Kompetisi Esports Candy Crush Digelar, Mineski Philippines Adakan Turnamen Dota 2 dan PUBG Mobile

Kebanyakan, game esports adalah game kompetitif dengan genre MOBA, FPS, atau battle royale. Namun, belakangan, mulai muncul kompetisi yang mengadu game kasual. Candy Crush menjadi game kasual terbaru yang memiliki turnamen esports. Selain itu, pada minggu lalu, Mineski Global mengungkap keberadaan Mineski Masters, seri turnamen yang mengadu Dota 2 dan PUBG Mobile. Sementara itu, LG Electronics bekerja sama dengan Evil Geniuses untuk mengadakan kompetisi esports bagi mahasiswa.

Mari Takahashi Jadi Salah Satu Pemilik Spacestation Gaming

Mari “AtomicMari” Takahashi resmi menjadi co-owner dari Spacestation Gaming (SSG). Bersama rekan bisnisnya, Peter Kitch, Takahashi akan bekerja sama dengan pendiri Spacestation, Shaun “Shonduras” McBride dan Spacestation Integrations Co-founder, Sean Holladay untuk mengembangkan SSG sebagai tim esports. Selain mendorong SSG untuk memenangkan lebih banyak kompetisi esports, Takahashi akan berkolaborasi dengan McBride untuk mengembangkan bagian komunitas dan kreator konten dari SSG.

Mari “AtomicMari” Takahashi. | Sumber: Spacestation Gaming

Takahashi dikenal sebagai salah satu pendiri SMOSH Games. Dia juga pernah masuk dalam daftar “Top Influencers in Gaming” versi Forbes pada 2017. Dia punya pengalaman lebih dari 10 tahun di berbagai bidang hiburan dan konten gaming. Dia bahkan pernah masuk dalam seri Survivor dari CBS. Sepanjang karirnya, dia pernah menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti Ericsson, Microsoft, dan Samsung, lapor Esports Insider.

Kompetisi Candy Crush Saga Bakal Digelar di Amerika Serikat

Setelah Stardew Valley, sekarang giliran Candy Crush yang dibawa ke ranah esports. Candy Crush memang merupakan game kasual. Namun, fakta itu tidak menghentikan Candy Crush All Stars U.S. untuk diselenggarakan. Sesuai namanya, Candy Crush All Stars U.S. bakal mempertemukan para pemain Candy Crush Saga terbaik di Amerika Serikat.

Candy Crush All Stars U.S. telah dimulai pada 23 September 2021 dan bisa diikuti oleh semua pemain Candy Crush di AS yang memiliki level setidaknya 25 di Candy Crush Saga. Pemain yang menang akan mendapatkan suplai Gold Bars selama satu tahun, menurut laporan Polygon. Khloé Kardashian akan menjadi host dari Candy Crush All Stars U.S. Dia akan memberikan komentar selama pertandingan berlangsung.

Mineski Philippines Adakan Kompetisi PUBG Mobile dan Dota 2

Minggu lalu, Mineski Global mengumumkan keberadaan seri turnamen esports baru yang akan berlangsung selama dua bulan. Diselenggarakan oleh Mineski Philippines, Mineski Masters merupakan seri turnamen yang terdiri dari kompetisi invitational untuk Dota 2 dan turnamen nasional untuk PUBG Mobile. Mineski Masters diadakan dengan dukungan perusahaan telekomunikasi Converge.

Kompetisi PUBG Mobile di Mineski Masters dinamai Battle of Ages: Forging New Realms. Turnamen itu bisa diikuti oleh 256 tim. Total hadiah yang ditawarkan adalah P500 ribu (sekitar Rp141 juta). Kompetisi tersebut akan dimulai dengan group stages, yang bakal digelar setiap akhir pekan pada Oktober 2021. Tim yang lolos dari group stage bakal maju ke babak Playoffs, yang diadakan pada 6-7 November dan 13-14 November 2021.

Mineski Masters bakal adakan kompetisi untuk Dota 2 dan PUBG Mobile. | Sumber: AFK Gaming

Sementara itu, Dota 2 Regional Invitational menawarkan total hadiah sebesar P1 juta (sekitar Rp281 juta). Turnamen ini akan diikuti oleh delapan tim profesional dari Asia Tenggara, empat di antaranya akan diisi oleh tim Filipina. Babak kualifikasi dari kompetisi regional itu akan digelar pada 21 dan 28 November 2021. Sementara sesi Playoff akan diadakan pada 2-5 Desember 2021, lapor ABS CBN.

Balapan Pertama Le Mans Virtual Series Diadakan di Sirkuit Monza

Daftar peserta untuk Le Mans Virtual Series, 4 Hours of Monza, telah diumumkan. Kompetisi sim racing itu akan diikuti oleh pembalap dan juga sim racer. Beberapa peserta yang akan ikut serta dalam balapan virtual tersebut antara lain pemenang 24 Hours of Le Mans Virtual tahun lalu, Louis Deletraz, pembalap Formula E, Sergio Sette Camara, mantan pemenang DTM Bruno Spengler, dan lain sebagainya. Balapan 4 Hours of Monza telah digelar pada pekan lalu, menggunakan platform rFactor 2.

Secara total, ada 38 pembalap yang beradu di 4 Hours of Monza. Sebanyak 21 pembalap bertanding di Le Mans Prototype 2 (LMP2). Sementara 17 pembalap lainnya akan bertanding di Le Mans Grand Touring Endurance (LMGTE), menurut laporan Motor1.

LG Electronics Gandeng Evil Geniuses untuk Adakan Kompetisi Tingkat Universitas

LG Electronics dan Evil Geniuses akan bekerja sama untuk menggelar Collegiate Showcase Series Invitational. Kompetisi itu ditujukan untuk universitas-universitas terbaik di bidang esports. Turnamen tersebut telah digelar pada 25-26 September 2021 dan disiarkan secara langsung di channel Twitch Evil Geniuses. Total hadiah dari turnamen Invitational ini adalah US$10 ribu (sekitar Rp143 juta).

Evil Geniuses dan LG Electonics gelar kompetisi di tingkat mahasiswa. | Sumber: LG Electronics

“Evil Geniuses percaya, kompetisi esports di tingkat mahasiswa punya peran penting dalam menyokong ekosistem esports,” kata Sabrina Wong, Culture Programme Specialist and Lead of the Genius League Collegiate Program, seperti dikutip dari Esports Insider, “Dengan Collegiate Showcase Series Invitational, kami dan LG berkomitmen untuk memberikan produk terbaik pada atlet esports di tingkat perkuliahan agar mereka bisa memberikan performa terbaik mereka di kompetisi.”

Sumber header: Polygon

Comparing the Olympics With Esports Tournaments: Which One Is More Profitable?

In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.

The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.

Preparation of the Olympics

Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics

In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.

As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.

As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.

This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.

As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.

Preparation of Esports Events

Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.

Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.

Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.

“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”

“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.

When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.

“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”

According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament: 

  1. Venues and mandatories
  2. Hard production and soft production
  3. Property
  4. Production equipment
  5. Hospitality
  6. Talents
  7. Internet and communication
  8. Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks

Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.

LAN Events. | Source: ESL Gaming

Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.

“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”

In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.

“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.

“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.

LOL Worlds 2020 will be held in Shanghai. | Source: LOL Esports

How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.

Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.

“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”

However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.

“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”

Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.

On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.

“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.

Olympic Viewership Trends and Esports Competitions

Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media. 

Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.

In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.

Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:

Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%

Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%

Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%

Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%

Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%

As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.

NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.

Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds. 

I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.

Watch hours, peak viewers, and average viewership numbers of TI and LOL Worlds. | Source: Esports Charts]

As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.

You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.

Viewership statistics of LOL Worlds 2020. | Source: Esports Charts
Viewership statistics of The International 2019. | Source: Esports Charts

Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.

Profitability

Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.

The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.

Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.

During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.

The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.

Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.

Olympic’s revenue from licensing. | Source: Statista

Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.

 

Olympic’s revenue from marketing. | Source: Statista

Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD. 

Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.

More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.

Athletes village in Turin. | Source: Olympics

Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words

In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.

“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”

The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.

So, are esports tournaments profitable?

In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports. 

When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”

In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”

BOOM Esports when they won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.

“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”

Conclusion

Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.

In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Yamaha Dukung EVOS Esports, Team Liquid Kolaborasi dengan Naruto Shippuden

Dalam satu minggu terakhir, ada beberapa kolaborasi dan sponsorship baru di ranah esports. Di Indonesia, EVOS Esports mengumumkan bahwa mereka kini mendapatkan dukungan dari Yamaha Generasi 125. Sementara di tingkat global, Bank Santader memutuskan untuk menjadi sponsor dari Liga Free Fire Brasil.  Team Liquid juga membuat koleksi pakaian baru bersama Naruto Shippuden.

EVOS Esports Kerja Sama dengan Yamaha Generasi 125

EVOS Esports punya sponsor baru, yaitu Yamaha Generasi 125. Julukan Generasi 125 diberikan pada para pengguna motor matic 125cc dari Yamaha, seperti FreeGo dan X-ride. Takeyama Hiroshi, Deputy Director Marketing, Yamaha Indonesia Motor Manufacturing mengungkap, mereka berharap kolaborasi mereka dengan EVOS akan bisa “meningkatkan semangat dan optimisme generasi muda Indonesia.”

Team Liquid Buat Koleksi Pakaian dengan Naruto Shippuden

Organisasi esports asal Amerika Utara, Team Liquid, baru saja mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Naruto Shippuden untuk membuat koleksi pakaian, termasuk hoodie, kaos lengan panjang, dan T-shirts. Kolaborasi antara Team Liquid dan Naruto Shippuden ini juga menandai ulang tahun ke-20 dari keduanya.

Salah satu kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dengan Naruto Shippuden.
Salah satu kaos hasil kolaborasi antara Team Liquid dengan Naruto Shippuden.

Fashion anime dan esports terus berubah dan kami sangat senang bisa menjadi bagian dari kolaborasi unik ini,” kata Alexander Lee, Senior Licensing manager, VIZ Media, seperti dikutip dari GameSpot. “Sama seperti fans kami, kami juga suka anime dan Naruto adalah salah satu franchise anime paling sukses sepanjang sejarah.”

Mineski Buat Kompetisi Wild Rift di Filipina

Mineski akan mengadakan kompetisi League of Legends: Wild Rift baru di Filipina. Kompetisi itu akan dibagi menjadi dua season dengan total hadiah PF10 juta (sekitar Rp2,9 miliar). Dalam satu season, semua tim yang bertanding akan dapat memperebutkan poin yang bisa ditukar dengan uang pada akhir season. Satu poin bernilai 1 Peso Filipina. Setiap season, terdapat 5 juta poin yang bisa diperebutkan oleh semua tim. Jadi, dalam 2 season, akan ada 10 juta poin yang bisa diperebutkan, lapor The Esports Observer.

Bank Santander Jadi Sponsor dari Liga Free Fire Brasil

Santander, salah satu bank terbesar di dunia, telah menandatangani kontrak sponsorship dengan Liga Free Fire Brasil (LBFF). Dengan ini, Santander menjadi rekan resmi LBFF. Merek dari bank itu akan tampil di siaran resmi LBFF di YouTube, platform BOOYAH! dari Garena, dan channel TV Brasil, Loading, menurut laporan The Esports Observer. Di Brasil, Free Fire dari Garena merupakan salah satu game esports paling populer. Saat ini, liga dari game battle royale itu telah memasuki season keempat.

Liga Free Fire di Brasil dapat dukungan dari Bank Santader. | Sumber: The Esports Observer
Liga Free Fire di Brasil dapat dukungan dari Bank Santader. | Sumber: The Esports Observer

AOC Kerja Sama dengan Red Bull Racing Esports

Red Bull Racing Esports mengumumkan bahwa AOC kini menjadi rekan monitor gaming mereka. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari perjanjian ini. Sebagai bagian dari kolaborasi ini, para sim drivers dari Red Bull Racing Esports menggunakan monitor AOC dalam sim racing rig mereka, lapor The Esports Observer. Tak hanya itu, mereka juga akan memberikan masukan pada AOC tentang bagaimana mereka bisa meningkatkan kualitas dari monitor gaming mereka. Sebagai bagian dari kerja sama ini, AOC juga akan menyediakan monitor di Red Bull Racing Arena, tempat latihan para sim driver yang terletak di Milton Keynes, Inggris.

Mineski Global Kerja Sama dengan VPGAME, Activision Blizzard Pecat Puluhan Karyawannya

Selama satu minggu terakhir, ada beberapa berita menarik di industri game dan esports. Sebagian merupakan kabar baik, sementara sebagian lainnya adalah kabar buruk. Di Asia Tenggara, Mineski Global mengumumkan kerja samanya dengan VPGAME dari Tiongkok. Sementara di tingkat Asia Pasifik, Activision Blizzard mengungkap, mereka akan merumahkan lebih dari 30 orang.

Bersama VPGAME, Mineski Global Ingin Kembangkan Skena Esports di Asia Tenggara

Minggu ini, Mineski Global mengumumkan kerja sama dengan platform esports Tiongkok, VPGAME. Melalui kolaborasi itu, keduanya akan menggabungkan sumber daya mereka untuk mengembangkan skena esports di Asia Tenggara. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kerja sama ini.

VPGAME akan menyediakan platform dan data marketing esports yang bisa digunakan oleh Mineski Global untuk mengiklankan turnamen esports tingkat regional mereka. Dengan kerja sama ini, Mineski Global dan VPGAME juga akan mengadakan turnamen esports bersama. Mineski Global akan fokus pada pengadaan turnamen lokal dan marketing, sementara VPGAME akan bertanggung jawab atas komunitas dan pembagian hadiah.

Melalui pengadaan turnamen-turnamen itu, VPGAME juga akan mengumpulkan kritik dan saran melalui aplikasi mereka. Dengan begitu, mereka akan bisa meningkatkan kualitas dari layanan, menurut laporan The Esports Observer.

Jalur 14, Seri Dokumenter tentang Industri Esports Malaysia Selama 14 Tahun

Pada akhir Agustus 2020 lalu, Netflix merilis seri TV dokumenter industri game, High Score. Sekarang, mungul seri TV dokumenter lain. Hanya saja, kali ini, dokumenter tersebut akan fokus untuk membahas industri esports di Malaysia selama 14 tahun belakangan.

Seri TV yang dinamai Jalur 14 ini akan menampilkan 14 orang yang tidak hanya berhasil membangun karir di industri esports, tapi juga membuat ekosistem esports Malaysia dikenal di dunia. Salah satu tokoh yang akan dibahas adalah Ng “YamateH” Wei Poong. Setelah sukses sebagai pemain Dota 2 profesional, dia mengunjungi Tun Abdullah Badawi, yang ketika itu menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia.

Jalur 14 akan menampilkan tokoh-tokoh penting di ekosistem esports Malaysia. | Sumber: IGN
Jalur 14 akan menampilkan tokoh-tokoh penting di ekosistem esports Malaysia. | Sumber: IGN

Tokoh lain yang akan tampil dalam Jalur 14 adalah Chai “Mushi” Yee Fung, yang berhasil membawa timnya menjadi juara 3 di The International 3 pada 2013 dan Dr. Yew Weng Kean, yang memenangkan medali emas dalam cabang olahraga esports Hearthstone di SEA Games 2019.

Jalur 14 juga akan menampilkan tokoh esports muda, seperti Mohd Fariz “Soloz” Zakaria, kreator konten yang berhasil mendapatkan dua juta follower di Facebook, Ahmad Fuad “Fredo” bin Razali, Andriyana “Chuchu Gaming” binti Mohamed Ghazali, dan lain sebagainya, lapor IGN.

Studi Oxford: Bermain Game Punya Dampak Positif ke Kesehatan Mental

Sebuah studi dari University of Oxford membuktikan, durasi yang orang-orang habiskan untuk bermain game memiliki dampak positif pada kesehatan mental mereka, walau dampak tersebut tak terlalu besar. Studi itu didasarkan pada survei pada lebih dari 6.500 pemain. Sebanyak 3.000 orang setuju untuk memberikan data telemetri mereka ketika mereka sedang bermain.

Survei tersebut fokus pada pengalaman para gamer ketika mereka memainkan game Plants vs Zombies: Battle for Neighborville dari Electronic Arts dan Animal Crossing: New Horizons dari Nintendo. Survei itu berlangsung selama dua minggu di bulan Agustus dan September 2020. Untuk mendukung studi ini, Nintendo dan EA memberikan data berupa berapa lama pemain bermain game. EA juga memberikan data ekstra seperti total damage ketika pemain bermain.

Plants vs Zombies: Battle for Neighborville.
Plants vs Zombies: Battle for Neighborville.

Setelah selesai bermain, para gamer akan diminta untuk mengisi survei. Dalam survei itu, pemain akan diminta untuk menyatakan setuju atau tidak setuju pada berbagai pernyataan seperti “Saya merasa kompeten saat memainkan PvZ” atau “Saya merasa menjadi lebih bebas saat memainkan Animal Crossing”, lapor GamesIndustry.

Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa para pemain yang bermain lebih lama memiliki kemungkinan lebih besar untuk merasakan emosi positif. Dalam studi itu tertulis, “Banyak orang takut bahwa bermain terlalu lama akan menyebabkan kecanduan dan merusak kesehatan mental seseorang. Namun, kami justru menemukan bahwa bermain game memberikan dampak positif pada kesehatan mental seseorang.”

Fnatic Kumpulkan Modal Lewat Crowdfunding

Fnatic dan perusahaan induk mereka, Sannpa Ltd. baru saja mengadakan crowdfunding di Crowdcubte untuk mengumpulkan modal. Mereka akan menjual 0,99% saham perusahaan demi mendapatkan modal sebesar setidaknya GBP 1 juta (sekitar Rp18,8 miliar), lapor The Esports Observer.

Masyarakat umum bisa mulai membeli saham Fnatic pada 19 November 2020. Namun, para investor yang telah mendaftarkan diri terlebih dulu bisa membeli sahan organisasi esports itu 24 jam sebelum waktu penjualan dimulai. Ketika kampanye pengumpulan dana ini dibuka untuk umum, Fnatic telah mengumpulkan GBP945 ribu (sekitar Rp17,8 miliar). Hanya dalam waktu 70 menit setelah penjualan saham dibuka untuk umum, Fnatic berhasil mencapai target minimal mereka.

Belum lama ini, Sannpa mengungkap strategi mereka dalam lima tahun ke depan. Mereka akan menggunaan dana dari crowdfunding ini untuk merealisasikan beberapa rencana jangka pendek mereka. Tujuan utama Fnatic saat ini adalah untuk mengembangkan merek dan fanbase mereka.

Queens Collective Gaming Resmi Diluncurkan

Queens Gaming Collective (QGC) resmi diluncurkan setelah mendapatkan kucuran dana sebesar US$1,5 juta (sekitar Rp21,3 miliiar). Ronde pendanaan itu dipimpin oleh BITKRAFT Ventures. QGC bertujuan untuk mendukung perempuan di industri esports, yang dianggap sebagai industri yang didominasi oleh pria. Mereka akan menyediakan segala sesuatu yang diperlukan oleh para pemain, kreator konten, dan streamer perempuan untuk membangun karir di dunia game dan esports.

Queens Collective Gaming ingin menyediakan kesempatan untuk pelaku industri game dan esports perempuan.
QGC ingin menyediakan kesempatan untuk pelaku industri game dan esports perempuan.

Sebagai perusahaan, QGC juga memiliki dewan penasehat yang terdiri dari para perempuan pemegang jabatan di Amazon, TikTok, Twitch, dan perusahaan besar lainnya. Atlet NBA Baron Davis akan menjadi salah satu ambassador dari QGC. Selain itu, mereka juga merekrut Karen Civil, seorang digital media marketing strategist.

“Queens akan mengubah industri game,” kata Alisa Jacobs, Co-founder dan CEO Queens Gaming Collective, seperti yang disebutkan oleh Esports Insider. “Gaming adalah gaya hidup. Dan Queens adalah gerakan global yang dibangun untuk dan dipimpin oleh para perempuan yang mengutamakan kerja sama serta ingin menampilkan representasi perempuan dan mencapai inklusi ekonomi.”

Activision Blizzard Bakal Pecat Puluhan Karyawan di Asia Pasifik

Activision Blizzard mengonfirmasi bahwa mereka akan kembali melakukan Pemutusah Hubungan Kerja (PHK) pada sebagian pekerja mereka. Kali ini, mereka akan memecat karyawannya yang ada di kawasan Asia Pasifik.

Kepada MCV, Activision Blizzard mengungkap, mereka akan merumahkan sekitar 30 pekerja. Mereka juga memastikan, orang-orang yang terkena PHK bukan berasal dari tim customer support dan pelokalan, seperti dikutip dari GamesIndustry. Di kawasan Asia Pasifik, Activision Blizzard memiliki kantor di Sydney, Shanghai, Seoul, Taiwan, dan Singapura.

Sebelum ini, Activision Blizzard juga telah menutup kantor di Versailles dan The Hague. Tak hanya itu, pada awal 2019, mereka memecat 800 orang, atau sekitar 8% dari total pekerja mereka ketika itu. Padahal, saat itu mereka mencetak rekor keuntungan terbesar.

Do We Need to Hold an Esports Tournament for Women?

Esports is now becoming increasingly popular. Not only that, but people are also starting to recognize esports as a sport. In fact, esports has been included in various prestigious sporting events, such as the Asian Games 2018 and SEA Games 2019. Rumour says that esports will also be included in the Olympics.

In traditional sports, most competitions are segregated by gender. One of the reasons is because physically, women and men are known to have different abilities. Knowing that when playing esports, the athletes “only” have to stare at the screen and move the mouse or touch the smartphone screen, you might think that there is no significant difference between men’s and women’s performance. However, is that really so?

 

Is Male and Female Performance Different?

When asked if there is a difference between the performance of female and male esports athletes, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports said, “in my opinion, the difference in mechanics is influenced by hormones. Balanced estrogen and progesterone in women are key to how the brain and emotions work.”

Estrogen is a sex hormone in women that is quite dominant. Indeed, men also have estrogen. It’s just that the level of estrogen in women is higher than men. The function of these hormones in women and men is also different. Same with the progesterone, women and men do have this hormone but in different levels and functions. In women, progesterone affects the menstrual cycle, pregnancy, and embryogenesis.

“These two hormones make it difficult for women to focus at certain times,” says Shena. “However, it could be solved with regular exercise and discipline. The proof is, at Bigetron, there is BTR Alice who is a member of Bigetron Red Aliens, PUBG Mobile division. ”

Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia
Bigetron Red Aliens. | via: Facebook PUBG Mobile Indonesia

Unfortunately, not all esports teams mix male and female players. This is due to several things, according to Kresna, Project Manager for Women Star League. One of them is because women might feel more comfortable playing with other women. Likewise, male players feel the same.

“Apart from that, there is also an assumption that the female players are not good at playing games,” said Kresna. “Yes, it’s a burden, it’s troublesome, and so on. That’s what makes men tend to create teams with male players too. “However, according to Kresna, this assumption is not correct. She believes that the existence of a women’s only esports tournament can help to erase this stigma.

Meanwhile, according to Herry Wijaya, Head of Operations Mineski Global Indonesia, nowadays, most female esports players are more interested in becoming influencers than being professional players. “If I can draw short conclusions without research, I see that female players don’t usually become pro players in the end. Even after winning esports tournaments for women, they usually become influencers,” he said. “I don’t see the ambition to shift the position of a well-known player in a big esports organization, like Rekt from EVOS for example.”

 

How Important Are Women Only Esports Tournaments?

According to Rezaly Surya Afhany, Esports Manager at Telkomsel and Head of Digital Games Product Management, women’s esports tournaments are essential to be held, both by publishers and by third parties. “My personal opinion is that the ecosystem in the game industry will grow organically and be much healthier if you pay attention to the needs of these lady gamers,” Rezaly said when contacted via text message. “One of them is through organizing a special women’s tournament.” He feels that currently, the number of esports tournaments for female gamers is lesser than for men, starting from grassroots to national level competitions.

The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram
The Prime Snaky is the winner of PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram

“Several major publishers in Indonesia have been developing women tournaments for a long time, such as the Princess Cup, the Arena of Valor tournament from Garena or PINC Ladies, the PUBG Mobile tournament from Tencent. Although, the tournament is still presented as part of an entertaining match, “said Rezaly. “In my opinion, slowly but surely, the market is already visible, both from the participating teams or viewership. As long as the tournament exists, these female pro players will try to form a solid team to participate. So, the quality of the matches is no less fierce than men’s esports matches. ”

Regarding ability, Kresna has another view. “In terms of skills, I think female players are not the same as the Mobile Legends Pro League team. Maybe, if the Mobile Legends Developmental League is still 50-50. But, compared to other teams outside those leagues, the ladies in the esports organization, their skills should be at the same level or higher,” he said.

Martin Yanuar, Manager of Belletron, has the same opinion as Kresna. “In our opinion, the skills of male and female players will not be the same. Because female players tend to find it more difficult to train full-time,” he said. “Unless the ladies tournament gives a prize equivalent to a public tournament worth hundreds of millions.”

Indeed, in terms of total prizes, women’s esports tournaments usually offer much smaller rewards than general ones. For example, PINC winners get a prize of IDR 180 million, while PINC Ladies winners only get IDR 10 million.

As part of an esports organization, Shena expressed her hope that in the future, esports tournament organizers will give prizes that are as big as general tournaments. “Although actually, this problem does not only occur in esports, but also in the world of sports,” he said. “Hopefully, in the future, esports tournaments can be more equal to gain more female players.”

Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
PINC prizepool | via: official site
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi
PINC Ladies prizepool | via: official site

Regarding the imbalance of tournament prizes between male and female competitions, for Rezaly, as long as the organizers and participants do not mind the total prizes given, then this should not be a problem. “The size of the prize is usually used to attract teams to participate in a tournament,” he said. “If all parties, namely organizers and participants agree to participate, then the size of the women’s tournament prize is no longer relevant as the only thing that must be pursued.”

Meanwhile, Rezaly was asked whether the small total prize pool for women’s esports tournaments is due to the low audience interest. He replied, “it could be that the lack of interest from the participants or the number of views made the organizers. Also, sponsors could be thinking hard before holding women’s tournaments because of low ROI (Return of Investment).”

 

The attraction of Women’s Esports Tournaments

Games and esports are domains that are synonymous with men. So, no wonder that most esports viewers are male. According to a study conducted by Interpret in 2019, 70% of esports viewers are male, while the remaining 30% are female. The good news is that the number of female esports fans continues to increase from year to year.

Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret
Source: Interpret

However, Herry said, the fact that most of the esports audience is male actually makes women’s esports tournaments popular. “Because most esports audience is male, viewership should be higher for female competition because there is an attraction from the opposite sex,” said Herry. Rezaly also said something similar. The male audience also likes to watch women’s tournaments, especially if there are players who are their idols.

Meanwhile, Kresna said, women-only tournaments were still able to attract audiences. “But, it is not as much as MPL or MDL, which has been running for a long time,” he said. “Probably because women’s tournaments tend to be newer, and not everyone knows.”

Herry said Mineski did have plans to create a special women’s tournament in the future. It’s just that the project may not be realized soon. The reason is, the current esports tournament schedule is already tight. If a new tournament appears, it is possible, this will actually destroy the balance that has been achieved in the current esports ecosystem in Indonesia.

“There are many things to think about if we want to create a new IP,” said Herry. “There are already many competitions. Messing up with the existing schedule is not good. Thus, we prefer to focus on existing tournaments by improving the quality of those tournaments.”

 

Why do the organizers hold a women’s esports tournament?

The Women Star League was held with two purposes Kresna explained. The first is to build an esports ecosystem for female players so that they can compete and have a career in the competitive gaming world like men. “So that the ladies won’t be underestimated and be able to show that they have the same skills as men,” he said.

“Second, by holding a women’s esports tournament, we want this to be a place where women can express their interests or talents in the world of esports and pursue their dreams,” said Kresna. “We want more female players in the tournament so that the women’s esports ecosystem in Indonesia becomes even more acknowledged.”

Just like Kresna, Rezaly said, the aim of organizers such as Dunia Games (which is under Telkomsel) to hold a women’s esports tournament is to develop the women’s esports ecosystem. This will ultimately make the esports industry even more valuable.

Tim ladies DG Esports. | Sumber: LINE
Ladies team of DG Esports. | Source: Dunia Games

“We believe that the women-only tournament will bring out many accomplished female gamers so that there will be more engagement, viewership, more contents, and more new job vacancies,” said Rezaly. “We want the women’s esports ecosystem to be developed, just like many other sports events, both at the national and global levels. There are actually special competitions for women in traditional sports events.”

However, Rome was not built overnight, just like the women’s esports ecosystem. To develop the women’s esports ecosystem to be equal to the esports scene for men is not easy these days. Herry estimates that the time needed to establish the women’s esports ecosystem will probably take around three years. With conditions, women’s esports tournaments are held regularly. Ideally, there should be two tournaments every year.

“In 2017, there were only two Mobile Legends teams that had a good performance, namely Saint Indo and Elite8 Esports,” he said. “However, now, MPL has eight teams with the same level of performance.” He believes that something similar can also happen to the women’s esports ecosystem.

 

Conclusion

Esports has developed drastically all around the world. Unfortunately, women are still a minority in the industry. Compared to the number of male players, female players are really minuscule. Not only that, women’s esports tournaments also usually offer smaller prizes. Fortunately, various parties are still interested in holding women’s esports tournaments.

The existence of a women’s esports tournament can be an arena for female gamers to show their abilities. Also, if the tournament is held regularly, it is possible that the women’s esports ecosystem development will be balanced like the men’s esports scene.

Feat Image via: Red Arrow Studio. The original article is in Indonesian, translated by @dwikaputra

Riot Games Kolaborasi dengan Youth Esports Program dari Mineski

Mineski Filipina bekerja sama dengan Philippine Collegiate Champions League untuk membuat Youth Esports Program (YEP). Sekarang, Riot Games Southeast Asia mengumumkan bahwa mereka akan menjalin kerja sama dengan YEP.

Melalui kolaborasi ini, YEP dan Riot Games SEA akan mengadakan workshop dan berbagai kegiatan untuk para maahasiswa, seperti turnamen Legends of Runeterra, card game dari Riot dan kompetisi untuk membuat konten Valorant, game first-person shooter yang Riot luncurkan awal Juni lalu. Selain itu, Youth Esports Program juga akan menjadikan Valorant sebagai salah satu game yang diadu dalam liga esports khusus mahasiswa yang mereka adakan.

riot mineski
Valorant adalah game terbaru dari Riot Games. | Sumber: EssentiallySports

“Bagi kami, Filipina adalah salah satu negara paling penting. Dan kami selalu kagum dengan semangat dan talenta dari komunitas esports di negara tersebut,” kata Chris Tran, Head of Esports for Riot Games Southeast Asia, Taiwan, Hong Kong and Macau, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami senang dapat bekerja sama dengan Youth Esports Program dan mendukung mereka dalam  mengembangkan bakat dari generasi muda untuk masuk ke dunia esports dan competitive gaming.”

Sementara itu, Marlon “Lon” Marcelo, Director of YEP berkata, “Kami menyambut kedatangan Riot dengan tangan terbuka. Kami memiliki tujuan yang sama, yaitu membuat esports semakin diakui sebagai olahraga di tingkat mahasiswa. Bersama, kami harap kami akan bisa membuat infrastruktur yang memadai sehingga para mahasiswa bisa mengejar mimpi mereka dalam industri esports dan gaming.”

Riot sukses mengembangkan League of Legends menjadi salah satu game esports paling berpengaruh di dunia. Sayangnya, di Indonesia, game itu justru kalah pamor dari game-game MOBA lain. Namun, Riot tampaknya tidak mau jatuh di lubang yang sama dengan Valorant. Pada awal Juni lalu, Riot menjelaskan tentang rencana mereka dalam mengembangkan ekosistem Valorant di Indonesia.

Sementara di tingkat Asia Tenggara, pada akhir Juni 2020, Riot telah mengumumkan dua turnamen Valorant, yaitu Valorant SEA Invitational dan Valorant Pacific Open. Melalui kerja sama dengan YEP, Riot berusaha untuk mengembangkan ekosistem Valorant amatir di Filipina. Melalui semua yang Riot lakukan, mereka tampaknya ingin memastikan bahwa ekosistem esports Valorant di Asia Tenggara bisa tumbuh dan berkembang.

Mogul dan Mineski Bangun Kerja Sama Strategis Untuk Pasar Asia Tenggara

Platform esports asal Australia, Mogul, mengumumkan kerja sama strategis dengan salah satu event organizer terbesar di Asia Tenggara, Mineski Global.

Kerja sama ini akan berjalan selama lima tahun, dan Mogul akan menjadi platform untuk rencana Mineski membuat turnamen berbasis kota di Asia Tenggara. Bukan hanya itu saja, Mineski juga akan mendistribusian Mogul ke iCafe yang milik Mineski di Asia Tenggara.

Terkait ini, Ronald Robins CEO Mineski Global mengatakan bahwa ia sangat semangat dengan jalinan kerja sama strategis ini. “Kami akan meluncurkan Branded Hub, yang menawarkan online tournament serta event di Asia Tenggara, serta mendistribusikan Mogul di gaming cafe milik Mineski. Mogul menawarkan cara baru yang menarik untuk berinteraksi dengan para fans dan khalayak kepada Mineski, begitu juga memberi cara baru untuk meningkatkan jumlah khalayak tersebut ke dalam skala global.”

Sumber: Mineski Official
Sumber: Mineski Official

Kerja sama ini akan membangun aliran pendapatan baru lewat paket langganan Mogul, yang dipasarkan lewat iCafe serat lewat kerja sama dengan berbagai rekanan lain yang ingin melakukan promosi lewat esports.

Lebih lanjut, Gernot Abl Managing Director Mogul juga turut memberikan pandangannya. “Kerja sama dengan Mineski membantu Mogul dekat dengan salah satu bisnis esports terbesar di SEA. Mogul dan Mineski akan bekerja sama dalam beberapa bulan ke depan untuk meluncurkan Mineski Branded Hub dan mempersiapkan aktivitas marketing kolaborasi.”

Persaingan platform esports sepertinya sedang menjadi tren baru di ekosistem esports Asia Tenggara. Indonesia sendiri saat ini bisa dibilang sedang berada dalam fase awal hal tersebut. Beberapa elemen ekosistem terlihat mulai berusaha membuat dan bersaing untuk mendapatkan kue terbesar di pasar platform esports.

Sumber: Mineski Official
Sumber: Mogul Esports Platform

Salah satu yang paling pertama mencoba menggarap pasar tersebut adalah Yamisok. Beberapa waktu lalu, Diana Tjong Co-Founder Yamisok Tech Indonesia sempat bercerita soal tantangannya menggarap pasar tersebut, yang salah satunya adalah soal sosialisasi manfaat kemudahan menggunakan platform turnamen. Pihak lain yang juga mencoba melakukannya adalah Telkomsel, lewat Dunia Games esports platform.

Mogul sendiri, belakangan, memang sedang gencar melakukan ekspansi secara global lewat strategi kerja sama dengan rekanan strategis di beberapa regional. Rekanan dengan Mineski memberi mereka pijakan yang kuat di regional Asia Tenggara.

Sumber: Esports Insider

Mineski Raih Gelar Juara di Kompetisi Dota 2 Red Bull Guardians 2018

Kompetisi Dota 2 Red Bull Guardians 2018 telah berlangsung pada tanggal 19 – 20 Oktober lalu dengan format pertandingan yang seru. Alih-alih mempertandingkan lima hero lawan lima hero, turnamen ini memperbolehkan tiap tim untuk memilih hingga delapan hero (lima hero utama dan tiga hero cadangan). Hasilnya adalah kemunculan strategi yang tak biasa, dan asyik untuk ditonton.

Sebagai turnamen bertipe invitational (undangan), Red Bull Guardians 2018 diikuti oleh tim dengan jumlah terbatas. Hanya empat tim yang tampil di kompetisi ini, yaitu Team Lithium (Eropa), ROOONS (Amerika Utara), paiN Gaming (Amerika Selatan), dan Mineski (Asia Tenggara). Ternyata, yang berhasil menjadi juara adalah Mineski.

Red Bull Guardians | Results
Rangkuman pertandingan Red Bull Guardians 2018 | Sumber: Red Bull Esports

Salah satu strategi yang mengantarkan Mineski menuju kemenangan adalah kombo kreatif antara Huskar dan Broodmother. Tip yang bermarkas di Filipina itu memanfaatkan Broodmother sebagai hero utama untuk memasang jaring-jaring di lane. Setelah itu, mereka mengganti Broodmother dengan Huskar yang punya daya serang lebih kuat. Efek map sight, free pathing (kemampuan menembus tembok), serta peningkatan regenerasi dan movement speed dari jaring-jaring Broodmother rupanya tetap terbawa, menjadikan Huskar sulit dihentikan.

Mineski mengalahkan paiN Gaming dengan strategi tersebut dan mendominasi Winners’ Bracket. Lucunya, strategi yang sama kemudian ditiru oleh paiN Gaming saat mereka bertanding melawan Team Lithium. Dan benar saja, Team Lithium harus menyerah kalah dari paiN Gaming.

Mineski dan paiN Gaming kembali berhadapan di babak Grand Final. Kali ini, kombinasi “curang” Huskar dan Broodmother tak lagi muncul. Mineski justru menciptakan kombo seram lainnya, yaitu kombinasi Necrophos dan Faceless Void. Jurus ultimate Necrophos yang disebut Reaper’s Scythe sangat berbahaya dalam permainan, bahkan hampir pasti menghasilkan satu kill. Setelah melancarkan Reaper’s Scythe, Mineski segera menggantinya dengan Faceless Void, dengan jurus ultimate yang tak kalah dahsyat yaitu Chronosphere.

Taktik dua ultimate berurutan itu membuat paiN Gaming ketar-ketir, karena tiap kali clash mereka bisa kehilangan dua hero dengan sangat cepat. Mineski akhirnya keluar sebagai juara dengan rekor tak terkalahkan, dan berhak membawa pulang hadiah senilai US$20.000. Kompetisi ini sekaligus juga merupakan gelar turnamen LAN pertama Mineski di musim 2018 – 2019. Anda bisa menyaksikan highlight babak Grand Final Red Bull Guardians 2018 dalam video di atas.

Sumber: GosuGamers, Red Bull Esports

Final Garuda Cup 2018 Akan Jadi Arena Bertempurnya 120 Gamer Pro

Memang masih ada banyak tantangan bagi industri eSport di tanah air, tapi semenjak pemerintah mengakui ranah ini melalui didirikannya IeSPA, perkembangannya berjalan lebih mulus. Turnamen-turnamen lokal bertambah banyak dan ada semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung bidang ini (meski mungkin gaming bukanlah fokus bisnis mereka). Publik juga kian paham tentang potensi eSport berkat ekspansinya di perangkat bergerak.

Di bulan April 2018 silam, Mineski dan tim MET Indonesia telah memulai kompetisi Garuda Cup 2018. Sesi kualifikasinya dilangsungkan beberapa kali secara online serta ‘offline‘, dan sebentar lagi, 120 kontenstan akan berlaga dalam babak final yang digelar di Mall Taman Anggrek pada tanggal 19 sampai 20 Mei 2018.

 

Sedikit meringkas yang telah terjadi sejauh ini:

Kualifikasi Garuda Cup 2018 dimulai pada tanggal 28 April kemarin. Tiga tim tersaring secara online dan lima tim mengamankan slot menuju final sesudah sukses melewati qualifier di Mineski Infinity Kemanggisan Jakarta. Seminggu setelahnya, di tanggal 5 Mei, kualifikasi dilaksanakan di Mineski Infinity Arena Maranatha Bandung. Dan dengannya, penyelenggara mendapatkan lagi tujuh skuat (empat kualifikasi online dan tiga offline).

Babak kualifikasi ketiga kembali diselenggarakan di Mineski Infinity Kemanggisan, kali ini hanya secara ‘tatap muka’. Dari sana, lima tim lain memperoleh kesempatan bertanding di putaran final.

Andi Monang selaku head of MET Indonesia memperkirakan akan ada ribuan pengunjung memadati lokasi turnamen buat menyakikan tim jagoannya bertanding di grand final. Para finalis ini akan menguji kemampuan mereka mengadapi dua juara turnamen sebelumnya, yaitu Aerowolf dan Louvre.

MET Indonesia menyiapkan hadiah total Rp 50 juta. Lalu empat tim terbaik akan mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam PUBG Southeast Asia Championship di Thailand. Selanjutnya, pemenang event tersebut akan diberikan tiket ke PUBG Global Invitation Berlin 2018, yakni ‘kejuaraan resmi’ pertama PlayerUnknown’s Battlegrounds dengan prize pool senilai US$ 2 juta.

Garuda Cup 1

Grand final Garuda Cup 2018 akan dimeriahkan oleh dua permainan: PlayerUnknown’s Battlegrounds dan Mobile Legends: Bang Bang. Masing-masing game terdiri dari 80 dan 40 pemain.

Tokopedia merupakan sponsor utama Garuda Cup 2018. Sang perusahaan eCommerce memutuskan buat mendukungnya karena mereka melihatnya sebagai bentuk inisiatif yang memacu kreativitas anak bangsa. Turnamen kelas nasional seperti ini dapat menjadi batu lompatan bagi individu-individu bertalenta untuk mewujudkan mimpinya berkiprah di kejuaraan internasional.

Selain Tokopedia, Asus juga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan Garuda Cup 2018. Perusahaan hardware asal Taiwan itu memfasilitasi arena eksibisi dengan perangkat Republic of Gamers dan smartphone ZenFone Max Pro M1. Selain itu, Asus berencana untuk memberikan empat tiket dan akomodasi buat para pemenang Garuda Cup menuju SEA Championship di bulan Juni 2018 nanti.

Garuda Cup 3

Jika kebetulan Anda tidak bisa datang ke lokasi acara, pertandingan-pertandingan di event tersebut dapat disaksikan secara live melalui Nimo TV -parner sekaligus platform resmi live stream Garuda Cup by Tokopedia Voucher Game. Layanan ini bisa diakses dari perangkat mobile, tersedia buat Android dan iDevice.