Arah Industri Startup Asia Tenggara di Bidang Finansial, Pendidikan, Kesehatan dan AI (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya (Bagian 1) kami telah membahas tentang bagaimana dua lanskap kategori startup sati ini berkembang di Asia Tenggara, yakni fintech dan AI. Selain dua kategori startup tersebut –masih menyimpulkan dari sesi Future Stage di Echelon Asia Summit di Singapura—ada dua kategori lain yang dinilai tengah dalam fase hot, yakni Edtech dan Healthtech. Di Indonesia pun startup di segmen tersebut sudah bermunculan, bahkan beberapa bertumbangan, baik yang mengerjakan di sektor B2C ataupun B2B.

Menarik, saat ada yang bisa bertahan dengan proses bisnis yang dimiliki dan beberapa lainnya harus gulung tikar –minimal pivot ke proses lain. Kendati terlihat memiliki pangsa pasar yang besar, namun membutuhkan effort lebih untuk menggeser cara-cara yang sudah ada. Tidak hanya di Indonesia, permasalahan tersebut juga tengah menjadi tantangan yang ingin dipecahkan para startup di Asia Tenggara secara umum.

Healthtech: Masih banyak tantangan sekaligus jalan untuk menjadi “disruptive”

Salah satu sesi dalam Future Stage membahas seputar “Disruptive Innovation For Better Healthcare”. Dalam diskusi panel ini dihadirkan tiga pemateri yang terdiri dari Nawal Roy (Founder & CEO Holmusk), Julien de Salaberry (Co-founder Galen Growth Asia) dan Gillian Tee (Co-founder & CEO Homage).

Salah satu poin yang awal disinggung dalam diskusi panel tersebut terkait dengan intensitas pendanaan. Jika dibanding dengan yang lain, terlebih fintech, sektor healthtech memang masih jauh. Kategori startup ini lebih minim pendanaan, pun demikian dalam hype-nya di lanskap startup secara umum.

Poin menarik tentang potensi adalah saat ini para pemain di sektor kesehatan tentang mematangkan posisinya, untuk masuk secara mendalam dari unsur teknologi perangkat keras pendukung (dukungan IoT) atau perangkat lunak (khususnya analisis data).

Sesi diskusi panel pembahasan tentang tren startup kesehatan / DailySocial - Randi Eka

Terdapat salah satu pernyataan Nawal Roy yang menjadi sebuah keniscayaan. Saat startup bermain di bidang kesehatan –jika melihat yang ada sekarang—konsentrasi mereka justru belum pada misi kesehatan secara intensif, misalnya startup yang menyerukan penyembuhan diabates, sangat sedikit yang menawarkan solusi langsung terhadap penyelesaian masalah, beberapa startup bahkan hanya memanfaatkan tren untuk pemasaran semata.

Roy turut mengungkapkan bahwa inovasi tetap menjadi fokus, namun para pemula di bidang ini justru lebih suka bergelut di masalah seputar ekonomi (khususnya makro) yang berhubungan dengan kesehatan.

Terkait dengan potensi di waktu sekarang ini, Gillian Tee lebih suka melihat startup hadir sebagai tech-enabler dalam lanskap bisnis kesehatan dan juga pengelolaan data. Tak mudah memang mendapatkan akses ke data kesehatan, namun di sana terdapat banyak hal yang bisa dilakukan. Ia juga menceritakan, bahwa memahami apa yang benar-benar dibutuhkan klien menjadi hal yang sangat krusial.

Untuk itu startup yang ia gawangi, Homade, mencurahkan tahun pertamanya untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang dibutuhkan. Selain tim teknis non kesehatan, saat ini Homeage memiliki tim operasi klinis dengan spesifikasi masing-masing berpengalaman minimal 11 tahun.

“Di lapangan ini bukan hanya tentang implementasi IoT atau teknologi lain pada permasalahan (kesehatan), tapi benar-benar tentang memahami bagaimana teknologi berdampak menjadi enabler,” ujar Gillian.

Mencoba melihat dari sudut padang investor, Julien Salaberry mengatakan untuk lanskap kesehatan saat ini masih banyak pertanyaan “membingungkan”. Baik terkait dengan solusi teknologi yang digunakan ataupun pada dampak inovasi yang digarap dengan penanganan kesehatan itu sendiri. Misalnya saat membicarakan tentang bioteknologi, pertanyaannya pasti berujung pada bagaimana strategi membawa konsep tersebut ke dalam industri.

Jika melihat dari tren yang ada di Indonesia, healthtech kebanyakan mencoba memfasilitasi –baik untuk paramedis maupun konsumen—dalam bentuk layanan yang menghubungkan atau menjadi asisten virtual. Artinya apa yang dilakukan belum bisa dikatakan benar-benar “mengganggu” industri kesehatan secara umum, karena penopang dalam proses bisnisnya masih di industri yang sudah ada.

Sama seperti pada kategori lainnya, bisa jadi juga ini berkaitan dengan penerimaan calon konsumen yang ditargetkan. Secara kasat mata sangat terlihat, jika bidang kesehatan mungkin banyak konsumen yang memilih tidak untuk “bertaruh”, dalam artian mencoba hal yang baru pun ragu. Karena tingkat risikonya yang tinggi.

Namun apa pun itu, para pemateri dalam panel meyakini bahwa teknologi tetap menjadi jembatan paling penting dalam menggerakkan industri kesehatan, untuk terciptanya solusi inovatif nan efisien, dalam waktu cepat atau lambat.

Edtech: Peta layanan dan arah pertumbuhan yang semakin jelas

Tentang lanskap pendidikan, Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham menyampaikan banyak hal dalam presentasinya. Salah satu yang menjadi titik poin, saat ini layanan dan produk berbasis edtech terdiri dari empat karakteristik utama, yakni (1) on-demand learning, (2) immersive experiences (3) direct to empolyers, dan (4) guidance by AI.

Poin pertama didasarkan pada tren pendidikan yang berangsur disampaikan melalui teknologi. Dicontohkan beberapa perguruan tinggi kini mulai mengadakan kuliah online, yang berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap efektivitas sistem pembelajaran jarak jauh.

Di Asia Tenggara menurut Pham tren ini juga mulai terjadi, bahkan di Indonesia. Memang, jika menilik beberapa startup seperti Ruangguru atau Kelase misalnya, mereka mampu menyuguhkan proses dan sistem pembelajaran melalui medium teknologi yang akrab dengan pengguna.

Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial - Wiku Baskoro
Founder & CEO Topica Edtech Group Tuan Pham saat menyampaikan presentasinya / DailySocial – Wiku Baskoro

Perkembangan teknologi modern juga berpengaruh di sektor ini, terutama berkaitan dengan bagaimana konten disampaikan. Contohnya tren Virtual Reality atau Augmented Reality yang mulai ramai digarap, tak lain menggunakan unsur edukasi sebagai konten primer yang disajikan.

Sementara itu kanal pembelajaran premium juga tetap menjadi bagian penting terhadap lanskap edtech. Pham mencontohkan bagaimana Udacity dan Pluralsight memiliki segmentasi yang membuat konten di dalamnya eksklusif bagi para pelanggan, didukung dengan keahlian sistem cerdas di dalamnya yang mampu memahami kebutuhan belajar penggunanya.

Diungkapkan juga pasar ini masih tergolong sangat terfragmentasi, kuncinya adalah pada “resolving the culture”. Apa yang dilakukan Topica Edtech Group salah satunya dengan menjalin kerja sama strategis dengan institusi pendidikan resmi. Bahkan menyesuaikan pembelajaran dengan standar yang dituntut oleh negara, dalam hal ini Tropica mempraktikkan di negara Vietnam dan Bangkok.

Edtech harus benar-benar menyesuaikan dengan pangsa pasar, pun demikian ketika startup akan melakukan ekspansi. Setiap negara bahkan kota memiliki diferensiasi yang tinggi. Mulai dari cakupan segmentasi pengguna, tatanan konten, platform sebagai medium hingga strategi distribusi.

Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial - Wiku Baskoro
Sesi diskusi panel membahas tentang Edtech / DailySocial – Wiku Baskoro

Ketika berbicara pada strategi monetisasi, Co-Founder & CTO Remind David Kopf menceritakan pengalamannya, bahwa diperlukan momen dan titik awal yang pas ketika mengarahkan platform pendidikan menjadi sesuatu berbayar. Apa yang ia lakukan bersama startupnya dalam bisnis model yang telah dirumuskan, selama tahun ke-1 sampai 3 fokus pada penjelajahan pangsa pasar, kemudian tahun ke-4 fokus pada growth dan baru melakukan monetisasi pada tahun ke-6.

Prosesnya pun harus disiasati dengan baik. Beberapa layanan tidak bisa dijual langsung, misalnya penyaji konten. Ketika tidak dapat dielaborasikan dengan institusi resmi seperti sekolah, maka model bisnisnya harus dijalankan setelah memiliki traksi yang kuat. Misal edX, dengan konten premium yang mereka miliki, monetisasi dilakukan dengan cara menjual sertifikat premium untuk setiap capaian belajar.

Kesimpulannya, edtech masih menyimpan sejuta potensial, perlakukannya yang harus menyesuaikan kultur pendidikan di cakupan wilayah pasarnya. Tidak semua strategi dapat berjalan baik, bahkan cenderung harus diberi perlakuan berbeda.

Dengan Halodoc 2.0, Go-Med dan Halodoc Menjadi Lebih Terintegrasi

Hari ini Halodoc mengumumkan secara resmi kehadiran Halodoc versi 2.0. Jika Anda mengakses menu Go-Med dari Go-Jek, menu pemesanan obat tidak lagi terdapat di dalam aplikasi. Anda akan dibawa ke aplikasi Halodoc atau disarankan mengunduh aplikasi tersebut jika belum memilikinya. Integrasi ini menjanjikan proses pemesanan dalam waktu 30 detik, tidak lagi puluhan menit seperti sebelumnya.

Proses “melepas” menu Go-Med ke aplikasi tersendiri mengingatkan kita dengan pengalaman yang sama ketika mengakses fitur-fitur Go-Life. Pihak Go-Jek dan Halodoc mengungkapkan keputusan ini didasari bahwa seharusnya kebutuhan kesehatan, yaitu pemesanan obat dan konsultasi dengan dokter, dilakukan di media yang sama.

Founder dan CEO Halodoc Jonathan Sudharta dalam acara media hari ini (16/5), menyebutkan langkah ini merupakan hasil pembelajaran pihaknya selama setahun terakhir. Mereka juga menghapus ketersediaan aplikasi Apotik Antar yang sebelumnya sempat hadir secara terpisah. Kini semuanya terpusat di satu aplikasi.

Jonathan menceritakan rahasia kecepatan pemesanan di aplikasi versi baru ini adalah simplifikasi sistem. Dulu setiap pemesanan memerlukan penawaran harga dari berbagai apotek dan diperlukan beberapa langkah untuk memastikan transaksi. Waktu rata-rata untuk setiap transaksi disebutkan mencapai lebih dari 40 menit karena harus menunggu konfirmasi dari apotek dan konfirmasi dari konsumen.

Halodoc 2.0 mencoba memangkas kerumitan sistem lama dengan memberlakukan sistem inventori apotek yang diklaim hampir akurat secara real time. Jika konsumen mencari sebuah obat sakit kepala merk tertentu, sistem secara otomatis akan mencari apotik terdekat yang memiliki inventori produk tersebut. Hal ini sejalan dengan tagline baru Halodoc, simplifying healthcare.

Karena menerapkan sistem baru, Halodoc harus back to basic. Mereka memperbarui kemitraan dengan apotik untuk memastikan keakuratan sistem inventorinya. Untuk itu mereka kembali mengerucutkan layanan ke Jabodetabek sebelum mengembangkan layanan ke kota-kota lain.

Adaptasi ke user experience baru

Perubahan ini tidak mudah. Ada beberapa hal yang “dikorbankan” di awal, seperti hilangnya dukungan pembayaran melalui Go-Pay dan konsumen diwajibkan kembali mengisi data pelanggan. Jika konsumen ingin membeli obat melalui Halodoc, platform sementara ini hanya mendukung pembayaran secara tunai. Keuntungannya saat ini platform membebaskan biaya antar.

Jonathan mengakui hal ini sebagai kerikil yang bakal diselesaikan di iterasi pengembangan selanjutnya. Menu lain yang bakal ditambahkan kembali adalah fitur Lab yang sedang disempurnakan.

Di versi awal, yang tersedia di Halodoc selain menu Pharmacy Delivery adalah Contact Doctor. Jonathan menyebutkan fitur ini kini menggunakan engine baru untuk meningkatkan kualitas percakapan melalui video dan suara.

“Untuk layanan Contact Doctor, saat ini sudah ada 19.000 dokter yang bisa diajak berdiskusi oleh pengguna kapanpun. Sementara untuk pharmacy delivery sudah ada 1000 apotek di berbagai wilayah di Indonesia yang bergabung dengan Halodoc,” ujar Jonathan.

Rencana pengembangan

Dalam jangka waktu dekat, selain pengalaman penggunaan yang lebih seamless dan integrasi metode pembayaran Go-Pay, Jonathan dan Go-Jek bakal mengembangkan Halodoc dan Go-Med agar kembali tersedia di semua kota tempat Go-Jek beroperasi.

Menanggapi solusi ini, pihak penyedia layanan apotek tidak menganggapnya sebagai ancaman. Direktur Eksekutif GP Farmasi dan Majelis Kehormatan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Darodjatun Sanusi mengungkapkan, “Keberadaan solusi digital seperti layanan dari Halodoc dan Go-Jek ini tidak hanya membantu masyarakat memperoleh kemutuhan medisnya dengan mudah dan aman, tetapi juga membantu apotek memperluas pasarnya. Jadi ini merupakan simbiosis mutualisme yang patut kita dorong.”

Application Information Will Show Up Here

 

Aplikasi Medika Mencoba Mudahkan Reservasi Praktik Dokter

Satu lagi startup layanan kesehatan hadir di Indonesia, kali ini digagas oleh PT Medika Cipta Digital. Layanan yang dikemas dalam aplikasi mobile Medika sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan aplikasi serupa. Pengguna bisa melakukan mengecek profil dokter, klinik, dan rumah sakit di kawasan Jabodetabek. Mereka juga bisa melakukan reservasi untuk mengunjungi dokter di rumah sakit yang telah bergabung dengan Medika.

 

”Kami melihat bagi masyarakat urban, mengantri berjam-jam untuk bertemu dengan dokter telah menjadi suatu momok tersediri. Untuk itu kami hadir memberikan solusi untuk mempermudah masyarakat dalam bertemu dan berkonsultasi dengan dokter,” kata Founder dan CEO PT Medika Cipta Digital Danang Firdaus.

Selain rumah sakit, Medika juga menyediakan informasi klinik kecantikan dan klinik gigi. Semua informasi tersebut dapat di akses dengan mudah melalui aplikasi. Untuk membantu pengguna mendapatkan informasi yang relevan seputar dunia kesehatan, tersedia juga blog khusus dalam aplikasi mobile Medika.

Komunikasi dua arah pasien dan pihak rumah sakit

Berbeda dengan layanan startup kesehatan lainnya yang mulai membolehkan komunikasi langsung antara dokter dan pasien melalui fitur chatting atau video call, di Medika fitur tersebut tidak tersedia. Meskipun demikian, para pengguna bisa memilih dokter berdasarkan keahlian dan spesialisasinya, mengetahui jadwal dokter, dan kisaran biaya pengobatan.

Melalui fitur Booking Doctor pasien bisa menentukan waktu periksa dan bertemu dokter pilihan. Di sisi lain, melalui aplikasi Medika Connect for Hospital & Clinic, pihak rumah sakit dan klinik bisa mengetahui informasi kedatangan pasien. Hal tersebut memudahkan pihak rumah sakit untuk memberitahu pasien apabila terjadi perubahan atau keterlambatan dokter.

Di awal peluncuran aplikasi mobile yang sudah tersedia untuk platform Android dan iOS, Medika belum memiliki rumah sakit, klinik kecantikan dan klinik gigi dalam jumlah banyak. Ke depannya, Medika berharap bisa menambah lebih banyak klinik dan rumah sakit Jakarta dalam basisdatanya, termasuk rumah sakit ibu dan anak (RSIA) dan Rumah Sakit Jantung.

Application Information Will Show Up Here

Roocare Siap Bantu Ibu Optimalkan Pertumbuhan Anak

Di Indonesia startup di sektor kesehatan mulai banyak sejak dua tahun terakhir. Beragam konsep yang ditawarkan. Meski popularitasnya belum menyamai sektor lain seperti on demand transportasi atau e-commerce. Perlahan tapi pasti sektor ini terus memunculkan ide-ide baru. Menyempurnakan yang sudah ada atau hadir dengan kolam-kolam yang lebih spesifik. Salah satu yang turut meramaikannya adalah Roocare. Startup yang dikembangkan oleh sekelompok dokter ini membawa konsep aplikasi untuk pemantauan kesehatan anak di bawah usia 6 tahun. Dengan target pengguna ibu-ibu di usia muda aplikasi ini diharapkan mampu memaksimalkan tumbuh kembang otak anak.

Aplikasi Roocare seperti banyak aplikasi kesehatan yang sudah ada menghadirkan kesempatan bagi para penggunanya untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan yang kredibel dan akurat karena informasi dan konten didapat dari dokter spesialis anak dan terkurasi di dalam aplikasi Roocare.

Selain informasi mengenai tumbuh kembang anak usia di bawah lima tahun aplikasi Roocare juga menyematkan fitur pemantauan tua deteksi dini masalah perkembangan otak anak. Dengan fitur ini diharapkan orang tua bisa lebih memperhatikan perkembangan anak-anak mereka.

“Sistem kami mengadaptasikan salah satu metodologi yang terbaik, yang dipakai oleh dokter spesialis anak di Indonesia maupun luar negeri. Aplikasi kami menjadi satu-satunya di Indonesia dengan fitur ini. Sistem ini akan menganalisis data yang dimasukkan orang tua (tanggal lahir anak, jenis kelamin, cukup bulan/prematur saat lahir) dan data dari testing page kami di mana orang tua akan dihadapkan dengan pertanyaan dan juga tantangan/permainan untuk anak,” ungkap salah satu anggota tim pengembang Roocare Bagas Marsudi.

Bagas melanjutkan dari data-data yang didapatkan sistem Roocare akan membuat sebuah report card yang di dalamnya mengandung beberapa aspek, seperti interpretasi medis, aspek perkembangan yang baik, aspek perkembangan yang mengalami keterlambatan, dan rekomendasi untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak. Sistem pakar yang digunakan oleh Roocare disebut telah mengandung unsur kecerdasan buatan yang bisa membuatnya dinamis sesuai dengan preferensi orang tua, dan juga kondisi spesifik masing-masing anak.

Saat ini, menurut Bagas, untuk terus memperkuat basis pengguna, Roocare pihaknya masih terus mengupayakan promosi melalui banyak cara. Mulai dari mengadakan tanya jawab interaktif melalui media sosial seperti Facebook sampai dengan melakukan pendekatan konvensional dengan hadir dan bertatap muka dengan komunitas-komunitas.

“[Saat ini] merangkul dan membantu sebanyak mungkin orang tua muda untuk menggunakan aplikasi roocare maupun berinteraksi pada media sosial. Kami juga ingin terus berinovasi, mengembangkan fitur – fitur lain sehingga kami ingin merekrut tenaga IT yang lebih banyak untuk bergabung dalam tim,” tutup Bagas.

Application Information Will Show Up Here

Alasan MDI Ventures Berinvestasi di Startup Layanan Kesehatan Singapura mClinica

Salah satu investor Indonesia yang turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan Seri A sebesar $6.3 juta kepada mClinica, startup layanan kesehatan asal Singapura, adalah MDI Ventures. Investasi tersebut selanjutnya bakal digunakan oleh mClinica untuk ekspansi secara global.

Kepada DailySocial, CEO MDI Nicko Widjaja mengungkapkan, pendekatan yang dilakukan kepada mClinica sudah terjadi jauh sebelum rencana penggalangan dana dilancarkan.

“Karena mClinica berada di bisnis kesehatan dan data, vertikal ini membutuhkan tingkat kepatuhan tertinggi terkait dengan hal-hal yang bisa menjadi sangat sensitif. Selama proses pengujian (diligence process), kami ingin memastikan bahwa semua aspek bisnis mereka sepenuhnya mematuhi peraturan, terutama karena peranan Unitus Impact yang berpartisipasi dalam putaran ini. Kita membahas banyak tentang bagaimana mClinica akan berdampak kepada masyarakat. Mengingat semua ini, saya percaya sekarang mClinica adalah salah satu startup layanan kesehatan yang paling sesuai di wilayah tersebut,” kata Nicko.

Investasi MDI Ventures kepada mClinica selanjutnya akan diselaraskan dengan layanan yang sudah ada di tanah air, terutama yang dihadirkan Telkom Indonesia. Layanan kesehatan di Indonesia yang berbasis digital saat ini juga telah menunjukkan pertumbuhan yang positif, sesuai dengan rencana MDI untuk mClinica.

“Selama ini Telkom Indonesia melalui Admedika dan Telkomedika telah menciptakan relasi yang baik dengan pemerintah demikian juga dengan industri kesehatan di seluruh Indonesia. Saya melihat layanan dan produk yang ditawarkan oleh mClinica bisa menjadi solusi yang tepat saat ini,” kata Nicko.

Model bisnis mClinica berupaya menciptakan skenario win-win solution bagi pihak-pihak yang terlibat dan mampu menciptakan efek jaringan yang kuat sehingga membuatnya mampu bertahan. Jumlah data dan informasi yang dihasilkan menjadi sangat berharga untuk ekosistem kesehatan (perusahaan farmasi, pemerintah, perusahaan asuransi, dan konsumen).

“Bersama kita bisa memperkenalkan model bisnis yang inovatif yang dapat memungkinkan untuk kesehatan dengan kualitas yang lebih baik sekaligus mengurangi beban ekosistem pendukung. Kami sangat antusias untuk mendukung perluasan pasar mClinica ke Indonesia dengan inovasi yang kami ciptakan untuk layanan kesehatan  di Indonesia,” kata Nicko.

Selain MDI Ventures, investor lain yang turut berpartisipasi dalam putaran kali ini adalah Unitus Impact, Global Innovation Fund, dan Endeavor Catalyst dari Amerika Serikat. Investor terdahulu, yaitu 500 Startups, IMJ Investment Partners, dan Kickstart Ventures, juga berpartisipasi dalam pendanaan kali ini.

Kepada DailySocial, Managing Partner Unitus Impact Beau Seil mengatakan, “Kami melihat mClinica sebagai perusahaan yang “mampu mengubah sistem” yang dapat mengubah wajah layanan kesehatan di negara berkembang. […] Menggunakan platform berbasis mobile yang simpel tapi canggih, mClinica menciptakan skenario “win-win” untuk perusahaan privat dan organisasi sektor publik yang mengantarkan obat-obatan yang dibutuhkan untuk ratusan juta — jika bukan miliaran — orang yang menjadi target pasar mClinica.”

Pasar Asia Tenggara mClinica

Saat ini mClinica telah beroperasi di pasar Asia Tenggara, seperti Indonesia, Vietnam dan Filipina. Melalui platform yang ada, mClinica memungkinkan perusahaan farmasi terkemuka, pemerintah, LSM, dan lembaga akademis multinasional untuk mendapatkan data yang sebelumnya tidak dapat diakses dan kemudian menjalankan program pasien yang langsung menyentuh populasi di tingkat farmasi setempat.

mClinica menawarkan solusi kepada Pemerintah untuk bisa dengan cepat menghasilkan dan memvisualisasikan data kesehatan secara real time untuk pengambilan keputusan dan merumuskan kebijakan. Tim ini akan terlibat dengan pemerintah yang ingin memanfaatkan data-driven tools untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di pasar negara berkembang.

“Di mClinica, kami menghubungkan farmasi terfragmentasi pada platform yang sama, menyediakan satu set terpadu data kesehatan global yang telah pernah dilakukan sebelumnya. Tujuan kami adalah untuk secara cepat mengubah ketersediaan dan kualitas data kesehatan secara global dalam hitungan bulan bukanlah dekade,” kata Founder dan CEO mClinica Farouk Meralli.

Kimia Farma Jajaki Penjualan Online, Bisnis E-Commerce Mulai Masuk di Segmen Spesifik

Kimia Farma melalui anak usahanya PT Kimia Farma Apotek merambah penjualan obat di ranah online dengan menghadirkan portal e-commerce kimiafarmaapotek.co.id. Perusahaan obat pelat merah tersebut kini sudah mulai mengoperasikan layanan online tersebut di wilayah Jabodetabek untuk varian produk obat bebas dan produk perawatan tubuh.

Kendati tidak mewajibkan adanya resep medis, penjualan lepas obat di layanan online ini akan disertai dengan menu konfirmasi dari apoteker. Sehingga pada penyampaian obat pengguna akan mendapatkan informasi mengenai gejala penyakit, manfaat dan aturan pemakaian obat yang dibeli tersebut.

Pembelian obat umumnya diperlukan dalam keadaan mendesak dan dibutuhkan cepat, untuk itu Kimia Farma Apotek menjalin kemitraan dengan layanan on-demand Go-Jek untuk jasa pengantaran obat ke alamat tujuan, tepatnya menggunakan layanan belanja Go-Mart.

Sebelumnya Go-Jek sendiri sudah memiliki layanan antar obat Go-Med, bekerja sama dengan HaloDoc/ApotikAntar.

Dengan inovasi ini diharapkan pada tahun 2017 layanan online menyumbang peningkatan penjualan mencapai 10% dari total keseluruhan untuk menumbuhkan bisnis hingga 21%. Sebelumnya pada tahun 2016 dibukukan penjualan obat mencapai Rp 3,1 triliun.

Potal e-commerce Kimia Farma Apotek, belum tersedia aplikasi mobile
Potal e-commerce Kimia Farma Apotek, belum tersedia aplikasi mobile

Layanan e-commerce di bidang medis penjualan obat

Daftar platform digital penyedia layanan kesehatan di Indonesia sudah sangat bertumbuh pesat. Sebelumnya dengan model bisnisnya masing-masing layanan seperti GoApotik, ApotikAntar, HaloDoc, dan Go-Med (dari Go-Jek) juga memberikan jasa yang sama dengan apa yang diberikan Kimia Farma. Layanan apotek lain seperti K-24 (K24klik.com) juga telah merilis model e-commerce, bahkan di Bali telah bekerja sama dengan startup on-demand Medi-Call untuk distribusi produk jualannya.

Dibandingkan dengan layanan yang menyajikan model marketplace produk obat seperti GoApotik atau ProSehat, Kimia Farma menjual obat yang diproduksi dan dikelola dalam tokonya sendiri, sedangkan layanan marketplace sebagai pengecer. Keuntungan lain Kimia Farma sudah memiliki apotek cabang di berbagai daerah, terlebih menggandeng Go-Jek sebagai jasa logistik, yang juga telah memiliki cakupan luas.

Artinya tantangan justru pada bagaimana akselerasi bisnis online ini digencarkan. Termasuk urgensi pengembangan aplikasi mobile guna memudahkan pemesanan. Dalam prototipe awalnya, Kimia Farma Apotek baru menyajikan kanal penjualan melalui media situs online.

Fragmentasi layanan e-commerce, makin spesifik dan diminati bisnis besar

Ambisi Kimia Farma Apotek dengan layanan onlinenya menambah panjang daftar korporasi atau bisnis yang mulai menjual produknya secara langsung melalui medium digital. Kendati layanan e-commerce dan online marketplace sudah semakin kuat dalam menata pangsa pasar, namun sektor jual-beli online ini masih terfragmentasi. Artinya masih memberikan banyak celah untuk berkembang, termasuk bagi bisnis tradisional untuk melakukan transformasi.

Tren ke depan layanan e-commerce makin spesifik. Kendati ada layanan yang menjual produk secara umum, situs online khusus dari setiap bisnis akan hadir. Lalu kompetisi akan berfokus pada layanan, logistik, kemudahan akses, logistik hingga harga yang ditawarkan. Karena pada akhirnya bisnis online juga akan menjadi hal yang umum, layaknya bisnis toko fisik yang saat ini ada di mana-mana.

Implikasinya saat bisnis melakukan transformasi perlu dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh. Membawa produk ke ranah online bukan semata-mata meletakkan pada platform e-commerce, karena di balik itu ada berbagai komponen bisnis pendukung yang harus digencarkan. Misalnya mengubah cara promosi lebih digital, mengembangkan kanal distribusi online hingga strategi pengelolaan logistik.

TeleCTG Suguhkan Alat Cardiotocography yang Lebih Murah dan Mudah

Banyak startup yang berawal dari sebuah ide mulia untuk memecahkan permasalahan di masyarakat dengan teknologi digital. Salah satu di antaranya adalah TeleCTG yang sempet mendapat kehormatan membuka perdagangan di Bursa Efek Indonesia.

TeleCTG adalah sebuah layanan yang menyajikan alat CTG (cardiotocography) yang dikemas dengan teknologi digital untuk mempermudah penggunaan dan distribusi dan memangkas harga beli. TeleCTG secara khusus memiliki visi agar menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia.

Salah satu yang menjadi perhatian khusus TeleCTG adalah angka kematian ibu dan anak di Indonesia yang tergolong tertingi di dunia. Hal ini disampaikan COO TeleCTG Abraham Auzan kepada DailSsocial. Menurutnya, salah satu permasalahan terdapat pada akses dan distribusi pelayanan kesehatan yang kurang merata. Distribusi alat CTG yang selama ini hanya terdapat di rumah sakit atau klinik tertentu.

Piloting TeleCTG / TeleCTG

Berlandaskan alasan tersebut, TeleCTG menghadirkan alat CTG yang lebih mudah dan terjangkau. Dikembangkan dengan mikrokontroller khusus dan terhubung dengan perangkat smartphone, TeleCTG mengubah alat CTG yang selama ini membutuhkan kemampuan khusus untuk membacanya menjadi alat yang mudah dan bisa digunakan oleh semua orang. Dilengkapi fitur integrasi, TeleCTG dirancang untuk memudahkan konsultasi para bidan desa dengan dokter-dokter di kota. Memangkas biaya, jarak, dan waktu.

Menurut Abraham, selain harga yang bisa sepuluh kali lebih murah dibanding alat CTG biasa, TeleCTG memiliki sejumlah keunggulan lain. Di antaranya ringkas atau portabel sehingga memudahkan untuk distribusi, pemakaian yang tidak rumit, dan integrasi atau connectivity. Dengan beberapa kelebihan tersebut diharapkan TeleCTG bisa digunakan oleh semua puskesmas, bidan, rumah sakit, dan klinik pribadi di seluruh Indonesia.

Rencananya TeleCTG akan diluncurkan tahun depan. Sejauh ini, selain terus menyempurnakan layanannya, TeleCTG juga tengah mengurus izin penggunaan alat ini ke Kementerian Kesehatan.

“Target tahun ini kita dapat menyelesaikan semua perizinan dengan Pihak [Ke]Menkes dan piloting di beberapa daerah yang memiliki angka kematian ibu dan anaknya tinggi. Dan kita sudah planning akan launching awal tahun depan,” tutup Abraham.

GoApotik Mudahkan Akses Obat-Obatan Secara On-Demand

Startup teknologi kesehatan merupakan salah satu ranah bisnis yang cukup banyak digeluti oleh pengusaha sebab banyak celah yang bisa diseriusi. Begitupula dengan GoApotik, salah satu marketplace yang menyediakan jasa pembelian, pencarian, bahkan pengantaran untuk obat, alat kesehatan, herbal, dan lainnya.

GoApotik sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2014, namun pada saat itu masih berupa ide dan analisis pasar. Layanan ini awalnya beroperasi dengan konsep bisnis e-commerce, tapi pada akhir 2015 melakukan pivot ke marketplace dengan alasan ingin menyediakan produk obat lebih beragam untuk kebutuhan pasien.

Tiffany Robyn Soetikno, Co-Founder dan GM GoApotik, menjelaskan ada beberapa pertimbangan mengapa pihaknya mengubah model bisnis. Menurutnya obat harus berasal dari apotek terpercaya, baik dari kepahamannya dan segi regulasinya, dan bisa dikirim dengan mudah secara logistik.

“Dulu produk obat yang kami jual terbatas, hanya bisa jual obat tanpa resep dokter. Sekarang dengan mengubah model bisnis, variasi produk bisa jadi lebih banyak, ada obat herbal, alat kesehatan, dan obat-obat tradisional Tiongkok,” terangnya kepada DailySocial, Selasa (11/10).

Secara total, ada tujuh kategori obat yang bisa dipilih oleh konsumen. Mulai dari obat, suplemen & vitamin, nutrisi, herbal & tradisional, produk bayi, alat kesehatan, dan perawatan & kecantikan. Selain itu, konsumen juga bisa mengunggah resep dokter secara online, dan melakukan pre-order.

Total produknya mencapai 8 ribu SKU dari 130 apotek independen yang tersebar di Jadetabek.

Seleksi apotek dengan ketat

Karena obat merupakan salah satu elemen penting menyangkut hajat hidup orang banyak, pihak GoApotik menerapkan sistem akuisisi merchant yang cukup ketat. Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui oleh pihak apotek sebelum resmi menjadi merchant.

Mulai dari apotik harus mengikuti regulasi yang berlaku di Indonesia, memiliki SKU yang lengkap dan memiliki spesifikasi keahlian produk SKU, kemudian ada proses due dilligence, dan ada PIC yang memiliki passion di dunia digital. Sementara ini, sasaran apotek yang disasar oleh GoApotik adalah apotek independen.

Armada GoApotik saat mengantar pesanan / DailySocial
Armada GoApotik saat mengantar pesanan / DailySocial

“Kami juga memberikan pengarahan ke merchant bagaimana berjualan obat secara online yang baik sebagai added value untuk mereka. Sebab setelah jadi mitra, bisnis ritel offline mereka tidak akan terganggu sama sekali, malah membantu memperluas pasar.”

Untuk proses pengiriman barang, akan dilakukan oleh kurir yang sudah disediakan oleh pihak GoApotik. Mereka bisa berasal dari internal perusahaan, ritel kurir, atau dari partnership.

“Ada standarisasi pengiriman dari kami. Jadi setelah konsumen membeli obat [melalui] GoApotik di salah satu merchant, kurir akan datang ke apotek tersebut dan melakukan pengiriman langsung ke tempat tujuan.”

Target jangka panjang GoApotik

Sementara ini, GoApotik memang baru melayani Jakarta Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun, Robyn mengungkapkan pada tiga tahun mendatang ditargetkan akan bisa melayani seluruh Indonesia dengan cara organik. Perusahaan akan secara perlahan mengembangkan bisnis dan memperluas wilayah dengan meningkatkan volume penjualan, pendapatan, output melalui usaha sendiri.

[Baca juga: Kumpulan Startup Lokal Indonesia yang Memudahkan Akses Kesehatan via Online]

Pergerakan bisnis yang masif akan dimulai tahun depan dengan menambah lokasi, meluncurkan aplikasi untuk smartphone, meresmikan situs untuk situs, dan melengkapi produk obat jadi semakin bervariasi. Pada akhir tahun ini ditargetkan jumlah merchant apotek yang bermitra dapat menembus angka 200 apotek.

Secara model bisnis, sudah ada beberapa startup kesehatan yang menyediakan jasa pembelian obat secara online, yang paling dekat adalah Apotik Antar yang juga bakal co-brand dengan Go-Jek menjadi Go-Med.

Peran Penting Teknologi dalam Industri Kesehatan

Teknologi kesehatan mulai banyak didiskusikan. Terutama untuk penerapan teknologi big data dan analisisnya. Teknologi big data dan analisis membuat sektor kesehatan memasuki tahapan baru, secara signifikan penerapan teknologi ini mengubah model baru perawatan pasien yang berpegang pada data pasien, tepatnya berfokus pada pasien. Hal ini menjadi hal baru, sekaligus membawa tantangan dalam industri kesahatan, utamanya dalam berbagi dan pengelolaan data.

Klinik, tempat praktek, hingga rumah sakit mulai menggunakan teknologi untuk membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan prima. Contoh teknologi yang terlibat adalah teknologi sederhana pencatatan digital hingga pengolahan data rekam medis lengkap dengan integrasi dan analisisnya.

Sama halnya dengan bisnis yang mulai menempatkan data sebagai aset penting, data pasien kini memasuki masa-masa krusial. Di era integrasi dan analisis menjadi penting, data pasien posisinya semakin krusial. Terutama untuk masalah kebocoran data atau privasi. Sesuatu yang menjadi hal paling mengancam untuk perkembangan teknologi di sektor kesehatan.

Titik rawan kebocoran tentu ada pada tahap integrasi. Integrasi ini perlu direncanakan dengan baik untuk menghindari data-data bocor. Terlebih jika menggunakan layanan cloud yang berarti harus memperhatikan dan mempertimbangkan layanan cloud yang tepercaya.

Integrasi data pasien menjadi hal penting yang coba dibangun industri kesehatan untuk bisa memastikan bagaimana pasien bisa mendapatkan pelayanan dengan data yang sama di mana pun mereka berobat atau berkonsultasi. Integrasi ini yang coba diperjuangkan tetapi juga harus tetap dalam perhitungan keamanan yang matang.

Di sisi lain, selain memutuskan untuk menempatkan strategi keamanan yang tepat untuk memastikan integrasi dan penggunaan teknologi di bidang kesehatan berjalan sesuai dengan yang diharapkan adalah dengan menempatkan orang-orang IT berkualitas yang paham, atau setidaknya mengenal industri kesehatan.

Para pegawai IT ini setidaknya bisa membantu proses pengelolaan teknologi seperti penyimpanan berbasis cloud, manajemen database, analisis sistem, data science, dan informasi kesehatan. Selain itu pegawai administrasi juga harus dilatih agar terampil dalam membaca, memahami data, dan mempresentasikan dari hasil analisis kepada dokter atau tenaga medis yang membutuhkan. Sebuah revolusi yang diharapkan mampu mengubah tatanan industri kesehatan ke arah yang lebih baik.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.

Aplikasi Booking Dokter Malaysia BookDoc dan Peluangnya Jika Berekspansi di Indonesia

Startup kesehatan di Indonesia kemungkinan akan kedatangan pemain baru asal Malaysia yakni BookDoc. Bila rencana mulus, akan masuk pada akhir tahun ini. Selain Indonesia, ada sejumlah negara lainnya yang tengah dibidik untuk BookDoc masuki, Cina, Taiwan, Vietnam, dan Filipina.

Sebagai gambaran, BookDoc didirikan oleh Dato’ Chevy Beh pada tahun lalu. Aplikasi ini menawarkan layanan reservasi dokter dan mencari penyedia fasilitas kesehatan terdekat. BookDoc kini sudah beroperasi di 17 kota yang tersebar di empat negara, yaitu Malaysia, Singapura, Hong Kong dan Thailand.

Dikutip dari pemberitaan, berbagai kerja sama strategis dengan berbagai korporasi dan institusi pemerintah di jalin oleh BookDoc untuk memudahkan penggunanya. Misalnya dengan Grab dan Uber, memudahkan pengguna untuk lebih cepat sampai di fasilitas kesehatan yang hendak dituju.

BookDoc baru-baru ini juga sudah menambah kerja sama dengan perusahaan transportasi udara AirAsia dan Agoda untuk pemesanan kamar hotel dengan fasilitas khusus pasien disabilitas. Mereka juga telah bermitra dengan berbagai fasilitas kesehatan dan asosiasi kesehatan di negara asalnya.

 

“Tujuan kami untuk meningkatkan akses pasien dalam mendapatkan layanan kesehatan, dapat menjangkau, dan membuat ekosistem healthcare di wilayah tersebut jadi lebih baik,” ujar Dato’ Chevy Beh, Founder BookDoc.

Didukung berbagai partner strategis membuat Beh berambisi ingin mentransformasikan BookDoc sebagai aplikasi kesehatan ternama di Asia dan dapat menyejajarkan diri dengan pemain digital lainnya seperti Amazon atau Alibaba.

Terhitung kini pengguna BookDoc mencapai 200 ribu orang. Selain mengincar pengguna individu, BookDoc juga memiliki platform khusus untuk karyawan perusahaan. Perusahaan dapat mengakses ke dashboard untuk membantu mengevaluasi kebutuhan medis dari tiap karyawan. BookDoc rencananya akan menambah satu layanan baru yakni FitBit, sebuah aplikasi dalam smartphone yang dapat berfungsi menjaga track record kesehatan pasien.

“Perusahaan kami tergolong masih muda dan baru saja memulai usaha. Masih banyak ide lainnya yang sudah masuk ke dalam pipeline bisnis,” pungkasnya.

Kondisi nantinya bila BookDoc masuk ke Indonesia

Dilihat dari gambaran bisnisnya, sudah ada beberapa pemain startup kesehatan lokal yang memiliki konsep bisnis yang hampir sama. Ambil contoh, Doktersiaga, Konsula, Lokadok, dan MedisMap.

[Baca juga:Daftar Startup Indonesia di Bidang Kesehatan]

Lalu, apakah kedatangan BookDoc ini bisa membawa ancaman bagi pemain lokal? Belum tentu, sebab semua tergantung penerapan strateginya. Seandainya BookDoc bisa membawa kemitraannya dengan Uber, Grab, AirAsia, dan Agoda, hal tersebut bisa menjadi game changer karena belum ada aplikasi teknologi kesehatan di Indonesia yang memikirkan solusi selengkap ini.

Meskipun demikian, tak bisa dinafikkan bahwa tiap negara memiliki kultur budaya yang berbeda, sehingga tidak bisa sembarang pendekatan bisa diterapkan. Pada akhirnya, diharapkan konsumen yang membutuhkan jasa kesehatan yang semakin mudah, terpadu, dan terjangkau, akan menjadi pihak yang paling diuntungkan.