ide, lalu membuat produknya yang perusahaan pikir produk tersebut diinginkan oleh pelanggan. Alih-alih dapat memberikan kepuasan terhadap pelanggan, ternyata bisa saja produk tersebut tidak disukai. Hal tersebut menjadi pemicu bisnis tidak berakhir dengan baik, bahkan tidak sedikit perusahaan startup yang gagal karena produknya tidak disukai oleh pelanggan.

***

Disclosure: Artikel ini ditulis oleh Muhamad Dika Wahyudi

Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Pro dan Kontra Startup Melakukan “Stealth Mode”

Demi menjaga ide hingga model bisnis yang dimiliki saat ini, masih banyak pemilik startup yang merahasiakan startup mereka dan mengklaim dalam fase “stealth mode” demi menjaga kerahasiaan dan privasi. Meskipun terkesan eksklusif, namun pada akhirnya jika startup memilih untuk melakukan cara ini bakal mengganggu perkembangan hingga proses MVP (Minimum Viable Product) dari startup itu sendiri.

Artikel berikut ini akan membahas 5 efek negatif yang terjadi kepada startup jika memilih untuk “stealth mode“.

Membatasi kegiatan pemasaran dan promosi

Jika saat ini Anda terbilang baru dalam dunia startup dan bukanlah seorang serial entrepreneur atau tokoh yang berpengaruh (seperti Elon Musk atau Steve Jobs), ada baiknya untuk mulai mempromosikan startup Anda sejak awal. Dengan demikian kegiatan untuk melakukan perekrutan tim hingga bertemu dengan investor yang tepat bakal lebih terbuka jika kegiatan “stealth mode” di tinggalkan.

Menyulitkan proses MVP dan validasi

Fase “stealth mode” atau merahasiakan produk startup merupakan kebalikan dari proses yang paling banyak diterapkan oleh startup yaitu Lean Startup. Program tersebut justru mengajak pemilik startup untuk menerapkan MVP hingga proses validasi. Sehingga ketika satu model bisnis gagal, bisa segera di koreksi bahkan melakukan pivoting demi mendapatkan produk startup yang ideal.

Memilih untuk “stealth mode” justru membatasi startup untuk melakukan metode tersebut sehingga Anda tidak pernah tahu apakah produk yang dimiliki berfungsi dengan baik dan bakal disukai oleh target pasar.

Melindungi ide startup

Saat ini ketika ide serta model bisnis startup sudah semakin beragam akan menjadi sulit bagi startup untuk merahasiakan atau menutupi hal tersebut. Intinya adalah meskipun ide yang Anda miliki terbilang unik dan baru, bukan berarti akan sulit untuk di duplikasi oleh orang lain, sehingga Anda pun enggan untuk mengumumkan ide startup Anda. Jika Anda memiliki model bisnis hingga teknologi dan formula yang khusus, tentunya akan sulit untuk ditiru, untuk itu jangan pernah merasa takut ide bisnis akan dicuri oleh pesaing.

Mengklaim ide startup fantastis

Saat ini sudah banyak startup yang mengklaim memiliki ide yang “bisa merubah dunia” atau “membuat dunia lebih baik” semua hal tersebut akan menjadi percuma jika tidak dibuktikan dengan traksi hingga pendapatan yang telah Anda peroleh. Semua ide startup yang nampak fantastis belum tentu bakal menjadi “game changer” tanpa adanya bukti nyata.

Penerapan teknologi (advance/basic)

Salah satu kegiatan “stealth mode” yang dinilai sukses adalah, ketika Co-founder Adam Cheyer tengah mengembangkan produk Siri ke pasaran. Dengan menerapkan teknologi yang membutuhkan proses lama untuk pengembangan, merupakan hal yang wajar jika produk tersebut dirahasiakan terlebih dahulu. Namun jika startup Anda masih memanfaatkan teknologi dalam tahap awal dan belum memanfaatkan teknologi yang berat, ada baiknya untuk meninggalkan “stealth mode“.

Memperkenalkan DS Academy

Enggak bisa disangkal, kalau dulu pengen keren itu bikin band, sekarang itu bikin startup. Gengsi yang ditawarkan oleh kalimat ‘halo, saya seorang pendiri startup’ itu sekarang menjadi sebuah kebanggaan tersendirisampai-sampai banyak yang berebut mendirikan sesuatu berdasarkan ide yang mungkin saja belum matang, atau sebenarnya bukan sesuatu yang siap menjadi bisnis.

Untuk orang sudah berpengalaman di dunia korporat sekalipun, seluk-beluk dunia startup seperti menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, lengkap dengan bahasanya sendiri. Dengan cara menghitung keuangan yang memerlukan cara pandang fleksibel, tidak menggunakan template standar, dan harus cepat menyesuaikan dengan keperluan. Bahwa, untuk menjalankan startup itu esensinya adalah eksperimen, dan supaya eksperimen dapat berbuah hasil yang memajukan pembelajaran, cara bereksperimennya pun perlu terarah dan terstruktur.

Karena ini saya dan Rama, CEO DailySocial, berdiskusi dan sepakat untuk menjalankan sebuah eksperimen. Mendirikan dan menjalankan sebuah startup umumnya akan mengalami dua titik krusial: bagaimana mewujudkan ide menjadi sebuah proses bisnis, dan bagaimana menumbuhkan proses bisnis itu ke skala yang lebih besar (sebisa mungkin, secara cepat). Kami memilih untuk mencoba memfasilitas perwujudan ide, dan menjalankan program DS Academy.

Perjalanan karir saya sendiri cukup beragam soalnya. Lulus dari Desain, saya sempat berupaya mendirikan sebuah biro desain bersama dengan teman kuliah saya, tapi karena tidak tahu apa-apa soal membuat perusahaan, usaha ini kandas dengan sendirinya dan saya bekerja di dunia korporat selama 10 tahun, dengan mayoritas pengalaman di bidang musik dan digital. Saya terjun ke dunia startup dari tahun 2012, mengerjakan Ohdio.FM dan Wooz.in, lagi-lagi sambil tidak tahu apa-apa, dan baru mempelajari berbagai metode, istilah dan pola setelah menjalankannya sendiri beberapa tahun. Ini berakibat rugi waktu dan uang, dan beberapa kali salah langkah yang bisa dihindari. Meskipun begitu, menjadi founder merupakan pengalaman yang luar biasa dan saya ingin berbagi pengalaman tersebut ke teman-teman yang ingin menjadi founder.

DS Academy adalah program singkat yang akan berlangsung selama 2 minggu, yang akan memberikan peserta yang terpilih mengikuti, cara berpikir dan proses yang diperlukan dalam mengawali sebuah startup. Dalam usaha memastikan metode dan pola yang disampaikan dalam workshop ini mempunyai dampak, umumnya program ini akan dibagi dua sesi: sesi kelas dan sesi bekerja. Karena kalau seseorang ingin belajar main basket, tak cukup menonton pertandingan atau mendengarkan tips dari pemain berpengalaman, tapi harus mencoba sendiri, dan yang terpenting: berlatih secara terukur.

Program ini akan kami buka untuk pendiri startup yang sudah memiliki minimum viable product, supaya paling tidak sudah ada dasar bekerja. Startup yang dikerjakan kalau bisa tahap awal, maksimum baru mendapatkan seed funding, dan peserta yang mengikuti akan diminta membayar biaya komitmen sebesar Rp 250,000; yang akan dikembalikan sepenuhnya kalau peserta hadir dan mengikuti program secara penuh.

Materi dan metodologinya mengambil sebagian dari pendekatan lean startup, digabungkan dengan pengalaman saya sendiri dan Rama dalam mendirikan dan menjalankan startup masing-masing, maupun pendekatan yang saya gunakan dalam mengajar Music Business di SAE Indonesia. Kami mengundang beberapa fasilitator yang akan membagikan pengalaman praktisnya untuk tiap topik (nama-namanya sedang kami konfirmasi lagi semuanya dan akan diumumkan segera), dan tiap topik akan disertai latihan atau tugas dengan objektif jelas.

Gelombang pertama ini akan kami buka untuk 12 orang pendiri startup, yang akan kami pilih dari pendaftaran yang masuk. Kelas akan dimulai Senin, 5 Juni 2017, dari jam 10 pagi, dan selesai paling sore jam 3 sampai Jumat, 16 Juni 2017 (tidak termasuk akhir pekan). Tidak ada ‘demo day’ karena objektifnya belajar dan latihan, dan setiap peserta akan mendapatkan e-certificate. Tidak ada pembicaraan soal saham karena ini bukan inkubator atau akselerator startup, karena penekanan kami adalah pembelajaran metode. Pada akhir program ini, peserta diharapkan sudah mengerti proses dari awal: pencarian ide, produk, marketing hingga fundraising.

 

 

[Simply Business] Cerita Groupie Bertemu Sang Idola

Artikel ini adalah bagian pertama dari rangkaian artikel yang ditulis dari pengalaman bertemu dengan seorang dewa dunia startup: Steve Blank

Minggu lalu saya dan beberapa teman mendapat kesempatan langka untuk bertemu dengan Steve Blank. Untuk yang belum pernah mendengar tentang Steve, saya beberapa kali menyebut namanya di artikel-artikel saya sebelumnya. Bisa dibayangkan, betapa besar pengaruh pemikirannya pada saya dan bagaimana saya memandang proses memulai bisnis. Membaca blognya saja sudah sangat membuka pikiran (silakan klik tautan di atas), apalagi buku-bukunya.

Continue reading [Simply Business] Cerita Groupie Bertemu Sang Idola

Telkom Perluas Program Inkubator Dengan Meresmikan Jogja Digital Valley

Setelah mendirikan Bandung Digital Valley (BDV) pada tahun 2011 sebagai pusat inkubator dan akselerator bagi startup yang berlokasi di Bandung, Telkom hari ini (Rabu 21/8) meresmikan Jogja Digital Valley (JDV), yang berlokasi di Jalan Kartini no. 7, Yogyakarta. JDV diresmikan langsung oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X dan dihadiri oleh Direktur Utama Telkom, Arief Yahya, Direktur Innovation Strategic & Indra Utoyo, dan tak ketinggalan, Direktur Enterprise Muhammad Awaluddin.

(null)

Boneka Takita Optimalkan Kecerdasan Majemuk Anak Lewat Media Online

Berbicara tentang pendidikan anak tidak bisa sebatas sekolah. Pendidikan sejatinya mencakup segala aspek kecerdasan dan merangsang seluruh perkembangan anak, sehingga sang anak bisa menemukan dirinya dan nantinya dapat berkembang menjadi individu berkarakter serta sukses dalam bidangnya.
Continue reading Boneka Takita Optimalkan Kecerdasan Majemuk Anak Lewat Media Online

[Manic Monday] The “New” Music Industry Needs You!

Last week I had the chance to participate in the Lean Startup Machine workshop in Singapore, with fellow contributor Dondi Hananto, who has written about his experiences in the workshop. In summary, the workshop was a valuable experience, which I would recommend to anyone who wants to build their own startup, wants to study a “quick” way of customer development, or wants to get a different perspective on how to build businesses. Of course, the LSM approach is only one of many ways in building a business. But I hope, for those of you who want to get into the startup scene, that you will think of how to build a business, and not just a program or application.

Continue reading [Manic Monday] The “New” Music Industry Needs You!

[Manic Monday] Industri Musik “Baru” Membutuhkan Anda!

Minggu lalu saya berkesempatan untuk mengikuti workshop Lean Startup Machine di Singapura, bersama dengan rekan kontributor Dondi Hananto, yang sudah menuangkan pengalaman dia di workshop tersebut. Singkat kata, workshop tersebut merupakan pengalaman yang cukup berharga, yang saya rekomendasikan pada siapapun yang sedang ingin membangun startup sendiri, ingin mempelajari “cara cepat” untuk customer development, atau ingin mendapatkan perspektif lain mengenai membangun bisnis. Tentunya, metode LSM ini hanyalah satu pendekatan yang bisa diambil untuk membangun sebuah bisnis. Tapi saya harap, buat yang ingin terjun ke dunia startup, pikirkan bahwa yang dibangun adalah sebuah bisnis, bukan hanya sebuah program atau aplikasi.

(null)