Introducing Jumpstart, A Smart Vending Machine Startup for Coffee

The mushrooming coffee shops in every corner of the city in Indonesia reflects the high enthusiasm of coffee lovers. International Coffee Organization (ICO) listed Indonesian consumption of 60 kg/lb coffee at 4.6 million sachets in the 2016/2017 period, it’s in the 6th position of 10 most coffee consuming countries in the world.

Welcoming the high enthusiasm of local coffee, technology innovation is required to acquire consumers. A different concept of serving coffee offered by Jumpstart by launching a self-service smart vending machine.

Jumpstart’s Co-Founder (who don’t want to be named) told DailySocial about the company founded by 3 coffee lovers with much concern to the freshly brewed coffee at the office without having to come to the store and queue. This solution will be presented through the vending machine that is yet available in Indonesia.

He adopted the vending machine concept in the developed countries and adjust it to local needs. After some iteration process, the first Jumpstart vending machine is publicly presented in 2017.

“We need a year of preparation because we are yet to obtain data on Indonesian consumer habits. Therefore, conducted several tests, in terms of taste, ingredients, machine knowledge, everything is checked thoroughly in case of error,” he added.

Furthermore, Jumpstart machine is equipped with the internet of things (IoT) to manage all the coffeemaking processes to the procurement. The current technology facilitates the team to keep the quality of the coffee and its hygiene. Two times a week, there will be a team to clean and refill the empty stock.

Coffee is an art which to handle it, requires specific techniques, in terms of measuring, grinding, pressure, hot water temperature, and others. All of these things must have the right amount to provide the best quality. Therefore, he claims Jumpstart uses the freshly brewed method.

“We have a team of experts creating the menus. The types of coffee Indonesians like, most aren’t really like sour coffee, it tends to be sweet but strong [caffeine]. In terms of prices, it’s far more affordable than the ones at a coffee shop, we start from Rp10,000 to Rp15,000.”

jumpstart vending machine

In its development until today, Jumpstart has developed 20 menus not only coffee, but also non-coffee such as chocolate, matcha, and available in hot or cold.

Jumpstart’s Co-Founder avoids elaborating further on the distribution of the engine by far or the business model. Currently, they are operating only in Jakarta with a point of presence in offices, or public places such as malls, campuses, hospitals and so on.

Jumpstart competes with other coffee shop startup players which already adopt digital technologies such as Fore and Kopi Kenangan.

Appreciation for e-money platforms

Jumpstart real journey is not immediately providing e-money payment options. At first, the machine is taking cash for payment. He said the education process through an app is easier than cash, supported by several factors.

In fact, there are many consumers are yet to understand the concept of a vending machine, that everything is self-service. The habit is yet to built and insecurity hits hard.

steps jumpstart

For example, when paying in cash, there are many complications that ultimately hinder the intention of the buyer. Like, money should not be worn out, must provide the exact amount, must entering one by one and can not be all at once. When the error occurs, the buyer will be complaining because there are no guards.

“Since the presence of e-money players, everything is much more convenient. The process is quite helpful because we’re launching in time [along] with the e-money players.”

Future plans

He said Jumpstart plans to expand its presence to other big cities, including Bandung. Next, the company will release an application to facilitate ordering drinks.

“It is likely that when we expand, we will adjust the taste to suit the standard of each resident because each region has a different appetite.”

Not only selling through smart coffee machines at various points, the company also opens offline outlets like most other coffee shops. The outlet serves to serve buyers who order through online platforms as GoFood. The location is distributed around office buildings, malls, or public places.

Jumpstart‘s official site now accommodates online ordering.

Jumpstart has received funding from investors with undisclosed details. Jumpstart team is now around 40 people.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Jumpstart, Startup Smart Vending Machine untuk Kopi

Menjamurnya kedai kopi di berbagai pelosok kota di Indonesia mencerminkan betapa tingginya peminat kopi. International Coffee Organization (ICO) mencatat konsumsi kopi Indonesia periode 2016/2017 mencapai 4,6 juta kemasan 60 kg/lb, masuk dalam urutan ke-6 dari jajaran 10 besar negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia.

Menyambut tingginya permintaan kopi dalam negeri, inovasi teknologi dibutuhkan untuk berlomba-lomba menarik konsumen baru. Konsep penyajian kopi yang berbeda ditawarkan Jumpstart dengan menghadirkan mesin penjual pintar (smart vending machine) khusus kopi tanpa pelayan alias self service.

Kepada DailySocial, seorang Co-Founder Jumpstart, yang tidak ingin disebutkan namanya, bercerita perusahaan didirikan oleh tiga orang founder penyuka kopi yang peduli pada kenyamanan minum kopi freshly brewed di kantor tanpa harus datang ke gerai dan mengantre. Solusi ini sebenarnya bisa dijawab lewat kehadiran mesin penjual (vending machine) yang belum hadir di Indonesia.

Ia mengadopsi konsep vending machine yang ada di negara maju lalu disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Setelah melalui banyak proses iterasi, mesin pertama Jumpstart pertama kali hadir pada 2017 secara publik.

“Persiapannya butuh setahun karena kita belum ada data mengenai kebiasaan orang Indonesia seperti apa. Jadi banyak tes, dari segi rasa, cari bahan, pelajari mesin, dicek semua apakah ada error atau tidak,” terangnya.

Dijelaskan lebih jauh, mesin Jumpstart dibekali dengan internet of things (IoT) untuk mengatur seluruh proses pembuatan kopi sampai pengecekan stok. Teknologi seperti ini memudahkan tim dalam menjaga kualitas kopi tetap baik dan higienis. Setiap dua kali dalam seminggu akan ada tim yang membersihkan mesin dan mengisi ulang semua bahan-bahan yang kosong.

Kopi merupakan sebuah seni yang penanganannya perlu teknik khusus, baik saat menakar, menggiling, tekanan, suhu air panas, dan lainnya. Semua hal tersebut harus ada takaran yang pas agar memberikan kualitas terbaik. Makanya, dia mengklaim Jumpstart menggunakan metode freshly brewed.

“Kita punya tim expert yang membuat menu kopi. Jenis kopi apa saja yang orang Indonesia suka, kebanyakan tidak suka kopi yang asam, lebih cenderung manis tapi strong [kafein]. Secara harga jauh lebih terjangkau dari harga secangkir di coffee shop, kita dimulai dari Rp10 ribu sampai Rp15 ribu.”

Dalam pengembangannya hingga sekarang, Jumpstart telah mengembangkan 20 menu tidak hanya kopi, tapi juga non-kopi seperti cokelat, matcha, dan dapat diseduh panas maupun dingin.

Co-Founder Jumpstart ini enggan merinci lebih jauh persebaran mesinnya sejauh ini maupun model bisnisnya seperti apa. Saat ini nereka masih bermain di Jakarta dengan titik kehadiran di perkantoran, atau tempat publik seperti mal, kampus, rumah sakit atau sebagainya.

Jumpstart bersaing dengan pemain startup kedai kopi lainnya yang mengadopsi teknologi digital seperti Fore dan Kopi Kenangan.

Bersyukur dengan kehadiran pemain e-money

Perjalanan Jumpstart sejatinya tidak langsung menyediakan opsi pembayaran dengan e-money. Awalnya mereka mengadopsi pembayaran dengan uang tunai.  Dia menerangkan proses edukasi dengan aplikasi jauh lebih mudah ketimbang uang tunai karena didukung berbagai faktor.

Terlebih masih banyak konsumen yang belum paham dengan konsep vending machine bahwa semuanya self service. Kebiasaan yang belum terbentuk ini menimbulkan perasaan takut ditipu.

Dicontohkan, saat harus membayar secara tunai, ada banyak kerumitan yang akhirnya menghalangi niatan pembeli. Seperti, uang tidak boleh lecek, harus menyediakan uang pas, saat memasukkan uangnya pun harus satu per satu tidak bisa sekaligus. Ketika terjadi kesalahan tersebut, pembeli akhirnya komplain karena tidak ada penjaga.

“Sekarang dengan kehadiran pemain e-money jauh lebih convenient prosesnya. Kami cukup terbantu karena timing kami hadir [seiring] dengan kehadiran pemain e-money.”

Rencana berikutnya

Dia menyebut Jumpstart berencana memperluas kehadirannya ke kota besar lainnya, termasuk Bandung. Berikutnya perusahaan akan merilis aplikasi untuk mempermudah pemesanan minuman.

“Kemungkinan saat kita ekspansi, akan adjust rasa kopi menyesuaikan dengan selera masing-masing penduduk di sana karena tiap daerah punya selera yang berbeda.”

Tidak hanya menjual lewat smart coffee machine di berbagai titik, perusahaan juga membuka gerai offline seperti kebanyakan kedai kopi lainnya. Gerai tersebut berfungsi untuk melayani pembeli yang memesan lewat platform online seperti GoFood. Lokasinya tersebar di gedung perkantoran, mal, atau tempat publik.

Situs resmi Jumpstart kini sudah mengakomodasi untuk pemesanan secara online.

Jumpstart telah menerima pendanaan dari investor dengan detail yang tidak disebutkan. Total tim Jumpstart kini berjumlah sekitar 40 orang.

Kotoko to Accommodate Independent Retail Brands with Offline Store

Founded in Singapore in 2019, Kotoko is a startup engaged in retail and technology that provides online and offline ecosystems for independent / Direct-to-Consumer brands in Indonesia to market their products to more consumers. The company received seed funding from Antler.

Kotoko’s Co-Founder & COO Kanta Nandana who was a former Country Manager at Luno Indonesia told DailySocial that the business idea was based on Cynthia Krisanti, the Co-Founder & CEO’s personal experience who had difficulty finding offline stores in strategic locations at affordable prices.

“This issue also happened to other friends with online businesses in Fashion & Accessories. The current solution available is to rent an offline store with a high cost and inflexible rental periods.”

For this reason, Kotoko provides a solution for independent brands in Indonesia to have offline stores in strategic locations in Indonesia at affordable prices and flexible rental terms through Kotoko multi-brand stores.

Kotoko is to rent a place in strategic commercial areas, such as shopping centers, malls, and shophouses, divide this place into several smaller areas, then rent it back to several brands, so they can share the place with other famous brands to market their products.

“The monetization strategy is to charge a monthly membership fee and a sales commission discount for brands interested to join,” Nandana said.

First brand store in Plaza Indonesia

Kotoko brand store
Kotoko brand store

Supported by the experience of its founders in finance, retail, and technology, Kotoko has several services that brand partners can use to improve their business, including Kotoko Multi-Brand stores, Kotoko Chapter, Kotoko Block, and Kotoko e-commerce sites.

“Kotoko’s e-commerce website can be used by consumers as long as they are inside the Kotoko offline shop to check product information, price, size, and material information using the Scan & Shop feature on mobile phones,” Nandana added.

They can also access Kotoko.shop via mobile to buy products and complete payments online (mobile payment). Products will be sent directly to the customer’s address.

“Kotoko has currently embraced Indonesian independent brands in the category of Fashion & Accessories and Food & Beverage. In the future, Kotoko targets other categories such as Health & Beauty, Household Goods and Furniture, “Nanta said.

Kotoko Scan & Shop feature
Kotoko Scan & Shop feature

In specific, the solution provided by the company for independent brands is claimed to increase revenue through marketing collaboration, promotion, and partnership programs. Kotoko also seeks to increase distribution and marketing channels for brand products incorporated through retailer partners.

Currently, Kotoko has curated around 60 well-known independent brands with a cumulative number of 1 million followers on Instagram. The company has opened the first multi-brand store in Plaza Indonesia and is currently preparing to expand to the first-tier cities outside Jabodetabek, such as Bandung, Surabaya, Makassar, and Bali.

“We have a fundraising target this year which we plan to use on expanding business and increasing the number of brands to join,” Nandana said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kotoko Jembatani Kebutuhan “Brand” Ritel Independen untuk Miliki Toko Offline

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independent / Direct-to-Consumer di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Kotoko Kanta Nandana, yang sebelumnya pernah menjadi Country Manager Luno Indonesia, mengungkapkan, ide bisnis Kotoko berdasarkan pengalaman pribadi Co-Founder & CEO Cynthia Krisanti yang kesulitan untuk mendapatkan toko offline di lokasi strategis dengan harga terjangkau.

“Masalah ini ternyata juga ditemukan oleh teman-teman kami lainnya yang memiliki bisnis online di bidang Fashion & Accessories. Solusi yang tersedia saat ini untuk memiliki toko offline masih sangat mahal dengan jangka waktu sewa yang tidak fleksibel.”

Dengan alasan itu, Kotoko menyediakan solusi bagi brand independen di Indonesia untuk memiliki toko offline di lokasi strategis di Indonesia dengan harga yang terjangkau dan jangka waktu sewa yang fleksibel melalui Kotoko multi-brand store.

Kotoko akan menyewa tempat di area komersial strategis, seperti pusat perbelanjaan, mall, dan ruko, membagi tempat ini ke beberapa area yang lebih kecil, kemudian menyewakannya kembali ke beberapa brand, sehingga mereka bisa sharing tempat dengan brand ternama lainnya untuk memasarkan produk mereka.

“Strategi monetisasi yang kami terapkan adalah mengenakan biaya membership per bulan dan potongan komisi penjualan bagi brand yang ingin bergabung,” kata Kanta.

Brand store pertama di Plaza Indonesia

Brand store Kotoko
Brand store Kotoko

Didukung pengalaman para pendirinya di bidang finansial, ritel, dan teknologi, Kotoko memiliki beberapa layanan yang bisa dimanfaatkan mitra brand untuk meningkatkan bisnis mereka, termasuk Kotoko Multi-Brand store, Kotoko Chapter, Kotoko Block, dan situs e-commerce Kotoko.

E-commerce website Kotoko ini dapat digunakan oleh konsumen selama mereka berada di dalam toko offline Kotoko untuk mengecek detail informasi produk, harga, ukuran, dan material dengan menggunakan fitur Scan & Shop di ponsel,” kata Kanta.

Mereka juga dapat mengakses Kotoko.shop melalui ponsel untuk membeli produk dan menyelesaikan pembayaran secara online (mobile payment). Produk akan dikirim langsung ke alamat konsumen.

“Saat ini Kotoko telah merangkul brand independen di Indonesia di kategori Fashion & Accessories dan Food & Beverage. Ke depannya Kotoko menargetkan kategori lainnya seperti Health & Beauty, Household Goods dan Furniture,” kata Nanta.

Fitur Scan & Shop Kotoko
Fitur Scan & Shop Kotoko

Secara khusus solusi yang diberikan perusahaan untuk brand independen diklaim bisa meningkatkan pendapatan melalui program marketing collaborationpromotion dan partnership. Kotoko juga berupaya untuk menambah channel distribusi dan pemasaran untuk produk-produk brand yang tergabung melalui partner retailer.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multi-brand store pertama di Plaza Indonesia dan saat ini mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

“Kami memiliki target fundraising di tahun ini yang rencanananya akan kami gunakan untuk melakukan ekspansi bisnis dan menambah jumlah brand yang bergabung,” ungkap Nanta.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.

Validating “New Retail” Startups in Indonesia

New retail has been trying to connect traders with technology. The objective is to facilitate business in leveraging benefits and consumer coverage. In terms of concept, the approach is to empower some previous features with mature implementation in the e-commerce platform to conventional retail. It’s not digitizing the whole business process, but aiming for certain aspects that weren’t optimized.

Concept Details
Payment Integrating payment applications, such as digital wallets or pay later feature, for payment options to customers.
Supply Chain Providing digital access to traders to connect with FMCG product distributors for more variant products at affordable prices.
Customer Experience Improving customer experience by providing purchasing apps. Some in the form of loyalty programs giving point credits for every transaction
Digital Product Allowing traders to serve purchasing or payment activities of various digital products, such as PPOB tax payment, train ticket, e-money top-up, and many more.

Those four models are getting adopted by local startups with various lines of products or retail segments. The public, either traders or buyers, are adjusting to the transformation. It was proven by the well-developed new retail startups.

The beginning of new retail in Indonesia

In 2014, Kudo (an acronym for Kios untuk Dagang) or kiosk for trading was launched. The service is to allow everyone, especially kiosk owners, to be able to sell any kinds of e-commerce products. The buyers allowed to choose any kinds of products and make payments through the kiosk. The concept was proven successful, as Kudo has been used by 2.6 million partners and become the biggest agent-based service in Indonesia.

Post Grab acquisition in 2019, they rebranded into GrabKios. The business model gets adjusted, from an e-commerce digital arm to focus more on the partner’s side to facilitate various kinds of payments, such as electricity bills, PDAM, and many more.

“Through technology, GrabKios expands the types of services offered by stalls such as credit and various bill payments, reduces the cost of stalls by providing convenience for traditional stalls to order merchandise (wholesale), and provides access to additional business capital and financial services through money transfer services (domestic remittance) and micro insurance and cash loans will be provided,” Head of GrabKios, Agung Nugroho said.

Furthermore, some e-commerce platforms are following the trend, such as Mitra Tokopedia and Bukalapak. It’s the same concept, allowing partners to become a digital arm to facilitate consumers for purchasing goods. The online-to-offline approach becoming the best extension among broadband expansion and digital literacy in the community.

Mitra Tokopedia program is targeting kiosk in several areas to market their products
Mitra Tokopedia program is targeting kiosk in several areas to market their products

Entering the year 2018, Kopi Kenangan has debuted with 121 billion Rupiah funding from Alpha JWC Ventures. The investment is said to be focused on business development through technology, one is to launch an app for store locator, ordering, payment support and loyalty program.

The well-received business model in the market providing a well-poured investment. After a few months, Kopi Kenangan announced follow-on funding worth of 282 billion Rupiah from Sequoia. In late 2019, they had secured Series A funding from several investors, including Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert, and Jonathan Neman. They have managed to sell 3 million cups of coffee per month.

There is also Fore Coffee, a startup founded by East Ventures with similar products and approaches. The latest news, they’ve announced follow-on funding worth of 118 billion Rupiah from East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, and several angel investors.

“We also use various technologies, from our own mobile app to the existing technologies, such as Moka to monitor payments, Member.id for loyalty platforms, and Go-Food, GrabFood, and TravelokaEats as distribution platforms,” Fore Coffee’s Co-Founder & CEO Robin Boe explained the technology role in his startup.

Wahyoo also offers a new retail approach, targeting warteg (small restaurants) by providing digital access to the supply chain. The Founder & CEO, Peter Shearer said they have partnered with at least 7000 merchants from various regions. They’ve also received seed funding from Agaeti Ventures, Kinesys Group, Chapter 1 Ventures, SMDV, East Ventures, and Rentracks.

There are also some other startups offering new retail concepts with various business approaches.

The momentum

Kopi kenangan product, beverage at affordable price
Kopi kenangan product, beverage at affordable price

Numbers of partners, transaction value and capital flows received imply that new retail has been quite successful to validate the concept for the past few years. On further observation, they are prudent in placing their products to the most suitable customer segment.

Take the example of previously mentioned coffee products startup, they see a trend of “daily coffee” among millennials. To the existing coffee shop, as well-known Starbucks, the standard price is quite high. They offer beverages at relatively cheaper prices, but with improved customer experience.

It is very likely what startups like Kudo did, that is targeting partners from the countryside.

The large investment stream will allow players to perform the “growth hacking” strategy which has been successfully applied by startups in other verticals, such as ride-hailing or fintech. They could increase traction with a series of promo or massive expansion at many locations – and indeed, all the players are heading that way.

With a broader market share, more mature players and enthusiast investors; will new retail be the next big thing in the following years?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GudangAda Hadirkan Marketplace untuk Digitalkan Rantai Pasokan Produk FMCG

Didirikan pada akhir tahun 2018 oleh Stevensang, GudangAda jadi layanan marketplace B2B khusus produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan (supply chain), sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Pengembangan platform ini  dilatarbelakangi pengalaman founder selama 25 tahun bekerja di industri FMCG.

Harapannya dengan teknologi yang disajikan, para penjual yang bertransaksi melalui GudangAda dapat melihat kenaikan volume penjualan, perputaran barang yang lebih cepat, biaya operasional dan harga pengadaan yang lebih rendah, serta transparansi transaksi. Di saat yang bersamaan, pedagang juga dapat mengakses jaringan pelanggan, pelaku bisnis, serta pilihan produk yang lebih luas daripada sebelumnya.

Kepada DailySocial CEO GudangAda Stevensang mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya resiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatian terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Ditambahkan olehnya, sebagai penjual, toko akan mendapatkan semakin banyak pembeli dan mendapatkan kesempatan untuk menjual kategori produk lain. Sebagai pembeli, toko akan mendapatkan harga yang kompetitif, pengiriman produk yang cepat dan dapat membeli produk kapan saja dan di mana saja.

“GudangAda akan terus melakukan pembaruan terhadap platform yang sudah ada dan akan terus melengkapi layanan untuk memenuhi kebutuhan toko yang bergabung, seperti financial services, logistic services dan lain-lain,” kata Stevensang.

Akuisisi lebih banyak pemilik toko

Setelah mendapatkan pendanaan awal (seed) sebesar belasan juta dolar dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, GudangAda selanjutnya ingin fokus menambah jumlah penjual dan pemilik toko, sembari membangun ekosistem dengan melengkapi fitur untuk memenuhi kebutuhan semua stakeholder FMCG. Firma private equity asal Singapura, Pavilion Capital, juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

“Tidak setiap hari Anda menemukan perusahaan sesolid GudangAda dengan pendiri berpengalaman seperti Stevensang. Sejak awal, kami memiliki keyakinan besar pada perusahaan ini dan potensi yang mereka miliki,” ujar Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Saat ini GudangAda telah memiliki 15 anggota tim. Mayoritas dari mereka berpengalaman di bidang FMCG lebih dari 10 tahun dan memiliki hubungan baik dengan pemilik toko grosir di Indonesia. Secara bertahap, GudangAda juga akan melakukan monetisasi terhadap layanan yang diberikan dalam platform, seperti layanan transaksi, logistik dan lainnya.

Di tahun 2020 ini, target utama GudangAda adalah memperluas jaringan anggotanya ke seluruh lapisan rantai pasok industri FMCG di Indonesia dan menyediakan lebih banyak solusi yang bisa diintegrasikan ke kegiatan mereka.

“Kami telah memvalidasi bisnis dan membangun fondasi kuat. Kini, dengan dukungan berkelanjutan dari investor dan mitra, yang harus kami lakukan adalah meneruskan apa yang telah berhasil kami lakukan, namun dengan skala yang lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Kami akan mengakselerasi ekspansi kami dan menyediakan lebih banyak layanan agar kami dapat melayani semua pemain industri FMCG di Indonesia,” tutup Stevensang.

Memvalidasi Startup “New Retail” di Indonesia (UPDATED)

New retail mencoba menghubungkan pedagang dengan teknologi. Tujuannya memudahkan bisnis meningkatkan keuntungan dan menjangkau konsumen yang lebih luas. Secara konsep, pendekatan ini mencoba memberdayakan beberapa fitur yang sebelumnya telah matang diaplikasikan pada sistem e-commerce ke ritel konvensional. Tidak mendigitalkan seluruh proses bisnis, namun menyasar aspek-aspek tertentu yang dinilai belum optimal.

Konsep Keterangan
Pembayaran Membaurkan aplikasi pembayaran, misalnya digital wallet atau layanan pay later, untuk memberikan opsi pembayaran kepada pelanggan.
Rantai Pasokan Memberikan akses digital ke pedagang untuk terhubung dengan distributor produk FMCG, sehingga mendapatkan varian produk yang lebih beragam dan harga yang lebih terjangkau.
Pengalaman Pelanggan Meningkatkan pengalaman pelanggan dengan menyediakan aplikasi pemesanan. Beberapa dalam bentuk program loyalitas untuk memberikan kredit poin di tiap transaksi yang dilakukan.
Produk Digital Memungkinkan pedagang untuk melayani pembelian atau pembayaran berbagai jenis produk digital, misalnya pembayaran PPOB, pembelian tiket kereta, pengisian e-money dan lain sebagainya,

Empat model di atas kini banyak diadopsi startup lokal dengan lini produk atau menyasar segmen ritel yang cukup beragam. Masyarakat pun, baik dari sisi pedagang maupun pembeli, menerima pembaruan itu dengan cukup baik. Terbukti dengan pertumbuhan bisnis banyak startup new retail yang mengagumkan.

Awal perkembangan new retail di Indonesia

Tahun 2014 Kudo (akronim dari Kios untuk Dagang Online) diluncurkan. Layanannya saat itu memungkinkan siapa saja, terutama pemilik warung untuk menjadi agen Kudo dan dapat menjual berbagai produk yang ada di e-commerce. Pembeli bisa memilih produk yang diinginkan dan membayar pesanan ke agen tersebut.

Namun seiring perkembangan bisnisnya, Kudo berfokus untuk memajukan warung tradisional di Indonesia agar menjadi serba bisa melayani berbagai produk dan layanan. Konsep tersebut cukup berhasil diaplikasikan, menjadikan Kudo dimanfaatkan 2,8 juta mitra usaha dan menjadi layanan keagenan terbesar di Indonesia. Pasca diakuisisi Grab, tahun 2019 mereka berubah nama jadi GrabKios dan semakin mempertegas komitmen untuk memberdayakan warung tradisional.

“Melalui teknologi, GrabKios memperluas jenis layanan yang ditawarkan warung seperti pulsa dan berbagai pembayaran tagihan, mengurangi biaya usaha warung dengan memberikan kemudahan kepada warung tradisional untuk memesan barang dagangan (grosir), serta menyediakan akses terhadap tambahan modal usaha dan layanan keuangan melalui layanan pengiriman uang (domestic remittance) dan akan disediakannya asuransi mikro dan pinjaman tunai,” jelas Head of GrabKios Agung Nugroho.

Setelah itu beberapa e-commerce menyusul, misalnya Mitra Tokopedia dan Bukalapak. Pendekatan online-to-offline menjadi jembatan terbaik di tengah perluasan pitalebar dan peningkatan literasi digital masyarakat.

Mitra Tokopedia
Program Mitra Tokopedia yang menyasar warung-warung di berbagai daerah untuk menjualkan produknya

Memasuki tahun 2018, Kopi Kenangan debut umumkan pendanaan 121 miliar Rupiah dari Alpha JWC Ventures. Investasi tersebut akan difokuskan perusahaan untuk peningkatan bisnis melalui teknologi, salah satunya meluncurkan aplikasi untuk pencarian toko, pemesanan, dukungan pembayaran dan program loyalitas.

Model bisnis yang diterima baik oleh pasar melancarkan kucuran investasi. Selang beberapa bulan, Kopi Kenangan umumkan pendanaan lanjutan 282 miliar Rupiah dari Sequoia dan akhir tahun 2019 kemarin mereka bukukan pendanaan seri A dari sejumlah investor, termasuk Arrive, Serena Ventures, Caris LeVert dan Jonathan Neman. Mereka telah berhasil menjual 3 juta gelas kopi per bulan.

Dengan produk dan pendekatan yang hampir serupa ada juga Fore Coffee, startup binaan East Ventures. Terakhir mereka umumkan pendanaan lanjutan 118 miliar Rupiah dari East Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Venture Capital, Insignia Ventures Partners, dan beberapa angel investor.

“Kami menggunakan berbagai teknologi, mulai dari aplikasi mobile yang kami buat sendiri, serta teknologi yang telah ada, seperti Moka untuk memantau pembayaran, Member.id untuk loyalty platform, serta Go-Food, GrabFood dan TravelokaEats sebagai platform distribusi,” terang Co-Founder & CEO Fore Coffee Robin Boe menerangkan pemanfaatan teknologi dalam startupnya.

Wahyoo juga tawarkan pendekatan new retail, menyasar warteg dengan memberikan akses digital untuk rantai pasokan. Dari pernyataan Founder & CEO Peter Shearer, saat ini mereka telah merangkul sekurangnya 7000 mitra dari berbagai wilayah. Mereka juga telah membukukan pendanaan awal dari Agaeti Ventures, Kinesys Group, Chapter1 Ventures, SMDV, East Ventures dan Rentracks.

Masih ada beberapa startup yang tawarkan konsep new retail dengan berbagai pendekatan bisnis.

Berkesempatan dapat momentum

Kopi Kenangan
Produk Kopi Kenangan, minuman kopi dengan harga yang relatif terjangkau

Capaian jumlah mitra, nilai transaksi dan arus modal yang diterima menyiratkan bahwa new retail cukup berhasil memvalidasi konsepnya selama beberapa tahun terakhir. Jika dianalisis lebih mendalam, mereka cukup cermat dalam menempatkan produknya ke segmentasi pelanggan yang tepat.

Ambil contoh untuk startup dengan produk kopi di atas, mereka melihat adanya tren “ngopi kekinian” di kalangan milenial. Ke kedai kopi yang ada, sebut saja Starbucks, standar harganya cukup tinggi. Lantas mereka hadir dengan produk kopi dengan harga yang relatif lebih murah, namun dengan pengalaman pelanggan yang juga ditingkatkan.

Pun demikian yang dilakukan oleh startup seperti Kudo yang lebih fokus menyasar mitra dari pedesaan.

Kucuran investasi besar yang didapat juga memungkinkan para pemain melakukan strategi “growth hacking” yang selama ini sukses diterapkan startup di vertikal lain, seperti ride-hailing atau fintech. Bisa saja mereka meningkatkan traksi dengan rangkaian program promo atau ekspansi besar-besaran di banyak titik – dan memang kini semua pemain tengah menuju arah sana.

Dengan pangsa pasar yang luas, pemain yang semakin matang dan investor yang makin terpikat; apakah new retail akan menjadi the next big thing di tahun-tahun berikutnya?

Update : Tambahan informasi dan komentar dari Head of GrabKios Agung Nugroho.

Alamat.com Dikabarkan Telah Diakuisisi Wahyoo

Alamat.com yang selama ini dikenal sebagai platform online yang menyediakan solusi untuk membantu para konsumen menemukan toko-toko jasa dan gaya hidup dikabarkan telah diakuisisi Wahyoo. Situs web dan aplikasi Alamat.com pun sudah tidak bisa diakses.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi hal tersebut, hanya saja pihak Wahyoo masih enggan memberikan komentar. Yang menguatkan kabar ini adalah, dua pendiri Alamat.com Daniel Cahyadi dan Michael Diharja per September 2019 menjadi COO dan CTO dari Wahyoo, sesuai dengan profil masing-masing di LinkedIn.

Kali terakhir pemberitaan DailySocial mereka menyebutkan sudah membantu sekitar 35 ribu pemilik bisnis offline untuk mengadopsi pendekatan online. Serupa visinya dengan apa yang sedang diupayakan Wahyoo melalui konsep “new retail” untuk memberikan sentuhan digital kepada warung-warung makan.

Wahyoo hingga akhir tahun 2019 kemarin berhasil mengajak 13.050 warung untuk bergabung. Warung-warung tersebut akan mendapatkan solusi-solusi dari Wahyoo, termasuk mendapat kemudahan akses untuk barang-barang dari merek FMCG.

“Karena ini di tahun 2020, fokus kami lebih ke inovasi produk, memperkaya fitur yang ada di dalam aplikasi sesuai dengan kebutuhan mereka [pemilik warung], memperkuat partnership dengan mitra yang strategis seperti perusahaan telekomunikasi, institusi finansial, transportasi online, startup penyuplai bahan baku dan lain-lain,” terang CEO Wahyoo Peter Shearer kepada DailySocial ketika ditanya tentang rencana di 2020 beberapa waktu lalu.

Bergabungnya dua pendiri Alamat.com di Wahyoo bisa jadi karena kesamaan visi mereka soal pebisnis offline. Baik Alamat.com dan Wahyoo sama-sama berangkat dari kepedulian untuk memajukan para pebisnis offline di Indonesia dengan segenap solusi berbasis teknologi yang dihadirkan. Mengingat potensi untuk inovasi warung di 2020 cukup tinggi.

Application Information Will Show Up Here