Xendit Rampungkan Pendanaan Seri D Senilai 4,3 Triliun Rupiah

Startup pengembang infrastruktur pembayaran Xendit mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri D senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital.

Dana segar ini menambah total pendanaan ekuitas yang berhasil dikumpulkan Xendit sejauh ini senilai $538 juta. Capaian ini diperkirakan melambungkan valuasi perusahaan hingga lebih dari $2 miliar Rupiah. Sebelumnya Xendit menutup pendanaan seri C senilai $150 juta pada September 2021 lalu, berhasil membawa mereka menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia.

“Melalui pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus berinvestasi di pasar-pasar baru, mengembangkan platform, dan memperluas lini bisnis agar bisa memaksimalkan peluang yang ada. Nilai ekonomi digital Asia Tenggara akan mencapai $360 miliar pada tahun 2025 dan kami percaya Xendit telah berada di posisi yang tepat untuk bisa berkontribusi dan meraih manfaat dari pertumbuhan tersebut,” sambut Co-founder & CEO Xendit Moses Lo.

Hadir menyajikan layanan utama berupa payment gateway, Xendit memudahkan startup dan UMKM untuk bisa memproses pembayaran digital dan meningkatkan skala bisnis mereka. Xendit konsisten melanjutkan performa positifnya, dengan peningkatan penjualan lebih dari 10% month-on-month semenjak diluncurkan tahun 2016.

Selama satu tahun terakhir, jumlah transaksi yang tahunan difasilitasi Xendit melonjak 3x lipat, dari 65 juta menjadi 200 juta dan meningkatkan total nilai pembayaran dari $6,5 miliar (setara dengan Rp95 triliun) menjadi $15 miliar (setara dengan Rp219 triliun). Saat ini sudah ada sekitar 3 ribu bisnis yang menjadi klien Xendit.

Penguatan strategi bisnis

Sejumlah pengembangan strategi dilakukan Xendit beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, mereka mengumumkan investasinya di Bank Sahabat Sampoerna serta menawarkan layanan banking-as-a-service (BaaS).

Pada bulan Maret lalu juga meluncurkan XENSClub, komunitas resmi penjual online Xendit yang memiliki banyak program edukatif untuk membantu anggotanya mengembangkan diri. Xendit juga melakukan investasi strategis di DragonPay, sebagai bagian dari ekspansinya ke Filipina.

“Xendit akan terus berekspansi ke wilayah baru  seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, di mana kami bisa mengidentifikasi kebutuhan pelaku usaha di sana dan memberikan solusi infrastruktur pembayaran yang tepat. Kami pun berencana untuk menghadirkan layanan yang lebih luas dan bervariasi, misalnya seperti program pinjaman yang telah kami jalankan di Indonesia,” imbuh Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya.

Untuk mendekatkan diri ke segmen UMKM, sejak tahun 2021 Xendit meluncurkan sejumlah inovasi produk. Di antaranya ada layanan SaaS untuk membantu pelaku usaha mengatur inventori produk; ada juga aplikasi bisnis “Online Store” untuk memfasilitasi kegiatan social commerce.

Kendati layanan fintech ini memiliki peluang besar di tengah digitalisasi bisnis yang kian masif, namun untuk memenangkan pasar sebuah platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat. Di layanan payment gateway, Xendit berhadapan langsung dengan sejumlah pemain. Di antaranya ada Midtrans yang saat ini berada di bawah naungan grup GoTo Financial. Ada juga DOKU, Xfers (bagian dari Fazz Financial Group), Faspay, Duitku, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here

Dibalik Status Unicorn Xendit, Moses Lo Fokus Membangun Fundamental Perusahaan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kerja menjadi salah satu pertimbangan besar ketika seseorang memutuskan untuk mengambil pekerjaan baru di satu perusahaan. Hal ini dipahami betul oleh Moses Lo, Pendiri dan CEO Xendit, saat dia bekerja untuk sebuah perusahaan, begitu pula ketika memulai sesuatu yang baru. Di Xendit, ia selalu memastikan bahwa fundamental organisasi bisa terpenuhi. Moses fokus membangun internal perusahaan agar dapat melayani pihak eksternal dengan lebih baik.

Moses mengawali bisnis ini dengan passion, ia bercita-cita menciptakan sesuatu yang bisa menggerakkan pasar untuk kurun waktu lebih dari 20 tahun. Ia  membangun gerbang pembayaran untuk menyederhanakan dan mengamankan transaksi bisnis. Dengan ide tersebut, Xendit menjadi startup Indonesia pertama yang diterima dalam program Y Combinator.

Sedari kecil, Moses sudah terpapar dunia teknologi. Beranjak dewasa, ia mulai tertarik pada hal-hal terkait keuangan dan perbankan, disandingkan dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi, sampailah ia ke dunia fintech. Ia berhasil lulus dengan gelar mahasiswa terbaik di jurusan commerce, manajemen sistem informasi, dan keuangan di University of New South Wales. Melanjutkan kisah bisnisnya, ia bergabung di Berkeley untuk mengambil gelar master bisnisnya. Moses juga memiliki pengalaman bekerja dengan dua perusahaan terbaik dunia, mengajarinya hal-hal penting untuk memasuki industri teknologi.

Pada tahun 2015, di usianya yang ke-27 tahun, Moses memulai Xendit. Sejak saat itu, perusahaan telah berkembang pesat. Pada tahun ini, Xendit berhasil tercatat sebagai salah satu unicorn di Indonesia. Infrastruktur Xendit juga telah banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara.

Berikut petikan diskusi kami dengan Moses Lo, orang nomor satu di Xendit, tentang visi dan pencapaiannya di industri teknologi.

Bagaimana awal mula Anda mengejar karir di industri teknologi?

Saya ingin terjun ke industri teknologi sejak berusia 13 atau 14 tahun. Hal ini semata-mata karena kebiasaan bermain game dan merakit komputer. Jadi, saya selalu ingin melakukan sesuatu yang berbau teknologi. Tumbuh dewasa, saya mulai tertarik dengan hal-hal terkait keuangan dan perbankan, lalu mengambil jurusan Sistem Informasi di Universitas, yang akhirnya membawa saya ke fintech. Setelah itu, saya sempat bekerja dengan Boston Consulting Group (BCG) dan Amazon untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk memulai perusahaan sendiri.

Seperti apa kehidupan Anda sebelum memulai Xendit?

Saya berasal dari keluarga pengusaha. Salah satu alasan saya bekerja di BCG adalah karena mereka pandai dalam mengajarkan keahlian-keahlian berbisnis yang baik. Mereka mengajari cara berpikir, cara menyajikan informasi dengan baik, cara berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih senior, dan jauh lebih penting dari saya. Itu adalah bekal yang sangat berguna.

Kemudian, saya juga sempat bekerja di Amazon untuk waktu yang singkat. Amazon, dibandingkan dengan perusahaan lain, bersaing sangat ketat untuk setiap pasar di mana mereka beroperasi. Mereka memenangkan e-commerce di AS, layanan cloud mereka tersebar di mana-mana. Pergerakan mereka sangat baik dalam ruang kompetitif ini dan saya ingin belajar di perusahaan yang sangat baik dalam hal berkompetisi. Dalam waktu yang singkat itu, saya juga belajar bagaimana membangun budaya startup yang scalable dan bagaimana membangun tim kohesif yang sangat efisien dalam menjalankan bisnis.

Xendit merupakan perusahaan pertama Anda yang mendapat dukungan pemodal ventura. Seperti apa ide awal Xendit?

Ketika kami memulai Xendit, saya melihat beberapa hal yang terjadi di negara lain. Terdapatcelah sejarah di mana perusahaan yang telah berkembang akan menentukan teknologi dan bisnis untuk 15 hingga 20 tahun ke depan. Mereka menetapkan aturan tentang cara kerja teknologi. Oleh karena itu, saya ingin pulang dan membangun infrastruktur serta menetapkan aturan dengan cara yang baik untuk Indonesia dan Asia Tenggara selama 20 tahun ke depan.

Ini benar-benar hal yang menyenangkan. Saya melihat hal ini seperti kita sedang membangun jalan beraspal yang dulunya adalah jalan tanah. Kami sedang membangun infrastruktur, sehingga bisnis lain dapat berkembang di atas platform ini.

Sebagian besar perjalanan hidup Anda terjadi di luar Indonesia. Selain karena potensi, apa yang mendorong Anda untuk membangun bisnis yang berfokus di negara ini? Apa yang membuat Anda yakin bisa menaklukkan pasar Indonesia?

Saya memiliki darah Indonesia. Meskipun tidak tumbuh besar di negara ini, saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa di sini. Sebenarnya ini adalah passion saya untuk membangun sesuatu di Indonesia, dan segala sesuatunya mendukung. Sepanjang perjalanan, saya juga menemukan beberapa teman baik yang mau bersama-sama berkembang. Mungkin bukan menaklukkan, karena saya tidak semata-mata berpikir akan menang. Kami hanya melakukan hal yang sangat kami sukai. Semua bermula dari passion.

Di tahun ini, Xendit berhasil mencapai status unicorn. Pernahkah Anda berfikir bisa sampai pada titik ini?

Menurut saya “unicorn” atau valuasi adalah indikator yang lemah untuk setiap nilai yang dapat kita berikan kepada dunia, jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi unicorn.

Saya cenderung memikirkan apakah kita dapat membuat sesuatu yang berskala untuk menghadirkan dampak positif bagi jutaan orang selama 10 hingga 20 tahun ke depan. Jika hal itu terjadi, maka valuasi pasti akan mengikuti.

Saya tidak pernah benar-benar peduli dengan status unicorn, dan pandangan itu masih sama. Saya lebih memikirkan apakah kita mampu memberi nilai kepada pelanggan, karena itu yang terpenting. Jika kita sudah berada di jalur yang tepat, segala sesuatu yang lain akan mengikuti. Valuasi tetap menjadi satu hal yang harus dipikirkan, tetapi bukan sebagai indikator pencapaian atau sesuatu yang harus dikejar. Hal itu hanya bagian dari bisnis. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk memikirkan produk, pelanggan, dan tim di Xendit.

Menurut Anda, apa hal yang paling esensial untuk membangun keberlanjutan sebuah perusahaan di industri teknologi?

Sederhana saja, semuanya (teknologi, produk, penjualan) bergantung pada orang-orang yang mengerjakannya. Semuanya merupakan cerminan. Bagi saya, yang terpenting adalah membangun organisasi yang dapat menarik dan mempertahankan orang-orang yang tepat. Produk memang penting, tapi fungsi tersebut datang dari orang yang membangunnya, sama halnya dengan penjualan dan layanan pelanggan.

Saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan organisasi, orang-orang di dalamnya, budaya yang kita jalani, cara kita membuat keputusan. Setelah semua hal sudah dilakukan dengan benar, segala sesuatu yang lain, bahkan jika saya tidak mengontrol pengambilan keputusan, akan berjalan dengan baik.

Budaya adalah apa yang bisa menarik dan mempertahankan pekerja dalam jangka panjang. Bukan semata-mata tentang tenis meja dan makanan, dimana kami menyediakan hal itu. Hal yang lebih penting terkait pengambilan keputusan, tim yang Anda bangun, bagaimana caranya menyingkirkan politik dalam organisasi, proses rekrutmen, pemberian kompensasi, dan sebagainya. Budaya dibangun atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar ini.

Sementara pekerja menjadi aset yang paling berharga di Xendit, apakah Anda punya pendekatan khusus dalam proses rekrutmen perusahaan?

Anda familiar dengan istilah underdog yang mau bekerja keras? Banyak dari kita tidak datang dari “sesuatu”, tetapi kita memiliki sesuatu untuk dibuktikan kepada dunia dan kami senang bekerja keras. Kami sangat peduli dengan budaya dan bagaimana kami membangun dan memelihara organisasi.

Jika harus memecahnya menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah kecocokan budaya. Di dalamnya termasuk pekerja keras, ramah, membantu, tanpa politik, atau hal-hal berbau underdog. Selanjutnya, etos kerja. Kami menyadari fakta bahwa banyak orang yang masih belum paham betul tentang pembayaran. Di Xendit, kami menyediakan segalanya untuk dipelajari. Selain itu, kami juga menerapkan “Trial Day” sebagai bagian dari proses rekrutmen. Hal ini mungkin tidak ada di sebagian besar perusahaan. Ada satu hari dimana kami meminta Anda untuk bekerja bersama menyelesaikan isu yang nyata. Alih-alih diwawancarai, kandidat punya kesempatan untuk mewawancarai tim  Xendit. Dengan begitu, mereka akan tahu bagaimana rasanya bekerja di Xendit.

Tim awal Xendit / Xendit

Tantangan seperti apa yang Anda hadapi dalam perjalanan bisnis selama ini?

Ada banyak sekali tantangan, salah satu yang tersulit adalah rekrutmen ketika perusahaan masih kecil. Jauh sebelum menjadi perusahaan besar dengan bisnis bereputasi tinggi, tidak ada yang tahu siapa Anda. Kami mengembangkan model dimana kami mempekerjakan sekelompok teman. Sepuluh karyawan pertama kami sebenarnya adalah beberapa regu yang diberi kantor untuk mengembangkan produk. Dalam perhitungan saya, mungkin satu atau dua akan tinggal, kenyataannya, seluruh tim berjumlah 12 orang mau bergabung. Selama beberapa tahun pertama, teknisi awal kami adalah teman sepermainan. Kami mwmiliki tujuan yang kuat untuk mempekerjakan sekumpulan lingkaran pertemanan di mana saja, itu menjadi awal pembentukan tim kami di beberapa negara.

Xendit mengembangkan infrastruktur pembayaran dan telah hadir di Indonesia dan Filipina. Seperti apa Anda melihat potensi pasar serta peluang ekspansi ke depannya?

Jika kita melihat sisi pembayaran atau pembayaran merchant, masih terlalu dini. Persentase pembayaran digital Indonesia masih kurang dari 10% dari total PDB dibandingkan China atau AS yang mendekati 10-15%. Saya rasa kita masih memiliki peluang besar, masih ada ruang untuk pertumbuhan besar yang tersisa di setiap sudut.

Saya melihatnya seperti ini, peluang di depan kita lebih besar daripada peluang yang ada selama ini. Tempat ini sangat menarik dan kami berada dalam posisi yang sangat baik untuk menjadi pemain pertama atau kedua teratas di Asia Tenggara.

Saya menemukan sebuah laman berisi tulisan-tulisan Anda. Apakah itu sekadar hobi atau anda memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu luang?

Sesungguhnya, saya menyimpan itu sebagai catatan untuk diri saya sendiri. Sebagian besar yang saya tulis adalah hal-hal yang saat itu saya yakini dan saya ingin melihat apakah hal itu terbukti beberapa tahun kemudian. Hal ini juga untuk mengukur diri dan melihat apakah saya membuat keputusan yang tepat. Alasan lainnya adalah, kebanyakan orang cenderung menanyakan pertanyaan yang sama kepada saya dan jawabannya selalu sama. Saya pikir, jika ditulis, orang bisa membaca dengan mudah dan pengetahuan itu bisa menyebar lebih cepat.

Di Xendit, kami sering berkumpul, mengadakan wisata, dan bepergian bersama. Kami sangat menikmati kebersamaan satu sama lain bahkan di luar tempat kerja. Itu juga cara kami membangun koneksi.

Ada sebuah fenomena di industri teknologi, dimana para founders mulai mengambil peran sebagai investor dalam pasar. Bagaimana pandangan Anda akan hal ini? Sebagai founder, apakah itu sebuah kewajiban atau memang naluri untuk berinvestasi?

Menurut saya, kewajibannya tidak harus dengan berinvestasi, tetapi kewajibannya adalah membantu. Sepertinya ukan hanya founders, mereka memang lebih disorot oleh meedia. Setiap karyawan di sebuah perusahaan startup, juga mereka yang telah membangun bisnis memiliki kewajiban atau setidaknya keinginan untuk meneruskannya. Adalah hal yang menyenangkan bisa membantu pengusaha baru yang mencoba mencari cara untuk mengumpulkan uang, mengurus hierarki perusahaan, atau menemukan product-market fit.

Satu hal yang saya amati ketika saya tinggal di AS adalah, Silicon Valley, salah satu hal terbaik yang pernah ada, adalah kebebasan informasi yang berkualitas tinggi di antara masyarakatnya. Sedangkan di Asia, ketika seseorang memiliki ide bagus, secara tradisional, ia akan menyimpannya sendiri didasari rasa takut akan idenya ditiru atau dicuri. Rasa keharusan untuk memiliki tinggi. Saya ingin budaya itu berubah menjadi budaya yang bisa lebih berbagi alih-alih menyimpan ide untuk diri sendiri.

Kewajiban pendiri adalah membantu pendiri lainnya. Investasi datang sebagai produk sampingan, saya mencoba melakukan investasi sesedikit mungkin karena saya mencintai pekerjaan normal saya. Saya pikir Berinvestasi bisa agak mengganggu. Saya sering melakukannya untuk Xendit atau atas nama Xendit. Ini pendekatan yang sangat berbeda dari pendiri lainnya.

Sebagai startup pertama dari Indonesia yang lulus program YCombinator, bagaimana Anda melihat peran akselerator bagi startup tahap awal?

Kami adalah perusahaan Indonesia pertama di YCombinator dan saya bangga akan hal itu. YC sangat membantu untuk perusahaan tahap awal. Saya tidak tahu semua akselerator, jadi saya tidak bisa berbicara atas setiap akselerator. Satu hal yang bisa saya sampaikan, YC adalah akselerator yang sangat efektif. Seperti halnya mengurus hal-hal yang berurusan dengan tekanan bergaul bersama perusahaan terbaik di dunia. Selain itu, YC memberikan saran-saran apik, karena dijalankan oleh orang-orang yang sudah terbukti dalam membangun bisnis sebelumnya. Lalu, YC telah membangun jaringan terbaik; perusahaan ternama akan menarik investor ternama dan sebaliknya.

Xendit menjadi startup Indonesia pertama di program YCombinator

Dalam hal akselerator, saya pikir yang paling penting adalah pengusaha harus bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang benar-benar saya butuhkan?’ dan ‘apakah program ini menyediakannya?’ Tidak semua akselerator bisa piawai untuk memberi saran dan mampu memberi Anda investor bernilai miliaran dolar. Semua itu tergantung pada kebutuhan pendiri dan kualitas akselerator.

Sebagai pebisnis berpengalaman, apa yang bisa Anda bagikan tentang perjuangan dan pertarungan di arena bisnis untuk para tech enthusiasts di luar sana?

Ada tiga hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, temukan product-market fit. Sebagian besar pengusaha sudah memikirkan produk dan berharap mereka bisa menjualnya. Namun, dalam perjalanan untuk mendapatkan kesesuaian pasar produk, lebih sering Anda jatuh cinta dengan masalah pelanggan dan Anda merasakan dorongan untuk menyelesaikannya. Itu salah satu cara terbaik untuk menemukan kecocokan pasar produk.

Selanjutnya, sepuluh orang pertama di perusahaan akan menentukan budaya untuk ribuan orang berikutnya. Saya melihat hal-hal yang terjadi sekarang di Xendit, yang tidak dapat saya kendalikan lagi. Karena kami tidak mengontrol apa yang dilakukan seseorang dalam tim kecil sekarang karena kami ratusan orang besar. Budaya menyebar dan mereplikasi dirinya sendiri. Namun, sepertinya tidak cukup banyak orang yang sadar tentang hal itu sejak dini.

Yang ketiga, dalam hal perjuangan dan pertarungan, carilah mentor Anda. Dalam kasus saya, saya memiliki mentor untuk masing-masing kategori, 2 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, dan 10 tahun ke depan. Menurut saya ini sangat membantu dalam perjalanan bisnis. Mentor 2 tahun dapat memberi saya gambaran tentang apa yang harus saya lakukan besok, mentor sepuluh tahun dapat mempertanyakan hal-hal seperti “Pastikan Anda membuat keputusan besar yang tepat!”, “Di industri mana Anda ingin membangun startup?” . Kemudian, mentor lima tahun ke depan dapat memberi Anda celah di antara keduanya dalam hal rencana untuk lima tahun ke depan dan seterusnya. Saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan tiga kategori mentor ini.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Despite Xendit’s Unicorn Status, Moses Lo Still Concentrates on Building Organizational Fundamentals

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It is undebatable that working culture has a powerful influence on people when it comes to a decision to take a new job at one company. This is also what Moses Lo, Xendit’s Founder and CEO, grasped as he was working for a company or starting a new one. At Xendit, he always makes sure that the organizational fundamentals are met. He focused on building the internals in order for the company to better serve the externals as customers.

It was all about passion for Lo when he started this business, to create something that can drive the market for over 20 years. He built a gateway for payment to simplify and secure business transactions. With this idea, Xendit has become the first Indonesian startup to be accepted into the Y Combinator program.

Lo has already been exposed to technology at a young age. Growing up, he became interested in finance and banking stuff, along with the tech background, which led him to fintech. He graduated as an honor student of commerce, information system management, and finance at the University of New South Wales. Continuing his business saga, he attended Berkeley for a master’s degree in business. He had his experience working with two of the best companies, teaching him all that matters to enter the tech industry.

27-year-old Lo started Xendit in 2015, the company has grown multiples since then and is listed as an Indonesian unicorn this year. Today, Xendit’s infrastructure has been widely used by companies in Indonesia, the Philippines, and Southeast Asia.

Here’s an excerpt of our discussion with Moses Lo, Xendit’s front person, about his vision and achievements in the tech industry.

When did you start pursuing a career in the tech industry?

I have wanted to be in the tech industry since I was 13 or 14 years old. It involves a lot of playing computer games and building computers. So, I always wanted to do something about technology. Growing up, I got really interested in finance and banking stuff, then, I studied Information Systems in the University, which led me to fintech today. Afterward, I worked with Boston Consulting Group (BCG) and Amazon for a while before deciding to start my own company.

What was it like, your life before Xendit?

I come from a family of entrepreneurs. The reason I went to BCG was that they were really good at teaching you similar skills in business. They taught me how to think, how to present information well, how to speak to senior people, those who were older, and much more important than me. Those are really useful kits.

Then, I went to Amazon for a short period of time. Amazon, compared to the other companies, competed really hard for every inch of territory that they got. They won e-commerce in the US, they’re winning cloud services everywhere. They’re really good at this competitive space and I wanted to learn in a company that is very good at competing. In the meantime, I also learn how to build a scalable startup culture and how to build a very efficient cohesive team in executing business.

Xendit happens to be your first venture capital-backed company. Actually, what was the idea behind Xendit’s creation?

When we were starting Xendit, I noticed some things that happened in other countries. There is this small window of history where the companies that are built will define technology and business for the next 15 to 20 years. They set the rules for how technology works. Therefore, I wanted to come home and build infrastructure and set rules in a way that would be good for Indonesia and Southeast Asia for the next 20 years.

This is really exciting. I think of it like we’re building paved roads that once were dirt roads. We’re laying down infrastructure, therefore others can build businesses on top.

You’ve spent most of your life not in Indonesia. Aside from its great potential, what drives you to build a business in this country? How can you ensure to conquer this market?

I am, myself, half Indonesian. Although I didn’t spend most of my childhood here, I spent most of my adulthood in this country. It is more like my passion to build something in Indonesia, it just makes sense. Along the journey, I also found some good friends I really wanted to build with. I didn’t think we were gonna conquer. I didn’t think we knew we were gonna win. It was just something we were so passionate about. It started out with passion above anything else.

This year, Xendit has achieved unicorn status. Have you ever thought about Xendit being a unicorn before?

I think “unicorn” or valuation is a lagging indicator of value that we can provide the world, so I never thought of us becoming a unicorn.

I thought about whether we can make something that scales to have a positive impact for millions and millions of people over the next 10 to 20 years. And if we can make it, valuation will certainly follow.

I never really cared about unicorn status, and the thought remains. What I really care about is, are we able to provide value to customers, because that’s what matters most. If we stay on that true path, everything else will follow. I do think about valuation, but not as a mark for some milestones or something to chase. It is just part of the business. I spend most of my time thinking about products, customers, and Xendit people.

What do you think is the most essential value a company should have in order to reach sustainability in this tech industry?

It’s really simple, everything (tech, product, sales) comes down to people. It’s all a reflection of our people. For me, the most important thing is to build an organization that can attract and retain the right people. Product is important, yes, but it is a function of the people who build it, it also applies to sales and customer service.

I spent a lot of my time thinking about the organization itself, the people in it, the culture we breathe, the way we make decisions. Once we get that right, everything else, even if I didn’t control the decision-making down the line, will work out.

Culture is what attracts and retains people in the long run. It’s not only about table tennis and food, which we have. It’s mainly about decision making, the sailors you build, how you get rid of politics in organization, the recruitment process, the compensation settlement and so on. Culture was built upon the answers of all these kinds of big questions.

Since Xendit’s most valuable asset is its people, do you have a certain approach while recruiting people?

Do you know underdogs that were willing to work hard? A lot of us do not come from the best “something”, but we have something to prove to the world and we’re happy to work hard. We really care about the culture and how we build and maintain the organization.

If I have to break it down into parts, the first one is culture fit. It includes hardworking, friendly, helpful, no politics, or the underdog’s stuff. Furthermore, the work ethic. We are aware of the fact that a lot of people don’t know anything about the payment. In Xendit, we have everything for you to learn. Also, we have what we call Trial Day as part of our recruitment process. I think this one is not applied in most companies. We’ll have you work with us for a whole day, with real problems. Instead of being interviewed, they will have the opportunity to interview Xendit people. This way they will know how it feels to work at Xendit.

Xendit’s early team / Xendit

What kind of challenges do you encounter along the journey?

Lots of challenges, one of the hardest ones is recruiting when you’re small. It’s long before you’re a big company with a highly reputable business. No one knows who you are. We developed a model where we hired a group of friends. Our first ten hires were actually a group of friends that were given an office for engineering. In my calculation, maybe one or two will stay, but instead, all 12 people joined. For the first few years, all our engineers were basically two groups of friends. We’re very purposeful for hiring pockets of friends wherever we can, that is also the very beginning of our team in some countries.

Xendit has been providing payment infrastructure and already exists in Indonesia and the Philippines. How do you see the market potential and possibility to expand?

When we look at payment or the merchant payments side, we’re still quite premature. The Indonesian digital payment percentage is still less than 10% of the total GDP compared to China or the US, which is closer to 10-15%. I think we have multiple orders of magnitude, there’s still massive growth left in every corner.

The way I look at it, the opportunity in front of us is bigger than the opportunity that we’ve seen so far. This is a pretty exciting place to be and we’re in a very good position to be the top one or two players in Southeast Asia.

I found a website containing some of your writings. Should I assume you like to write in your free time or do you have other kinds of hobbies?

The reason I did those is, I kept it more as a note for myself. Mostly, I write things that I believe at that time and I wanna see if that’s still true a few years later. It’s to measure myself and see if I make the right decision. Another reason is, a lot of people tend to ask me the same questions and I noticed that I’m answering the same question over and over again. I figured, if I just put it out there, people can simply read and that knowledge can spread faster.

At Xendit, we hung out a lot together, we did travel, trips, and everywhere. We really enjoy each other’s company even outside the workplace. That’s also how we build connections.

There’s a phenomenon in the tech industry where Founders are starting to enter the market as an investor. What do you think of this? Do you think as a Founder, you are also obliged or just naturally grow interested in investing?

I think the obligation is not necessarily to invest, but the obligation is to help. I don’t think it’s just the founders, they may have a lot of press and the credit. I think any early employee at a company, those who’ve built businesses have an obligation or at least a desire to pay it forward. Something I really love doing is helping new entrepreneurs trying to figure out how to raise money, deal stuff with the boards, or find product-market fit.

One thing I observed when I lived in the U.S. was, Silicon Valley, one of the best things has, is the freedom of high-quality information between people. Whereas in Asia, when we have a good idea, traditionally, we want to keep it to ourselves because we’re scared someone will copy us and take it away. We try to own things. I want that culture to change into a more sharing culture instead of keeping ideas for yourself.

The obligation is for founders to help other founders. Investing comes as a byproduct, I try to do as little investment as possible because I love my normal job. I think Investing can be somewhat distracting. I do it a lot for Xendit or on behalf of Xendit. It’s quite a different approach from other founders.

As one of the first Indonesian startup graduates in YCombinator, what do you think is the important role of accelerator programs to early-stage startups?

We’re the first Indonesian company in YCombinator, so I’m proud of that. YC is extremely helpful for early-stage companies. I don’t know every accelerator so I cannot say for every accelerator. But I can say that YC is an extremely effective accelerator. To begin with, in terms of dealing with the pressure cooker of hanging out with the best company on earth. Also, YC gives some of the best advice, as it is run by people who actually built a business before. Another thing is YC has built the best network effect; the best companies attract the best investors and vice versa.

Xendit is the first Indonesian company in YCombinator

In terms of accelerators, I think all entrepreneurs have to ask themselves, ‘what do I really need?’ and ‘does it provide that to me?’ Not all accelerators can be really good at pressure cookers and capable of bringing you the billion-dollar investors. It all depends on the founder’s need and the accelerator’s quality.

As an experienced entrepreneur, what can you share about the struggle and survival story for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

I have three things to say. First, find product-market fit. Most entrepreneurs already have a product in mind and hope that they can sell it. However, on the way to get product-market fit, more often you fall in love with the customer problem and you feel the urge to solve it. That’s one of the best ways to find product-market fit.

Next, your first ten people will define the culture for the next thousands. I see things that happened now at Xendit, which I have no control over anymore. As we don’t control what someone does in a small team now that we’re hundreds of people big. The culture propagates and replicates itself. Hence, I don’t think people are conscious enough about that early on.

The third, in terms of struggle and survival, is to find yourself the mentors. In my case, I have a mentor for each category, 2 years ahead, 5 years ahead, and 10 years ahead. I think that’s really helpful in my journey. The 2-year mentor can give me a sense of what I need to do tomorrow, the ten-year mentor can say “Make sure you make the right big decision!”, “Which industries do you want to build the startup in?”. Then, the five-year-ahead mentor can give you a little in between of both in terms of my plan for the next five years and so on. I always try my best to maintain these three buckets of mentors.

Xendit Targets SME Players, to Release Online Store and Business App

Xendit’s focus on empowering the MSME sector, including individual traders and social sellers, can be seen through its various innovations. The company released three solutions, two of them aimed for the MSME sector, the Xendit Business Application and the Xendit Online Store.

Xendit’s Founder & CEO, Moses Lo said, this application is here to serve Indonesian business customers who operate their businesses mostly through smartphone rather than laptops. “Through this application, everyone can now easily and securely manage digital payment transactions. In order to support mobility, Xendit customers can issue invoices and accept various payment methods,” he said.

Aside from managing and accepting online payments from buyers, Xendit Bisnis app is also powered by various features. One of them is Order Management, which allows businesses to process all transactions automatically, from ordering, arranging shipments, to recapitulating all purchases.

That way, online business operations can run smoothly and efficiently in terms of time savings. Xendit’s Product Manager, Andri Setiawan said that this application can also store customer contacts, therefore, businesses can easily send invoices.

“The invoice contains billing details along with payment links that will direct consumers to various payment methods chosen by the seller and can be chosen by consumers. The funds will be received by the seller as soon as the payment has been completed,” Andri said.

He continued, the Xendit Bisnis application will continue to add features to make it easier for merchants to transform digitally. Among other things, integrating the Xendit Online Store with applications, managing inventory, checking shipping costs, and ordering logistics services. Xendit Bisnis is now available on the Play Store and App Store.

The second business solution is the Xendit Online Store to make it easier for businesses to set up their own online stores. This feature allows businesses to have a shop with a unique URL in less than five minutes and is equipped with Xendit’s choice of payment method features.

This feature is available for free and can be directly used by individual businesses and MSMEs registered with Xendit, to increase the reach of buyers and strengthen their sales channels, without relying on other e-commerce platforms. To access this, users can navigate to the Dashboard, select “Store” and select “Online Store”

Corporate solution

The third business solution is XenSol (Xendit Solution), a collaboration with Andrew Tani & Co. (ATC). This solution is geared towards large-scale business people who are trying to conduct a comprehensive digital transformation. Companies can use consulting services from ATC and Xendit will support this digital transformation by providing a better digital payment infrastructure. Later, Xendit plans to invite relevant partners and agencies as partners to run the XenSol program in a sustainable manner.

The addition of this new solution is expected to make it easier for all business people with digital access to create an equal competitive environment, so that all businesses can grow well. This target is in line with that carried out by the government to bring more than 30 million MSMEs to go digital by 2025.

Previously, in August 2021, the company launched the Xendit Inventory Sync Tool, a multi-channel technology innovation for managing stock inventory of products sold on online marketplaces, as well as Shopify and Woocommerce sites. This feature makes it easy for business people to monitor and manage the amount of stock in each channel in one neat and integrated dashboard.

In addition to creating its own features, Xendit has also invested in majoo, a SaaS startup that develops omnichannel solutions. It is certain that the two companies will take advantage of each other’s ecosystem to develop solutions for MSMEs, although the plan has not been officially announced.

Overall, Xendit has processed more than 110 million transactions per year with a total volume of more than IDR 142 trillion. Xendit wants to simplify the payment process for all sizes of businesses in Indonesia, the Philippines and Southeast Asia. Xendit enables businesses to receive payments, cash out, disburse payroll, run marketplaces, and more.

SME Digitization

Based on data from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises, out of 64.2 million MSME units, only 19% of them have entered the digital ecosystem. The government itself targets 30 million MSME units to enter the digital ecosystem by 2024.

Aside from Xendit, there are many companies that provide a variety of solutions to facilitate SMEs to go digital from various business aspects, fintech, supply chain, logistics, e-commerce, marketing, and others. According to data in the 2021 MSME Empowerment Report published by DSInnovate, there are several basic problems currently experienced by MSME actors in Indonesia, including:

In order to overcome these problems, 83% of MSME players claim to use services from digital startups. From this hypothesis, the founders are passionate about presenting a variety of products with different value propositions. Currently there are dozens of startups that present various types of SaaS in this segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Xendit Incar Pengguna UMKM, Rilis Aplikasi Bisnis dan “Online Store”

Keseriusan Xendit untuk menggarap sektor UMKM, termasuk pedagang individu dan social seller, terlihat dari berbagai inovasi yang diluncurkan. Perusahaan merilis tiga solusi, dengan dua di antaranya dikhususkan untuk sektor UMKM, yakni Aplikasi Xendit Bisnis dan Xendit Online Store.

Founder & CEO Xendit Moses Lo menuturkan, aplikasi ini hadir untuk melayani pelanggan bisnis Indonesia yang mayoritas menggunakan smartphone untuk mengoperasikan bisnisnya, ketimbang memakai laptop. “Dengan adanya aplikasi ini, sekarang semua orang bisa mengatur transaksi pembayaran digital secara lebih mudah dan lebih aman. Untuk mendukung mobilitas, pelanggan Xendit bisa mengeluarkan invoice dan menerima berbagai metode pembayaran,” ucapnya.

Tak hanya mengatur dan menerima pembayaran online dari pembeli, aplikasi Xendit Bisnis juga ditenagai dengan berbagai fitur. Salah satunya adalah Order Management yang memungkinkan pebisnis bisa memroses keseluruhan transaksi secara otomatis, mulai dari memasukkan pesanan dari pembeli, mengatur pengiriman, hingga merekap semua pembelian.

Dengan begitu, operasional bisnis online bisa berjalan dengan lancar dan efisien dalam hal penghematan waktu. Product Manager Xendit Andri Setiawan menuturkan aplikasi ini juga dapat menyimpan kontak pelanggan agar pebisnis dapat lebih mudah mengirim invoice tagihan.

“Dalam invoice tersebut berisi detail tagihan beserta link pembayaran yang akan mengarahkan konsumen ke berbagai metode pembayaran yang dipilih oleh penjual dan dapat dipilih konsumen. Dana akan langsung diterima penjual begitu pembayaran telah diselesaikan,” kata Andri.

Dia melanjutkan, ke depannya aplikasi Xendit Bisnis akan terus menambah fitur untuk mempermudah pedagang dapat bertransformasi digital. Di antaranya, mengintegrasikan Xendit Online Store dengan aplikasi, mengelola inventori cek ongkos kirim, dan pemesanan layanan logistik. Xendit Bisnis sudah bisa diunduh di Play Store dan App Store.

Solusi bisnis kedua yang diumumkan Xendit adalah Xendit Online Store untuk permudah pebisnis untuk mendirikan toko online-nya sendiri. Fitur ini memungkinkan pebisnis untuk memiliki toko dengan URL unik dalam waktu kurang dari lima menit dan sudah dilengkapi dengan fitur pilihan metode pembayaran yang dimiliki Xendit.

Fitur ini tersedia secara gratis dan dapat langsung dimanfaatkan oleh pebisnis individu dan UMKM yang telah terdaftar di Xendit, untuk memperbesar jangkauan pembeli dan memperkuat kanal penjualannya, tanpa bergantung pada platform e-commerce lain. Untuk mengakses ini, pengguna dapat menavigasi ke Dashboard, pilih “Store/Toko” dan pilih “Online Store/Toko Online.”

Solusi untuk korporasi

Solusi bisnis ketiga adalah XenSol (Xendit Solution), hasil kerja sama dengan Andrew Tani & Co. (ATC). Solusi ini lebih diarahkan untuk pelaku bisnis skala besar yang berupaya melakukan transformasi digital secara menyeluruh. Perusahaan bisa menggunakan layanan konsultasi dari ATC dan Xendit akan mendukung transformasi digital tersebut dengan menyediakan infrastruktur pembayaran digital yang lebih baik. Nantinya, Xendit berencana mengajak partner serta agensi yang relevan sebagai mitra untuk menjalankan program XenSol secara berkelanjutan.

Penambahan solusi baru tersebut diharapkan dapat mempermudah semua pelaku bisnis dengan akses digital demi menciptakan lingkungan persaingan yang setara, sehingga semua bisnis dapat tumbuh dengan baik. Target ini sejalan dengan yang diusung pemerintah untuk membawa lebih dari 30 juta UMKM untuk go digital pada 2025 mendatang.

Sebelumnya, pada Agustus 2021, perusahaan telah meluncurkan fitur Xendit Inventory Sync Tool, sebuah inovasi teknologi multi-channel untuk mengelola stok inventaris produk yang dijual online marketplace, maupun situs Shopify dan Woocommerce. Fitur ini memudahkan pelaku bisnis untuk memantau dan mengatur jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Selain membuat fitur sendiri, Xendit juga turut berinvestasi untuk majoo, startup SaaS pengembang solusi omnichannel. Bisa dipastikan kedua perusahaan akan saling memanfaatkan ekosistem satu sama lain untuk mengembangkan solusi untuk UMKM, meski rencana tersebut belum diumumkan secara resmi.

Secara keseluruhan, Xendit telah memroses lebih dari 110 juta transaksi per tahun dengan total volume lebih dari Rp142 triliun. Xendit ingin menyederhanakan proses pembayaran untuk semua skala bisnis di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara. Xendit memungkinkan bisnis untuk menerima pembayaran, mencairkan, pencairan payroll, menjalankan marketplace, dan lainnya.

Digitalisasi UMKM

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024.

Tak hanya Xendit, ada banyak perusahaan yang menyediakan ragam solusi untuk permudah jalan masuk UMKM go digital dari berbagai aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lain-lain. Menurut data di laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

Sejumlah Rencana Bisnis Xendit Setelah Menjadi Unicorn

Xendit resmi menjadi unicorn setelah merampungkan pendanaan C senilai $150 juta. Secara total, perusahaan berhasil mengumpulkan total dana ekuitas sejumlah $238 juta sejak ronde awal di tahun 2015 lalu. Ada sejumlah rencana yang akan dilakukan selanjutnya. Hal tersebut disampaikan Co-Founder Xendit Moses Lo dan Tessa Wijaya dalam sebuah kesempatan temu media terbatas.

Hal pertama yang akan digenjot ialah melanjutkan ekspansi regional yang telah dimulai dari Filipina sejak tahun 2020 lalu. Bahkan untuk meningkatkan penetrasi layanannya di Filipina, Xendit membangun kemitraan strategis dengan berinvestasi ke pemain fintech setempat Dragonpay.

Menanggapi tentang strategi M&A pasca-pendanaan, Tessa mengatakan, kemungkinan tersebut ada, terlebih saat ini perusahaan juga fokus ke pasar UMKM. Kalaupun akan melakukan aksi strategis seperti investasi, tujuannya masih dalam koridor mendukung ekspansi dan perluasan segmen pengguna.

Membuka pasar yang lebih luas

Didirikan sejak tahun 2014, awalnya Xendit merupakan penyedia platform payment gateway, membantu pebisnis digital menyediakan portal pembayaran untuk konsumennya. Seiring perkembangannya, layanan fintech di dalamnya berkembang mengakomodasi berbagai kebutuhan, termasuk layanan transfer dana untuk bisnis. Sebagian besar layanan Xendit berbasis API, penggunanya mengintegrasikan layanan tersebut melalui backend situs atau aplikasi.

Disampaikan Moses, salah satu alokasi pendanaan seri C untuk mengembangkan ekosistem layanan yang dimiliki. Ia menyebutnya sebagai “value added services”, berisi berbagai fitur pendukung untuk memungkinkan mitranya menghadirkan kapabilitas fintech secara lebih baik. Misalnya, mereka akan mengoptimalkan layanan manajemen risiko untuk membantu bisnis mencegah fraud. Kemudian juga akan menghadirkan platform lending untuk membantu bisnis lebih berkembang.

Data terbaru yang disampaikan, Xendit telah mencatatkan peningkatan total volume pembayaran 200% yoy di pasar Indonesia dan Filipina. Sebagian capaian tersebut didapat dari klien yang berasal dari perusahaan teknologi seperti e-commerce atau aplikasi konsumer lainnya. Untuk membuka potensi yang lebih besar, Moses mengatakan Xendit akan masuk ke pasar solusi digital berbasis “no-code”.

Layanan “no-code” umumnya berupa solusi digital siap pakai yang tetap bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna. Dengan pendekatan ini, Xendit juga mantapkan niat untuk merangkul pasar UKM sebagai target bisnis selanjutnya.  Dalam debutnya, beberapa solusi telah dihadirkan, misalnya dalam aplikasi “Xendit Business” di Playstore. Dengan layanan tersebut pemilik bisnis bisa membuat sebuah tautan khusus untuk dikirimkan ke pembelinya, memudahkan proses transaksi tanpa harus mengintegrasikan ke sebuah e-commerce.

Sebelumnya Xendit juga telah meluncurkan Xendit Inventory Sync. Platform tersebut berbentuk teknologi multi-kanal untuk membantu pebisnis mengelola stok inventaris produk yang dijual secara online di Tokopedia, Shopee, maupun situs seperti Shopify dan WooCommerce. Dengan demikian, pelaku bisnis dapat lebih mudah memantau jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Belum ada rencana IPO

Ketika ditanya rencana go-public, baik melalui IPO tradisional ataupun SPAC, Moses mengatakan bahwa saat ini ada opsi lain yang masih sangat mendukung laju bisnis perusahaan, termasuk private market. Hingga saat ini, 100% konsentrasi manajemen untuk mengeksekusi rencana-rencana di atas, khususnya ekspansi perluasan bisnis. Dukungan investor yang didapat juga dilihat sebagai respons penting para stakeholder di tengah pertumbuhan dan kompetisi pasar.

Di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa pemain yang menyediakan layanan payment gateway. Sebagian dari mereka adalah pemain yang sudah masuk ke industri sejak lama. Adapun daftarnya sebagai berikut:

Platform Tahun Berdiri Pendanaan Terakhir
Xendit 2014 Series C, $150 juta
Midtrans 2011 Diakuisisi oleh Gojek
Durianpay 2021 Seed Round, $2 juta
Doku 2007 Venture Round, $32 juta
Nicepay 2011
Xfers 2014 Corporate Round, $30 juta; terafiliasi Payfazz
Faspay 2011 Terafiliasi grup Astra
Cashlez 2015 IPO di BEI, Kapitalisasi Pasar: $18 juta
Duitku 2009
iPaymu 2012
Prismalink 2011
Espay 2012 Diakuisisi oleh Emtek

Menurut data yang dihimpun Statista, total nilai transaksi pembayaran digital di Indonesia diproyeksikan akan mencapai $56,7 miliar pada 2021; dan bertumbuh sampai $90,2 miliar pada 2025 mendatang dengan CAGR 12,18%. Salah satu penyumbang terbesarnya adalah e-commerce, dengan nilai total transaksi $53,3 miliar pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Xendit’s Latest Funding of 2.1 Trillion Rupiah Confirms Its Unicorn Status

Xendit announced the series C funding of $150 million or equivalent to 2.1 trillion Rupiah. This round also settled the company’s valuation above $1 billion and made Xendit the next “unicorn” startup in Indonesia.

The investment was led by Tiger Global Management with the participation of a series of investors, including Accel, Amasia, and Goat Capital. With this fresh funding, Xendit plans to innovate on its product range, aiming expansion to selected countries in Southeast Asia.

The Xendit fintech platform has started to be available in the Philippines. To solidify its debut, the company recently invested in local payments startup, Dragonpay.

“We are seeing a major shifting to digital that almost all businesses, from small shop owners on Instagram, to the largest companies in Indonesia [..] Xendit’s digital payments infrastructure allows businesses to receive payments faster,” Xendit’s Founder & CEO, Moses Lo said.

Previously, Xendit closed its $64.6 million Series B funding round in March 2021 and was led by Accel. With this latest funding, they have raised IDR 3.4 trillion ($238 million) in total since the first round in 2015.

“Xendit recorded a total payout volume increase of more than 200% yoy in Indonesia and the Philippines, continuing our growing track record by more than 10% month-on-month, since our debut. Our new unicorn status will help strengthen the core mission as our guide,” Xendit’s Co-Founder & COO, Tessa Wijaya added.

Beyond fintech

Xendit’s core solution is a payment gateway, enabling businesses to have a digital payment infrastructure, either integrated into the backend system (for example in e-commerce or other services such as online travel) or used directly through the provided application (for example for social commerce).

Realizing the huge potential of MSMEs in Indonesia, Xendit is also developing SaaS products to help micro-small businesses digitize business processes, beyond pure fintech products. Most recently, they provide a product inventory service to make it easier for business owners to synchronize between online platforms for sales.

Additional capital will also be channeled to increase Xendit’s penetration into the MSME segment. Various specific features and services will be rolled out, in addition to strengthening the capabilities of existing products such as capital loans, chargeback insurance, to fraud prevention.

“Xendit’s digital payment infrastructure which designed specifically for Southeast Asia is now the new standard for the financial industry in the region. By providing a reliable and secure payment gateway, Xendit has paved the way to a digital economy for businesses,” Tiger Global Management’s Partner, Alex Cook said.

On the other hand, Xedit also has a special product Instamoney, as an API service to help businesses provide remittance features. Several platforms have used this system, such as Wise and MoneyGram.

Indonesia’s unicorn

Looking at the startup ecosystem in Indonesia today, it seems that in the future we will continue to welcome a new generation of unicorns. One of the reason is that there are dozens of startups with centaur valuations – while global and local investors are also increasingly eager to inject their funds.

Based on our data, there are currently a total of 10 startups have been confirmed as unicorns. Several players have the potential to follow in the near future with valuations above $500 million, including SiCepat, Kopi Kenangan, Ruangguru, and Akulaku.

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak ~$3 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar

*assuming the merger process to go public via SPAC has been completed


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapat Pendanaan Baru 2,1 Triliun Rupiah, Xendit Sandang Status “Unicorn”

Xendit mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta atau setara 2,1 triliun Rupiah. Putaran ini sekaligus mengokohkan valuasi perusahaan di atas $1 miliar dan menjadikan Xendit sebagai startup “unicorn” selanjutnya di Indonesia.

Investasi ini dipimpin oleh Tiger Global Management dengan partisipasi sejumlah investor, yaitu Accel, Amasia, dan Goat Capital. Dengan dana segar ini, Xendit berencana untuk terus melakukan inovasi pada jajaran produknya, dengan tujuan ekspansi ke negara-negara terpilih di Asia Tenggara.

Platform fintech Xendit juga sudah mulai dijajakan ke Filipina. Untuk mantapkan debutnya, perusahaan belum lama ini berinvestasi ke Dragonpay selaku startup pembayaran setempat.

“Kami sedang melihat pergeseran besar-besar ke ranah digital yang dilakukan hampir semua pelaku usaha, baik pemilik toko kecil di Instagram, sampai perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia [..] Infrastruktur pembayaran digital Xendit memungkinkan para pelaku usaha untuk dapat menerima pembayaran dengan lebih cepat,” ujar Founder & CEO Xendit Moses Lo.

Sebelumnya Xendit telah menutup putaran pendanaan seri B senilai  $64,6 juta pada Maret 2021 lalu dipimpin Accel. Dengan perolehan baru ini, secara total mereka telah mengumpulkan dana Rp3,4 triliun ($238 juta) sejak ronde awal di tahun 2015.

“Xendit mencatatkan peningkatan total volume pembayaran lebih dari 200% yoy di Indonesia dan Filipina, melanjutkan rekam jejak kami yang tumbuh lebih dari 10% dari bulan-ke-bulan, sejak awal pendirian. Status baru kami sebagai unicorn akan membantu memperkuat misi yang sejak awal menjadi pegangan kami,” imbuh Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya.

Beyond fintech

Solusi utama Xendit adalah payment gateway, memungkinkan pebisnis memiliki infrastruktur pembayaran digital, baik yang diintegrasikan ke backend sistem (misalnya di e-commerce atau layanan lain seperti online travel) maupun digunakan langsung melalui aplikasi yang disediakan (misalnya untuk social commerce).

Menyadari besarnya potensi UMKM di Indonesia, saat ini Xendit juga turut mengambangkan produk SaaS untuk membantu pebisnis mikro-kecil untuk melakukan digitalisasi proses bisnis, di luar produk fintech murni. Teranyar, mereka menghadirkan layanan inventori produk untuk memudahkan pemilik usaha melakukan sinkronisasi antarplatform online untuk penjualan.

Modal tambahan yang didapat turut dikatakan akan difokuskan untuk meningkatkan penetrasi Xendit ke segmen UMKM. Berbagai fitur dan layanan yang spesifik akan digulirkan, di samping menguatkan kapabilitas produk yang sudah ada seperti  pinjaman modal, asuransi tolak bayar, sampai pencegahan penipuan.

“Infrastruktur pembayaran digital Xendit yang dirancang khusus untuk Asia Tenggara, kini menjadi standar baru untuk industri finansial di kawasan ini. Dengan menyediakan payment gateway yang andal dan aman, Xendit telah membuka jalan menuju ekonomi digital bagi para pelaku bisnis,” kata Partner Tiger Global Management Alex Cook.

Di sisi lain Xedit juga memiliki produk khusus Instamoney, sebagai layanan API untuk membantu bisnis menghadirkan fitur remitansi. Beberapa platform yang telah menggunakan sistem tersebut seperti Wise dan MoneyGram.

Unicorn di Indonesia

Melihat ekosistem startup di Indonesia saat ini, rasanya dalam beberapa waktu mendatang kita masih akan terus menyambut generasi baru unicorn. Pasalnya, saat ini startup bervaluasi centaur pun jumlahnya sudah puluhan – sementara investor global dan lokal juga makin bersemangat untuk menyuntikkan dananya.

Dari data yang kami miliki, saat ini total ada 10 startup yang terkonfirmasi sebagai unicorn. Beberapa pemain berpotensi menyusul dalam waktu dekat dengan kepemilikan valuasi di atas $500 juta, seperti SiCepat, Kopi Kenangan, Ruangguru, dan Akulaku.

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak ~$3 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar

* dengan asumsi telah menyelesaikan proses merger untuk selanjutnya go-public via SPAC

Xendit Pertajam Solusi UMKM, Hadirkan SaaS untuk Inventori Produk

Startup fintech solusi pembayaran Xendit mengumumkan solusi SaaS teranyar “Xendit Inventory Sync” untuk menyasar penjual online yang berdagang di platform digital. Solusi tersebut merupakan bagian dari ambisi perusahaan yang ingin lebih banyak menggandeng UMKM.

Xendit Inventory Sync merupakan inovasi teknologi multi-channel untuk mengelola stok inventaris produk yang dijual secara online di Tokopedia, Shopee, maupun situs seperti Shopify dan WooCommerce. Dengan demikian, pelaku bisnis dapat lebih mudah memantau jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Solusi ini hadir karena hampir semua pelaku bisnis di Indonesia menerapkan strategi pemasaran multi-channel agar dapat mengombinasikan saluran penjualan baik di marketplace maupun di website. Layanan e-commerce saat ini sedang dalam masa keemasan karena transaksi yang terus meningkat. Dari 2% di tahun 2016 menjadi 20% di tahun 2020. Diperkirakan, transaksi e-commerce pun bisa mencapai 40% dari total keseluruhan transaksi ritel di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.

“Selama ini, pelaku bisnis masih harus melakukan pembaruan stok secara manual, satu per satu di setiap platform. Ini tentu memakan waktu yang tidak sedikit. Karena itulah, kami meluncurkan fitur terbaru Xendit Inventory Sync untuk membantu pelaku bisnis menghemat waktu dan tenaga operasional,” ucap Co-Founder dan CEO Xendit Moses Lo dalam keterangan resmi.

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial.id, Lo menekankan meski inovasi ini bukanlah pertama kalinya di Indonesia, namun produk ini dirancang untuk meningkatkan infrastruktur keuangan digital di Indonesia dengan membantu bisnis terjun ke dunia digital.

Secara umum, sambungnya, yang membedakan Xendit dengan payment gateway lainnya adalah produk sederhana, karena mudah diintegrasikan dan digunakan oleh bisnis dari penjual perorangan, usaha kecil hingga perusahaan besar. Kemudian, kecepatan karena proses pendaftaran dan verifikasi yang mudah dan cepat untuk menggunakan fitur Xendit dan layanan pelanggan yang selalu tersedia 24/7.

Terkait alasan pemilihan situs marketplace Shopee dan Tokopedia. Tak lain karena keduanya merupakan dua platform terbesar di Indonesia, dengan total pengunjung website masing-masing mencapai 90 juta dan 80 juta sepanjang tahun 2020, menurut data iPrice Group & SimilarWeb.

Sementara Shopify dan WooCommerce, Lo menjelaskan bahwa keduanya adalah platform pihak ketiga pertama yang memungkinkan penggunanya berintegrasi dengan Xendit untuk menggunakan fitur gateway pembayaran.

Dengan API terbuka yang mereka sediakan, memungkinkan Xendit untuk membangun dan mengembangkan lebih banyak fitur yang akan meningkatkan pengalaman pengguna mereka. “Xendit mencatat lebih dari 200 pengguna Shopify dan 300 pengguna WooCommerce yang telah mengintegrasikan platform mereka ke fitur gateway pembayaran Xendit.”

Lo menjelaskan Xendit Inventory Sync merupakan produk SaaS independen yang diberikan sebagai nilai tambah untuk para pengguna Shopify dan WooCommerce dan calon pengguna solusi pembayaran Xendit. Pasalnya, calon pengguna yang tertarik dengan solusi ini bisa langsung menggunakan tanpa harus berlangganan fitur solusi pembayaran Xendit.

“Kami juga sedang membangun produk yang akan memberikan nilai tambah bagi proses bisnis bagi merchant dan calon pengguna kami. Yang pertama dari produk solusi non-pembayaran ini adalah Xendit Inventory Sync, yang sejauh ini tidak disediakan oleh payment gateway lain, dan berencana menambahkan lebih banyak platform yang disediakan untuk menjangkau lebih banyak bisnis dan membantu mempermudah proses bisnis mereka,” ucapnya.

Pihaknya juga akan terus memperluas jangkauan Xendit Inventory Sync untuk memfasilitasi integrasi ke lebih banyak platform e-commerce dan website. “Agar kami dapat menjangkau lebih banyak bisnis dan membantu mempermudah proses bisnis mereka”, tutup Lo.

Ragam solusi untuk UMKM

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024.

Tak hanya Xendit, ada banyak perusahaan yang menyediakan ragam solusi untuk permudah jalan masuk UMKM go digital dari berbagai aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lain-lain. Berikut solusi UMKM yang telah disediakan para pemain startup.

Ragam layanan SaaS untuk UMKM / DailySocial.id