Netflix Rilis Seri TV Dokumenter Industri Game, High Score

Netflix merilis seri TV dokumenter tentang game pada 19 Agustus 2020. Seri yang dinamai High Score itu terdiri dari enam episode.

“High Score adalah seri TV dokumenter tentang era kejayaan video game, yaitu saat game-game legendaris, mulai dari Pac-Man sampai Doom, diluncurkan,” tulis Netflix dalam sinopsis untuk High Score, seperti yang dilaporkan oleh ComicBook. “Game-game ikonik seperti Space Invaders, Final Fantasy, Street Fighter II, Mortal Kombat, Sonic the Hedgehog, dan John Madden Football dibuat oleh ahli komputer dan seniman dari berbagai negara di seluruh dunia.”

Sebagai seri TV dokumenter, High Score menceritakan tentang berbagai kejadian penting dalam industri game, seperti kejatuhan Atari, sejarah Nintendo, dan perang konsol pada tahun 1990-an. Tak hanya itu, seri TV tersebut juga membahas tentang awal mula penggunaan teknologi 3D dalam game dan bagaimana game online menjadi populer. France Costrel, Director dan Executive Producer, High Score mengungkap, era saat Pac-Man menjadi game populer akan menjadi awal yang tepat untuk High Score.

“Kami tahu bahwa developer telah tertarik untuk membuat game sebelum era industri gaming yang kami bahas,” kata Melissa Wood, Executive Producer, High Score, pada GamesBeat. “Di High Score, kami juga sempat membahas tentang era Space War dan Pong. Namun, apa yang kami ingin coba tunjukkan di High Score adalah game sebagai media baru yang kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat. Bagi kami, Space Invaders dan Pac-Man memiliki peran penting dalam memperkenalkan game ke masyarakat luas.”

Lebih lanjut, Wood menjelaskan tentang alasan di balik keputusan mereka untuk membahas game dan orang-orang yang muncul dalam setiap episode High Score. “Ada cerita apa di balik game-game ini? Siapa saja orang-orang yang membuat game tersebut? Kami ingin membahas tentang game yang dikenal semua orang dan orang-orang yang populer di kalangan gamer. Namun, kami juga ingin menunjukkan para kreator game yang mungkin tidak terlalu dikenal dan tidak pernah menceritakan perjalanan mereka,” ujar Wood.

Dalam setiap episode dari High Score, ada satu orang yang menjadi fokus narasi. Saat ditanya tentang cara menentukan orang yang pantas untuk menjadi fokus dari masing-masing episode, Costrel menjawab, “kami ingin agar orang-orang yang menjadi pusat dari High Score beragam. Kami mau agar para gamer kasual atau orang-orang yang sekedar ingin bernostalgia tentang game tua sadar bahwa ada cerita yang menarik di balik game-game lawas yang mereka mainkan.”

Pada awalnya, High Score membahas era gaming saat Pac-Man populer. Sementara pada akhir seri TV tersebut, High Score bercerita tentang game 3D dan game multiplayer. Pasalnnya, Constrel merasa, awal kemunculan game 3D dan game online adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri High Score.

Dengan peluncuran High Score, baik Costrel dan Wood berharap, orang-orang akan menyadari bahwa game tak hanya permainan. “Video game punya reputasi sendiri. Tujuan kami membuat High Score adalah untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa game adalah sebuah seni. Kami ingin menunjukkan bahwa membuat game tidak mudah dan membutuhkan kreativitas,” ungkap Costrel.

Wood lalu menambahkan, “Game punya nilai. Menghabiskan waktu bermain game itu tidak sia-sia. Bermain game menjadi cara bagi orang-orang untuk saling terhubung dengan satu sama lain. Para kreator game selalu memikirkan para pemain mereka ketika mereka membuat game. Dan ada unsur seni dalam game.”

“Kami juga ingin menunjukkan beragam jenis seni dalam game, mulai dari komposisi musik sampai programming,” kata Costrel. “Membuat game tidak melulu tentang mendapatkan untung dan mengembangkan industri game. Ada unsur seni dalam membuat game. Saya berharap, orang-orang akan sadar betapa rumitnya proses pembuatan game, dan bahwa membuat game merupakan seni.”

Sumber: ComicBook, GamesBeat

[Panduan Pemula] Cara Mengubah Audio dan Subtitle di Netflix

Dibukanya blokir atas Netflix oleh Telkom tentu jadi kabar baik bagi Anda yang membutuhkan hiburan baru di masa pandemi. Selain koleksi film-nya yang sangat luas, Netflix juga mendukung berbagai macam audio dubbing dan juga subtitle.

Continue reading [Panduan Pemula] Cara Mengubah Audio dan Subtitle di Netflix

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Lanskap Platform “Video On-Demand” di Indonesia

Mengamati 3-4 minggu terakhir, di daftar 50 aplikasi terpopuler di Google Play untuk kategori Entertainment di bagian “top free” dan “top grossing” selalu bertanggar beberapa platform video on-demand (VOD), misalnya Viu, WeTV, iQIYI, Video, Netflix, iflix, HBO Go, Amazon Prime Video, dan GoPlay. Peringkatnya cukup fluktuatif naik dan turun, kendati beberapa platform anteng di posisi sepiluh besar.

Di luar peringkat itu sebenarnya masih ada platform lain yang juga jajakan layanan serupa, misalnya Catchplay, Mola TV, KlikFilm, UseeTV Go, dan lain-lain. Di kategori ini Google mencampurkan beberapa tipe aplikasi termasuk video live streaming dan layanan hiburan lainnya.

Peringkat aplikasi video streaming di Indonesia

Di waktu bersamaan, terjadi beberapa goncangan bisnis di lanskap ini yang memberikan dampak kepada dua pemain yang sebelumnya cukup populer. Penyebabnya relatif sama, soal isu finansial di internal perusahaan.

Jika Hooq akhirnya memilih undur diri, iflix masih berusaha bernapas panjang dengan menyerahkan kepemilikan perusahaan ke raksasa Tiongkok, Tencent. Tencent sendiri juga menjadi penyokong platform serupa WeTV – yang mulai merangkak populer di pasar Indonesia.

Peta persaingan kini menjadi semakin menarik. Pertama, GoPlay belum lama ini membukukan pendanaan secara independen untuk menggenjot penetrasi layanan dan tingkatkan kualitas konten orisinal. Sementara Netflix berhasil mencapai kesepakatan sehingga tidak lagi diblokir oleh operator terbesar di tanah air, Telkom Group.

Cakupan layanan

Pasar Indonesia saat ini dikepung banyak layanan VOD. Jika ditinjau dari cakupan pasarnya, para pemain tersebut bisa dipetakan menjadi tiga kategori: pemain lokal, pemain regional, dan pemain global. Kebanyakan masing-masing didukung oleh perusahaan besar yang berniat untuk menjamah pangsa pasar Over The Top (OTT).

Vidio, misalnya, dioperasikan anak perusahaan grup korporasi EMTEK yang memang berkecimpung di dunia media hiburan. Ada juga Viu, anak usaha PCCW Limited sebagai operator telekomunikasi terbesar di Hong Kong. iQIYi, platform VOD asal Tiongkok diinisiasi raksasa internet Baidu; dan lain sebagainya.

Aplikasi Video on-demand di Indonesia

Cakupan platform tersebut banyak berpengaruh pada konten-konten yang menjadi sajian utama. Digagas perusahaan tanah air, layanan-layanan lokal banyak fokus menyajikan film dan serial lokal. Seperti yang dilakukan GoPlay saat debutnya, mereka mengadaptasi serial Gossip Girl asal Amerika Serikat dalam versi Indonesia dan dibumbui cita rasa cerita lokal. Sementara RCTI+ menyajikan tayang live streaming dan on-demand dari acara-acara yang tayang di stasiun TV milik grup MNC tersebut.

WeTV dan iQIYi hadir dari perusahaan asal Tiongkok, sehingga konten film dan serial yang dihadirkan pun kebanyakan adalah acara yang dirilis rumah produksi setempat. Sementara Viu, yang sedari awal difokuskan untuk pasar regional, mencoba merangkul pasar dengan mengakomodasi berbagai serial drama Asia – menyajikan konten populer yang diproduksi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, India dll.

Untuk pemain global yang sudah bisa diakses di Indonesia, misalnya Netflix, HBO Go, dan Amazon Prime Video, mereka lebih banyak menyajikan konten-konten dari Hollywood. Walaupun demikian, demi memberikan variasi kepada pengguna, sebenarnya masing-masing aplikasi juga memberikan pilihan konten lain – misalnya Viu yang tetap sajikan film lokal walaupun dengan jumlah yang sangat terbatas.

Cakupan konten aplikasi VOD

Diversifikasi layanan

Di saat sistem pembayaran, kompatibilitas di perangkat, dan biaya layanan makin seragam, strategi adopsi pangsa pasar yang dapat selalu dioptimalkan perusahaan VOD adalah melalui konten. Ditinjau dari aspek tersebut, beberapa pemain mencoba unggul di beberapa area. Misalnya Netflix dan Amazon Prime Video, mereka mencoba unggul dengan sajikan konten-konten orisinal yang hanya bisa ditonton di aplikasi mereka.

Sementara layanan lain, seperti iflix, Catchplay, WeTV lebih banyak menayangkan ulang film atau serial yang sebelumnya sudah ditayangkan, melalui televisi maupun layar bioskop. Aplikasi lainnya seperti Mivo, RCTI+ mencoba hadirkan pengalaman baru menonton TV dari perangkat mobile. Sementara aplikasi seperti Mola dan Bein Connect unggul karena konten eksklusif mereka ke tayangan tertentu.

Beberapa pemain memilih berada di tengah-tengah, seperti Vidio, HBO Go, dan Genflix – cakupan kontennya merangkum beberapa aspek sekaligus. MAXStream juga miliki posisi yang unik, karena ia lebih bertindak sebagai agregator konten dari platform lain.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

Strategi konten ini sudah berjalan baik untuk beberapa jenis aplikasi. Di tulisan sebelumnya kami sempat merangkum bahwa Viu, Netflix, dan Vidio unggul sebagai aplikasi berbayar paling laris, karena menjawab kebutuhan masyarakat akan tontonan yang relevan.

Jika penonton ingin menyaksikan drama Asia, seperti serial Korea, maka sejauh ini jawabannya adalah Viu. Penonton ingin saksikan serial Hollywood, maka Neflix jadi pilihan. Sementara bagi yang ingin saksikan ragam film (lawas) Indonesia dan tayangan televisi, Vidio bisa menemani di perangkatnya.

Setelah 4,5 Tahun Akhirnya Telkom Buka Blokir Netflix

Setelah kurang lebih 4,5 tahun diblokir, per hari ini Selasa 7 Juli 2020 layanan video on-demand Netflix akhirnya mulai bisa diakses melalui jaringan milik Telkom Group, yakni Indihome dan Telkomsel. Proses pembukaan blokir masih dilakukan secara bertahap, dari pantauan kami beberapa orang sudah bisa mengakses Netflix sepenuhnya, sebagian masih belum bisa. Yang jelas ini akan menjadi babak baru bagi bisnis Netflix, mengingat konektivitas Telkom adalah yang terluas cakupannya di Indonesia.

Netflix sendiri kendati diblokir oleh Telkom Group berhasil menjadi salah satu layanan VOD berbayar paling populer di Indonesia bersama dengan Viu. Suguhan beragam konten original dan film-film populer yang ada di dalamnya menjadi salah satu kekuatan Netflix.

Secara keseluruhan Netflix mengalami lonjakan pengguna baru di kuartal pertama 2020. Totalnya mereka mendapatkan 15,77 juta pelanggan berbayar baru selama kuartal pertama tahun 2020, lebih dari dua kali lipat angka yang mereka prediksi sebelum pandemi.

“Kami sangat senang karena saat ini Netflix telah dapat diakses melalui jaringan Telkom, artinya sekarang masyarakat Indonesia dapat menikmati tayangan Netflix yang beragam, mulai dari serial TV, dokumenter, serta film lokal, dan internasional berkualitas di semua jaringan. Kami akan terus memberikan layanan terbaik bagi seluruh penggemar hiburan di Indonesia dengan menambahkan lebih banyak film-film Indonesia di Netflix, meningkatkan pengalaman pengguna, serta mengembangkan kerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia,” ujar Business Development Manager Netflix Tizar Patria.

Diterangkan pihak Telkom, mereka membuka blokir karena Netflix sudah melakukan sejumlah perubahan pendekatan seperti fitur parental kontrol, berkomitmen untuk mendengar keluhan dan masukan dari regulator dalam waktu 24 jam atau sesuai yang dengan kurun waktu yang ditentukan oleh pemerintah.

Selain itu Netflix juga disebut telah berkomitmen untuk patuh pada “Self Regulatory Code for Subscription Video on Demand Industry in ASEAN” yang mengatur larangan menayangkan konten yang mengandung pornografi anak, terorisme, melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan konten yang mendiskreditkan kelompok masyarakat tertentu.

“Telkom mengapresiasi perubahan pendekatan yang dilakukan Netflix untuk pasar Indonesia dan karenanya memberi kesempatan pada pelanggan Telkom Group untuk dapat mengakses beragam konten hiburan,” ujar VP Corporate Communication Telkom Arif Prabowo seperti dikutip Kompas.

Pembukaan blokir Netflix ini juga berbarengan dengan aturan pemungutan pajak untuk layanan OTT seperti Netflix, Steam, Spotify, dan samacamnya. Setelah beberapa kali diwacanakan, akhirnya pemungutan pajak untuk layanan digital ini diresmikan pada awal 1 Juli 2020.

Namun di tagihan terbaru Netflix beberapa tim kami, belum dikenakan beban pajak, sementara untuk platform Steam sudah mulai mengenakan pajak PPn 10% untuk setiap transaksi. Di sisi lain, penyedia layanan OTT tersebut juga belum memiliki kantor atau entitas lokal (PT) di Indonesia.

Diakui atau tidak inovasi yang dilakukan Netflix telah menginspirasi banyak layanan sejenis hadir di Indonesia. Sekarang muncul banyak sekali nama pemain di sektor VOD yang hadir untuk pasar Indonesia, seperti iflix, Hooq, Viu, Catchplay, Genflix, atau GoPlay. Beberapa nama pada akhirnya harus menyerah karena kehabisan bahkan bakar atau berdarah-darah merebut hati penonton di Indonesia.

Sementara itu, secara konsisten Netflix terus gencar “mendekat” ke pasar Indonesia dengan sejumlah inovasi. Langkah yang diambil antara lain menghadirkan film-film Indonesia ke dalam platform mereka, kerja sama dengan kreator dalam negeri hingga kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kerja sama dengan Kemendikbud.

Update: Siaran Pers Direktur Jendral Pajak pada Selasa (7/7/2020) menyebutkan enam perusahaan digital termasuk Netflix akan dikenai PPN sebesar 10% dari harga sebelum pajak mulai 1 Agustus 2020.

Application Information Will Show Up Here

Viu dan Netflix Bersaing Jadi Platform “Video on Demand” Berbayar Terpopuler di Indonesia

Ketenaran platform OTT semakin bersinar di tengah pandemi. Survei yang diselenggarakan DailySocial dan Populix, pada April lalu, menunjukkan bahwa aplikasi hiburan jatuh pada pilihan kedua (66%) untuk menjawab pertanyaan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan orang Indonesia selama pandemi.

Di luar YouTube yang sifatnya freemium, Netflix dan Viu adalah dua platform berbayar yang mendapatkan antusiasme tinggi dari responden. Survei ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan dipadukan sumber-sumber data lainnya.

Berdasarkan dari data yang dimiliki DailySocial, pada April dan Mei ini Viu berada di posisi pertama untuk pengguna aktif dan total waktu yang dihabiskan di antara para pemain video on demand di Indonesia. Posisi kedua ditempati Netflix, disusul iflix, Vidio, WeTV, dan iQiyi.

Total waktu yang dihabiskan pengguna Viu dalam dua bulan tersebut mencapai angka 174,8 juta menit, diikuti Netflix (141,4 juta menit), iflix (36,9 juta menit), Vidio (27 juta menit), WeTV (8,2 juta menit), dan iQiyi (7,8 juta menit).

DailySocial tertarik membandingkan temuan tersebut ke sumber lainnya, yakni SimilarWeb. Hasilnya persis sama. Dengan rentang waktu dari Maret sampai Mei, Viu memimpin untuk metrik pengguna aktif harian (DAU) dan pengguna aktif bulanan (MAU). Rata-rata waktu yang dihabiskan per user setiap harinya mencapai satu jam.

Sementara itu, Netflix unggul dalam metrik sesi per pengguna (sessions per user) yang mencapai 7.67 sesi. Semakin tinggi angka ini bagus buat platform karena berkaitan langsung dengan traffic yang masuk. Waktu yang dihabiskan kurang lebih sama dengan capaian Viu.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Satu-satunya platform lokal yang masuk di listing ini adalah Vidio. Aplikasi ini unggul dalam metrik install penetration mencapai 7,72%. Ini adalah persentase dari perangkat smartphone atau tablet yang digunakan secara aktif, dalam pasar yang dipilih, yang memiliki aplikasi yang diunduh selama periode waktu yang dipilih.

Vidio juga unggul untuk metrik MAU yang mencapai 2,51 juta orang. Meskipun demikian, total konsumsi penggunanya hanya separuh pencapaian Viu dan Netflix.

Platform lokal lain, GoPlay, yang baru memperoleh pendanaan, masih memiliki jalan panjang untuk bisa bersaing dengan para pemain yang lain.

Sementara angka-angka yang diraih platform berbayar ini jelas belum bisa bersaing dengan pencapaian YouTube yang merajai industri ini.

 

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Komentar Viu

DailySocial mencoba menghubungi Viu dan Netflix terkait temuan data-data di atas, tetapi hanya Viu yang bersedia. Country Head Viu Indonesia Varun Mehta tidak bersedia berkomentar tentang angka-angka terkini. Akan tetapi, dia sepakat dengan isi laporan “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia” untuk kuartal pertama tahun ini. Laporan yang sama DailySocial cantumkan di artikel sebelumnya.

Viu disebut menempati peringkat pertama berdasarkan jumlah pengguna diantara platform streaming video utama, tidak termasuk YouTube, di Asia Tenggara. Berdasarkan waktu yang dihabiskan, Viu ada di posisi kedua, setelah Netflix.

Laporan itu juga menyorot waktu yang dihabiskan per penonton Indonesia tiap minggunya. Viu menduduki posisi kedua, tentunya setelah YouTube. Baru setelahnya ada Catchplay, Netflix, dan OTT lainnya yang bisa disimak dalam grafik di bawah ini.

“Laporan dari MPA cukup akurat [menggambarkan pencapaian Viu],” kata Varun.

Varun menjelaskan, selama pandemi ada kenaikan 30%-35% setiap harinya. Kenaikan ini berdampak pada rata-rata waktu yang dihabiskan per pengguna. Dia mencontohkan untuk pengguna yang merupakan fan base umumnya waktu yang mereka habiskan sekitar 2 jam setiap hari.

“Jadi pas tayang pagi hari subtitle baru ada bahasa Inggris, sudah mereka tonton. Ketika ada subtitle bahasa Indonesia keluar, biasanya mereka tonton lagi. Saya kurang paham mengapa ada tren itu, mungkin mereka ingin lebih mengerti dengan bahasa Indonesia.”

Fakta pendukung lainnya adalah pengguna Viu didominasi oleh kaum perempuan (70%). Mereka ini adalah fan base konten-konten Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang yang masing-masing punya penggemarnya.

Setiap hari Viu menayangkan episode terbaru dari serial ongoing yang dinanti para pengguna. Strategi ini berhasil membawa DAU sebesar 386 ribu orang dan rata-rata waktu yang dihabiskan lebih dari satu jam, sesuai dengan durasi tayang tiap episode baru.

Meski konten Asia kini juga mulai rajin diisi Neflix ke dalam katalognya, sayangnya kami belum tahu seberapa efektivitasnya dalam mendongkrak pengguna. Posisi Netfix, sebagai platform global, memiliki kelebihan keberagaman konten yang dapat dipilih pengguna.

Sebagai bukti, Netflix terus menambah katalog secara rutin dari Korea Selatan, negara-negara Skandinavia, India, Timur Tengah, hingga Afrika. Pilihan tontonan jauh lebih kaya dan beragam. Pemilik konten juga semakin diuntungkan karena mereka bisa mendapat penonton dari belahan dunia manapun.

Viu menghindari persaingan langsung dengan Netflix karena cara tersebut terbukti membuat Hooq menyerah dan Iflix berdarah-darah.

Di Indonesia, nasib Netflix mulai mujur karena kerja samanya dengan Kemendikbud. Baru-baru ini serial dokumenter populer Netflix segera hadir di TVRI sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah. Ini adalah pertama kalinya di dunia, tayangan Netflix disiarkan saluran televisi.

Mulai 20 Juni 2020, konten andalan seperti “Our Planet”, “Street Food: Asia”, “Tidying Up with Marie Kondo”, “Spelling the Dream”, “Chasing Coral”, dan “Night on Earth” akan tayang setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayangan ulang setiap Minggu dan Rabu pukul 09.00 WIB.

Di timing yang bersamaan, Telkom mewacanakan pemblokiran terhadap Netlix akan selesai “dalam hitungan minggu”. Sejak pemblokiran empat tahun lalu, pihak Telkom melihat Netflix sudah banyak berubah, misalnya pengawasan orang tua yang jauh lebih baik dan memiliki take down policy.

Pemblokiran sepihak oleh Telkom sebenarnya dapat dituntut konsumen karena ada hak-hak yang sengaja dihalangi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku belum menerima aduan terkait hal itu dan hanya ramai di media sosial.

Netflix sendiri sudah menyediakan paket berlangganan yang lebih murah, yang memudahkan konsumennya menonton konten hanya melalui ponsel.

Perubahan selera pengguna

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu
Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu

Cara pengguna Viu dalam mengakses konten juga terbilang unik untuk tiap lokasi. Mereka yang tinggal di pulau Jawa cenderung up-to-date dalam menikmati tontonan, misalnya selalu hadir setiap ada episode terbaru dari serial kesukaannya.

Sedangkan pengguna dari Sumatera sangat bervariasi. Konsumen di Sumatera Barat cenderung menonton konten yang sudah lama terkenal. Sementara pengguna di Sumatera Selatan lebih menyukai tontonan dari Indonesia daripada lainnya.

Taste-nya berubah-ubah terus. Tapi saat tayangan A World of Married Couple, semua penonton dari seluruh Indonesia kompak menonton yang sama.”

Fokus ke konten Asia, menurut Varun, sudah terbukti sesuai hipotesis awal sehingga bisa membawa Viu tetap bertahan hingga kini. Entah dengan membuat konten original dengan bahasa lokal atau adaptasi Asia dari format internasional, memasukkan konten lokal, atau membeli konten regional papan atas.

“Saat pandemi, kami juga menemukan kebiasaan baru bahwa pengguna mulai discover new content, tidak lagi menonton karena sedang viral. Akhirnya terlihat bahwa banyak pengguna yang suka dengan konten original.”

Viu juga mencatat kenaikan traffic Viu dari perangkat smartphone (85%) ketimbang dari perangkat lainnya, seperti TV atau laptop. Tidak hanya konten dari Indonesia, Korea, Jepang, Tiongkok, dan Thailand, kini Viu sudah menerbangkan konten dari India dan Timur Tengah, seperti Turki dan Mesir.

Laporan keuangan PCCW Media, induk usaha Viu, mencatatkan pengguna MAU Viu pada tahun lalu adalah 41,4 juta orang, naik 35% dari tahun sebelumnya. Pengguna Viu menyaksikan 5,7 miliar video, naik 69%. Disebutkan konten original Viu terus memberikan kontribusinya dalam meningkatkan angka pengguna.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar yang kami hubungi secara terpisah berkomentar, salah satu dampak pandemi adalah berhentinya penayangan pertandingan olahraga dari berbagai bidang, kecuali konten esports yang tetap berjalan.

Ketika sebagian besar tayangan olahraga berhenti, pihaknya justru menemukan fakta baru bahwa hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap performa Vidio.

“Menurut data yang kami terima, walaupun ada penurunan jumlah tayangan dan penonton konten olahraga, ada peningkatan jumlah penonon tayangan film layar lebar, Vidio Original Series, dan tayangan live streaming. Bukan hanya live streaming TV nasional, tapi juga event eksklusif seperti Konser Satu Cara,” terangnya.

Hasil ini membuat pihaknya percaya diri bahwa Vidio tidak hanya kuat dalam sisi konten olahraga saja, namun juga konten lainnya seperti film layar lebar, Korea, Thailand, Tiongkok, drama India, animasi anak, program musik, dan konten edukasi.

Vidio tidak memberikan data terkini mengenai jumlah pengguna aktif dan pengunduhan aplikasi. Rezki hanya memastikan peningkatan cukup signifikan. Menurutnya, sejak membuat program Vidio Bebas Nonton, promosi gratis untuk menikmati konten Vidio, aplikasinya diunduh lebih dari lima juta kali dalam waktu satu bulan. HAl ini menobatkan perusahaan sebagai aplikasi nomor satu paling banyak diunduh pada April di Google Play dan App Store.

“Saat ini, Vidio telah dikunjungi lebih dari 60 juta kali dalam satu bulan. Peningkatan angka pengguna dan unduhan tak hanya di Google Play dan App Store, kami juga mengalami peningkatan unduhan untuk Smart TV sebanyak 700 ribu kali hingga Mei 2020.”

Melihat angka-angka di atas, Rezki menegaskan komitmennya untuk terus berinovasi memberikan produk terbaik dan terbaru, dalam bentuk aplikasi maupun Smart TV, demi kenyamanan konsumen.

“Salah satu kekuatan Vidio adalah perusahaan lokal yang sangat mengerti kebutuhan konsumen lokal, sehingga strategi yang kami lakukan memperkaya konten karena ini adalah segalanya untuk jenis bisnis ini, serta melakukan marketing dan channel distribution yang beragam,” tutupnya.

Jumlah Pelanggan Netflix Naik Drastis Selama Pandemi

Netflix adalah satu dari segelintir perusahaan yang justru diuntungkan oleh pandemi COVID-19. Himbauan untuk tidak keluar rumah maupun kebijakan lockdown berujung pada meningkatnya aktivitas streaming secara drastis.

Pada kenyataannya, Netflix berhasil menggaet 15,77 juta pelanggan berbayar baru selama kuartal pertama tahun 2020, lebih dari dua kali lipat angka yang mereka prediksi sebelum pandemi. Kenaikannya sekitar 22,8% dibanding tahun lalu, dan di akhir kuartal pertama, jumlah pelanggan berbayar Netflix tercatat sebanyak 182,9 juta.

Meski begitu, Netflix paham betul bahwa tren ini hanya sementara. Mereka memprediksi pertumbuhannya bakal melambat dalam beberapa bulan ke depan, seiring negara-negara mulai menyudahi kebijakan lockdown-nya, dan orang-orang mulai kembali beraktivitas di luar rumah.

Netflix juga bukan satu-satunya layanan streaming film yang kebanjiran pelanggan baru selama pandemi. Belum lama ini, Disney+ mengumumkan bahwa jumlah pelanggannya telah menembus angka 50 juta, naik dari 28,6 juta di awal bulan Februari.

Itu berarti Disney+ berhasil meminang lebih dari 21 juta pelanggan baru hanya dalam waktu sekitar dua bulan. Lebih mengesankan lagi, Disney+ belum tersedia secara global seperti Netflix. Cakupan negaranya lebih sedikit mengingat layanan ini baru berusia sekitar lima bulan.

27 Mei nanti, Netflix juga bakal kedatangan rival berat baru, yakni HBO Max. Layanan milik WarnerMedia itu turut menjanjikan konten orisinal yang melimpah. Di samping itu, HBO Max semestinya juga bakal dilirik oleh para pencinta anime, sebab katalog mereka akan mencakup konten dari Crunchyroll, layanan streaming anime yang juga berada di bawah naungan WarnerMedia.

Sumber: Variety. Gambar header: Thibault Penin via Unsplash.

Berdarah-Darah Rebut Hati Penonton “Streaming” Video

Nafas platform OTT video regional mulai tersengal-sengal memasuki operasional tahun kelima. Asia Tenggara bisa dikatakan sulit untuk menjadi pemain yang dominan di pasar karena karakteristik konsumen yang disasar adalah suka membandingkan harga dan senang dimanja dengan berbagai pilihan. Hooq menjadi platform pertama yang tumbang dengan mengajukan likuidasi akhir Maret lalu.

“OTT video multi-pasar adalah bisnis padat modal dan membutuhkan komitmen investor jangka panjang karena jalur menuju profitabilitas penuh dengan tantangan dan membutuhkan sumber daya yang besar,” ujar Managing Partner Media Partners Asia Vivek Couto dikutip dari Variety.

Dia melanjutkan, “Hooq punya keuntungan sebagai first mover ketika diluncurkan lima tahun lalu. Tetapi mungkin apa yang awalnya dianggap penting secara strategis bagi sebuah grup [Singtel] yang fokus pada pemindahan hulu ke konten karena membawa manfaat dan kedekatan dengan bisnis inti mereka [telekomunikasi], menjadi non-inti bahkan tidak penting jika diperlukan investasi lebih banyak modal untuk skala berhasil di Asia Tenggara.”

Laporan keuangan Hooq pada Maret 2019 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pendapatan naik jadi $21,9 juta dari periode yang sama di tahun sebelumnya $10 juta, namun dibarengi kenaikan rugi sebelum pajak jadi $62,5 juta dari $56,6 juta.

Hooq secara implisit “menyalahkan” lanskap market dan perusahaan lain atas kejadian ini. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut selama lima tahun terakhir terjadi “perubahan struktural yang signifikan dalam pasar video OTT dan lanskap kompetitifnya”.

“Biaya konten tetap tinggi dan kemauan konsumen di negara berkembang untuk berlangganan meningkat naik bertahap di tengah serangkaian pilihan yang meningkat. Karena perubahan ini, model bisnis yang layak untuk platform independen OTT menjadi semakin ditantang.”

Di belakang Hooq, nafas Iflix ikut tersengal-sengal sejak pertama kali beroperasi di 2014. Mereka merumahkan lebih dari 50 karyawan. CEO Iflix Marc Barnett menerangkan ini adalah respons perusahaan terhadap ketidakpastian dari dampak pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

“Industri tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memastikan perusahaan bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini,” tutur Barnett dikutip dari DealStreetAsia.

Executive Director of iflix Cam Walker / iflix
Executive Director of iflix Cam Walker / iflix

Dia mengungkapkan, perusahaan tetap fokus mengarahkan bisnis pada titik impas pada 2021 dan langkah-langkah tersebut adalah bagian dari strategi perusahaan agar tetap dalam jalur tersebut. “Kami secara alami melakukan semua yang kami bisa untuk mendukung staf yang terkena dampak baik secara profesional maupun pribadi.”

PHK adalah pilihan Iflix untuk mengurangi beban agar rencana melantai di bursa efek Australia berjalan mulus. Australian Securities and Investments Commission menetapkan, Iflix mungkin dipaksa untuk menebus lebih dari $47,5 juta convertible loan jika tidak terdaftar di bursa pada 31 Juli 2020.

Rencana IPO Iflix sebenarnya akan berlangsung pada akhir tahun lalu, namun diundur karena perusahaan harus melakukan sejumlah efisiensi dengan merumahkan sebagian besar level senior. Sejak 2016, tercatat mereka sudah melakukan rangkaian PHK agar tetap bertahap di tengah tekanan munculnya pemain OTT global.

Upaya Barnett untuk mencapai titik impas butuh perbaikan signifikan di internal perusahaan. Kerugian bersih perusahaan melebar pada 2018 jadi $158,1 juta dari defisit $120,4 juta pada tahun sebelumnya. Alhasil, arus kas bersihnya dipersempit dengan mengurangi kas operasional pada 2018 dari $67,4 juta di tahun sebelumnya menjadi $25,5 juta.

Apa yang salah?

Analis video OTT Omdia Tony Gunnarsson memaparkan Hooq gagal karena kurang modal. Bahkan ada laporan mereka tidak dapat membayar sejumlah produksi original yang sudah direncanakan.

“Secara umum, video OTT adalah bisnis yang sangat sulit, dan sejarah internet adalah bisnis dengan rentetan layanan video yang gagal. Agar berhasil, layanan video OTT harus memiliki akses ke sumber modal yang stabil untuk membayar konten baru yang menarik, rangkaian teknologi yang layak, dan layanan pelanggan yang andal,” katanya dikutip dari Campaign Asia.

Perusahaan juga harus beriklan rutin untuk mengakuisisi pengguna baru. Meski Hooq punya akses dana, dengan dukungan Singtel, Warner, dan Sony, tidak ada jaminan bakal sukses. Pada dasarnya, tanpa kontrak jangka panjang dan tanpa terikat dengan produk dan layanan lain (seperti TV kabel, kontrak seluler atau broadband), layanan video OTT tetap ada di tangan loyalitas pelanggan. Sangat sulit dijangkau.

Lima tahun sejak diluncurkan, Hooq baru menembus 1 juta pelanggan pada 2019 di lima negara. Pencapaian tersebut bukan hasil yang baik untuk layanan streaming dengan dukungan investor besar.

Pendapat lainnya diungkapkan VP Media Partners Asia Arravind Venugopal. Dia menerangkan, saat Hooq diluncurkan, semangatnya cukup kredibel dan dapat diukur. Mereka ingin memberikan konten melalui perangkat/jaringan seluler dengan harga terjangkau.

“Di atas kertas, silsilahnya benar. Hooq, di samping Iflix dan Viu, mengejar piramida konsumen bagian tengah dan bawah yang belum dilayani Netflix. Pada saat itu, visi dan kepercayaan yang dianut adalah konten Hollywood akan berhasil. Di tengah pembajakan film dan serial barat yang merajalela di kawasan ini, menawarkan ide membuat konten tersebut jadi terjangkau oleh masyarakat,” terang Arravind.

Akan tetapi, tantangan justru terletak pada pelaksanaan ide tersebut yang banyak hambatan, mulai dari struktur pasar, perilaku konsumen, pilihan konten/keadaan ekonomi, dan ketersediaan teknologi. Masalahnya, di negara yang disambangi Hooq (tidak termasuk India), membayar konten bukan bagian dari kebiasaan konsumen.

Konsumsi TV FTA (free-to-air) jauh lebih dominan dan berfungsi sebagai sumber utama konten lokal untuk masyarakat. Di banyak kasus, channel FTA juga membawa konten barat yang di-dubbing atau terjemahkan dalam bahasa lokal. Selain itu, ada tayangan olahraga lokal dan internasional dengan basis penonton yang masif.

“Meyakinkan orang untuk berlangganan bulanan [meskipun jumlahnya lebih kecil dari TV kabel berbayar] dan kemudian mengonsumsi konten on-demand [vs TV FTA], melalui jaringan data seluler mereka [dan di negara tersebut biaya data relatif tinggi], adalah salah satu batu sandungan awal yang besar.”

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Tantangan berikutnya adalah pilihan konten. Film dan serial Barat sebagian besar sudah hadir di TV kabel atau, jika ada dana lebih, berlangganan melalui Netflix. Hal ini menekan keengganan pelanggan untuk berlangganan layanan lain, seperti Hooq dan Iflix. Padahal biaya konten itu biayanya signifikan dibandingkan ambil konten lokal.

Sejauh ini masyarakat di Asia Tenggara lebih suka konten bahasa lokal atau konten Asia, sebagaimana yang berhasil dibuktikan Viu dan eksperimen Iflix menayangkan sajian konten dari Korea Selatan.

Di sisi lain, konten lokal sebagian besar diproduksi oleh dan untuk TV kabel dan FTA. Berarti Hooq dan Iflix perlu membayar tarif premium untuk mendapatkan akses ke penulis dan perusahaan PH terbaik. Hal ini yang menaikkan anggaran konten mereka.

Bila memilih sebagai advertising video on demand (AVOD), kompetisinya sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang mengakses YouTube, Facebook, dan platfrom sejenis. Berkompetisi di bidang iklan, berarti tidak hanya harus membangun produk atau layanan yang benar-benar baru, tapi juga tim yang relevan.

“Hooq telah memulai jalan itu. Menempatkan tim dan beberapa produk untuk mengatasi hal ini. Tapi masih ada tantangan di atasnya, membawa penonton yang cukup untuk menikmati konten gratis. Pencapaian tersebut dapat dijual ke pihak pengiklan.”

Gunnarsson menambahkan, Hooq sadar agar semangat awalnya tetap hidup, perusahaan beberapa kali mengubah model bisnisnya sejak beberapa tahun terakhir. Contohnya menambahkan konten gratis, model freemium (ada iklan), menurunkan harga, dan membuat paket berlangganan harian. Di India, Hooq dipasarkan sebagai agregator konten berbahasa Inggris.

“Meskipun kami merekomendasikan layanan video OTT agar fleksibel dan responsif terhadap pasar lokal, saya pikir layanan harus sangat hati-hati untuk mempertahankan brand recognition dan hal-hal semacam ini [sebab] pada akhirnya dapat menjadi bumerang dan menyebabkan banyak konsumen bingung.”

Pemain global bermodal tebal

Pemain regional akan terus ditekan dengan gencaran OTT global yang sudah membawa modal tebal. Kebanyakan dari mereka mengawali India sebagai ekspansi perdana karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dan populasinya ada di nomor dua di bawah Tiongkok.

Tiongkok tidak masuk radar karena negara tersebut sudah menutup rapat-rapat akses pemain luar dengan serangkaian regulasi yang ketat.

Dalam menyediakan konten, Netflix menyiapkan memiliki surat hutang jangka panjang. Misalnya saja, tahun ini mereka memiliki sekitar $14,6 miliar surat hutang jangka panjang dalam pembukuannya. Sebelumnya, perusahaan menerbitkan sekitar $2,2 miliar dalam bentuk obligasi pada musim gugur lalu dan tambahan $19,1 miliar dalam bentuk kewajiban belanja konten.

Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety
Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety

Anggaran belanja terus membengkak nilainya dari tahun ke tahun, selaras dengan gencarnya pemain lain berkantong tebal yang mulai terjun. Pada 2018, anggaran Netflix mencapai $12 miliar, naik dari sebelumnya $9 miliar. Lalu, angkanya menjadi $15,3 miliar di 2019 dan tahun ini menganggarkan $17,3 miliar.

Menurut firma BMO Capital Market, Netflix akan terus berinvestasi konten dan diprediksi tembus $26 miliar pada 2028. Angka yang begitu fantastis untuk mempertahankan tahtanya sebagai pemain video streaming teratas.

Pendapatan perusahaan ikut meningkat. Mereka tahun lalu memperoleh $20,1 miliar, naik 27,62% dari tahun sebelumnya yang mencapai $16 miliar. Netflix mengantongi laba bersih sebesar $1,85 miliar, naik 54,13% dari tahun sebelumnya $1,21 miliar.

Laba tersebut didapat sepenuhnya dari biaya berlanganan yang dibayarkan konsumen per bulannya. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar Netflix. Diperkirakan 54% penduduk negara tersebut adalah pelanggannya.

Bila ditotal, Netflix memiliki lebih dari 167 juta pelanggan. Pada kuartal IV 2019, ada tambahan 8,8 juta pelanggan baru. Pencapaian tersebut dikatakan menakjubkan, lantaran pada saat yang sama Apple dan Walt Disney merilis layanan video streaming.

Dijabarkan lebih jauh, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Australia, dan India, jumlah pelanggan Netflix mencapai 16,2 juta orang. Di antara empat kawasan, kontribusi kawasan ini adalah yang paling rendah.

Media Partners Asia mengestimasi pada 2018, ada lebih dari 8,5 juta pelanggan di 2018 untuk kawasan APAC. Asia Tenggara berkontribusi sekitar 11% dari angka tersebut atau sekitar 935 ribu pelanggan. Angka tersebut diestimasi akan semakin tinggi, apalagi kini bisa berlangganan lewat pulsa (Indonesia).

Harga yang dibanderol untuk paket ponsel adalah Rp49 ribu per bulan, atau lebih murah setengah harga dari paket dasar sebesar Rp109 ribu.

“Kami melihat Indonesia memiliki waktu menonton (screen time) yang dua kali lebih tinggi dibanding rata-rata pengguna global,” ucap juru bicara Netflix Kooswardini Wulandari yang dikutip dari Kompas.

Pemain OTT global dan regional lainnya yang terang-terangan hadir di Indonesia dan bersaing dengan Netflix adalah Amazon Prime Video, HBO Go, dan Apple TV Plus. Selain menggunakan kartu kredit, pembayarannya bisa melalui pulsa dan GoPay (Google Play) dan Dana (untuk platform besutan Apple).

Selain pemain asal Amerika Serikat, perusahaan raksasa internet dari Tiongkok, Baidu, merilis layanan OTT-nya sendiri iQiyi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pembayaran layanan ini bisa menggunakan pulsa.

Kita belum bicara Disney Plus yang maha raksasa akan jaringan kontennya. Indonesia sudah pasti masuk radar Disney, meski saat ini layanan streaming tersebut mengawalinya dengan India lewat layanan video streaming lokal Hotstar pada awal April 2020.

TechCrunch melaporkan kurang dari seminggu Disney Plus Hotstar sudah menjaring delapan juta pelanggan. Hotstar sendiri tergolong layanan streaming tersohor dengan lebih dari 300 juta pelanggan. Disney Plus sendiri, sejak dirilis kurang dari lima bulan lalu, diklaim sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan di seluruh dunia.

Ramai-ramai berburu pasar Asia Tenggara

Pamor Netflix terancam dengan keberadaan para pemain global ini. Sebelum mereka mulai gencar, Netflix menggaet pemerintah Indonesia (lewat Kemendikbud) untuk melatih talenta lokal membuat film yang akan dipasarkan melalui platform globalnya. Disebutkan perusahaan menyiapkan dana $1 juta dalam kerja sama tersebut.

Pemerintah sejatinya masih “abu-abu” dengan kehadiran Netflix, seperti Kemenkominfo yang mengkhawatirkan penyebaran konten negatif. Kemenkeu juga terus mengincar pemain OTT asing, termasuk Netflix, terkait pembayaran pajak.

Konten Indonesia dalam katalog Netflix jumlahnya semakin banyak. Produksi konten original sudah diuji coba melalui film “The Night Comes for Us” dan serial dokumenter “Street Food” yang meliput kisah pembuat makanan legendaris dari Yogyakarta dalam salah satu episodenya.

Selain Indonesia, mereka aktif memproduksi konten bersama sejumlah sineas tersohor, seperti Malaysia (The Ghost Bride), Thailand (The Stranded), Taiwan (Nowhere Man dan Triad Princess), dan Korea Selatan yang kini jumlah konten originalnya sudah tidak bisa hitung dengan jari.

HBO tidak mau kalah. Meski belum semasif Netflix, sejumlah sineas Indonesia pernah diajak memproduksi konten, semisal film horor Dead Mine, serial Halfworlds, Folklore, dan Serangoon Road.

Katalog harian Viu / Viu
Katalog harian Viu / Viu

Sebagai pemain regional, konten Asia adalah pilihan Viu, yang berdiri sejak tahun 2016, untuk menarik pengguna dan sejauh ini premis mereka tepat.

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta menerangkan, Viu kini dikenal sebagai penyedia konten hiburan Asia. Untuk itu, perusahaan terus berupaya perbanyak produksi konten lokal untuk memuaskan pelanggan di Indonesia.

Lanjutnya, meski konten hiburan dari Korea Selatan digemari, tapi selera tersebut berbeda jika membandingkan konsumen di Jakarta dan Medan misalnya. Yang terakhir lebih menyukai konten lokal.

Pada awal Maret 2020, perusahaan mulai memperkenalkan konten dari Thailand sebagai gelombang konten regional berikutnya di Asia Tenggara. Ketersediaan ini berkat kemitraannya dengan GMM dan One31.

“Kami biasanya merilis sekitar 25-40 episode drama dengan berbagai judul setiap harinya. Ketersediaan konten baru adalah faktor utama mengapa konsumen terus mengakses Viu,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

Perusahaan juga menggaet sineas lokal Indonesia untuk memproduksi konten di Viu. Data terakhir menunjukkan pengguna aktif bulanan Viu hampir 41 juta di 16 negara dan telah ditonton selama lebih dari lima miliar menit pada tahun lalu.

Sumber : Media Partners Asia
Sumber : Media Partners Asia

Pasar video online Asia Pasifik pada 2024 diperkirakan menembus angka $50 miliar menurut Media Partners Asia. Tahun lalu diestimasi ada kenaikan 24% dari tahun sebelumnya. Mereka juga menyebut, model SVOD akan mengalami penyesuaian, sedangkan model AVOD berkontribusi pada mayoritas pendapatan.

Tujuh klaster terbesar APAC secara berurutan akan menguasai pasar video online pada 2024. Mereka adalah Tiongkok, Jepang, Australia & Selandia Baru, India, Korea, Taiwan, dan Indonesia.

Pemain lokal

Dari semua negara di regional Asia Tenggara, kue bisnis terbesar ada di Indonesia. Statista memprediksi pendapatan yang diberikan Indonesia untuk OTT sebesar $161 juta dengan 21,9 juta jumlah pengguna pada tahun ini. Kenaikan nilai ini mencapai dua digit dibandingkan tahun 2019.

Ramalan itu tampaknya benar terjadi karena dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat konsumsi layanan OTT tinggi. Telkomsel mencatat terjadi kenaikan konsumsi data untuk layanan penunjang kerja, komunikasi pesan instan, online gamesdan streaming video. Operator telekomunikasi lain juga melaporkan perolehan yang sama.

Di dalam negeri, ada sekian banyak pemain bermunculan, seperti Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, FirstMediaX. Stasiun TV FTA juga ikut merilis seperti Vision+ dan RCTI+, keduanya milik Grup MNC.

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua daripada koleganya. Mereka beroperasi sejak 2014. Dari keempatnya, Vidio bisa dikatakan punya traksi terkencang. Aplikasi ini sempat menduduki posisi pertama di Top Chart App Store dan Google Play selama pandemi berlangsung.

Kepada DailySocial, VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, perjalanan Vidio bisa sampai ke tahap sekarang karena kekuatan konten lokal yang variatif dan bisa menyasar segala kalangan usia. Namun begitu, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konten original dapat dipandang sebagai kekuatan dari brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas brand. Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah “anchor content” seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi terestrial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya.

Bertambahnya konten original dari berbagai OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun.

Vidio

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Lalu, tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya dari keluaran terkini hingga nostalgia.

Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah. Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%.

Selain perkaya konten, harga tentu menjadi bagian “sensitif” buat pengguna Vidio. Untuk berlanganan harga yang dibanderol mulai dari Rp15 ribu (1 minggu), Rp29 ribu (1 bulan), dan Rp300 ribu (1 tahun).

Dari koleksi katalog dan harga berlangganan, sasaran pengguna Vidio tidak bisa disamakan dengan Netflix. Vidio lebih mengarah pada mass market dengan kelas menengah ke bawah. Perbedaan strategi ini memperlihatkan bahwa masing-masing OTT punya pasar masing-masing.

Ekspansi OTT global yang jor-joran membuat pemain regional dan lokal harus bersiap dengan strategi penghalau. Semakin “lokal” solusi yang konsumen dapatkan, akan semakin mudah mendapat loyalitas. Cara ini yang akhirnya dipakai beragam pemain OTT lokal.

Lagipula, seperti yang dipaparkan Arravind Venugopal, membudayakan untuk membayar suatu acara yang bisa didapat saat nonton TV di rumah yang gratis bukan suatu pekerjaan rumah yang ringan buat orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemerintah di tiap negara juga kompak untuk membuat aturan main yang adil agar mereka tunduk. Memblokir tentu bukan pilihan yang bijak karena di sana ada hak konsumen untuk memilih mana yang ingin mereka nikmati. Semakin dilarang, semakin mudah diterobos karena kecanggihan VPN.

Dampak Pandemi, Netflix Gratiskan Lusinan Film Dokumenter via YouTube

Tidak bisa dipungkiri, Netflix mempunyai koleksi konten yang begitu masif. Namun di tengah-tengah deretan film dan serial itu, terdapat pula lusinan film dokumenter yang cocok dijadikan materi pendidikan.

Selama bertahun-tahun, Netflix mempersilakan kalangan guru untuk memutar koleksi dokumenternya di kelas mereka masing-masing. Ini jelas tak lagi bisa dilakukan selama pandemi. Untuk itu, Netflix memutuskan untuk mengunggahnya ke YouTube.

Ya, total ada 34 film dokumenter yang dapat kita tonton secara gratis di channel YouTube Netflix. Agar lebih memudahkan, Netflix bahkan telah menyiapkan satu playlist khusus untuk jenis konten edukatif tersebut.

Semuanya memang disajikan dalam bahasa Inggris, akan tetapi tiap-tiap film dokumenter turut dilengkapi subtitle. Sayang tidak ada subtitle berbahasa Indonesia, namun fitur Auto Translate bawaan YouTube rupanya dapat menerjemahkan secara cukup akurat, bahkan untuk dokumenter yang mengangkat topik politik sekalipun.

Upaya ini tentu bakal sangat membantu para orang tua yang tengah mencarikan aktivitas buat anak-anaknya selama akses ke sekolah masih tidak diperbolehkan. Kalangan guru pun pastinya juga akan merasa terbantu, apalagi mengingat tiap-tiap film dokumenter turut disertai materi pembelajarannya masing-masing.

Netflix bahkan sudah punya rencana untuk mengadakan sesi tanya-jawab dengan sejumlah kreator film dokumenter sehingga para murid bisa mendapatkan jawaban langsung dari tangan pertama.

Sumber: Deadline dan Netflix.

Dengan Netflix Party, Acara Nonton Bareng Bisa Terlaksana Secara Online

Di masa-masa seperti ini, sebagian besar dari kita pasti akan mengapresiasi kehadiran layanan-layanan seperti Netflix, YouTube, dan lain sebagainya. Kalau boleh disimpulkan, kita tidak akan kehabisan hiburan selama ada internet.

Kendati demikian, himbauan untuk mempraktikkan social distancing pastinya bakal mempengaruhi cara kita mengonsumsi hiburan. Mereka yang terbiasa berkumpul di akhir pekan untuk bersama-sama menikmati serial favorit di Netflix misalnya, kini terpaksa harus mengurungkan niat tersebut demi mencegah penyebaran virus corona.

Namun kalau bekerja bersama tim saja sudah bisa dilakukan secara online, menonton Netflix bersama pun semestinya juga bisa. Di sinilah Netflix Party datang membantu. Netflix Party merupakan sebuah extension untuk browser Chrome yang memungkinkan dua pelanggan Netflix atau lebih untuk menikmati tayangan secara bersamaan, tanpa harus berada di ruangan yang sama.

Netflix Party

Anda di rumah, saya juga di rumah, tapi film yang kita tonton sama dan pemutarannya juga berlangsung secara sinkron, kira-kira begitu skenario yang ditawarkan Netflix Party. Kalau Anda pernah menggunakan fitur Watch Party di Facebook, Anda pastinya tidak akan asing lagi dengan konsep seperti ini.

Untuk memulai, salah satu dari kita harus membuka situs Netflix di Chrome dan memilih tayangannya terlebih dulu. Setelahnya, klik tombol “NP” yang muncul di kanan atas setelah extension berhasil di-install, lalu bagikan tautannya ke pelanggan Netflix lain yang hendak diajak menonton bersama.

Selagi menonton, kita juga bisa chatting tanpa harus mengalihkan perhatian dari tayangannya. Acara nonton bareng pun terlaksana tanpa mengharuskan kita saling bertatap muka. Buat yang tertarik, silakan install extension Netflix Party melalui Chrome Web Store. Gratis!

Sumber: Chrome Unboxed.